Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

berbahaya apabila Kejaksaan bekerja dengan adanya intervensi dari pihak lain. Independensi Jaksa hingga sekarang banyak menuai perdebatan. Hal ini tidak terlepas dari kedudukan Kejaksaan sendiri sebagai lembaga pemerintahan sedangkan fungsinya yang sebagai institusi penegak hukum menimbulkan banyak pertanyaan “mampukah Kejaksaan bisa bekerja secara merdeka dalam melakukan fungsinya, namun kedudukan Kejaksaan sendiri adalah sebagai bagian dari eksekutif ” Ketentuan Jaksa Agung yang diangkat dan diberhentikan serta bertanggung jawab kepada Presiden memiliki makna besarnya pengaruh eksekutif terhadap lembaga Kejaksaan. Hal ini menyebabkan Kejaksaan sulit mendapatkan keindependensianya. Dalam negara yang melaksanakan sistem demokrasi, seorang presiden dipilih dari calon-calon yang dijagokan partai politik, maka sangat mungkin Jaksa Agung dipilih oleh Presiden dari partainya atau partai pendukungnya dengan komitmen tertentu. Hal ini sangat rawan akan “conflict of interest”, seharusnya Jaksa Agung adalah “a man of law” yang dalam sistem kita dapat digambarkan sebagai abdi hukum, abdi negara dan abdi masyarakat yang tidak mengabdi kepada presiden dengan kepentingan politiknya. Dalam Black’s Law Dictionary, independent diartikan “not subject to the control or influence of another .” 3 Dari pengertian tersebut, independen berarti tidak tunduk pada kekuasaan atau pengaruh pihak lain. Independensi di sini dapat menyangkut individu maupun lembaga dalam kaitannya dengan status atau hubungan dengan pihak lain, 4 sehingga indepensi meliputi kemandirian atau kebebasan individu maupun kelembagaan terhadap pengaruh pihak eksternal. Tidak dapat dipungkiri bahwa tugas penegakan hukum dan keadilan merupakan tugas yang sangat berat, apalagi dalam konteks Indonesia yang masih dilanda kemiskinan, ketidakadilan, serta korupsi, kolusi dan nepotisme yang sudah sedemikian sistemik dan menggurita hingga menyentuh semua lapisan masyarakat. Pada masa orde baru, kejaksaan yang seharusnya bertindak sebagai lembaga penegak hukum yang mewakili kepentingan hukum publik berubah menjadi lembaga penegak hukum yang mewakili kepentingan pemerintah. Berdasarkan struktur kelembagaannya saat ini, secara formal kejaksaan merupakan bagian dari pemerintah atau eksekutif, sehingga tidak akan mudah untuk menjadi lembaga penegakan hukum yang 3 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, ST. Paul, MINN: West Group, 2009, h. 838 4 David Phillip Jones, “Recent Developments in Independence and Impartiality.” Canadian Journal of Administrative Law Practice, 2002. Diakses melalui http:www.westlaw.com, 15 agustus 2016 berkiblat pada kepentingan publik atau public sense of justice 5 dan independen atau terbebas dari campur tangan pihak lain terutama eksekutif. 6 Contoh nyata dari sulitnya kejaksaan terbebas dari campur tangan eksekutif terlihat jelas dalam perkara yang menimpa mantan Komisioner KPK Bambang Wijayanto, Peristiwa ini berawal dari adanya dugaan tindak pidana yang telah dilakukan oleh Bambang Wijayanto. MABES POLRI menetapkan Bambang Wijayanto sebagai tersangka terkait dugaan mengarahkan saksi agar menyampaikan kesaksian palsu dalam dalam sidang sengketa Pemilihan Kepala Daerah Kota Waringin Barat pada tahun 2010 di Mahkamah Konstitusi. Perkara Bambang Wijayanto dalam dugaan mengarahkan saksi agar menyampaikan kesaksian palsu dalam Pilkada Kotawaringin Barat dinyatakan sudah sampai pada tahap penuntutan. Jaksa Agung lalu mempertimbangkan perkara itu di deponering. Jaksa agung kemudian mengirimkan surat permintaan pertimbangan deponering ke Komisi III DPR RI. Kemudian Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond J Mahesa memastikan komisinya menolak saran deponering perkara mantan Komisioner KPK tersebut. Alasanya, tidak ada unsur kepentingan umum yang mengharuskan perkara itu dihentikan. Sementara Presiden Joko Widodo melalui Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi, Johan Budi SP memerintahkan agar perkara-perkara yang berkaitan dengan KPK segera 5 Rod Harvey. “The Independence of The Prosecutor; a Police Perspective.” Makalah diterbitkan dalam http:www.aic.gov.au. Diakses pada tanggal 17 agustus 2016 6 Todung Mulya Lubis, Catatan hukum Todung Mulya Lubis: mengapa saya mencintai negeri ini?, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007, h. 111 diselesaikan, tentu dengan alasan-alasan yang dapat dibenarkan secara hukum, dan pada tanggal 3 Maret 2016 Jaksa Agung HM Prasetyo yang berasal dari politisi Nasdem resmi menggunakan kewenangan penyampingan perkara demi kepentingan umum dalam kasus ini. Mengeluarkan keputusan penyampingan perkara demi kepentingan umum deponering atas perkara mantan Komisioner KPK Bambang Wijayanto. 7 Instruksi Presiden melalui Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi Johan Budi SP menunjukan bahwa Kejaksaan yang dimpimpin oleh Jaksa Agung jelas tidak bisa lepas dari pengaruh intervensi eksekutif. J. Remmelink mengatakan bahwa akan selalu ada bahaya jika Kejaksaan tidak menjalankan tugas dan wewenangnya dengan independen. Bahwa akan selalu ada motif-motif partai politik dalam memutuskan memerintah tugas dari Kejaksaan dalam hal, misal penyampingan suatu perkara demi kepentingan umum, ataupun untuk memerintahkan menuntutnya. 8 Kewenangan institusi Kejaksaan yang dipimpin oleh Jaksa Agung menangani perkara dalam bidang penuntutan tidak terlepas dari persoalan independensi atau kemandirianya untuk dapat mengambil sikap berupa kebijakan-kebijakan diskresi dalam menyelesaikan permasalahan hukum. Meskipun UU No.16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI telah memberikan wewenang oportunitas yang hanya dimiliki oleh jaksa agung sebagai 7 http:kriminalitas.comindocontentview53176 diakses Senin, 29 Maret 2016 14:30 8 Jan Rammelink, Hukum Pidana Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, PT Gramedia Pustaka, Jakarta: 2003, h. 5 pemimpin tertinggi institusi Kejaksaan RI, namun dalam menangani perkara seringkali muncul keraguan dengan mempertanyakan independensi kejaksaan dalam memproses perkara. Kecurigaan rasional pada intinya ditujukan pada pengaruh kepentingan eksternal atas. Tidak independensinya Jaksa Agung karena posisi kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan dan Jaksa Agung adalah jabatan politis non karir yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku kepala pemerintahan.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.

Pembatasan Masalah Agar masalah yang akan penulis bahas tidak terlalu melebar, maka penulis hanya membatasi masalah pada Independensi Jaksa Agung serta kaitanya dengan peran dan fungsi Jaksa Agung dalam menjalankan Azas Oportunitas dalam pelaksanaan tugasnya melakukan penyampingan perkara pidana demi kepentingan umum.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan pembahasan masalah yang telah diuraikan, maka perumusan masalahnya akan dirumuskan sebagai berikut: a. Bagaimana permsalahan Independensi yang dialami oleh Jaksa Agung? b. Bagaimana kaitan independensi Jaksa Agung dalam melaksanakan tugas peyampingan perkara pidana demi kepentingan umum dalam kasus Bambang Wijayanto ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian Sebagaimana latar belakang dan rumusan masalah yang penulis utarakan maka tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah: a. Untuk mengetahui permasalahan independensi yang dialami oleh Jaksa Agung. b. Untuk mengetahui kaitan Independensi Jaksa Agung dalam melaksanakan tugas peyampingan perkara pidana demi kepentingan umum. 2. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini diharapkan bisa menjadi rujukan bagi mahasiswa Syariah dan Hukum khususnya Ilmu Hukum dalam menganalisa kasus yang sama atau hampir sama dengan penelitian yang penulis buat. Penulis juga berharap dengan adanya penelitian ini seluruh masyarakat di Indonesia dapat memahami tentang Independensi Kejaksaan Republik Indonesia dalam Penyampingan Perkara Demi Kepentingan Umum.

D. Tinjauan Kajian Terdahulu

Nama Gery Pamungkas Fakultas Prodi Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2015 Judul Skripsi Independensi Kejaksaan sebagai Jaksa Pengacara Negara. Substansi Skripsi ini membahas tentang Independensi Kejaksaan sebagai Jaksa Pengacara Negara. Pembeda Penelitian penulis dengan skripsi di atas sangat jauh berbeda. Penulis hanya menjadikan skripsi tersebut acuan dalam hal konsep. Karena penelitian di atas dengan milik penulis memiliki konsep yang sama yakni mengenai Independensi Kejaksaan RI. Namun, penelitian di atas mengenai Independensi Jaksa sebagai Pengacara Negara. Sedangkan penulis membahas Independensi Jaksa Agung dalam melakukan deponering. Nama Yelina Rachma P Fakultas Prodi Universitas Sebelas Maret Fakultas Hukum Tahun 2010 Judul Skripsi Tintauan tentang pengaturan azas penyampingan perkara demi kepentingan umum azas oportunitas dalam KUHAP dan relevansinya dengan azas persamaan di mata hukum equality before the law Substansi Skripsi ini membahas pertanggung jawaban pengaturan azas penyampingan perkara demi kepentingan umum azas oportunitas dalam KUHAP dan relevansinya dengan azas persamaan di mata hukum equality before the law . Penulis menjadikan skripsi ini sebagai acuan karena memiliki kesamaan konsep penerapan azas oportunitas oleh jaksa agung dalam system hukum di indonesia. Pembeda Terdapat pembedaan mengenai sudut pandang. Dalam skripsi ini menekankan tentang pengaturan azas oportunitas sedangkan penulis Independensi Jaksa Agung dalam penerpan azas oportunitas dalam suatu perkara pidana, khususnya perkara yang mendera mantan komisioner KPK yaitu, Bambang Wijayanto. Nama Dr. Alfitra, S.H., M.H Publisher Raih Asa Sukses Tahun 2012 Judul Buku Hapusnya Hak Menuntut dan Menjalankan Pidana Substansi Buku ini merupakan salah satu kerangka pemikiran tentang penerapan azas oportunitas oleh Jaksa Agung Pembeda Buku ini merupakan acuan dasar tentang hal-hal yang berkaitan dengan azas oportunitas khususnya penyampingan perkara pidana demi kepentingan umum.. Sedangkan penulis akan membahas tentang Independensi