P3O LIPI CITES
DirJen PHKA Dept.
Kehutanan
IMPORTIR
ICRWG
AKKII
BKSDA EKSPORTIR
Pengepul
Nelayan
Sumberdaya
2.Rekomendasi kuota
3.Tembusan Info kuota
6.Laporan Kuota Tahunan Realisasi Eksport
3.SATS – LN, CITES Permit, Kuota
1.Stock Assessment
5.Laporan Realisasi Pengiriman tangkap
Pembinaan Dan Pemantauan
Kirim order
4.Ijin tangkap angkut SATS
– DN order
kirim kirim
order
Masukan Rekomendasi
Info Kuota Rekomendasi Pengelolaan
5.Laporan Realisasi Kuota Eksport
Saran Masukan
Non Mandatory
3.Info Kuota
Rekomendasi Pengelolaan Info Kondisi Stok
Gambar 20. Diagram Alir Hubungan dan Fungsi Kelembagaan dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Karang Hias
Pada tingkat nelayan, meskipun belum ada kelembagaan yang mengkoordinir peran mereka dalam pengelolaan namun sudah ada inisiatif dari
lembaga swadaya masyarakat, salah satunya Yayasan Terumbu Karang Indonesia TERANGI yang fokus dalam peningkatan kapasitas nelayan terkait praktek
pemanfaatan yang ramah lingkungan seperti teknik pengambilan, penanganan dan pengiriman untuk meminimalkan kematian akibat eksploitasi.
Diagram tersebut memperlihatkan vitalnya peran BKSDA dalam mengontrol dan mengawasi pemanfaatan di daerah secara langsung. BKSDA
mendapatkan tembusan langsung dari PHKA mengenai jumlah kuota masing- masing eksportir di daerah. Berbasis informasi tersebut BKSDA melakukan
fungsi monitoring dan pengawasan kepada eksportir dan pengepul. BKSDA juga mengeluarkan SATS-DN surat angkut tumbuhan dan satwa liar dalam negeri
kepada Eksportir. SAT-DN berisi informasi mengenai jenis, ukuran dan jumlah koloni yang dikirim oleh pengepul ke pengusaha.
Dalam menjalankan fungsi seperti dalam diagram tersebut, BKSDA terutama terkendala dengan aspek sumberdaya manusia dan pendanaan. Aspek
SDM terkait dengan kurangnya kemampuan mengenali jenis-jenis karang hias yang dimanfaatkan sehingga berpengaruh pada kesalahan pendataan. Peningkatan
kapasitas terkait aspek ini belum pernah ada, baik dari internal BKSDA maupun dari organisasi lain. Kekurangan lain yang terkait SDM adalah kapasitas SDM
yang kurang tentang transplantasi, sedangkan beberapa eksportir sudah mencoba transplantasi beberapa jenis yang direkomendasikan oleh LIPI di Teluk Lampung.
Ironisnya adalah nelayan dan pengumpul pelaku transplantasi memerlukan bimbingan teknis transplantasi, namun dari pihak BKSDA belum memiliki SDM
yang memadai. Kendala selanjutnya adalah terkait pendanaan, terutama sumberdana dan kecukupan dana. Faktor ini berdampak pada tugas BKSDA
dalam melakukan monitoring dan pengawasan yang tidak rutin, sehingga pelanggaran-pelanggaran pemanfaatan yang terjadi seperti kelebihan pesanan
tidak terdeteksi. Bagi DKP Provinsi maupun DKP Kabupaten, pemanfaatan karang hias
adalah hal yang baru, bahkan dari segi kebijakan, DKP Kabupaten Pesawaran sama sekali tidak mengetahui adanya pemanfaatan karang hias. DKP Provinsi
yang notabene sudah sangat lama berdampingan dengan BKSDA baru sebatas mengetahui sebagian kebijakan pemanfaatan karang hias, sehingga aspek-aspek
lainnya manajemen, SDM, komunikasi koordinasi belum menjadi prioritas. DKP provinsi dan DKP kabupaten perlu mulai membenahi kelembagaannya
terutama kondisi ideal organisasi terkait manajemen, SDM, komunikasi dan koordinasi agar supaya fungsi-fungsi terkait pengelolaan pemanfaatan karang hias
berjalan lancar pada saat diserahkan sepenuhnya dari Kementerian Kehutanan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan. Sejauh ini konsentrasi kedua
lembaga tersebut lebih banyak pada kegiatan konservasi seperti penerapan Daerah Perlindungan Laut DPL dan penerapan transplantasi untuk tujuan rehabilitasi.
Dua kegiatan tersebut dapat menjadi bagian yang memperkuat aspek berkelanjutan dari pengelolaan pemanfaatan karang hias.
5.3.3. Pendekatan Lain Dalam Pengelolaan Pemanfaatan Karang Hias
Pendekatan lain yang dimaksud berbeda namun sangat terkait dengan dua pendekatan yang sudah disampaikan sebelumnya. Pendekatan yang dimaskud
adalah pendekatan penetapan daerah perlindungan laut, khususnya terumbu karang. Pengelolaan melalui pendekatan TAC memerlukan suatu kawasan atau
area terumbu karang yang berfungsi sebagai sumber larva bagi karang. Perairan Teluk Lampung yang semi tertutup sehinggga kawasan ini dapat berfungsi untuk
menyediakan dan mengalirkan sumber larva karang bagi area pengambilan karang hias, dimana penangkapan ikan atau pengambilan biota dilarang atau dikendalikan
di area tersebut. Perairan Teluk Lampung yang bukan merupakan taman nasional laut atau
sejenisnya sehingga penetapan kawasan konservasi terumbu karang perlu disepakati bersama dengan stakeholders terkait. Berdasarkan pendekatan
kelembagaan, teridentifikasi bahwa salah satu fokus pengelolaan Dinas Kelautan dan Perikanan DKP baik tingkat provinsi maupun kabupaten adalah penetapan
Daerah Perlindungan Laut DPL. Beberapa lokasi DPL di perairan Teluk Lampung yang telah ditetapkan adalah DPL Pulau Sebesi dan DPL Pulau
Pohawang. Menurut Bengen, et al 2002 bahwa program daerah perlindungan laut di Pulau Sebesi sudah merupakan kebutuhan masyarakat Pulau Sebesi,
berdasarkan meningkatnya permintaan penambahan DPL yang semula hanya di Dusun Sianas menjadi dua tambahan dusun baru yaitu Dusun Tejang dan Dusun
Segenom. Pendekatan yang sudah ada tersebut perlu didukung melalui sosialisasi dan peningkatan kesadaran nelayan pemanfaat, salah satunya nelayan karang hias.
6. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan
Karang hias yang dimanfaatkan secara ekonomi didominasi oleh jenis- jenis yang secara biologi memiliki pertumbuhan yang lambat slow growing.
Keberadaannya di alam mulai langka yang diindikasikan dengan kelimpahan yang rendah dan permintaan yang tidak terpenuhi. Pola pemanfaatan bergeser pada
kelompok jenis yang bernilai ekonomis rendah yang diindikasikan pengiriman melebihi pesanan order, bahkan beberapa jenis dikirim meskipun tanpa pesanan
order. Jenis
– jenis seperti Scolymia sp, Blastomussa sp, Trachyphyllia sp, Cynarina sp, dan Acanthastrea sp, Plerogyra sp, Caulastrea sp dan Goniopora sp
memiliki kecenderungan tingkah laku populasi yang menurun pada kondisi tanpa eksploitasi sehingga direkomendasikan untuk tidak dimanfaatkan. Jenis
– jenis seperti Euphyllia sp, Hydnopora sp, Merulina sp, Porites sp, Pocillopora sp,
Lobophyllia sp, Heliofungia sp, Galaxea sp, Tubastrea sp, Fungia sp, Polyphyllia sp, Favia sp, Favites sp, Herpolitha sp dan Echinopora sp, memiliki
kecenderungan tingkah laku populasi yang naik sehingga direkomendasikan untuk dimanfaatkan, namun mengikuti nilai Total Allowable Collect TAC yaitu 2
– 15 dari stok yang ada.
Secara kelembangaan, Balai Konservasi Sumberdaya Alam BKSDA memiliki
internal dan
eksternal kelembagaan
yang lebih
siap mengimplementasikan pengelolaan yang langsung terkait dengan pemanfaatan
karang hias. Sementara kesiapan internal dan eksternal DKP provinsi dan DKP kabupaten dalam implementasi pengelolaan bersifat tidak langsung terhadap
pemanfaatan karang hias. Permasalahan komunikasi, koordinasi dan kerjasama pengelolaan merupakan catatan penting untuk mengatasi masalah seperti
kurangnya kapasitas sumberdaya manusia.
6.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian, maka direkomendasikan beberapa aspek yang terkait pengelolaan pemanfaatan karang hias sebagai berikut :
1 Jenis dengan kecenderungan tingkah laku populasi yang menurun dan jenis
yang memiliki kelimpahan sangat rendah, agar tidak dimanfaatkan untuk perdagangan sampai penilaian stok menunjukkan proyeksi tingkah laku
populasi jenis tersebut cenderung naik. 2
Alternatif pengelolaan selain pengaturan jumlah yang dimanfaatkan juga memantapkan program daerah perlindungan laut DPL yang telah dimulai
oleh Pemerintah Daerah, khusus Dinas Perikanan dan Kelautan provinsi dan kabupaten.
3 Dalam rangka menjamin ketersediaan data pemanfaatan khususnya ditingkat
nelayan dan pengepul, perlu kerjasama instansi terkait untuk menggalakkan program pendataan mandiri.
4 Perlu peningkatan kapasitas sumberdaya manusia, baik dari sisi pengambil
kebijakan di daerah untuk mengoptimalkan fungsi pengawasan, maupun dari sisi nelayan dalam mengurangi kematian akibat kesalahan penanganan.
Saran dari penelitian ini adalah diperlukan penelitian lanjutan mengenai: 1
Melakukan kajian yang sama untuk lokasi pemanfaatan karang hias daerah lain, terutama daerah yang memiliki kuota pemanfaatan yang tinggi dari
tahun ke tahun 2
Kajian keberlanjutan perikanan karang hias secara ekonomi terutama di tingkat nelayan dan pengepul dengan pertimbangan pemanfaatan yang
berbasis sumberdaya keberlanjutan secara ekologi. 3
Kajian persepsi pasar nasional dan internasional terhadap kondisi jenis-jenis karang hias yang sedang mengalami penurunan stok di alam.
DAFTAR PUSTAKA
Asosiasi Koral Kerang dan Ikan Hias Indonesia AKKII, 2001. Perdagangan Bunga Karang Indonesia. AKKII.
Bengen, D.G, Wiryawan, B., B. Tahir. A. 2002. Pembelajaran Proyek Pesisir Lampung. Program Pengelolaan Sumberdaya Alam dan USAIDCRC-URI
Program Pengelolaan Sumberdaya Pesisir CRMP. Bandar Lampung. Indonesia.
Birkeland C., 1997. Life and Death of Coral Reefs. Chapman Hall. International Thompson Publishing. pp 175-197
Bruckner A.W., 2000. New Threat to Coral Reefs : Trade in Coral Organisms. International Workshop On The Trade In Stony Corals. Jakarta. 2001. pp
79 - 94 Bruckner, A.W., 2002. Proceedings of the International Workshop on the Trade in
Stony Corals:Development of Sustainable Management Guidelines. NOAA Technical Memorandum NFMS-OPR-23, Silver Spring, MD 152p
Burke L, Selig E, Spalding M 2002. Reefs at Risk in Southeast Asia. World Resources Institute, Washington DC, USA. 72p
CITES, 1979. Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna. Washington, D.C., pada tanggal 3 Maret 1973. Diubah di
Bonn, pada tanggal 22 Juni 1979. 375p Chiappone M and Sullivan KM. 1996. Distribution, abundance and spesies
composition of juvenil scleractinian corals in the Florida reef tract. Bull.Mar.Sci.582 : pp 555-569
Dahuri, R,. J.Rais., S.P. Ginting., M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradya Paramita. Jakarta.
305 hlm Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Dirjen PHKA,
2004. Kebijaksanaan Perdagangan Satwa Liar. Sarasehan Sehari : Fauna Nusantara di Era Globalisasi. Puslit Biologi LIPI. Cibinong 15 Juni 2004.
Dubinsky Z., 1990. Ecosystems of the World 25. Coral Reef Elsevier Amsterdam. Oxford
– New York. Tokyo Edmunds PJ. 2000. Pattern in the distribution of juvenil corals and reef
community structure in St. Jhon, US Virgin Islands. Mar. Ecol.Prog.Ser.202 : 113-124