Pembahasan HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2 Pembahasan

Kalimantan Barat terbagi ke dalam berbagai tipe tutupan dan penggunaan lahan. Penggunaan lahan berkaitan dengan aktivitas manusia atau hasil intervensi manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya Arsyad 1989, sedangkan tutupan lahan adalah tipe kenampakan yang terdapat di permukaan bumi Hartanto 2006. Selain itu tidak tertutup kemungkinan, penggunaan lahan tersebut mengalami perubahan terkait beberapa faktor, salah satunya karena kegiatan konversi lahan Ekadinata et al. 2011. Konversi lahan yang dilakukan untuk mengubah suatu tipe tutupan lahan menjadi tipe lain, terutama tutupan lahan hutan menjadi non hutan, pada umumnya dilakukan dengan cara pembakaran. Hal tersebut dikarenakan cara pembakaran dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai cara yang paling efisien dan murah dalam mengonversi lahan. Tipe tutupan lahan yang mengalami peningkatan luasan terbesar pada tahun 2009 adalah perkebunan kelapa sawit. Luas perkebunan kelapa sawit pada tahun 2000 sebesar 298.691,06 ha dan mengalami peningkatan menjadi 306.624,42 ha 2005 dan terjadi peningkatan luasan sebesar 18 pada tahun 2009 menjadi 859.313,42 ha. Perubahan tutupan lahan menjadi perkebunan kelapa sawit didominasi oleh lahan yang sebelumnya adalah hutan, baik itu hutan primer, sekunder, maupun hutan rawa primer Tabel 2 dan Tabel 3. Peningkatan luas areal perkebunan kelapa sawit banyak didorong oleh alasan sosial ekonomi serta adanya kebijakan yang terkait dengan pemberian insentif pada bidang usaha di sektor perkebunan, sehingga menyebabkan pembukaan lahan untuk perkebunan terutama kelapa sawit meningkat drastis hampir di seluruh wilayah Indonesia, terutama Kalimantan Syaufina 2008. Hutan yang mengalami penurunan luasan paling besar pada tahun 2000-2009 adalah hutan rawa primer dari semula 1.513.500,97 ha pada tahun 2000 mengalami penurunan menjadi 1.452.543,49 ha 2005 dan kembali mengalami penurunan sebesar 21 menjadi 1.203.648,62 ha pada tahun 2009 sedangkan hutan rawa sekunder mengalami peningkatan pada tahun 2009 sebesar 78 257.849,41 ha dibandingkan tahun 2000 141.911,95 ha. Tabel 2 dan Tabel 3 menyajikan matriks perubahan tutupan lahan menjadi berbagai tipe tutupan lahan lain, seperti perkebunan kelapa sawit, tegalan, perkebunan karet, dan tambang. Hotspot merupakan titik panas dan bukan titik api karena tidak semua hotspot mengindikasikan adanya titik api pada suatu wilayah Anderson et al. 1999 dalam Heryalianto 2006. Hotspot dapat menjadi salah satu parameter adanya kejadian kebakaran di suatu wilayah dan hotspot sampai saat ini dijadikan sebagai suatu indikator yang dapat dipercaya untuk menunjukkan adanya kebakaran Syaufina 2008. Jumlah hotspot pada tahun 2000, 2005, dan 2009 memperlihatkan peningkatan jumlah hotspot pada beberapa tipe tutupan lahan di Kalimantan Barat. Tabel 4 menunjukan bahwa semak belukar memiliki jumlah hotspot yang paling banyak, yaitu 225 hotspot pada tahun 2000, 1069 2005, dan 2205 2009. Banyaknya jumlah hotspot pada semak belukar menunjukkan bahwa semak belukar rentan terhadap terjadinya kebakaran. Hal tersebut dikarenakan semak belukar merupakan tipe tutupan lahan yang memiliki bahan bakar yang melimpah dan relatif kering sehingga mudah menyebabkan kebakaran Pratondo et al. 2006. Hotspot juga terdapat pada tipe tutupan lahan yang memiliki hubungan dengan aktivitas manusia seperti tegalan dan perkebunan kelapa sawit. Pada tahun 2000 jumlah hotspot di perkebunan kelapa sawit 45 hotspot lebih besar dibandingkan dengan tegalan 31 hotspot, sedangkan pada tahun 2005 jumlah hotspot di tegalan 277 hotspot lebih besar dibandingkan dengan perkebunan kelapa sawit 88 hotspot dan pada tahun 2009 terjadi peningkatan jumlah hotspot di perkebunan kelapa sawit hingga mencapai 2106 hotspot sementara tegalan hanya memiliki 527. Hal ini menunjukan bahwa aktivitas manusia terhadap lahan beresiko menyebabkan kebakaran hutan dan lahan. Hal tersebut berhubungan dengan kegiatan penyiapan lahan dengan pembakaran, baik oleh masyarakat sekitar maupun oleh perusahaan Heryalianto 2006. Gambar 6 memperlihatkan bahwa jumlah hotspot pada tanah mineral lebih tinggi dibandingkan dengan hotspot pada tanah gambut, baik pada tahun 2000, 2005 maupun 2009. Peningkatan jumlah hotspot pada tanah mineral lebih besar dibandingkan tanah gambut. Hal ini dikarenakan areal tanah mineral lebih didominasi oleh daerah produksi konversi, sehingga aktivitas pembukaan lahan yang berhubungan dengan penggunaan api sangat tinggi Septocorini 2006. Jumlah hotspot yang ada di tanah gambut pada tahun 2000 sebanyak 97 hotspot 19 sedangkan hotspot di tanah mineral sebanyak 418 hotspot 81. Jumlah hotspot di tanah gambut tersebut mengalami peningkatan menjadi 654 hotspot 2005 dan 2126 hotspot 2009, tetapi nilai tersebut masih di bawah jumlah hotspot yang ada di tanah mineral pada tahun 2005 dan 2009. Hal tersebut menunjukkan bahwa resiko kebakaran hutan di gambut lebih rendah dibandingkan di tanah mineral. Jumlah hotspot berkaitan dengan salah satu unsur iklim, yaitu curah hujan. Hubungan jumlah hotspot yang terdeteksi di Kalimantan Barat dengan curah hujan pada tahun 2000, 2005, dan 2009 disajikan pada Gambar 8. Jumlah hotspot berbanding terbalik dengan curah hujan. Hujan dapat mempengaruhi adanya titik panas karena berkaitan dengan kadar air bahan bakar, apabila kadar air bahan bakar tinggi maka api tidak akan mudah menyala Saharjo 2003 dalam Darwo 2009. Jumlah hotspot pada tahun 2000, 2005, dan 2009 memperlihatkan jumlah hotspot tertinggi terjadi pada bulan Agustus, dimana curah hujan pada bulan tersebut lebih rendah dibandingkan bulan-bulan yang lain. Hal ini memperlihatkan bahwa faktor iklim turut mempengaruhi jumlah hotspot dan kejadian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Tingginya hotspot pada bulan tersebut juga dipengaruhi oleh kegiatan persiapan dan pembersihan lahan oleh masyarakat yang dilakukan pada musim kemarau dengan cara membakar kawasan hutan atau areal pertanian Putra 2002 dalam Heryalianto 2006. Jumlah hotspot tertinggi pada periode tahun 2000-2009 terjadi pada tahun 2002 dan 2006, yaitu masing-masing sebanyak 8.901 2002 dan 10.699 hotspot 2006. Hal tersebut dikarenakan pada tahun 2002 dan 2006 terjadi El Nino kelas moderat di Indonesia. Kejadian El Nino tersebut erat kaitannya dengan periode dan jumlah presipitasi. Selama periode El Nino di Indonesia terjadi penurunan presipitasi di bawah rata-rata yang menyebabkan curah hujan menurun dan hal ini mempengaruhi jumlah sebaran hotspot Putra et al. 2008. Fenomena El Nino ini memiliki peranan yang penting terhadap jumlah hotspot dan kerentanan kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat. Hal tersebut dibuktikan dengan kejadian kebakaran hutan dan lahan yang besar pada periode El Nino tahun 1997 dan 1998 di beberapa Provinsi di Indonesia, termasuk Kalimantan Barat Syaufina 2008. Jumlah hotspot terkait dengan luas areal terbakar. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa hotspot merupakan salah satu parameter yang dapat menunjukkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan Syaufina 2008. Luas areal terbakar terbesar pada tahun 2000, 2005, dan 2009 terdapat pada semak belukar, dimana kebakaran seluruhnya terjadi pada tanah mineral sebesar 20.163,9 ha 2000, 96.181,18 ha 2005, 182.718,9 ha 2009. Tingginya luas areal terbakar pada semak belukar dikarenakan bahan bakar semak belukar yang potensial dengan adanya serasah dan tumbuhan bawah yang kering sehingga lebih meningkatkan resiko kebakaran hutan dan lahan Adiningsih 2005 dalam Sukmawati 2006. Selain itu, luas areal semak belukar yang besar dan dengan bahan bakar yang relatif seragam juga meningkatkan resiko kebakaran hutan dan lahan yang lebih besar dan tidak terkendali. Perkebunan kelapa sawit juga memiliki luas areal terbakar yang besar pada tahun 2000 sebesar 3.226,41 ha, 4.533,37 ha 2005, dan 80.176,70 ha 2009. Peningkatan luas areal terbakar di perkebunan kelapa sawit berbanding lurus dengan peningkatan luas areal perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat, sehingga diduga kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di perkebunan kelapa sawit berkaitan dengan penyiapan lahan dengan cara pembakaran. Luas areal terbakar pada tipe tutupan lahan berupa hutan tahun 2000 di Kalimantan Barat memperlihatkan presentase rata-rata luas areal terbakar di bawah 3, dimana nilai ini lebih rendah dibandingkan persentase rata-rata luas areal terbakar hutan pada tahun 2005 dan 2009 sebesar 6. Hal ini memperlihatkan bahwa gangguan kebakaran hutan semakin meningkat seiring dengan perubahan tutupan lahan di Provinsi Kalimantan Barat. Perubahan tutupan lahan yang terjadi di Kalimantan Barat diiringi dengan peningkatan jumlah hotspot pada masing-masing tipe tutupan lahan tersebut. Sama halnya dengan jumlah hotspot pada tanah gambut yang semakin meningkat pada tahun 2000, 2005, dan 2009, luas kebakaran hutan dan lahan pada tanah gambut peat juga mengalami peningkatan dari semula hanya 3091,75 ha 2000, kemudian meningkat menjadi 34.270,29 ha 2005 dan 94.042,03 ha 2009. Tipe tutupan lahan yang paling luas terbakar pada tanah gambut pada tahun 2000 terdapat pada perkebunan campuran, yaitu seluas 777,74 ha, pada tahun 2005 terdapat pada hutan gambut primer 16.602,61 ha dan tahun 2009 terdapat pada perkebunan kelapa sawit 24.526,24 ha. Tingginya luas areal terbakar pada tanah gambut lebih mengarah pada tipe tutupan lahan yang memiliki kaitan dengan intervensi manusia. Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat mulai beralih untuk memanfaatkan tipe tanah gambut untuk kegiatan pertaniannya, dimana sebagian masyarakat mengambil cara yang praktis untuk kegiatan pembukaan areal pertanian, yaitu dengan cara pembakaran. Hal tersebut didorong oleh sebagian masyarakat yang kurang memahami karakteristik serta sifat dari tanah gambut Syaifullah dan Sodikin 2003 dalam Heryalianto 2006. Selain itu, pembakaran di lahan gambut juga dianggap sebagai salah satu cara yang praktis untuk mengubah lahan gambut yang masam dan tidak cocok untuk pertanian Agus et al. 2011. Kebakaran hutan dan lahan tidak hanya berdampak pada semakin menurunnya luasan hutan di Indonesia, tetapi juga meningkatkan emisi dan gas rumah kaca di atmosfer. Menurut Seiler dan Crutzhen 1980 emisi yang dihasilkan oleh kebakaran hutan dan lahan dapat ditaksir melalui luasan areal yang terbakar burned areal. Emisi karbon terbesar yang dihasilkan akibat kebakaran hutan dan lahan tahun 2000, 2005, dan 2009 dihasilkan oleh semak belukar sebesar 181.475,07 ton 2000, 865.630,66 ton 2005, dan 1.644.470,44 ton 2009. Kebakaran hutan dan lahan pada semak belukar seluruhnya terjadi pada tipe tanah mineral. Kebakaran hutan dan lahan pada semak belukar juga menghasilkan emisi karbondioksida terbesar pada tahun 2000, 2005, dan 2009 sebesar 163.327,57 ton 2000, 779.067,59 ton 2005, dan 1.480.023,40 ton 2009. Tingginya emisi karbondioksida yang dihasilkan akibat kebakaran hutan dan lahan disebabkan karena sebagian besar unsur karbon yang teremisikan ke udara adalah dalam bentuk CO 2 , sisanya berbentuk CO, hidrokarbon terutama CH 4 , dan asap Hao et al. 1990. Emisi CO 2 yang dihasilkan oleh hutan sekunder pada tahun 2000 sebesar 22.945,72 ton, sedangkan emisi CO 2 yang dihasilkan oleh hutan primer pada tahun 2005 dan 2009 sebesar 241.501,65 ton 2005 dan 563.257,10 ton 2009, dimana seluruh kebakaran terjadi pada tanah mineral. Nilai emisi karbondioksida dari kebakaran hutan primer dan sekunder lebih rendah dibandingkan emisi CO 2 yang dihasilkan oleh semak belukar pada tahun 2000, 2005, dan 2009. Emisi CO 2 terbesar akibat kebakaran hutan di tanah gambut pada tahun 2000, 2005, dan 2009 terdapat pada hutan rawa primer, yaitu sebesar 2.342,89 ton 2000, 73.217,51 ton 2005, dan 91.163,10 ton 2009. Selain hutan rawa primer, emisi CO 2 akibat kebakaran hutan dan lahan di tanah gambut juga dihasilkan oleh perkebunan kelapa sawit sebesar 2.280,33 ton 2000 dan mengalami peningkatan pada tahun 2009 menjadi 77.257,66 ton. Emisi CO 2 terbesar yang dihasilkan akibat kebakaran hutan dan lahan pada perubahan tutupan lahan pada tahun 2000-2009 banyak dihasilkan oleh perubahan tutupan lahan semak belukar, tegalan, hutan primer, hutan rawa primer, dna hutan rawa sekunder menjadi perkebunan kelapa sawit Lampiran 1 dan 2. Emisi CO 2 total di tanah gambut dan tanah mineral yang dihasilkan dari kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2000, 2005, dan 2009 masing-masing sebesar 275.610,65 ton, 1.611.364,13 ton, dan 3.786.220,58 ton. Nilai emisi CO 2 tersebut cenderung mengalami peningkatan dan hal tersebut berbanding lurus dengan kejadian kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat dan perubahan tutupan lahannya. Emisi CO 2 yang diperoleh lebih besar dibandingkan nilai rata- rata emisi CO 2 yang dihasilkan akibat kebakaran hutan dan lahan tahun 2000- 2008 di Kalimantan Barat menurut LAPAN 2010 yang mencapai 13.058,82 tontahun.

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Luas areal terbakar terbesar di Kalimantan Barat terdapat pada semak belukar sebesar 20.163,90 ha 2000, 96.181,18 ha 2005, dan 182.718,9 ha 2009. 2. Emisi karbondioksida CO 2 terbesar akibat kebakaran hutan dan lahan di tanah mineral terdapat pada semak belukar sebesar 163.327,57 ton 2000, 779.067,59 ton 2005, dan 1.480.023,40 ton 2009 sedangkan emisi CO 2 terbesar akibat kebakaran hutan dan lahan di tanah gambut dihasilkan oleh hutan rawa primer sebesar 2.342,89 ton 2000, 73.217,51 ton 2005, dan 91.163,10 ton 2009. 3. Emisi CO 2 terbesar akibat perubahan tutupan lahan tahun 2000-2005 terdapat pada perubahan semak belukar rawa menjadi tegalan sebesar 33.684,75 ton pada tanah gambut. Perubahan tutupan lahan pada tahun 2005-2009 yang menghasilkan emisi CO 2 terbesar terdapat pada perubahan hutan rawa primer menjadi perkebunan kelapa sawit yang menghasilkan emisi CO 2 sebesar 249.209,70 ton pada tanah gambut. 6.2 Saran Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai pendugaan emisi gas rumah kaca CO 2 yang dihasilkan akibat kebakaran hutan dan lahan di berbagai tipe tutupan lahan berdasarkan kedalaman gambut di Kalimantan Barat.