BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pembangunan ekonomi negara Republik Indonesia pada dasawarsa terakhir mengalami kemajuan yang sangat meningkat, dengan banyaknya pelaku
– pelaku usaha yang tumbuh dan berkembang akibat adanya kemajuan teknologi disertai keterbukaan terhadap peluang
perdagangan internasional. Pelaku usaha perdagangan dalam negeri memperluas kesempatan untuk mendapatkan keuntungan dengan dengan melakukan kegiatan transaksi perdagangan
melewati batas – batas negara. Kegiatan perdagangan luar negeri dilakukan untuk mengalihkan
barang – barang produksi dalam negeri yang tidak terserap di dalam negeri. Dilihat dari perspektif
hubungan antar negara, perdagangan luar negeri menjadi suatu kebutuhan yang mendasar untuk kelangsungan dalam interdependensi ekonomi dunia. Perdagangan luar negeri merupakan
transaksi jual beli lintas negara, melibatkan dua pihak yang melakukan jual beli yang melintasi batas negara. Para pihak ini sering merupakan pihak
– pihak yang berasal dari negara yang berbeda atau memiliki kewarganegaraan yang berbeda. Dalam melakukan transaksi perdagangan tersebut,
mereka menggunakan mata uang negara tempat dilakukan atau diselesaikannya transaksi tersebut. Di Indonesia tentang mata uang ditentukan pada konstitusi negara yaitu pada Pasal 23B Undang
– Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang akan disingkat dengan UUD NRI
1945 yang mencantumkan bahwa, “Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan Undang – undang”. Mengenai tranksaksi perdagangan menggunakan ketentuan jual beli yang diatur pada
Kitab Undang – Undang Hukum Perdata yang selanjutnya akan disingkat dengan KUH Perdata,
pada Pasal 1457 mencantumkan, “ Jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar
harga yang telah dijanjikan”. Selanjutnya, pada Pasal 1458 KUH Perdata mencantumkan, “Jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelah orang
– orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya meskipun kebendaan itu belum diserahkan
maupun harganya belum dibayar”. Secara singkat, dalam transaksi bisnis bussiness transaction atau jual beli dagang hubungan antara pembeli dan penjual kelihatannya cukup sederhana, yakni
pembeli membayar terhadap barang yang diinginkan dan penjual menerima pembayaran terhadap barang yang ditawarkannya.
1
Berdasarkan asumsi dasar yang diuraikan diatas, tidaklah mengherankan dewasa ini perdagangan internasional mengalami perkembangan yang pesat dengan ditandai oleh berlakunya
berbagai kesepakatan perdagangan antara negara di dunia seperti GATTWTO, NAFTA, AFTA , APEC, dan EU, termasuk perkembangan penting yang terjadi di ASEAN baru
– baru ini, yaitu keinginan untuk mewujudkan Masyarakat Ekonomi ASEAN atau ASEAN Economic Community,
yang selanjutnya akan disingkat dengan MEA. Untuk mengantisipasi kemajuan dalam bidang ekonomi dan semakin majunya lalu lintas perdagangan, baik di tingkat nasional maupun
internasional, Indonesia memerlukan instrumen hukum baru yang dapat menyelesaikan permasalahan
– permasalahan hukum dalam bidang ekonomi dan perdagangan yang berkembang dewasa ini. Hal ini diperlukan karena banyaknya persoalan hukum yang menyangkut masalah
– masalah ekonomi yang belum diatur pada KUH Perdata dan Kitab Undang
– Undang Hukum Dagang yang selanjutnya akan disingkat dengan KUHD, yang berlaku di Indonesia. Di dalam jual
beli dagang sendiri khususnya dalam perdagangan internasional telah ada suatu kebiasaan yang digunakan sebagai hukum oleh para pelaku dalam transaksi tersebut. Ketentuan ini pada mulanya
1
Sentosa Sembiring, 2008, Hukum Dagang, Ed.Rev.Cet.3, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 131.
dibuat oleh para pengusaha yang tergabung di dalam Kamar Dagang Internasional International Chamber of Commerce, ICC.
2
Dari kegiatan transaksi perekonomian tersebut, baik yang dilakukan dalam negeri maupun luar negeri, yang digunakan sebagai alat pembayaran adalah uang yang lazimnya diartikan alat
pembayaran yang sah. Uang adalah sesuatu yang secara umum diterima di dalam pembayaran untuk jual beli barang
– barang dan jasa – jasa serta untuk pembayaran utang – utang. Uang memiliki karakteristik acceptability dan cognizability, stability of value, elasticity of supply,
portability, durability, divisibility. Sebagai sarana perekonomian, uang memiliki 4 empat fungsi, yaitu;
3
alat pertukaran, unit penghitung, penyimpanan nilai dan standar untuk pembayaran tertangguhkan. Pengaturan tentang mata uang tersebut diatur pertama kali dalam Undang
– Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang telah diubah dengan Undang
– Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, yang selanjutnya akan disingkat dengan
UUBI, yang menyatakan bahwa satuan mata uang negara Republik Indonesia adalah rupiah dengan singkatan Rp. Uang rupiah adalah alat pembayaran yang sah, maka setiap perbuatan yang
menggunakan uang atau mempunyai tujuan pembayaran atau kewajiban yang harus dipenuhi dengan uang jika dilakukan di wilayah negara Republik Indonesia wajib menggunakan uang
rupiah, kecuali ditetapkan secara lain. Indonesia adalah negara yang berdaulat, karena kedaulatan yang diperoleh tersebut tidak
berasal dari pemberian pendudukan Jepang. Salah satu ciri negara berdaulat adalah mempunyai mata uang sendiri yang tidak sama dengan mata uang negara lain. Dengan kedaulatan itu negara
mempunyai otoritas di bidang mata uang. Setiap mata uang mempunyai ciri – ciri tersendiri. Mata
2
Ibid.h.133
3
Diulio, 1993, Theory and Problems of MONEY AND BANKING, alih bahasa Burhanuddin Abdullah, Erlangga, Jakarta, h.2
uangnya dibuat dan diterbitkan negara untuk kepentingan lalu lintas pembayaran baik urusan dalam maupun berhubungan dengan negara lain.
4
Secara hukum materiil pengaturan tentang harga dan macam mata uang di dalam UUBI dan Kitab Undang
– Undang Hukum Pidana atau selanjutnya akan disingkat dengan KUHP dirasakan telah mencukupi, akan tetapi dalam
perkembangannya pengaturan dalam UUBI tersebut dianggap kurang tepat dan tidak sesuai dengan semangat amandemen UUD NRI 1945 yang mengamanatkan agar materi mengenai mata
uang diatur secara khusus pada undang – undang tersendiri. Ditinjau dari segi keilmuan hukum,
mata uang berkaitan dengan kepentingan mengenai keamanan secara umum yang meliputi perlindungan hukum terhadap ketertiban dan keamanan bertransaksi untuk mendapatkan kepastian
hukum bagi warga negara dalam melakukan kegiatan ekonomi melalui transaksi pembayaran. Sehingga dapat dikatakan uang merupakan alat utama perekonomian, tanpa uang perekonomian
suatu negara akan lumpuh bahkan tidak dapat dilaksanakan. Transaksi – transaksi ekonomi tidak
akan terjadi tanpa kehadiran uang. Gagalnya pelaksanaan transaksi – transaksi perekonomian akan
menggagalkan tujuan bernegara yaitu mencapai masyarakat adil dan makmur. Secara khusus dari bidang moneter, uang beredar dalam suatu negara harus dikelola dengan baik agar uang yang
beredar tersebut jumlahnya sesuai dengan kebutuhan perekonomian negara dimaksud. Mengingat begitu pentingnya dan berharganya uang dalam kehidupan masyarakat, maka
dalam undang – undang berbagai negara pada umumnya juga diatur secara tegas mengenai jenis
mata uang tertentu sebagai legal tender atau alat pembayaran yang sah di negara yang bersangkutan. Di Indonesia batasan tentang legal tender diatur pada Pasal 2 UUBI. Legal tender
pada prinsipnya adalah sebuah ketentuan hukum yang menyatakan bahwa suatu alat pembayaran dapat diterima secara umum sebagai alat pembayaran yang sah secara hukum dan tidak dapat
4
Gatot Supramono, 2014, Hukum Uang Di Indonesia, Gramata Publishing, Bekasi, h.1.
ditolak sebagai alat pembayaran. Dengan ditetapkannya Undang – undang Nomor 7 Tahun 2011
tentang Mata Uang yang selanjutnya akan disingkat dengan UU Mata Uang, menjadikan adanya kepastian hukum mengenai mata uang rupiah sebagai legal tender di Indonesia bertambah
pengaturannya selain pada UUBI. Pada Pasal 21 UU Mata Uang mengatur mengenai penggunaan mata uang rupiah yang diwajibakan secara tegas sebagai berikut:
1 Rupiah wajib digunakan dalam:
a. setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran;
b. penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan atau
c. transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. 2
Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak berlaku bagi: a.
transaksi tertentu dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara; b.
penerimaan atau pemberian hibah dari atau ke luar negeri; c.
transaksi perdagangan internasional; d.
simpanan di bank dalam bentuk valuta asing; atau e.
transaksi pembiayaan internasional. Berdasarkan Pasal 21 ayat 2 huruf c diatas, dapat diketahui adanya pengecualian bagi
pelaku usaha perdagangan internasional untuk tidak menerima mata uang rupiah sebagai alat pembayaran untuk transaksi jual beli yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Dengan pengecualian mata uang rupiah sebagai alat pembayaran perdagangan internasional, sudah pasti alat pembayaran yang dipergunakan adalah mata uang asing.
Kewajiban tersebut diatas dalam UU Mata Uang juga menegaskan larangan pada Pasal 23, yaitu;
1 Setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan
sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan atau untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian Rupiah.
2 Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dikecualikan untuk pembayaran atau
untuk penyelesaian kewajiban dalam valuta asing yang telah diperjanjikan secara tertulis. Pasal 23 ayat 2 UU Mata Uang, apabila dikaitkan dengan Pasal 21 ayat 2 huruf c mengenai
tidak berlakunya kewajiban penggunaan rupiah terhadap transaksi perdagangan internasional,
yang telah diperjanjikan secara tertulis. Mengenai ketentuan yang telah diperjanjikan secara tertulis ini, dapat mengakibatkan pelaku usaha perdagangan internasional mengalami kerugian
ketika perjanjian tersebut tidak dilakukan dalam transaksi jual beli barang atau jasa karena adanya konflik norma mengenai pengecualian melalui perjanjian tersebut. Pasal 23 ayat 2 memberikan
pengecualian terhadap transaksi perdagangan internasional, dengan menimbulkan konflik terhadap Pasal 21 ayat 1 huruf c.
Ketentuan tersebut dipertegas mengenai pengecualian terhadap kewajiban penggunaan Rupiah untuk pembayaran atau penyelesaian kewajiban dalam valuta asing telah diperjanjikan
secara tertulis, tanpa perjanjian tertulis tersebut pengecualian terhadap penggunaan Rupiah sebagai alat pembayaran tidak dapat dilakukan oleh pelaku usaha perdagangan internasional.
Berdasarkan hal tersebut diatas, mengingat arti penting perdagangan internasional terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia khususnya dalam melakukan transaksi perdagangan
internasional, wajib adanya perlindungan hukum terhadap pelaku usaha maka diperlukannya suatu penelitian hukum yang bersifat normatif untuk mengkaji UU Mata Uang mengenai perjanjian
tertulis sebagai suatu syarat pengecualian, yang adanya konflik norma mengenai perjanjian tertulis tersebut dengan menuangkan hasilnya dalam bentuk skripsi dengan judul:
“PENGATURAN PENGGUNAAN MATA UANG RUPIAH BAGI TRANSAKSI PERDAGANGAN LUAR NEGERI BERDASARKAN UNDANG
– UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG
”
1.2. Rumusan Masalah