FAKTOR HEREDITER FOOD FREQUENCY QUESTIONER FFQ
2. Isilah dengan makanan dan minuman yang biasasering anda konsumsi selama anda tinggal di asrama TPB IPB. Makananminuman minimal dikonsumsi 3 kali per
minggu.
Waktu Makanan
Ukuran Frekuensi
URT Gram
hari minggu
bulan
Pagi
Selingan pagi
cemilan
Siang
Selingan sore
cemilan
SoreMalam
Selingan malam
URT = ukuran rumah tangga missal piring, mangkok, gelas, sendok makan, dll
-Terimakasih atas kesediaan anda membantu penelitian ini.-
Lampiran 3 Tabel hasil uji beda variabel kelompok kasus dan kontrol
Variabel tzx
2
p
Karakteristik Contoh
Umur t =-0,397
0,692 Jumlah Uang Saku
t =-1,097 0,273
Sukuetnis Ayah x
2
=-0,190 0,850
Sukuetnis Ibu x
2
=-0,711 0,477
Wilayah domisili x
2
=-0,544 0,586
Kekambuhan Gangguan Lambung
Skor Frekuensi Gejala Gangguan Lambung z = 7,230
0,000 Tingkat kekambuhan
z=-3,465 0,001
Status Gizi z =-0,667
0,505
Kebiasaan Makan dan Minum
Keteraturan makan z =-2,374
0,018 Frekuensi makan
z =-2,241 0,025
Jeda waktu makan z =-0,605
0,545 Kebiasaan sarapan
z =-1,336 0,181
Kebiasaan mengkonsumsi makanan selingan z =-0,374
0,708 Kebiasaan membatasi asupan makanan
z =-1,196 0,232
Kebiasaan minum teh z =-1,122
0,262 Kebiasaan minum kopi
z =-2,108 0,035
Kebiasaan minum minuman berkarbonasi z =-1,834
0,047 Kebiasaan minum teh dan kopi
z =-2,467 0,014
Kebiasaan minum teh dan minuman berkarbonasi z =-2,345
0,019 Kebiasaan minum kopi dan minuman berkarbonasi
z =-1,765 0,078
Kebiasaan minum teh, kopi, dan minuman berkarbonasi z =-2,632
0,008 Kebiasaan makan pedas
z =-1,364 0,173
Kebiasaan makan asam z =-3,112
0,002 Kebiasaan mengkonsumsi suplemen
z =-1,359 0,174
Tingkat kecukupan vitamin A z =-2,559
0,010 Tingkat kecukupan vitamin C
z =-1,245 0,213
Konsumsi lemak z =-5,877
0,000 Konsumsi natrium
z =0,000 1,000
Konsumsi kalium z =-0,582
0,560
Aktivitas Fisik dan Kebiasaan Olahraga
Kebiasaan olahraga z =-2,023
0,043 Tingkat aktivitas fisik
z =3,561 0,000
Konsumsi Obat-Obatan
Kebiasaan mengkonsumsi obat-obatan z =-3,967
0,000 Kebiasaan mengkonsumsi antasida
z =-4,391 0,000
Tingkat Stres z =-2,741
0,000
Herediter
Riwayat penyakitgangguan lambung ayah z =-1,825
0,068 Riwayat penyakitgangguan lambung ibu
z =-3,265 0,001
Riwayat penyakitgangguan lambung kakek z =-0,582
0,560 Riwayat penyakitgangguan lambung nenek
z =0,000 0,999
Golongan darah x
2
=-0,555 0,579
Nyata atau signifikan pada p0,05 Nyata atau signifikan pada p0,01
Lampiran 4 Tabel hasil uji hubungan menggunakan Chi Square tabel 2x2
Variabel Pearson
x
2
C p
OR 95 CI
Bawah Atas
Riwayat penyakitgangguan lambung gastritistukak peptik
12,110 0,303
0,001 1,224
1,086 1,380
Status Gizi 0,801
0,081 0,371
0,527 0,128
2,182
Kebiasaan Makan dan Minum
Keteraturan makan 12,945
0,312 0,000
0,810 0,715
0,918 Frekuensi makan
13,618 0,319
0,000 0,113
0,030 0,423
Jeda waktu makan 0,150
0,035 0,698
0,782 0,225
2,722 Kebiasaan sarapan
1,401 0,107
0,237 0,467
0,129 1,687
Kebiasaan mengkonsumsi makanan selingan 1,346
0,105 0,246
2,070 0,594
7,218 Kebiasaan membatasi asupan makanan
0,801 0,081
0,371 1,896
0,458 7,843
Kebiasaan minum teh 0,627
0,072 0,429
1,737 0,436
6,915 Kebiasaan minum kopi
0,026 0,015
0,872 1,112
0,306 4,043
Kebiasaan minum minuman berkarbonasi 7,304
0,240 0,007
6,907 1,423 33,519
Kebiasaan minum teh dan kopi 0,002
0,004 0,952
1,034 0,257
4,167 Kebiasaan minum teh dan minuman berkarbonasi
2,929 0,154
0,087 2,888
0,822 10,143 Kebiasaan minum kopi dan minuman berkarbonasi
0,224 0,043
0,636 1,402
0,344 5,711
Kebiasaan minum teh,
kopi, dan minuman
berkarbonasi 0,004
0,006 0,950
1,053 0,210
5,267 Kebiasaan makan pedas
3,028 0,157
0,082 1,129
1,051 1,214
Kebiasaan makan asam 6,042
0,219 0,014
9,123 1,129 73,735
Kebiasaan mengkonsumsi suplemen 0,082
0,026 0,774
1,208 0,332
4,400 Tingkat kecukupan vitamin A
0,072 0,024
0,788 1,209
0,302 4,841
Tingkat kecukupan vitamin C 0,413
0,059 0,520
0,506 0,061
4,199 Konsumsi lemak
7,169 0,237
0,007 5,638 1,409
22,557 Konsumsi natrium
0,205 0,041
0,651 1,103
1,041 1,168
Konsumsi kalium 0,311
0,051 0,577
0,906 0,855
0,960
Aktivitas Fisik dan Kebiasaan Olahraga
Kebiasaan olahraga 1,149
0,097 0,284
0,477 0,120
1,894 Tingkat aktivitas fisik
4,381 0,188
0,036 7,031
0,869 56,886
Konsumsi Obat-Obatan
Kebiasaan mengkonsumsi obat-obatan 1,377
0,107 0,241
2,097 0,596
7,357 Kebiasaan mengkonsumsi antasida
12,510 0,307
0,000 8,143
2,191 30,263
Tingkat Stres 4,381
0,188 0,036
7,031 0,869 56,886
Herediter
Riwayat penyakitgangguan lambung ayah 1,711
0,119 0,191
2,545 0,603 10,747
Riwayat penyakitgangguan lambung ibu 3,659
0,172 0,056
3,295 0,920 11,801
Riwayat penyakitgangguan lambung kakek 2,158
0,133 0,142
5,350 0,445 64,297
Riwayat penyakitgangguan lambung nenek 0,205
0,041 0,651
0,907 0,856
0,961 Golongan darah
0,100 0,029
0,752 1,230
0,340 4,453
Nyata atau signifikan pada p0,05 Nyata atau signifikan pada p0,01
x
2
= Pearson Chi Square C = koefisien kontingensi
p = nilai signifikansi Pearson Chi Square atau uji lanjut Fisher OR = Odds Ratio estimasi risiko
95 CI = Confidence Interval atau selang kepercayaan 95
Lampiran 5 Tabel Hasil uji regresi logistik tahap 1
Variabel B
S.E. Wald df Sig.
OR Exp-B
95,0 C.I.for ExpB Batas Bawah Batas Atas
Riwayat penyakit -18.468 4.027E3 .000 1 .996
.000 .000
. Keteraturan Makan
-19.131 4.037E3 .000 1 .996 .000
.000 .
Frekuensi Makan -1.169
1.375 .724 1 .395 .311
.021 4.594
Keb. Minum Soda 2.030
1.375 2.179 1 .140 7.614
.514 112.789
Keb. Mengkonsumsi Asam 2.192
1.501 2.131 1 .144 8.950
.472 169.722
Konsumsi Lemak .115
1.362 .007 1 .932 1.122
.078 16.185
Keb. Konsumsi Antasida -1.005
1.144 .770 1 .380 .366
.039 3.451
Aktivitas Fisik -.001
.006 .043 1 .836 .999
.987 1.011
Stres .138
.092 2.274 1 .132 1.148
.959 1.374
Konstanta 12.249 4.027E3 .000 1 .998 2.089E5
df : derajat bebas
Keb. : kebiasaan
Lampiran 6 Tabel Hasil uji regresi logistik tahap 2
Variabel B
S.E. Wald df Sig.
OR Exp-B
95,0 C.I.for ExpB Batas Bawah Batas Atas
Riwayat penyakit -18.367
4.428E3 .000 1 .997 .000
.000 .
Frekuensi Makan -2.407
1.243 3.749 1 .053 .090
.008 1.030
Keb. Minum Soda 2.238
1.277 3.074 1 .080 9.379
.768 114.554
Keb. Mengkonsumsi Asam
1.261 1.387 .827 1 .363
3.529 .233
53.488 Konsumsi Lemak
.392 1.235 .100 1 .751
1.479 .131
16.651 Keb. Konsumsi Antasida
-.471 .938 .252 1 .616
.625 .099
3.929 Aktivitas Fisik
.001 .005 .066 1 .797
1.001 .991
1.012 Stres
.148 .082 3.241 1 .072
1.160 .987
1.363 Konstanta
10.904 4.428E3 .000 1 .998 5.437E4
df : derajat bebas
Keb. : kebiasaan
Lampiran 7 Tabel Hasil uji regresi logistik tahap 3
Variabel B
S.E. Wald df Sig.
OR Exp-B
95,0 C.I.for ExpB Batas Bawah Batas Atas
Frekuensi Makan -1.918
1.071 3.207 1 .073 .147
.018 1.199
Keb. Minum Soda 1.653
1.054 2.460 1 .117 5.223 .662
41.217 Keb. Mengkonsumsi Asam
1.511 1.408 1.151 1 .283 4.530
.287 71.540
Konsumsi Lemak 1.000
1.209 .684 1 .408 2.718 .254
29.063 Keb. Konsumsi Antasida
-.521 .977 .285 1 .594
.594 .088
4.028 Aktivitas Fisik
.004 .005 .762 1 .383 1.004
.995 1.014
Stres .203
.086 5.578 1 .018 1.225 1.035
1.450 Konstanta
-11.013 4.506 5.973 1 .015
.000 df
: derajat bebas Keb.
: kebiasaan
Lampiran 8 Tabel Hasil uji regresi logistik tahap 4
Variabel B
S.E. Wald df Sig.
OR Exp-
B 95,0 C.I.for ExpB
Batas Bawah
Batas Atas
Frekuensi Makan -2.143
1.006 4.536 1 .033 .117
.016 .843
Keb. Minum Soda 1.771
1.053 2.829 1 .093 5.879 .746
46.317 Keb. Mengkonsumsi Asam
1.598 1.378 1.345 1 .246 4.943
.332 73.564
Konsumsi Lemak 1.018
1.184 .740 1 .390 2.769 .272
28.178 Aktivitas Fisik
.004 .005 .692 1 .406 1.004
.994 1.014
Stres .209
.085 6.059 1 .014 1.232 1.043
1.455 Konstanta
-12.102 4.021 9.056 1 .003
.000 df
: derajat bebas Keb.
: kebiasaan
Lampiran 9 Tabel Hasil uji regresi logistik tahap 5
Variabel B
S.E. Wald df Sig.
OR Exp-
B 95,0 C.I.for ExpB
Batas Bawah
Batas Atas
Frekuensi Makan -2.118
.994 4.535 1 .033 .120
.017 .845
Keb. Minum Soda 1.828
1.041 3.084 1 .079 6.224 .809
47.894 Keb. Mengkonsumsi Asam
1.913 1.324 2.087 1 .149 6.774
.505 90.787
Konsumsi Lemak .552
.991 .310 1 .578 1.737 .249
12.116 Stres
.223 .083 7.228 1 .007 1.249
1.062 1.470
Konstanta -11.852
3.888 9.291 1 .002 .000
df : derajat bebas
Keb. : kebiasaan
Lampiran 10 Tabel Hasil uji regresi logistik tahap 6
Variabel B
S.E. Wald df Sig.
OR Exp-
B 95,0 C.I.for ExpB
Batas Bawah
Batas Atas
Frekuensi Makan -2.343
.918 6.507 1 .011 .096
.016 .581
Keb. Minum Soda 1.864
1.038 3.222 1 .073 6.447 .843
49.336 Keb. Mengkonsumsi Asam
2.176 1.265 2.959 1 .085 8.810
.738 105.116
Stres .223
.083 7.290 1 .007 1.250 1.063
1.470 Konstanta
-11.098 3.555 9.748 1 .002
.000 df
: derajat bebas Keb.
: kebiasaan
Lampiran 11 Tabel Hasil uji regresi logistik tahap 7
Variabel B
S.E. Wald df Sig.
OR Exp-
B 95,0 C.I.for ExpB
Batas Bawah
Batas Atas
Frekuensi Makan -2.500
.864 8.376 1 .004 .082
.015 .446
Keb. Minum Soda 2.192
.997 4.831 1 .028 8.954 1.268
63.225 Stres
.194 .071 7.486 1 .006 1.215
1.057 1.396
Konstanta -8.535
2.656 10.327 1 .001 .000
df : derajat bebas
Keb. : kebiasaan
FAKTOR RISIKO DISPEPSIA PADA MAHASISWA INSTITUT PERTANIAN BOGOR IPB
ANDRI SUSANTI
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ABSTRACT
ANDRI SUSANTI. Risk Factor of Dyspepsia in Bogor Agricultural University Students. Supervised by DODIK BRIAWAN and VERA URIPI.
This study analyzed the risk factors of dyspepsia in university students. This study applied a case control study. For this purpose, two groups of samples
were selected purposively based of gastric disorder history. Case group is first grade university students with gastric disorder gastritis or peptic ulcer history in
last six months, whereas control group is first grade university students who never had gastric disorder. The total of 120 university students were taken as
samples, consist of 60 students for case 24 male and 36 female and 60 students for control 24 male and 36 female. Data were collected include gastric
disorder history, dyspepsia symptom, characteristic of samples, nutritional status, eating habit, smoking, alcohol consumption, physical activity, drugs consumption
include antacid drug, stress, blood type, and family disease history of gastritis or peptic ulcer. The result of this study, showed that frequency of dyspepsia in case
group was higher than control group p0,05. Gastric disorder history gastritis or peptic ulcer related to frequency of dyspepsia p0,05. The body mass index
BMI scores of samples had no difference in both of the groups p0,05. Having meal regularly, meal frequency, softdrink consumption habit, and fat intake
related significantly with frequency of dyspepsia p0,05. Physical activity, taking antacid drug, and stress level related significantly with frequency of dyspepsia
p0,05. family disease history and blood type had no relation with frequency of dyspepsia. The multiple logistic regression analysis showed that the significant
risk factors of dyspepsia are meal frequency more than twice per day OR 0,082; 95 CI: 0,015-0,446, habitually consume carbonated drink OR 8,954; 95 CI:
1,268-63,225, and higher stress level OR 1,215; 95 CI: 1,057-1,369. The conclusion, eating frequency more than twice per day can reduce risk of
dyspepsia, in the other way, consume carbonated drink more than three bottles per week, and higher stress level precisely increase the risk of dyspepsia.
Keyword: risk factor, dyspepsia, university students
RINGKASAN
Andri Susanti. Faktor Risiko Dispepsia Pada Mahasiswa Institut Pertanian Bogor IPB. Di Bawah Bimbingan Dodik Briawan dan Vera Uripi
Penelitian ini bertujuan mempelajari faktor risiko dispepsia pada mahasiswa Institut Pertanian Bogor IPB. Tujuan khusus penelitian adalah: 1
Mempelajari karakteristik contoh; 2 Menganalisis gejala dispepsia pada contoh; 3 Menilai status gizi contoh; 4 Menganalisis kebiasaan makan contoh; 5
Menganalisis kebiasaan
merokok contoh;
6 Mengetahui
kebiasaan mengkonsumsi minuman beralkohol contoh; 7 Mengukur aktivitas fisik contoh; 8
Mengetahui konsumsi obat-obatan contoh; 9 Mengukur tingkat stres contoh; 10 Menganalisis faktor herediter contoh, meliputi golongan darah dan riwayat
gangguan lambung pada keluarga contoh; 11 Menganalisis faktor risiko yang berpengaruh pada frekuensi dispepsia pada contoh.
Penelitian ini dilakukan dengan desain studi kasus-kontrol berpasangan, berdasarkan jenis kelamin, umur, dan latar belakang sosial-ekonomi,
dilaksanakan pada bulan Agustus-September 2010 di kampus IPB Darmaga, Bogor. Contoh penelitian ini adalah mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama
TPB IPB T.A. 20102011 yang diambil secara purposive dari populasi yang memenuhi kriteria penelitian kriteria kasus dan kontrol dan bersedia untuk
menjadi responden. Contoh berjumlah 120 orang dengan rincian 60 kelompok kasus 24 putra dan 36 putri, dan 60 kelompok kontrol 24 putra dan 36 putri.
Data sekunder diperoleh dari Direktorat TPB IPB, berupa jumlah mahasiswa TPB IPB dan pembagian kelasnya. Data primer yang dikumpulkan adalah riwayat
penyakit atau gangguan lambung, karakteristik contoh, kebiasaan makan, kebiasaan merokok, kebiasaan mengkonsumsi alkohol, tingkat aktivitas fisik,
konsumsi obat-obatan, tingkat stres, golongan darah, dan riwayat penyakit keluarga. Pengolahan data menggunakan software Microsoft Office Excel 2007
dan SPSS Statistical Product and Service Solution 16 for Windows. Data disajikan dalam bentuk tabulasi silang, dianalisis secara deskriptif dan statistik
uji beda, uji hubungan, dan uji regresi.
Sebagian besar contoh kasus dan kontrol berada pada masa remaja akhir umur 18-19 tahun, jumlah uang saku sedang Rp 400.000 - Rp 600.000
per bulan, suku terbanyak Sunda dan Jawa, dan berasal dari Jawa Barat dan Sumatera. Sebagian besar contoh berada pada status gizi normal dan tidak
terdapat perbedaan yang nyata p0,05 status gizi contoh pada kelompok kasus dan kontrol. Status gizi tidak berhubungan dengan frekuensi dispepsia p0,05.
Sebagian besar contoh kasus dan kontrol berada pada kategori frekuensi dispepsia jarang kasus 81,7 dan kontrol 100. Frekuensi dispepsia
contoh kelompok kasus lebih sering dibandingkan dengan kelompok kontrol p0,05. Riwayat penyakit atau gangguan lambung contoh berhubungan nyata
dengan frekuensi dispepsia yang dialami contoh p0,05. Contoh yang memiliki riwayat gangguan lambung gastritis atau tukak peptik sebelumnya lebih berisiko
mengalami dispepsia dibandingkan yang tidak memiliki riwayat OR: 1,224; 95 CI: 0,086-1,380.
Contoh pada kelompok kontrol makan lebih teratur dibandingkan kelompok kasus p0,05. Secara keseluruhan, sebagian besar contoh terbiasa
makan lebih dari dua kali sehari. Akan tetapi, pada kelompok kasus lebih banyak yang frekuensi makannya kurang dari dua kali sehari atau tidak tertentu
dibandingkan kelompok kontrol p0,05. Dibandingkan dengan kelompok kontrol, contoh pada kelompok kasus lebih banyak yang jeda waktu makannya
tidak menentu, tidak terbiasa sarapan, terbiasa mengkonsumsi makanan selingan, dan memiliki kebiasaan membatasi asupan makanan. Namun uji beda
menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata pada jeda waktu makan, kebiasaan sarapan, mengkonsumsi makanan selingan, dan membatasi asupan
pada kelompok kasus dan kontrol p0,05. Keteraturan dan frekuensi makan berhubungan dengan frekuensi dispepsia p0,05. Makan teratur dapat
mengurangi risiko munculnya gejala dispepsia OR: 0,810; 95 CI: 0,715-0,918. Frekuensi makan lebih dari dua kali sehari dapat mengurangi risiko munculnya
gejala dispepsia OR: 0,113; 95 CI: 0,030-0,423. Jeda waktu makan, kebiasaan sarapan, kebiasaan mengkonsumsi makanan selingan, dan
membatasi asupan makanan tidak berhubungan dengan frekuensi dispepsia p0,05.
Contoh pada kelompok kasus cenderung lebih banyak yang memiliki kebiasaan minum teh, kopi, minuman berkarbonasi, mengkonsumsi makanan
pedas, makanan atau minuman asam, dan suplemen. Terdapat perbedaan yang nyata kebiasaan minum kopi, minuman berkarbonasi, kombinasi teh dan kopi,
kombinasi teh dan minuman berkarbonasi, kombinasi teh, kopi dan minuman berkarbonasi, serta makan makanan asam pada kelompok kasus dan kontrol
p0,05. Kebiasaan minum minuman berkarbonasi dan mengkonsumsi makanan atau minuman asam berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia
contoh p0,05. Kebiasaan minum minuman berkarbonasi meningkatkan risiko sering munculnya gejala dispepsia OR: 6,907; 95 CI: 1,423-33,519. Demikian
juga kebiasaan mengkonsumsi makanan atau minuman asam meningkatkan risiko sering munculnya gejala dispepsia OR: 9,123; 95 CI: 1,129-73,735.
Tingkat kecukupan vitamin A pada kelompok kasus cenderung lebih banyak yang defisit dibandingkan pada kontrol p0,05. Tingkat kecukupan
vitamin C pada sebagian besar contoh kasus 80 dan kontrol 88,3 berada pada kategori defisit dengan kecenderungan kasus lebih tinggi tingkat kecukupan
vitamin C-nya. Contoh pada kelompok kasus cenderung lebih banyak yang mengkonsumsi lemak 30 Angka Kecukupan Energi AKE, sedangkan
kelompok kontrol sebaliknya. Hampir keseluruhan contoh pada kelompok kasus dan kontrol mengkonsumsi natrium dalam jumlah cukup, tetapi masih defisit
konsumsi kalium. Tingkat kecukupan vitamin C, konsumsi natrium, dan kalium antara kasus dan kontrol tidak berbeda nyata p0,05. Konsumsi lemak
berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia p0,05, sedangkan variabel konmsumsi zat gizi lainnya tidak berhubungan nyata p0,05. Mengkonsumsi
lemak kurang dari 30 AKE meningkatkan risiko sering munculnya gejala dispepsia OR: 5,683; 95 CI : 1,409-22,557.
Hanya 10 contoh pada kelompok kasus dan 3,3 pada kelompok kontrol yang memiliki kebiasaan merokok. Keseluruhan contoh yang memiliki
kebiasaan merokok berjenis kelamin pria, jumlah rokok yang dihisap per hari antara 1-9 batang. Usia awal merokok contoh antara 12-18 tahun dan sebagian
besar merokok sejak usia 15 tahun. Tidak ada contoh yang pernah mengkonsumsi minuman beralkohol selama tinggal di asrama.
Contoh pada kelompok kasus cenderung lebih banyak yang memiliki kebiasaan melakukan olahraga kasus 66,7 dan kontrol 50 p0,05.
Kebiasaan olahraga tidak berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia p0,05. Bagian terbesar aktivitas fisik contoh pada kelompok kasus termasuk
kategori aktif 75,0, sedangkan pada kelompok kontrol termasuk tidak aktif 51,7. Tingkat aktivitas fisik berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia
p0,05. Contoh yang termasuk kategori tidak aktif memiliki risiko mengalami dispepsia lebih sering dibandingkan yang aktif OR: 7,031; 95CI: 0,869-
56,886.
Kebiasan mengkonsumsi obat-obatan contoh pada kelompok kasus cenderung lebih tinggi dibandingkan pada kontrol p0,05. Lebih dari separuh
contoh pada kelompok kasus 53,3 dan kontrol 84,0 termasuk dalam kategori “bukan pengguna obat harian” mengkonsumsi obat kurang dari atau
sama dengan tujuh tabletkapsulkaplet per minggu. Konsumsi obat-obatan tidak berhubungan nyata dengan frekuensi gejala dispepsia p0,05. Terdapat 33,3
contoh pada kelompok kasus memiliki kebiasaan mengkonsumsi antasida. Kelompok kasus lebih banyak yang mengkonsumsi antasida dibandingkan
kontrol hampir tidak ada yang terbiasa mengkonsumsi antasida p0,05. Kebiasaan mengkonsumsi antasida berhubungan nyata dengan frekuensi
dispepsia yang dialami contoh p0,05. Semakin sering frekuensi dispepsia contoh, maka cenderung memiliki kebiasaan mengkonsumsi antasida untuk
mengurangi gejala OR: 8,143; 95 CI: 2,191-30,263.
Pada kelompok kasus cenderung memiliki tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol p0,05. Tingkat stres berhubungan
nyata dengan gejala dispepsia p0,05. Semakin tinggi tingkat stres contoh maka berhubungan dengan semakin sering muncul gejala dispepsia yang
dialami contoh OR: 7,031; 95 CI: 0,869-56,886.
Sebanyak 76,7 contoh pada kelompok kontrol dan 40 pada kelompok kasus tidak memiliki riwayat penyakit keluarga yang berupa gastritis maupun
tukak peptik. Riwayat penyakit gastritis paling banyak ditemukan pada ibu contoh. Terdapat 43,3 contoh pada kelompok kasus dan 40 pada kelompok
kontrol yang memiliki golongan darah O. Hasil uji beda menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata p0,05 riwayat penyakit ibu pada kelompok
kasus dan kelompok kontrol, sedangkan pada riwayat penyakit gastritis dan tukak peptik pada ayah, kakek, nenek, dan golongan darah contoh tidak berbeda
nyata p0,05. Faktor herediter riwayat penyakit keluarga dan golongan darah contoh tidak berhubungan dengan frekuensi munculnya gejala dispepsia.
Faktor risiko yang berpengaruh nyata p0,05 terhadap frekuensi gejala dispepsia berdasarkan analisis regresi logistik adalah frekuensi makan lebih dari
dua kali per hari OR 0,082; 95 CI: 0,015-0,446, kebiasaan minum minuman berkarbonasi lebih dari tiga botol kecil per minggu OR 8,954; 95 CI: 1,268-
63,225 dan tingkat stres OR 1,215; 95 CI: 1,057-1,369. Semakin jarang
frekuensi makan ≤ 2 kali per hari, memiliki kebiasaan minum minuman berkarbonasi 3 botol per minggu, dan semakin tinggi tingkat stres, maka
semakin tinggi risiko untuk mengalami dispepsia.
Makan secara teratur dan menerapkan makan lebih dari dua kali per hari lebih baik untuk membantu lambung beradaptasi sehingga sekresi asam
lambung terkontrol. Membatasi minuman dan makanan iritatif, terutama minuman berkarbonasi. Meminimalkan stres diperlukan untuk mencegah timbulnya
gangguan-gangguan kesehatan akibat perubahan fisiologis maupun biokemis akibat stres, termasuk dispepsia.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kesehatan merupakan salah satu faktor yang penting dalam menentukan pembangunan. Kesehatan adalah investasi, oleh karena itu mereka yang selalu
memelihara kesehatannya akan memperoleh hasil berupa produktivitas kerja yang semakin meningkat, peluang hidup yang lebih panjang, dan hidup sejahtera
tanpa dirongrong penyakit Khomsan 2002. Produktivitas pada usia remaja dapat tercermin pada prestasi belajarnya. Gangguan kesehatan sekecil apapun
akan mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Status kesehatan seseorang ditentukan oleh faktor-faktor internal individu dan faktor eksternal lingkungan.
Faktor internal tersebut antara lain gaya hidup dan kebiasaan makan. Di Indonesia, populasi remaja berjumlah 21 dari total penduduk, dengan
jumlah ±44 juta jiwa. Masa remaja ditandai oleh perubahan yang besar, Hall 1989 dalam Papalia dan Olds 1998 menyebut masa ini sebagai periode
“storm and stress”, yaitu suatu masa dimana ketegangan emosi meningkat sebagai akibat perubahan fisik dan kelenjar. Pola makan yang tidak teratur dan
gaya hidup yang cenderung mudah terbawa arus umumnya menjadi masalah yang timbul pada remaja.
Perkembangan teknologi, industri, dan era keterbukaan informasi saat ini membawa konsekuensi terhadap perubahan gaya hidup, kondisi lingkungan, dan
perilaku masyarakat, termasuk remaja. Kecenderungan mengkonsumsi makanan cepat saji dan makanan instan, gaya hidup menjadi lebih sedentary, stres, dan
polusi telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Gaya hidup dan kebiasaan makan yang salah akan secara langsung akan mempengaruhi organ-
organ pencernaan dan menjadi pencetus penyakit pencernaan. Salah satu penyakit pencernaan yang sering dikeluhkan adalah gangguan
lambung. Lambung adalah reservoir pertama makanan dalam tubuh dan di organ tersebut makanan melalui proses pencernaan dan penyerapan sebagian
zat gizi. Gangguan lambung berupa ketidaknyamanan pada perut bagian atas atau dikenal sebagai sindrom dispepsia. Dispepsia dapat terjadi akibat kelainan
organik maupun fungsional. Gangguan organik yang umum terjadi pada lambung antara lain gastritis dan tukak peptik dikenal dengan sakit maag, esophageal
reflux disease, penyakit kandung empedu, gangguan hati, dan patologi lainnya Beyer 2004. Dalam penelitian ini, dispepsia diteliti sebagai suatu akibat dari
adanya riwayat gangguan lambung yaitu gastritis atau tukak peptik serta gaya
hidup sehari-hari kebiasaan makan, aktivitas fisik, kebiasaan merokok, stres, dan lain-lain.
Gatritis merupakan inflamasi dari lapisan mukosa dan submukosa gaster atau lambung. Tukak peptik ulkus peptikum adalah suatu istilah yang menunjuk
pada suatu kelompok penyakit ulserasi perlukaan saluran makanan bagian atas yang melibatkan terutama duodenum dan lambung. Patogenesis tukak peptik
sama-sama melibatkan asam-pepsin. Bentuk utama tukak peptik adalah tukak lambung dan tukak duodeni Mc Guigan 1995. Keluhan paling banyak pada
gastritis dan tukak peptik berupa nyeri perut atau ketidaknyamanan perut bagian atas dispepsia, meliputi mual, muntah, kembung, rasa penuh atau terbakar di
perut bagian atas Darya dan Wibawa 2009. Munculnya gastritis terkait dengan berbagai pengobatan, faktor diet, lingkungan, gaya hidup, infeksi bakteri
Helicobacter pylori H. pylori, serta faktor psikologis stres. Gastritis merupakan masalah kesehatan di masyarakat, prevalensi
gastritis yang cukup tinggi, mempengaruhi hingga 50 orang dewasa di negara- negara barat. Di Indonesia prevalensi gastritis sebanyak 0,99 dan insiden
gastritis sebesar 115100.000 penduduk Yanti 2009. Prevalensi tukak peptik di
Indonesia pada beberapa penelitian ditemukan antara 6-15 terutama pada usia 20-50 tahun Suyono 2001 dalam Annisa 2009.
Prevalensi dispepsia sendiri secara global bervariasi antara 7-45 tergantung pada definisi yang digunakan dan lokasi geografis. Prevalensi
dispepsia di Amerika Serikat sebesar 23-25,8, di India 30,4, New Zealand 34,2, Hongkong 18,4, dan Inggris 38-41
Mahadeva dan Lee 2006 . Di
Indonesia, dispepsia menempati urutan ke-15 dari 50 penyakit yang dengan pasien rawat inap terbanyak
Depkes 2006 . Laporan rawat jalan di RSUP dr.
Sardjito Yogyakarta menjelaskan bahwa pasien yang datang dengan keluhan dispepsia mencapai 40 kasus per tahun Dwijayanti, Ratnasari, dan
Susetyowati 2008. Menurut poliklinik IPB 2004 gangguan saluran pencernaan berupa gejala mual dan gangguan nafsu makan merupakan salah satu penyakit
yang paling banyak diderita mahasiswa TPB IPB. Pusing, nyeri lambung, mual, perut kembung merupakan keluhan kesehatan utama yang dialami oleh
mahasiswa TPB Mulyani 2007. Mual merupakan salah satu gejala dispepsia yang ditimbulkan akibat gangguan pencernaan seperti gastritis maupun tukak.
Gastritis dapat berkembang menjadi tukak peptik dan jika berlanjut dapat berkembang menjadi kanker lambung. Penelitian di Inggris menemukan
hubungan antara tukak peptik dengan kanker lambung pada orang dewasa. Gejala-gejala gastritis dan tukak peptik, yang juga dikenal dengan sindrom
dispepsia cukup mengganggu penderitanya. Sekitar 30 penderita dispepsia dilaporkan tidak masuk kerja atau sekolah ketika gejala-gejala dispepsia
menyerang. Dispepsia merupakan suatu hal yang mahal untuk pelayanan kesehatan karena biaya konsultasi, investigasi, dan pengobatannya.
Sejak tahun 2000, Institut Pertanian Bogor IPB mewajibkan seluruh mahasiswa baru tinggal bersama dalam asrama selama satu tahun. Tahun
pertama bagi mahasiswa baru IPB disebut Tingkat Persiapan Bersama TPB. Perubahan lingkungan dan kebiasan sehari-hari dari yang semula tinggal di
rumah bersama keluarga menjadi tinggal di asrama, seringkali membuat stres mahasiswa TPB.
Kondisi lingkungan asrama dan padatnya jadwal kegiatan mahasiswa dapat menyebabkan pola makan tidak teratur dan gaya hidup yang berubah
karena berbagai faktor di sekitar mahasiswa. Stres, makan tidak teratur dan sembarangan, merokok, minum alkohol, minum kopi dapat menimbulkan
masalah pencernaan, salah satunya berupa gangguan lambung. Seseorang yang telah memiliki masalah pencernaan sebelumnya, akan sangat rentan
mengalami dispepsia karena kebiasaan yang tidak sehat. Bagi orang yang sebelumnya tidak memiliki riwayat penyakit pun, dimungkinkan untuk terjangkit
dispepsia karena faktor-faktor di atas. Masalah gizi pada mahasiswa yang masih tergolong remaja akhir ini perlu mendapat perhatian khusus karena berpengaruh
besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan tubuh serta dampaknya pada masalah gizi dan kesehatan pada masa dewasa. Mempertimbangkan hal-hal di
atas, penelitian untuk menganalisis faktor risiko Dispepsia pada mahasiswa TPB IPB menarik untuk dilakukan.
Tujuan Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mempelajari faktor risiko dispepsia pada mahasiswa Institut Pertanian Bogor IPB.
Tujuan Khusus
1. Mempelajari karakteristik contoh. 2. Menganalisis gejala dispepsia pada contoh.
3. Menilai status gizi contoh. 4. Menganalisis kebiasaan makan contoh.
5. Menganalisis kebiasaan merokok contoh. 6. Mengetahui kebiasaan mengkonsumsi minuman beralkohol contoh.
7. Mengukur aktivitas fisik contoh. 8. Mengetahui konsumsi obat-obatan contoh.
9. Mengukur tingkat stres contoh. 10. Menganalisis faktor herediter contoh, meliputi golongan darah dan riwayat
gangguan lambung pada keluarga contoh. 11. Menganalisis faktor risiko yang berpengaruh pada gejala dispepsia yang
dialami contoh.
Hipotesis
1. Terdapat perbedaan status gizi, gejala dispepsia yang dialami, kebiasaan makan, merokok, konsumsi alkohol, aktivitas fisik, konsumsi obat-obatan,
tingkat stres, dan faktor herediter contoh pada kelompok kasus dan kontrol.
2. Terdapat hubungan antara status gizi, riwayat gangguan lambung gastritis atau tukak peptik, kebiasaan makan, merokok, konsumsi
alkohol, aktivitas fisik, konsumsi obat-obatan, tingkat stres, dan faktor herediter dengan gejala dispepsia yang dialami contoh.
3. Status gizi, kebiasaan makan, merokok, konsumsi alkohol, aktivitas fisik, konsumsi obat-obatan, tingkat stres, dan faktor herediter merupakan
faktor risiko dispepsia contoh
Kegunaan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi umum mengenai faktor-faktor yang berkaitan dengan peningkatan atau penurunan risiko
gangguan lambung dan dispepsia sehingga menjadi masukan dalam usaha pencegahan penyakit tersebut. Faktor risiko tersebut dapat berupa hal yang
menetap genetik dan hal yang bisa diubah kebiasaan makan dan gaya hidup. Upaya pencegahan tersebut dapat dilakukan melalui pengaturan kebiasaan
makan dan gaya hidup. Selain itu, adanya penelitian ini juga dapat memberikan informasi awal untuk penelitian lebih lanjut mengenai faktor risiko gangguan
lambung yang lainnya.
TINJAUAN PUSTAKA
Dispepsia
Berdasarkan konsensus Roma tahun 1999, dispepsia diartikan sebagai rasa sakit atau ketidaknyamanan yang berpusat pada perut bagian atas Chang
2006. Ketidaknyamanan tersebut dapat berkaitan dengan masalah organik pada saluran cerna bagian atas, seperti gastroesophageal reflux disease GERD,
gastritis, tukak peptik, gangguan kandung empedu kolesistitis, atau patologi teridentifikasi lainnya. Dispepsia fungsional atau dispepsia nonulkus nonulcer
dyspepsia merupakan ketidaknyamanan perut bagian atas, yang menetap atau kambuhan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya secara organik atau tidak
disertai dengan gangguan pada organ pencernaan atas. Mekanisme dasar pada dispepsia nonulkus mungkin berhubungan dengan hipersensitivitas visceral
terhadap asam atau dilatasi lambung, gangguan akomodasi lambung, gangguan pada bagian otak yang berkaitan dengan pencernaan, dan motilitas atau
pengosongan lambung yang abnormal. Diet, stres, dan faktor gaya hidup lainnya dapat berkontribusi terhadap munculnya gejala dispepsia Beyer 2004. Remaja
rentan mengalami dispepsia karena pola makan yang tidak teratur dan gaya hidup yang cenderung mudah terbawa arus mengkonsumsi makanan cepat saji,
dan makanan instan, gaya hidup menjadi lebih sedentary menginginkan segala sesuatu yang mudah, serta rentan stres.
Prevalensi dispepsia secara global bervariasi antara 7-45. Prevalensi dispepsia di Amerika Serikat 23,0-25,8, di India 30,4, Hongkong 18,4,
Australia 24,4-38,2, dan China sebesar 23,3. Penelitian Reshetnikov et al. 2001 menemukan 27 remaja putri dan 16 remaja putra mengalami
dispepsia. Penelitian mengenai dispepsia di Indonesia lebih banyak dilakukan di rumah sakit hospital based. Depkes 2006 menunjukkan bahwa dispepsia
menempati urutan ke-15 dari daftar 50 penyakit dengan pasien rawat inap terbanyak. . Laporan rawat jalan di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta menjelaskan
bahwa pasien yang datang dengan keluhan dispepsia mencapai 40 kasus per tahun Dwijayanti, Ratnasari, dan Susetyowati 2008.
Gejala dispepsia meliputi rasa nyeri pada epigastrum ulu hati, panas seperti terbakar di dada, kembung, perut penuh atau cepat kenyang, mual,
muntah, dan sering bersendawa Wibawa 2006. Menurut konsensus Roma tahun 1999, klasifikasi klinis praktis dispepsia didasarkan pada keluhan yang
dominan. Pada kriteria tersebut, dinyatakan bahwa dispepsia ditandai dengan
satu atau lebih gejala yang diperkirakan berasal dari daerah gastroduodenal. Salah satu subtipe dispepsia adalah dispepsia dengan gejala-gejala menyerupai
ulkus atau tukak peptik. Keluhan yang menonjol pada subtipe tersebut antara lain nyeri epigastrum episodik yang terlokalisasi, nyeri tersebut hilang setelah
pemberian antasida Chang 2006. Gangguan lambung berupa gastritis dan tukak peptik menimbulkan gejala-gejala dispepsia yang mengganggu
penderitanya.
Gangguan Lambung
Lambung merupakan bagian dari saluran pencernaan yang berbentuk seperti kantung, dapat berdilatasi, dan berfungsi mencerna makanan dibantu
oleh asam klorida HCl dan enzim-enzim seperti pepsin, renin, dan lipase. Lambung memiliki dua fungsi utama, yaitu fungsi pencernaan dan fungsi motorik.
Fungsi pencernaan dan sekresi lambung berkaitan dengan pencernaan protein, sintesis dan sekresi enzim-enzim pencernaan. Fungsi motorik lambung terdiri
atas penyimpanan makanan sampai makanan dapat diproses dalam duodenum, pencampuran makanan dengan asam lambung, hingga membentuk suatu kimus,
dan pengosongan makanan dari lambung ke dalam usus dengan kecepatan yang sesuai untuk pencernaan dan absorbsi dalam usus halus Wilson dan
Lester 1994. Secara anatomis lambung terdiri atas empat bagian, yaitu: cardia, fundus, body atau corpus, dan pylorus. Adapun secara histologis, lambung terdiri
atas beberapa lapisan, yaitu: mukosa, submukosa, muskularis mukosa, dan serosa Ganong 2003.
Lambung akan mensekresikan asam klorida HCl atau asam lambung dan enzim untuk mencerna makanan. Lambung memiliki motilitas khusus untuk
gerakan pencampuran makanan yang dicerna dan cairan lambung, untuk membentuk cairan padat yang dinamakan kimus kemudian dikosongkan ke
duodenum. Sel-sel lambung setiap hari mensekresikan sekitar 2500 ml cairan lambung yang mengandung berbagai zat, diantaranya adalah HCl dan
pepsinogen. HCl membunuh sebagan besar bakteri yang masuk, membantu pencernaan protein, menghasilkan pH yang diperlukan pepsin untuk mencerna
protein, serta merangsang empedu dan cairan pankreas. Asam lambung cukup pekat untuk menyebabkan kerusakan jaringan, tetapi pada orang normal mukosa
lambung tidak mengalami iritasi atau tercerna karena sebagian cairan lambung mengandung mukus, yang merupakan faktor perlindungan lambung Ganong
2003.
Sekresi asam lambung dipengaruhi oleh kerja saraf dan hormon. Sistem saraf yang bekerja yatu saraf pusat dan saraf otonom, yakni saraf simpatis dan
parasimpatis. Adapun hormon yang bekerja antara lain adalah hormon gastrin, asetilkolin, dan histamine. Terdapat tiga fase yang menyebabkan sekresi asam
lambung. Pertama, fase sefalik, sekresi asam lambung terjadi meskipun makanan belum masuk lambung, akibat memikirkan atau merasakan makanan.
Kedua, fase gastrik, ketika makanan masuk lambung akan merangsang mekanisme sekresi asam lambung yang berlangsung selama beberapa jam,
selama makanan masih berada di dalam lambung. Ketiga, fase intestinal, proses sekresi asam lambung terjadi ketika makanan mengenai mukosa usus. Produksi
asam lambung akan tetap berlangsung meskipun dalam kondisi tidur. Kebiasaan makan yang teratur sangat penting bagi sekresi asam lambung karena kondisi
tersebut memudahkan lambung mengenali waktu makan sehingga produksi lambung terkontrol Ganong 2003.
Gangguan lambung yang umum terjadi adalah gastritis dan tukak peptik tukak lambung dan tukak duodenum. Gastritis dan tukak peptik merupakan
penyakit yang erat kaitannya dengan asam lambung dan pepsin. Patofisiologi dasar dari gastritis dan tukak peptik adalah gangguan keseimbangan faktor
agresif asam lambung dan pepsin dan faktor defensif ketahanan mukosa. Penggunaan aspirin atau obat anti inflamasi non steroid lainnya, obat-obatan
kortikosteroid, penyalahgunaan alkohol, menelan substansi erosif, merokok, atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut dapat mengancam ketahanan mukosa
lambung. Gastritis dan tukak peptik menimbulkan gejala berupa nyeri, sakit, atau ketidaknyamanan yang terpusat pada perut bagian atas dispepsia Beyer
2004.
Gastritis
Gastritis adalah peradangan atau inflamasi pada lapisan mukosa dan submukosa lambung. Bila peradangan terjadi di duodenum, maka disebut
duodenitis. Gejalanya seperti mual, muntah, nyeri epigastrum, nafsu makan menurun, perut kembung akibat regangan lambung, dan kadang-kadang disertai
kejang perut serta perdarahan. Sekumpulan gejala mual, muntah, nyeri epigastrum, dan perut kembung disebut sebagai sindrom dispepsia. Pada
endoskopi, gastritis tampak sebagai perubahan warna mukosa lambung, sedangkan dalam gambaran radiologis gastritis tampak sebagai perubahan relief
dari mukosa Nurman 1990 diacu dalam Mulyani 2007. Gastritis dapat bersifat
akut dan kronis. Gastritis akut yang tidak diobati akan berkembang menjadi kronis, disertai dengan borok-borok luka pada dinding yang disebut tukak
lambung. Gastritis memegang peranan penting sebagai faktor penyebab ulkus atau tukak dan karsinoma. Gastritis kronis dapat menyebabkan fungsi lambung
terganggu. Kondisi ini akan mengurangi asupan makanan ke tubuh sehingga berat badan turun, penyerapan vitamin B
12
ikut terganggu sehingga dapat menyebabkan anemia Uripi 2004.
Meningkatnya produksi asam lambung dan berkurangnya daya tahan dinding lambung terhadap pengaruh dari luar akan menimbulkan gastritis.
Terdapat beberapa faktor yang dapat memicu penyakit ini, antara lain faktor makanan, obat-obatan atau zat kimia, dan faktor psikologis Uripi 2004. Faktor
makanan seperti penyimpangan cara makan, jenis makanan, dan jeda waktu makan dapat menyebabkan gastritis. Meningkatnya cairan lambung disebabkan
oleh makanan dan minuman seperti cuka, cabe, kopi, alkohol, dan makanan lain yang bersifat merangsang Uripi 2004. Kebiasaan makan tidak teratur akan
membuat lambung sulit untuk beradaptasi untuk mengeluarkan asam lambung. Jika hal ini berlangsung lama, produksi asam lambung akan berlebihan sehingga
dapat mengiritasi dinding mukosa pada lambung. Penyebab gastritis yang paling umum sebenarnya adalah infeksi bakteri
Helicobacter pylori H. pylori. Bakteri H. pylori adalah bakteri gram negatif yang bergerak dengan flagela. Infeksi bakteri ini termasuk infeksi yang umum terjadi
pada manusia Beyer 2004. Prevalensi H. pylori di negara berkembang dilaporkan lebih tinggi dibanding negara maju. Di negara berkembang, prevalensi
H. pylori berkisar antara 30-80 sedangkan di negara maju diperkirakan sebesar 10 Fardah, Ganuh dan Subijanto 2006. Bakteri H. pylori hidup secara
berkoloni di bawah lapisan selaput lendir mukosa dinding bagian dalam lambung dan menghasilkan urea sehingga mampu bertahan dalam suasana
asam. Fungsi selaput lendir pada lambung adalah untuk melindungi dinding lambung dari kerusakan akibat asam yang diproduksi lambung.
Tukak Peptik Ulkus Peptikum
Tukak peptik atau ulkus peptikum didefinisikan sebagai kerusakan atau hilangnya mukosa, submukosa sampai lapisan otot dari saluran cerna bagian
atas yang berkaitan dengan asam dan pepsin dalam patogenesisnya. Kerusakan mukosa yang tidak meluas sampai ke bawah epitel disebut erosi, walaupun
sering disebut juga sebagai tukak. Tukak peptik dapat ditemukan pada bagian
saluran cerna yang terkena getah asam lambung, yaitu distal oesofagus, lambung, duodenum, dan jejunum Wilson dan Lester 1994.
Keluhan yang sering diutarakan penderita adalah nyeri di daerah epigastrum ulu hati berupa nyeri yang tajam dan menyayat, atau terasa
tertekan, penuh atau terasa perih seperti pada seseorang yang lapar. Nyeri pada bagian kanan atau kiri epigastrum terjadi 30 menit setelah makan dan dapat
menjalar ke punggung. Nyeri akan terasa berkurang setelah makan atau minum antasida. Dispepsia juga dialami oleh penderita tukak peptik. Rasa nyeri pada
perut bagian atas merupakan gejala khas tukak, rasa nyeri diakibatkan oleh asam lambung asam lambung dan pepsin yang merangsang serabut syaraf di
dasar tukak. Selain itu, motilitas otot-otot dapat menambah rasa nyerinya. Gejala lain seperti rasa asam di mulut, mual, muntah, kembung, bersendawa, dan
berkurangnya nafsu makan Hadi 2002 dalam Harahap 2009. Luka yang timbul pada tukak peptik dapat mengakibatkan perdarahan. Bila jumlahnya sedikit,
darah tersebut akan keluar bersama feses. Feses akan berubah warna menjadi kehitaman, keadaan ini disebut melena. Bila jumlahnya sangat banyak, darah
akan dimuntahkan, keadaan ini disebut hematemesis Uripi 2004. Prevalensi tukak peptik di Indonesia pada beberapa penelitian ditemukan
antara 6-15 terutama pada usia 20-50 tahun Suyono 2001. Wilson dan Lester 1994 menyatakan bahwa tukak duodenum menyusun 80 dari keseluruhan
tukak peptik dan menyerang sekitar 10-12 populasi. Tukak duodenum umumnya menyerang pada kelompok umur yang lebih muda. Terjadinya tukak
duodenum pada umumnya disebabkan oleh hipersekresi asam lambung. Penyebab kenaikan asam lambung diantaranya: jumlah sel parietal lebih banyak,
sel parietal lebih sensitif terhadap rangsangan, sekresi gastrin yang berlebihan, dan hiperfungsi kelenjar. Kelainan lain yang ditemukan pada tukak duodenum
adalah pengosongan asam lambung terlalu cepat sehingga beban asam lambung pada mukosa duodenum tinggi. Pada tukak lambung, sering ditemukan
kelainan berupa keterlambatan pengosongan lambung. Diperkirakan bahwa regurgitasi isi duodenum yang mengandung empedu dapat mencetuskan trauma
mukosa lambung yang kemudian berlanjut dengan ulserasi lambung Wilson dan Lester 1994.
Faktor yang mempengaruhi terjadinya erosi dan tukak peptik adalah perimbangan antara faktor agresif asam lambung dan pepsin dan faktor
pertahanan defensif dari mukosa. Normalnya, mukosa lambung dan duodenum
terlindung dari asam lambung dan pepsin melalui sekresi mukus, produksi bikarbonat, pembersihan kelebihan asam lambung difusi ion hidrogen melalui
aliran darah, dan regenerasi sel epitelial. Produksi mukus distimulasi oleh prostaglandin Beyer 2004. Selain faktor agresif dan defensif, terdapat
beberapa hal yang menjadi faktor kontibusi untuk terjadinya tukak peptik antara lain jenis kelamin, faktor stres, herediter, merokok, obat-obatan, dan infeksi
bakteri Julius 1992. Beyer 2002 menyatakan bahwa penyebab primer tukak peptik adalah infeksi H. pylori, gastritis, penggunaan aspirin dan obat
antiinflamasi non steroid, kortikosteroid, dan stres. Konsumsi alkohol berlebihan dapat merusak mukosa lambung, memperburuk gejala tukak peptik, dan
mengganggu penyembuhan tukak peptik. Merokok dapat mengganggu faktor defensif lambung menurunkan sekresi bikarbonat dan aliran darah di mukosa,
memperburuk peradangan, dan berkaitan erat dengan komplikasi tambahan karena infeksi H. pylori. Patofisiologi tukak peptik dipaparkan dalam gambar 1.
Gambar 1 Etiologi, patogenesis, dan manajemen tukak peptik atau peptic ulcer Beyer 2004
Gastritis
Manajemen Gizi
Status gizi yang baik normal
membantu menurunkan risiko
infeksi bakteri dan penyakit degeneratif
Aspirin OAINS lainnya
Infeksi H. pylori
Stres
TUKAK PEPTIK
ETIOLOGI
Erosi lapisan mukosa, submukosa, atau lapisan otot dinding saluran cerna atas
Manajemen Medis Manajemen Perilaku
Meningkatkan intik asam lemak rantai
pendek dan rantai sedang MCT yang
memiliki efek perlindungan
PATOGENESIS
OAINS : Obat Anti Inflamasi Non Steroid
Mengurangi atau menghindari OAINS
Menggunakan antibiotik, antasida
Menekan asam lambung dengan: Proton pump
inhibitor atau blok reseptor H
2
Menghindari rokok
Mengurangi konsumsi alkohol, bumbu tajam, kopi dan kafein
Kebiasaan Merokok
Rokok adalah silinder kertas yang berisi daun tembakau cacah. Dalam sebatang rokok, terkandung berbagai zat-zat kimia berbahaya yang berperan
seperti racun. Dalam asap rokok yang disulut, terdapat kandungan zat-zat kimia berbahaya seperti gas karbon monoksida, nitrogen oksida, amonia, benzene,
methanol, perylene, hidrogen sianida, akrolein, asetilen, bensaldehid, arsen, benzopyrene, urethane, coumarine, ortocresol, n-nitrosamin, nikotin, tar, dan lain-
lain. Selain nikotin, peningkatan paparan hidrokarbon, oksigen radikal, dan substansi racun lainnya turut bertanggung jawab pada berbagai dampak rokok
terhadap kesehatan. Efek rokok pada saluran gastrointestinal antara lain melemahkan katup
esofagus dan pilorus, meningkatkan refluks, mengubah kondisi alami dalam lambung, menghambat sekresi bikarbonat pankreas, mempercepat pengosongan
cairan lambung, dan menurunkan pH duodenum. Sekresi asam lambung meningkat sebagai respon atas sekresi gastrin atau asetilkolin Beyer 2008.
Selain itu, rokok juga mempengaruhi kemampuan cimetidine obat penghambat asam lambung dan obat-obatan lainnya dalam menurunkan asam lambung
pada malam hari, dimana hal tersebut memegang peranan penting dalam proses ulcerogenesis timbulnya tukak. Rokok dapat mengganggu faktor defensif
lambung menurunkan sekresi bikarbonat dan aliran darah di mukosa, memperburuk peradangan, dan berkaitan erat dengan komplikasi tambahan
karena infeksi H. pylori Beyer 2004. Merokok juga dapat menghambat penyembuhan spontan dan meningkatkan risiko kekambuhan tukak peptik.
Pengukuran konsumsi rokok dapat dilakukan dengan menggunakan ukuran kuantitatif seperti frekuensi merokok rokokhari, durasi berapa tahun
merokok, dan umur ketika awal merokok Musbyarini 2009. Ukuran-ukuran kuantitatif tersebut dapat dihubungkan dengan dampak kesehatan yang
ditimbulkan rokok terhadap penggunanya.
Konsumsi Minuman Beralkohol
Alkohol sangat berperangaruh terhadap makhluk hidup, terutama dengan kemampuannya sebagai pelarut lipida. Kemampuannya melarutkan lipida yang
terdapat dalam membran sel memungkinkannya cepat masuk ke dalam sel-sel dan menghancurkan struktur sel tersebut. Oleh karena itu alkohol dianggap
toksik atau racun. Alkohol yang terdapat dalam minuman seperti bir, anggur, dan
minuman keras lainnya terdapat dalam bentuk etil alkohol atau etanol Almatsier 2002.
Metabolisme alkohol melibatkan enzim alkohol dehidrogenase yang terdapat dalam lambung dan hati. Di dalam lambung, sebagian alkohol akan
mengalami pemecahan sehingga mengurangi jumlah alkohol yang diserap ke dalam aliran darah hingga 20. Alkohol yang diabsorbsi kemudian dibawa
melalui pembuluh darah ke hati, yang mampu memecah alkohol dalam jumlah besar. Jumlah alkohol yang dapat ditangani oleh hati sekaligus rata-rata
sebanyak 15 gram etanol per jam, bergantung pada ukuran tubuh, kondisi kesehatan, jarak waktu makan atau kondisi lambung dan usus, kebiasaan umum,
berat badan, jenis kelamin,dan lain-lain. Bila melebihi jumlah yang dapat dioksidasi oleh hati, alkohol akan dikeluarkan dan masuk sirkulasi darah dan
dibawa ke bagian-bagian tubuh yang lain Almatsier 2002. Organ tubuh yang berperan besar dalam metabolisme alkohol adalah
lambung dan hati, oleh karena itu efek dari kebiasaan mengkonsumsi alkohol dalam jangka panjang tidak hanya berupa kerusakan hati atau sirosis, tetapi juga
kerusakan lambung. Dalam jumlah sedikit, alkohol merangsang produksi asam lambung berlebih, nafsu makan berkurang, dan mual, sedangkan dalam jumlah
banyak, alkohol dapat mengiritasi mukosa lambung dan duodenum Harahap 2009. Konsumsi alkohol berlebihan dapat merusak mukosa lambung,
memperburuk gejala tukak peptik, dan mengganggu penyembuhan tukak peptik Beyer 2004. Alkohol mengakibatkan menurunnya kesanggupan mencerna dan
menyerap makanan karena ketidakcukupan enzim pankreas dan perubahan morfologi serta fisiologi mukosa gastrointestinal Beyer 2008.
Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik adalah semua aktivitas selama bekerja, aktivitas pada waktu senggang, termasuk pada waktu berolahraga. Aktivitas fisik adalah gerakan yang
dilakukan oleh otot tubuh dan sistem penunjangnya. Selama melakukan aktivitas fisik, otot membutuhkan energi di luar metabolisme untuk bergerak, sedangkan
jantung dan paru-paru memerlukan tambahan energi untuk mengantarkan zat- zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh dan untuk mengeluarkan sisa-sisa dari
tubuh. Banyaknya energi yang dibutuhkan bergantung banyaknya otot yang bergerak, berapa lama, dan berapa berat pekerjaan yang dilakukan Almatsier
2002.
Aktivitas fisik erat kaitannya dengan kesehatan tubuh secara keseluruhan. Tubuh yang sehat akan mampu melakukan aktivitas fisik secara
optimal dan sebaliknya, aktivitas fisik yang dilakukan secara rutin dalam porsi cukup akan membawa dampak positif terhadap kesehatan tubuh
. Orang yang
aktif bergerak memiliki tekanan darah yang lebih baik, pola tidur yang lebih baik, stres yang lebih sedikit, dan umumnya memiliki umur harapan hidup yang lebih
panjang dibandingkan dengan orang yang kurang gerak Byrd-Bredbenner et al. 2009.
Pengaruh diet dan olahraga pada status kesehatan berhubungan dekat satu sama lain. Olahraga dapat menurunkan risiko terjadinya penyakit dan
kematian dini. Sebaliknya, kebiasaan dan aktivitas fisik sedentary dapat meningkatkan risiko berbagai masalah kesehatan. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa aktivitas fisik secara teratur menurunkan risiko berbagai dampak-dampak gaya hidup yang negatif bagi kesehatan; melakukan aktivitas
ringan lebih baik daripada tidak sama sekali; untuk dampak kesehatan yang besar, tambahan manfaat bergantung pada intensitas olahraga yang lebih tinggi,
frekuensi yang lebih sering danatau durasi yang lebih lama; sebagian besar manfaat kesehatan diperoleh dengan aktivitas fisik moderat minimal 150 menit
per minggu; olahraga aerobik dan peregangan otot adalah olahraga yang sama- sama bermanfaat; manfaat olahraga dapat terjadi pada anak-anak dan remaja,
orang dewasa dan paruh baya, lansia, dan di setiap penelitian berdasarkan ras atau etnis USDHHS 2008.
Olahraga yang teratur membantu menguatkan jantung, meningkatkan peristaltik saluran gastrointestinal, menurunkan stres, dan mengontrol berat
badan Byrd-Bredbenner et al. 2009. Menurut Beyer 2008, olahraga dapat membantu melancarkan pergerakan makanan pada saliran gastrointestinal dan
mneingkatkan rasa nyaman pada pencernaan. Peranan olahraga yang terbesar adalah menurunkan risiko terjangkit penyakit dan kematian dini. Kebiasaan dan
aktivitas fisik yang sedentary dapat meningkatkan risiko beberapa masalah kesehatan. Olahraga secara efektif dapat membantu proses pengaturan berat
badan. Rajin olahraga akan membantu memanajemen stres dan akan menurunkan risiko terjadinya dispepsia. Manajemen stres akan membantu
mengontrol produksi asam lambung. Olahraga atau aktifitas fisik dikatakan dapat mempengaruhi risiko gastritis dan tukak peptik melalui beberapa mekanisme,
yaitu: meningkatkan sistem imun sehingga menetralisisr efek H. pylori,
meningkatkan kemampuan seseorang untuk bertahan terhadap stres, dan mereduksi rangsangan sekresi asam lambung. Beberapa fakta menyatakan
bahwa olahraga secara signifikan dapat mengurangi risiko tukak duodenum dan perdarahan gastrointestinal pada penderita gastritis atau tukak duodenum
Cheng et al. 2000.
Kebiasaan Makan
Kebiasaan makan adalah cara individu atau kelompok individu memilih pangan dan mengkonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologi,
psikologi, dan sosial budaya. Lebih lanjut dikatakan bahwa kebiasaan makan bukanlah bawaan sejak lahir, tetapi merupakan hasil belajar. Kebiasaan makan
atau pola makan adalah suatu perilaku yang berhubungan dengan makan dan makanan seperti tata krama, frekuensi makan seseorang, pola makanan yang
dimakan, pantangan, distribusi makanan dalam anggota keluarga, preferensi terhadap makanan, dan cara pemilihan bahan pangan Suhardjo 1989.
Kebiasaan makan yang berubah dapat disebabkan oleh pendidikan gizi dan kesehatan, serta aktivitas pemasaran atau distribusi pangan. Kebiasaan makan
dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan, seperti lingkungan budaya, lingkungan alam, serta populasi.
Khumaidi 1994 menyatakan bahwa pada dasarnya terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi kebiasaan makan manusia, yaitu faktor intrinsik
berasal dari dalam diri manusia dan faktor ekstrinsik berasal dari luar manusia. Faktor intrinsik yang mempengaruhi kebiasaan makan antara lain
asosiasi emosional, keadaan jasmani, keadaan kejiwaan, dan penilaian terhadap makanan, sedangkan faktor ekstrinsik antara lain lingkungan sosial, alam,
budaya, agama, dan ekonomi. Dari segi gizi, kebiasaan makan ada yang baik dan yang buruk.
Kebiasaan makan yang baik adalah yang dapat menunjang terpenuhinya kecukupan gizi, sedangkan kebiasaan yang buruk adalah kebiasaan yang dapat
menghambat terpenuhinya kecukupan gizi, seperti adanya pantangan atau tabu yang berlawanan degan konsep gizi.
Elizabeth dan Sanjur 1981 dalam Suhardjo 1989 menyatakan bahwa terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi konsumsi pangan. Pertama,
karakter individu, seperti: umur, jenis kelamin, pendidikan, pendapatan, pengetahuan gizi, dan kesehatan. Kedua, karakter makanan, seperti: rasa, rupa,
tekstur, harga, tipe makanan, bentuk, dan kombinasi makanan. Ketiga, karakter lingkungan seperti musim, pekerjaan, mobilitas, dan tingkat sosial masyarakat.
Pola makan sehat mengandung dua makna, yaitu jenis makanan yang sehat dan pola makannya. Makanan yang sehat yaitu makanan yang di
dalamnya terkandung zat-zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Adapun pola makan yang sehat adalah kebiasaan yang baik, yaitu sesuai jumlahnya dengan
yang dibutuhkan tubuh, beragam jenisnya sehingga mencukupi kebutuhan zat gizi esensial tubuh, dan jadwal makan yang teratur Khomsan 2002.
Kaitan Kebiasaan Makan dengan Gangguan Pencernaan
Faktor yang berperan pada kejadian gastritis dan tukak lambung dengan gejala khas dispepsia diantaranya adalah pola makan atau kebiasaan makan
dan sekresi asam lambung Djojoningrat 2001. Selain jenis-jenis makanan yang dikonsumsi, ketidakteraturan makan seperti kebiasaan makan buruk, tergesa-
gesa, dan jadwal yang tidak teratur dapat menyebabkan dispepsia Eschleman 1984, diacu dalam Annisa 2009. Berdasarkan penelitian tentang gejala
gastrointestinal yang dilakukan oleh Reshetnikov et al. 2007 kepada 1562 orang dewasa, jeda jadwal makan yang lama dan ketidakteraturan makan
berkaitan dengan gejala dispepsia. Kebiasaan makan sangat berkaitan dengan produksi asam lambung.
Asam lambung berfungsi untuk mencerna makanan yang masuk ke dalam lambung dengan jadwal yang teratur. Produksi asam lambung akan tetap
berlangsung meskipun dalam kondisi tidur. Kebiasaan makan yang teratur sangat penting bagi sekresi asam lambung karena kondisi tersebut memudahkan
lambung mengenali waktu makan sehingga produksi asam lambung terkontrol. Kebiasaan makan tidak teratur akan membuat lambung sulit untuk beradaptasi.
Jika hal ini berlangsung lama, produksi asam lambung akan berlebihan sehingga dapat mengiritasi dinding mukosa pada lambung sehingga timbul gastritis dan
dapat berlanjut menjadi tukak peptik. Hal tersebut dapat menyebabkan rasa perih dan mual. Gejala tersebut bisa naik ke kerongkongan yang menimbulkan rasa
panas terbakar Nadesul 2005. Produksi asam lambung diantaranya dipengaruhi oleh pengaturan sefalik, yaitu pengaturan oleh otak. Adanya
makanan dalam mulut secara refleks akan merangsang sekresi asam lambung. Pada manusia, melihat dan memikirkan makanan dapat merangsang sekresi
asam lambung Ganong 2003.
Jenis-jenis makanan tertentu juga berperan dalam timbulnya sindrom dispepsia. Terlalu sering mengkonsumsi makanan yang berminyak dan berlemak
membuat makanan tinggal di lambung lebih lama. Makanan tersebut lambat dicerna dan menimbulkan peningkatan tekanan di lambung yang pada akhirnya
membuat katup antara lambung dengan kerongkongan lower esophageal sphincterLES melemah sehingga asam lambung dan gas akan naik ke
kerongkongan. Lamanya pengosongan lambung berhubungan dengan tukak lambung. Sebaliknya, konsumsi lemak dalam jumlah yang cukup dapat menekan
sekresi asam lambung dengan cara memperlambat pengosongan lambung dan menstimulasi aliran getah pankreas serta empedu. Dengan demikian lemak turut
memfasilitasi proses pencernaan agar berlangsung lebih optimal Ettinger 2000. Minum kopi, teh, atau minuman lain yang mengandung kafein juga dapat
mengendurkan LES. Menurut Shinya 2007, teh mengandung tanin yang mudah teroksidasi menjadi asam tanat. Asam tanat memiliki efek negatif pada mukosa
lambung sehingga menyebabkan masalah pada lambung misalnya tukak lambung. Minum teh dalam kondisi perut kosong dapat menimbulkan tekanan
berlebih pada lambung. Diet tinggi garam dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan proliferasi epitel lambung sehingga menyebabkan gastritis.
Konsumsi NaCl dalam jumlah berlebihan akan meningkatkan kolonisasi Helicobacter pylori. Infeksi Helicobacter pylori yang predominan di antrum dapat
meningkatkan kadar gastrin sehingga meningkatkan sekresi asam lambung dan menyebabkan tukak lambung Dwijayanti, Ratnasari, dan Susetyowati 2008.
Makanan pedas dan berbumbu tajam dapat merangsang sekresi asam lambung berlebih sehingga muncul gejala-gejala sindrom dispepsia. Makanan
yang terasa asam, sayuran dan buah-buahan bergas seperti kol, sawi, durian, nangka, dan lainnya dapat menimbulkan gejala sindrom dispepsia. Kebanyakan
agen yang merangsang sekresi asam lambung juga akan meningkatkan sekresi pepsinogen. Peningkatan sekresi asam lambung yang melalmpaui batas akan
mengiritasi mukosa lambung sehingga timbul gastritis dan tukak. Karotenoid bahan pembentuk vitamin A berinteraksi dengan vitamin C,
vitamin E, dan Selenium sebagai zat anti oksidan yang melawan efek radikal bebas. Karoten berperan dalam meningkatkan sistem immunitas tubuh melalui
efek anti oksidan. Vitamin A dikenal sebagai zat gizi esensial yang berperan penting dalam penglihatan. Di luar perannya dalam penglihatan, vitamin A juga
berperan dalam berbagai fungsi sistemik, meliputi peran dalam diferensiasi sel
dan fungsi membran sel cell recognition, pertumbuhan dan perkembangan, fungsi kekebalan, dan reproduksi Mahan Escott-Stump 2000. Diferensiasi sel
terjadi apabila sel tubuh mengalami perubahan dalam sifat atau fungsi awalnya. Sel-sel yang paling nyata mengalami diferensiasi adalah sel-sel epitel khusus,
terutama sel goblet, yaitu sel kelenjar yang mensintesis dan mengeluarkan mukus atau lendir. Jaringan epitel yang melapisi organ dalam tubuh dinamakan
membran mukosa. Mukus melindungi sel-sel epitel dari mikroorganisme dan partikel lain yang berbahaya. Mukosa lambung juga melindungi sel epitel
lambung dari sifat korosif asam lambung dan pepsin. Kekurangan vitamin A menghambat fungsi sel-sel goblet mengeluarkan mukus Almatsier 2002.
Konsumsi Makanan
Sebagaimana diketahui, kebiasaan makan atau pola makan adalah suatu perilaku yang berhubungan dengan makan dan makanan salah satunya adalah
pola makanan yang dimakan sehari-hari atau konsumsi makanan. Konsumsi makanan berkaitan erat dengan masalah gizi dan kesehatan serta perencanaan
produksi pangan. Konsumsi makanan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah makanan yang dimakan dikonsumsi seseorang atau kelompok orang
pada waktu tertentu. Definisi ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Dalam menghitung
jumlah zat gizi yang dikonsumsi, kedua informasi tersebut jenis dan jumlah makanan merupakan hal yang penting.
Terdapat dua pengertian tentang penilaian konsumsi pangan, yaitu: 1 penilaian terhadap kandungan zat gizi dari makanan, dan 2 membandingkan
kandungan zat gizi makanan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang dengan angka kecukupannya. Untuk mengetahui tingkat konsumsi zat gizi
seseorang atau kelompok orang digunakan pengertian yang kedua. Pada prinsipnya, penilaian jumlah konsumsi zat gizi menggunakan tiga jenis data, yaitu
data konsumsi pangan, data kandungan zat gizi bahan makanan, dan data kecukupan gizi Hardinsyah dan Briawan 1994.
Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan dalam menilai konsumsi pangan, baik tingkat individu, keluarga, maupun masyarakat. Survei
konsumsi tingkat individu dapat menggunakan metode penimbangan food weighing, metode mengingat-ingat food recall, riwayat makan dietary history,
frekuensi pangan food frequency, dan metode kombinasi. Pemilihan metode dapat didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu: tujuan survei, ketelitian
yang diinginkan, ketersediaan dana dan waktu, serta tingkat kemahirankeahlian tenaga pengumpul data Ku
sharto dan Sa’adiyyah 2008. Salah satu metode survei konsumsi pangan individu adalah metode
recall. Penggunaan metode ini bertujuan untuk memperoleh data konsumsi pangan secara kuantitatif. Pada metode ini dicatat mengenai jumlah dan jenis
pangan yang dikonsumsi pada waktu yang lalu retrospektif. Pengukuran konsumsi diawali dengan menanyakan jumlah pangan dalam URT ukuran
rumah tangga yang kemudian dikonversikan dalam satuan berat. Metode recall memiliki beberapa keuntungan, diantaranya biaya yang murah dan tidak
memakan waktu lama. Namun, kelemahan metode ini adalah data yang dihasilkan mungkin kurang akurat karena mengandalkan keterbatasan daya ingat
seseorang Kusharto dan Sa’adiyyah 2008. Tidak ada metode yang terbaik untuk semua tujuan studi karena setiap
metode memiliki kelebihan dan kelemahan. Untuk menyesuaikan dengan subjek penelitian dan meminimalisir kelemahan suatu metode, dapat dilakukan
kombinasi atau modifikasi seperlunya Kusharto dan Sa’adiyyah 2008. Dalam
penelitian ini, metode recall dimodifikasi menyerupai anamnesa diet atau kebiasaan makan. Recall tidak dilakukan berdasarkan konsumsi 24 jam
responden, melainkan berdasarkan kebiasaan makan sehari-hari responden. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan responden dalam mengisi form konsumsi.
Kondisi responden yang berada dalam satu lingkungan asrama dengan konsumsi mayoritas berasal dari kantin asrama menjadi pertimbangan peneliti
untuk memodifikasi metode recall.
Status Gizi
Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan absorpsi dan
penggunaan utilisasi zat gizi makanan. Dengan menilai status gizi seseorang atau sekelompok orang maka dapat diketahui apakah seseorang atau
sekelompok orang tersebut status gizinya baik atau tidak baik. Ada berbagai cara yang digunakan untuk menilai status gizi, yaitu melalui konsumsi makanan,
antropometri, biokimia, dan klinis Nasoetion Riyadi 1995. Menurut Supariasa et al. 2001 kekurangan dan kelebihan gizi pada
orang dewasa adalah masalah penting kerena akan menimbulkan risiko-risiko penyakit tertentu. Berat badan yang sangat kurang underweight mempunyai
risiko terhadap penyakit infeksi, sementara berat badan yang melebihi batas
normal overweight mempunyai risiko tinggi terhadap penyakit degeneratif. Laporan FAOWHOUNU diacu dalam Supariasa et al. 2001 menyatakan
bahwa batasan berat badan normal ditentukan berdasarkan Indeks Massa Tubuh IMT. Berikut ini merupakan rumus perhitungan IMT.
Untuk menganalisis status gizi anak dan remaja usia 5-19 tahun, salah satu referensi yang dapat digunakan adalah referensi WHO 2007. Referensi
WHO 2007 adalah rekonstruksi dari National Center for Health Statistic NCHS atau WHO. Referensi WHO 2007 menggunakan kumpulan data NCHS yang
disuplementasi dengan data dari standar pertumbuhan WHO untuk anak balita. Indikator yang digunakan dalam referensi WHO 2007 adalah IMT terhadap umur
IMTU, berat badan terhadap umur BBU, dan tinggi badan terhadap umur TBU. Klasifikasi dan cut off point status gizi berdasarkan IMT dijelaskan dalam
tabel berikut ini. Tabel 1 Klasifikasi IMTU untuk anak dan remaja WHO 2007
Klasifikasi Cut off point
Sangat kurus severe thinnes -3 SD
Kurus thinnes -2 s.d. -3 SD
Normal -2 SD s.d. +1 SD
Overweight +1 s.d. +2 SD
Obesitas obese +2 SD
Keterangan: SD = standar deviasi; s.d.= sampai dengan
Konsumsi Obat-Obatan Obat-obatan yang Memicu Terjadinya Gangguan Lambung
Gastritis dan tukak peptik dapat disebabkan karena memakan obat-obat tertentu. Obat anti nyeri aspirin, neuralgin, piroxicam, parasetamol, obat anti
inflamasi non steroid OAINS, antibiotik, kortikosteroid hormon, tablet besi, suplemen kalium, dan obat kemoterapi adalah beberapa jenis obat yang memiliki
efek menyebabkan gastritis. Selain itu, menelan racun atau zat kimia tertentu pun berpotensi menyebabkan gastritis, seperti menelan asam korosif, alkohol, benda
asing seperti klip, stapler, dan lainnya Santoso 2008. Obat anti inflamasi biasanya diindikasikan untuk mengurangi gejala-gejala
pada kondisi artritis reumatoid, osteosrtritis, gout akut, dismenorea, sakit kepala dan migren, nyeri pasca operasi, nyeri derajat ringan sampai sedang akibat
cedera jaringan, pireksia demam, ileus, kolik ginjal, dan lainnya. Di Indonesia, obat-obatan banyak yang dijual secara bebas. Obat-obatan daftar G obat yang
IMT kg m
2
= Berat Badan kg
Tinggi Badan
2
m
2
perlu resep dokter dapat dengan mudah dibeli tanpa menggunakan resep. Pemakaian obat-obatan yang luas ini meyebabkan kejadian efek samping obat
meningkat. Beberapa obat menimbulkan efek samping yang berhubungan dengan saluran cerna. Sekitar 10-20 pasien yang menggunakan aspirin dan
OAINS mengalami dispepsia. Terdapat dua mekanisme kerja obat-obatan ini yang dapat menyebabkan iritasi secara langsung maupun tidak langsung pada
saluran cerna. Molekul-molekul obat yang bersifat asam akan langsung mengiritasi mukosa lambung dan inhibisi atau hambatan pengeluaran kadar
prostaglandin yang bersifat protektif terhadap mukosa lambung. Prostaglandin dihambat karena dianggap bertanggungjawab terhadap munculnya inflamasi dan
rasa nyeri Santoso 2008.
Obat-obatan untuk Mengatasi Gangguan Lambung
Obat yang lazim digunakan untuk mengatasi gejala gastritis dan tukak peptik adalah obat-obatan untuk menghambat sekresi asam lambung. Obat-
obatan ini diantaranya adalah penghambat histamin H
2
blocker seperti cimetidine dan ranitidine, inhibitor pompa proton seperti omeprazole, maupun
obat untuk menetralisir asam lambung antasida seperti mylanta, sanmag, promag, dan lainnya. Bila diketahui gastritis atau tukak peptik yang terjadi
disebabkan oleh H. pylori, maka antibiotik akan diberikan pada penderita. Antasida merupakan obat yang paling umum digunakan untuk mengatasi
gejala gastritis atau tukak peptik. Obat jenis ini termasuk obat yang dijual bebas, OTC, Over the counter. Obat-obatan lainnya penghambat histamin, inhibitor
pompa proton, antibiotik merupakan obat daftar G yang seharusnya memerlukan resep dokter.
Antasida diberikan secara oral untuk mengurangi rasa perih akibat suasana lambung yang terlalu asam dengan cara menetralkan asam lambung.
Umumnya antasida merupakan basa lemah, terdiri dari zat aktif yang mengandung alumunium hidroksida dan magnesium hidroksida. Terkadang
antasida juga dikombinasikan dengan simetikon untuk mengurangi kelebihan gas. Efek samping yang utama pada antasida dengan zat aktif alumunium
hidroksida adalah konstipasi sembelit. Sedangkan antasida dengan zat aktif magnesium hidroksida dapat menyebabkan diare, sehingga kedua zat aktif ini
sering dikombinasikan agar efek samping dapat diminimalisir. Antasida dapat berinteraksi dengan senyawa logam lain yang terkandung
pada makanan atau obat tertentu, misalnya penisilin dan vitamin B12. Antasida
mengandung mineral magnesium atau alumunium. Mineral yang yang memiliki berat molekul dan jumlah muatan valensi sama akan bersaing satu sama lain
untuk diabsorbsi. Magnesium Mg, kalsium Ca, besi Fe, dan tembaga Cu sama-sama memiliki valensi +2 sehingga jika dikonsumsi bersamaan akan saling
menghambat absorbsi Almatsier 2002. Sering mengkonsumsi antasida akan menimbulkan risiko defisiensi vitamin dan mineral tertentu. Jika defisiensi besi
dan vitamin B12 yang terjadi, maka dapat berdampak pada anemia. Stres
Secara umum, stres dapat dibedakan menjadi dua, yaitu stres fisik dan stres psikologis. Stres fisik terjadi, misalnya karena luka bakar, infeksi yang
sampai masuk ke pembuluh darah atau sepsis, adanya trauma, sedang dalam perawatan setelah pembedahan, adanya henti napas, gagal ginjal, dan
kerusakan saraf. Semua keadaan di atas menimbulkan stres fisik yang cukup serius sehingga secara tidak langsung dapat menyebabkan iritasi pada lambung.
Adapun stres psikologis lebih bersifat ketegangan atau tekanan mental yang dirasakan internal di dalam diri Tarigan 2003.
Faktor stres erat kaitannya dengan berbagai rangkaian reaksi tubuh yang merugikan kesehatan. Gangguan psikis atau konflik emosi yang menimbulkan
gangguan psikosomatik ternyata diikuti oleh perubahan fisiologis dan biokemis seseorang. Perubahan fisiologis ini berkaitan dengan adanya gangguan pada
sistem saraf otonom vegetatif, sistem endokrin, dan sistem imun. Ada beberapa mekanisme yang sudah dibuktikan dan beberapa diantaranya terkait dengan
sistem hormonal, dimana stres akan menyebabkan otak mengaktifkan sistem hormon untuk memicu sekresinya. Stres paling banyak memicu sekresi hormon
kortisol, dimana hormon ini selanjutnya akan berkerja mengkoordinasi seluruh sistem dalam tubuh termasuk jantung, paru-paru, peredaran darah, metabolisme,
dan sistem imunitas tubuh dalam reaksi yang ditimbulkannya. Sekresi hormon ini menjelaskan mengapa ketika menghadapi stres, tekanan darah dan denyut
jantung meningkat secara cepat, paru-paru bekerja ekstra untuk mengambil oksigen lebih banyak sehingga meningkatkan juga peredaran darah di seluruh
tubuh mulai dari otot hingga otak, peningkatan tersebut bisa berkali-kali lipat melebihi batas normal. Bukan hanya jantung saja yang terasa berdebar, namun
keseluruhan sistem tubuh termasuk pengeluaran keringat juga akan meningkat dengan cepat Harahap 2007.
Selain hormon kortisol, ada hormon lain yang turut berperan dalam mekanisme ini, diantaranya hormon katekolamin yang terdiri dari zat aktif
dopamin, norepinefrin, dan epinefrin yang lebih dikenal dengan adrenalin. Hormon ini akan mengaktifkan suatu sistem ingatan jangka panjang yang akan
mengingat stressor yang sama pada peristiwa selanjutnya serta menekan bagian otak yang berperan dalam ingatan jangka pendek. Penekanan ingatan jangka
pendek inilah yang dinilai para ahli sebagai faktor utama yang menyebabkan orang tidak lagi berpikir secara rasional ketika mereka dilanda stres. Proses ini
juga memicu terjadinya penyakit psikosomatik dengan gejala dispepsia, seperti mual dan muntah, diare, pusing, sakit otot, juga sendi. Berbagai mekanisme
hormonal penurunan serotonin, peningkatan asetilkolin, penurunan katekolamin, dll. akan menimbulkan hipersimpatotonik sistem gastrointestinal yang akan
menimbulkan peningkatan peristaltik dan sekresi asam lambung yang menyebabkan hiperasiditas lambung, kolik, vomitus, dan sebagian besar gejala
gastritis dan ulkus peptik Tarigan 2003.
Faktor Herediter dan Golongan Darah
Hampir semua penyakit yang terjadi pada manusia memiliki unsur genetik. Faktor genetik pada setiap orang dapat mempengaruhi struktur dan
fungsi tubuh dalam kondisi normal dan ketika sakit. Setiap penyakit, satu atau lebih faktor genetik menentukan karakter, gejala, dan tingkat keparahan penyakit.
Pada penyakit tukak peptik, gastritis, dan kanker lambung, faktor genetik berkontribusi pada kerentanan dan konsekuensi infeksi Riccardi dan Rotter
2004. Faktor genetik berkaitan erat dengan herediter atau keturunan. Gen
tertentu akan diwariskan pada keturunan. Beberapa studi menunjukkan bahwa kedekatan keluarga, kembar, golongan darah yang sejenis, dan abnormalitas
fisiologis misalnya: level serum pepsinogen berlebih berkaitan dengan tukak peptik, gastritis, dan kanker lambung Riccardi dan Rotter 2004. Penyakit tukak
peptik ulkus terjadi 2-3 kali lebih sering pada keluarga yang terdapat riwayat tukak peptik dibanding populasi normal. Pada keluarga dengan ibu yang memiliki
riwayat gangguan lambung, cenderung lebih banyak menurunkan penyakit yang sama pada anaknya. Diduga
masa kehamilan dan menyusui turut berpengaruh pada kejadian beberapa penyakit yang dialami oleh anak atau imunitas anak.
Diet sehari-hari ibu pada saat hamil dan menyusui menyebabkan ekspresi gen yang berbeda pada anak Tridjaja dan Marzuki 2009. Selain faktor genetis,
faktor psikososial yang berkaitan dengan ibu juga berpengaruh pada munculnya gangguan lambung. Kebiasaan makan anak dibentuk di keluarga. Ibu adalah
pihak yang berperan penting dalam membentuk kebiasaan anak sejak dini. Kebiasaan baik yang ditanamkan oleh ibu sejak masa kanak-kanak biasanya
akan terinternalisasi dan terbawa hingga anak beranjak remaja. Kebiasaan makan dan gaya hidup yang sehat akan mempengaruhi status kesehatan
seseorang. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa golongan darah berhubungan
dengan risiko penyakit. Golongan darah mempengaruhi sistem metabolisme dan daya tahan tubuh serta keadaan mental. Hal ini dikarenakan adanya hubungan
secara genetik antara gen pada golongan darah dengan gen lain yang berpengaruh terhadap kesehatan dan sistem metabolisme secara keseluruhan
D’Adamo 2002. Pada golongan darah O didapatkan 30-40 lebih sering mengalami tukak peptik dibandingkan golongan darah lainnya Julius 1992.
Golongan darah O memiliki kecenderungan untuk terkena insiden penyakit pencernaan, yaitu gastritis, duodenitis, dan tukak peptik ulkus lebih tinggi
dibandingkan dengan golongan darah lainnya karena produksi asam lambungnya lebih banyak dibandingkan golongan darah yang lain. Penelitian
Mulyani 2007 pada mahasiswa TPB IPB menunjukkan bahwa golongan darah O mempunyai risiko sebesar 1,96 kali lebih besar untuk mengalami penyakit
peptik dibandingkan golongan darah yang lain A, B, dan AB. Lingkungan Sosial-Ekonomi
Menurut Riccardi dan Rotter 2004, banyak penyakit terjadi karena
adanya hubungan saling mempengaruhi antara faktor genetik dan lingkungan. Hampir semua penyakit manusia memiliki unsur genetik, dan setiap kejadian
dimana unsur genetik berperan, satu atau lebih unsur lingkungan akan berkontribusi untuk menajamkan proses terjadinya penyakit. Secara kasar,
unsur lingkungan dapat dibedakan menjadi dua tipe. Pertama, lingkungan yang terbentuk karena aktivitas manusia, misalnya: budaya, sosial, dan faktor perilaku.
Kedua, lingkungan yang mengacu pada background, yang meliputi pengaruh secara fisik misal: sinar matahari, iklim maupun biologis misal: parasit, infeksi.
Pada penyakit tukak peptik, gastritis, dan kanker lambung, faktor lingkungan berkaitan erat dengan infeksi bakteri H. pylori. Kondisi geografis,
sosial-ekonomi, dan budaya juga berperan sebagai faktor penyebab multiple causative factors. Bytzer et al. 2000 menyebutkan bahwa sosio-ekonomi yang
rendah merupakan salah satu faktor resiko terjadinya gejala gangguan saluran cerna bagian atas dan bawah. Hal ini mungkin terkait dengan faktor kebersihan.
Faktor kebersihan yang buruk membuat infeksi bakteri H. pylori menjadi lebih sering terjadi. Penyebaran dispepsia, gastritis, dan tukak peptik berkaitan dengan
H. pylori umumnya terjadi pada lingkungan yang padat penduduknya, sosio- ekonomi yang rendah, dan lebih banyak terjadi di negara berkembang
dibandingkan di negara maju. Beberapa penelitian menyimpulkan adanya hubungan yang signifikan antara rendahnya pendapatan rumah tangga dan
besarnya jumlah anggota keluarga dengan peningkatan kejadian penyakit gastrointestinal, termasuk dispepsia yang merupakan predisposisi gastritis dan
tukak peptik. Ketidaknyamanan dengan pendapatan finansial berhubungan dengan stres yang juga dapat menimbulkan gastritis dan tukak peptik. Menurut
Sultan 2009, ras, jenis kelamin, merupakan faktor yang berkontribusi pada tukak peptik.
Remaja
Monks 1999 menyebutkan bahwa remaja adalah individu yang berusia antara 12-21 tahun, yang sedang mengalami masa peralihan dari anak-anak ke
masa dewasa. Usia 12-15 tahun disebut sebagai remaja awal, 15-18 tahun disebut masa remaja pertengahan atau madya, dan 18-21 tahun dinamakan
remaja akhir. Di Indonesia, populasi remaja berjumlah 21 dari total penduduk, dengan jumlah ±44 juta jiwa.
Remaja merupakan periode penting pertumbuhan dan kematangan pada manusia. Pertumbuhan yang pesat, perubahan psikologis yang dramatis, serta
peningkatan aktivitas yang menjadi karakteristik masa remaja, menyebabkan peningkatan kebutuhan zat gizi, dan terpenuhi atau tidak terpenuhinya
kebutuhan ini akan mempengaruhi status gizi remaja. Saat mencapai puncak kecepatan pertumbuhan growth spurt, biasanya remaja mengkonsumsi
makanan lebih sering dan lebih banyak. Sesudah masa growth spurt biasanya mereka akan lebih memperhatikan penampilan dirinya, terutama remaja putri.
Mereka sering kali terlalu ketat dalam pengaturan pola makan dalam menjaga penampilannya sehingga dapat mengakibatkan kekurangan gizi Sayogo 2006.
Masa remaja adalah fase terakhir dari proses pertumbuhan dan perkembangan manusia, serta masa dimana sedang mencari identitas diri
Hurlock 1991. Masa remaja ditandai oleh perubahan yang besar, diantaranya kebutuhan untuk beradaptasi dengan perubahan fisik dan psikologis, pencarian
identitas, dan membentuk hubungan baru termasuk perasaan seksual Santrock 1998. Hall 1989 dalam Papalia dan Olds 1998 menyebut masa ini sebagai
periode “storm and stress”, yaitu suatu masa dimana ketegangan emosi
meningkat sebagai akibat perubahan fisik dan kelenjar. Pada remaja awal, konsep diri remaja ditandai dengan adanya
peningkatan kesadaran diri secara eksponen dalam tanggapannya terhadap transformasi somatis pubertas. Kesadaran pada usia ini cenderung untuk
berpusat pada karakteristik luar yang berbeda dengan introspeksi pada remaja akhir. Bagi remaja awal, adalah hal yang normal bila memperhatikan dengan teliti
penampilannya dan merasakan bahwa orang lain juga berlaku demikian. Gangguan citra tubuh tingkat ringan pada usia ini bersifat universal. Gangguan
citra tubuh yang serius seperti anoreksia nervosa juga cenderung muncul pada usia ini Nelson 2000 dalam Annisa 2009.
Di Indonesia, populasi remaja berjumlah 21 dari total penduduk, dengan jumlah ±44 juta jiwa. Periode remaja merupakan periode kritis dimana terjadi perubahan
fisik, biokimia, dan emosional yang cepat. Adanya pertumbuhan dan perkembangan pesat yang terjadi pada tubuhnya dan kesadaran untuk menjaga
penampilan diri dapat membuat remaja mempunyai gambaran tentang diri body image yang salah. Body image adalah gambaran seseorang mengenai bentuk
dan ukuran tubuhnya sendiri, gambaran ini dipengaruhi oleh bentuk dan ukuran tubuh serta harapan terhadap bentuk dan ukuran tubuh yang diinginkan. Apabila
harapan tersebut tidak sesuai dengan kondisi tubuh aktualnya maka, ini dianggap sebagai body image yang negatif Heinberg dan Thompson 1999.
Remaja pada umumnya merasa tidak nyaman dengan perubahan yang pesat pada bentuk tubuh mereka. Pada waktu yang bersamaan, mereka sangat
dipengaruhi oleh dunia luar, seperti kesempurnaan yang dimiliki teman sebaya atau idola mereka. Remaja bisa menginginkan suatu bagian tubuh lebih kecil
atau lebih besar, tumbuh lebih cepat atau lebih lambat. Perasaan seperti ini dapat mengarahkan remaja pada percobaan untuk mengubah bentuk tubuh
dengan memanipulasi pola makan mereka Robert 2000. Pola makan yang tidak teratur dan gaya hidup yang cenderung mudah terbawa arus modernisasi
umumnya menjadi masalah yang timbul pada remaja. Masalah gizi remaja perlu mendapat perhatian khusus karena berpengaruh besar terhadap pertumbuhan
dan perkembangan tubuh serta dampaknya pada masalah gizi dan kesehatan pada masa dewasa.
KERANGKA PEMIKIRAN
Status gizi dan kesehatan seseorang ditentukan oleh faktor-faktor internal individu dan faktor eksternal lingkungan. Faktor internal tersebut antara lain
gaya hidup dan kebiasaan makan. Status gizi adalah keadaan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan
utilisasi zat gizi makanan. Gangguan kesehatan sekecil apapun akan mempengaruhi kualitas hidup seseorang Khomsan 2002.
Dispepsia merupakan sekumpulan rasa tidak nyaman pada perut bagian atas. Faktor risiko yang dapat memicu dispepsia antara lain umur, jenis kelamin,
gaya hidup merokok, kebiasaan mengkonsumsi alkohol, aktivitas fisik, kebiasaan makan, status gizi, dan stres atau kondisi psikososial. Seseorang
yang memiliki riwayat penyakit atau gangguan lambung sebelumnya gastritis dan tukak peptik, akan lebih rentan mengalami dispepsia kekambuhan
gangguan lambung dibandingkan orang normal. Gastritis atau tukak lambung disebabkan oleh infeksi H pylori, faktor genetis riwayat penyakit keluarga, dan
golongan darah O sekresi asam lambung pada orang bergolongan darah O lebih tinggi.
Menurut Supariasa 2001 status gizi turut menentukan kondisi kesehatan seseorang. Kekurangan dan kelebihan gizi pada orang dewasa adalah masalah
penting kerena akan menimbulkan risiko-risiko penyakit tertentu. Berat badan yang sangat kurang underweight mempunyai risiko terhadap penyakit infeksi,
sementara berat badan yang melebihi batas normal overweight mempunyai risiko tinggi terhadap penyakit degeneratif.
Kebiasaan merokok memiliki dampak buruk bagi kesehatan. Merokok dapat mengganggu faktor defensif lambung menurunkan sekresi bikarbonat dan
aliran darah di mukosa, memperburuk peradangan, dan berkaitan erat dengan komplikasi tambahan karena infeksi H. pylori Beyer 2004. Alkohol merangsang
produksi asam lambung berlebih yang berakibat negatif pada mukosa lapisan lendir lambung. Konsumsi alkohol berlebihan dapat merusak mukosa lambung,
memperburuk gejala tukak peptik, dan mengganggu penyembuhan tukak peptik. Aktivitas fisik dan kebiasaan berolah raga memilki banyak manfaat bagi
kesehatan, salah satunya membantu mengurangi stres dan akan menurunkan risiko terjadinya dispepsia yang merupakan gejala gastritis dan tukak peptik.
Aktivitas fisik dan olahraga teratur juga membantu meningkatkan peristaltik
saluran gastrointestinal cerna sehingga pencernaan menjadi lebih baik Bredbenner 2009.
Kebiasaan makan erat kaitannya dengan sekresi asam lambung dan penyakit gastrointestinal. Kebiasaan makan yang teratur sangat penting bagi
sekresi asam lambung karena kondisi tersebut memudahkan lambung mengenali waktu makan sehingga produksi asam lambung terkontrol Annisa 2009.
Peningkatan sekresi asam lambung yang melalmpaui batas akan mengiritasi mukosa lambung dan menimbulkan gatritis hingga tukak peptik. Zat gizi tertentu
seperti lemak dan minyak, kafein, tanin, dan natrium memiliki hubungan yang kuat dengan timbulnya gastritis. Sebaliknya, vitamin A, vitamin C, dan kalium
yang berperan memberikan perlindungan terhadap membran mukosa dapat menurunkan risiko terjadinya gastritis dan tukak peptik dan meringankan gejala-
gejalanya sindrom dispepsia. Faktor stres erat kaitannya dengan berbagai rangkaian reaksi tubuh yang
merugikan kesehatan. Gangguan psikis atau konflik emosi yang menimbulkan gangguan psikosomatik ternyata diikuti oleh perubahan fisiologis dan biokemis
seseorang. Berbagai mekanisme hormonal akan menimbulkan hipersimpatotonik sistem gastrointestinal yang akan menimbulkan peningkatan peristaltik dan
sekresi asam lambung yang menyebabkan hiperasiditas lambung, kolik, vomitus, dan sebagian besar gejala gastritis dan ulkus peptik Harahap 2007.
Faktor herediter berpengaruh pada kejadian gastritis dan tukak peptik, demikian pula dengan golongan darah. Penyakit tukak peptik terjadi 2-3 kali lebih
sering pada keluarga yang terdapat riwayat tukak peptik dibanding populasi normal. Golongan darah O memiliki kecenderungan untuk terkena insiden
penyakit pencernaan, yaitu gastritis, duodenitis, dan tukak peptik ulkus lebih tinggi dibandingkan dengan golongan darah lainnya karena produksi asam
lambungnya lebih banyak dibandingkan golongan darah yang lain Riccardi dan Rotter 2004.
Gastritis dan tukak peptik dapat disebabkan karena memakan obat-obat tertentu. Obat anti nyeri aspirin, neuralgin, piroxicam, parasetamol, obat anti
inflamasi non steroid OAINS, antibiotik, kortikosteroid hormon, tablet besi, suplemen kalium, dan obat kemoterapi adalah beberapa jenis obat yang memiliki
efek menyebabkan gastritis Santoso 2008. Orang dengan riwayat gastritis maupun tukak peptik umumnya mengkonsumsi obat penetral asam lambung
Antasida untuk mengurangi gejala gastritis dan tukak lambung.
Berdasarkan tempat, penyebaran gastritis dan tukak peptik pada umumnya di lingkungan yang padat penduduknya, sosio-ekonomi yang rendah,
dan banyak terjadi di negara berkembang dibandingkan di negara maju. Hal ini berkaitan dengan infeksi bakteri Helicobacter pylori. Ketidaknyamanan terhadap
lingkungan fisik dapat menyebabkan stres yang memicu sekresi asam lambung berlebih, gastritis, dan tukak peptik. Kerangka pemikiran dari penelitian faktor
risiko dispepsia pada mahasiswa TPB PB disajikan dalam bagan berikut ini:
Gambar 2 Faktor risiko dispepsia pada mahasiswa IPB Keterangan:
= variabel yang diteliti = variabel yang tidak diteliti
= hubungan yang diteliti = hubungan yang tidak diteliti
Infeksi H. pylori
Kebiasaan Makan
Status Gizi
Riwayat Gastritis Tukak Peptik
Stres
Konsumsi obat-obatan
Herediter Riwayat
Penyakit Keluarga Karakteristik Contoh
lingkungan, sosial- ekonomi
Kebiasaan Merokok
Kebiasaan Menkonsumsi
Alkohol Aktivitas
Fisik
Dispepsia
METODE PENELITIAN
Desain, Tempat, dan Waktu
Penelitian menggunaka desain case-control study kasus-kontrol berpasangan. Penetapan contoh didasarkan pada kelompok kasus contoh yang
sedang atau pernah mengalami gangguan lambung dan kelompok kontrol tanpa riwayat gangguan lambung. Gangguan lambung yang diteliti terbatas
pada gastritis atau tukak peptik tukak lambung, tukak duodenum. Kelompok kasus dan kontrol dipasangkan berdasarkan jenis kelamin, umur, dan latar
belakang sosial-ekonomi. Penelitian dilakukan pada mahasiswa TPB IPB tahun ajaran 20102011 pada bulan Agustus-September 2010 di Kampus IPB
Darmaga.
Jumlah dan Cara Penarikan Contoh
Populasi penelitian ini adalah mahasiswa TPB IPB tahun ajaran 20102011. Contoh penelitian ini diambil secara purposive dari populasi yang
memenuhi kriteria penelitian dan bersedia untuk menjadi responden. Kriteria inklusi:
Kelompok kasus 1. Mahasiswa TPB IPB tahun ajaran 20102011 dan telah tinggal di asrama
putraputri TPB IPB minimal 1 bulan. 2. Berusia 12-19 tahun.
3. Mampu berkomunikasi dengan baik, bersedia diwawancara. 4. Sedang atau pernah mengalami gastritis atau tukak peptik dalam 6 bulan
terakhir. 5. Tidak sedang atau pernah menderita apendisitis usus buntu, kolik kram
perut, hepatitis liver, demam typhoid tifus abdominalis, ginjal, atau diabetes mellitus dalam waktu satu bulan terakhir.
Kelompok kontrol 1. Mahasiswa TPB IPB tahun ajaran 20102011 dan telah tinggal di asrama
putraputri TPB IPB minimal 1 bulan. 2. Berusia 12-19 tahun.
3. Mampu berkomunikasi dengan baik, bersedia diwawancara. 4. Tidak pernah mengalami gastritis atau tukak peptik dalam 6 bulan
terakhir.
5. Tidak sedang atau pernah menderita apendisitis usus buntu, kolik kram perut, hepatitis liver, demam typhoid tifus abdominalis, ginjal, atau
diabetes mellitus dalam waktu satu bulan terakhir. Kriteria eksklusi:
1. Berusia 12 tahun atau 19 tahun. 2. Tidak tinggal di asrama putraputri TPB IPB atau tinggal di asrama, tetapi
dalam jangka waktu 1 bulan. 3. Tidak bersedia diwawancara.
4. Sedang atau pernah menderita apendisitis usus buntu, kolik kram perut, hepatitis liver, demam typhoid tifus abdominalis, ginjal, atau
diabetes mellitus dalam waktu satu bulan terakhir. Jumlah minimal contoh diambil berdasarkan rumus untuk penelitian case
kontrol, yaitu : dimana
Keterangan: n
: ukuran contoh minimal kelompok kasus Z
1- α2
: nilai distribusi normal standar yang sama dengan tingkat kemaknaan α untuk α = 0,05 adalah 1,96
Z
β
: nilai distribusi normal standar yang sama dengan kuasa power sebesar yang diinginkan untuk β = 0,15 adalah 1,03
R : estimasi Odd Ratio OR
P : estimasi efek kontrol
Q : 1-P
Sastroasmoro dan Ismail 1995 Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu mengenai faktor risiko
gastritis dan tukak peptik, diketahui beberapa nilai OR yang dapat dijadikan acuan untuk menentukan jumlah contoh. Berikut ini hasil perhitungan jumlah
contoh minimal berdasarkan data OR yang ditelaah dari studi pustaka.
Tabel 2 Perhitungan jumlah contoh minimal berdasarkan OR dari studi pustaka
No. Faktor Risiko Terhadap
GastritisTukak Peptik R
P Q
Jumlah Contoh Kasus
1 Keteraturan makan
4,33
a
0,81 0,19
57 2
Frekuensi makan 4,75
a
0,83 0,17
52 3
Kebiasaan makan pedas 7,43
a
0,88 0,12
36 4
Kebiasaan makan asam 4,93
a
0,83 0,17
50 5
Frekuensi minuman iritatif 4,44
a
0,82 0,18
56 6
Pemakaian OAINS rutin 6,54
a
0,87 0,13
40 7
Konsumsi aspirin rutin 7,50
b
0,88 0,12
36 8
Merokok 5,96
c
0,86 0,14
42 9
Riwayat penyakit ayah 4,60
c
0,82 0,18
52 10
Riwayat penyakit ibu 4,20
c
0,81 0,19
59 Keterangan: a Yunita 2010; b Salih et al. 2007; c Imanzadeh et al. 2007
Jumlah contoh minimal ditetapkan berdasarkan hasil perhitungan yang terbesar nilai OR terkecil. Berdasarkan perhitungan di atas, didapatkan jumlah
contoh minimal untuk kelompok kasus sebanyak 59 orang. Kelompok kontrol dipilih secara acak dari populasi. Jumlahnya sebanyak contoh pada kelompok
kasus. Pada proses pemilihan kelompok kontrol, dilakukan matching terhadap umur, jenis kelamin, dan sukuetnis dengan contoh kelompok kasus. Formula
yang digunakan dalam menentukan proporsi contoh tiap kelompok berdasarkan jenis kelamin adalah :
n
i
= N
i
x n
N Keterangan:
n
i
: ukuran contoh berdasarkan jenis kelamin putriputra i
: jenis kelamin 1. putra, 2. putri N
i
: total siswa berdasarkan jenis kelamin putraputri N
: jumlah siswa keseluruhan n
: ukuran contoh jumlah contoh yang diambil Jumlah mahasiswa TPB IPB angkatan 20102011 yang mengikuti
perkuliahan matrikulasi sebanyak 3.264 orang, dengan rincian 1.312 orang 40,2 putra dan 1.925 59,8 putri. Dari perhitungan, diketahui minimal
jumlah contoh penelitian kasus dan kontrol adalah 118 orang. Namun, dalam penelitian ini diambil jumlah contoh sebanyak 120 orang, terdiri atas 48 putra 24
kasus, 24 kontrol dan 72 putri 36 kasus, 36 kontrol. Pemilihan contoh dimulai dari tahap penapisan secara simple random
sampling. Sebanyak 550 mahasiswa dipilih secara acak untuk mengisi kuesioner mengenai riwayat penyakit gastritis atau tukak peptik yang sedang atau pernah
dialami. Dari 550 mahasiswa tersebut kemudian diambil 60 mahasiswa yang sedang atau pernah mengalami gastritis atau tukak peptik tukak duodenum
maupun tukak lambung dan memenuhi kriteria inklusi untuk dijadikan kelompok kasus dan 60 mahasiswa lainnya yang memenuhi kriteria inklusi sebagai kontrol,
sehingga secara keseluruhan terdapat 120 mahasiswa. Berikut adalah cara penarikan contoh pada penelitian ini:
1. Didata jumlah seluruh mahasiswa TPB IPB 20102011 yang mengikuti perkuliahan matrikulasi
2. Dipilih secara acak 5 kelas besar ±550 mahasiswa untuk mengisi kuesioner mengenai riwayat penyakit gastritis atau tukak peptik.
3. 60 orang 24 putra dan 36 putri yang sedang atau pernah mengalami gastritis atau tukak peptik dipilih untuk dijadikan contoh kelompok kasus.
4. 60 orang dipilih secara acak sebagai kontrol contoh tanpa penyakit gastritis, atau tukak peptik disesuaikan jenis kelamin, umur, dan
sukuetnis dengan contoh kasus. 5. Didapat contoh penelitian sebanyak 120 mahasiswa.
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Data pimer diperoleh melalui pengisian kuesioner oleh contoh mahasiswa TPB IPB,
sedangkan data sekunder diperoleh dari Direktorat Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor, berupa jumlah mahasiswa TPB IPB tahun ajaran
20102011 dan pembagian kelas. Kuesioner terdiri atas dua jenis, yaitu kuesioner skrining Lampiran 1 dan kuesioner penelitian Lampiran 2.
Pertanyaan dalam kuesioner bersifat retrospektif, dengan rentang waktu sejak contoh masuk asrama hingga menjelang bulan puasa atau ramadhan selama
bulan puasa dan setelahnya tidak diteliti. Jenis data primer yang dikumpulkan yaitu:
1. Riwayat penyakitgangguan lambung selama enam bulan terakhir dan frekuensi dispepsia contoh ketika tinggal di asrama. Data ini diperoleh
melalui pengisian kuesioner skrining Lampiran 1. Riwayat penyakit gastritis dan tukak peptik diperoleh berdasarkan informasi dari contoh dan
disyaratkan bahwa contoh pernah melakukan pemeriksaan dokter. 2. Karakteristik contoh, meliputi: umur dan jenis kelamin. Data ini diperoleh
melalui pengisian kuesioner skrining Lampiran 1. 3. Faktor lingkungan contoh, yang meliputi karakteristik sosial-ekonomi
jumlah uang saku, sukuetnis, dan wilayah domisili paling lama. Data ini diperoleh dari pengisian kuesioner penelitian Lampiran 2.
4. Data berat badan dan tinggi badan. Berat badan dan tingi badan tidak diukur secara langsung, tetapi berdasarkan informasi dari mahasiswa dan
merupakan hasil pengukuran pada saat mahasiswa melaksanakan registrasi mahasiswa baru. Data ini diperoleh melalui pengisian kuesioner
penelitian Lampiran 2. 5. Kebiasaan makan contoh, meliputi keteraturan makan, frekuensi makan,
jeda waktu makan, kebiasaan makan pagi, mengkonsumsi makanan selingan, melakukan upaya menurunkan berat badan, minum teh, kopi,
soda, menkonsumsi makanan pedas, asam, dan mengkonsumsi suplemen. Selain itu dilihat juga tingkat kecukupan vitamin A, vitamin C,
konsumsi lemak, natrium, dan kalium contoh. Data frekuensi frekuensi makan, jeda waktu makan, kebiasaan makan pagi, mengkonsumsi
makanan selingan, melakukan upaya menurunkan berat badan, minum teh,
kopi, soda,
menkonsumsi makanan
pedas, asam,
dan mengkonsumsi suplemen, sedangkan data tingkat kecukupan vitamin A,
vitamin C, konsumsi lemak, natrium, dan kalium contoh diperoleh dengan instrumen kuesioner anamnesa diet atau kebiasaan makan Lampiran 2.
Kebiasaan makan yang diteliti hanya ketika contoh tinggal di asrama. 6. Data kebiasaan merokok meliputi frekuensi merokok rokokhari, durasi
berapa tahun merokok, dan umur ketika awal merokok. Selain sebagai perokok aktif, ditanyakan pula kebiasaan contoh sebaga perokok pasif.
Data tersebut diperoleh melalui pengisian kuesioner penelitian Lampiran 2 yang terdiri atas serangkaian pertanyaan, beberapa pertanyaan
merupakan pertanyaan terbuka sedangkan yang lainnya berupa pertanyaan tertutup.
7. Data kebiasaan mengkonsumsi minuman beralkohol meliputi jenis dan jumlah minuman beralkohol yang dikonsumsi per minggu. Data ini juga
diperoleh melalui pengisisan kuesioner penelitian Lampiran 2. 8. Data mengenai tingkat aktivitas fisik didapat dari kebiasaan olahraga
contoh, meliputi jenis, durasi, dan frekuensi olahraga per minggu, serta aktivitas ringan contoh sehari-hari berjalan dan besepeda. Data
diperoleh melalui pengisisan kuesioner penelitian Lampiran 2. 9. Konsumsi obat-obat-obatan pada saat tinggal di asrama, meliputi
kebiasaan contoh menkonsumsi obat-obatan jenis tertentu karena sakit kronis maupun keluhan kesehatan ringan, jenis obat yang biasa
dikonsumsi, frekuensi
konsumsi obat,
dan lamanya
contoh mengkonsumsi obat-obatan tersebut. Data diperoleh melalui pengisian
kuesioner penelitian Lampiran 2. 10. Tingkat stres contoh diukur melalui serangkaian pertanyaan mengenai
gejala-gejala stres yang dialami contoh selama tinggal di asrama. Disediakan tiga pilihan jawaban untuk setiap pertanyaan, masing-masing
jawaban memiliki skor tertentu. Data diperoleh melalu pengsian kuesioner penelitian Lampiran 2.
11. Faktor herediter, meliputi riwayat penyakit keluarga, yaitu ada tidaknya keluarga yang menderita gastritis atau tukak peptik dan golongan darah
contoh. Data golongan darah contoh didasarkan pada pengetahuan contoh terhadap golongan darahnya masing-masing tidak dilakukan
pemeriksaan secara langsung yang dituliskan dalam jawaban kuesioner penelitian Lampiran 2.
Pengisian kuesoner skrining dan kuesioner penelitian dilakukan oleh contoh atau responden dengan dipandu oleh enumerator.
Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data menggunakan Microsoft Office Excel 2007 sedangkan analisis data menggunakan SPSS Statistical Product and Service Solution 16
for Windows. Proses pengolahan data melputi coding, entry, cleaning dan analisis data. Data yang terkumpul dikategorikan kemudan disajikan dalam
bentuk tabulasi silang dan dianalisis secara deskriptif. Hubungan antar variabel dianalisis secara statistik menggunakan analisis bivariat uji beda dan
hubungan dan multivariat regresi. Cara pengkategorian variabel dapat dilihat pada tabel 3.
Gangguan lambung gastritis atau tukak peptik. Data ini merupakan
riwayat gangguan lambung berupa gastritis atau tukak peptik contoh selama enam bulan terakhir dan riwayat frekuensi gejala-gejala gangguan lambung atau
dispepsia selama contoh tinggal di asrama sejak masuk hingga sebelum bulan puasa atau ramadhan. Data riwayat penyakit gastritis atau tukak peptik dan
frekuensi keluhan dispepsia masing-masing dikelompokkan dalam dua kategori. Gejala-gejala dispepsia dinilai secara subjektif oleh contoh, berdasarkan berapa
kali munculnya gejala dispepsia dalam satu minggu tidak pernah, 1-2 kali, 3-4 kali, dan lebih dari 4 kali atau hampir setiap hari. Hasilnya kemudian diskor
untuk menentukan frekuensi dispepsia yang dialami. Skor 0 nol jika contoh
sama sekali tidak pernah mengalami gejala; skor 1 satu jika mengalami gejala sebanyak 1-2 kali per minggu; skor 2 dua jika mengalami gejala 3-4 kali per
minggu; dan skor 3 tiga jika mengalami gejala 4 kali per minggu atau hampir setiap hari mengalami gejala dispepsia. Frekuensi dispepsia kemudian
dikelompokkan dalam dua kategori jarang dan sering berdasarkan rentang data skor gejala dispepsia. Perhitungan rentang skor yaitu nilai maksimal dikurangi
nilai minimal kemudian dibagi jumlah kelas atau kategori yang diinginkan Slamet 1993.
Rentang skor = Nilai maksimal
– Nilai minimal Jumlah kelas atau kategori
Tingkat frekuensi gejala lambung diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Tingkat frekuensi dispepsia
termasuk kategori “jarang” apabila skor frekuensi gejala yang diperoleh kurang dari sama dengan tujuh koma lima
≤7,5. 2. Tingkat frekuensi dispepsia
termasuk kategori “sedang” apabila skor frekuensi gejala yang diperoleh lebih dari tujuh koma lima 7,5.
Karakteristik contoh. Data karakteristik contoh terdiri atas dua jenis,
yaitu umur dan jenis kelamin. Umur contoh dikategorikan menjadi dua kelompok berdasarkan Monks 1999, yaitu 15-18 tahun remaja madya dan 18-21 tahun
remaja akhir. Kritera contoh pada penelitian ini dibatasi umur contoh 19 tahun sehingga penggolongan umur remaja akhir menggunakan kategori 18-19 tahun.
Karakteristik sosial-ekonomi. Karakteristik sosial-ekonomi dapat
digolongkan dalam unsur lingkungan yang dapat berpengaruh terhadap kejadian gastritis dan tukak peptik Riccardi dan Rotter 2004. Jumlah uang saku dapat
menggambarkan keadaan ekonomi contoh. Jumlah uang saku dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu: rendah, sedang, tinggi. Pengkategorian jumlah uang
saku menggunakan rentang data, yaitu nilai maksimal data dikurangi nilai minimal data kemudian dibagi jumlah kelas atau jumlah kategori yang diinginkan.
Dari perhitungan diperoleh kriteria untuk kategori jumlah uang saku, yaitu: 1 Rendah, jika uang saku Rp 400.000per bulan; 2 Sedang, jika uang saku
antara Rp 400.000,00-Rp 800.000 per bulan; dan 3 Tinggi, jika uang saku Rp 800.000. Sukuetnis dan wilayah domisili contoh sebelum tinggal di asrama
diharapkan dapat memberikan penjelasan mengenai latar belakang budaya dan kebiasaan contoh. Sukuetnis dan wilayah domisili dikelompokkan berdasarkan
sukuetnis dan wilayah yang banyak muncul pada data yang diperoleh.
Status gizi. Status gizi contoh dihitung berdasarkan Indeks Massa Tubuh
IMT yang diperoleh dari perbandingan indeks antropometri berat badan kg dibagi dengan tinggi badan kuadrat m
2
Supariasa et al. 2001. Rumus untuk menentukan Indeks Massa Tubuh adalah:
IMT kg m
2
= Berat Badan kg_
Tinggi Badan
2
m
2
Pengolahan data status gizi menggunakan software WHO Anthroplus. Pengkategorian status gizi didasarkan pada klasifikasi IMTU untuk anak usia
sekolah dan remaja umur 5-19 tahun menurut WHO 2007. Adapun cut off point status gizi menurut IMTU tercantum dalam Tabel 3.
Kebiasaan makan. Data kebiasaan makan yang dianalisis adalah
keteraturan makan, frekuensi makan, jeda waktu makan, kebiasaan makan pagi, mengkonsumsi makanan selingan, melakukan upaya menurunkan berat badan,
minum teh, kopi, soda, menkonsumsi makanan pedas, asam, dan mengkonsumsi suplemen. Selain itu dilihat juga tingkat kecukupan vitamin A,
vitamin C, konsumsi lemak, natrium, dan kalium contoh. Penilaian konsumsi makanan contoh terbatas pada zat gizi lemak, natrium, vitamin A, vitamin C, dan
kalium menggunakan software Nutrisurvey versi Indonesia yang di dalamnya terdapat instrumen DKBM Daftar Komposisi Bahan Makanan. Tingkat konsumsi
lemak, vitamin A, dan vitamin C contoh diketahui dari perbandingan jumlah zat gizi yang dikonsumsi contoh dengan angka kecukupan gizi AKG. Tingkat
konsumsi natrium dan kalium contoh dihitung dari perbandingan jumlah natrium dan kalium yang dikonsumsi contoh per hari dengan jumlah yang disarankan
menurut Dwijayanti, Ratnasari, dan Susetyowati 2008. Konsumsi lemak dan natrum tinggi berkaitan dengan meningkatnya risiko gastritis dan tukak peptik,
sedangkan konsumsi vitamin A, vitamin C, dan kalium berdampak sebaliknya.
Kebiasaan merokok. Penelitian-penelitian mengenai faktor risiko gastritis
dan tukak peptik terdahulu banyak yang menyimpulkan bahwa merokok merupakan faktor yang berkontribusi nyata pada munculnya gastritis dan tukak
peptik, serta proses penyembuhannya. Contoh dibagi menjadi dua kategori, yatu perokok dan bukan perokok. Contoh perokok ditanya lebih lanjut mengenai
frekuensi merokok rokokhari, durasi berapa tahun merokok, dan umur ketika awal merokok. Semakin sering frekuensi merokok contoh, semakin lama durasi
merokok contoh, dan semakin muda usia awal merokok maka semakin berdampak negative bagi kesehatan contoh, termasuk munculnya atau
kambuhnya gastritis dan tukak peptik. Kebiasaan menjadi perokok pasif juga ditanyakan dalam penelitian ini. Perokok pasif dibedakan menjadi dua kelompok,
yaitu “sering” apabila contoh menghirup asam rokok 3 kali per hari dan “jarang” apabila contoh menghirup asap rokok 3 kali per hari Mcintosh, Byth, dan Piper
1985.
Kebiasaan mengkonsumsi
minuman beralkohol.
Kebiasaan mengkonsumsi alkohol meliputi jenis dan jumlah minuman beralkohol yang
dikonsumsi per minggu. Contoh dibagi dalam tiga kategori berdasarkan frekuensi dan jumlah minuman beralkohol yang dikonsumsi. Kelompok pertama adalah
bukan peminum, yaitu contoh yang tidak pernah mengkonsumsi alkohol. Kelompok kedua, peminum ringan, mengkonsumsi minuman beralkohol 3x per
minggu dan jumlahnya 60 gram sekali minum. Kelompok ketiga, peminum berat, mengkonsumsi minuman ber
alkohol ≥ 3 kali per minggu dan jumlahnya ≥ 60 gram etanol sekali minum Choi, Lim, dan Park 2006.
Aktivitas fisik dan kebiasaan olahraga. Kebiasan olahraga yang diteliti
antara lain jenis, durasi, dan frekuensi olahraga. Durasi olahraga digunakan sebagai dasar penentuan tingkat aktivitas fisik, yaitu dengan menghitung total
waktu atau lama durasi aktivitas olahraga menit akumulatif per minggu. Tingkat aktivitas fisik menurut U.S. Department of Health and Human Services atau
USDHHS 2008 didasarkan pada aktivitas sedang moderate activity yang dilakukan dalam satu minggu setelah ditotal dan diklasifikasikan. Ada empat
klasifikasi tingkatan aktivitas fisik, yaitu: tidak aktif, rendah, sedang, dan berat. Tidak aktif jika tidak melakukan aktivitas sedang; rendah jika melakukan aktivitas
sedang 150 menit per minggu, sedang jika melakukan aktivitas sedang 150-300 menit per minggu, dan berat jika melakukan aktivitas sedang lebih dari 300 menit
per minggu. Apabila dalam satu minggu melakukan aktivitas berat, maka total durasi dari aktivitas berat dalam seminggu dikalikan dua.
Kebiasaan mengkonsumsi obat-obatan. Kebiasaan mengkonsumsi
obat-obatan contoh dikelompokkan menjadi dua golongan, pengguna harian dan bukan pengguna harian berdasarkan jumlah dan frekuensi obat yang
dikonsumsi. Dinyatakan sebagai pengguna harian apabila contoh mengkonsumsi obat setiap hari atau
≥ 7 tabletkapsulkaplet per minggu. Dinyatakan sebagai bukan pengguna harian jika contoh mengkonsumsi obat 7 tabletkapsulkaplet
per minggu McCintosh, Byth, dan Piper 1985.
Tingkat stress. Tingkat stres contoh diukur melalui serangkaian
pertanyaan sejumlah mengenai gejala-gejala stres yang dialami contoh selama tinggal di asrama. Pertanyaan mengenai gejala stres berjumlah 18 pertanyaan,
masing-masing diberikan tiga pilihan jawaban, yaitu: tidak pernah, jarang atau kadang-kadang, dan sering
. Setiap pilihan jawaban diberi skor berbeda, “tidak pernah” diberi skor 1, ”jarang atau kadang-kadang” diberi skor 2, dan “sering”
diberi skor 3. Tingkat stres dikategorikandalam kelompok rendah, sedang, dan
tinggi. Dinyatakan bahwa contoh memiliki tingkat stres rendah apabila total skor 29, tingkat stres sedang apabila total skor 29-40, dan tingkat stres tinggi apabila
total skor 40 Laela 2008.
Faktor herediter. Terdapat dua hal yang dilihat sebagai faktor herediter
contoh, yaitu riwayat penyakit gastritis atau tukak peptik pada keluarga dan golongan darah contoh. Riwayat penyakit gastritis atau tukak peptik pada
keluarga contoh dibatasi pada ayah, ibu, kakek, dan nenek contoh. Golongan darah contoh dikelompokkan berdasarkan penggolongan darah ABO terdiri atas
empat golongan darah, yaitu: A, B, O, dan AB. Golongan darah yang diduga berkorelasi kuat dengan kejadian gastritis dan tukak peptik adalah golongan
darah O. Jenis data yang dikumpulkan, pengkategorian, dan analisis data yang
digunakan disajikan pada tabel berikut ini: Tabel 3 Variabel dan kategori variabel yang digunakan
Peubah Kategori
Gangguan lambung gastritistukak peptik
1. Ya 2. Tidak
Frekuensi dispepsia 1. Jarang
skor gejala ≤7,5 2. Sering skor gejala 7,5
rentang data Umur
1. 15-18 tahun 3. 18-19 tahun
Jenis kelamin 1. Laki-laki
2. Perempuan Jumlah uang saku
1. Rendah Rp 400.000,00 2. Sedang Rp 400.000,00-Rp 800.000,00
3. Tinggi Rp 800.000,00 rentang data
Sukuetnis 1. Sunda
2. Jawa 3. Betawi
4. Batak 5. Sulawesi
6. Melayu 7. Bali
Wilayah domisili paling lama Provinsi 1. Jawa Barat 2. Jawa Tengah
3. Jawa Timur 4. Jakarta
5. Banten 6. Bali
7. Sumatera 8. Sulawesi
Status Gizi 1. IMTU -3 SD sangat kurus
2. IMTU -3 s.d -2 SD kurus 3. IMTU -2 s.d. +1 SD normal
4. IMTU +1 s.d. +3 SD overweight 5. IMTU +3 SD obesitas
WHO 2007 Keteraturan makan
1. Teratur 2. Tidak teratur
Frekuensi makan 1. Tidak tentu
2. 1 kali per hari 3. 2-3 kali per hari
4. 3 kali per hari
Jeda waktu makan 1. Tidak tentu
2. 4-5 jam 3. 6-7 jam
4. 8-9 jam
Kebiasaan Sarapan 1. Ya
2. Tidak Kebiasaan mengkonsumsi makanan
selingan 1. Ya
2. Tidak Kebiasaan membatasi asupan
makanan 1. Ya
2. Tidak Kebiasaan minum minuman iritatif
teh, kopi, minuman berkarbonasi, dan kombinasinya
1. Teh 2. Kopi
3. Minuman berkarbonasi 4. Teh + Kopi
5. Teh + M. Berkarbonasi 6. Kopi + M. Berkarbonasi
7. Teh + Kopi+ M. Berkarbonasi 8. Bukan ketiganya
Kebiasaan makan pedas 1. Ya
2. Tidak Kebiasaan makan asam
1. Ya 2. Tidak
Frekuensi konsumsi suplemen 1. Ya
2. Tidak Tingkat kecukupan vitamin A
1. Defisit TK 77 AKG 2. Normal TK ≥ 77 AKG
Gibson 2005 Tingkat kecukupan vitamin C
1. Defisit TK 77 AKG 2. Normal TK ≥ 77 AKG
Gibson 2005 Konsumsi lemak
1. ≤ 30 AKE 2. 30 AKE
Ettinger S. 2000 Konsumsi natrium Almatsier 2002
1. cukup ≤ 2400 mg
2. lebih 2400 mg Dwijayanti, Ratnasari, dan Susetyowati 2008
Konsumsi kalium Budiman 1999 dalam Dwijayanti et al 2008
1. cukup ≥ 2000 mg
2. kurang 2000 mg Dwijayanti, Ratnasari, dan Susetyowati 2008
Kebiasan merokok 1. Ya
2. Tidak Jumlah rokok yang dihisap per hari
1. Rendah 1-9 batang 2. Sedang 10-19 batang
3. Berat ≥ 20 batang
Lama merokok 1. ≤ 5 tahun
2. 5 tahun Usia awal merokok
1. ≤ 15 tahun
2. 15 tahun Perokok pasif
1. Sering 3x sehari 2. Jarang 3x sehari
Kebiasaan mengkonsumsi alkohol 1. Ya
2. Tidak Jumlah alkohol yang dikonsumsi
1. Tidak pernah 2. 3 botolminggu, sekali minum 60 g
3. ≥ 3 botolminggu, sekali minum ≥ 60 g
Choi, Lim, dan Park 2006 Jenis alkohol yang dikonsumsi
1. Anggur 2. Bir
3. Lainnya Kebiasaan olahraga
1. Ya 2. Tidak
Aktivitas fisik USDHHS 2008 1. Tidak aktif tidak melakukan aktifitas sedang
2. Ringan 150 menit per minggu 3. Sedang 150-300 menit per minggu
4. Berat 300 menit per minggu
USDHHS 2008 Kebiasaan mengkonsumsi obat
1.Bukan Pengguna Harian 7 tabletkapsulkaplet per minggu
2. Pengguna Harian mengkonsumsi obat setiap hari atau ≥ 7
tabletkapsulkaplet per minggu McCintosh, Byth, dan Piper 1985
Jenis obat-obatan yang dikonsumsi 1. Antasida
2. Obat antiinflamasi 3. Antibiotik
4. Analgesik 5. Lainnya
Tingkat stres 1. Rendah total skor 29
2. Sedang total skor 29-40 3. Tinggi total skor 40
Laela 2008
Riwayat penyakit gastritis dan tukak peptik tukak lambung tukak
duodenum keluarga ayah, ibu, kakek, nenek
1. Ya 2. Tidak
Golongan Darah 1. A
2. B 3. O
4. AB
Data hasil penelitian dianalisis secara deskriptif dan statistik inferensia yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Tahapan analisis penelitian ini
meliputi: 1 Analisis univariat digunakan pada seluruh variabel yang diamati,
untuk melihat sebaran contoh berdasarkan variabel yang diamati secara deskriptif; 2 Analisis bivariat untuk mengetahui hubungan antar variabel
dependen dan independen secara sendiri-sendiri uji beda dan uji hubungan; 3 Analisis multivariat untuk mengetahui pengaruh paparan secara bersama-sama
dari variabel faktor-faktor terhadap frekuensi dispepsia uji statistik yang digunakan adalah regresi logistik. Uji distribusi normalitas data menggunakan
uji Kolmogorov-Smirnov. Uji beda digunakan untuk menganalisis perbedaan antara contoh pada
kelompok kasus dan kelompok kontrol. Uji beda yang digunakan adalah uji Chi Square untuk data berskala nominal, Mann Whitney untuk data dengan skala
ordinal, dan Independent T-test untuk data dengan skala interval dan rasio. Uji beda dilakukan pada seluruh variabel yang diamati untuk melihat ada tidaknya
perbedaan pada masing-masing variabel di kedua kelompok contoh kasus dan kontrol.
Uji hubungan menyatakan derajat hubungan linier antara dua variabel atau lebih Sugiyono 2009. Uji tersebut digunakan untuk menguji keeratan
hubungan antara frekuensi dispepsia dengan variabel faktor resiko yang diteliti. Uji hubungan yang digunakan pada analisis data penelitian ini adalah uji Chi
Square x
2
menggunakan tabel 2x2. Digunakan tabel 2x2 dengan tujuan agar dapat menghitung nilai odds ratio OR, yaitu risiko relatif antara kelompok
penderita kasus dan bukan penderita kontrol secara lebih sederhana. Perhitungan OR dapat dilakukan sebagai berikut:
Tabel 4 Bentuk tabel 2x2 untuk menentukan odd ratio pada studi case kontrol
Faktor Risiko Kasus
Kontrol Jumlah
Ya a
b a+b
Tidak c
d c+d
Jumlah a+c
b+d a+b+c+d
Odds ac
bd
OR ac = ad bd
bc
Bila OR = 1, artinya: tidak ada hubungan antara faktor risiko dengan dispepsia Bila OR 1, artinya:faktor risiko dapat menurunkan risiko terkena dispepsia efek
protektif Bila OR 1, artinya faktor risiko dapat meningkatkan risiko terkena dispepsia
Adanya hubungan yang bermakna p0,05 pada uji Chi Square antara variabel dependen dan independen menjadi standar seleksi awal untuk
menentukan variabel independen yang masuk ke dalam analisis multivariat
regresi logistik. Variabel independen faktor-faktor risiko dispepsia tukak lambung atau tukak duodenum dianalisis menggunakan regresi logistik Multiple
Logistic Regression. Tujuan analisis regresi logistik adalah menemukan model regresi yang sesuai untuk menggambarkan hubungan antara variabel dependen
dengan independen dalam populasi. Selanjutnya model tersebut dapat digunakan untuk memprediksikan terjadinya variabel dependen berdasarkan
nilai-nilai dari sejumlah variabel independen dan mengukur hubungan antara variabel dependen dengan independen setelah mengontrol pengaruh dari
variabel independen lainnya. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah frekuensi dispepsia
gastritis atau tukak peptik, sedangkan variabel independennya adalah kebiasaan makan, status gizi, kebiasaan merokok, aktivitas fisik, kebiasaan
mengkonsumsi obat-obatan, faktor herediter, dan tingkat stres contoh. Variabel dependen memiliki dua kategori dua kemungkinan variabel respon sehingga
analisis regresi logistik yang digunakan adalah regresi logistik biner. Model yang
digunakan pada regresi logistik adalah: Log P 1
– p = β + β
1
X
1
+ β
2
X
2
+ …. + β
k
X
k
Dimana p adalah kemungkinan bahwa Y = 1, dan X1, X2, X3 adalah variabel independen, dan
β adalah koefisien regresi. Regresi logistik akan membentuk variabel prediktorrespon log p1-p yang merupakan kombinasi
linier dari variabel independen. Nilai variabel prediktor ini kemudian ditransformasikan menjadi probabilitas dengan fungsi logit. Regresi logistik
juga
menghasilkan rasio peluang odds ratios terkait dengan nilai setiap prediktor. Peluang odds dari suatu kejadian diartikan sebagai probabilitas hasil yang
muncul yang dibagi dengan probabilitas suatu kejadian tidak terjadi. Secara umum, rasio peluang odds ratios merupakan sekumpulan peluang yang dibagi
oleh peluang lainnya. Rasio peluang bagi prediktor diartikan sebagai jumlah relatif dimana peluang hasil meningkat rasio peluang 1 atau turun rasio
peluang 1 ketika nilai variabel prediktor meningkat sebesar 1 unit.
Definisi Operasional Contoh adalah mahasiswamahasiswi TPB IPB tahun ajaran 20102011 dan
tinggal di asrama putraputri TPB IPB.
Kasus adalah contoh yang berdasarkan diagnosis dokter pernah dinyatakan
mengalami penyakitgangguan lambung berupa gastritis atau tukak peptik.
Kontrol adalah contoh yang tidak memiliki riwayat penyakitgangguan lambung. Dispepsia adalah sekumpulan gejala berupa ketidaknyamanan pada perut
bagian atas, yang menjadi tanda-tanda khas adanya gangguan lambung gastritis dan tukak peptik, meliputi sering bersendawa, muntah, mual,
perut penuhcepat kenyang, perut kembung setelah makan, rasa panas terbakar di dada, dan nyeri epigastrum. Frekuensi dispepsia dinilai secara
subjektif berdasarkan berapa kali munculnya gejala dalam seminggu, diskor, kemudian dikelompokkan menjadi dua kategori jarang dan sering.
Jumlah uang saku adalah jumlah pendapatan atau penerimaan contoh yang
berasal dari pemberian maupun upah hasil kerja yang disetarakan dalam
rupiah dalam kurun waktu satu bulan. Sukuetnis adalah penggolongan contoh berdasarkan garis keturunannya ayah
dan ibu. Status gizi adalah kondisi tubuh contoh yang menggambarkan keseimbangan
antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi yang ditentukan melalui perhitungan indeks massa tubuh IMT dalam satuan kgm
2
. Kebiasaan makan adalah keteraturan makan, frekuensi makan, jeda waktu
makan, kebiasaan makan pagi, mengkonsumsi makanan selingan, melakukan upaya menurunkan berat badan, minum teh, kopi, soda,
menkonsumsi makanan pedas, asam, dan mengkonsumsi suplemen. Tingkat kecukupan vitamin A, vitamin C, konsumsi lemak, natrium, dan
kalium contoh yang dinilai berdasarkan kuesioner anamnesa diet atau
anamnesa kebiasaan makan contoh selama tinggal di asrama TPB IPB. Frekuensi makan adalah berapa kali contoh makan dalam sehari. Makanan
yang dimaksud adalah makan makanan berat yang terdiri atas makanan pokok dengan lauk-pauk danatau sayuran, bukan makanan selingan.
Kebiasaan minum minuman berkarbonasi adalah kebiasaan contoh minum
minuman berkarbonasi dalam jumlah tiga atau lebih botol kecil atau kaleng per minggu.
Kebiasaan merokok adalah kebiasaan contoh merokok yang meliputi jumlah
rokok yang dihisap per hari, lama merokok, dan usia awal merokok.
Kebiasan mengkonsumsi minuman beralkohol adalah kebiasaan contoh
munum minuman keras minuman beralkohol, meliputi jenis yang dikonsumsi per minggu dan jumlah yang dikonsumsi sekali minum.
Aktivitas fisik jenis dan lama kegiatan yang meibatkan fisik contoh, diperoleh
melalui pengisian kuesioner kebiasaan olahraga. Durasi olahraga digunakan sebagai dasar penentuan tingkat aktivitas fisik, yaitu dengan
menghitung total waktu atau lama durasi aktivitas olahraga menit akumulatif per minggu. Tingkat aktivitas fisik diklasifikasikan menjadi tidak
aktif, rendah, sedang, dan berat.
Tingkat stres derajat tekanan yang dialami contoh selama tinggal di asrama
yang diukur menggunakan delapan belas pertanyaan terkait frekuensi gejala stres yang dialami, kemudian diskor, dan dikelompokkan dalam dua
kategori rendah dan sedang.
Konsumsi obat-obatan adalah kebiasaan contoh mengkonsumsi obat-obatan,
baik karena menderita sakit kronis maupun karena keluhan kesehatan ringan.
Riwayat penyakit keluarga adalah ada tidaknya keluarga contoh yang pernah
mengalami gastritis atau tukak peptik.
Golongan darah pengelompokan golongan darah berdasarkan antigen yang
terdapat pada permukaan membran sel darah merah, yang terdiri dari
golongan A, B, AB, dan O.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Asrama TPB IPB
Setiap tahun tidak kurang dari 3000 mahasiswa dari seluruh wilayah di Indonesia masuk menjadi mahasiswa baru IPB melalui berbagai jalur seleksi.
Jalur seleksi mahasiswa baru IPB antara lain Undangan Seleksi Masuk IPB USMI, Ujian Talenta Mandiri UTMI, Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi
Negeri SNMPTN, Beasiswa Utusan Daerah BUD, serta Beasiswa Prestasi Olahraga dan Seni. Dengan berbagai jalur seleksi tersebut, mahasiswa baru
yang tersaring masuk IPB sangat plural, berasal dari berbagai daerah di Indonesia dengan berbagai latar belakang keilmuan dan budaya yang beragam.
Mahasiswa Institut Pertanian Bogor IPB pada tahun pertama diwajibkan menjalani kegiatan perkuliahan dasar yang dinamakan Tingkat Persiapan
bersama TPB selama dua semester atau satu tahun. Jumlah satuan kredit semester SKS yang diambil selama masa TPB adalah 36 SKS. Khusus
mahasiswa dari jalur masuk USMI, UTMI, dan BUD sebagian diwajibkan juga menjalani perkuliahan matrikulasi yang diselenggarakan satu bulan lebih awal,
sebelum perkuliahan reguler berlangsung. Selain menjalani perkuliahan, mahasiswa TPB juga diwajibkan menjalani Program Pengembangan Akademik
dan Multibudaya PPAMB dan tinggal di asrama. Program tersebut memberikan kesempatan berinteraksi dengan berbagai latar belakang bidang ilmu, budaya,
agama, dan suku bangsa. Asrama mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor
TPB IPB terdiri atas asrama putra dan asrama putri. Asrama putra terdiri atas empat gedung, yaitu gedung C1, C2, C3 dan C4 Asrama Sylvalestari. Adapun
asrama putri terdiri dari lima gedung, yaitu A1, A2, A3, A4 Rusunawa, dan A5 Asrama Sylvasari. Setiap gedung asrama berbentuk hampir sama kecuali
Rusunawa, Sylvasari, dan Sylvalestari yang merupakan gedung tambahan. Setiap gedung terbagi atas beberapa lorong yang dikepalai oleh seorang Senior
Residence SR untuk mempermudah pengawasan dan pengelolaan. Satu lorong terdiri sekurang-kurangnya 40 orang 10 kamar, masing-masing kamar
diisi oleh empat orang. Fasilititas kamar tidur asrama TPB IPB memiliki ukuran 16m
2
4mx4m. Dalam setiap kamar tersedia dua ranjang tidur bertingkat, empat buah lemari,
empat buah meja belajar lengkap dengan lampu, kapstok, tempat sampah, dan lain-lain. Satu kamar diisi oleh empat orang kecuali Asrama Sylvalestari dan
Sylvalestari, satu kamar diisi oleh tiga orang. Di setiap lorong disediakan toilet, ruang setrika, dan pantry. Tempat cuci tidak terdapat di setiap lorong. Toilet yang
disediakan di setiap lorong asrama, terdiri atas enam unit kamar mandi dan empat unit WC. Disediakan satu buah dispenser di pantry yang letaknya satu
ruangan dengan ruang setrika. Air yang digunakan di toilet asrama adalah air tanah yang telah melalui proses penjernihan terlebih dahulu.
Kantin asrama putra berada di dalam masing-masing gedung, sedangkan kantin asrama putri berada di luar gedung. Di dalam lingkungan asrama juga
terdapat toko koperasi dan jasa fotokopi asrama putri yang menginduk kepada Koperasi Mahasiswa IPB. Di luar gedung, tidak jauh dari asrama putri, terdapat
minimarket Agrimart IPB. Dengan adanya toko dan minimarket tersebut, mahasiswa TPB akan lebih mudah untuk mendapatkan barang-barang yang
dibutuhkan tanpa harus keluar terlalu jauh dari lingkungan asrama. Mahasiswa TPB menjalani perkuliahan di berbagai gedung fakultas yang
terdapat di berbagai wilayah kampus Dramaga terdapat sembilan fakultas di IPB, dengan lokasi yang berbeda-beda. Untuk mempermudah akses ke lokasi
perkuliahan, diberikan fasilitas bus IPB yang akan menjemput dan mengantarkan mahasiswa ke halte-halte terdekat dengan lokasi kuliah. Bus kampus ini tidak
memungut biaya dari mahasiswa. Selain bus kampus, disediakan juga sepeda sebagai alternatif alat transportasi di dalm kampus. Fasilitas lainnya adalah
ambulance asrama yang selalu siap selama 24 jam.
Karakteristik Contoh
Mahasiswa yang dijadikan contoh dalam penelitian ini adalah yang sudah tinggal di asrama sekurang-kurangnya satu bulan dan pernah menjalani
perkuliahan matrikulasi. Contoh pada penelitian ini terbagi atas dua kelompok, yaitu kelompok kasus contoh yang sedang atau pernah mengalami gangguan
lambung dan kelompok kontrol contoh tanpa gangguan lambung. Karakteristik contoh diidentifikasi untuk mengetahui sebaran umur dan jenis kelamin contoh.
Karakteristik Hasil sebaran masing-masing variabel dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Sebaran contoh menurut karakteristik contoh
Variabel Kasus
Kontrol Total
n n
n
Jenis Kelamin
Putra 24
40 24
40 48
40 Putri
36 60
36 60
72 60
Umur Tahun
Remaja madya 15-18 tahun 17
28,3 17
28,3 34
28,3 Remaja akhir 18-19 tahun
43 71,7
43 71,7
86 71,7
Lebih dari separuh contoh 60 berjenis kelamin perempuan putri, sedangkan 40 sisanya laki-laki putra. Jenis kelamin merupakan salah satu
variabel yang digunakan sebagai acuan dalam pemilihan contoh. Pemilihan contoh untuk kelompok kasus dan kontrol menggunakan cara berpasangan,
contoh pada kelompok kontrol adalah pasangan yang berjenis kelamin sama dengan contoh yang terdapat pada kelompok kasus. Proporsi contoh
berdasarkan jenis kelamin disesuaikan dengan keadaan di lapangan. Sebanyak 40,2 mahasiswa TPB IPB angkatan 20102011 berjenis kelamin laki-laki,
sedangkan 59,8 sisanya berjenis kelamin perempuan. Monks 1999 mengklasifikasikan remaja dalam tiga kelompok umur,
yaitu: remaja awal 12-15 tahun, remaja pertengahan atau madya 15-18 tahun, dan remaja akhir 18-21 tahun. Penelitian ini membatasi usia contoh pada
rentang 12-19 tahun untuk memudahkan pengolahan data. Contoh yang didapatkan untuk penelitian ini berada dalam kisaran umur 15-19 tahun atau
remaja madya dan remaja akhir. Baik pada kelompok kasus maupun kontrol, sebagian besar contoh 71,7 terdapat pada kelompok umur remaja akhir 18-
19 tahun. Rata-rata umur contoh pada kelompok kasus adalah 17,73±0,48 tahun. Adapun rata-rata umur contoh pada kelompok kontrol adalah 17, 68±0,50
tahun. Umur merupakan salah satu variabel yang digunakan sebagai acuan dalam pemilihan contoh. Pemilihan contoh untuk kelompok kasus dan kontrol
menggunakan cara berpasangan matching, contoh pada kelompok kasus dicarikan pasangan yang umurnya relatif sama untuk kontrolnya.
Karakteristik Sosial-Ekonomi
Karakteristik sosial-ekonomi dapat digolongkan dalam unsur lingkungan yang dapat berpengaruh terhadap kejadian gastritis dan tukak peptik Riccardi
dan Rotter 2004. Karakteristik sosial ekonomi yang dianalisis dalam penelitian ini adalah jumlah uang saku, sukuetnis, dan wilayah domisili contoh sebelum
tinggal di asrama. Hasil sebaran jumlah uang saku dapat dilihat pada Tabel 6, sebaran sukuetnis pada Tabel 7, dan sebaran wilayah domisili pada Tabel 8.
Tabel 6 Sebaran contoh menurut jumlah uang saku
Jumlah Uang Saku Kasus
Kontrol Total
n n
n Rendah
13 21,7
18 30,0
31 25,8
Sedang 34
56,7 32
53,3 65
54,2 Tinggi
13 21,7
10 16,7
24 20,0
Variabel jumlah uang saku dapat menggambarkan keadaan ekonomi contoh. Lebih dari separuh contoh 56,7 pada kelompok kasus dan 53,3
pada kelompok kontrol berada pada kategori sedang. Jumlah contoh yang berada pada kategori rendah, lebih banyak yang berasal dari kelompok kontrol
dibandingkan dengan kelompok kasus. Rata-rata jumlah uang saku contoh pada kelompok kasus adalah Rp 647.166±256.390
,
sedangkan pada kelompok kontrol adalah Rp 640.000± 307.091. Analisis uji Independent-T menunjukkan bahwa
p0,05 sehingga dapat dinyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata jumlah uang saku contoh antara kelompok kasus dengan kelompok kontrol Lampiran
3. Sukuetnis dan wilayah domisili contoh sebelum tinggal di asrama
diharapkan dapat memberikan penjelasan mengenai latar belakang budaya dan kebiasaan contoh. Sukuetnis contoh diidentifikasi berdasarkan sukuetnis ayah
dan ibu contoh. Wilayah domisili contoh adalah wilayah atau provinsi yang paling lama ditinggali oleh contoh, sebelum contoh menjalani perkuliahan dan tinggal di
asrama. Pengelompokan sukuetnis dan wilayah domisili contoh didasarkan pada sukuetnis yang banyak muncul pada data.
Sebaran contoh berdasarkan sukuetnis ayah dan ibu contoh dapat dilihat pada Tabel 7. Sukuetnis contoh dibagi menjadi kategori Sunda, Jawa, Betawi,
Batak, Sulawesi, Melayu, dan Bali. Secara umum, sebagian besar contoh pada kelompok kasus dan kontrol, berasal dari suku Jawa, baik ayah maupun ibu
contoh. Persentase terbesar setelah suku Jawa adalah suku Sunda. Analisis uji Chi Square menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata sukuetnis
ayah dan ibu contoh pada kelompok kasus dan kontrol p0,05 Lampiran 3.
Tabel 7 Sebaran sukuetnis menurut ayah dan ibu contoh
Suku Ayah
Ibu Kasus
Kontrol Kasus
Kontrol n
n n
n Sunda
20 33,3
20 33,3
19 31,7
20 33,3
Jawa 25
41,7 26
43,3 25
41,7 28
46,7 Betawi
1 1,7
2 3,3
0,0 2
3,3 Batak
5 8,3
5 8,3
6 10,0
4 6,7
Sulawesi 2
3,3 2
3,3 2
3,3 1
1,7 Melayu
6 10,0
4 6,7
6 10,0
4 6,7
Bali 1
1,7 1
1,7 2
3,3 1
1,7
Sebaran contoh berdasarkan wilayah domisili dapat dilihat pada Tabel 8. Wilayah domisili contoh dibagi menjadi delapan kategori, yaitu: Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Jakarta, Banten, Bali, Sumatera, dan Sulawesi. Secara umum, contoh banyak berasal dari Pulau Jawa. Sebagian besar contoh kasus
maupun kontrol berasal dari wilayah Jawa Barat wilayah dengan persentase sebaran contoh terbesar. Persentase sebaran contoh berikutnya adalah
Sumatera, yang terdiri atas Provinsi Lampung, Sumatera Selatan, Jambi, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara. Analisis uji Chi Square menunjukkan nilai
p0,05, artinya tidak ada perbedaan yang nyata wilayah domisili pada kelompok kasus dan kontrol Lampiran 3.
Tabel 8 Sebaran wilayah domisili contoh
Wilayah Domisili Kasus
Kontrol Total
n n
n Jawa Barat
27 45,0
22 36,7
49 40,8
Jawa Tengah 7
11,7 8
13,3 15
12,5 Jawa Timur
6 10,0
6 10,0
12 10,0
Jakarta 2
3,3 5
8,3 7
5,8 Banten
2 3,3
4 6,7
6 5,0
Bali 1
1,7 2
3,3 3
2,5 Sumatera
12 20,0
12 20,0
24 20,0
Sulawesi 3
5,0 1
1,7 4
3,3 Total
60 100,0
60 100,0
120 100
Gangguan Lambung
Penyakit pencernaan yang sering dikeluhkan adalah gangguan lambung. Lambung adalah reservoir pertama makanan dalam tubuh dan di organ tersebut
makanan melalui proses pencernaan dan penyerapan sebagian zat gizi. Gangguan lambung yang umum terjadi antara lain gastritis dan tukak peptik.
Gastritis adalah peradangan pada mukosa lambung, sedangkan tukak peptik adalah ulserasi perlukaan pada saluran pencernaan bagian atas, terutama
pada lambung dan duodenum. Patogenesis tukak peptik berkaitan dengan asam lambung dan pepsin. Terdapat banyak faktor yang berpengaruh terhadap
timbulnya gastritis dan tukak peptik maupun yang menimbulkan gejala-gejala dispepsia
yang menyertai
penyakit tersebut.
Faktor risiko
yang mempengaruhinya antara lain kebiasaan makan atau diet, merokok, alkohol,
stres fisik dan psikologis, herediter atau genetik atau bawaan, konsumsi obat- obatan obat anti inflamasi non sterodi, beberapa antibiotik, suplemen besi, dll,
lingkungan sosial-ekonomi, dan infeksi bakteri Helicobacter pylori. Yanti 2009 menyatakan dalam penelitiannya bahwa insiden gastritis di
Indonesia sebesar 115100.000 penduduk. Prevalensi tukak peptik ditemukan antara 6-15. Dalam penelitian, data riwayat penyakit gangguan lambung
gastritis dan tukak peptik, pertama-tama digunakan sebagai acuan untuk menentukan kelompok kasus dan kontrol. Jumlah contoh untuk kedua kelompok
kasus dan kontrol sama besar, yaitu 60 orang, yang terdiri atas 24 putra 40 dan 36 putri 60. Riwayat muncul atau kambuhnya gejala gangguan lambung
diteliti menggunakan metode retrospektif dengan referensi waktu sejak contoh tinggal di asrama hingga sebelum contoh menjalani ibadah puasa sebelum
tanggal 11 Agustus 2010. Dalam rentang waktu tersebut, contoh sekurang- kurangnya telah tinggal di asrama selama satu bulan contoh tinggal asrama
sejak tanggal 26 Juni 2010 dan telah menjalani perkuliahan kuliah matrikulasi dan reguler.
Gejala-gejala gastritis dan tukak peptik, yang lebih dikenal dengan sindrom dispepsia sekumpulan gejala berupa ketidaknyamanan pada perut
bagian atas dirasakan cukup mengganggu penderitanya. Sekitar 30 penderita dispepsia tidak masuk kerja atau sekolah ketika gejala dispepsia menyerang. Hal
tersebut mengganggu produktivitas penderitanya dan menimbulkan kerugian. Penyakit tersebut berkaitan erat dengan kebiasaan makan dan gaya hidup
sehari-hari sehingga apabila kebiasaan makan dan gaya hidup yang dijalani penderitanya kurang baik, penderita rawan mengalami frekuensi munculnya
gejala. Perubahan lingkungan dan kebiasaan sehari-hari bagi mahasiswa baru seringkali menimbulkan stres. Kondisi lingkungan asrama, padatnya jadwal
kegiatan, dan berkurangnya pengawasan keluarga dapat menyebabkan perubahan pola makan dan gaya hidup menjadi lebih buruk. Seseorang yang
telah mengalami masalah pencernaan sebelumnya akan rentan mengalami gejala dispepsia karena perubahan kebiasaan yang tidak sehat. Bagi orang yang
tidak memiliki riwayat gangguan lambung, perilaku hidup yang kurang baik akan memicu munculnya gangguan lambung yang diawali dengan sindrom dispepsia.
Gejala-gejala khas dari gangguan lambung gastritis maupun tukak peptik adalah sakitnyerirasa tidak enak di daerah epigastrum ulu hati atau
perut di bagian atas, rasa panas terbakartidak nyaman di bagian dadabawah tulang dada, kembung bloating setelah makan, perut penuh dan cepat kenyang,
mual nausea, muntah vomitting, dan sering bersendawa. Sekumpulan gejala tersebut sering disebut dengan sindrom dispepsia.
Adanya gangguan lambung yang dialami dicirikan oleh seberapa sering frekuensi gejala gangguan lambung yang dialami oleh contoh. Frekuensi
munculnya gejala dispepsia ditentukan berdasarkan data subyektif contoh, bukan data pemeriksaan. Data frekuensi dispepsia pada awalnya dikategorikan
berdasarkan informasi dari contoh mengenai berapa kali munculnya masing- masing gejala dispepsia dalam seminggu. Gejala-gejala yang dialami contoh
tersebut kemudian diskor dan ditotal untuk menentukan kategori frekuensi dispepsia.
Terdapat dua kategori frekuensi dispepsia, dengan pengklasifikasian sebagai berikut: frekuensi dispepsia
termasuk kategori “jarang” apabila skor frekuensi munculnya gejala yang diperoleh kurang dari sama dengan tujuh koma
lima ≤7,5 dan frekuensi dispepsia termasuk kategori “sering” apabila skor
frekuensi munculnya gejala yang diperoleh lebih dari tujuh koma lima 7,5. Sebaran contoh berdasarkan frekuensi dispepsia yang dialami selama tinggal di
asrama dapat dilihat pada Tabel 9. Sebaran contoh berdasarkan frekuensi gejala gangguan lambung yang dialami selama tinggal di asrama dapat dilihat pada
Gambar 3. Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi dispepsia
Frekuensi Gejala
Kasus Kontrol
Total n
n n
Jarang 49
81,7 60
100 109
90,8 Sering
11 18,3
0,0 11
9,2
signifikannyata pada p0,05 dengan uji beda Mann Whitney
Secara umum, sebagian besar contoh berada pada kategori frekuensi jarang 90,8. Seluruh contoh pada kelompok kontrol berada pada kategori
jarang, sedangkan pada kelompok kasus sebanyak 18,3 contoh termasuk kategori sering. Analisis perbedaan kedua kelompok
contoh menggunakan uji
beda Mann Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata frekuensi dispepsia pada kelompok kasus dan kontrol p0,05 Lampiran 3..
Riwayat penyakit atau gangguan lambung contoh berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia yang dialami contoh p0,05. Contoh yang memiliki
riwayat gangguan lambung gastritis dan tukak peptik cenderung lebih sering mengalami dispepsia dibandingkan contoh tanpa riwayat gangguan lambung
OR: 1,224; 95 CI: 0,086-1,380. Contoh dengan riwayat gangguan lambung sebelumnya kasus memiliki peluang lebih sering mengalami dispepsia sebesar
1,224 kali dibandingkan contoh tanpa riwayat gangguan lambung kontrol.
Gambar 3 Sebaran contoh pada kelompok kasus berdasarkan frekuensi dispepsia lambung yang dialami
Sebagian contoh yang tidak memiliki riwayat gangguan lambung kontrol, tidak seratus persen bebas dari dispepsia yang gejala-gejala khas gangguan
lambung. Beberapa gejala dispepsia juga dialami oleh contoh pada kelompok kontrol, tetapi frekuensinya tidak sesering contoh pada kelompok kasus.
Dispepsia dapat timbul bukan hanya disebabkan oleh kelainan organik gastritis atau tukak peptik, melainkan karena sebab-sebab yang lain seperti kebiasaan
dan faktor psikologis stres. Gejala-gejala gangguan lambung atau sering disebut sindrom dispepsia sekumpulan gejala gangguan lambung berupa
20 40
60 80
100 120 Nyeri epigastrum
Rasa panas terbakar di dada Kembung setelah makan
Perut penuh, cepat kenyang Mual
Muntah Sering bersendawa
Kontrol 4 kaliminggu Kontrol 3-4 kaliminggu
Kontrol 1-2 kaliminggu Kontrol Tidak Pernah
Kasus 4 kaliminggu Kasus 3-4 kaliminggu
Kasus 1-2 kaliminggu Kasus Tidak Pernah
ketidaknyamanan perut bagian atas dapat timbul bukan hanya karena kelainan organik, melainkan dapat pula bersifat fungsional.
Status Gizi
Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, absorpsi, dan penggunaan zat makanan.
Status gizi dapat diketahui dengan menggunakan metode antropometri Gibson 2005. WHO merekomendasikan penggunaan z-score untuk mengevaluasi data
antropometri anak dan remaja. Dengan z-score, anak atau remaja yang berada jauh di bawah persentil data acuan dapat diklasifikasikan secara akurat. Indeks
yang digunakan dalam menentukan status gizi pada contoh adalah IMTU indeks massa tubuh terhadap umur. Sebaran contoh berdasarkan status gizi
dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan status gizi
Status Gizi Kasus
Kontrol Total
n n
n Normal
50 83,3
49 81,7
99 82,5
Tidak normal 10
16,7 11
18,3 21
17,5
Sebagian besar contoh kelompok kasus dan kontrol berada pada status gizi normal. Hanya sedikit contoh total kasus dan kontrol yang berada pada
status gizi tidak normal overweight atau underweight yaitu sebesar 16,7 kasus dan18,3 kontrol. Sebaran status gizi secara lebih rinci dapat dilihat
pada gambar 4, terdapat 0,8-9,2 contoh yang status gizinya sangat kurus, kurus, dan overweight. Tidak ada contoh yang status gizinya obesitas. Rata-rata
berat dan tinggi badan contoh pada kelompok kasus adalah 52,6±9,76 kg dan 161,3±6,7 cm, sedangkan pada kelompok kontrol 51,8±10,2 kg dan 160,0±8,9.
Indeks Massa Tubuh IMT contoh memiliki rataan 20,14±2,9 kgm
2
untuk kelompok kasus dan 20,16±3,2 kgm
2
untuk kelompok kontrol.
Gambar 4 Sebaran contoh pada kelompok kasus kiri dan kontrol kanan berdasarkan status gizi
2 8
82 8
7
83 10
Sangat kurus
Kurus
Analisis statistik menggunakan uji beda Independent T-test menyatakan bahwa status gizi antara kedua kelompok kasus dan kontrol tidak berbeda
nyata p0,05 Lampiran 3. Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menghubungkan status gizi dengan frekuensi dispepsiamenunjukkan bahwa
tidak terdapat hubungan yang nyata. Hubungan antara status gizi dengan tingkat frekuensi dispepsia tidak signifikan pada taraf nyata 5 p0,05. Hal ini berarti
semakin baik status gizi contoh maka tidak berhubungan dengan penurunan frekuensi dispepsia yang dialami contoh. Hasil penelitian ini sesuai dengan
penelitian Carvalho et al. 2008, yang menyatakan status gizi tidak berpengaruh pada pederita dispepsia gejala gastritis dan tukak peptik.
Kebiasaan Makan
Kebiasaan makan merupakan faktor yang berperan dalam terjadinya gastritis dan tukak peptik dengan gejala khas dispepsia. Kebiasaan makan
sangat erat kaitannya dengan sekresi asam lambung, yang merupakan faktor agresif pada lambung. Kebiasaan makan terdiri atas dua aspek, yaitu cara
makan dan makanan itu sendiri. Kebiasan makan teratur akan membantu lambung beradaptasi terhadap waktu makan sehingga sekresi asam lambung
terkontrol. Jenis-jenis makanan tertentu juga berperan dalam timbulnya gangguan lambung. Kebiasaan makan yang dianalisis dalam penelitian ini
adalah frekuensi makan, keteraturan makan, jeda waktu makan, kebiasaan sarapan makan pagi, kebiasaan mengkonsumsi makanan selingan snacking,
kebiasaan melakukan diet, serta frekuensi konsumsi makanan dan minuman tertentu kopi, teh, soda, makanan pedas, makanan asam, dan suplemen. Selain
itu diperhitungkan juga tingkat kecukupan vitamin A, vitamin C, lemak, natrium, dan kalium. Tabel 11 dan 12 menjelaskan sebaran contoh berdasarkan
kebiasaan makannya. Adapun Tabel 14 menjelaskan sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin A, C, lemak, natrium, dan kalium.
Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan makan.
Variabel Kasus
Kontrol Total
n n
n
Keteraturan Makan
Teratur 25
41,7 37
61,7 62
51,7 Tidak teratur
35 58,3
23 38,3
58 48,3
Frekuensi Makan
tidak tentu atau ≤2 kali per hari 14
23,3 5
8,3 19
15,8 tertentu dan 2kali per hari
46 76,7
55 91,7
101 84,2
Jeda Waktu Makan
tidak tentu atau ≥ 6 jam
26 43,3
22 36,7
48 40,0
tertentu dan 6 jam 34
56,7 38
63,3 72
60,0
Kebiasaan Sarapan
Ya 28
46,7 36
60,0 64
53,3 Tidak
32 53,3
24 40,0
56 46,7
Kebiasaan Mengkonsumsi Makanan Selingan
Ya 24
40,0 22
36,7 39
61,7 Tidak
36 60,0
38 63,3
81 38,3
Kebiasaan Membatasi Asupan Makanan Ya
13 21,7
8 13,3
21 32,5
Tidak 47
78,3 52
86,7 99
67,5
Signifikan atau nyata pada p0,05 dengan uji beda Mann Whitney dan korelasi Chi Square
Keteraturan Makan
Keteraturan makan sangat berkaitan dengan produksi asam lambung, dimana asam lambung merupakan faktor agresif penyebab gastritis dan tukak
peptik. Jadwal makan yang tidak teratur akan membuat lambung sulit beradaptasi sehingga produksi asam lambung menjadi tidak terkontrol kemudian
menyebabkan timbulnya gejala dispepsia. Bagi orang yang memiliki riwayat gangguan lambung gastritis atau tukak peptik, makan tidak teratur akan
memicu kekambuhan gangguan lambung yang ditandai dengan munculnya gejala dispepsia. Adapun bagi orang yang tidak memiliki riwayat gangguan
lambung, bila kebiasaan makan tidak teratur terus berlanjut, hal tersebut dapat memicu terjadinya gangguan organik pada lambung akibat meningkatnya faktor
agresif terutama asam lambung. Sebaran keteraturan makan contoh menunjukkan bahwa contoh pada
kelompok kontrol cenderung makan lebih teratur dibandingkan kelompok kasus Tabel 11. Lebih dari separuh contoh 58,3 pada kelompok kasus makan tidak
teratur setiap hari, sedangkan pada kelompok kontrol terjadi sebaliknya 61,7 contoh makan teratur, 38,3 contoh makan tidak teratur. Secara keseluruhan,
terdapat 48,3 contoh yang memiliki kebiasaan makan tidak teratur. Bila dibandingkan dengan data frekuensi makan, walaupun sebagian besar contoh
menjawab frekuensi makannya dua sampai tiga kali sehari, tetapi dilihat dari
keteraturan makan, sebagian contoh tidak menunjukkan pola yang sesuai. Sebagian contoh hanya makan ketika sudah merasa lapar.
Contoh pada kelompok kontrol cenderung memiliki kebiasaan makan yang lebih teratur dibandingkan kelompok kasus. Hasil uji beda Mann Whitney
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada kelompok kasus dan kontrol p0,05 Lampiran 3. Hasil uji hubungan menggunakan Chi Square
tabel 2x2 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara keteraturan makan dan frekuensi makan contoh dengan frekuensi dispepsia yang dialami
contoh p0,05 Lampiran 4. Keteraturan makan memiliki koefisien kontingensi sebesar 0,312 yang dinyatakan dengan tingkat hubungan rendah. Kebiasaan
makan teratur dapat mengurangi risiko munculnya gejala dispepsia OR: 0,810; 95 CI: 0,715-0,918. Contoh yang memiliki kebiasaan makan teratur memiliki
risiko 0,810 kali lebih rendah untuk sering mengalami dispepsia dibandingkan dengan contoh yang tidak terbiasa makan teratur.
Frekuensi Makan
Frekuensi makan yang dilihat dalam penelitian adalah berapa kali contoh makan dengan menu makanan berat meal, di luar snack atau cemilan sehari-
hari. Frekuensi makan dapat dijadikan sebagai indikator keteraturan makan. Seseorang yang frekuensi makannya tidak tentu, dapat dikatakan bahwa pola
makannya tidak teratur. Makan tidak teratur menyebabkan produksi asam lambung menjadi tidak terkontrol. Untuk mengurangi rasa mual atau tidak
nyaman pada lambung sebaiknya makan dalam porsi kecil tetapi sering small frequent meal. Makan dengan porsi kecil tetapi sering merupakan salah satu
cara membantu dan meringankan kerja lambung dan produksi asam lambung juga tidak berlebihan karena harus mengakomodasi makanan yang masuk dalam
jumlah terlalu banyak. Data frekuensi makan contoh pada Tabel 11 menunjukkan bahwa
sebagian besar contoh kelompok kasus dan kontrol memiliki kebiasaan makan dua sampai tiga kali sehari. Pada kelompok kasus, terdapat 23,3 contoh yang
frekuensi makannya tidak tentu, dua kali sehari, atau kurang dari itu. Hampir seluruh contoh pada kelompok kontrol makan lebih dari dua kali sehari. Contoh
yang frekuensi makannya tidak tentu, biasanya hanya makan ketika sudah merasa lapar.
Analisis statistik berdasarkan uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata frekuensi makan contoh pada kelompok kasus
dan kelompok kontrol p0,05 Lampiran 3. Contoh pada kelompok kasus lebih banyak yang frekuensi makannya kurang dari dua kali sehari. Dengan kata lain,
contoh pada kelompok kasus cenderung makan lebih jarang dibandingkan kelompok kontrol. Uji hubungan menggunakan Chi Square tabel 2x2
menunjukkan bahwa frekuensi makan memiliki koefisien kontingensi sebesar 0,319 dan dinyatakan dengan tingkat hubungan rendah Lampiran 4. Frekuensi
makan lebih dari dua kali sehari mengurangi risiko munculnya gejala dispepsia OR: 0,113; 95 CI: 0,030-0,423. Contoh yang memiliki kebiasaan makan lebih
dari dua kali sehari berisiko 0,113 kali lebih rendah untuk mengalami dispepsia dibandingkan dengan yang contoh yang frekuensi makannya tidak tentu, dua kali
sehari, atau kurang dari dua kali sehari.
Jeda Waktu Makan
Jeda waktu makan yang lama berkaitan dengan munculnya dispepsia. Semakin panjang jeda waktu makan berarti membuat frekuensi makan semakin
berkurang, sehingga membuat seseorang cenderung makan dalam jumlah banyak ketika makan. Makan dalam jumlah banyak tiba-tiba membuat beban
lambung menjadi lebih berat dan produksi asam lambung menjadi tidak terkontrol. Makan tiba-tiba dalam jumlah banyak atau membiarkan lambung
dalam keadaan kosong terlalu lama dapat membuat lambung memproduksi asam lambung secara berlebihan sehingga dapat mengiritasi dinding mukosa
lambung dan menimbulkan peradangan. Produksi asam lambung berlangsung terus-menerus sepanjang hari, meskipun dalam kondisi tidur. Pada fase sefalik,
asam lambung akan diproduksi walaupun makanan belum memasuki lambung. Sekedar memikirkan atau merasakan makanan sudah cukup untuk membuat
saraf bekerja mempengaruhi kelenjar memproduksi asam lambung. Data penelitian pada Tabel 11 menunjukkan bahwa secara keseluruhan,
terdapat 40,0 contoh yang memiliki jeda waktu makan lebih dari enam jam atau tidak tertentu jeda waktu makannya. Contoh pada kelompok kasus
cenderung lebih banyak yang tidak tentu atau lebih dari enam jam waktu makannya. Uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa antara kedua kelompok
contoh tidak berbeda nyata p0,05 Lampiran 3. Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata
p0,05 antara jeda waktu makan dengan frekuensi dispepsia Lampiran 4.
Kebiasaan Sarapan
Salah satu isi dari tiga belas Pedoman Umum Gizi Seimbang PUGS adalah membiasakan sarapan pagi. Sarapan atau makan pagi memiliki peran
penting dalam memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi esensial. Selain memberikan sumbangan energi, sarapan juga memiliki manfaat lain seperti
memberikan kekuatan metabolisme sepanjang malam tubuh tidak mendapat asupan, meningkatkan konsentrasi dan kemampuan berpikir, dan menghindari
makan tidak terkontrol. Setelah delapan jam dalam kondisi tidur tanpa asupan, di pagi hari tubuh akan memberikan sinyal kekurangan energi dengan timbulnya
rasa lapar. Dalam kondisi tersebut, energi diperoleh dari pemecahan cadangan glukosa yang terdapat pada hati dan otot, efisiensi penggunaan energi pun
meningkat. Sarapan memberikan energi bagi otak sehingga meningkatkan konsentrasi, kemampuan berpikir, dan menjaga tubuh berada pada performa
terbaik. Melewatkan sarapan akan membuat tubuh dalam kondisi kelaparan sehingga memicu untuk makan berlebihan pada siang hari. Menahan lapar
dalam waktu lama juga memicu produksi asam lambung berlebihan sehingga dapat menimbulkan dispepsia.
Lebih dari separuh contoh pada kelompok kasus 53,3 tidak memiliki kebiasaan sarapan, sedangkan pada kelompok kontrol justru sebaliknya 60
contoh terbiasa sarapan. Contoh pada kelompok kontrol lebih banyak yang memiliki kebiasaan sarapan dibandingkan kelompok kasus. Namun demikian,
analisis statistik menggunakan uji Mann Whitney menunjukkan bahwa antara kelompok kasus dan kontrol tidak berbeda nyata p0,05. Uji hubungan dengan
Chi Square tabel 2x2 menunjukkan nilai p 0,05 yang artinya tidak terdapat hubungan yang nyata antara kebiasaan sarapan dengan frekuensi dispepsia
Lampiran 4. Contoh yang memiliki kebiasaan sarapan sejak tinggal bersama
keluarga, biasanya masih membawa kebiasaan tersebut ketika tinggal di asrama. Sebagian contoh melakukan sarapan hanya jika merasa lapar atau pada saat
akan menjalani aktivitas kuliah ketika hari aktif kuliah agar tidak mengganggu konsentrasi ketika kuliah. Ketika ditanyakan alasan melewatkan sarapan kepada
contoh yang tidak terbiasa sarapan, sebagian menjawab bahwa contoh masih dalam tahap adaptasi terhadap aktivitas kuliah dan tinggal tanpa keluarga
sehingga belum dapat mengatur waktu dan gaya hidup dengan baik.
Kebiasaan Mengkonsumsi Makanan Selingan
Mengkonsumsi makanan selingan snacking atau cemilan dapat menambah asupan energi dan zat gizi. Disamping itu, bagi penderita gangguan
lambung, mengkonsumsi makanan selingan digunakan untuk mengisi lambung sementara tidak terlalu lama membiarkan perut dalam keadaan kosong
sehingga dapat mengatasi kelebihan asam lambung. Lebih dari separuh contoh kelompok kasus 60,0 dan kontrol 63,3 tidak terbiasa mengkonsumsi
makanan selingan. Contoh pada kelompok kasus cenderung lebih banyak yang terbiasa mengkonsumsi makanan selingan. Namun, uji beda Mann Whitney
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kedua kelompok p0,05 Lampiran 3. Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara kebiasaan mengkonsumsi makanan selingan dengan frekuensi dispepsia p0,05
Lampiran 4.
Kebiasaan Membatasi Asupan Makanan
Penyebab ketidakteraturan makan adalah multifaktorial, tetapi salah satunya adalah perubahan pola makan pada remaja. Remaja seringkali terlalu
ketat dalam mengatur pola makan demi menjaga penampilan sehingga mengakibatkan kekurangan gizi. Dalam jurnal penelitiannya, Robert dan William
2000 menyatakan bahwa 44 remaja perempuan di sekolah menengah atas mencoba untuk menurunkan berat badan dan 26 lainnya menjaga agar berat
badannya tidak bertambah. Terdapat sebagian kecil contoh yang memiliki kebiasaan membatasi
konsumsi makanan untuk menurunkan berat badan dengan kecenderungan kelompok kasus lebih banyak dibandingkan dengan kontrol kelompok kasus
21,7 dan kontrol 13,3. Analisis statistik menggunakan uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa antara kedua kelompok kasus dan kontrol tidak
berbeda nyata p0,05 Lampiran 3. Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara kebiasaan
membatasi asupan makanan dengan frekuensi dispepsia yang dialami contoh p0,05 Lampiran 4. Contoh yang melakukan pembatasan asupan makanan,
sebagian besar melakukannya dengan membatasi konsumsi jenis makanan tertentu saja makanan tinggi lemak, sebagian lagi menghindari makan atau
mengurangi frekuensi makan, atau kombinasi keduanya Gambar 5.
Gambar 5 Kebiasaan membatasi asupan contoh untuk menurunkan berat badan Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan minum kopi, teh, soda, makan
makanan pedas, asam, dan konsumsi suplemen.
Variabel Kasus
Kontrol Total
n n
n
Kebiasaan Minum Teh, Kopi, dan Minuman berkarbonasi Teh
10 16,7
15 25,0
25 20,8
Kopi 3
5,0 1
1,7 4
3,3 Minuman berkarbonasi
6 10,0
4 6,7
10 8,3
Teh + Kopi 6
10,0 5
8,3 11
9,2 Teh + Minuman berkarbonasi
8 13,3
8 13,3
16 13,3
Kopi + Minuman berkarbonasi 1
1,7 4
6,7 5
4,2 Teh + Kopi+ Minuman berkarbonasi
16 26,7
5 8,3
21 17,5
Bukan ketiganya 10
16,7 18
30,0 28
23,3
Kebiasaan Makan Pedas Ya
51 85,0
43 71,7
94 78,3
Tidak 9
15,0 17
28,3 26
21,7
Kebiasaan Makan Asam Ya
42 70
24 40
66 55
Tidak 18
30 36
60 54
45
Kebiasaan Mengkonsumsi Suplemen Ya
23 38,3
17 28,3
40 33,3
Tidak 37
61,7 43
71,7 80
66,7
Signifikan atau nyata pada p0,05 Signifikan atau nyata pada p0,001
Kebiasaan Minum Teh, Kopi, Minuman berkarbonasi, dan Kombinasinya
Minuman dari seduhan daun teh Camelia sinensis merupakan salah minuman alami yang sangat populer di masyarakat. Beberapa kandungan
senyawa kimia dalam teh dapat memberikan kesan warna, rasa, dan aroma khas yang dapat memberikan efek relaksasi pada peminumnya. Senyawa utama yang
dikandung teh adalah katekin, yaitu suatu kerabat tanin terkondensasi yang juga sering disebut polifenol. Selain itu, teh juga mengandung alkaloid kafein yang
bersama-sama dengan polifenol teh akan membentuk rasa yang pahit, sepat,
0,0 10,0
20,0 30,0
40,0 50,0
60,0 70,0
80,0
Membatasi konsumsi makanan tertentu
Menghindari makan Membatasi makanan seminimal mungkin
kombinasi keduanya Kasus
Kontrol total
dan aroma segar. Teh juga mengandung kafein dalam jumlah lebih sedikit daripada kopi. Polifenol merupakan antioksidan yang dapat mencegah atau
menetralisasi efek radikal bebas yang merusak. Akan tetapi, tanin mudah teroksidasi karena panas, udara, senyawa asam, dan lainnya dan berubah
menjadi asam tanat. Tanin yang bercampur dengan asam lambung akan teroksidasi dan berubah menjadi asam tanat. Asam tanat dapat membekukan
protein sehingga menimbulkan efek negatif pada mukosa lambung sehingga menyebabkan berbagai gangguan lambung seperti gastritis atrofi atau tukak
lambung. Minum teh pada saat perut kosong dapat menimbulkan tekanan berlebih pada lambung.
Lebih dari separuh contoh kelompok kasus 66,7 dan kontrol 55 memiliki kebiasaan minum teh dengan kecenderungan kelompok kasus lebih
banyak dibandingkan kelompok kontrol. Analisis statistik dengan uji Mann Whitney menunjukkan bahwa antara kedua kelompok tidak berbeda nyata
p0,05 Lampiran 3. Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa kebiasan minum teh tidak berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia
p0,05 Lampiran 4. Jenis teh yang dikonsumsi oleh contoh adalah minuman teh dalam kemasan tetra pak atau botol dan minuman teh racikan es teh.
Alasan contoh menggemari minuman teh adalah karena rasanya yang familiar dan minuman tersebut mudah didapatkan dimana saja. Sebagian besar contoh
yang terbiasa minum teh, tidak mengkonsumsi teh setiap hari atau hanya mengkonsumsi teh kurang dari lima gelas per minggu. Sebagian besar contoh
yang terbiasa minum teh masih mengkonsumsi teh dalam jumlah yang wajar dan sesuai anjuran membatasi minum teh 2-3 cangkir saja per hari.
Selain teh, kopi Coffea arabica atau Coffea canephora juga merupakan bahan penyegar yang populer di masyarakat dan sudah menjadi bagian dari
budaya. Kopi biasanya dikonsumsi dalam bentuk minuman diseduh, baik hanya kopi saja dengan gula maupun dicampur dengan bahan lainnya susu atau
krimer. Biji kopi mengandung senyawa kafein dalam jumlah 1-1,5 dan senyawa polifenol antioksidan. Kafein merupakan senyawa alkaloid yang
memiliki efek merangsang otak dan saraf simpatis, meningkatkan aktivitas jantung, serta bersifat diuretik Lelyana 2009. Efek kafein pada sistem
gastrointestinal adalah meningkatkan sekresi gastrin sehingga merangsang produksi asam lambung karena kafein mengandung senyawa asam diantaranya
caffeic acid dan chlorogenic acid. Tingginya asam menyebabkan peradangan
hingga luka pada mukosa lambung serta duodenum, serta menngkatkan tekanan di dalam lambung. Selain itu, kafein dapat mengendurkan lower esophageal
sphinchter atau LES, katup antara lambung dan kerongkongan, sehingga asam lambung dan gas akan naik ke kerongkongan menimbulkan gejala heartburn,
mulut terasa asam, dan sendawa Harahap 2009. Lebih dari separuh contoh tidak terbiasa minum kopi kelompok kasus
56,7 dan kontrol 75 dengan kecenderungan contoh pada kelompok kasus lebuh banyak yang memiliki kebiasaan minum kopi. Analisis statistik
menggunakan uji beda Mann Whitney menyatakan bahwa antara kedua kelompok kasus dan kontrol berbeda nyata p0,05 Lampiran 3. Uji
hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa kebiasan minum kopi tidak berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia p0,05. Jenis kopi
yang banyak dikonsumsi contoh adalah kopi instan kopi dengan campuran susu atau krimer. Sebagian besar contoh yang memiliki kebiasaan minum kopi, masih
mengkonsumsi minuman tersebut dalam jumlah yang wajar sebanyak kurang dari satu cangkir per hari atau kurang dari lima cangkir per minggu.
Minuman berkarbonasi atau minuman bersoda adalah minuman yang
dibuat dengan mengabsorbsikan karbon dioksida CO
2
ke dalam air minum. Penginjeksian gas-gas CO
2
akan menghasilkan gelembung-gelembung buih yang akan memberi kesan segar pada minuman dan efek rasa menggigit di lidah
ketika diminum Zentimer 2009. Proses karbonasi biasanya menggunakan natrium bikarbonat NaHCO
3
atau dikenal juga dengan nama soda kue baking soda. Oleh karena itu, minuman berkarbonasi juga sering disebut sebagai
minuman bersoda Zentimer 2007. Terdapat banyak jenis minuman berkarbonasi berupa cola, sari buah berkarbonasi, teh berkarbonasi, kopi
berkarbonasi, dan lainnya. Diantara berbagai jenis minuman berkarbonasi, yang paling banyak diminati mahasiswa TPB adalah cola Dewi 2008. Beberapa merk
minuman berkarbonasi yang familiar di kalangan remaja antara lain Coca Cola, Pepsi Cola, Fanta, dan Sprite.
Dalam minuman berkarbonasi, selain terkandung CO
2
juga mengandung zat pemberi rasa flavor, pemanis, pengemulsi, penstabil, dan pengawet.
Minuman berkarbonasi mengandung gula karbohidrat tinggi sehingga memberikan asupan kalori yang tinggi. Minuman berkarbonasi bersifat asam,
memiliki pH sangat rendah 3-4. Makanan asam dapat menyebabkan iritasi dan mengikis mukosa lambung. Selain itu, kandungan CO
2
dalam minuman
berkarbonasi dapat menghambat sekresi enzim pencernaan, bila soda dikonsumsi bersama dengan makanan akan menghambat proses pencernaan
dan penyerapan zat gizi. Dalam minuman berkarbonasi juga ditambahkan kafein untuk memberikan rasa pahit. Kafein tersebut memiliki efek yang sama dengan
kafein yang terdapat dalam kopi. Efeknya pada sistem gastrointestinal adalah meningkatkan sekresi gastrin sehingga merangsang produksi asam lambung,
mengandung senyawa asam yang iritatif terhadap mukosa lambung. Efek lainnya adalah kafein dapat mengendurkan lower esophageal sphinchter atau LES,
katup antara lambung dan kerongkongan, sehingga asam lambung dan gas akan naik ke kerongkongan.
Tabel 12 menunjukkan, lebih dari separuh contoh pada kelompok kasus 51,7 memiliki kebiasaan minum minuman berkarbonasi, sedangkan pada
kelompok kontrol sebagian besar contoh 65 tidak terbiasa minum minuman berkarbonasi. Sebagian besar contoh yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi
minuman berkarbonasi kelompok kasus dan kontrol, mengkonsumsi minuman tersebut sebanyak kurang dari satu botol ukuran 500 ml per hari atau kurang
dari lima botol per minggu. Analisis statistik menggunakan uji beda Mann Whitney menyatakan bahwa antara kedua kelompok kasus dan kontrol berbeda
nyata p0,05 Lampiran 3. Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa kebiasan minum minuman berkarbonasi berhubungan
nyata dengan frekuensi dispepsia p0,05. Koefisien kontingensi kebiasaan minum kopi dengan frekuensi dispepsia sebesar 0,240 yang dinyatakan dengan
tingkat hubungan rendah Lampiran 4. Kebiasaan minum minuman berkarbonasi meningkatkan risiko sering munculnya gejala dispepsia OR: 6,907; 95 CI:
1,423-33,519. Contoh yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi minuman berkarbonasi memiliki peluang lebih sering mengalami dispepsia sebesar 6,907
kali dibandingkan contoh yang tidak terbiasa mengkonsumsi minuman berkarbonasi.
Kombinasi kebiasaan minum minuman iritatif terhadap mukosa lambung
diduga lebih berisiko terhadap frekuensi munculnya gejala gangguan lambung. Sebagian contoh memiliki kebiasaan mengkonsumsi teh dan kopi, teh dan
minuman berkarbonasi, kopi dan minuman berkarbonasi, serta teh, kopi, dan minuman berkarbonasi. Bagian terbesar sebaran contoh pada kelompok kasus
adalah yang terbiasa mengkonsumsi kombinasi teh, kopi, dan minuman berkarbonasi, sedangkan pada kelompok kontrol adalah yang tidak terbiasa
mengkonsumsi ketiganya Tabel 12. Analisis statistik menggunakan uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada
kebiasaan minum teh dan kopi, teh dan minuman berkarbonasi, serta kombinasi ketiganya teh, kopi, dan minuman berkarbonasi contoh pada kelompok kasus
dan kontrol p0,05 Lampiran 3. Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan kombinasi kebiasaan minum teh dan kopi, kebiasaan minum teh
dan minuman berkarbonasi, kebiasaan minum kopi dan minuman berkarbonasi, serta kombinasi kebiasaan minum teh, kopi, dan minuman berkarbonasi tidak
berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia p0,05.
Kebiasaan Makan Pedas dan Asam
Makanan asam dan pedas seperti cabai, merica, dan bumbu-bumbu tajam merupakan makanan yang merangsang organ pencernaan dan secara
langsung dapat merusak dinding lambung. Asam dan pedas merangsang sekresi asam lambung berlebihan, sehingga menimbulkan dispepsia. Disamping itu,
asam dan pedas juga dapat merangsang peningkatan motilitas atau peristaltik organ pencernaan sehingga dapat memicu timbulnya radang hingga luka pada
dinding organ pencernaan Harahap 2009. Sebagian besar contoh pada kelompok kasus 85 memilki kebiasaan
makan makanan pedas, demikian juga pada kelompok kontrol 71,7. Contoh pada kelompok kasus cenderung lebih sering mengkonsumsi makanan pedas
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Pada contoh yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan pedas, sebanyak 20 contoh pada kelompok kasus,
mengkonsumsi makanan pedas lebih dari tiga kali sehari hampir di setiap waktu makan, sedangkan pada kelompok kontrol hanya sejumlah 5. Contoh lainnya
sebanyak 31,7-33,33 biasa mengkonsumsi makanan pedas 1 kali per hari atau 1-2 kali per hari Gambar 6. Analisis statistik mengunakan uji beda Mann
Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat pebedaan yang nyata p0,05 pada kedua kelompok kasus dan kontrol. Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2
menunjukkan bahwa kebiasaan mengkonsumsi makanan pedas tidak berhubungan nyata terhadap frekuensi dispepsia p0,05 Tabel 6.
Gambar 6 Frekuensi konsumsi makanan pedas contoh Tabel 12 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh pada kelompok
kasus 70 memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan atau minuman asam, sedangkan pada kelompok kontrol sebaliknya 60 contoh tidak terbiasa
mengkonsumsi makanan atau minuman asam. Baik pada kelompok kasus maupun kontrol, contoh yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan asam,
sebagian besar kasus 70,0 dan kontrol 40,0 mengkonsumsi makanan atau minuman asam kurang dari satu kali per hari atau kurang dari lima kali per
minggu dan tidak ada yang mengkonsumsi makanan atau minuman asam lebih dari tiga kali per hari.
Contoh pada kelompok kasus lebih sering mengkonsumsi makanan atau minuman asam dibandingkan dengan kelompok kontrol. Analisis statistik
menggunakan uji beda Mann Whitney menyatakan bahwa antara kedua kelompok kasus dan kontrol berbeda nyata p0,05. Uji hubungan dengan Chi
Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa kebiasaan mengkonsumsi makanan atau minuman asam, berhubungan nyata terhadap frekuensi dispepsia p0,05
Lampiran 4. Koefisien kontingensi kebiasaan mengkonsumsi makanan atau minuman asam dengan frekuensi dispepsia sebesar 0,219 yang dinyatakan
dengan tingkat hubungan rendah Lampiran 4. kebiasaan mengkonsumsi makanan atau minuman asam meningkatkan risiko sering munculnya gejala
dispepsia OR: 9,123; 95 CI: 1,129-73,735. Contoh yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan atau minuman asam memiliki peluang lebih sering
mengalami dispepsia sebesar 9,123 kali dibandingkan contoh yang tidak terbiasa mengkonsumsi makanan atau minuman asam.
Kebiasaan Mengkonsumsi Suplemen
Suplemen kesehatan atau diebut juga dietary supplement adalah produk kesehatan yang mengandung satu jenis atau lebih zat-zat gizi atau obat. Zat-zat
0,0 5,0
10,0 15,0
20,0 25,0
30,0 35,0
Tidak mengkonsumsi
1 kalihari 1-2 kalihari
≥ 3 kalihari Kasus
Kontrol Total
gizi yang dimaksud adalah vitamin, mineral, dan asam-asam amino, sedangkan yang bersifat obat umumnya diambil dari jaringan tubuh hewan atau dari
tanaman Thomson 2008. Pada umumnya suplemen mengandung zat gizi, enzim, serta herbal yang meningkatkan antioksidan dan imunitas tubuh, serta
mengendalikan kolesterol, gula darah, dan tekanan darah. Terdapat beberapa kondisi yang melatarbelakangi pengunaan suplemen makanan, diantaranya pola
makan yang tidak seimbang yang berpengaruh pada asupan gizi ke dalam tubuh. Alasan mengkonsumsi suplemen diantaranya adalah ingin tetap dalam
kondisi gizi yang baik, memulihkan tenaga, mengurangi stres, dan mencegah terjadinya penyakit.
Hanya sebagian kecil contoh pada kedua kelompok, yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi suplemen kelompok kasus 38,3 dan kontrol 28,3.
Contoh pada kelompok kasus cenderung lebih banyak yang mengkonsumsi suplemen dibandingkan kelompok kontrol. Hasil analisis statistik menggunakan
uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata konsumsi suplemen diantara kedua kelompok p0,05. Uji hubungan
dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara kebiasaan mengkonsumsi suplemen dengan frekuensi dispepsia
p0,05 Lampiran 4. Sebaran contoh berdasarkan jenis suplemen yang dikonsumsi dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13 Jenis suplemen yang dikonsumsi contoh
Suplemen Kasus
Kontrol Total
n 18 n 12
n 30 Vitamin C
6 33,3
7 58,3
13 43,3
Multivitamin 5
27,8 2
16,7 7
23,3 Madu dan Herbal
4 22,2
0,0 4
13,3 Lainnya
3 16,7
3 25,0
6 20,0
Jenis suplemen yang paling banyak dikonsumsi contoh pada kedua kelompok kasus dan kontrol adalah vitamin C. Pada kelompok kasus, selain
vitamin C suplemen yang juga banyak dikonsumsi adalah multivitamin merek suplemen yang dikonsumsi adalah Sangobion, Enervon-C, Calcium D Redoxon,
dan Cerebrovit. Suplemen herbal yang banyak dikonsumsi adalah klorofil cair, sedangkan suplemen lainnya adalah vitamin E merek Natur-E dan vitamin B
kompleks merek IPI dan Neurobion. Frekuensi konsumsi suplemen contoh paling sering dua kali per hari dan yang paling jarang satu kali per minggu.
Contoh terutama mengkonsumsi vitamin C sebanyak satu kali per hari dengan
dosis 500 mg, sesuai dengan vitamin C yang ada di pasaran merek Xon Ce atau Vitacimin.
Tabel 14 Tingkat kecukupan vitamin A, vitamin C, konsumsi lemak, natrium, dan kalium contoh
Variabel Kasus
Kontrol Total
n n
n
Tingkat Kecukupan Vitamin A Normal 77 AKG
40 67,7
45 75,0
85 70,8
Defisit 77 AKG 20
33,3 15
25,0 35
28,2
Tingkat Kecukupan Vitamin C Normal 77 AKG
12 20,0
7 11,7
19 15,8
Defisit 77 AKG 48
80,0 53
88,3 101
84,2
Konsumsi Lemak
Cukup ≤30 AKE 23
95,0 54
90,0 77
64,2 Lebih 30 AKE
37 5,0
6 10,0
43 35,8
Konsumsi Natrium Cukup 2400 mghari
59 98,3
59 98,3
118 98,3
Lebih 2400 mghari 1
1,7 1
1,7 1
0,8
Konsumsi Kalium Cukup 2000mghari
1 1,7
2 3,3
3 2,5
Defisit 2000 mghari 59
98,3 58
96,7 117
97,5 Signifikan atau nyata pada p0,05
Signifikan atau nyata pada p0,01 AKE = Angka Kecukupan Energi, digunakan sebagai pendekatan jumlah kebutuhan
energi sehari contoh WKNPG 2004.
Tingkat Kecukupan Vitamin A dan C
Karotenoid bahan pembentuk vitamin A berinteraksi dengan vitamin C, vitamin E, dan Selenium sebagai zat anti oksidan yang melawan efek radikal
bebas. Karoten berperan dalam meningkatkan sistem imunitas tubuh melalui efek anti oksidan. Vitamin A menjamin perkembangan kulit yang sehat, membran
mukosa, kelenjar thymus dan jaringan lymphoid, dan semua hal yang berhubungan dengan sistem kekebalan tubuh. Dapat dikatakan bahwa vitamin A
membantu menjaga membran mukosa lambung atau menjadi faktor protektif atau defensif mukosa lambung. Vitamin C bersama dengan vitamin E dapat
melindungi sel dari perlawanan peroksidasi lemak didalam sel. Vitamin C juga dapat berfungsi sebagai pencegah kanker. Akan tetapi, vitamin C atau asam
askorbat merupakan senyawa yang bersifat asam. Dengan demikian, asam tersebut dapat bersifat agresif terhadap mukosa lambung.
Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin A dan vitamin C dapat dilihat pada Tabel 14. Tingkat kecukupan vitamin A contoh pada kedua
kelompok kasus dan kontrol sebagian besar berada pada kategori normal. Contoh pada kelompok kasus lebih banyak yang mengalai defisit vitamin A
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Analisis statistik menggunakan uji Mann
Whitney menunjukkan bahwa tingkat kecukupan vitamin A pada kedua kelompok berbeda nyata p0,05. Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2
menunjukkan bahwa tingkat kecukupan vitamin A dan vitamin C tidak berhubungan nyata terhadap frekuensi dispepsia yang dialami contoh p0,05
Lampiran 4. Tingkat kecukupan vitamin C pada sebagian besar contoh berada pada
kategori defisit kelompok kasus 80 dan kontrol 88,3. Angka kecukupan vitamin C contoh pada kelompok kasus lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok kontrol. Analisis statistik menggunakan uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa tingkat kecukupan vitamin C pada kedua kelompok kasus
dan kontrol tidak berbeda nyata p0,05. Tingkat kecukupan vitamin C contoh pada kelompok kasus cenderung lebih baik dibandingkan kelompok kontrol
karena contoh pada kelompok kasus lebih banyak yang mengkonsumsi suplemen vitamin C. Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan
bahwa konsumsi vitamin C tidak berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia p0,05 Lampiran 4.
Konsumsi Lemak
Terlalu sering mengkonsumsi makanan yang berminyak dan berlemak membuat makanan tinggal di lambung lebih lama. Makanan tersebut lambat
dicerna dan menimbulkan peningkatan tekanan di lambung yang pada akhirnya membuat katup antara lambung dengan kerongkongan lower esophageal
sphincter, LES melemah sehingga asam lambung dan gas akan naik ke kerongkongan menimbulkan sendawa dan heartburn. Lamanya pengosongan
lambung berhubungan dengan tukak lambung dan munculnya gejala perut terasa penuh. Akan tetapi, konsumsi lemak dalam jumlah yang cukup dapat menekan
sekresi asam lambung dengan cara memperlambat pengosongan lambung dan menstimulasi aliran getah pankreas serta empedu. Dengan demikian lemak turut
memfasilitasi proses pencernaan agar berlangsung lebih optimal Thomson 2008.
Jenis lemak tertentu, yaitu asam lemak rantai pendek C4-C6 dan rantai sedang C8-C10 dapat diabsorbsi langsung ke dalam vena porta dan dibawa ke
hati untuk segera dioksidasi diubah menjadi energi. Medium Chain Triglycerides MCT dengan panjang 6-12 karbon, cukup larut dalam air, hanya membutuhkan
garam empedu dalam jumlah sedikit untuk mencernanya, tidak membutuhkan reseterifikasi pada enterosit, dan ditransportasikan sebagai asam lemak bebas
pada sistem porta. MCT dapat dicerna dengan cepat dan tidak terpengaruh oleh faktor intestinal yang menghambat absorbsi lemak Thomson 2008. Lemak
rantai pendek dan sedang MCT berkontribusi positif dalam mengurangi frekuensi munculnya gejala gangguan lambung atau dispepsia.
Sebaran contoh berdasarkan konsumsi lemak dapat dilihat pada Tabel 14. Bagian terbesar sebaran contoh pada kelompok kasus 61,7
mengkonsumsi lemak dalam jumlah 30 AKE, sedangkan pada kelompok kontrol, hampir seluruh contoh 90 mengkonsumsi lemak dalam jumlah cukup
≤ 30 AKE. Konsumsi lemak contoh pada kelompok kasus lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Analisis statistik menggunakan uji beda
Mann Whitney menunjukkan bahwa konsumsi lemak contoh pada kelompok kasus dan kontrol berbeda nyata p0,05 Lampiran 3. Uji hubungan dengan
Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa konsumsi lemak berhubungan sangat nyata terhadap frekuensi dispepsiapada contoh p0,01 Lampiran 4.
Konsumsi lemak memiliki koefisien kontingensi sebesar 0,237 p=0,007 dan dinyatakan dengan tingkat keeratan hubungan rendah. Konsumsi lemak
≥30 kecukupan energi sehari berhubungan dengan semakin rendahnya frekuensi dispepsia yang dialami contoh. Mengkonsumsi lemak kurang dari 30
AKE meningkatkan risiko sering munculnya gejala dispepsia OR: 5,683; 95 CI : 1,409-22,557. Jenis pangan yang memberikan kontribusi besar pada konsumsi
lemak contoh adalah susu dan lauk hewani berupa telur. Susu merupakan pangan yang mengandung MCT, baik susu maupun telur adalah pangan hewani
yang memiliki daya cerna tinggi.
Konsumsi Natrium dan Kalium
Natrium dan kalium merupakan mineral yang berperan dalam keseimbangan elektrolit cairan tubuh. Namun, disisi lain kedua mineral tersebut
memiliki peran lain yang bertolak belakang. Diet tinggi garam dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan proliferasi epitel lambung sehingga
menyebabkan gastritis. Konsumsi NaCl dalam jumlah berlebihan akan meningkatkan kolonisasi
Helicobacter pylori. Infeksi Helicobacter pylori yang predominan di antrum dapat meningkatkan kadar gastrin sehingga meningkatkan sekresi asam lambung dan
menyebabkan tukak lambung. Asupan garam berlebihan dan terus menerus dapat menyebabkan hiperplasia sel sehingga meningkatkan kolonisasi
Helicobacter pylori serta menimbulkan kerusakan mukosa lambung gastritis.
Gastritis ringan dapat berubah menjadi gastritis kronis yang merupakan prekursor perlukaan lambung tukak lambung yang dapat berakhir pada kanker
lambung. Kalium yang kebanyakan berasal dari sayur-sayuran dan buah-buahan,
merupakan antioksidan yang dapat memberikan perlindungan pada tubuh sehingga dapat menurunkan risiko terjadinya tukak lambung dan meringankan
gejala pada saat tukak mulai terbentuk. Kalium sebagai antioksidan mampu menghambat kerusakan kromosom, transformasi sel, dan rangsangan
pembentukan kanker. Sebaran contoh berdasarkan konsumsi natrium dan kalium dapat dilihat
pada Tabel 14. Hampir keseluruhan contoh pada kedua kelompok kasus dan kontrol mengkonsumsi natrium dalam jumlah cukup, tidak berlebihan.
Sebaliknya, hampir keseluruhan contoh defisit konsumsi kalium. Analisis statistik menggunakan uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa konsumsi natrium
dan kalium antara kedua kelompok kelompok kasus dan kontrol tidak berbeda nyata p0,05 Lampiran 3. Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2
menunjukkan bahwa konsumsi natrium dan kalium tidak berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia yang dialami contoh Lampiran 4.
Kebiasaan Merokok
Dalam sebatang rokok, terkandung berbagai zat kimia berbahaya yang berperan seperti racun. Gas karbon monoksida, nitrogen oksida, ammonia,
benzene, methanol, perylene, hydrogen sianida akrolein, asetilen, bensaldehida, arsen, n-nitrosamine, urethane, nikotin, dan tar adalah beberapa gas yang
terdapat dalam asa rokok. Zat-zat kimia dalam asap rokok akan terserap ke dalam aliran darah dari paru-paru lalu beredar ke seluruh tubuh dan
mempengaruhi setiap sel tubuh. Merokok adalah salah satu faktor risiko bagi munculnya dispepsia. Penelitan-penelitian terdahulu menyebutkan bahwa
merokok merupakan faktor yang berkontribusi nyata terhadap munculnya gastritis dan
tukak peptik, terutama
tukak lambung,
serta proses penyembuhannya.
Tar dalam asap rokok dapat melemahkan katup lower esophageal sphincter LES, katup antara lambung dan kerongkongan. Melemahnya LES
dapat mengakibatkan naiknya asam lambung dan gas ke kerongkongan sehingga muncul heartburn dan sering bersendawa. Merokok juga mengganggu
faktor defensif lambung dengan cara mengurangi sekresi bikarbonat dan aliran
darah di mukosa lambung. Berkurangnya faktor defensif lambung dapat memperburuk peradangan lambung dan berkaitan erat dengan komplikasi
tambahan karena infeksi H. pylori Beyer 2004. Selain berpengaruh terhadap perokok aktif secara langsung, asap rokok juga dapat berpengaruh kepada
perokok pasif orang ang terkena asap rokok yang dikeluarkan oleh perokok aktif.
Hanya terdapat sebagian kecil contoh yang memiliki kebiasaan merokok, 10 pada kelompok kasus dan 3,3 pada kelompok kontrol. Sebaran kebiasaan
merokok contoh dapat dilihat pada Tabel 15. Keseluruhan contoh yang memiliki kebiasaan merokok berjenis kelamin pria mahasiswa. Jumlah rokok yang
dihisap per hari antara 1-9 batang. Usia awal merokok contoh antara 12-18 tahun, sebagian besar merokok sejak usia 15 tahun, saat masih duduk di bangku
Sekolah Menengah Atas SMA. Contoh telah merokok rata-rata selama 2,75 tahun atau dua tahun sembilan bulan, dengan kisaran satu hingga enam tahun.
Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan merokok aktif dan pasif
Variabel Kasus
Kontrol Total
n n
n
Perokok aktif
Ya 6
10,0 2
3,3 8
6,7 Tidak
54 90,0
58 96,7
112 93,3
Total 60
100,0 60
100,0 120
100,0
Perokok pasif
Sering 3
5,6 6
6,9 15
6,3 Jarang
51 94,4
54 93,1
105 93,8
Total 54
100,0 58
100,0 120
100,0
Selain perokok aktif, sebagian kecil contoh yang tidak memiliki kebiasaan merokok juga sering terpapar asap rokok menjadi perokok pasif. Jumlah contoh
pada kelompok kontrol yang menjadi perokok pasif, lebih banyak dibandingkan jumlah perokok pasif pada kelompok kasus. Sebanyak 5,6 contoh pada
kelompok kasus dan 6,9 pada kelompok kontrol. Contoh dikategorikan sering menjadi perokok pasif apabila terpapar asap rokok lebih dari tiga kali sehari.
Hasil penelitian mengenai perokok aktif dan pasif hanya dianalisis secara deskriptif, tidak diuji secara statistik karena jumlah contoh yang positif perokok
aktif maupun pasif hanya sedikit dan keseluruhan berjenis kelamin pria Berkarakteristik khusus, sehingga diduga tidak proporsional diuji bersamaan
dengan contoh yang lain.
Kebiasaan Mengkonsumsi Alkohol
Alkohol dalam makanan atau minuman terkandung dalam bentuk etil alkohol atau etanol. Minuman yang mengandung alkohol antara lain bir, arak,
anggur, wine, dan minuman keras lainnya. Pencernaan alkohol dilakukan oleh enzim alkohol dehidrogenase di dalam organ lambung dan hati. Apabila jumlah
alkohol yang dikonsumsi melebihi kemampuan mencerna enzim alkohol dehidrogenase, maka alkohol akan dikeluarkan dari hati dan masuk ke dalam
sirkulasi darah dan ikut beredar ke bagian-bagian tubuh yang lain sehinga menyebabkan mabuk. Seseorang dikatakan mabuk bila darahnya mengandung
setidaknya 0,1 alkohol Almatsier 2002. Organ tubuh yang berperan besar dalam metabolisme alkohol adalah
lambung dan hati. Alkohol merangsang produksi asam lambung secara berlebihan meningkatkan faktor agresif, sehingga berakibat negatif pada
mukosa lambung menurunkan faktor defensif. Selain itu, sama seperti rokok, alkohol dapat mengendurkan katup lower esophageal sphincter LES sehingga
menyebabkan refluks atau berbaliknya aliran asam lambung dan gas ke kerongkongan Harahap 2009. Konsumsi alkohol berlebihan dapat merusak
mukosa lambung, memperburuk gejala tukak peptik, dan mengganggu penyembuhan tukak peptik. Menurut Khomsan 2004 alkohol dapat menurunkan
nafsu makan sehingga tubuh akan terhalang untuk memperoleh asupan gizi seimbang.
Keseluruhan contoh tidak ada yang pernah mengkonsumsi minuman beralkohol selama tinggal di asrama. Akan tetapi, sebenarnya terdapat beberapa
contoh putra yang penah bahkan terbiasa mengkonsumsi minuman beralkohol sebelum tinggal di asrama TPB IPB ketika masih duduk di bangku SMA.
Keseluruhan dari contoh yang pernah atau terbiasa mengkonsumsi minuman beralkohol termasuk dalam kelompok kasus. Informasi tersebut dieroleh dari
wawancara mendalam terhadap contoh, meliputi kebiasaan sebelum contoh tinggal di asrama.
Akivitas Fisik dan Kebiasaan Berolahraga
Aktivitas fisik adalah gerakan yang dlakukan oleh otot tubuh dan sistem penunjangnya. selama melakukan aktivitas fisik otot membutuhkan energi di luar
metabolisme basal untuk bergerak, sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan tambahan energi untuk Pengaruh diet dan olahraga pada status
kesehatan berhubungan dekat satu sama lain. Olahraga yang teratur membantu
menguatkan jantung,
meningkatkan peristaltik
saluran gastrointestinal,
menurunkan stres, dan mengontrol berat badan Bredbenner et al 2009. Peranan olahraga yang terbesar adalah menurunkan rsiko terjadinya penyakit
dan kematian dini. kebiasaan dan aktivitas fisik sedentary dapat meningkatkan risiko berbagai masalah kesehatan.
Rajin berolahraga akan membantu memanajemen stres dan akan menurunkan risiko terjadinya dispepsia. Manajemen stres yang baik akan
membantu mengontrol sekresi asam lambung. Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa olahraga secara nyata dapat mengurangi risiko tukak
duodenum dan perdarahan gastrointestinal pada penderita gastritis. Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan olahraga dan tingkat aktvitas
fisik
Variabel Kasus
Kontrol Total
n n
n
Kebiasaan olah raga
Ya 40
66,7 29
48,3 69 57,5
Tidak 20
33,3 31
51,7 51 42,5
Tingkat aktivitas fisik Tidak aktif
15 25,0
31 51,7
45 37,5 Aktif
45 75,0
29 48,3
57 47,5
Signifikan atau nyata pada p0,05 dengan uji beda Mann Whitney dan korelasi Chi Square
Kebiasaan olahraga contoh dinilai berdasarkan informasi atau pengakuan contoh mengenai kebiasaan olahraga yang dilakukan selama tinggal di asrama
TPB IPB. Tingkat aktifitas fisik contoh dinilai berdasarkan akumulasi durasi aktivitas sedang moderate activity termasuk olahraga yang yang dilakukan
contoh selama seminggu. Pengkategorian tingkat aktivitas fisik menggunakan kriteria U.S. Department of Health and Human Services USDHHS tahun 2008.
Sebaran contoh beradasarkan kebiasaan olahraga dan tingkat aktivitas fisik dapat dilihat pada Tabel 16.
Sebagian besar contoh pada kelompok kasus 66,7 memiliki kebasaan melakukan olahraga, sedangkan pada kelompok kontrol hanya 48,3 contoh
yang memiliki kebiasaan melakukan olahraga. Data kebiasaan olahraga diperoleh berdasarkan pengakuan contoh sehingga lebih bersifat subjektif atau
dipengaruhi oleh persepsi contoh. Analisis statistika menggunakan uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa kebiasaan olahraga contoh pada kelompok
kasus tidak berbeda nyata dengan kebiasaan olahraga contoh pada kelompok kontrol p0,05. Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan
kebiasaan olahraga tidak berhubungan nyata p0,05 dengan frekuensi dispepsia Lampiran 4.
Sebaran contoh berdasarkan tingkat aktivitas fisik pada kelompok kasus berbeda dengan pada kelompok kontrol. Sebagian besar contoh pada kelompok
kasus 75 berada pada kategori aktif, sedangkan pada kelompok kontrol lebih separuh contoh berada pada kategori tidak aktif. Analisis statistik menggunakan
uji beda Mann Whitney menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata p0,05 pada kedua kelompok tersebut Lampiran 3. Uji hubungan dengan Chi Square
tabel 2x2 menunjukkan bahwa tingkat aktivitas fisik berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia p0,05 Lampiran 4. Tingkat aktivitas fisik memiliki
koefisien kontingensi sebesar 0,188 p=0,036 dan dinyatakan dengan tingkat keeratan hubungan rendah. Contoh yang termasuk kategori tidak aktif memiliki
risiko mengalami dispepsia lebih sering dibandingkan yang aktif OR: 7,031; 95CI: 0,869-56,886. Contoh yang termasuk kategori tidak aktif memiliki risiko
mengalami dispepsia dengan frekuensi sering 7,031 kali lebih tinggi dibandingkan yang aktif.
Jenis olahraga yang dilakukan contoh berbeda-beda satu sama lain. Pada umumnya contoh putra lebih banyak melakukan olahraga futsal,
sedangkan contoh putri jenis olahraga sepeda. Jenis olahraga yang paling banyak dilakukan oleh contoh baik putra maupun putri adalah lari. Selain
olahraga yang dilakukan, dilihat transportasi yang dilakukan contoh dari asrama menuju tempat kuliah. Jika contoh terbiasa berjalan kaki dari dan menuju tempat
kuliah, hal tersebut turut berkontribusi pada aktivitas fisik sehari-hari contoh.
Konsumsi Obat-Obatan
Jenis obat-obatan tertentu dapat menyebabkan terjadinya gastritis dan tukak peptik. Obat anti nyeri misalnya: aspirin, neuralgin, parasetamol, dll, obat
anti inflamasi non steroid OAINS, antibiotik, kortikosteroid hormon, tablet besi, suplemen kalium, dan obat kemoterapi kanker adalah beberapa jenis obat yang
memiliki efek samping menyebabkan gastritis. Di Indonesia obat-obatan banyak yang dijual secara bebas. Obat-obatan daftar G obat yang memerlukan resep
dokter dapat dengan mudah dibeli tanpa menggunakan resep dokter. Pemakaian obat-obatan yang luas ini menyebabkan kejadian efek samping obat
meningkat. Dilaporkan 10-20 pasien yang menggunakan aspirin dan OAINS mengalami dispepsia, yang merupakan gejala gastritis Santoso 2008.
Obat pengurang rasa sakit atau antinyeri diduga berkaitan dengan frekuensi munculnya gejala gangguan lambung. Rasa sakit atau nyeri sering
menjadi penyebab gangguan aktivitas sehari-hari bagi penderitanya, sehingga
penderita lebih suka bertindak cepat mengatasinya dengan obat anti nyeri analgesik. Santoso 2008 menyatakan, terdapat dua mekanisme kerja obat-
obatan yang dapat menyebabkan iritasi secara langsung maupun tidak langsung pada saluran cerna. Pertama, molekul-molekul obat yang bersifat asam akan
langsung mengiritasi mukosa lambung. Kedua, inhibisi atau hambatan terhadap pengeluaran prostaglandin akan menurunkan faktor defensif mukosa lambung.
Prostaglandin bersifat protektif terhadap mukosa lambung, senyawa tersebut dihambat karena dianggap bertanggungjawab terhadap munculnya respon
inflamasi dan rasa nyeri. Penderita gastritis dan tukak peptik sering menggunakan obat-obatan
yang menekan sekresi asam lambung untuk mengatasi gejala yang muncul. Antasida merupakan obat yang paling umum digunakan untuk mengatasi gejala
gastritis dan tukak peptik. Antasida diberikan secara oral untuk mengurangi rasa perih akibat suasana lambung yang terlalu asam dengan cara menetralkan asam
lambung. Umumnya antasida merupakan basa lemah, terdiri dari zat aktif yang mengandung alumunium hidroksida dan magnesium hidroksida, kadang-kadang
disertai simetikon untuk mengurangi kelebihan gas. Efek samping antasida, obat tersebut dapat berinteraksi dengan senyawa logam lain yang terdapat pada
makanan atau obat tertentu. Zat aktif pada antasida magnesium dan alumunium akan bersaing dengan mineral lainnya yang memiliki valensi sama
untuk diabsorbsi. Magnesium Mg, kalsium Ca, besi Fe, dan tembaga Cu sama-sama memiliki valensi +2 sehingga jika dikonsumsi bersamaan akan saling
menghambat absorbsi Almatsier 2002. Sering mengkonsumsi antasida akan meningkatkan risiko defisiensi vitamin dan mineral tertentu. Jika defisiensi besi
dan vitamin B12 yang terjadi, maka dapat berdampak pada anemia. Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan mengkonsumsi obat-obatan
dan antasida
Variabel Kasus
Kontrol Total
n n
n
Kebiasaan mengkonsumsi obat-obatan Pengguna harian
28 46,7
8 36,0
36 30,0
Bukan pengguna harian 32
53,3 52
84,0 84
70,0
Konsumsi antasida Ya
19 31,7
1 1,7
21 17,5
Tidak 41
68,3 59
98,3 99
82,5 Signifikan atau nyata pada p0,01
Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan mengkonsumsi obat-obatan dan antasida dipaparkan pada Tabel 17, Lebih dari separuh contoh pada kelompok
kasus 53,3 dan sebagian besar contoh pada kelompok kontrol 84,0 termasuk dalam kategori bukan pengguna harian. Bukan pengguna harian
artinya contoh mengkonsumsi obat kurang dari atau sama dengan tujuh takaran tabletkapsulkaplet per minggu. Analisis statistik menggunakan uji beda Mann
Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata p0,01 antara kelompok kasus dengan kontrol Lampiran 3. Uji hubungan
menggunakan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa konsumsi obat-obatan tidak berhubungan nyata p0,05 dengan frekuensi dispepsia yang dialami
contoh. Antasida dikonsumsi untuk mengurangi gejala dispepsia yang dialami
penderita gastritis atau tukak peptik. Terdapat 31,7 contoh pada kelompok kasus memiliki kebiasaan mengkonsumsi antasida. Sebagian besar dari mereka
adalah pengguna harian, contoh yang mengkonsumsi obat lebih dari tujuh takaran tabletkapsulkaplet per minggu. Terdapat 1,7 contoh pada kelompok
kontrol yang juga memiliki kebiasaan mengkonsumsi antasida. Contoh pada kelompok kontrol tersebut juga mengalami gejala dispepsia gejala gangguan
lambung, tetapi tidak mengalami gastritis atau tukak peptik. Hal tersebut dapat terjadi karena gejala dispepsia tidak hanya timbul karena adanya masalah
organik gastritis atau tukak peptik, melainkan karena masalah fungsional. Analisis perbandingan secara statistik menggunakan uji beda Mann
Whitney menunjukkan terdapat perbedaan yang sangat nyata pada konsumsi antasida antara kelompok kasus dengan kelompok kontrol p0,01. Uji
hubungan menggunakan Chi Square tabel 2x2 juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat nyata antara konsumsi antasida dengan
frekuensi dispepsia yang dialami contoh p0,01, dengan koefisien kontingensi sebesar 0,307 dan dinyatakan dengan tingkat keeratan hubungan rendah
Lampiran 4. Semakin sering contoh mengalami dispepsia, maka cenderung memiliki kebiasaan mengkonsumsi antasida untuk mengatasi gejalanya OR:
8,143; 95 CI 2,191-30,263. Tingkat Stres
Stres erat kaitannya dengan berbagai rangkaian reaksi tubuh yang merugikan kesehatan. Gangguan psikis atau konflik emosi akan menimbulkan
gangguan psikosomatik yang diikuti perubahan fisiologis dan biokemis
seseorang. Stres akan memicu hormon kortisol, dimana hormon tersebut akan menimbulkan reaksi pada seluruh sistem dalam tubuh, termasuk jantung, paru-
paru, peredaran darah, metabolisme, dan sistem imun. Hormon lainnya, yaitu hormon kotekolamin yang terdiri atas zat aktif dopamin, norepinefrin, dan
epinefrin atau yang lebih dikenal dengan adrenalin turut berperan dalam menekan ingatan jangka pendek seseorang. Hal tersebut menyebabkan
seseorang yang sedang mengalami stres akan sulit untuk berpikir secara rasional. Proses tersebut juga memicu terjadinya penyakit psikosomatik dengan
gejala dispepsia, diare, pusing, sakit otot dan sendi. Berbagai mekanisme hormonal penurunan serotonin dan katekolamin, peningkatan asetilkolin akan
menimbulkan hiperasimtomatik sistem gastrointestinal yang akan meningkatkan peristaltik dan sekresi asam lambung. Hal tersebut akan menyebabkan
hiperasiditas lambung, kolik, vomitus, dan sebagian besar gejala gastritis dan tukak peptik. Sebaran contoh berdasarkan tingkat stres yang dialami ketika
tinggal di asrama dipaparkan pada Tabel 18 berikut ini. Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan tingkat stres yang dialami
Tingkat stres Kasus
Kontrol Total
n n
n Rendah
17 28,3 29
48,3 46
38,3 Sedang
43 63,3 31
51,7 74
61,7
Signifikan atau nyata pada p0,01
Tingkat stres contoh diukur melalui delapan belas pertanyaan mengenai gejala stres yang dialami contoh ketika tinggal di asrama. Masing-masing
pertanyaan diberikan pilihan jawaban yang skornya berbeda-beda. Lebih dari separuh contoh pada kelompok kasus dan kontrol 63,3 dan 51,7 berada
pada tingkat stres kategori sedang. Contoh pada kelompok kasus cenderung berada pada tingkat stres lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Analisis
statistik menggunakan Independent T-Test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara tingkat stres contoh pada kelompok kasus dengan
kelompok kontrol p0,05. Contoh pada kelompok kasus cenderung memiliki tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan dengan contoh pada kelompok
kontrol. Uji hubungan menggunakan Chi Square tabel 2x2 antara skor gejala stres dengan frekuensi dispepsia contoh menunjukkan adanya hubungan yang
nyata p0,05. Tingkat stres memiliki koefisien kontingensi sebesar 0,188 yang dinyatakan dengan tingkat keeratan hubungan rendah. Semakin tinggi tingkat
stres contoh maka berhubungan dengan semakin sering muncul dispepsia yang dialami contoh OR: 7,031; 95 CI: 0,869-56,886. Contoh dengan kategori stres
lebih tinggi berpeluang mengalami dispepsia lebih sering sebesar 7,031 kali dibandingkan dengan yang kategori stresnya lebih rendah.
Secara umum, stres dapat dibedakan menjadi dua, yaitu stres fisik dan stres psikologis. Stres fisik terjadi misalnya karena luka bakar, infeksi yang
sampai masuk ke pembuluh darah atau sepsis, adanya trauma, sedang dalam perawatan setelah pembedahan, adanya henti napas, gagal ginjal, dan
kerusakan saraf. Semua keadaan di atas menimbulkan stres fisik yang cukup serius sehingga secara tidak langsung dapat menyebabkan iritasi pada lambung.
Berbeda dengan stres fisik, stres psikologis lebih bersifat ketegangan atau tekanan mental yang dirasakan internal di dalam diri Santoso 2008.
Penelitian yang dilakukan untuk menentukan tingkat stres contoh, lebih dititikberatkan untuk menggali stres psikologis yang dialami oleh contoh. Hal
tersebut dilakukan dengan cara mengeksklusi contoh yang memiliki riwayat penyakit degeneratif kronis diabetes, jantung, gagal ginjal, epilepsi, kanker, dll.
Berbagai reaksi gangguan psikosomatik dapat timbul akibat stres. Sebaran contoh berdasarkan gejala stres yang dialami oleh contoh dipaparkan pada
Tabel 19. Sebagian besar gejala stres 12 dari 18 gejala yang dipaparkan
didominasi dengan jawaban jarang atau kadang-kadang oleh contoh. Tiga gejala stres yang paling sering dialami contoh adalah merasa pegal-pegal pada
leherpunggungbahu sering dialami oleh 23,3 contoh, mengalami perubahan nafsu makan sering dialami oleh 18,3 contoh, dan merasa pusingsakit kepala
tanpa alasan yang jelas sering dialami oleh 14,2 contoh. Dalam kondisi tertekan atau stres, nafsu makan sering berubah-ubah karena berbagai reaksi
hiperasimtomatik pada
sistem gastrointestinal.
Hiperasiditas lambung
menyebabkan berkurangnya nafsu makan. Di samping itu, sekresi adrenalin membuat cadangan gula darah meningkat sehingga turut mempengaruhi
penurunan nafsu makan yang juga berakibat pada pola makan menjadi tidak teratur. Perubahan nafsu makan merupakan salah penyebab timbulnya gastritis
maupun tukak peptik dan frekuensi munculnya gejalanya.
Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan gejala stres yang dialami.
Gejala Stres Tidak
Pernah Jarang dan
Kadang-kadang Sering
Merasa pusing sakit kepala tanpa alasan yang jelas 15,8
70,0 14,2
Merasa pegal-pegal pada leher punggung bahu 9,2
67,5 23,3
Mengalami kejang otot dan tangan gemetaran 60,0
35,8 4,2
Perut terasa kembungmulasdiare pada saat akan melakukan sesuatu
43,3 49,2
7,5 Sering menjatuhkan barang tersandung
memecahkan barang 65,8
25,0 9,2
Jantung berdebar dengan cepat 45,8
50,8 3,3
Merasa tidak tenang tegang cemas terancam 49,2
45,0 5,8
Merasa sukar berkonsentrasi pada saat melakukan kegiatan
20,8 70,8
8,3 Mengalami sulit tidur tidak dapat tidur nyenyak
seperti biasa 32,5
56,7 10,8
Mudah tersinggung 36,7
55,0 8,3
Mengalami perubahan nafsu makan 20,0
61,7 18,3
Merasa sangat lelah lesu lemas tidak bertenaga 17,5
70,0 12,5
Merasa tidak sabar dan cepat marah tanpa sebab 38,3
53,3 8,3
Merasa tak memiliki harapan putus asa 57,5
39,2 3,3
Merasa bingung takut bertemu orang lain 60,0
37,5 2,5
Merasa sedih sekali dan ingin menangis 36,7
54,2 9,2
Merasa dipaksa dengan sangat oleh orang lain keadaan, tertekan
65,8 29,2
5,0 Mengalami mimpi buruk
35,0 59,2
5,8
Herediter
Hampir semua penyakit yang terjadi pada manusia memiliki unsur genetik atau bawaan. Faktor genetik pada setiap orang dapat mempengaruhi struktur
dan fungsi tubuh dalam kondisi normal dan ketika sakit. Setiap penyakit, satu atau lebih faktor genetik menentukan karakter, gejala, dan tingkat keparahan
penyakit. Pada penyakit tukak peptik, gastritis, dan kanker lambung, faktor genetik berkontribusi pada kerentanan dan konsekuensi infeksi. Dalam penelitian
ini, dianalisis dua pengaruh herediter atau bawaan, yaitu riwayat penyakit keluarga dan golongan darah.
Riwayat Penyakit Keluarga
Faktor genetik berkaitan erat dengan herediter atau keturunan. Gen tertentu akan diwariskan pada keturunan. Beberapa studi menunjukkan bahwa
kedekatan keluarga, kembar, golongan darah yang sejenis, dan abnormalitas fisiologis misalnya: level serum pepsinogen berlebih berkaitan dengan tukak
peptik, gastritis, dan kanker lambung. Penyakit tukak peptik ulkus terjadi 2-3 kali
lebih sering pada keluarga yang terdapat riwayat tukak peptik dibanding populasi normal. Sebaran contoh berdasarkan riwayat penyakit gastritis dan tukak peptik
dipaparkan dalam Tabel 19 berikut ini.
Tabel 20 Sebaran contoh berdasarkan riwayat gangguan lambung keluarga
Riwayat Kasus
Kontrol Total
n n
n Tidak ada
24 40,0
46 76,7
70 58,3
Ayah 12
20,0 5
8,3 17
14,2 Ibu
21 35,0
7 11,7
28 23,3
Kakek 2
3,3 1
1,7 3
2,5 Nenek
1 1,7
1 1,7
2 1,7
Garis keluarga yang diambil dalam penelitian ini adalah ayah, ibu, kakek, dan nenek. Sebagian besar contoh pada kelompok kontrol 76,7 tidak memiliki
riwayat penyakit gangguan lambung berupa gastritis maupun tukak peptik di keluarganya, sedangkan pada kelompok kasus hanya sebesar 40 Tabel 20.
Riwayat penyakit gastritis paling banyak ditemukan pada ibu. Riwayat penyakit gastritis pada ibu contoh lebih banyak ditemukan pada
kelompok kasus. Analisis statistik menggunakan uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata p0,05 riwayat penyakit
ibu pada kelompok kasus dan kelompok kontrol Lampiran 3. Riwayat penyakit gastritis dan tukak peptik pada ayah, kakek, dan nenek tidak berbeda nyata
p0,05 antara kelompok kasus dengan kontrol. Hasil uji hubungan menggunakan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa riwayat penyakit ayah,
ibu, kakek, dan nenek tidak berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia yang dialami contoh.
Golongan Darah
Hasil penelitian mengindikasikan bahwa golongan darah berhubungan dengan risiko penyakit. Golongan darah mempengaruhi sistem metabolisme dan
daya tahan tubuh serta keadaan mental. Hal ini dikarenakan adanya hubungan secara genetik antara gen pada golongan darah dengan gen lain yang
berpengaruh terhadap kesehatan dan sistem metabolisme secara keseluruhan. Pada golongan darah O didapatkan 30-40 lebih sering mengalami tukak peptik
dibandingkan golongan darah
lainnya. Golongan
darah O
memiliki kecenderungan untuk terkena insiden penyakit pencernaan, yaitu gastritis,
duodenitis, dan tukak peptik ulkus lebih tinggi dibandingkan dengan golongan darah lainnya karena produksi asam lambungnya lebih banyak dibandingkan
golongan darah yang lain.
Tabel 21 Sebaran contoh berdasarkan golongan darah
Golongan Darah
Kasus Kontrol
Total n
n n
O 26
43,3 23
38,3 49
40,8 Selain O
34 56,7
37 61,7
71 59,1
Gambar 7 Sebaran contoh pada kelompok kasus kiri dan kontrol kanan berdasarkan golongan darah
Sebaran contoh berdasarkan golongan darah dapat dilihat pada Tabel 21 dan Gambar 7. Sebagian contoh pada kedua kelompok kasus dan kontrol
memiliki golongan darah O 43,3 dan 38,3. Penelitian Mulyani 2007 pada mahasiswa TPB IPB menunjukkan bahwa golongan darah O mempunyai risiko
sebesar 1,96 kali lebih besar untuk mengalami penyakit peptik dibandingkan golongan darah yang lain A, B, dan AB. Namun analisis statistik menggunakan
uji Chi Square menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata diantara kelompok kasus dan kontrol p0,05. Uji hubungan menggunakan Chi Square
tabel 2x2 menunjukkan bahwa golongan darah tidak berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia yang dialami contoh p0,05.
Faktor Risiko Frekuensi Dispepsia
Analisis multivariat menggunakan regresi logistik ordinal dilakukan untuk mengetahui faktor risiko yang paling berkaitan dengan frekuensi munculnya
gejala gangguan lambung. Analisis dilakukan terhadap seluruh variabel independen yang berhubungan nyata dengan variabel dependen berdasarkan
analisis bivariat. Analisis regresi logistik dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar interaksi variabel yang diduga menjadi faktor risiko terhadap
frekuensi munculnya dispepsia. Pada penelitian ini, terdapat sembilan variabel independen yang diduga
menjadi faktor risiko frekuensi munculnya dispepsia, yaitu: riwayat gangguan lambung gastritis atau tukak peptik, keteraturan makan, frekuensi makan,
A 22
B 27
AB 8
O 43
A 20
B 32
AB 10
O 38
kebiasaan minum minuman berkarbonasi minuman berkarbonasi atau bersoda, kebiasaan mengkonsumsi makanan atau minuman asam, konsumsi lemak,
kebiasaan mengkonsumsi antasida, aktivitas fisik, dan tingkat stres. Variabel dependen frekuensi dispepsia merupakan peubah respon terdiri atas dua
ketegori jarang dan sering. Analisis statistika menggunakan uji regresi logistik biner dengan metode
bertartar stepwise yang dilakukan sebanyak tujuh tahap. Uji regresi logistik tahap satu memasukkan seluruh variabel independen yang berhubungan nyata
dengan frekuensi dispepsia Lampiran 5. Uji regresi logistik berikutnya memasukkan seluruh variabel dikurangi dengan satu variabel yang nilai
signifikansinya p-value paling besar Lampiran 6-9. Regresi tahap berikutnya ,mengurangi satu demi satu variabel yang nilai signifikansinya p-value paling
besar hingga diperoleh hasil regresi logistik yang keseluruhan variabel independennya berpengaruh signifikan Lampiran 31.
Omnimbus Test of Model Coefficient menghasilkan nilai signifikansi lebih kecil dari
dari α p0,05. Model dikatakan fit atau layak apabila nilai signifikansi omnimbus test-
nya lebih kecil dari α. Nagelkerke R
2
menjelaskan seberapa besar kemungkinan respon frekuensi munculnya gejala gangguan lambung
dipengaruhi oleh faktor risiko variabel independen terhadap yang termasuk dalam model, kemungkinan respon sisanya dipengaruhi oleh faktor risiko atau
variabel independen lainnya di luar model Tabel 22. Tabel 22 menjelaskan kesesuaian model hasil regresi logistik yang
dilakukan untuk menemukan faktor risiko yang paling berpengaruh pada frekuensi munculnya gejala gangguan lambung. Nilai Hosmer and Lemeshow
Test digunakan untuk melihat kecocokan data empiris dengan model. Model dinyatakan cocok apabila nilai signifikansi di atas 0,05 atau -2 Log Likelihood di
bawah Chi Square tabel. Dilihat dari nilai signifikasi Omnimbust Test p0,05 dan Hosmer and Lemeshow Test p0,05, keseluruhan model tahap 1 hingga 7
dapat dinyatakan sebagai model yang fit atau layak.
Tabel 22 Kesesuaian model hasil regresi logistik stepwise faktor risiko gejala gangguan lambung
Model regresi
Variabel -2 Log
likelihood Signifikansi
Omnimbus Test
Signifikansi Hosmer
Lemeshow Test R
2
Model Tahap 1
Riwayat penyakit Keteraturan makan
Frekuensi makan Keb.Minum Soda
Keb. Mengkonsumsi asam Konsumsi lemak
Konsumsi antasida Aktivitas fisik
Stres 26,196
0,000 1,000 0,711
Model Tahap 2
Riwayat penyakit Frekuensi makan
Keb.Minum Soda Keb. Mengkonsumsi asam
Konsumsi lemak Konsumsi antasida
Aktivitas fisik Stres
34,700 0,00
0,991 0,603
Model Tahap 3
Frekuensi makan Keb.Minum Soda
Keb. Mengkonsumsi asam Konsumsi lemak
Konsumsi antasida Aktivitas fisik
Stres 34,777
0,000 0,990 0,549
Model Tahap 4
Frekuensi makan Keb.Minum Soda
Keb. Mengkonsumsi asam Konsumsi lemak
Aktivitas fisik Stres
34,500 0,000
0,998 0,545
Model Tahap 5
Frekuensi makan Keb.Minum Soda
Keb. Mengkonsumsi asam Konsumsi lemak
Stres 33,848
0,000 0,997 0,536
Model Tahap 6
Frekuensi makan Keb.Minum Soda
Keb. Mengkonsumsi asam Stres
39,993 0,000
0,993 0,532
Model Tahap 7
Frekuensi makan Keb.Minum Soda
Stres 29,327
0,000 0,897 0,473
signifikan atau nyata pada p0,05 Keb. : kebiasaan
Model tahap 7 menghasilkan variabel-variabel independen yang seluruhnya berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen frekuensi
dispepsia. Nilai R
2
model tahap 7 sebesar 0,473 atau 47,3. Hal ini berarti model dapat menjelaskan 47,3 kemungkinan respon dipengaruhi oleh faktor
risiko variabel yang termasuk dalam model, kemungkinan respon sisanya 52,7 dipengaruhi oleh faktor risiko atau variabel lain di luar model. Hasil
regresi logistik tahap akhir tahap 7 dipaparkan pada Tabel 23.
Tabel 23 Hasil regresi logistik faktor risiko frekuensi dispepsiatahap akhir
Faktor Risiko B
OR Exp.
B Signifikasi
p Confidence Interval 95
Batas terendah
Batas tertinggi
Frekuensi Makan
Tidak tentu ≤2 kalihari -2,500
0,082 0,004
0,015 0,446
2 kalihari Kebiasaan Minum Minuman Berkarbonasi
Tidak 0 2,192
8,954 0,028
1,268 63,225
Ya 1 Tingkat Stres
Rendah 0 0,194
1,215 0,006
1,057 1,396
Sedang 1 Konstanta
-8,535 0,000
0,001 -
-
signifikansi atau p-value bermakna p0,05
Hasil uji regresi logistik menunjukkan bahwa pada taraf nyata 5, diketahui bahwa faktor risiko yang secara nyata signifikan berpengaruh
terhadap frekuensi dispepsia adalah frekuensi makan OR 0,082; 95 CI: 0,015- 0,446, kebiasaan minum minuman berkarbonasi OR 8,954; 95 CI: 1,268-
63,225 dan tingkat stres OR 1,215; 95 CI: 1,057-1,369 Tabel 21. Semakin sering frekuensi makan contoh, semakin berkurang risiko untuk sering
mengalami gejala gangguan lambung. Contoh yang frekuensi makannya lebih dari dua kali sehari berpeluang 0,082 kali lebih rendah untuk mengalami gejala
gangguan lambung. Contoh yang memiliki kebiasaan minum minuman berkarbonasi berisiko 8,954 kali lebih sering mengalami gejala gangguan
lambung. Semakin tinggi tingkat stres contoh semakin berisiko mengalami gejala gangguan lambung. Contoh yang memiliki tingkat stres setingkat lebih tinggi,
berisiko sering mengalami dispepsia 1,215 kali lebih besar dibandingkan dengan yang tingkat stresnya lebih rendah.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kasus adalah contoh dengan riwayat penyakit gastritis atau tukak peptik, sedangkan kontrol adalah contoh tanpa riwayat gastritis atau tukak peptik.
Sebagian besar contoh kasus dan kontrol berada pada masa remaja akhir, jumlah uang saku Rp 400.000-Rp 600.000; berasal dari suku Sunda dan Jawa;
dan wilayah domisili yang paling banyak adalah Jawa Barat dan Sumatera. Sebagian besar contoh berada pada status gizi normal. Umur, jenis kelamin,
dan karakteristik sosial-ekonomi contoh pada kelompok kasus dan kontrol tidak berbeda nyata p0,05.
Sebagian besar contoh berada pada kategori tingkat gejala gangguan lambung kategori jarang. Frekuensi gejala gangguan lambung pada kelompok
kasus cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol berbeda nyata, p0,05. Riwayat gangguan lambung berhubungan nyata dengan
frekuensi munculnya gejala dispepsia pada contoh p0,05. Keteraturan makan, frekuensi makan, kebiasaan minum minuman
berkarbonasi, dan konsumsi lemak berhubungan nyata dengan frekuensi munculnya gejala dispepsia p0,05. Contoh yang makan tidak teratur,
frekuensi makan ≤ 2 kali per hari, memiliki kebiasaan minum minuman berkarbonasi, dan mengkonsumsi lemak 30 AKE lebih berisiko sering
mengalami gejala dispepsia. Hanya sebagian kecil ≤10 contoh yang memiliki kebiasaan merokok
dan keseluruhan berjenis kelamin pria. Contoh pada kelompok kontrol lebih banyak yang sering terpapar asap rokok perokok pasif. Tidak ada contoh yang
pernah mengkonsumsi minuman beralkohol selama tinggal di asrama. Bagian terbesar aktivitas fisik contoh pada kelompok kasus termasuk
kategori aktif, sedangkan pada kelompok kontrol termasuk tidak aktif berbeda nyata, p0,05. Tingkat aktivitas fisik berhubungan nyata p0,05. Contoh yang
tidak aktif lebih berisiko sering mengalami gejala dispepsia. Contoh pada kelompok kasus cenderung lebih banyak yang memiliki
kebiasaan mengkonsumsi obat-obatan dan antasida. Semakin sering mengalami gejala dispepsia, contoh cenderung terbiasa mengkonsumsi
antasida untuk mengatasi gejalanya p0,05. Contoh pada kelompok kasus cenderung memiliki tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan dengan contoh
pada kelompok control p0,05. Semakin tinggi tingkat stres contoh
berhubungan dengan semakin sering muncul gejala dispepsia p0,05. Faktor herediter riwayat penyakit keluarga dan golongan darah contoh tidak berhubungan
dengan frekuensi munculnya gejala dispepsia. Faktor risiko yang paling berpengaruh terhadap gejala dispepsia adalah
frekuensi makan OR 0,082; 95 CI: 0,015-0,446, kebiasaan minum minuman berkarbonasi OR 8,954; 95 CI: 1,268-63,225 dan tingkat stres OR 1,215; 95
CI: 1,057-1,369. Semakin jarang frekuensi makan contoh, memiliki kebiasaan minum minuman berkarbonasi, dan semakin tinggi tinggi tingkat stres contoh, maka
semakin berisiko mengalami gejala dispepsia.
Saran
Kebiasaan makan yang baik dapat mencegah timbulnya dispepsia.
Makan secara teratur dan menerapkan makan dengan frekuensi lebih dari dua kali per hari
lebih baik untuk membantu lambung beradaptasi sehingga sekresi asam lambung terkontrol. Membatasi minuman dan makanan iritatif terutama minuman berkarbonasi
lebih baik untuk mencegah terjadinya dispepsia maupun kekambuhan gejala- gejalanya.
Remaja perlu mendapatkan pendidikan gizi terkait minuman berkarbonasi untuk mengimbangi gencarnya iklan yang menimbulkan persepsi bahwa minuman
berkarbonasi adalah minuman modern dan bergengsi. Pendidikan gizi terkait pola makan dan gaya hidup yang sehat juga penting diberikan kepada remaja untuk
membentuk sikap dan perilaku yang sehat. Meminimalkan stres perlu untuk mencegah timbulnya gangguan-gangguan
kesehatan akibat perubahan fisiologis maupun biokemis akibat stres, termasuk dispepsia. Bimbingan dan konseling perlu diberikan secara rutin kepada mahasiswa
TPB untuk membantu mereka mengatasi stres, terutama pada masa-masa adaptasi awal tinggal di asrama dan menjalani perkuliahan.
Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk melihat lebih jauh faktor risiko dispepsia maupun gangguan lambung. Disarankan penelitian lebih lanjut mengenai
faktor risiko dispepsia atau gangguan lambung dengan menggunakan data yang lebih objektif misalnya hasil endoskopi, data pemeriksaan klinis, dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier S. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. _________. 2006. Penuntun Diet Edisi Terbaru. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama. Annisa. 2009. Hubungan Ketidakteraturan Makan dengan Sindroma Dispepsia
Remaja Perempuan di SMS Plus Al-Azhar Medan [skripsi]. Medan: Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara.
Beyer PL. 2004. Medical Nutrition Therapy for Upper Gastrointestinal Tract Disorders. Di dalam: Mahan LK dan Escott-stump SE, editor.
Krause’s Food, Nutrition, and Diet Therapy 11
th
Edition. Philadelphia: Saunders hlm. 686-703.
_________. 2008. Medical Nutrition Therapy for Upper Gastrointestinal Tract Disorders. Di dalam: Mahan LK dan Escott-stump SE, editor.
Krause’s Food, Nutrition, and Diet Therapy 12
th
Edition. Philadelphia: Saunders hlm. 696-716.
Byrd-Bredbenner CB, Moe G, Beshgetoor D, dan Berning J. 2009. Wardlaw’s
Perspectives in Nutrition 8
th
Edition. New York: McGraw-Hill Carvalho RVB, Lorena SLS, Almeida JRD, Mesquita MA. 2008. Food Intolerance,
diet Composition, and Eating Patterns in Functional Dyspepsia Patients. Journal of Digestive Disease and Science 55:60
–65. Chang L. 2006. The Rome Criteria for the Functional Gastrointestinal Disorder.
World Journal of Gastroenterology 885:898. [terhubung berkala]. http:www.medscape.com [5 Juni 2010].
Cheng Y, Macera CA, Davis DR, Blair SN. 2000. Does Pshysical Activity Reduce The Risk of developing Peptic Ulcers?. British Journal Sport Medicine
34:116-121. Choi S, Lim YJ, Park SK. 2006. Risk Factor for Analysis for Metaplastic Gastritis
in Koreans. World Journal of Gastroenterology 12 16: 2584-2587. D’Adamo PJ. 2002. Live Right For Your Type. New York: Penguin Books.
Darya IW dan Wibawa IDN. 2009. Korelasi Antara derajat Gastritis dan Rasio Pepsinogen III Pada Penderita gastritis Kronis. Jurnal Penyakit Dalam
Vol. 10: 85-98. [DEPKES] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Profil Kesehatan
RI tahun 2005. [terhubung berkala]. http:www.depkes.go.id [5 Juni 2010].
Dewi FI. 2008. Sumber Kafein dan Dampaknya Berdasarkan Persepsi Mahasiswa TPB IPB Tahun Ajaran 20072008 [skripsi]. Bogor: Program
Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Djojoningrat D. 2001. Dispepsia Fungsional. Di dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
3
th
Ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Dwijayanti H, Ratnasari N, dan Susetyowati. 2008. Asupan Natrium dan Kalium
Berhubungan dengan Frekuensi Kekambuhan Sindrom Dispepsia Fungsional. Jurnal Gizi Klinik Indonesia Vol. 5 No 1: 36-40.
Ettinger S. 2000. Macronutrients: Carbohydrates, Proteins, and Lipids. Di dalam: Mahan LK dan Escott-stump SE, editor.
Krause’s Food, Nutrition, and Diet Therapy 11
th
Edition. Philadelphia: Saunders hlm. 37-73. Fardah A, Ranuh RG, dan Subijanto MS. 2006. Infeksi Helicobacter pylori pada
Anak [naskah].
[terhubung berkala].
http:www. pediatrik.compkb061022022203-se2u134.pdf [8 Mei 2010].
Ganong WF. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. Gibson R.S. 2005. Principles of Nutritional Assement Second Edition. Oxford:
University Press. Harahap Y. 2009. Karakteristik Penderita Dispepsia Rawat Inap di RS Martha
Friska Medan Tahun 2007 [skripsi]. Medan: Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara.
Hardinsyah dan Briawan D. 1994. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Heinberg LJ dan Thompson JK. 1999
. The media’s Influence on Body Image Disturbance and Eating Disorders: We’ve Reviled Them, Now Can Me
Rehabilitate Them?. Journal of Social Issues 55 2: 339-353.
Hurlock EB. 1991. Psikologi Perkembangan terjemahan. Jakarta: Erlangga. Imanzadeh F, Sayyari AA, Ighbali A, Javaherizadeh H, dan Valaie N. 2007. Study
of The Risk Factor Related with Helicobacter pylori Infection in Children with Peptic Ulcers Disease. Pakistan Journal Medical Science 23 3: 446-
448.
Istianasari. 2004. Analsis Keragaan Sosal-Ekonomi, Status Gizi, dan Keluhan Kesehatan Mahasiswa TPB yang Berobat ke poloklinik IPB [skripsi].
Bogor: Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Insttut Pertanian Bogor.
Julius. 1992. Patogenesis Tukak Peptik. Jurnal Cermin Dunia Kedokteran 79:9- 13.
Khomsan A. 2002. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. Khumaidi M. 1989. Gizi Masyarakat. Bogor: Pusat Antar Universitas.
Kus harto CM dan Sa’adiyyah NY. 2008. Diktat Penilaian Konsumsi Pangan Edisi
Kelima. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Laela N. 2008. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Stres pada Anak Usia Sekolah Dasar yang Sibuk dan Tidak Sibuk [skripsi]. Bogor: Program
Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Lelyana R. 2008. Pengaruh Kopi Terhadap Kadar Asam Urat Darah Studi Kasus pada Tikus Rattus Norwegicus Galur Wistar [tesis]. Semarang: Program
Pascasarjana, Magister Ilmu Biomedik, Universitas Diponegoro. Mahan LK dan Escott-stump SE, editor. 2008.
Krause’s Food, Nutrition, and Diet Therapy 12
th
Edition. Philadelphia: Saunders hlm. 37-73. Mahadeva S dan Lee GK. 2006. Epidemiology of Functional Dyspepsia: A Global
Perspective. World Journal of Gastroenterology 12 17: 2661-2666. Mcintosh JH, Byth K, dan Piper W. 1985. Environmental Factors in Aetiology of
chronic Gastric Ulcer: Use Control Study of Exposure Variables Before The Fisrt Symptomps. World Journal of Gastroenterology 1985 26:
789-798.
Monks FJ, Knoers AMP, Haditono. 1999. Psikologi Perkembangan: Pengantar Dalam berbagai Bagiannya terjemahan. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. Mulyani DT. 2007. Hubungan Golongan Darah ABO dan Faktor Makanan
dengan Risiko Penyakit Peptik pada Mahasiswa TPB IPB [skripsi]. Bogor: Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Musbyarini K. 2009. Gaya Hidup dan Status Kesehatan Sopir Bus Sumber Alam Di Kabupaten Purworejo Jawa Tengah [skripsi]. Bogor: Departemen Gizi
Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Nadesul. 2005. Sakit Lambung, Bagaimana Terjadinya. [terhubung berkala].
http:www.kompas.com [5 Januari 2010]. Nelson WE et al. Ilmu Kesehatan Anak Volume 1. Jakarta: Penerbit EGC.
Papalia DE dan Olds SW. 1998. Human Development. New York: Mc Graw Hill.
Reshetnikov OV et al. Prevalence of Dyspepsia and Irritable Bowel Syndrome Among Adolescent of Novobirsk, Institut of Internal Medicine of Rusia.
Int. J. Circumpolar Health 60 2:253. Riccardi VM dan Rotter JI. 2004. Familial Heliobacter pylori Infection: Societal
Factors, Human Genetics, and Bacterial Genetics. Ann Intern Med. 120 12: 1043-104].
Robert WB dan William SR. 2000. Nutrition Troughout the Life Cycle. Singapore: McGraw Hill.
Salih BA, Abasianik MF, Bayurt N, dan Sander E. 2007. H pylori Infectons and Other Risk Factor Associated with Peptic Ulcers in Turkish Patients: A
Retrospective Study. World Journal of Gastroenterology 13 23: 3245- 3248.
Santoso A. 2008. Obat Anti Inflamasi Non Steroid. [terhubung berkala]. http:www.otsuka.co.id?content=article detailid= 62lang=id [16 juli
2010]. Santrock JW. 1983. Life Span Development. Iowa: Wm.C Brown Company
Publisher. Sastroasmoro S dan Ismail S. 1995. Dasar-Dasar Metodologi Penelitan Klinis.
Jakarta: Binarupa. Shinya H. 2007. The Miracle of Enzyme. Bandung: Penerbit Qanita.
Sugiyono. 2009. Statistik untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Sultan
MI. 2009.
Peptic Ulcer
Disease. [terhubung
berkala]. http:www.medscape.com [7 Agustus 2008].
Supariasa IDN. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC. Suyono S. 2001. Ilmu Penyakit Dalam Ed III. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Tarigan CJ. 2003. Perbedaan Depresi pada Pasien Dispepsia Fungsional dan Dispepsia Organik. Medan: Bagian Psikiatri, Fakultas Kedokteran,
Universitas Sumatera Utara. Thomson CA. 2008. Intervention:Dietary and Integrative Care, dietary
Supplementation. Di dalam: Mahan LK dan Escott-stump SE, editor. Krause’s Food, Nutrition, and Diet Therapy 12
th
Edition. Philadelphia: Saunders hlm. 475-482.
Tridjaja B dan Marzuki NS. 2009. Aspek Hormonal Air Susu Ibu. [terhubung berkala]. http:www.idai.or.idasiartikel [18 Januari 2011].
Uripi V. 2004. Menu untuk Gangguan Pencernaan dan Hati. Bogor: Puspa Swara.
[USDHHS] U.S. Department of Health and Human Services. 2008. Physical Activity Guidelines for Americans. [terhubung berkala]. http:www.
health.gov.pagegudelines [28 juli 2010]. [WHO] World Health Organization. 2007. Growth Refrence Data for 5-19 Years.
[terhubung berkala]. http:www.who.intgrowthref en [11 Agustus 2010]. [WHO] World Health Organization. 2007. BMI for Age 5-19 Years. [terhubung
berkala]. http:www.who.intgrowthrefwho2007_bmi_for_ageen
[11 Agustus 2010].
Wibawa IDN. 2006. Penanganan Dispepsia pada Lanjut Usia. Jurnal Penyakit Dalam Volume 7 Nomor 3:214-220.
Wilson LM dan Lester J. 1994. Lambung dan Duodenum. Di dalam: Price SA dan Wilson LM, editor.Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Yunita R. 2010. Hubungan Antara Karakterstik Responden, Kebiasaan Makan dan Minum, serta Pemakaian NSAID dengan Terjadinya Gastritis pada
Mahasiswa Kedokteran [abstrak]. Reading Room of Public Health Faculty Airlangga University. [terhubung berkala]. http:adln.fkm.unair.ac.id
gdl.php?mod=browseop=readid=adlnfkm-adln-ratnayunit-1493 [11
Agustus 2010]. Zentimer S. 2007. Pengaruh Konsentrasi Natrium Benzoat Dan Lama
Penyimpanan Terhadap Mutu Minuman Sari Buah Sirsak Annona muricata L Berkarbonasi [skripsi]. Medan: Fakultas Pertanian,
Universitas Sumatera Utara.
Lampiran 1 Kuesioner Skrining
Nomor Sampel: Tanggal Wawancara
: A. IDENTITAS CONTOH
Nama :
Kontak TelpHP :
Kelas :
Asrama :
Umur :
Jenis kelamin : P L
lingkari salah satu Golongan darah
: Sukuetnis ayah-ibu:
Jalur masuk IPB :