1. Sejarah Hutan Rakyat di Indonesia
unit bisnis startegis yang mampu mempertahankan keberlangsungan produksi dan pengusahaanya dengan tetap memprioritaskan kelestarian hutannya.
2. 1. 2. Sejarah Hutan Rakyat di Indonesia
Pemakaian kayu sengon yang agak berarti terjadi pada tahun 1951, ketika Wijnhamer seorang arsitek Belanda membangun stadium pacuan kuda di Bogor
dengan menggunakan kayu sengon yang diawetkan seluruhnya Djajapertjunda, 2003.
Di Indonesia hutan rakyat sudah banyak sejak tahun 1930-an, berupa hutan-hutan yang dihadiahkan oleh VOC kepada pengikut-pengikutnya yang
berjasa. Kemudian hutan-hutan ini banyak mengalami kerusakan akibat perang. Kerusakan tersebut berulang kembali ketika pendudukan tentara Jepang dimana
terjadi penebangan untuk memenuhi kebutuhan perang. Usaha perbaikan timbul setelah penyerahan kedaulutan tahun 1950. Gerakan-gerakan penghutanan
kembali pada tanah yang gundul dianjurkan dimana-mana. Tahun 1952 di Jawa lahir gerakan Karangkitri yaitu gerakan yang dipelopori DinasPertanian Rakyat
untuk menanami tanah kosong seperti tegakan dan sebagainya oleh rakyat atau pemiliknya dengan tanaman hutan yang bertujuan untuk melindungi tanah
terhadap erosi. Sebagai hasil dari gerakan ini timbul hutan rakyat seperti yang terdapat di Jawa Barat Ahmad, 1961 dalam Wahyuningsih, 1993.
Usaha-usaha penghutanan tanah milik berlangsung khususnya di Jawa barat. Tahun 1972 lahir gerakan Gandrung Tatangkalan Rakgantang yang
menginstruksikan penanaman jenis-jenis pohon jeunjing, turi, manii, tanaman buah-buahan dan jenis-jenis kayu industri lainnya Lembaga Penelitian IPB,
1990 Gagasan pembentukan hutan rakyat dalam hal ini hutan rakyat
Paraserianthes falcataria pernah dicetuskan oleh salah seorang rimbawan pada tahun 1950 untuk memenuhi kebutuhan akan kayu pulp dari pabrik kertas Notog
Nariodirejo, 1959 dalam Wahyuningsih, 1993. Sebagai informasi pada akhir tahun 2005 hutan rakyat di wilayah kabupaten Lumajang sendiri seluas 41.431,45
ha, yang didominasi tegakan pohon sengon seluas 12.470,86 ha 30,1 Dinas Kehutanan Lumajang, 2006