berhubungan. Demikian juga sebaliknya, sekitar 20 pasien dengan cedera kepala berat memiliki cedera maksilofasial Goodisson, 2004. Sekitar 10 pasien dengan
fraktur kraniomaksilofasial memiliki perdarahan intrakranial yang membutuhkan intervensi bedah saraf segera Hohlrieder, 2004. Di Nigeria, cedera kepala
merupakan cedera penyerta yang paling sering pada trauma maksilofasial yaitu sebanyak 55,8 Obuekwe, 2004. Cedera maksilofasial tanpa ataupun disertai
fraktur maksilofasial mempunyai resiko untuk terjadinya cedera kepala yang akut ataupun yang tertunda Rajandram, 2014.
Pasien dengan fraktur maksilofasial yang disertai cedera kepala memiliki prognosis yang buruk dan sebagian dari pasien tersebut dapat berakhir pada
kecacatan fungsional bahkan kematian Yadav, 2012 dan Beogo, 2013. Resiko kematian pada trauma maksilofasial yang disertai cedera kepala lebih tinggi 13
hingga 75 kali dibandingkan dengan cedera mandibula saja Plaisier, 2000. Secara umum, adanya muntah, penurunan kesadaran, atau skor Glasgow Coma Scale GCS
yang rendah penting untuk mencurigai cedera kepala. Namun, pada pasien dengan trauma maksilofasial, cedera kepala dapat terjadi tanpa dijumpai tanda-tanda tersebut
Isik, 2012.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti tentang hubungan fraktur maksilofasial dan kelainan intrakranial pada CT-scan kepada di Rumah Sakit
Umum Pusat Haji Adam Malik pada tahun 2011 hingga 2013.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah “Bagaimana hubungan fraktur maksilofasial dan kelainan intrakranial pada CT-scan kepala di Rumah Sakit Umum
Pusat Haji Adam Malik?”.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan fraktur maksilofasial dan kelainan intrakranial pada CT-scan kepada di Rumah Sakit Umum
Pusat Haji Adam Malik pada tahun 2011 hingga 2013.
1.3.2 Tujuan Khusus
Yang menjadi tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1.
Mengetahui angka kejadian fraktur maksilofasial di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik pada tahun 2011 hingga 2013.
2. Mengetahui gambaran jenis-jenis fraktur maksilofasial di Rumah Sakit
Umum Pusat Haji Adam Malik pada tahun 2011 hingga 2013.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi: 1.
Rumah sakit Untuk masukan bagi pihak rumah sakit dapat membuat standar prosedur
untuk menanggapi cedera intrakranial pada trauma maksilofasial. 2.
Tenaga medis Untuk masukan bagi tenaga medis khususnya yang bekerja di instalasi
gawat darurat dapat lebih memperhatikan pasien dengan trauma maksilofasial untuk mengantisipasi cedera intrakranial yang mungkin
menyertai. 3.
Peneliti
Sebagai wadah untuk mengembangkan kemampuan peneliti dalam menulis Karya Tulis Ilmiah serta daya analisa peneliti.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fraktur Maksilofasial
Cedera atau fraktur pada daerah wajah memiliki signifikansi yang tinggi karena berbagai alasan. Daerah wajah memberikan perlindungan terhadap kepala dan
memiliki peran penting dalam penampilan. Daerah maksilofasial berhubungan dengan sejumlah fungsi penting seperti penglihatan, penciuman, pernafasan,
berbicara, dan juga memakan. Fungsi-fungsi ini sangat terpengaruh pada cedera dan berakibat kepada kualitas hidup yang buruk Singh, 2012.
Cedera maksilofasial mencakup jaringan lunak dan tulang-tulang yang membentuk struktur maksilofasial. Tulang-tulang tersebut antara lain
Japardi, 2004: 1.
Os. Nasoorbitoethmoid 2.
Os. Zygomatikomaksila 3.
Os. Nasal 4.
Os. Maksilla 5.
Os. Mandibula
Fraktur adalah hilangnya atau putusnya kontinuitas jaringan keras tubuh. Fraktur maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah yaitu
tulang nasoorbitoethmoid, temporal, zygomatikomaksila, nasal, maksila, dan juga mandibula Muchlis, 2011.
2.1.1 Epidemiologi Fraktur Maksilofasial
Cedera meliputi 9 dari kematian di dunia dan 12 dari beban penyakit di dunia pada tahun 2000. Lebih dari 90 kematian di dunia akibat cedera terjadi di
negara berkembang Devadiga, 2007.
Pasien pria merupakan pasien dengan fraktur maksilofasial tersering yaitu sebanyak 75,9 di India. Hasil serupa juga didapatkan dari penelitian di Israel
sebanyak 74,2 dan Iran dengan proporsi 4,5 banding 1 untuk pria. Usia dekade ketiga mendominasi pasien dengan fraktur maksilokranial Guruprasad, 2014; Yoffe,
2008; dan Zargar, 2004. Di Indonesia, pasien fraktur maksilofasial dengan jenis kelamin pria mewakili 81,73 Muchlis, 2011.
2.1.2 Etiologi Fraktur Maksilofasial
Dalam empat dekade terakhir, kejadian fraktur maksilofasial terus meningkat disebabkan terutama akibat peningkatan kecelakaan lalu lintas dan kekerasan.
Hubungan alkohol, obat-obatan, mengemudi mobil, dan peningkatan kekerasan merupakan penyebab utama terjadinya fraktur maksilofasial Ykeda, 2012.
Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab tertinggi dari fraktur maksilofasial. Di India, 97,1 fraktur maksilofasial disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas dengan
penyebab lain yaitu terjatuh dari ketinggian, kekerasan, dan akibat senjata api Singh, 2012. Penelitian lain di India menunjukkan bahwa 74,3 fraktur maksilofasial
disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas Guruprasad, 2011.
2.1.3 Klasifikasi Fraktur Maksilofasial 2.1.3.1 Fraktur Nasoorbitoethmoid NOE
Anatomi kompleks ini yang berliku-liku mengakibatkan fraktur NOE merupakan fraktur yang paling sulit untuk direkonstruksi. Kompleks NOE terdiri dari
sinus frontalis, sinus ethmoid, anterior cranial fossa, orbita, tulang temporal, dan tulang nasal Tollefson, 2013. Medial canthal tendon MCT berpisah sebelum
masuk ke dalam frontal process dari maksila. Kedua tungkai dari tendon ini mengelilingi fossa lakrimal. Komponen utama dari NOE ini dikelilingi oleh tulang
lakrimal di posterior, tulang nasal dan pyriform aperture di anterior, oleh tulang
frontal di kranial, maksila di inferior, rongga udara ethmoid di tengah, dan orbita di lateral Nguyen, 2010.
Klasifikasi yang digunakan pada fraktur NOE adalah klasifikasi Markowitz- Manson. Klasifikasi Markowitz-Manson terdiri dari tiga tipe yaitu Aktop, 2013:
1. Tipe I: MCT menempel pada sebuah fragmen sentral yang besar.
2. Tipe II: MCT menempel pada fragmen sentral yang telah pecah namun dapat
diatasi atau MCT menempel pada fragmen yang cukup besar untuk memungkinkan osteosynthesis.
3. Tipe III: MCT menempel pada sentral fragmen yang pecah dan tidak dapat
diatasi atau fragmen terlalu kecil untuk memungkinkan terjadinya osteosynthesis atau telah terlepas total.
Fraktur NOE meliputi 5 dari keseluruhan fraktur maksilafasial pada orang dewasa. Kebanyakan fraktur NOE merupakan fraktur tipe I. Fraktur tipe III
merupakan fraktur yang paling jarang dan terjadi pada 1-5 dari seluruh kasus fraktur NOE Nguyen, 2010.
Gambar 2.1 Klasifikasi Markowitz-Manson Sumber: S. Aktop dalam A Textbook of Advanced Oral and Maxillofacial Surgery
2013
Gambar 2.2 Klasifikasi Markowitz-Manson Sumber: T. Galloway dalam Midface Trauma 2012
2.1.3.2 Fraktur Zygomatikomaksila
Zygomaticomaxillary complex ZMC memainkan peran penting pada struktur, fungsi, dan estetika penampilan dari wajah. ZMC memberikan kontur pipi
normal dan memisahkan isi orbita dari fossa temporal dan sinus maksilaris. Zygoma merupakan letak dari otot maseter, dan oleh karena itu berpengaruh terhadap proses
mengunyah Tollefson, 2013.
Fraktur ZMC menunjukkan kerusakan tulang pada empat dinding penopang yaitu zygomaticomaxillary, frontozygomatic FZ, zygomaticosphenoid, dan
zygomaticotemporal. Fraktur ZMC merupakan fraktur kedua tersering pada fraktur fasial setelah fraktur nasal Meslemani, 2012.
Klasifikasi pada fraktur ZMC yang sering digunakan adalah klasifikasi Knight dan North. Klasifikasi ini turut mencakup tentang penanganan terhadap fraktur ZMC.
Klasifikasi tersebut dibagi menjadi enam yaitu Dadas, 2007:
1. Kelompok 1: Fraktur tanpa pergeseran signifikan yang dibuktikan secara
klinis dan radiologi 2.
Kelompok 2: Fraktur yang hanya melibatkan arkus yang disebabkan oleh gaya langsung yang menekuk malar eminence ke dalam
3. Kelompok 3: Fraktur yang tidak berotasi
4. Kelompok 4: Fraktur yang berotasi ke medial
5. Kelompok 5: Fraktur yang berotasi ke lateral
6. Kelompok 6: Fraktur kompleks yaitu adanya garis fraktur tambahan
sepanjang fragmen utama
Berdasarkan klasifikasi Knight dan North, fraktur kelompok 2 dan 5 hanya membutuhkan reduksi tertutup tanpa fiksasi, sementara fraktur kelompok 3, 4, dan 6
membutuhkan fiksasi untuk reduksi yang adekuat Meslemani, 2012.
2.1.3.3 Fraktur Nasal
Tulang nasal merupakan tulang yang kecil dan tipis dan merupakan lokasi fraktur tulang wajah yang paling sering. Fraktur tulang nasal telah meningkat baik
dalam prevalensi maupun keparahan akibat peningkatan trauma dan kecelakaan lalu lintas Baek, 2013. Fraktur tulang nasal mencakup 51,3 dari seluruh fraktur fasial
Haraldson, 2013.
Klasifikasi fraktur tulang nasal terbagi menjadi lima yaitu Ondik, 2009: 1.
Tipe I: Fraktur unilateral ataupun bilateral tanpa adanya deviasi garis tengah 2.
Tipe II: Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi garis tengah 3.
Tipe III: Pecahnya tulang nasal bilateral dan septum yang bengkok dengan penopang septal yang utuh
4. Tipe IV: Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi berat atau rusaknya
garis tengah hidung, sekunder terhadap fraktur septum berat atau dislokasi septum
5. Tipe V: Cedera berat meliputi laserasi dan trauma dari jaringan lunak,
saddling dari hidung, cedera terbuka, dan robeknya jaringan
Gambar 2.3 Klasifikasi Fraktur Nasal Sumber: M.P. Ondik dalam Archives of Facial Plastic Surgery edisi 11 2009
2.1.3.4 Fraktur Maksila dan LeFort
Maksila mewakili jembatan antara basal kranial di superior dan lempeng oklusal gigi di inferior. Hubungan yang erat dengan rongga mulut, rongga hidung,
dan orbita dan sejumlah struktur yang terkandung di dalamnya dan melekat dengan maksila merupakan struktur yang penting baik secara fungsional maupun kosmetik.
Fraktur pada tulang-tulang ini memiliki potensi yang mengancam nyawa Moe, 2013.
Klasifikasi fraktur maksila yang paling utama dilakukan oleh Rene Le Fort pada tahun 1901 di Prancis. Klasifikasi Le Fort terbagi menjadi tiga yaitu Aktop,
2013: 1.
Le Fort I Garis fraktur horizontal memisahkan bagian bawah dari maksila, lempeng
horizontal dari tulang palatum, dan sepertiga inferior dari sphenoid pterygoid processes dari dua pertiga superior dari wajah. Seluruh arkus dental maksila
dapat bergerak atau teriris. Hematoma pada vestibulum atas Guerin’s sign dan epistaksis dapat timbul.
2. Le Fort II
Fraktur dimulai inferior ke sutura nasofrontal dan memanjang melalui tulang nasal dan sepanjang maksila menuju sutura zygomaticomaxillary, termasuk
sepertiga inferomedial dari orbita. Fraktur kemudian berlanjut sepanjang sutura zygomaticomaxillary melalui lempeng pterygoid.
3. Le Fort III
Pada fraktur Le Fort III, wajah terpisah sepanjang basal tengkorak akibat gaya yang langsung pada level orbita. Garis fraktur berjalan dari regio nasofrontal
sepanjang orbita medial melalui fissura orbita superior dan inferior, dinding lateral orbita, melalui sutura frontozygomatic. Garis fraktur kemudian
memanjang melalui sutura zygomaticotemporal dan ke inferior melalui sutura sphenoid dan pterygomaxillary.
Gambar 2.4 Klasifikasi LeFort Sumber: L. Gartshore dalam British Journal of Oral Maxillofacial Surgery edisi 48
2010 Dua tipe fraktur maksila non-Le Fort lain relatif umum. Yang pertama adalah
trauma tumpul yang terbatas dan sangat terfokus yang menghasilkan segmen fraktur yang kecil dan terisolasi. Sering kali, sebuah palu atau instrumen lain sebagai senjata
penyebab. Alveolar ridge, dinding anterior sinus maksila dan nasomaxillary junction merupakan lokasi yang umum pada cedera ini. Yang kedua adalah gaya dari
submental yang diarahkan langsung ke superior dapat mengakibatkan beberapa fraktur vertikal melalui beberapa tulang pendukung horizontal seperti alveolar ridge,
infraorbital rim, dan zygomatic arches Moe, 2013.
2.1.3.5 Fraktur Mandibula
Mandibula mengelilingi lidah dan merupakan satu-satunya tulang kranial yang bergerak. Pada mandibula, terdapat gigi-geligi bagian bawah dan pembuluh
darah, otot, serta persarafan. Mandibula merupakan dua buah tulang yang menyatu menjadi satu pada simfisis Stewart, 2008.
Mandibula terhubung dengan kranium pada persendian temporomandibular TMJ. Fungsi yang baik dari mandibula menentukan gerakan menutup dari gigi.
Fraktur mandibula dapat mengakibatkan berbagai variasi dari gangguan jangka pendek maupun panjang yaitu nyeri TMJ, gangguan mengatupkan gigi,
ketidakmampuan mengunyah, gangguan salivasi, dan nyeri kronis. Fraktur mandibula diklasifikasikan sesuai dengan lokasinya dan terdiri dari simfisis, badan, angle,
ramus, kondilar, dan subkondilar Stewart, 2008.
Gambar 2.5 Lokasi Fraktur Mandibula Sumber: C. Stewart dalam Emergency Medicine Practice volume 10 2008
2.2 X-Ray
Fisikawan Jerman yang pertama sekali menemukan X-ray adalah Wilhelm Rontgen pada tahun 1895. Dia jugalah yang memberi nama X-ray meskipun banyak
yang menyebut sebagai “Rontgen” Assmus, 1995. Selama lebih dari dua dekade, nilai dari X-ray kepala pada pasien dengan cedera kepala telah dipertanyakan.
Meskipun begitu, pada tahun 1999, The Royal College of Surgeons of England RCSE mengeluarkan panduan untuk penggunaan X-ray pada cedera kepala. Kriteria
untuk dilakukan X-ray pada cedera kepala di rumah sakit yang tersedia CT scan selama 24 jam adalah Soysa, 2005:
• Kecurigaan cedera yang bukan disebabkan oleh kecelakaan pada anak-anak • Keberadaan benjolan lunak khususnya di regio parietotemporal
• Kecurigaan terjadi trauma penetrasi • Kecurigaan terjadi fraktur compound
2.3 Computed Tomography Scanning CT-scan Kepala
CT-scan kepala adalah prosedur pengabaran X-ray yang menghasilkan gambar dari isi intrakranial sebagai hasil dari penyerapan X-ray yang spesifik oleh
jaringan yang diperiksa. Alat CT-scan menghasilkan sejumlah gambar cross- sectional dari otak dan gambar tiga dimensi dari kranium dan pembuluh darah dapat
dihasilkan apabila diperlukan. CT-scan tidak menyakitkan, tidak invasif, dan secara umum akurat Fertikh, 2013.
Terdapat beberapa indikasi dilakukan CT-scan kepala yaitu Fertikh, 2013: 1.
Trauma kepala 2.
Stroke 3.
Nyeri kepala 4.
Lesi yang meningkatkan tekanan intrakranial 5.
Kejang 6.
Kecurigaan terhadap hidrosefalus 7.
Kecurigaan terhadap perdarahan intrakranial 8.
Penyakit vaskular intrakranial
Menurut National Institute for Health and Clinical Excellence 2007, khusus pada trauma kepala, terdapat indikasi-indikasi yang mengharuskan dilakukan CT-
scan segera yaitu: 1.
Glasgow Coma Scale GCS kurang dari 13 pada penilaian awal di instalasi gawat darurat
2. GCS kurang dari 15 selama 2 jam sejak terjadinya trauma pada penilaian di
instalasi gawat darurat 3.
Kecurigaan fraktur tulang tengkorak yang terbuka atau tertekan 4.
Tanda-tanda adanya fraktur basis kranial 5.
Kejang post-trauma 6.
Defisit neurologis fokal 7.
Lebih dari satu episode muntah 8.
Amnesia selama lebih dari 30 menit sebelum kejadian
Selain indikasi yang disebutkan di atas, pada trauma kepala minor beberapa indikasi perlu dipertimbangkan untuk melakukan CT-scan kepala. Indikasi-indikasi
tersebut antara lain nyeri kepala, muntah, penurunan kesadaran atau amnesia, dan intoksikasi alkohol Sharif-Alhoseini, 2011.
2.3.1 Kelainan Intrakranial pada CT-scan Kepala 2.3.1.1 Fraktur
Ketebalan tulang kranial tidak merata. Oleh karena itu, daya benturan yang dibutuhkan untuk mengakibatkan fraktur tergantung pada lokasi benturan. Fraktur
kranial lebih mudah terjadi pada tulang temporal dan parietal yang tipis, sinus sphenoid, foramen magnum, petrous temporal ridge, dan bagian dalam dari sphenoid
wings pada basal kranial Khan, 2013.
Fraktur kranial linear merupakan fraktur yang paling sering dan melibatkan fraktur pada tulang namun tidak dijumpai pergeseran. Fraktur ini umumnya
disebabkan karena perpindahan energi yang rendah akibat trauma tumpul di seluruh permukaan tengkorak yang luas Khan, 2013.
Fraktur kranial linear terjadi karena efek kontak yang terjadi sekunder terhadap impact. Pergerakan kepala dan akselerasi tidak memegang peranan dalam
terjadinya fraktur. Ketika tengkorak terkena impact pada daerah yang luas, dapat terjadi deformasi perubahan bentuk daro tengkorak dengan inward dan outward
bending. Fraktur kranial linear yang terjadi pada tulang temporal dapat memutuskan arteria meningea media yang berjalan di dalam sebuah alur pada tulang temporal,
sehingga terjadi EDH Sastrodiningrat, 2012.
Gambar 2.6 Fraktur Linear Sumber: University of Virginia 2013
Perpindahan energi yang tinggi dapat mengakibatkan fraktur kranial terdepresi, dimana fragmen tulang terdorong ke dalam. Fraktur ini biasanya memecah
dengan fragmen tulang dimulai dari titik benturan maksimal dan menyebar ke perifer Khan, 2013. Fraktur kranial terdepresi ditentukan apabila segmen fraktur terletak
lebih rendah dibandingkan segmen yang normal Prashkant, 2011.
Gambar 2.7 Fraktur Kranial Terdepresi Sumber: J. Paulsen dalam WestJEM volume 12 2010
Pada anak-anak, garis fraktur terkadang susah dibedakan dengan garis sutura aksesoris. Terlebih pada pemakaian foto polos, penilaian fraktur lebih menantang
akibat ketidakmampuan untuk menilai keadaan jaringan otak. Sutura aksesoris dapat dibedakan dari fraktur melalui poin-poin berikut Sanchez, 2010:
1. Fraktur yang sederhana dan tidak terdepresi memiliki kepadatan yang tinggi
dan tepi yang tidak sklerotik. Sebaliknya, sutura aksesoris biasanya memiliki pola zigzag dengan tepi sklerotik.
2. Fraktur akibat benturan yang kuat dapat melewati garis sutura atau
memanjang dari satu sutura besar ke sutura lainnya, sementara sutura aksesoris umumnya bergabung dengan sutura besar.
3. Sutura aksesoris sering sekali dijumpai pada kedua sisi dan simetris terutama
pada tulang parietal. 4.
Pembengkakan jaringan lunak atau hematoma sering sekali dijumpai pada fraktur kranial yang akut. Namun, tidak adanya hematoma subgaleal tidak
menyingkirkan diagnosa fraktur terutama apabila cedera terjadi beberapa hari sebelumnya.
2.3.1.2 Perdarahan Epidural
Perdarahan epidural atau epidural hematoma EDH merupakan perdarahan pada ruang antara duramater dengan tulang kranial. EDH dapat menjadi berbahaya
apabila tidak didiagnosis dan ditangani dengan baik McDonald, 2013. Epidural hematoma biasanya terjadi akibat cedera pada arteri meningeal media atau cabang-
cabangnya. Hematoma epidural dapat menekan lobus temporal, frontal, dan parietal tergantung pada ukurannya dan arteri yang cedera. Epidural hematoma terlihat
sebagai gambaran hiperdens bikonveks Al-Nakshabandi, 2001. EDH terjadi 2 dari seluruh cedera kepala dan lebih dari 15 dari cedera
kepala yang fatal. Bekuan darah paling banyak ditemukan di daerah temporoparietal 73 dimana arteri menigea media dan vena-vena mengalami kerusakan putus
biasanya sebagai akibat fraktur tulang temporal. Sebelas persen 11 dari hematoma didapatkan di fossa kranial anterior anterior meningeal artery, 9 di daerah
parasagittal sinus sagittalis, dan 7 di fossa posterior occipital meningeal artery dan sinus-sinus transverses dan sigmoid, 10 - 40 EDH merupakan pendarahan
vena sebagai akibat robekan sinus duramater, vena emissaria atau pelebaran vena venous lakes di duramater Sastrodiningrat, 2012.
Gambar 2.8 Perdarahan Epidural Sumber: G.L. Galia dalam New England Journal of Medicine edisi 360 2009
2.3.1.3 Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural adalah kumpulan darah di bawah lapisan dalam dari duramater tapi berada di luar otak dan membran arakhnoid. Perdarahan subdural
timbul tidak hanya pada pasien dengan cedera kepala berart melainkan juga pada pasien dengan cedera kepala ringan terutama pada orang tua atau pasien yang
mengkonsumsi antikoagulan. Perdarahan subdural juga dapat terjadi secara spontan Meagher, 2013.
Secara umum, perdarahan subdural akut terjadi kurang dari 72 jam dan terlihat hiperdens pada CT-scan. Fase subakut terjadi 3-7 hari setelah cedera.
Perdarahan subdural yang kronik terjadi dalam rentang waktu berminggu-minggu dan terlihat hipodens Meagher, 2013.
Gambar 2.9 Perdarahan Subdural Akut Sumber: P.E. Marik dalam Chest Journal volume 122 2002
2.3.1.4 Perdarahan Subaraknoid
Perdarahan subaraknoid atau subarachnoid hemorrhage SAH adalah keadaan dimana terjadi perdarahan pada rongga subaraknoid di sekitar otak dan
medula spinalis. Penyebab paling sering dari perdarahan subaraknoid adalah trauma kepala dan ruptur dari aneurisma intrakranial Gershon, 2013.
Pada CT-scan, perdarahan subaraknoid terlihat sebagai zat tidak berbentuk dan hiperdens yang mengisi ruang yang normalnya hipodens. Sisterna subaraknoid
dan sulkus yang normalnya berwarna hitam dapat terlihat putih pada perdarahan akut. Temuan ini terlihat lebih jelas pada ruang subarakhnoid yang besar seperti sisterna
suprasellar dan fissura sylvian Gershon, 2013.
Gambar 2.10 Perdarahan Subaraknoid Sumber: H. Koizumi dalam Radiology Case Reports volume 7 2012
2.3.1.5 Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intraserebral adalah perdarahan yang terjadi di dalam parenkim otak. Perdarahan intraserebral terdiri atas tiga fase yaitu perdarahan awal,
pengembangan hematoma, dan edema perihematoma. Perdarahan awal disebabkan oleh rupturnya arteri di otak. Pengembangan hematoma berlangsung beberapa jam
setelah dimulainya gejala awal melibatkan peningkatan tekanan intrakranial. Peningkatan tekanan intrakranial ini akan mengganggu blood-brain barrier. Setelah
pengembangan hematoma, terbentuk edema otak di sekitar hematoma disebabkan oleh inflammasi dan terganggunya blood-brain barrier Magistris, 2013. Pada CT-
scan, perdarahan intraserebral terlihat sebagai lesi hiperdens di parenkim otak Tshikwela, 2012.
Gambar 2.11 Perdarahan Intraserebral A dengan Perdarahan Subarakhnoid B Sumber: K.S. Yew dalam American Family Physician edisi 80 2009
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Teori Penelitian
Gambar 3.1 Kerangka Teori Penelitian
Trauma
Fraktur Maksilofasial
Inertial Contact
Co
Akselerasi Deselerasi
Rotasional Counter
CT-Scan
Kelainan Intrakranial pada CT-Scan • Fraktur
• Perdarahan Epidural • Perdarahan Intraserebral
• Perdarahan Subaraknoid • Perdarahan Subdural
•
Perdarahan Intraventrikular kontusi
Cedera Kepala Ringan
Cedera Kepala Sedang
Cedera Kepala Berat
+
Fraktur Maksilofasial • Fraktur Nasoorbitoethmoid
• Fraktur Zygomatikomaksila • Fraktur Nasal
• Fraktur Maksila • Fraktur
Mandibula • Lefort I
• Lefort II
3.2 Kerangka Konsep Penelitian