INDEPENDENSI KEJAKSAAN DALAM KAITANYA DENGAN SISTEM HUKUM DI INDONESIA

dilaksanakan secara merdeka. Oleh karena itu, Kejaksaan dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lainnya. Selanjutnya ditentukan Jaksa Agung bertanggung jawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani. Dengan demikian Jaksa Agung selaku pimpinan Kejaksaan dapat sepenuhnya merumuskan dan mengendalikan arah dan kebijakan penanganan perkara untuk keberhasilan penuntutan. 57 Selain itu, Pasal 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, menyatakan bahwa: 1 Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang- Undang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. 2 Kekuasaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan secara merdeka. Pada Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dijelasakan bahwa dalam kekuasaan negara tersebut dijalankan secara merdeka. Dalam penjelasannya yang dimaksud dengan “secara merdeka” dalam ketentuan ini adalah dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. 57 Ilham Endra. “Memaknai Independensi Kejaksaan di Indonesia Kekuasaan Penuntutan”http:ilhamendra.wordpress.com20080527kekuasaan-penuntutan. Diakses pada 17 Agustus 2016 Materi mutan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang dijelasakan di atas merupakan bukti terdapatnya landasan hukum tentang independensi kejasaan. Akan tetapi masih terdapat beberapa pendapat yang mengatakan bahwa Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia belum mewujudkan independesi kejasaan. Menurut Marwan Effendi, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 belum mewujudkan independesi kejasaan. Hal ini disebabkan masih terdapatnya pengaturan yang mengakibatkan adanya intervesi kekuasaan esekutif terhadap kekuasaan kejasaan. Menurut Marwah Effendi dari pe ngaturan Pasal 2 ayat 1 yang dapat dimpulkan bahwa “Kejasaan sebagai suatu lembaga pemerintahan yang melakukan kekuasaan negara di bidang penuntutan” mengandung makna bahwa kejasaan merupakan suatu lembaga yang berada di bawah eksekutif. Hal ini berarti, kejasaan tidak bersifat independen atau merdeka, karan di pengaruhi oleh kekuasaan esekutif. 58 Berdasarkan risalah persidangan, terdapat 2 dua rumusan Pasal 2 ayat 1, yakni draf pemerintah dan draf DPR akan tetapi usulan pemerintah yang pada akhirnya disetujui menjadi rumusan Pasal 2 ayat 1 tersebut. Sedangakan frasa “lembaga pemerintahan” merupakan usulan dari pemerintah, anggota dewan mengusulkan frasa “lembaga hukum”. Perdebatan penetuan frasa mana yang digunakan dalam perumusan Pasal 2 ayat 1 berlangsung cukup lama. Akan tetapi, berdasarkan argumentasi bahwa yang dimaksud pengertian “pemerintahan” bukan saja pemerintah, akan tetapi pemerintahan dalam arti luas yakni esekutif, yudikatif dan legislatif, maka frasa tersebut dapat diterima menjadi frasa dalam Pasal 2 ayat 1 59 58 Marwan Effendi, Kejaksaan dan Fungsinya dari Prespektif Hukum, Jakarta: PT. Gramedia, 2005, h. 124. Akan tetapi, masih terdapat ketentuan yang dapat mengakibatkan kejasaan tidak independen. Hal ini dapat dilihat dari apa yang dirumusakan dalam Penjelasan Umum, Pasal 19 ayat 20, serta Pasal 22 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, yakni: Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penegakan hukum dengan berpegang pada peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Dengan demikian Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden serta bertanggung jawab kepada Presiden. Jika dilihat pula dalam Pasal 19 ayat 2 dan Pasal 22 yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 19 1 Jaksa Agung adalah pejabat negara. 2 Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Pasal 22 1 Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatnnya karena: a. meninggal dunia; b. permintaan sendiri; 59 Ilham Endra. “Memaknai Independensi Kejaksaan di Indonesia Kekuasaan Penuntutan”http:ilhamendra.wordpress.com20080527kekuasaan-penuntutan. Diakses pada 17 Agustus 2016 c. sakit jasmani atau rohani terus-menerus; d. berakhir masa jabatannya; e. tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. 2 Pemberhentian dengan hormat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Ketentuan tersebut memiliki makna besarnya pengaruh kekuasaan eksekutif terhadap lembaga kejaksaan. Karena kejaksaan Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh presiden dan bertanggung jawab kepada presiden. Hal ini dapat mengakibatkan kejaksaan tidak memiliki keindependensiannya. Mencermati pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejasaan telah memberikan independensi kepada kekuasaan penuntutan, tetapi masih terdapat celah untuk pemerintah melakukan intervensi terhadap kekuasaan penuntutan. Hal ini disebabkan, proses pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung dilakukan oleh Presiden. Dari apa yang telah dijelaskan, menunjukan bahwa masih diperlukan penataan kembali konsep-konsep yang tertuang dalam ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang independensi Jaksa Agung, karena di dalam praktek pelaksanaannya berbagai ketentuan yang berlaku tersebut terbukti belum dapat mewujudkan suatu bentuk yang ideal dari independensi Jaksa Agung dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. 60 Berdasarkan permasalahan tersebut penulis berpendapat perlu adanya perubahan terhadap Undang-Undang nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia guna menutup celah yang memberikan peluang pada lembaga Kejaksaan untuk tidak Independen. Perubahan tersebut ditekankan poin-poin krusial pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung yang menjadi sumber utama yang menyebabkan Kejaksaan tidak independen. Pertama, pola pengangkatan Jaksa Agung haruslah diubah dengan menghindari dominasi tunggal Presiden dalam proses pengangkatanya, melainkan juga mengikutsertakan lembaga-lembaga terkait seperti Dewan Perwakilan Rakyat DPR guna terciptanya sistem check and balances. Karena proses pengangkatan Jaksa Agung yang hanya melibatkan Presiden sesungguhnya mengurangi makna penting Jaksa sebagai pihak yang mewakili kepentingan umum dalam penegakan hukum. Kedua, ketentuan pemberhentian Jaksa Agung pun jelas harus diubah, ketentuan ini adalah “tenaga” terbesar eksekutif dalam kontribusinya atas tidak independensinya Kejaksaan. Dalam pasal 22 ayat 4 dijelaskan bahwa Jaksa Agung berhenti apabila masa jabatanya berakhir, namun dalam 60 Ilham Endra. “Memaknai Independensi Kejaksaan di Indonesia Kekuasaan Penuntu tan”http:ilhamendra.wordpress.com20080527kekuasaan-penuntutan. Diakses pada 17 Agustus 2016 penjelasan pasal tersebut tidak menjelaskan secara rinci tentang periode masa jabatan Jaksa Agung. Keadaan ini amat sangat berpotensi menghilangkan independensi Kejaksaan. Jaksa Agung dapat diberhentikan kapanpun tergantung pada keinginan presiden. Maka dari itu, harus ada masa jabatan tertentu bagi Jaksa Agung dan sebaiknya disamakan dengan masa jabatan Hakim. Hal ini guna memberikan proteksi terhadap pemecatan sewenang- wenang yang mungkin dilakukan oleh Presiden. Berdasarkan permasalahan yang penulis jabarkan, penulis beranggapan selama ketentuan pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung dalam undang-undang nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia tidak diubah, selama itu juga Kejaksaan Republik Indonesia tidak independen dalam menjalankan setiap tugas dan kewenanganya.

B. KAITAN INDEPENDENSI JAKSA AGUNG DENGAN PENYAMPINGAN PERKARA DEMI KEPENTINGAN UMUM

Kejaksaan dalam melaksanakan fungsinya dipimpin oleh seorang Jaksa Agung dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI Pasal 35 c yang berbunyi : “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum”. Kemudian dalam penjelasannya disebutkan kepentingan umum sebagai kepentingan bangsa atau negara dan atau kepentingan masyarakat luas. Mengenyampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan azas oportunitas, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. Namun, penjelasan Pasal 35 UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI ini tidak menentukan secara limitatif apa rumusan atau definisi serta batasan dari kepentingan negara, kepentingan bangsa, atau kepentingan masyarakat secara jelas. Penyampingan perkara didasarkan pada azas oportunitas. Azas oportunitas ialah azas yang melandaskan penuntut umum mempunyai kewenangan untuk tidak menuntut suatu perkara di muka sidang pengadilan dengan alasan demi kepentingan umum 61 atau hak jaksa agung yang karena jabatannya untuk mendeponer perkara-perkara pidana, walaupun bukti-bukti cukup untuk menjatuhkan hukuman, jika ia berpendapat bahwa akan lebih banyak kerugian bagi kepentingan umum dengan menuntut suatu perkara daripada tidak menuntutnya. Dengan kata lain perkaranya dikesampingkan walaupun cukup bukti dan bila diteruskan di persidangan kemungkinan besar terdakwa diputus bersalah. Dengan kata lain, penyampingan perkara demi kepentingan umum yang hanya menjadi kewenangan dari Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi hanya berdasarkan pandangan subjektif dari Jaksa Agung semata, karna dalam UU no. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI tidak menjelaskan secara limitatif apa itu kepentingan umum yang menjadi syarat utama penyampingan perkara Deponering. Bila dikaitkan dengan permasalahan Jaksa Agung tidak independen dan tidak lepas dari pengaruh eksekutif, maka 61 M Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan Jakarta:Sinar Grafika, 2009 h.436. kedudukan Jaksa Agung tersebut menimbulkan dua masalah, yang dalam litelatur disebut “dual obligation” 62 dan “conflicting loyalties” 63 . Berdasarkan UU no. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI Jaksa Agung diangkat, diberhentikan dan bertanggung jawab kepada Presiden, hal ini berarti Jaksa Agung harus tunduk dan loyal kepada Presiden. Dalam negara yang melaksanakan sistem demokrasi, seorang Presiden dipilih dari calon-calon yang dijagokan oleh partai politik, dengan demikian seorang Presiden adalah partisipan. Maka sangat mungkin Jaksa Agung dipilih oleh Presiden dari partainya atau partai pendukungnya Jaksa Agung HM Prasetyo berasal dari politisi Partai Nasdem dengan komitmen tertentu untuk kepentingan politik tertentu political demand. Jika ini terjadi maka Jaksa Agung akan menjalankan fungsi sebagai “partisan advocacy” 64 Disisi lain Jaksa Agung adalah “a man of law” yang dalam sistem kita dapat digambarkan sebagai abdi hukum, abdi negara dan abdi masyarakat yang tidak mengabdi kepada presiden dengan kepentingan politiknya. Peneliti Indonesia Corruption Watch, Lola Easter, mengaku tidak terkejut rapor merah yang diterima Kejaksaan Agung dalam evaluasi akuntabilitas kinerja instansi pemerintahan yang dirilis Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Hasil evaluasi 62 Daniel J Meador, The President, The Ottorney General and The Department of Justice dikutip oleh Suhadibroto, Peningkatan Kinerja Kejaksaan, Diskusi tanggal 20 agustus 2001 di Kejaksaan Agung RI, h.3 63 Nancy Baker, Conflicting Loyalties, dikutip oleh Suhadibroto, Peningkatan Kinerja Kejaksaan, Diskusi tanggal 20 agustus 2001 di Kejaksaan Agung RI, h.3 64 Nancy Baker, Government Lawyers, dikutip oleh Suhadibroto, Peningkatan Kinerja Kejaksaan, Diskusi tanggal 20 agustus 2001 di Kejaksaan Agung RI, h.3