Pihak yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 Tata Cara Penyetoran PPh Pasal 23

24 perusahaan luar negeri lainnya selain BUT yang ada di Indonesia juga merupakan pemotong PPh pasal 23. Contohnya adalah Representative office RO dari perusahaan-perusahaan asing.

2.3.3 Pihak yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23

Berdasarkan Pasal 23 ayat 1 Undang-undang pajak Penghasilan, penerimaan penghasilan yang dapat dipotong PPh Pasal 23 adalah Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap. Dengan demikian, pihak yang dipotong PPh Pasal 23 bisa Wajib Undang-undang pajak Penghasilan, penerimaan penghasilan yang dapat dipotong PPh Pasal 23 adalah Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap. Dengan demikian, pihak yang dipotong PPh Pasal 23 bisa Wajib Pajak badan dalam negeri ini berarti bahwa jika penerima penghasilan adalah Wajib Pajak badan dalam negeri ini berarti bahwa jika penerima penghasilan adalah Wajib Pajak luar negeri, kecuali BUT, maka PPh Pasal 23 tidak bisa dikenakan. Yang dikenakan pemotongan PPh pasal 23 adalah Wajib Pajak dalam negeri atau Bentuk Usaha Tetap yang menerima atau memperoleh penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan 21. 25

2.3.4 Tata Cara Penyetoran PPh Pasal 23

Berdasarkan UU KUP Nomor 28 tahun 2007 dan PMK Nomor 242PMK.032014 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak, PPh Pasal 23 dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 sepuluh bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23, akan diberikan bukti pemotongan PPh Pasal 23. Atas pemotongan yang telah dilakukan dalam suatu masa pajak, Wajib Pajak sebagai pemotong pajak wajib melakukan pelaporan pemotongan PPh Pasal 23 yang telah dilakukannya. Pembayaran dan Penyetoran pajak harus dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak SSP atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak SSP. Umumnya penyetoran PPh Pasal 23 atas Jasa Lain-lain menggunakan SSP Surat Setoran Pajak namun menurut Peraturan Dirjen Pajak nomor PER-26PJ2014 tentang E-billing maka mulai tahun 2016, penyetoran pajak bisa menggunakan E-billing. E- billing yaitu sistem pembayaran pajak secara elektronik. Billing tersebut harus diisi data dari tanggal dan bulan sesuai dengan masa pajak dan jumlah yang harus disetor. Setelah mengisi data dengan benar dan lengkap maka Wajib Pajak akan menerima kode billing pajak yang disebut bukti E-billing. Bukti E-billing tersebut harus disetorkan kepada Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh pemerintah sebagai tempat pembayaran pajak. Apabila Wajib Pajak terlambat menyetor atau tidak membayar pajak maka sanksi yang dikenakan dapat berupa sanksi administrasi, tetapi 26 juga dapat berupa sanksi pidana apabila Wajib Pajak terlambat atau tidak menyetor SPT. Menurut pasal 9 ayat 2 huruf a UU KUP, bila pembayaran atau penyetoran pajak dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran yaitu tanggal 10 sepuluh, maka akan dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 dua persen per bulan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran dan bagian dari bulan dihitung penuh satu bulan. Sementara sanksi pidana akan dikenakan kepada Wajib Pajak yang tidak menyetorkan pajak yang telah dipungut atau dipotong sehingga dapat menimbulkan kerugian Negara maka dikenakan sanksi pidana paling singkat 6 enam bulan dan paling lama 6 enam tahun dan juga denda paling sedikit 2 dua kali dan paling banyak 4 empat kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar sesuai pasal 39 ayat 1 huruf i UU KUP.

2.3.5 Tata Cara Pelaporan PPh Pasal 23