Penilaian Ecosystem Approach to Fisheries Management

22 Skor Rata-rata Diagram radar akan menggambarkan rata-rata skor RS i domain untuk masing-masing jenis lobster. Diagram radar akan memudahkan dalam memantau rata-rata nilai skor indikator domain pada masing-masing jenis lobster. Jika garis terbentuk sempurna pada masing-masing sudut, bisa diindikasikan bahwa nilai skor berada dalam kategori baik untuk lobster Gambar 14. Dari keempat gambar, skor rata-rata RS i domain ekonomi mendapat nilai yang rendah, yaitu 1. Nilai skor rata-rata RS i domain sumberdaya juga masih dikatakan rendah karena skor sumberdaya semua jenis lobster secara keseluruhan berada di bawah 2. Nilai skor rata-rata RS i domain habitat dan sosial terbilang stabil, mendapat nilai di atas 2,5. Gambar 13 Diagram Fishery Risk Index FRI untuk lobster Palabuhanratu menggunakan penilaian perikanan dengan pendekatan ekosistem. 23

3.2 PEMBAHASAN

Dalam penilaian perikanan dengan pendekatan ekosistem, terdapat 4 domain, yaitu domain sumberdaya, domain habitat, domain sosial, dan domain ekonomi Adrianto 2014. Masing-masing domain memiliki indikator yang akan diolah untuk selanjutnya masuk dalam tahap scoring.

3.2.1 Ekologi-Ekonomi Perikanan Lobster Palabuhanratu

Dalam domain habitat, terdapat indikator Total Suspended Solid TSS dan klorofil-a. TSS merupakan material halus yang terdapat dalam air, dimana mengandung bahan organik, mikroorganisme, limbah rumah tangga dan limbah industri Helfinalis et al. 2012. TSS memiliki ukuran diatas 0.042 mm. 1 2 3 Sumberdaya Habitat Sosial Ekonomi 0,5 1 1,5 2 2,5 3 Sumberdaya Habitat Sosial Ekonomi 1 2 3 Sumberdaya Habitat Sosial Ekonomi 1 2 3 Sumberdaya Habitat Sosial Ekonomi Gambar 14 Rata-rata skor indikator RSi domain untuk lobster di Palabuhanratu. A adalah P. homarus, B adalah P. versicolor, C adalah P. ornatus, dan D adalah P. penicillatus A B C D 24 Sedangkan menurut Bent et al. 2001, Total Suspended Solid TSS adalah unsur material dalam sedimen selain batuan, endapan zat kimia, kumpulan partikel sampah dan debu, material biologi serta logam berat. Berdasarkan hasil analisis laboratorium, nilai TSS yang didapatkan dari kedua titik sampling adalah 4 mgL Titik sampling I dan 13 mgL Titik sampling II. Menurut KepMen Lingkungan Hidup Nomor 51 tahun 2004 mengenai Baku Mutu Air Laut, kedua nilai TSS titik sampling berada dibawah baku mutu, dimana baku mutu TSS untuk biota laut adalah 20 mgL. Kadar TSS pada kedua lokasi titik sampling masih dalam batas toleransi lobster untuk hidup. TSS menjadi indikator yang penting untuk biota laut karena tingginya nilai TSS akan berpengaruh terhadap kadar oksigen terlarut. Semakin tinggi nilai TSS suatu perairan, maka kadar oksigen akan semakin menurun. Penurunan kadar oksigen terlarut pada suatu perairan akan menyebabkan penurunan fisiologis biota laut, seperti penurunan nafsu makan, pertumbuhan, dan kecepatan berenang bergerak Simanjuntak 2009. Klorofil-a merupakan salah satu indikator dalam menentukan tingkat kesuburan suatu perairan. Klorofil-a adalah fitoplankton, dimana fitoplankton merupakan tumbuhan yang mampu melakukan proses fotosintesis karena mengandung pigmen klorofil Sihombing et al. 2013. Fitoplankton merupakan makanan bagi sebagian besar makhluk hidup di perairan. Dalam rantai makanan, fitoplankton akan dimakan oleh zooplankton, zooplankton kemudian akan dimakan oleh crustacea dan ikan-ikan kecil Herman 2010. Dimana crustacea adalah makanan dari lobster. Dari hasil analisis laboratorium, dua lokasi titik pengambilan sampel air sampling untuk analisis klorofil-a menunjukkan bahwa kadar klorofil-a di kedua lokasi masih tergolong rendah untuk lokasi I kadar klorofil 1.763 µgL dan sedang untuk lokasi II 2.517 µgL. Rendahnya kadar klorofil-a pada kedua lokasi titik sampling kemungkinan disebabkan oleh kekeruhan yang terjadi akibat pembuangan limbah dari PLTU Palabuhanratu. Lokasi titik sampling berada didekat PLTU Palabuhanratu. Kekeruhan akan menghalangi penetrasi sinar matahari ke kolom air sehingga proses fotosintesis juga turut terhambat. Pada perairan Teluk Palabuhanratu, yang menjadi lokasi penelitian, didapatkan sebanyak lima jenis lobster. Lima jenis lobster yang tertangkap masuk dalam famili Palinuridae. Data komposisi hasil tangkapan menunjukkan P. homarus dominan tertangkap di perairan Teluk Palabuhanratu. Beberapa penelitian yang dilakukan di perairan Teluk Palabuhanratu menunjukkan bahwa P. homarus merupakan jenis lobster yang paling dominan tertangkap Karima 2013; Permatasari 2006. Salah satu alasan yang menyebabkan P. homarus dominan tertangkap adalah umpan. P. homarus cenderung mudah terpikat khususnya pada umpan yang mengandung protein dan lemak dari echinodermata, moluska dan ikan lainnya Moosa dan Aswandy 1984; Permatasari 2006. P. homarus juga cenderung menggunakan indra penciumannya untuk merespon makanan Permatasari 2006. Ukuran lobster yang layak tangkap mengacu pada Peraturan Menteri Kelautan Perikanan Nomor 1 Tahun 2015 adalah di atas 200 gram. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan adanya lobster yang tertangkap di bawah ukuran layak tangkap, yaitu 200 gram. Kemungkinan penyebab adanya lobster yang tertangkap di bawah ukuran layak tangkap adalah tidak selektifnya alat tangkap yang digunakan untuk penangkapan. Beberapa jenis alat tangkap yang digunakan untuk menangkap lobster adalah jaring dan bubu. Prinsip pengoperasian jaring dan bubu 25 adalah meninggalkan jaring dan bubu dalam keadaan sudah diberikan umpan di dalamnya sehingga lobster akan terpikat dan terjerat ke dalam bubu dan jaring. Lobter yang sudah terjerat ke dalam alat tangkap jaring dan bubu akan susah untuk keluar kembali. Jika melihat morfologi lobster, lobster memiliki banyak duri-duri kecil dan segmen di bagian badannya sehingga akan membuat lobster susah bergerak keluar dari alat tangkap. Hasil penelitian menunjukkan bahwa P. homarus yang berukuran di bawah 200 gram lebih banyak tertangkap dibandingkan yang berukuran di atas 200 gram. Tiga jenis lobster lainnya berbanding terbalik dengan P. homarus, yang mana ukuran di atas 200 gram masih lebih banyak tertangkap. Hasil tangkapan per usaha dapat menjadi indikator untuk menyatakan kelimpahan stok suatu sumberdaya Boesono et al. 2011. Berdasarkan hasil penelitian, terlihat terjadi penurunan nilai CPUE yang sangat drastis. Hal ini disebabkan tingginya usaha penangkapan yang dilakukan oleh nelayan. Bentuk usaha yang dilakukan nelayan dapat berupa tingginya jumlah trip penangkapan bahwa besar kecilnya nilai CPUE suatu spesies akan tergantung pada efektifitas alat tangkap, apakah alat angkap yang digunakan efektif untuk menangkap spesies target. Berdasarkan Tabel 5, dapat dilihat bahwa semakin menurunnya nilai CPUE untuk semua jenis lobster. Rendahnya nilai CPUE suatu spesies akan mengindikasikan overfishing upaya tangkap berlebih. Pada domain ekonomi, terdapat indikator pendapatan nelayan lobster. Pendapatan nelayan lobster akan mempengaruhi kesejahteraan nelayan. Salah satu faktor yang erat kaitannya dengan pendapatan nelayan lobster adalah harga lobster itu sendiri. Pada perikanan lobster Palabuhanratu, terdapat perbedaan harga untuk masing-masing jenis lobster. Makin tinggi ukuran lobster, maka makin tinggi pula harga lobster. Tabel 7 Harga jual lobster menurut ukuran di Palabuhanratu Jenis Kode Ukuran rupiahkg JM KK SPK SPB Panulirus homarus 30.000 50.000 110.000 300.000-380.000 Panulirus versicolor 30.000 50.000 100.000 200.000-250.000 Panulirus penicillatus 30.000 60.000 100.000 180.000-200.000 Keterangan : JM 50 g, KK 50-100 g, SPK 100-200 g, SPB 200 g Tabel 8 Harga jual lobster mutiara P. ornatus menurut ukuran di Palabuhanratu Jenis Kode ukuran rupiahkg K3 K2 KS K SP BB Panulirus ornatus 120.000 240.000 470.000 520.000 650.000 Keterangan : K3 100 g, K2 100-300 g, KS 300 -600 g, K 600-800 g, SP 600-2500 g, BB 2500 g Pada Tabel 7 dan 8, dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan harga yang cukup mencolok terhadap P. ornatus. Harga di atas merupakan harga yang didapatkan dari pengumpul lobster. Harga masing-masing lobster pun disesuaikan 26 oleh para pengumpul, bergantung pada harga pembeli. Selain itu, hasil wawancara dengan beberapa nelayan lobster, ternyata terdapat perbedaan harga yang diberikan dari pengumpul kepada nelayan. Beberapa nelayan ada yang dimodali jaring oleh pengumpul sehingga harga jual lobster akan berbeda dengan nelayan yang tidak dimodali jaring memiliki jaring sendiri. Nelayan yang dimodali jaring akan mendapatkan harga yang lebih rendah dibanding yang tidak dimodali jaring ketika menjual lobsternya kepada pengumpul. Disamping itu, kondisi lobster pada saat dijual kepada pengumpul pun akan mempengaruhi harga lobster. Lobster dalam kondisi hidup dan tidak cacat akan lebih tinggi harganya dibandingkan dengan lobster yang sudah mati dan memiliki cacat. Peran stakeholder dalam pengelolaan perikanan sangat penting, dalam hal ini yang dimaksud adalah perikanan lobster. Stakeholder yang dimaksud dalam pengelolaan perikanan lobster ini seperti pegawai Dinas Kelautan Perikanan Kabupaten Sukabumi, pegawai Pelabuhan Perikanan Nusantara PPN Palabuhanratu dan tidak lepas pula pemerintah pusat. Tingkat keaktifan para stakeholder akan mempengaruhi keberhasilan pengelolaan perikanan, dimana semakin aktif partisipasi stakeholder semakin tinggi pula tingkat keberhasilan pengelolaan perikanan lobster Adrianto 2013. Partisipasi stakeholder dimulai dari awal penetapan atau pembuatan kebijakan setelah itu secara berturut-turut implementasi, pengawasan dan evaluasi Pertiwi 2014. Dalam kasus Palabuhanratu, partisipasi stakeholder dalam pengelolaan perikanan lobster masih terbilang lemah karena kurangnya pendataan dan pengawasan terhadap lobster. Data lobster sangat penting karena akan menjadi acuan dalam pembuatan kebijakan. Namun sebaliknya, dalam perikanan lobster Palabuhanratu, tidak dilakukan pendataan secara langsung. Pendataan dilakukan secara tidak langsung yaitu dengan mengumpulkan data dari pengumpul, bukan nelayan. Selain itu, masih banyak ditemukannya lobster dibawah ukuran layak tangkap yang menjadi tanda bahwa kurangnya pengawasan terhadap hasil tangkapan lobster.

3.2.2 Penilaian Ecosystem Approach to Fisheries Management

Perikanan dalam zaman sekarang memiliki tiga masalah utama, yaitu 1 over-exploiting stok ikan, 2 over-expansion kapal tangkap, dan 3 dampak negatif dari kegiatan perikanan terhadap ekosistem dan habitat Zhang et al. 2009. Beberapa penelitian dan kajian sudah banyak dilakukan untuk menjawab permasalahan pertama dan kedua. Namun pada persoalan ketiga, belum banyak kajian yang dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya sedangkan dampak kegiatan perikanan telah banyak merusak ekosistem laut. Maka dari itu, sangat diperlukan adanya pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem. Dimana, pada konsep ini, kegiatan perikanan akan tetap berjalan dengan meminimkan akibat terhadap ekosistem. Penilaian perikanan dengan pendekatan ekosistem menggunakan indikator- indikator yang dibagi ke dalam beberapa domain, yaitu domain sumberdaya, habitat, sosial dan ekonomi. Lebih lanjut, beberapa penelitian kajian mengenai indikator ekosistem telah dilakukan Fulton et al. 2004; Degnobol dan Jarre 2004; Jennings 2005; Link 2005; Kruse et al. 2006. Terdapat berbagai jenis indikator yang berkaitan dengan fisika, ekologi dan kondisi sosial-ekonomi perikanan Zhang 2009.