Hal ini disebabkan karena telah lama dikenal dan dipraktekan oleh masyarakat secara tradisional dan turun temurun. Petani hutan rakyat umumnya telah
melakukan kegiatan penanaman di lahan-lahan miliknya. Meskipun luas kepemilikan lahan di Pulau Jawa relatif lebih sempit dibandingkan dengan
kepemilikan lahan di luar pulau Jawa, pada kenyataannya kepemilikan lahan rata- rata di pulau Jawa berkisar antara 0,25-1 ha per kepala keluarga. Namun
demikian, hampir setiap KK di pulau Jawa mempunyai hutan rakyat. Hal ini disebabkan karena lokasi penanaman hutan rakyat di Jawa dilakukan di lahan-
lahan pekarangan, kebun, talun, tegalan dan lain-lain.
2. 1. 6 Sengon Paraserianthes falcataria L Nielsen
Pohon jenis sengon memiliki sebaran alami di daerah tropis diantaranya adalah Maluku, Papua Nugini, kep.Solomon dan Bismark. Merupakan species
pionir, terutama di hutan hujan dataran rendah sekunder atau hutan pegunungan rendah. Tumbuh dari hutan pantai sampai ketinggian 1600 mdpl, optimum 0-800
mdpl. Dapat beradaptasi dengan iklim monsoon dan lembab dengan curah hujan 200-2700 mmth dengan bulan kering sampai 4 bulan. Dapat ditanam pada lahan
yang tidak subur tanpa dipupuk tetapi tidak tumbuh subur pada lahan berdrainase jelek. Salah satu species yang paling cepat tumbuh di dunia yaitu mampu tumbuh
hingga 8 mtahun dalam tahun pertama penanaman species ini juga memerlukan cahaya pada pertumbuhannya.
Pohon jenis sengon adalah poho berukuran sedang hingga besar, tinggi dapat mencapai 40 m, tinggi batang bebas cabang 20 m. Tidak memiliki banir,
kulit licin, berwarna kelabu muda, bulat agak lurus. Diameter pohon dewasa bisa mencapai 100 cm atau lebih. Tajuk berbentuk perisai, jarang, selalu hijau. Daun
majemuk, panjang dapat mencapai 40 cm, terdiri dari 8 – 15 pasang anak tangkai
daun yang berisi 15 – 25 helai daun.
Pohon berukuran sedang sampai besar, tinggi dapat mencapai 40 m, tinggi batang bebas cabang 20 m. Tidak berbanir, kulit licin, berwarna kelabu muda,
bulat agak lurus. Diameter pohon dewasa bisa mencapai 100 cm atau lebih. Tajuk berbentuk perisai, jarang, selalu hijau. Daun majemuk, panjang dapat mencapai 40
cm, terdiri dari 8 – 15 pasang anak tangkai daun yang berisi 15 – 25 helai daun.
Pohon jenis sengon memiliki kelas kuat kayu tingkat 5 tidak kuat dan kelas awet
kayu 5 tidak awet. Sehingga kayu jenis ini tidak dapat digunakan untuk kayu pertukangan khususnya kuda-kuda karena tidak memiliki kekuatan untuk
menopang beban.
2. 2. Konsep Kelestarian
Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia No. 411999 tentang Kehutanan, dalam pasal 10 1 dinyatakan bahwa pengurusan hutan bertujuan
untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya serta serbaguna dan lestari untuk kemakmuran rakyat. Sementara dalam pasal 23, dinyatakan bahwa
pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga
kelestariannya. Dengan adanya kedua pasal ini, menyatakan bahwa tujuan pengelolaan hutan adalah untuk mensejahterakan seluruh masyarakat Indonesia.
Prinsip kelestarian hasil Sustained Yield Principles sudah lama dianut dalam pengusahaan hutan produksi. David dan Johnson 1987 dalam Suhendang
1993 mengatakan bahwa prinsip ini mulai dianut dan diterapkan sejak manusia mulai memikirkan keadaan masa depannya. Sementara menurut Departemen
Kehutanan 1997, prinsip ini mulai dianut sejak dikeluarkannya Ordonansi Hutan oleh Raja Louis XIV di Perancis pada tahun 1669. Pada awalnya, konsep
kelestarian hasil ini muncul dalam kegiatan pengusahaan hutan untuk keperluan produksi yaitu produksi kayu pada khususnya. Namun dalam pengembangannya,
konsep ini berkembang sejalan dengan nilai manfaat hasil hutan bukan kayu, baik yang bersifat tangible maupun intangible. Suhendang 1993
Lestari secara sederhana, menurut Poerwardaminta 1976 dalam Winarno 1997 berarti tetap selama-lamanya, sementara kelestarian berarti keadaan yang
tetap atau tidak berubah-ubah. Sementara, menurut Society of American Foresters 1958 dalam Meyer et al 1961, kelestarian hasil didefinisikan sebagai suatu
kegiatan pengelolaan hutan untuk menghasilkan suatu kegiatan pengelolaan hutan untuk menghasilkan suatu produksi yang berkelanjutan, yang dilakukan dengan
tujuan agar suatu keseimbangan antara pertumbuhan dan pemanenan dapat tercapai sesegera mungkin, dimana kelestarian ini dapat diperoleh dalam unit
tahun maupun dalam unit periode waktu yang lebih lama. Agar kelestarian hasil ini dapat tercapai, maka menurut Meyer et al 1961 hasil periodik atau hasil
tahunan yang diekstrak haruslah ditentukan melalui suatu cara yang terbaik sehingga tidak menyebabkan terjadinya suatu penguranganpenipisan actual
growing stock yang tersedia. Hal ini, dengan kata lain berarti bahwa growing stock yang tersedia harus selalu mendekati keadaan normal, sehingga
berkemampuan untuk memproduksi hasil yang diinginkan secara memadai. Meskipun demikian, yang patut diperhatikan adalah bahwa yang disebut keadaan
normal volume normal dari suatu tegakan akan bervariasi. Variasi ini antara lain tergantung dari sistem silvikutur yang diterapkan serta pada besarnya ukuran dan
kualitas rata-rata dari kayu yang ingin dihasilkan Meyer et al, 1961. Menurut Meyer et al 1961, suatu kelestarian hasil mensyaratkan adanya
tiga hal berikut: 1.
Fasilitas transportasi yang memadai, yang mampu membuat setiap bagian dari hutan yang dikelola dapat diakses dengan baik, baik saat sekarang
maupun selama periode yang dibutuhkan. 2.
Adanya penerapan sistem silvikultur yang mampu memastikan bahwa produk yang dihasilkan oleh hutan yang bersangkutan memadai dan dapat
masuk ke pasar yang tersedia. 3.
Adanya pasar yang secara ekonomi memadai untuk dapat menjamin tertampungnya hasil produksi tanpa disertai adanya fluktuasi yang tidak
semestinya. Menurut Davis 1966, produktivitas hutan yang lestari dapat dilihat dari
dua segi. Yang pertama adalah sebagai kontinuitas pertumbuhan dan yang kedua adalah sebagai kontinuitas dari hasil kontinuitas pemanenan. Dari kedua
pengertian ini, kontinuitas dari hasil adalah pengertian yang diambil untuk pengertian kelestarian. Karena pengaturan hasil secara lestari tidak selalu
mengharuskan adanya pertumbuhan yang baik, meskipun hal ini adalah merupakan keharusan dalam jangka waktu pengusahaan hutan yang relatif lama.
Menurut Osmaston 1968 dalam Winarno 1997, faktor-faktor yang mempengaruhi kelestarian hutan antara lain adalah:
1. Regenerasi permudaan atau penanaman, yang di dalamnya termasuk usaha
pengendalian bibit serta pemeliharaan. 2.
Stabilitas kemampuan atau kesuburan lahan.
3. Usaha peningkatan atau perbaikan, yang di dalamnya termasuk pencegahan
terhadap hama penyakit, gulma dan perlindungan. Osmaston 1968 dalam Winarno 1997 juga menyatakan bahwa
kelestarian hasil memiliki beberapa tipe, yaitu: 1.
Hasil Integral Integral Yeild, yang berada pada tegakan yang seumur dan saat pemanenan dan penanaman dilakukan bersamaan.
2. Hasil yang terputus-putus Intermitten Yield, yang berada pada tegakan
yang terdiri dari beberapa kelas umur, dimana saat penanaman dan penebangan dilakukan pada interval waktu yang tertentu.
3. Hasil Tahunan Annual Yield, yang merupakan sistem yang banyak
digunakan dan pada sistem ini selalu ada bagian tegakan yang siap untuk ditebang setiap tahunnya.
Menurut Suhendang 1993, perlu dipahami bahwa konsep kelestarian hasil tidaklah bersifat mutlak dan ada pada unsur kenisbian di dalamnya. Salah
satu sumber kenisbian ini antara lain adalah ukuran yang dipakai untuk menyatakan hasilnya, apakah berupa luas, ukuran volume kayu, nilai uang atau
jumlah batang pohon serta juga metode pengaturan hasil yang digunakan. Dalam hal ini, tidak ada jaminan bahwa pemakaian salah sastu ukuran hasil ataupun
pemakaian salah satu metode pengaturan hasil akan memberikan tingkat kelestarian yang sama bila diukur oleh ukuran atau metode lainnya. Oleh karena
itu, pemilihan ukuran dan metode pengaturan hasil yang akan dipakai merupakan hal yang sangat mendasar dalam upaya pengusahaan hutan produksi dengan
prinsip kelestarian hasil agar diperoleh manfaat yang sebesar-besarnya.
2. 3. Pengaturan Hasil