PENGATURAN PENGGUNAAN MATA UANG RUPIAH BAGI TRANSAKSI PERDAGANGAN LUAR NEGERI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG.

(1)

SKRIPSI

PENGATURAN PENGGUNAAN MATA UANG

RUPIAH BAGI TRANSAKSI PERDAGANGAN LUAR

NEGERI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG

NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG

IDA AYU REINA DWINANDA NIM. 1216051017

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

ii

SKRIPSI

PENGATURAN PENGGUNAAN MATA UANG

RUPIAH BAGI TRANSAKSI PERDAGANGAN LUAR

NEGERI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG

NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG

IDA AYU REINA DWINANDA NIM. 1216051017

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(3)

PENGATURAN PENGGUNAAN MATA UANG

RUPIAH BAGI TRANSAKSI PERDAGANGAN LUAR

NEGERI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG

NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

IDA AYU REINA DWINANDA NIM. 1216051017

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(4)

(5)

(6)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukurpenulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat, rahmat, serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisanskripsi ini dimaksudkanuntuk memenuhi kewajiban terakhir sebagai mahasiswaguna melengkapi persyaratan dalam menyelesaikan studi Program Sarjana (S1) pada FakultasHukum Universias Udayana. Adapun judul skripsi ini adalah

“PENGATURAN PENGGUNAAN MATA UANG RUPIAH BAGI

TRANSAKSI PERDAGANGAN LUAR NEGERI BERDASARKAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG”.

Sesungguhnyapenulis dibawahbimbingan yang terhormat para Dosenpembimbingtelah berusaha menyelesaikan skripsi ini dengan hasil sebaik-baiknya.Penulismenyadari “takada gading yangtakretak” yaitutidak ada yang sempurna di dunia ini, begitupulayang tersusun dalam skripsi ini jauh dari apa yang diharapkan secarailmiah. Hal ini disebabkan karenaketerbatasan kemampuan, pengetahuandan pengalamanyang penulis miliki. Makadari itukritik,saran,bimbinganserta petunjuk-petunjuk darisemua pihaksangat diharapkan guna kelengkapan dan penyempurnaan skripsi ini.

Penulisanskripsi ini tidak akanberhasildengan baik tanpa adanya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Olehkarenaitu pada kesempatan yang sangat berbahagia ini dengan segala


(7)

hormatpenulisingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof. Dr. I. Gusti Ngurah Wairocana, S.H.,M.H, Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

2. Bapak I Ketut Sudiartha, S.H.,M.H, Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayana.

3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, S.H.,M.H, Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana.

4. Bapak I Wayan Suardana, S.H.,M.H, Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana.

5. Bapak Anak Agung Gede Oka Parwata, S.H.,MSi, Ketua Program Non Reguler Fakultas Hukum Universitas Udayana.

6. Bapak Dr. I Dewa Gede Palguna, S.H.,MHum, Pembimbing Akademis yangtelah membimbingdari awal kuliah di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

7. Bapak Dr. I Ketut Wirawan, S.H.,MHum, sebagai Pembimbing Akademis pengganti yang telah membimbing dari kuliah sampai dengan pembuatan skripsi di Fakultas Hukum Universitas Udayana. 8. Bapak Dr. I Wayan Wiryawan, S.H.,M.H. Ketua bagian Hukum

Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana.

9. Ibu Anak Agung Sri Indrawati, S.H.,M.H, Dosen Pembimbing I yang dengan penuh perhatian dan berkenan meluangkan waktu serta


(8)

viii

tenaganya dalam memberikan bimbingan hingga terselesainya skripsi ini.

10.Bapak I Gede Putra Ariana, S.H.,MKn, Dosen Pembimbing II yang selama ini senantiasa sabar memberikan arahan, masukan, dan bimbingan hingga terselesainya skripsi ini.

11.Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah membimbing dan mendidik penulis selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

12.Bapak Ida Bagus Wedha Kusumajaya, S.H., dan Bapak I Gusti Ngurah Darmayuda Pegawai Administrasi Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah membantu selama masa perkuliahan.

13.Bapak dan Ibu Pegawai Administrasi Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah cukup banyak membantu dalam pengurusan proses administrasi.

14.Bapak dan Ibu Pegawai Perpustakaan Universitas Udayana dan Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah membantu penulis dalam memperoleh literature yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini.

15.Kepada seluruh keluarga besar Fakultas Hukum Universitas Udayana Program Non Reguler.

16.Untuk keluarga tercinta, Ir. Ida Bagus Wira Aswasika, Mercy Victoria Gigir, Spd.MM, Ida Ayu Vira Driti Satwika, ST, Cok Agung Purnama Putra, ST, dan Cok Agung Zetha Ananda yang tiada hentinya


(9)

memberikan dukungan moral, semangat, hiburan, serta kasih sayang yang begitu besarnya.

17.Untuk Hendra Pranata DPP dan keluarga, yang senantiasa sabar, memberikan motivasi, cinta kasih, dukungan disaat susah dan senang. Rela meluangkan waktunya untuk menemani saya hingga terselesainya skripsi ini.

18.Untuk sahabat tercinta Indah, Aya, Cesa, Tika, Sista, Cok Nira, Risma, Gita, Gladys yang selalu memberikan dorongan dan semangat dalam membuat skripsi ini.

19.Untuk teman – teman Fakultas Hukum angkatan 2012pada khususnya dan seluruh civitas akademis yang telah banyak memberikan dorongan mental dan semangat dalam membuat skripsi.

Akhir kata penulis harapkan skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak pada umumnya dan bagi perkembangan ilmu hukum pada khususnya.

Denpasar, 17 April2016


(10)

(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN ... ii

HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ... iii

HALAMAN PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ... v

KATA PENGANTAR ... vi

HALAMAN SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... x

DAFTAR ISI... xi

ABSTRAK ... xiv

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Rumusan Masalah... 8

1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 8

1.4 Orisinalitas ... 8

1.5 Tujuan Penelitian ... 10

1.5.1 Tujuan Umum ... 10

1.5.2 Tujuan Khusus ... 10

1.6 Manfaat Penelitian ... 11

1.6.1 Manfaat Teoritis ... 11

1.6.2 Manfaat Praktis ... 11

1.7 Landasan Teoritis ... 11

1.8 Metode Penelitian ... 16


(12)

xii

1.8.2 Jenis Pendekatan ... 16

1.8.3 Sumber Bahan Hukum ... 17

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 18

1.8.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data ... 18

BAB II. TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, PERDAGANGAN INTERNASIONAL DAN MATA UANG 2.1. Perjanjian 19

2.1.1 Pengertian Perjanjian Dan Syarat Sahnya Perjanjian ... 20

2.1.2 Asas – Asas Perjanjian ... 23

2.2. Perdagangan Internasional ... 25

2.2.1 Pengertian Perdagangan Internasional ... 26

2.2.2 Kebijakan Perdagangan Internasional ... 28

2.3. Mata Uang ... 32

2.3.1 Pengertian Mata Uang ... 33

2.3.2 Valuta Asing Sebagai Alat Pembayaran ... 33

BAB III. PERJANJIAN TERTULIS YANG DILAKUKAN OLEH PELAKU USAHA PERDAGANGAN INTERNASIONAL DI INDONESIA MEMBERIKAN PELUANG PENGGUNAAN VALUTA ASING TANPA BATAS NILAI DALAM PEMBAYARAN TRANSAKSI 3.1. Batas Nilai Penggunaan Valuta Asing ... 36


(13)

BAB IV. KETENTUAN PENGGUNAAN VALUTA ASING SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL TERHADAP KESTABILAN MATA UANG RUPIAH

4.1. Pengecualian Terhadap Perdagangan Internasional ... 49 4.2. Ketentuan Penggunaan Mata Uang Rupiah ... 43 4.3. Larangan Penggunaan Valuta Asing ... 56

BAB V. PENUTUP

5.1. Kesimpulan ... 59 5.2. Saran ... 59

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN


(14)

xiv ABSTRACT

This article titled regulation of used by rupiah for foreign trades transactions under the laws number 7 of 2011 on currency. The laws number 7 of 2011 on currency, set the rupiah as legal tender for a symbol of sovereignty. The obligation to use rupiahs for each transaction in the country and provide for exceptions to foreign trade transactions. The purpose of this paper, to clarify the obligations to used rupiahs withal provide for exceptions to foreign trade transactions through a written agreement.

The method used in this paper normative research methods, approaches the problem used in this paper is the legal concept analysis approach ( analitical and conceptual approach ) and the approach of laws - laws ( the statute approach) . Conceptual approach by examining the rules - the rules of existing laws and international trade agreements.

The written agreement made by the international trade business actors in Indonesia Rupiah contrary to the obligation to use as means of payment by using the foreign exchange can provide opportunities for deviation. To keep the value of the rupiah, obligations and liabilities exceptions to such use must be limits on the value of each transaction for the business of foreign trade.


(15)

ABSTRAK

Tulisan ini berjudul pengaturan penggunaan mata uang rupiah bagi transaksi perdagangan luar negeri berdasarkan undang-undang nomor 7 tahun 2011. Undang – undang nomor 7 tahun 2011 tentang mata uang menetapkan rupiah sebagai alat pembayaran yang sah sebagai symbol kedaulatan Negara. Kewajiban penggunaan rupiah untuk setiap transaksi di dalam negeri dan memberikan pengecualian terhadap transaksi perdagangan luar negeri. Tujuan dari penulisan ini, untuk menjelaskan kewajiban penggunaan rupiah dengan memberikan pengecualian terhadap transaksi perdagangan luar negeri melalui perjanjian tertulis.

Metode yang digunakan pada tulisan ini metode penelitian normatif,Pendekatan masalah yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan analisis konsep hukum (analitical & conceptual approach) dan pendekatan peraturan perundang – undangan (the statute approach). Pendekatan Konseptual dengan menelaah aturan – aturan hukum yang ada terhadap perjanjian dan perdagangan internasional.

Perjanjian tertulis yang dilakukan oleh pelaku usaha perdagangan internasional di Indonesia bertentangan dengan kewajiban penggunaan Rupiah sebagai alat pembayaran dengan menggunakan valuta asing dapat memberikan peluang adanya penyimpangan. Untuk menjaga nilai mata uang rupiah, kewajiban dan pengecualian terhadap kewajiban penggunaan tersebut harus adanya batasan nilai setiap transaksi bagi pelaku usaha perdagangan luar negeri.


(16)

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

Pembangunan ekonomi negara Republik Indonesia pada dasawarsa terakhir mengalami kemajuan yang sangat meningkat, dengan banyaknya pelaku – pelaku usaha yang tumbuh dan berkembang akibat adanya kemajuan teknologi disertai keterbukaan terhadap peluang perdagangan internasional. Pelaku usaha perdagangan dalam negeri memperluas kesempatan untuk mendapatkan keuntungan dengan dengan melakukan kegiatan transaksi perdagangan melewati batas – batas negara. Kegiatan perdagangan luar negeri dilakukan untuk mengalihkan barang – barang produksi dalam negeri yang tidak terserap di dalam negeri. Dilihat dari perspektif hubungan antar negara, perdagangan luar negeri menjadi suatu kebutuhan yang mendasar untuk kelangsungan dalam interdependensi ekonomi dunia. Perdagangan luar negeri merupakan transaksi jual beli lintas negara, melibatkan dua pihak yang melakukan jual beli yang melintasi batas negara. Para pihak ini sering merupakan pihak – pihak yang berasal dari negara yang berbeda atau memiliki kewarganegaraan yang berbeda. Dalam melakukan transaksi perdagangan tersebut, mereka menggunakan mata uang negara tempat dilakukan atau diselesaikannya transaksi tersebut. Di Indonesia tentang mata uang ditentukan pada konstitusi negara yaitu pada Pasal 23B Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang akan disingkat dengan UUD NRI

1945 yang mencantumkan bahwa, “Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan Undang – undang”. Mengenai tranksaksi perdagangan menggunakan ketentuan jual beli yang diatur pada

Kitab Undang – Undang Hukum Perdata yang selanjutnya akan disingkat dengan KUH Perdata,

pada Pasal 1457 mencantumkan, “ Jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang


(17)

harga yang telah dijanjikan”. Selanjutnya, pada Pasal 1458 KUH Perdata mencantumkan, “Jual

beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelah orang – orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya meskipun kebendaan itu belum diserahkan

maupun harganya belum dibayar”. Secara singkat, dalam transaksi bisnis (bussiness transaction) atau jual beli dagang hubungan antara pembeli dan penjual kelihatannya cukup sederhana, yakni pembeli membayar terhadap barang yang diinginkan dan penjual menerima pembayaran terhadap barang yang ditawarkannya.1

Berdasarkan asumsi dasar yang diuraikan diatas, tidaklah mengherankan dewasa ini perdagangan internasional mengalami perkembangan yang pesat dengan ditandai oleh berlakunya berbagai kesepakatan perdagangan antara negara di dunia seperti GATT/WTO, NAFTA, AFTA , APEC, dan EU, termasuk perkembangan penting yang terjadi di ASEAN baru – baru ini, yaitu keinginan untuk mewujudkan Masyarakat Ekonomi ASEAN atau ASEAN Economic Community, yang selanjutnya akan disingkat dengan MEA. Untuk mengantisipasi kemajuan dalam bidang ekonomi dan semakin majunya lalu lintas perdagangan, baik di tingkat nasional maupun internasional, Indonesia memerlukan instrumen hukum baru yang dapat menyelesaikan permasalahan – permasalahan hukum dalam bidang ekonomi dan perdagangan yang berkembang dewasa ini. Hal ini diperlukan karena banyaknya persoalan hukum yang menyangkut masalah – masalah ekonomi yang belum diatur pada KUH Perdata dan Kitab Undang – Undang Hukum Dagang yang selanjutnya akan disingkat dengan KUHD, yang berlaku di Indonesia. Di dalam jual beli dagang sendiri khususnya dalam perdagangan internasional telah ada suatu kebiasaan yang digunakan sebagai hukum oleh para pelaku dalam transaksi tersebut. Ketentuan ini pada mulanya


(18)

dibuat oleh para pengusaha yang tergabung di dalam Kamar Dagang Internasional (International Chamber of Commerce, ICC).2

Dari kegiatan transaksi perekonomian tersebut, baik yang dilakukan dalam negeri maupun luar negeri, yang digunakan sebagai alat pembayaran adalah uang yang lazimnya diartikan alat pembayaran yang sah. Uang adalah sesuatu yang secara umum diterima di dalam pembayaran untuk jual beli barang – barang dan jasa – jasa serta untuk pembayaran utang – utang. Uang memiliki karakteristik acceptability dan cognizability, stability of value, elasticity of supply,

portability, durability, divisibility. Sebagai sarana perekonomian, uang memiliki 4 (empat) fungsi, yaitu;3 alat pertukaran, unit penghitung, penyimpanan nilai dan standar untuk pembayaran tertangguhkan. Pengaturan tentang mata uang tersebut diatur pertama kali dalam Undang – Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, yang selanjutnya akan disingkat dengan UUBI, yang menyatakan bahwa satuan mata uang negara Republik Indonesia adalah rupiah dengan singkatan Rp. Uang rupiah adalah alat pembayaran yang sah, maka setiap perbuatan yang menggunakan uang atau mempunyai tujuan pembayaran atau kewajiban yang harus dipenuhi dengan uang jika dilakukan di wilayah negara Republik Indonesia wajib menggunakan uang rupiah, kecuali ditetapkan secara lain.

Indonesia adalah negara yang berdaulat, karena kedaulatan yang diperoleh tersebut tidak berasal dari pemberian pendudukan Jepang. Salah satu ciri negara berdaulat adalah mempunyai mata uang sendiri yang tidak sama dengan mata uang negara lain. Dengan kedaulatan itu negara mempunyai otoritas di bidang mata uang. Setiap mata uang mempunyai ciri – ciri tersendiri. Mata

2 Ibid.h.133

3 Diulio, 1993, Theory and Problems of MONEY AND BANKING, (alih bahasa Burhanuddin Abdullah), Erlangga,


(19)

uangnya dibuat dan diterbitkan negara untuk kepentingan lalu lintas pembayaran baik urusan dalam maupun berhubungan dengan negara lain.4 Secara hukum materiil pengaturan tentang harga dan macam mata uang di dalam UUBI dan Kitab Undang – Undang Hukum Pidana atau selanjutnya akan disingkat dengan KUHP dirasakan telah mencukupi, akan tetapi dalam perkembangannya pengaturan dalam UUBI tersebut dianggap kurang tepat dan tidak sesuai dengan semangat amandemen UUD NRI 1945 yang mengamanatkan agar materi mengenai mata uang diatur secara khusus pada undang – undang tersendiri. Ditinjau dari segi keilmuan hukum, mata uang berkaitan dengan kepentingan mengenai keamanan secara umum yang meliputi perlindungan hukum terhadap ketertiban dan keamanan bertransaksi untuk mendapatkan kepastian hukum bagi warga negara dalam melakukan kegiatan ekonomi melalui transaksi pembayaran. Sehingga dapat dikatakan uang merupakan alat utama perekonomian, tanpa uang perekonomian suatu negara akan lumpuh bahkan tidak dapat dilaksanakan. Transaksi – transaksi ekonomi tidak akan terjadi tanpa kehadiran uang. Gagalnya pelaksanaan transaksi – transaksi perekonomian akan menggagalkan tujuan bernegara yaitu mencapai masyarakat adil dan makmur. Secara khusus dari bidang moneter, uang beredar dalam suatu negara harus dikelola dengan baik agar uang yang beredar tersebut jumlahnya sesuai dengan kebutuhan perekonomian negara dimaksud.

Mengingat begitu pentingnya dan berharganya uang dalam kehidupan masyarakat, maka dalam undang – undang berbagai negara pada umumnya juga diatur secara tegas mengenai jenis mata uang tertentu sebagai legal tender atau alat pembayaran yang sah di negara yang bersangkutan. Di Indonesia batasan tentang legal tender diatur pada Pasal 2 UUBI. Legal tender

pada prinsipnya adalah sebuah ketentuan hukum yang menyatakan bahwa suatu alat pembayaran dapat diterima secara umum sebagai alat pembayaran yang sah secara hukum dan tidak dapat


(20)

ditolak sebagai alat pembayaran. Dengan ditetapkannya Undang – undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang yang selanjutnya akan disingkat dengan UU Mata Uang, menjadikan adanya kepastian hukum mengenai mata uang rupiah sebagai legal tender di Indonesia bertambah pengaturannya selain pada UUBI. Pada Pasal 21 UU Mata Uang mengatur mengenai penggunaan mata uang rupiah yang diwajibakan secara tegas sebagai berikut:

(1) Rupiah wajib digunakan dalam:

a. setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran;

b. penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan/ atau

c. transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi:

a. transaksi tertentu dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara; b. penerimaan atau pemberian hibah dari atau ke luar negeri;

c. transaksi perdagangan internasional;

d. simpanan di bank dalam bentuk valuta asing; atau e. transaksi pembiayaan internasional.

Berdasarkan Pasal 21 ayat (2) huruf c diatas, dapat diketahui adanya pengecualian bagi pelaku usaha perdagangan internasional untuk tidak menerima mata uang rupiah sebagai alat pembayaran untuk transaksi jual beli yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan pengecualian mata uang rupiah sebagai alat pembayaran perdagangan internasional, sudah pasti alat pembayaran yang dipergunakan adalah mata uang asing.

Kewajiban tersebut diatas dalam UU Mata Uang juga menegaskan larangan pada Pasal 23, yaitu;

(1) Setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/ atau untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian Rupiah.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk pembayaran atau untuk penyelesaian kewajiban dalam valuta asing yang telah diperjanjikan secara tertulis. Pasal 23 ayat (2) UU Mata Uang, apabila dikaitkan dengan Pasal 21 ayat (2) huruf c mengenai tidak berlakunya kewajiban penggunaan rupiah terhadap transaksi perdagangan internasional,


(21)

yang telah diperjanjikan secara tertulis. Mengenai ketentuan yang telah diperjanjikan secara tertulis ini, dapat mengakibatkan pelaku usaha perdagangan internasional mengalami kerugian ketika perjanjian tersebut tidak dilakukan dalam transaksi jual beli barang atau jasa karena adanya konflik norma mengenai pengecualian melalui perjanjian tersebut. Pasal 23 ayat (2) memberikan pengecualian terhadap transaksi perdagangan internasional, dengan menimbulkan konflik terhadap Pasal 21 ayat (1) huruf c.

Ketentuan tersebut dipertegas mengenai pengecualian terhadap kewajiban penggunaan Rupiah untuk pembayaran atau penyelesaian kewajiban dalam valuta asing telah diperjanjikan secara tertulis, tanpa perjanjian tertulis tersebut pengecualian terhadap penggunaan Rupiah sebagai alat pembayaran tidak dapat dilakukan oleh pelaku usaha perdagangan internasional.

Berdasarkan hal tersebut diatas, mengingat arti penting perdagangan internasional terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia khususnya dalam melakukan transaksi perdagangan internasional, wajib adanya perlindungan hukum terhadap pelaku usaha maka diperlukannya suatu penelitian hukum yang bersifat normatif untuk mengkaji UU Mata Uang mengenai perjanjian tertulis sebagai suatu syarat pengecualian, yang adanya konflik norma mengenai perjanjian tertulis tersebut dengan menuangkan hasilnya dalam bentuk skripsi dengan judul:

“PENGATURAN PENGGUNAAN MATA UANG RUPIAH BAGI TRANSAKSI

PERDAGANGAN LUAR NEGERI BERDASARKAN UNDANG – UNDANG NOMOR 7

TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG”


(22)

1. Apakah perjanjian tertulis yang dilakukan oleh pelaku usaha perdagangan internasional di Indonesia memberikan peluang penggunaan valuta asing tanpa batas nilai dalam pembayaran transaksi?

2. Bagaimanakah ketentuan penggunaan valuta asing sebagai alat pembayaran perdagangan internasional terhadap kestabilan mata uang rupiah di Indonesia?

1.3.Ruang Lingkup Masalah

Dengan melihat rumusan permasalahan diatas, untuk menperoleh hasil yang lebih mendalam pembahasan hanya pada ruang lingkup dari perdagangan internasional. Maka dalam penulisan ini terbatas pada perjanjian tertulis yang dilakukan pelaku usaha dalam negeri maupun asing untuk mendapatkan pengecualian penggunaan Rupiah dalam menyelesaikan kewajiban pembayaran perdagangan internasional.

Berkaitan dengan permasalahan yang kedua mengenai pengaturan penggunaan valuta asing bagi pelaku usaha perdagangan internasional, yang pengaturannya melalui peraturan Bank Indonesia.

1.4.Orisinalitas

Berdasarkan penelusuran terhadap judul penelitian adapun dalam penelitian kali ini, peneliti akan menampilkan 1 (satu) skripsi dan 1 (satu) thesis terdahulu yang pembahasannya berkaitan

dengan “Pengaturan Penggunaan Mata Uang Rupiah Bagi Transaksi Perdagangan Luar Negeri Berdasarkan Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang”. Dalam rangka menumbuhkan semangat anti plagiat didalam dunia pendidikan di Indonesia, maka mahasiswa diwajibkan untuk mampu mewujudkan orisinalitas dari penelitian yang sedang ditulis dengan menampilkan beberapa judul penelitian skripsi dan thesis atau disertasi terdahulu sebagai pembanding.


(23)

No .

Judul Penulis Rumusan Masalah

1. Skripsi; Pengaturan Perdagangan Bebas Dalam

ACFTA Dan

Implementasinya di Indonesia

Sri Oktaviani (Mahasiswa

Fakultas Hukum, Universitas

Andalas, Padang) Tahun 2011.

1. Apakah tujuan pengaturan

perdagangan bebas yang diatur dalam ACFTA?

2. Bagaimana

implementasi ACFTA di Indonesia ?

2. Thesis; Tinjauan Yuridis terhadap Perdagangan Yang Berbasis Pencucian Uang (Trade Based Money Laundering) Berdasarkan Peraturan Perundang – Undangan di Bidang Pencucian Uang di Indonesia

Andrianus Herman Henok (Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta) Tahun 2012.

1. Bagaimanakah

pengaturan tentang kegiatan perdagangan yang berbasis pencucian uang ? 2. Bagaimanakah

prospek

penanggulangan perdagangan yang berbasis pencucian uang di Indonesia?


(24)

Penelitian ini merupakan karya tulis ilmiah yang wajib dilaksanakan dengan menggunakan kaidah dan metode ilmiah dalam pengembangan ilmu hukum, terkait suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip – prinsip hukum, maupun doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.5 Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah:

a. Tujuan Umum

1. Untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya pada bidang penelitian. 2. Untuk melatih kemampuan diri dalam menyatakan pikiran ilmiah secara tertulis.

3. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan hukum bagi diri pribadi maupun kedalam kehidupan masyarakat

4. Untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana hukum b. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui perjanjian tertulis yang dilakukan oleh pelaku usaha perdagangan internasional di Indonesia memberikan peluang penggunaan valuta asing tanpa batas nilai dalam pembayaran transaksi.

2. Untuk memahami pengaturan penggunaan valuta asing terhadap transaksi perdagangan internasional di Indonesia.

1.6.Manfaat Penelitian

Oleh karena penelitian merupakan suatu sarana ilmiah bagi pengembangan ilmu pengetahuan, sudah tentu manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

a. Manfaat Teoritis


(25)

1. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan kajian atau bahan penelitian lebih lanjut serta sebagai tambahan pengetahuan ilmu hukum umumnya mengenai mata uang dan perjanjian tertulis khususnya ilmu perikatan

2. Sebagai pedoman dalam melakukan kegiatan perdagangan internasional bagi pelaku usaha khususnya.

b. Manfaat Praktis

1. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman dan dasar penggunaan valuta asing dengan menggunakan perjanjian internasional.

2. Dalam praktiknya untuk menjalankan kegiatan perekonomian di bidang perdagangan internasional sesuai dengan peraturan perundang - undangan yang berlaku di Indonesia agar dapat menjaga stabilitas mata uang rupiah di dalam negeri.

1.7.Landasan Teoritis

Hukum sebagai suatu kaidah, memuat petunjuk/ pedoman dan merupakan salah satu dari jenis kaidah sosial. Kaidah sosial sendiri diartikan sebagai suatu pedoman, patokan, atau ukuranuntuk berperilaku atau bersikap dalam kehidupan bersama.6 Adanya landasan teoritis sangat diperlukan dalam suatu penulisan karya ilmiah yang bertujuan untuk membantu penelitian dalam menentukan tujuan dan arah penelitian, memilih konsep yang tepat dalam pokok permasalahan yang dikaji. Hukum yang diciptakan oleh penguasa memiliki tujuan yang hendak dicapai. Sedangkan tujuan hukum Negara Republik Indonesia menurut hukum positif tertuang dalam alinea keempat UUD NRI Tahun 1945.

Adanya klausula perjanjian tertulis untuk mendapatkan pengecualian kewajiban penggunaan rupiah pada transaksi perdagangan internasional, merupakan sebuah aturan yang mengatur


(26)

perbuatan pelaku usaha perdagangan internasional sehingga jika ada permasalahan di dalam pelaksanaannya hukum dapat menyelesaikan permasalahan tersebut secara adil. Pada umumnya tidak seorang pun dapat mengadakan perjanjian kecuali untuk dirinya sendiri. Pengecualiannya terdapat pada Pasal 1317 KUH Perdata tentang janji untuk pihak ketiga. Menurut Asser dalam perjanjian terdiri dari bagian inti (essensialia) dan bagian bukan inti (naturalia) dan (accidentalia) sebagai unsur – unsur perjanjian, yaitu sebagai berikut;7

a. Unsur Essensialia, merupakan unsur yang mutlak harus ada pada perjanjian. Unsur ini sangat erat berkaitan dengan syarat sahnya perjanjian pada Pasal 1320 KUH Perdata dan untuk mengetahui ada atau tidaknya perjanjian serta untuk mengetahui jenis perjanjiannya, contoh kesepakatan.

b. Unsur Naturalia, merupakan unsur yang lazimnya ada atau merupakan sifat bawaan perjanjian, sehingga secara diam – diam melekat pada perjanjian, misalnya; menjamin terhadap cacat tersembunyi.

c. Unsur Accidentalia, merupakan unsur yang harus tegas diperjanjikan, misalnya pemilihan tempat kedudukan.

Dalam mengkaji lebih lanjut perjanjian tertulis pada UU Mata Uang dan PBI No. 17 untuk dapat menggolongkan perjanjian tertulis tersebut, terdapat beberapa asas – asas yang penting dalam hukum perjanjian yaitu:8

a. Asas kebebasan berkontrak

Setiap orang bebas mengadakan perjanjian apa saja, baik yang sudah diatur maupun yang belum diatur dalam undang – undang. Akan tetapi, kebebasan tersebut dibatsai oleh tiga hal, yaitu tidak

7 Mariam Darus Badrulzaman, 2006, KUHPerdata Buku III, Alumni, Bandung, h. 99.


(27)

dilarang undang – undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan.

b. Asas pelengkap

Asas ini mempunyai arti bahwa ketentuan undang – undang boleh tidak diikuti apabila pihak – pihak menghendaki dan membuat ketentuan sendiri yang menyimpang dari ketentuan undang – undang. Asas ini hanya mengenai rumusan hak dan kewajiban para pihak.

c. Asas konsensual

Asas ini mempunyai arti bahwa perjanjian itu terjadi sejak saat tercapai kata sepakat (konsensus) antara pihak – pihak mengenai pokok perjanjian. Sejak saat itu perjanjian mengikat dan mempunyai akibat hukum.

d. Asas obligatoir

Asas ini mempunyai arti bahwa perjanjian yang dibuat oleh pihak – pihak itu baru dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban saja, belum mengalihkan hak milik. Hak milik baru beralih apabila dilakukan dengan perjanjian yang bersifat kebendaan (zakelijke overeenkomst), yaitu melalui penyerahan (levering).

Dengan klausula perjanjian tertulis pada UU Mata Uang penelitian ini menggunakan teori – teori kesepakatan itu terjadi untuk mengetahui hakikat awal terjadinya perjanjian dengan segala hak – hak dan kewajiban – kewajiban para pihak dalam melakukan transaksi perdagangan internasional. Menurut Mariam Darus Badrulzaman, ada beberapa macam teori – teori untuk mengetahui kapan kesepakatan itu terjadi, yaitu sebagai berikut:9

 Teori Pernyataan


(28)

Menurut teori ini bahwa sepakat terjadi saat kehendak pihak yang menerima tawaran menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu, kelemahannya sangat teoritis karena dianggap terjadinya kesepakatan secara otomatis.

Kesepakatan yang dikehendaki oleh pelaku usaha dengan menyatakan untuk melakukan transaksi perdagangan internasional menggunakan valuta asing sebagai alat pembayaran, dinyatakan dengan kesepakatan yang dibuat dalam perjanjian tertulis. Momentum terjadinya perjanjian, yaitu pada saat terjadinya persesuaian antara pernyataan dan kehendak antara penjual dan pembeli. Ada 3 (tiga) teori yang menjawab tentang ketidaksesuaian antara kehendak dan pernyataan, yaitu:10

A. Teori Kehendak (wilstheorie); menurut teori kehendak bahwa perjanjian terjadi bila ada persesuaian antara kehendak dan pernyataan. Apabila terjadi ketidakwajaran, kehendaklah yang menyebabkan terjadinya perjanjian. Bagi pelaku usaha perdagangan internasional, mempunyai kehendak untuk tidak saling merugikan, dengan menyatakan bahwa melalui perjanjian tertulis mempergunakan valuta asing yang mencantumkan kurs yang wajar terhadap mata uang rupiah.

B. Teori Pernyataan ( verklarin theorie)

Menurut teori ini kehendak merupakan proses batiniah yang tidak diketahui orang lain. Akan tetapi, yang menyebabkan terjadinya perjanjian adalah pernyataan. Kehendak yang dimiliki oleh pelaku usaha untuk mengikat terhadap pelaku usaha perdagangan internasional, dengan menyatakan dalam bentuk perjanjian tertulis agar dapat menggunakan valuta asing sebagai alat pembayaran transaksi perdagangan internasional.

C. Teori Kepercayaan (vertrouwenstheorie)

10 Salim H.S. 2011, HUKUM KONTRAK Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Cet.11,Sinar Grafika, Jakarta,


(29)

Menurut teori ini tidak setiap pernyataan menimbulkan perjanjian, tetapi pernyataan yang menimbulkan kepercayaan saja yang menimbulkan perjanjian. Kepercayaaan yang diberikan oleh pelaku usaha perdagangan internasional dalam negeri dengan pelaku usaha luar negeri, tanpa perjanjian sudah terjalin kepercayaan untuk melakukan kegiatan usaha secara bersama – sama.

1.8.Metode Penelitian

Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip – prinsip hukum, maupun doktrin – doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.11 Untuk Penelitian ini menggunakan metode yaitu melalui:

1.8.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, berawal dari adanya norma perjanjian pada peraturan perundang – undangan tentang mata uang yang menyebabkan peraturan perundang – undangan tersebut menjadi norma kabur, terhadap pengecualian dengan keharusan adanya perjanjian tertulis. Penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum yang diperoleh dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier yang akan menunjang penelitian ini sebagai karya tulis ilmiah yaitu skripsi.

1.8.2 Jenis Pendekatan

Dalam penulisan karya tulis ilmiah untuk skripsi ini, dirasakan perlu untuk menggunakan pendekatan masalah agar tercermin sebagai karya ilmiah. Pendekatan masalah yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan analisis konsep hukum (analitical & conceptualapproach) dan pendekatan peraturan perundang – undangan (the statute approach). Pendekatan Konseptual dengan menelaah aturan – aturan hukum yang ada terhadap perjanjian dan


(30)

perdagangan internasional. Pendekatan undang – undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang – undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.12 Pendekatan analisa konsep hukum digunakan untuk meneliti mengenai unsur - unsur dari perjanjian dan jual beli dalam perdagangan internasional.

1.8.3 Sumber bahan hukum

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji menyatakan bahwa dalam penelitian hukum normatif bahan – bahan hukum yang dapat digunakan yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.13 Peter Mahmud Marzuki menjelaskan sebagai berikut:14

1. Sumber bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya memiliki otoritas, yang terdiri dari Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, catatan – catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang – undangan.

2. Sumber bahan hukum sekunder adalah berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen – dokumen resmi meliputi buku – buku teks, kamus – kamus hukum, dan jurnal – jurnal hukum.

3. Sumber bahan hukum tersier adalah merupakan bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder; contohnya adalah ensiklopedian indeks kumulatif dan seterusnya.

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

12 Ibid. h. 93.

13 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2011, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Raja Grafindo

Persada, Jakarta, h. 13


(31)

Untuk menunjang penelitian penulisan skripsi ini, maka teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara studi kepustakaan dan studi dokumentasi yang difokuskan terhadap bahan – bahan hukum primer maupun bahan – bahan hukum sekunder yang berkaitan dengan perjanjian dan perdagangan internasional.

1.8.5 Teknik Pengolahan dan Analisa Bahan Hukum

Sebelum melakukan pengolahan dan menganalisa, penulis mengumpulkan bahan – bahan hukum yang telah berhasil dikumpulkan selanjutnya melalui metode deskriptif kualitatif, pengolahan data dilakukan dengan menguraikan dan menggambarkan data yang diperoleh dari hasil studi kepustakaan dan studi ketentuan – ketentuan yang mengatur mengenai perjanjian tertulis dalam hukum perjanjian untuk selanjutnya dibahas dan disajikan secara kualitatif dalam uraian yang mendalam dan sistematis sebagai suatu karya tulis ilmiah yang berbentuk skripsi.


(32)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, PERDAGANGAN INTERNASIONAL DAN MATA UANG

2.1.Perjanjian

Peningkatan dan perkembangan interaksi antarmanusia di dalam masyarakat baik dari segi kuantitas maupun segi kualitas berjalan seiring dengan perkembangan kebutuhan manusia dalam kehidupan modern yang semakin kompleks. Upaya pemenuhan kebutuhan manusia yang diwujudkan di dalam berbagai jejaring kemasyarakatan untuk sebagian besar dilaksanakan melalui kegiatan – kegiatan pertukaran barang dan jasa, baik untuk kepentingan ekonomi maupun pribadi. Kegiatan – kegiatan pertukaran tersebut diwujudkan melalui pelaksanaan kewajiban – kewajiban yang diterbitkan secara sukarela berdasarkan janji – janji yang mengikat para pihak pelaku kegiatan – kegiatan tersebut. Sejalan dengan perkembangan kehidupan masyarakat yang semakin kompleks di masa modern ini, berkembang pula beragam resiko yang semakin besar potensinya untuk menjadi ancaman bagi para pihak dalam upaya mewujudkan harapan – harapan dari transaksi – transaksi yang mereka adakan. Kenyataan inilah yang menerbitkan kebutuhan bagi para pihak untuk memperoleh perlindungan hukum terhadap harapan – harapan sah yang ingin dicapai melalui transaksi – transaksi yang dibuatnya, khususnya dalam mengantisipasi terjadinya resiko – resiko yang dapat menghambat upaya tersebut. Untuk mewujudkan tujuan – tujuan itu maka dikembangkan norma – norma hukum dalam bentuk sekumpulan asas dan aturan hukum yang umumnya dipahami sebagai hukum perjanjian yang diharapkan dapat meningkatkan kepastian, keadilan, dan prediktabilitas yang pada saat bersamaan menjadi alat bagi para pihak untuk mengelola resiko.


(33)

Perjanjian sebagai suatu hubungan hukum yang berkelanjutan, tidak banyak berbeda dari hubungan – hubungan hukum lain, pada dasarnya diatur oleh seperangkat norma – norma. Norma

– norma tersebut dapat memerintahkan, mewajibkan atau melarang perilaku – perilaku tertentu. Pelaksanaan perilaku tertentu seringkali digantungkan pada perilaku – perilaku atau kondisi – kondisi tertentu. Perilaku yang menyimpang dapat diancam dengan suatu sanksi, dan perilaku yang baik dapat menerbitkan hak untuk memperoleh prestasi. Bentuk perjanjian perlu ditentukan karena ada ketentuan undang – undang bahwa hanya dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan kekuatan bukti.1

2.1.1 Pengertian Dan Syarat Sahnya Perjanjian

Pemenuhan kebutuhan manusia yang diwujudkan di dalam jejaring kemasyarakatan untuk sebagian besar dilaksanakan melalui kegiatan – kegiatan pertukaran barang dan jasa, baik untuk kepentingan komesial maupun pribadi. Kegiatan – kegiatan pertukaran tersebut diwujudkan melalui pelaksanaan kewajiban – kewajiban yang diterbitkan secara sukarela berdasaran janji – janji yang mengikat para pihak. Sejalan dengan perkembangan kehidupan masyarakat yang semakin kompleks di masa modern ini, berkembang pula beragam resiko yang semakin besar potensinya untuk menjadi ancaman bagi para pihak dalam mewujudkan harapan – harapan dari transaksi – transaksi yang mereka adakan. Kenyataan inilah yang menerbitkan kebutuhan bagi para pihak untuk memperoleh perlindungan hukum terhadap harapan – harapan sah yang ingin dicapai melalui transaksi – transaksi yang dibuatnya, khususnya dalam mengantisipasi terjadinya resiko – resiko yang dapat menghambat upaya tersebut. Untuk mewujudkan tujuan – tujuan kontraktual itulah maka dikembangkan norma – norma hukum dalam bentuk sekumpulan asas dan aturan hukum yang umumnya dipahami sebagai hukum kontrak atau hukum perjanjian. Perjanjian juga


(34)

dikatakan sebagai perbuatan hukum (juridical act) dua pihak yang mengandung unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain, dan masing – masing pihak itu terikat pada akibat – akibat hukum yang timbul dari janji – janji itu karena kehendaknya sendiri.2

Perjanjianadalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih, sesuai dengan ketentuan pada Pasal 1313 KUH Perdata. Para sarjana Hukum Perdata pada umumnya berpendapat bahwa definis perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan diatas adalah tidak lengkap dan pula terlalu luas.3 Menurut Subekti,4 perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji pada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Sedangkan, KMRT Tirtodiningrat,5 memberikan definisi perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat di antara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat – akibat hukum yang dapat dipaksakan oleh undang – undang. Suatu kontrak atau perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin, yang merupakan perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata pada Buku III mengenai Perjanjian yang kriterianya dapat dinilai secara materiil, dengan kata lain dinilai dengan uang.6

Menurut Suryodiningrat,7 bahwa definisi Pasal 1313 KUH Perdata ditentang beberapa pihak dengan argumentasi sebagai berikut:

2 J.Satrio, 1992, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.7.

3 Mariam Darus Badrulzaman et.al., 2001, KOMPILASI HUKUM PERIKATAN (Dalam Rangka Memperingati

Memasuki Masa Purna Bakti Usia 70 Tahun), Citra Aditya Bakti, Bandung, h.65

4 Subekti, 1996, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, h.1

5 A.Qirom Meliala, 1985, Pokok Pokok Hukum Perikatan Beserta Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta, h.8

6 Mariam Darus Badrulzaman et.al., 2001, loc.cit.


(35)

a. Hukum tidak ada sangkut pautnya dengan setiap perikatan, dan demikian pula tidak ada sangkut pautnya dengan sumber perikatan, sebab apabila penafsiran dilakukan secara luas, setiap janji adalah persetujuan;

b. Perkataan perbuatan apabila ditafsirkan secara luas, dapat menimbulkan akibat hukum tanpa dimaksudkan (misal: perbuatan yang menimbulkan kerugian sebagai akibat adanya perbuatan melanggar hukum);

c. Definisi Pasal 1313 KUH Perdata hanya mengenai persetujuan sepihak (unilateral), satu pihak sajalah yang berprestasi sedangkan pihak lainnya tidak berprestasi (misal:

schencking atau hibah). Seharusnya persetujuan itu berdimensi dua pihak, dimana para pihak saling berprestasi;

d. Pasal 1313 KUH Perdata hanya mengenai persetujuan obligatoir (melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak), dan tidak berlaku bagi persetujuan jenis lainnya (misal: perjanjian liberatoir / membebaskan; perjanjian di lapangan hukum keluarga; perjanjian kebendaan; perjanjian pembuktian).

Pengertian perjanjian atau kontrak yang dikemukakan oleh para ahli tersebut melengkapi kekurangan definisi Pasal 1313 KUH Perdata, sehingga secara lengkap pengertian perjanjian atau kontrak adalah perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Sebagai suatu kesimpulan dapat ditetapkan suatu norma, bahwa yang dapat dipakai sebagai pedoman ialah pernyataan yang sepatutnya dapat dianggap melahirkan maksud dari orang yang hendak mengikatkan dirinya. Karena suatu perjanjian dilahirkan pada detik tercapainya sepakat, maka perjanjian itu lahir pada detik diterimanya suatu penawaran. Apabila seorang melakukan penawaran, dan penawaran itu diterima oleh orang lain secara tertulis, menulis surat bahwa ia menerima penawaran itu, maka lahirlah perjanjian tersebut. Menurut Pasal 1339 KUH Perdata, suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal – hal yang dengan tegas dinyatakan dalam perjanjian, tetapi juga dalam sesuatu yang menurut sifatnya perjanjian diharuskan atau diwajibkan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang – undang. Dengan demikian, maka setiap perjanjian diperlengkapi dengan aturan – aturan yang terdapat dalam undang – undang, yang terdapat pula dalam adat kebiasaan, sedangkan kewajiban

– kewajiban yang diharuskan oleh norma – norma kepatutan harus diindahkan.


(36)

Kehendak para pihak yang diwujudkan dalam kesepakatan adalah merupakan dasar mengikatnya suatu perjanjian. Sepakat mereka yang mengikatkan diri adalah asas essensial dari hukum perjanjian.8 Asas ini dinamakan asas otonomi, yang menentukan adanya perjanjian. Perjanjian berdasarkan sumber hukumnya merupakan penggolongan perjanjian yang didasarkan pada tempat perjanjian itu ditemukan. Sudikno Mertokusumo menggolongkan perjanjian dari sumber hukumnya menjadi 5 (lima) macam, yaitu:9

a. Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga, seperti halnya perkawinan;

b. Perjanjian yang bersumber dari kebendaan, yaitu yang berhubungan dengan peralihan hukum benda, misalnya peralihan hak milik;

c. Perjanjian obligatoir, yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban;

d. Perjanjian yang bersumber dari hukum acara, yang disebut dengan bewijsovereenkomst;

e. Perjanjian yang bersumber dari hukum publik, yang disebut dengan publiekrechtelijke Overeekomst.

Berbagai tradisi hukum yang tumbuh dan menjadi platform perkembangan berbagai sistem hukum di dunia pada dasarnya menerima konsepsi bertimbal balik antara Perjanjian dengan perikatan. Karena itu, orang dapat dengan mudah memahami bahwa Hukum Perjanjian pada umumnya dipahami sebagai bagian dari Hukum Perikatan. Namun demikian, tidak selalu mudah untuk menemukan batas – batas yang tajam di antara Hukum Perjanjian dengan bagian – bagian lain dari Hukum Perikatan. Sebagai bagian dari Hukum Perikatan, Hukum Perjanjian juga pada dasarnya melibatkan hubungan hukum yang bersisi dua. Di satu pihak norma – norma di dalamnya tampak berkenaan dengan hak perorangan untuk mengajukan tuntutan, dan di lain pihak dengan kewajiban – kewajiban untuk melaksanakan sesuatu.

8 Mariam Darus Badrulzaman et.al., 2001, op.cit. h.83

9 Sudikno Mertokusumo, 1987, Rangkuman Kuliah Hukum Perdata, Fakultas Pascasarjana UGM, Yogyakarta, h.


(37)

Pada buku III KUH Perdata pengertian tentang perikatan (Van Verbintenissen) yang memiliki sifat terbuka artinya isinya dapat ditentukan oleh para pihak dengan beberapa syarat yaitu tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan undang – undang.10 Apa yang diatur dalam Buku III KUH Perdata hanya sekedar mengatur dan melengkapi (regelend recht-aanvullendrecht). Berbeda dengan pengaturan Buku II KUH Perdata yang menaganut sistem tertutup atau bersifat memaksa (dwingend recht), dimana para pihak dilarang menyimpangi aturan

– aturan yang ada didalam Bukum II KUH Perdata tersebut. Syarat yang terkandung pada Buku III KUH Perdata memiliki makna bahwa syarat tersebut dapat diikuti oleh para pihak atau dapat juga para pihak menentukan lain/ menyimpanginya dengan beberapa syarat namun hanya yang bersifat pelengkap saja yang dapat disimpanginya, karena di dalam ketentuan umum ada yang bersifat pelengkap dan pemaksa, seperti yang tercantum pada Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUH Perdata.

2.2. Perdagangan Internasional

Hukum perdagangan internasional merupakan bidang hukum yang berkembang cepat. Ruang lingkup bidang hukum ini pun cukup luas. Hubungan – hubungan dagang yang sifatnya lintas batas dapat mencakup banyak jenisnya, dari bentuknya yang sederhana, yaitu dari barter, jual beli barang atau komoditi (produk – produk pertanian, perkebunan, dan sejenisnya), hingga hubungan atau transaksi dagang yang kompleks. Kompleksnya hubungan atau transaksi dagang internasional ini paling tidak disebabkan oleh adanya jasa teknologi (khususnya teknologi informasi) sehingga transaksi – transaksi dagang semakin berlangsung cepat.11

2.2.1 Pengertian Perdagangan Internasional


(38)

Istilah perdagangan internasional atau disebut dengan perdagangan antar bangsa – bangsa, pertama kali dikenal di Benua Eropa yang kemudian berkembang di Asia dan Afrika. Negara – negara yang terhimpun dalam kegiatan perdagangan internasional membentuk suatu persetujuan dagang dan tariff atau General Agreement on Tariff and Trade yang disingkat dengan GATT. Kemudian, GATT berkembang menjadi suatu organisasi perdagangan internasional yang sekarang lebih dikenal dengan Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization yang disingkat dengan WTO. Kesepakatan perdagangan internasional yang dicapai dalam Uruguay Round berakibat semakin meluasnya substansi yang ditentukan dalam GATT, disebabkan fungsi GATT diambil alih oleh WTO yang lebih dikenal peranan dan fungsinya dalam dunia internasional, khususnya di bidang tarif dan perdagangan internasional. Ada berbagai motif atau alasan mengapa negara atau subjek hukum (pelaku dalam perdagangan) melakukan transaksi dagang internasional.12 Fakta yang sekarang ini terjadi adalah perdagangan internasional sudah menjadi tulang punggung bagi negara untuk menjadi makmur, sejahtera dan kuat. Hal ini sudah banyak terbukti dalam perkembangan dunia. Timbulnya kebebasan dalam melaksanakan perdagangan internasional termotivasi oleh paham atau teori yang dikemukan oleh Adam Smith

dalam bukunya berjudul “The Wealth of Nations”, yang menyatakan bahwa kesejahteraan

masyarakat suatu negara justru akan semakin meningkat, jika perdagangan internasional dilakukan dalam pasar bebas dan intervensi pemerintah dilakukan seminimal mungkin.13

Prinsip utama yang menjadi dasar GATT adalah prinsip non – diskriminasi yang dalam WTO dikenal dengan most favoured nation atau MFN, sesuai yang tercantum pada Pasal 1 WTO. MFN

merupakan prinsip bahwa perdagangan internasional antara anggota WTO harus dilakukan secara

12 Ibid.


(39)

non – diskriminasi. Hal itu mengandung arti bahwa konsesi yang diberikan kepada suatu negara mitra dagang harus berlaku pula bagi semua negara lainnya. Semua negara ditempatkan pada kedudukan yang sama. Selain prinsip hukum yang ditentukan secara umum dalam WTO, dalam rangka mencapai tujuan WTO demi kesejahteraan negara anggota yang berkembang, disepakati ketentuan khusus. Dalam sistem perdagangan di dunia saat ini memungkinkan segala sesuatunya bersifat praktis, cepat dan aman. Hal yang sedemikian ini semakin memudahkan para pelaku usaha melakukan kegiatan perdagangan. Hal ini menyangkut juga aspek globalisasi dan liberalisasi ekonomi. Peningkatan perdagangan internasional pasti akan meningkatkan intensitas transaksi pembayaran terhadap kegiatan perdagangan internasional di suatu negara.

Dapat dikatakan bahwa perdagangan internasional tidak berbeda dengan pertukaran barang antardua orang di suatu negara, perbedaannya adalah bahwa perdagangan internasional orang yang satu kebetulan berada di negara yang berbeda.14 Dengan demikian, perdagangan internasional merupakan perdagangan dari suatu negara ke lain negara di luar perbatasan negara yang meliputi dua kegiatan pokok. Kedua kegiatan tersebut adalah kegiatan ekspor dan impor yang hanya dapat dilakukan dalam batas – batas tertentu sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah. Dalam melakukan kegiatan perdagangan internasional para pelaku usaha mengacu kepada kaidah – kaidah hukum yang bersifat internasional, baik ketentuan hukum perdata internasional (private international law) maupun ketentuan hukum publik international (public international law).15

2.2.2 Kebijakan Perdagangan Internasional

Hubungan finansial terkait erat dengan perdagangan internasional. Keterkaitan erat ini tampak karena hubungan – hubungan keuangan ini mendampingii transaksi perdagangan antara


(40)

pedagang (dengan pengecualian transaksi barter atau counter trade).16 Dalam menghadapi era globalisasi di bidang ekonomi khususnya perdagangan internasional, peranan hukum bisnis terutama hukum perdagangan internasional sangat diperlukan dalam melakukan hubungan hukum atau transaksi antarbangsa. Hubungan tersebut menyangkut perniagaan atau pertukaran barang, jasa, modal maupun tenaga kerja, yang meliputi dua kegiatan pokok, yaitu kegiatan impor adalah memasukkan barang ke dalam daerah pabean, dan kegiatan ekspor adalah mengeluarkan barang dari daerah pabean.

Di dalam jual beli dagang sendiri khususnya dalam perdagangan internasional telah ada suatu suatu kebiasaan yang digunakan sebagai hukum oleh para pelaku dalam transaksi tersebut. Ketentuan ini pada mulanya dibuat oleh para pengusaha yang tergabung di dalam The International Chamber Of Commerce atau ICC.17 ICC merupakan salah satu badan atau organisasi internasional di bidang unifikasi dan harmonisasi hukum perdagangan internasional. ICC didirikan pada tahun 1919. Badan ini berkedudukan di Paris. Tujuannya pada waktu itu, dan sampai sekarang masih terus berlaku, adalah melayani dunia usaha dengan memajukan perdagangan, penanaman modal, membuka pasasr untuk barang dan jasa, serta memajukan aliran modal.18 Selama masa depresi di tahun 1919, ICC memerankan peranan penting dalam membantu mengurangi proteksi yang muncul dari krisis tersebut. Setelah Perang Dunia II, ICC tetap penting di dunia internasional untuk melanjutkan pengembangan perdagangan internasional.19 Pada tahaun 1980-an dan awal 1990-an, ICC harus menghadapi kebangkitan dari proteksionisme dalam penyamaran baru, seperti pengaturan resiproakatif perdagangan, pembatasan ekspor secara

sukarela, dan pengendalian yang lebih dikenal dengan eufemisme ”pengaturan perdagangan”.

16 Huala Adolf, op.cit. h.7.

17 Sentosa Sembiring, op.cit. h. 133

18 Ibid.h.47


(41)

Negara – negara di dunia kerap membuat kebijakan atau keputusan – keputusan yang dapat memengaruhi perdagangan. Oleh karena itulah, peran atau adanya suatu badan dunia yang menyuarakan para pedagang yang terkena oleh kebijakan atau keputusan suatu negara menjadi sangat penting.20 Setelah kehancuran komunis di Eropa Timur dan Uni Soviet, ICC menghadapi tantangan yang baru, hal ini dikarenakan sistem pasar bebas telah diterima secara lebih luas, dan sampai sekarang negara – negara tersebut masih memerlukan campur tangan pemerintah untuk beralih ke privatisasi dan liberalisasi ekonomi. ICC sebagai suatu badan dalam membuat kebijakan

– kebijakan atau aturan – aturan yang dapat menfasilitasi perdagangan internasional. Peran lain yang cukup penting pula adalah:21

a). Sebagai forum penyelesaian sengketa khususnya melalui arbitrase;

b). Sebagai forum untuk menyebarluaskan informasi dan kebijakan serta aturan – aturan hukum dagang internasional di antara pengusaha – pengusaha di dunia; dan

c). Memberikan pelatihan – pelatihan dan teknik – teknik dalam merancang kontrak serta keahlian

– keahlian praktis lainnya dalam perdagangan internasional.

Memasuki abad ke – 21, ICC membangun keberadaan yang lebih kuat di Asia, Afrika, Amerika Latin, Timur Tengah, dan di negara – negara berkembang dari Eropa Timur dan Tengah. Selama ini ICC dipandang sebagai garda terdepan dalam menyuarakan keinginan pelaku usaha untuk pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja dan kemakmuran. Peran ini sangat penting dalam kaitannya dengan keadaan negara – negara di dunia saat ini. ICC tidak berupaya menciptakan unifikasi hukum. Kebijakan yang ditempuhnya adalah memberikan aturan – aturan dan standar – standar (Rules and Standards) di bidang hukum perdagangan internasional. Kedua bentuk aturan ini sifatnya tidak mengikat.22

20 Huala Adolf, op.cit. h.48.


(42)

Dengan diratifikasi persetujuan berdirinya WTO, melalui disahkannya Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization

atau Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia, yang selanjutnya akan disingkat UU WTO artinya Indonesia telah resmi menerima kesepakatan WTO. Sebagai tindak lanjutnya pemerintah Indonesia mengeluarkan berbagi peraturan perundang – undangan yang menjadi dasar pengaturan perdagangan internasional antara lain:23

1. Undang – Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan;

2. Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang – Undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan;

3. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 tentang Bea Masuk Antindumping dan Bea Masuk Imbalan;

4. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 136.MPP/Kep/6 /1996 tentang Pembentukan Komite Antidumping Indonesia;

5. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 172/ MPP/ Kep/ 6/ 1996 tentang Organisasi dan Cara Kerja Tim Organisasi Antidumping;

6. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 427/MPP/Kep/10 /2000 tentang Komite Antidumping Indonesia;

7. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 428/MPP/Kep/10 /2000 tentang Pengangkatan Anggota Komite Antidumping Indonesia;

8. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 216/MPP/Kep/7 /2001 tentang Perubahan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 261/ MPP/ Kep/ 9/ 1996 tentang Tata Cara Persyaratan Pengajuan Penyelidikan Atas Barang Dumping dan Barang Mengandung Subsidi.

9. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 37/ M-Dag/ Per/ 9/ 2008 tentang Surat Keterangan Asal (Certificate of Origin) Terhadap Barang Impor yang dikenakan Tindakan Pengamanan (Safeguard);

Yang terakhir ditetapkannya Undang – undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, adanya pengecualian bagi pelaku usaha perdagangan internasional untuk tidak menerima mata uang rupiah sebagai alat pembayaran untuk transaksi jual beli yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, kebijaksanaan pembangunan di bidang ekonomi yang didukung oleh kemajuan di bidang hukum diharapkan dapat terciptanya kerangka landasan guna menunjang pembangunan nasional yang berkelanjutan.


(43)

2.3. Mata Uang

Uang sebagai alat tukar yang sifatnya fleksibel karena dapat ditukarkan segala macam kebutuhan hidup berupa apa saja dan dimana saja.24 Uang suatu negara haruslah diterima setidak

– tidaknya di negara bersangkutan. Agar dapat diterima oleh masyarakat maka harus ada kepercayaan masyarakat terhadap uang dimaksud. Kepercayaan masyarakat terhadap uang antara lain ditentukan dari reputasi lembaga yang mengeluarkan dan mengedarkan uang adalah bank sentral. Oleh karena itu bank sentral perlu memiliki reputasi yang baik. Uang sebagai alat pembayaran yang sah, dalam perekonomian suatu negara mempunyai beberapa fungsi penting yaitu sebagai alat penukar atau alat pembayaran dan pengukur harga. Sehingga dapat dikatakan uang merupakan alat utama perekonomian. Tanpa uang, perekonomian suatu negara akan lumpuh bahkan tidak dapat dilaksanakan.

Keberadaan suatu negara yang berdaulat ditandai dengan kepemilikan oleh negara tersebut atas suatu wilayah teritorial tertentu, rakyat yang berdiam dalam wilayah teritorial dimaksud dan pemerintahan yang berdaulat. Disamping adanya wilayah, rakyat dan pemerintahan, untuk lebih menegaskan identitas keberadaan suatu negara, diperlukan simbol – simbol kenegaraan, antara lain berupa bendera, lambang negara, lagu kebangsaan, dan mata uang. Bila dilihat dari kepentingan perekonomian suatu negara maka yang paling berperan dalam kehidupan masyarakat adalah mata uang.

2.3.1. Pengertian Mata Uang

Adanya mata uang suatu negara menunjukkan salah satu ciri bahwa negara yang bersangkutan berdaulat. Mata uang adalah alat pembayaran transaksi ekonomi yang digunakan di suatu negara.25 Di setiap negara mata uangnya berbeda antara satu negara dengan negara lainnya.


(44)

Dengan mata uang berbeda – beda transaksi perdagangan antar negara dilakukan dengan kurs. Istilah mata uang merupakan terjemahan dari istilah currency yang berarti uang yang dikeluarkan oleh Bank Sentral.26 Mata uang terdiri dari dua jenis yakni uang logam dan uang kertas yang dikenal dengan sebutan uang kartal. Istilah uang berarti adalah semua jenis uang yang berada dalam perekonomian, yakni uang kartal yang dikeluarkan oleh Bank Sentral ditambah dengan uang giral yang dikeluarkan oleh bank – bank umum.

2.3.2. Valuta Asing Sebagai Alat Pembayaran

Valuta asing atau valas atau foreign exchange adalah mata uang yang dikeluarkan dan digunakan sebagai alat pembayaran yang sah di negara lain. Atau, seluruh kewajiban terhadap mata uang asing yang dapat dibayar di luar negeri, baik berupa pembayaran, pelunasan utang piutang, maupun simpanan pada bank di luar negeri. Transaksi valas dapat diartikan sebagai kesepakatan antara dua pihak untuk melakukan pertukaran mata uang asing yang dimiliki dengan mengikuti ketentuan kurs mata uang pada saat itu. Uang selalu ada hubungannya dengan mata uang dan mata uang selalu berhubungan dengan suatu negara karena setiap negara menentukan sendiri mata uangnya.27 Kurs Mata Uang adalah nilai sebuah mata uang negara tertentu yang diukur, dibandingkan, atau dinyatakan dalam mata uang negara lain.28 Sehubungan dengan itu, pada Pasal 2 ayat (1) UU Mata Uang mencantumkan mata uang Negara Republik Indonesia adalah Rupiah. Uang rupiah adalah alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Republik Indonesia.

Hakekat valas adalah uang asing. Uang asing adalah uang yang diterbitkan sebagai alat bayar yang sah oleh suatu negara, di dalam maupun diluar wilayah negara negaranya, dengan bahan fisik

26 Cita Yustisia Serfiyani & Iswi Hariyani, 2013, Pasar Uang & Pasar Valas, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,

h. 97.

27 Gatot Supramono, op.cit. h. 13


(45)

dan penanda tertentu. Valas merupakan uang asing yang berfungsi sebagai alat tukar sah yang diterbitkan secara resmi oleh suatu negara.29 Untuk dapat dikategorikan sebagai alat tukar yang sah, suatu mata uang asing harus memenuhi sekurang – kurangnya 3 (tiga) persyaratan, yaitu:

a. diterbitkan oleh suatu negara;

b. memenuhi persyaratan fisik dan nilai tertentu; dan

c. berfungsi sebagai alat tukar resmi di negara bersangkutan.

Persyaratan valas sebagai alat tukar resmi yang diterbitkan oleh negara tertentu, atau setidak – tidaknya oleh suatu lembaga yang diberi otoritas oleh negara untuk itu harus dipenuhi oleh setiap valas. Di Indonesia, kewenangan ini oleh negara diberikan kepada Bank Indonesia.


(1)

pedagang (dengan pengecualian transaksi barter atau counter trade).16 Dalam menghadapi era globalisasi di bidang ekonomi khususnya perdagangan internasional, peranan hukum bisnis terutama hukum perdagangan internasional sangat diperlukan dalam melakukan hubungan hukum atau transaksi antarbangsa. Hubungan tersebut menyangkut perniagaan atau pertukaran barang, jasa, modal maupun tenaga kerja, yang meliputi dua kegiatan pokok, yaitu kegiatan impor adalah memasukkan barang ke dalam daerah pabean, dan kegiatan ekspor adalah mengeluarkan barang dari daerah pabean.

Di dalam jual beli dagang sendiri khususnya dalam perdagangan internasional telah ada suatu suatu kebiasaan yang digunakan sebagai hukum oleh para pelaku dalam transaksi tersebut. Ketentuan ini pada mulanya dibuat oleh para pengusaha yang tergabung di dalam The International Chamber Of Commerce atau ICC.17 ICC merupakan salah satu badan atau organisasi internasional di bidang unifikasi dan harmonisasi hukum perdagangan internasional. ICC didirikan pada tahun 1919. Badan ini berkedudukan di Paris. Tujuannya pada waktu itu, dan sampai sekarang masih terus berlaku, adalah melayani dunia usaha dengan memajukan perdagangan, penanaman modal, membuka pasasr untuk barang dan jasa, serta memajukan aliran modal.18 Selama masa depresi di tahun 1919, ICC memerankan peranan penting dalam membantu mengurangi proteksi yang muncul dari krisis tersebut. Setelah Perang Dunia II, ICC tetap penting di dunia internasional untuk melanjutkan pengembangan perdagangan internasional.19 Pada tahaun 1980-an dan awal 1990-an, ICC harus menghadapi kebangkitan dari proteksionisme dalam penyamaran baru, seperti pengaturan resiproakatif perdagangan, pembatasan ekspor secara sukarela, dan pengendalian yang lebih dikenal dengan eufemisme ”pengaturan perdagangan”.

16 Huala Adolf, op.cit. h.7.

17 Sentosa Sembiring, op.cit. h. 133

18 Ibid.h.47


(2)

Negara – negara di dunia kerap membuat kebijakan atau keputusan – keputusan yang dapat memengaruhi perdagangan. Oleh karena itulah, peran atau adanya suatu badan dunia yang menyuarakan para pedagang yang terkena oleh kebijakan atau keputusan suatu negara menjadi sangat penting.20 Setelah kehancuran komunis di Eropa Timur dan Uni Soviet, ICC menghadapi tantangan yang baru, hal ini dikarenakan sistem pasar bebas telah diterima secara lebih luas, dan sampai sekarang negara – negara tersebut masih memerlukan campur tangan pemerintah untuk beralih ke privatisasi dan liberalisasi ekonomi. ICC sebagai suatu badan dalam membuat kebijakan – kebijakan atau aturan – aturan yang dapat menfasilitasi perdagangan internasional. Peran lain yang cukup penting pula adalah:21

a). Sebagai forum penyelesaian sengketa khususnya melalui arbitrase;

b). Sebagai forum untuk menyebarluaskan informasi dan kebijakan serta aturan – aturan hukum dagang internasional di antara pengusaha – pengusaha di dunia; dan

c). Memberikan pelatihan – pelatihan dan teknik – teknik dalam merancang kontrak serta keahlian – keahlian praktis lainnya dalam perdagangan internasional.

Memasuki abad ke – 21, ICC membangun keberadaan yang lebih kuat di Asia, Afrika, Amerika Latin, Timur Tengah, dan di negara – negara berkembang dari Eropa Timur dan Tengah. Selama ini ICC dipandang sebagai garda terdepan dalam menyuarakan keinginan pelaku usaha untuk pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja dan kemakmuran. Peran ini sangat penting dalam kaitannya dengan keadaan negara – negara di dunia saat ini. ICC tidak berupaya menciptakan unifikasi hukum. Kebijakan yang ditempuhnya adalah memberikan aturan – aturan dan standar – standar (Rules and Standards) di bidang hukum perdagangan internasional. Kedua bentuk aturan ini sifatnya tidak mengikat.22

20 Huala Adolf, op.cit. h.48.

21 Ibid.


(3)

Dengan diratifikasi persetujuan berdirinya WTO, melalui disahkannya Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization

atau Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia, yang selanjutnya akan disingkat UU WTO artinya Indonesia telah resmi menerima kesepakatan WTO. Sebagai tindak lanjutnya pemerintah Indonesia mengeluarkan berbagi peraturan perundang – undangan yang menjadi dasar pengaturan perdagangan internasional antara lain:23

1. Undang – Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan;

2. Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang – Undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan;

3. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 tentang Bea Masuk Antindumping dan Bea Masuk Imbalan;

4. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 136.MPP/Kep/6 /1996 tentang Pembentukan Komite Antidumping Indonesia;

5. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 172/ MPP/ Kep/ 6/ 1996 tentang Organisasi dan Cara Kerja Tim Organisasi Antidumping;

6. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 427/MPP/Kep/10 /2000 tentang Komite Antidumping Indonesia;

7. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 428/MPP/Kep/10 /2000 tentang Pengangkatan Anggota Komite Antidumping Indonesia;

8. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 216/MPP/Kep/7 /2001 tentang Perubahan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 261/ MPP/ Kep/ 9/ 1996 tentang Tata Cara Persyaratan Pengajuan Penyelidikan Atas Barang Dumping dan Barang Mengandung Subsidi.

9. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 37/ M-Dag/ Per/ 9/ 2008 tentang Surat Keterangan Asal (Certificate of Origin) Terhadap Barang Impor yang dikenakan Tindakan Pengamanan (Safeguard);

Yang terakhir ditetapkannya Undang – undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, adanya pengecualian bagi pelaku usaha perdagangan internasional untuk tidak menerima mata uang rupiah sebagai alat pembayaran untuk transaksi jual beli yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, kebijaksanaan pembangunan di bidang ekonomi yang didukung oleh kemajuan di bidang hukum diharapkan dapat terciptanya kerangka landasan guna menunjang pembangunan nasional yang berkelanjutan.


(4)

2.3. Mata Uang

Uang sebagai alat tukar yang sifatnya fleksibel karena dapat ditukarkan segala macam kebutuhan hidup berupa apa saja dan dimana saja.24 Uang suatu negara haruslah diterima setidak – tidaknya di negara bersangkutan. Agar dapat diterima oleh masyarakat maka harus ada kepercayaan masyarakat terhadap uang dimaksud. Kepercayaan masyarakat terhadap uang antara lain ditentukan dari reputasi lembaga yang mengeluarkan dan mengedarkan uang adalah bank sentral. Oleh karena itu bank sentral perlu memiliki reputasi yang baik. Uang sebagai alat pembayaran yang sah, dalam perekonomian suatu negara mempunyai beberapa fungsi penting yaitu sebagai alat penukar atau alat pembayaran dan pengukur harga. Sehingga dapat dikatakan uang merupakan alat utama perekonomian. Tanpa uang, perekonomian suatu negara akan lumpuh bahkan tidak dapat dilaksanakan.

Keberadaan suatu negara yang berdaulat ditandai dengan kepemilikan oleh negara tersebut atas suatu wilayah teritorial tertentu, rakyat yang berdiam dalam wilayah teritorial dimaksud dan pemerintahan yang berdaulat. Disamping adanya wilayah, rakyat dan pemerintahan, untuk lebih menegaskan identitas keberadaan suatu negara, diperlukan simbol – simbol kenegaraan, antara lain berupa bendera, lambang negara, lagu kebangsaan, dan mata uang. Bila dilihat dari kepentingan perekonomian suatu negara maka yang paling berperan dalam kehidupan masyarakat adalah mata uang.

2.3.1. Pengertian Mata Uang

Adanya mata uang suatu negara menunjukkan salah satu ciri bahwa negara yang bersangkutan berdaulat. Mata uang adalah alat pembayaran transaksi ekonomi yang digunakan di suatu negara.25 Di setiap negara mata uangnya berbeda antara satu negara dengan negara lainnya.

24 Gatot Supramono, op.cit. h. 9.


(5)

Dengan mata uang berbeda – beda transaksi perdagangan antar negara dilakukan dengan kurs. Istilah mata uang merupakan terjemahan dari istilah currency yang berarti uang yang dikeluarkan oleh Bank Sentral.26 Mata uang terdiri dari dua jenis yakni uang logam dan uang kertas yang dikenal dengan sebutan uang kartal. Istilah uang berarti adalah semua jenis uang yang berada dalam perekonomian, yakni uang kartal yang dikeluarkan oleh Bank Sentral ditambah dengan uang giral yang dikeluarkan oleh bank – bank umum.

2.3.2. Valuta Asing Sebagai Alat Pembayaran

Valuta asing atau valas atau foreign exchange adalah mata uang yang dikeluarkan dan digunakan sebagai alat pembayaran yang sah di negara lain. Atau, seluruh kewajiban terhadap mata uang asing yang dapat dibayar di luar negeri, baik berupa pembayaran, pelunasan utang piutang, maupun simpanan pada bank di luar negeri. Transaksi valas dapat diartikan sebagai kesepakatan antara dua pihak untuk melakukan pertukaran mata uang asing yang dimiliki dengan mengikuti ketentuan kurs mata uang pada saat itu. Uang selalu ada hubungannya dengan mata uang dan mata uang selalu berhubungan dengan suatu negara karena setiap negara menentukan sendiri mata uangnya.27 Kurs Mata Uang adalah nilai sebuah mata uang negara tertentu yang diukur, dibandingkan, atau dinyatakan dalam mata uang negara lain.28 Sehubungan dengan itu, pada Pasal 2 ayat (1) UU Mata Uang mencantumkan mata uang Negara Republik Indonesia adalah Rupiah. Uang rupiah adalah alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Republik Indonesia.

Hakekat valas adalah uang asing. Uang asing adalah uang yang diterbitkan sebagai alat bayar yang sah oleh suatu negara, di dalam maupun diluar wilayah negara negaranya, dengan bahan fisik

26 Cita Yustisia Serfiyani & Iswi Hariyani, 2013, Pasar Uang & Pasar Valas, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,

h. 97.

27 Gatot Supramono, op.cit. h. 13


(6)

dan penanda tertentu. Valas merupakan uang asing yang berfungsi sebagai alat tukar sah yang diterbitkan secara resmi oleh suatu negara.29 Untuk dapat dikategorikan sebagai alat tukar yang sah, suatu mata uang asing harus memenuhi sekurang – kurangnya 3 (tiga) persyaratan, yaitu:

a. diterbitkan oleh suatu negara;

b. memenuhi persyaratan fisik dan nilai tertentu; dan

c. berfungsi sebagai alat tukar resmi di negara bersangkutan.

Persyaratan valas sebagai alat tukar resmi yang diterbitkan oleh negara tertentu, atau setidak – tidaknya oleh suatu lembaga yang diberi otoritas oleh negara untuk itu harus dipenuhi oleh setiap valas. Di Indonesia, kewenangan ini oleh negara diberikan kepada Bank Indonesia.


Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Pengecualian Penggunaan Mata Uang Rupiah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang

1 75 109

Analisis Yuridis Pengecualian Penggunaan Mata Uang Rupiah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang

0 8 109

Kepastian Hukum Penggunaan Bitcoin Dalam Sistem Pembayaran Di Indonesia dan Perlindungan Hukum Bagi Penggunanya Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

17 54 33

PENGGUNAAN MATA UANG ASING DALAM PENETAPAN TARIF DI PELABUHAN DALAM NEGERI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG DAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTAN.

0 1 1

STUDI KOMPARASI PENGATURAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG DAN SINGAPORE PENAL CODE.

0 1 14

Analisis Yuridis Pengecualian Penggunaan Mata Uang Rupiah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang

0 0 9

Analisis Yuridis Pengecualian Penggunaan Mata Uang Rupiah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang

0 0 1

Analisis Yuridis Pengecualian Penggunaan Mata Uang Rupiah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang

0 0 16

Analisis Yuridis Pengecualian Penggunaan Mata Uang Rupiah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang

0 2 36

Analisis Yuridis Pengecualian Penggunaan Mata Uang Rupiah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang

0 0 4