PERILAKU TIDAK MEMILIH MASYARAKAT PEKON KEDIRI DALAM PEMILUKADA KABUPATEN PRINGSEWU 2011

(1)

ABSTRAK

PERILAKU TIDAK MEMILIH MASYARAKAT DESA KEDIRI DALAM PEMILUKADA KABUPATEN PRINGSEWU 2011

Oleh

Hendra Tirta Andhika

Perilaku tidak memilih merupakan suatu gerakan individu atau sekelompok orang yang tidak menggunakan hak pilihnya dengan alasan sengaja serta memiliki tujuan yang jelas. Masyarakat Pekon Kediri adalah bagian dari proses pemilukada Pringsewu 2011. Angka perilaku tidak memilih masyarakat Pekon Kediri dalam pemilukada Pringsewu 2011 sebesar 28,69% dan cenderung meningkat dari pemilihan umum sebelumnya. Rumusan masalah penelitian ini, “apakah faktor psikologis, faktor sistem politik, faktor kepercayaan politik, dan faktor sosial-ekonomi menyebabkan perilaku tidak memilih masyarakat Pekon Kediri dalam Pemilukada Kabupaten Pringsewu 2011?”.

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah faktor psikologis, faktor sistem politik, faktor kepercayaan politik, dan faktor sosial-ekonomi menyebabkan perilaku tidak memilih masyarakat Pekon Kediri dalam Pemilukada Pringsewu 2011. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif dengan analisa data kuantitatif. Teknik pengumpulan data yang


(2)

dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada 82 responden dan didukung hasil wawancara serta dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah tabel tunggal.

Hasil penelitian menunjukkan faktor psikologis, faktor sistem politik, faktor kepercayaan politik, dan faktor sosial-ekonomi berpengaruh terhadap perilaku tidak memilih masyarakat Pekon Kediri dalam Pemilukada Pringsewu 2011. Faktor psikologis berpengaruh dominan menyebabkan perilaku tidak memilih masyarakat Desa Kediri. Faktor ini melihat ketidakpuasan masyarakat terhadap aktivitas partai politik akibat ketidakmampuan masyarakat memengaruhi peristiwa dan kebijaksanaan politik. Faktor kepercayaan politik merupakan faktor kedua yang menyebabkan perilaku tidak memilih masyarakat Pekon Kediri. Faktor ini melihat ketidakpercayaan masyarakat terhadap saluran politik dalam bentuk kandidat dan partai politik. Faktor sosial-ekonomi dan sistem pemilu menjadi faktor penunjang lain dalam menyebabkan perilaku tidak memilih masyarakat Desa Kediri dalam Pemilukada Pringsewu 2011.


(3)

ABSTRACT

NON-VOTING BEHAVIOUR OF KEDIRI VILLAGE SOCIETY IN PRINGSEWU GENERAL ELECTION 2011

By

Hendra Tirta Andhika

Non-Voting behavior is an individual or group of people movement who do not use their right to vote by reason of deliberate and have a clear purpose. Kediri Village society is a part of the election process in Pringsewu 2011. Rate of non-voting behaviour Kediri village society in the Pringsewu general election 2011 is 28.69% and tended to increase from the previous general election. Formulation of the research problem, “Is the psychological factors, political system factors, political belief factors, and socio-economic factors causes of non-voting behaviour in the Pringsewu general election 2011 at Kediri Village?”.

The purpose of this research is to identify the psychological factors, political system factors, political belief factors, and socio-economic factors lead to non-voting behaviour in the Pringsewu general election 2011 at Kediri Village. The method used in this research is descriptive research with quantitative data analysis. Data collection techniques done by distributing questionnaires to 82


(4)

respondents and supported by the results of interviews and documentation. The data analysis technique used is a single table.

The results showed psychological factors, factors of political system, political belief factors, and socio-economic factors influence the non-voting behavior of Kediri Village society in Pringsewu general election 2011. Psychological factors having a dominant affect on causing non-voting behavior Kediri Village society. This factor see society dissatisfaction with political parties activities due to the inability of the influence of events and political wisdom. Political trust factor is second factor that lead to non-voting behavior of Kediri Village society. This factor is seen distrust of the access in the form of political candidates and political parties. Socio-economic and electoral systems to be another contributing factor in causing non-voting behavior at Kediri Village society in Pringsewu general election 2011.


(5)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pemilihan umum (Pemilu) merupakan sarana pesta demokrasi dalam suatu negara yang menganut paham demokrasi. Pemilu menjadi sarana pembelajaran dalam mempraktikkan cara berdemokrasi bagi rakyat. Pemilu dapat membentuk kesadaran kolektif segenap unsur bangsa dalam memilih seorang pemimpin berdasarkan hati nuraninya masing-masing. Pemilu di Indonesia menganut asas “Luber“ (Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia). Memasuki era reformasi, berkembang juga asas "Jurdil" (Jujur dan Adil). Berbeda dengan asas “Luber” yang ditujukan bagi pemilih, asas "Jurdil" tidak hanya mengikat kepada pemilih ataupun peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara pemilu.

Pemilu di Indonesia awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan (DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota). Pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres) yang semula dilakukan oleh MPR, akhirnya disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat. Kesepakatan itu merupakan perwujudan dari amandemen keempat UUD 1945 pada tahun 2002. Pilpres yang dipilih langsung oleh rakyat diadakan pertama kali pada pemilu tahun 2004. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007,


(6)

pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pemilukada) juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu. Sistem pemilihan langsung ini akan memberi peluang warga untuk mengaktualisasikan hak-hak politiknya secara lebih baik tanpa harus dipengaruhi oleh kepentingan “elit politik” dalam sistem demokrasi perwakilan. Warga akan mendapatkan kesempatan memperoleh pendidikan politik dan terlibat langsung dalam proses keputusan politik melalui konsep demokrasi langsung ini.

Pemerintah bersama DPR membahas dan mengesahkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Tindak lanjut dari pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini, diselenggarakannya pilkada langsung. Pilkada atau pemilukada (pemilihan umum kepala daerah) pertama kali dilaksanakan pada tanggal 1 Juni 2005 di Kutai Kertanegara. Mantan Menteri Dalam Negeri, Ma’aruf berpendapat bahwa:

“pilkada langsung sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah. Keberhasilan otonomi daerah salah satunya juga ditentukan oleh pemimpin lokal. Semakin baik pemimpin lokal yang dihasilkan dalam pilkada langsung, maka komitmen pemimpin lokal dalam mewujudkan tujuan otonomi daerah, antara lain untuk meningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memerhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat agar dapat diwujudkan.” (sumber: Artikel Kompas, 22 Februari 2005)

Pemilukada langsung merupakan perwujudan dari keberhasilan otonomi suatu daerah. Keberhasilan tersebut dapat diketahui ketika pemimpin suatu daerah dapat mewujudkan tujuan otonomi daerah dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat daerahnya. Tujuan ideal pemilukada langsung menurut Suharizal


(7)

(2011:41) antara lain terpilihnya kepala daerah yang terpercaya, memiliki kemampuan, kepribadian, dan moral yang baik. Idealnya, kepala daerah terpilih adalah orang-orang yang berkenan di hati rakyat, dikenal dan mengenal daerah, serta memiliki ikatan emosional kuat terhadap rakyat daerah.

Pemilukada langsung dipastikan membuka ruang partisipasi politik rakyat untuk mewujudkan kedaulatan dalam menentukan pemimpin di daerah. Partisipasi politik menurut Herbert McClosky dalam Miriam Budiardjo (2008:367) adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum. Partisipasi politik masyarakat dalam pemilukada langsung saat ini dapat terlihat dari berbagai kegiatan dan tindakan. Masyarakat pada umumnya akan berpartisipasi dengan mengikuti kegiatan kampanye, diskusi politik, bergabung dalam kelompok kepentingan, serta ikut dalam aktivitas pemberian suara sebagai pemilih.

Semangat dilaksanakannya pemilukada langsung merupakan koreksi dari sistem demokrasi tidak langsung atau lebih dikenal demokrasi perwakilan di era sebelumnya. Demokrasi saat ini berakar langsung pada pilihan rakyat (pemilih). Mengutip sepenggal kalimat dalam kata pengantar oleh Dieter Roth dalam bukunya yang berjudul “Studi Ilmu Empiris: Sumber, Teori-Teori, Instrumen, dan Metode” yang mengatakan bahwa perhatian pada pemilihan dan perilaku pemilih dalam pemungutan suara meningkat sejalan dengan


(8)

keberhasilan demokrasi di Eropa dan negara barat lainnya sejak abad 19 hingga kini abad 21. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa perilaku pemilih sangat berkaitan erat dan menjadi tolak ukur dalam pemilu/pemilukada agar dapat mewujudkan keberhasilan demokrasi.

Perilaku pemilih (voting behavior) telah banyak dikaji oleh berbagai ahli. Perilaku pemilih yang dikaji ini menggambarkan berbagai orientasi masyarakat dalam menentukan pilihannya. Perilaku pemilih merupakan suatu tindakan pemilih terkait pemilihan langsung yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni psikologis, sosiologis, dan rasional pemilih. Pengaruh faktor-faktor tersebut tidak menutup kemungkinan seorang pemilih menunjukkan perilaku tidak memilih atau lebih dikenal dengan golput. Fenomena politik dari golput ini merupakan salah satu bentuk dalam kehidupan berdemokrasi. Adanya golput pun telah menjadi tolak ukur dari kualitas demokrasi sehingga ada yang menyebut golput sebagai bentuk dari demokrasi radikal.

Golput di Indonesia sudah lama terjadi sejak pemilu tahun 1995, tetapi bahasannya baru mengemuka sejak pemilu 1971. Arief Budiman dalam Arbi Sanit (1992:46-47) menyatakan bahwa golput adalah sebuah identifikasi bagi mereka yang tidak puas dengan keadaan dan aturan main demokrasi yang diinjak-injak oleh partai politik dan pemerintah demi memenangkan pemilu dengan menggunakan aparat negara dengan cara di luar batas aturan main demokratis. Ketidakyakinan terhadap politik dan pemerintahan merupakan penyebab lain masyarakat yang memilih golput. Masyarakat yang sama sekali tidak melibatkan diri dalam kegiatan politik disebut sebagai apati (apathy).


(9)

Masyarakat yang bersikap apatis adalah mereka yang tidak ikut pemilihan karena sikap acuh tak acuh dan tidak tertarik pada, atau kurang paham mengenai masalah politik. Ada juga karena tidak yakin bahwa usaha untuk memengaruhi kebijakan pemerintah akan berhasil (Miriam Budiardjo, 2008:370).

Tanggal 28 September 2011, pemilukada di tiga Daerah Otonomi Baru (DOB) Provinsi Lampung diselenggarakan secara bersamaan. Ketiga DOB tersebut adalah Pringsewu, Mesuji, dan Tulang Bawang Barat. Pelaksanaan tahapan pemilihan bersamaan ini disepakati tiga DOB setelah melakukan rapat bersama di KPU Provinsi Lampung pada tanggal 28 Februari 2011 (sumber: Artikel Tribun Lampung, 6 Maret 2011). Pemilukada ini merupakan pemilihan kepala daerah secara langsung yang pertama kali dilaksanakan di daerah pemekaran dari Kabupaten Tanggamus. Kabupaten Pringsewu berdiri sendiri menjadi kabupaten yang mandiri sejak disahkan pada tanggal 29 Oktober 2008.

Pemilukada Pringsewu 2011 masih menyisakan permasalahan terkait fenomena politis. Fenomena ini terkait masyarakat sebagai pemilih dalam pemilukada tersebut. Pemilukada Pringsewu secara garis besar menunjukkan tingkat partisipasi politik yang masuk kategori tinggi, tetapi tingkat partisipasi politik yang aktif dalam sistem politik selalu diikuti oleh partisipasi politik yang pasif. Bentuk dari partisipasi politik yang golput dalam sistem politik tidak termasuk ke dalam partisipasi politik aktif maupun pasif. Partisipasi politik golput adalah pihak yang tidak melakukan partisipasi karena suatu


(10)

alasan dan tujuan yang jelas sehingga mereka tidak menggunakan hak pilihnya saat pemilihan. Kabupaten yang memiliki jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebesar 281.246 orang tersebut meninggalkan fakta berupa angka pemilih yang golput. Data tersebut dapat dilihat secara lebih jelas dalam tabel berikut ini:

Tabel 1. Daftar Perolehan Suara Di Kecamatan Gadingrejo Berdasarkan Nama Pasangan Calon Bupati Dan Wakil Bupati Pringsewu 2011 No. Nama Pasangan

Calon Bupati & Wakil Bupati Pringsewu 2011 Perolehan Suara Akhir di Kecamatan Gadingrejo Perolehan Suara Akhir di Semua Kecamatan 1. Drs. Hi. Untung Subroto M.M.

dan

Drs. Hi. Purwantoro, S.T., M.M.

629 2.752

2. Hj. Ririn Kuswantari, S.Sos. dan

Subhan Efendi S.H.

15.142 70.379

3. Hi. Abdullah Fadli Auli, S.H. dan

Hi. Tri Prawoto, M.M.

3.473 28.702

4. Sinung Gatot Wiryono, S.E. dan

Hi. Mat Alfi Asha, S.H.

6.527 20.065

5. Hi. Sujadi

dan

Hi. Handitya Narapati, S.H.

13.022 75.581

Jumlah Suara Sah 38.793 198.019

Jumlah Suara Tidak Sah 899 3.455

Jumlah Suara Sah & Tidak Sah 39.606 201.474 Sumber: KPU Kabupaten Pringsewu

Berdasarkan Tabel 1 di atas, dapat dihitung besar jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak suaranya atau golput baik dari keseluruhan masyarakat Kabupaten Pringsewu maupun secara khusus dari masyarakat di Kecamatan Gadingrejo. Secara keseluruhan, jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Kabupaten Pringsewu berjumlah 281.246 orang dan jumlah masyarakat yang


(11)

menggunakan hak pilihnya berjumlah 201.474 orang. Persentase masyarakat yang golput dalam pemilukada Pringsewu 2011 yaitu 28,36% atau berjumlah 79.772 orang. Secara khusus di Kecamatan Gadingrejo, jumlah DPT sebesar 51.374 orang dan jumlah masyarakat yang menggunakan hak pilihnya sebesar 39.606 orang. Persentase masyarakat yang golput sebesar 22,91% atau berjumlah 11.768 orang.

Persentase golput dalam lingkup Kecamatan Gadingrejo memang lebih rendah dibandingkan persentase golput secara keseluruhan dalam lingkup kabupaten. Berdasarkan data dari KPU Kabupaten Pringsewu, jumlah golput sebesar 22,91% itu disumbangkan oleh salah satu pekon, yakni Pekon Kediri. Data yang lebih terperinci dapat dilihat dari tabel di bawah ini:

Tabel 2. Rekapitulasi Data Pemilih Kecamatan Gadingrejo Pada Pemilukada Pringsewu 2011

No. Nama Pekon Daftar

Pemi- lih Tetap (DPT) DPT Berjenis Kelamin Laki- Laki DPT Berjenis Kelamin Perempu-an DPT Meng- guna- kan Hak Pilih DPT Tidak Menggu- nakan Hak Pilih

1 Blitarejo 1.949 1.005 944 1.601 348

2 Bulukarto 2.657 1.355 1.302 2.053 604

3 Bulurejo 2.052 1.082 970 1.612 440

4 Gadingrejo 7.512 3.871 3.641 6.025 1.487

5 Kediri 1.558 810 748 1.111 447

6 Mataram 3.105 1.587 1.518 2.607 498

7 Panjerejo 1.550 797 753 1.114 436

8 Parerejo 3.130 1.611 1.519 2.314 816

9 Tambahrejo 4.189 2.145 2.044 3.028 1.161

10 Tegal Sari 3.160 1.618 1.542 2.812 348

11 Tulung Agung 3.051 1.541 1.510 2.442 609

12 Wates 4.282 2.223 2.059 2.017 2.265

13 Wonodadi 7.613 3.989 3.624 6.592 1.021

14 Wonosari 2.081 1.100 981 1.510 571

15 Yogyakarta 3.485 1.831 1.654 2.744 741

51.374 26.565 24.809 39.582 11.792 Sumber: KPU Kabupaten Pringsewu


(12)

Berdasarkan perincian Tabel 2 di atas, warga Pekon Kediri yang menggunakan hak pilihnya berjumlah 1.111 orang dari jumlah DPT sebesar 1.558 orang. Warga yang tidak menggunakan hak pilihnya atau golput berjumlah 447 orang atau sebesar 28,69%. Jumlah warga yang golput di Pekon Kediri ternyata hampir sama dengan jumlah golput di tingkat Kabupaten Pringsewu secara keseluruhan. Fakta ini mampu mengalahkan perolehan angka golput terbesar sepanjang sejarah pemilu di Indonesia. Pemilu 2004 menjadi perolehan angka golput terbesar sepanjang sepuluh kali pemilu di Indonesia, yakni sebesar 23,34%.

Apabila melihat kembali pemilihan umum langsung sebelumnya pada pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pilleg) tahun 2009 yang lalu, Pekon Kediri memiliki angka golput yang lebih rendah. Pemilihan presiden, angka golput di Pekon Kediri hanya sebesar 21,40% dan angka golput pada pemilihan legislatif sebesar 23,79%. Perincian besaran angka golput tersebut dapat dilihat dari tabel di bawah ini:

Tabel 3. Rekapitulasi Data Pemilih Pekon Kediri Kecamatan Gadingrejo Pada Pemilihan Presiden Dan Pemilihan Legislatif Tahun 2009

No. Pemilihan Umum Langsung Daftar Pemi- lih Tetap (DPT) DPT Berjenis Kelamin Laki- Laki DPT Berjenis Kelamin Perem-puan DPT Meng- guna- kan Hak Pilih DPT Tidak Meng- guna- kan Hak Pilih Persen-tase (%) Gol- put

1 Presiden 1.462 769 693 1.149 313 21,40 %

2 DPR RI 1.463 671 792 1.115 348 23,79 %

3 DPD 1.463 671 792 1.115 348 23,79 %

4 DPRD

Provinsi

1.463 671 792 1.115 348 23,79 %

5 DPRD

Kabupaten

1.463 671 792 1.115 348 23,79 %


(13)

Perilaku tidak memilih di Pekon Kediri berdasarkan data-data di atas menunjukkan grafik peningkatan dari pilleg dan pilpres sebelumnya. Peningkatan angka perilaku tidak memilih dari pilleg 2009 ke pemilukada Pringsewu 2011 kurang lebih mencapai 5%. Fenomena meningkatnya angka golput ini tidak menutup kemungkinan akan meningkat lagi pada pemilihan langsung yang akan datang. Peningkatan angka golput ini menarik untuk diteliti karena fenomena dari golput itu sendiri sukar untuk dimengerti apa yang menjadi alasan dan tujuan dari seorang pemilih menjadi golput. Berbagai kasus golput yang terjadi di negara demokrasi khususnya di Indonesia memiliki latar belakang yang berbeda-beda sesuai karakteristik dari pelaku golput itu sendiri.

Penelitian ini hampir sejalan dengan pemikiran dalam skripsi Didan Budiyawan (mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta angkatan 2004) yang berjudul “Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pertimbangan Mahasiswa Sebagai Pemilih untuk Menjadi Golongan Putih (Golput)”. Skripsi tersebut memfokuskan penelitiannya pada fenomena pilkada Jawa Tengah tahun 2008. Kekuatan politik di Jawa Tengah sesungguhnya dikuasai oleh kekuatan politik beraliran nasionalis. Menurut Didan, angka golput sangat dominan dalam pilkada tersebut dan merupakan golput terbesar dibandingkan dengan pilkada di daerah lainnya. Didan beranggapan golput sangat menarik untuk diteliti dan juga ingin mengetahui alasan dibalik langkah memilih golput tersebut terutama kaum muda yang memegang suara terbanyak dalam pemilu. Penelitian Didan ini bertujuan untuk mengetahui faktor apa yang menyebabkan mahasiswa memilih golput. Analisis penelitiannya berdasarkan


(14)

berbagai faktor pertimbangan yang menyebabkan mahasiswa menjadi golput, diantaranya faktor teknis, faktor pribadi, faktor pragmatis, faktor politis, faktor patron politis, dan faktor ideologis.

Hasil analisis dalam penelitian Didan tersebut menyimpulkan faktor pragmatis menjadi alasan utama mahasiswa menjadi golput. Alasan lain mahasiswa memilih golput secara berurutan terkait faktor teknis, faktor pribadi, faktor politis, faktor ideologis, dan faktor patron politis menduduki urutan paling bawah. Didan beranggapan bahwa golput menjadi pekerjaan rumah bagi partai politik dengan pertimbangan adanya perubahan sikap politik yang cukup besar khususnya kaum pemuda. Golput merupakan cerminan dari apatisme politik masyarakat, maka partai politik dan KPU serta penyelenggara pemilu harus bercermin dari fenomena yang ada dan segera berbenah diri. Kesimpulan dan saran terkait penelitian Didan menyiratkan golput terbentuk karena keterkaitan dengan adanya pengaruh-pengaruh dari keadaan politis yang terjadi sebelumnya. Golput secara tidak langsung dipengaruhi penilaian dari perilaku pemilih yang meliputi, orientasi agama, kelas sosial, kepemimpinan, orientasi isu, orientasi kandidat, dan lain sebagainya. Perilaku pemilih tersebut terbentuk dari pendekatan sosiologis, pendekatan rasional, dan pendekatan psikologis.

Golput juga dapat dilatarbelakangi oleh berbagai faktor seperti yang tertulis dalam buku Efriza yang berjudul “Political Explore: Sebuah Kajian Ilmu Politik”. Berdasarkan hasil tulisan Muhammad Asfar dalam “Presiden Golput”, Efriza menyimpulkan ada empat faktor penyebab golput yakni faktor


(15)

psikologis, faktor sistem politik, faktor kepercayaan politik, dan faktor latarbelakang status sosial-ekonomi. Pertama, faktor psikologis berkaitan dengan ciri-ciri kepribadian seseorang dan orientasi kepribadian. Perilaku golput berkaitan dengan kepribadian seseorang serta orientasi yang terbentuk berdasarkan penilaian dari identifikasi ketokohan ataupun kepartaian secara emosional pribadi. Kedua, faktor sistem politik yang berkaitan dengan sistem politik khususnya sistem pemilu secara langsung. Pemilih melakukan protes terhadap sistem politik dan sistem pemilu terutama kecewa dengan kebijakan dan implementasi dari pemerintah. Ketiga, faktor kepercayaan politik sebagai ekspresi atas kepercayaan yang rendah terhadap sistem politik atau sebagai suatu ekspresi atas perasaan keterasingan (alienasi). Fenomena ini muncul karena ketidakpercayaan terhadap saluran politik dalam bentuk kandidat ataupun partai. Keempat, faktor latarbelakang status sosial-ekonomi yang terdiri dari tiga penilaian, meliputi tingkat pendidikan, tingkat pekerjaan, dan tingkat pendapatan yang berhubungan dengan ketidakhadiran pemilih di tempat pemungutan suara.

Berdasarkan hasil wawancara dengan sekretaris Pekon Kediri, Bapak Sugiyanto, beliau menyatakan bahwa warga Pekon Kediri yang tidak menggunakan hak pilihnya disebabkan oleh berbagai alasan. Alasan-alasan tersebut, yaitu adanya kejenuhan politik akibat banyaknya pemilihan, tidak puas terhadap kegiatan atau aktivitas politik, ketidakpercayaan warga pada janji politik partai maupun kandidat, ketidakyakinan warga terhadap perubahan hidup, ketidakyakinan warga dengan kapasitas kandidat, kesibukkan warga dalam bekerja saat pemilihan, dan lain sebagainya (sumber:


(16)

pariset pada 17 April 2012). Alasan yang dipaparkan tersebut berkaitan dengan empat faktor penyebab golput dalam buku Efriza, yakni faktor psikologis, faktor sistem politik, faktor kepercayaan politik, dan faktor latarbelakang status sosial-ekonomi.

Alasan warga yang merasakan jenuh terhadap banyaknya pemilihan dan tidak puas dengan aktivitas politik berkaitan dengan faktor psikologis, selanjutnya ketidakyakinan warga terhadap pemilu/pemilukada yang akan memberikan perubahan hidup tersebut berkaitan dengan faktor sistem politik. Faktor kepercayaan politik dapat dikaitkan dengan alasan warga yang tidak yakin terhadap janji partai maupun kandidat, sedangkan faktor sosial-ekonomi dapat dikaitkan dengan alasan warga yang sibuk bekerja karena merasakan penghasilan hidup mereka yang tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup seharinya. Alasan tersebut hanya sebagian dari penyebab masyarakat Pekon Kediri memilih golput. Oleh karena itu, peneliti tertarik mencari tahu tujuan dan alasan yang mendalam terkait faktor apa yang menyebabkan masyarakat Pekon Kediri menjadi golput dalam pemilukada Pringsewu 2011.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah faktor psikologis, faktor sistem politik, faktor kepercayaan politik, dan faktor sosial-ekonomi menyebabkan perilaku tidak memilih masyarakat Pekon Kediri dalam Pemilukada Kabupaten Pringsewu 2011?”


(17)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah faktor psikologis, faktor sistem politik, faktor kepercayaan politik, dan faktor sosial-ekonomi menyebabkan perilaku tidak memilih masyarakat Pekon Kediri dalam Pemilukada Kabupaten Pringsewu 2011.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat untuk menambah wawasan dan pengetahuan pembaca mengenai ilmu politik khususnya terkait teori yang berkenaan dengan perilaku tidak memilih atau golput dalam pemilu di Indonesia.

2. Secara praktis, penelitian ini memberikan gambaran dan penjelasan mengenai penyebab perilaku tidak memilih (golput) masyarakat Pekon Kediri dalam Pemilukada Pringsewu 2011. Penelitian ini juga bermanfaat bagi pihak yang terkait, yaitu KPU Kabupaten Pringsewu, partai politik, dan kandidat periode mendatang agar mencari solusi terkait perilaku tidak memilih (golput) masyarakat Pekon Kediri sehingga tidak meningkat kembali jumlahnya pada pemilihan umum mendatang.


(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.Tinjauan Perilaku Tidak Memilih (Golput) 1. Perilaku Politik

Masyarakat dan pemerintah merupakan sekumpulan manusia. Setiap manusia pasti melakukan aktivitas dalam kesehariannya. Tanpa disadari, aktivitas manusia berkaitan dengan politik. Manusia memiliki sikap tersendiri dalam menghadapi berbagai permasalahan yang timbul di sekitar mereka. Sikap politik seseorang terhadap suatu objek politik yang terwujud dalam tindakan atau aktivitas politik merupakan perilaku politik seseorang. Menurut Sudijono Sastroatmodjo (1995:8), perilaku politik adalah:

“tindakan yang dilakukan oleh pemerintah ataupun masyarakat berkaitan dengan tujuan dari suatu masyarakat, kebijakan untuk mencapai suatu tujuan serta sistem kekuasaan yang memungkinkan adanya suatu otoritas untuk mengatur kehidupan masyarakat ke arah pencapaian tujuan tersebut. Perilaku politik ini diarahkan pada pencapaian konsensus atau kesepakatan dalam mewujudkan tujuan dari masyarakat dan pemerintah.”

Sudijono (1995:3) juga menjelaskan bahwa perilaku politik dapat dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Interaksi antara pemerintah dan masyarakat, antar lembaga pemerintah, antara kelompok, dan individu dalam masyarakat


(19)

dalam rangka pembuatan, pelaksanaan, dan penegakkan keputusan politik. Ramlan Surbakti memiliki pandangan yang sejalan mengenai makna perilaku politik. Surbakti merumuskan perilaku politik sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik, dimana yang melakukan kegiatannya adalah pemerintah dan masyarakat. Kegiatan tersebut terbagi dua, yaitu fungsi pemerintahan yang dipegang pemerintah dan fungsi politik yang dipegang oleh masyarakat (Ramlan Surbakti, 2010:167).

Setiap masyarakat tidak akan lepas dari kehidupan politik yang diikuti juga dengan berbagai tindakan politik dalam kesehariannya. Tindakan politik tersebut merupakan bagian dari perilaku politik. Masyarakat bertindak disebabkan berbagai alasan yang biasanya sebagai bentuk aspirasi atau kritik. Berdasarkan penjelasan di atas, perilaku politik merupakan kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang berkaitan dengan memberikan pengaruh terhadap pengambilan suatu kebijakan dengan tujuan tertentu. Perilaku politik tersebut dilakukan oleh pemerintah atau masyarakat.

2. Perilaku Pemilih

Perilaku memilih dalam pemilu merupakan salah satu bentuk perilaku politik. Pemilih diartikan sebagai semua pihak yang menjadi tujuan utama para kontestan untuk mereka pengaruhi dan yakinkan agar mendukung dan


(20)

kemudian memberikan suaranya kepada kontestan yang bersangkutan. Firmanzah (2008:87) mengemukakan bahwa dinyatakan sebagai pemilih dalam pilkada, yaitu mereka yang telah terdaftar sebagai peserta pemilih oleh petugas pendata peserta pemilu. Pemilih dalam hal ini dapat berupa konstituen maupun masyarakat pada umumnya. Konsep perilaku pemilih sebagaimana yang diungkapkan oleh J. Kristiadi (1997:76) adalah keterikatan seseorang untuk memberikan suara dalam proses pemilihan umum berdasarkan faktor psikologis, faktor sosiologis, dan faktor rasional pemilih (voting behavioral theory). Sementara perilaku pemilih menurut A.A. Oka Mahendra (2005:75) adalah tindakan seseorang ikut serta dalam memilih orang, partai politik atau isu publik tertentu. Berdasarkan konsep yang dipaparkan di atas, dapat dipahami bahwa perilaku pemilih merupakan tindakan pemilih terkait pemilihan langsung.

Perilaku pemilih merupakan bagian dari perilaku politik. Ramlan Surbakti (2010:185) memandang perilaku pemilih sebagai keikutsertaan warga negara dalam pemilihan umum yang meliputi serangkaian kegiatan membuat keputusan, yakni apakah memilih atau tidak memilih dalam pemilihan umum? Kalau memutuskan memilih, apakah memilih partai atau kandidat X ataukah partai atau kandidat Y, kandidat Y? Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa perilaku pemilih merupakan pikiran dan tindakan seseorang atau masyarakat untuk memberikan suara dalam pemilihan umum yang berkenaan dengan kepentingan atau tujuan dalam memengaruhi proses pembuatan dan melaksanakan keputusan politik. Bagian terpenting yang mengikuti tindakan tersebut adalah alasan seorang


(21)

pemilih dalam memilih partai tertentu atau kandidat tertentu bukan partai atau kandidat lainnya.

3. Perilaku Tidak Memilih (Golput)

Konsep perilaku pemilih merupakan tindakan pemilih terkait pemilihan langsung, tetapi ada sebuah pandangan lain yang berseberangan dan bertolak belakang dengan konsep perilaku pemilih. Konsep tersebut adalah perilaku tidak memilih atau yang lebih dikenal dengan sebutan golongan putih (golput). Golput sesungguhnya merupakan fenomena politik dalam sebuah negara demokrasi. Pelaku golput memiliki tujuan mendelegitimasi pemilu yang diselenggarakan pemerintah. Sisi lain yang membuktikannya adalah pemerintah yang telah memberikan ruang aspirasi bagi kepentingan kelompok ekstra parlementer. Kenyataan itu menyebabkan golput sering disebut juga sebagai barometer kualitas demokrasi.

Golput adalah mereka yang dengan sengaja dan dengan suatu maksud dan tujuan yang jelas menolak memberikan suara dalam pemilu (Joko Prihatmoko, 2003:150). Beberapa ahli berpandangan bahwa warga yang berhalangan hadir di tempat pemilihan suara (TPS) karena alasan teknis, seperti jauhnya TPS atau luput dari pendaftaran, otomatis tidak termasuk kategori golput. Pandangan tersebut diperkuat dengan pandangan yang dikemukakan oleh Muhammad Asfar dalam Efriza (2012:534) yang mengatakan bahwa:


(22)

“Batasan perilaku nonvoting tidak berlaku bagi para pemilih yang tidak memilih karena faktor kelalaian atau situasi-situasi yang tidak bisa dikontrol oleh pemilih, seperti karena sakit atau kondisi cuaca termasuk sedang berada di suatu wilayah tertentu seperti tempat terpencil atau ditengah hutan yang tidak memungkinkan untuk memilih. Dalam konteks semacam ini, nonvoting adalah suatu sikap politik yang tidak menggunakan hak pilih pada saat hari H Pemilu karena faktor tidak adanya motivasi.”

Pandangan lain seperti yang dikemukakan Pahmi Sy (2010:65) mengatakan golput sebagai kelompok orang yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam suatu pemilihan. Sejak awal ada sekelompok orang yang tidak mau didaftarkan sebagai pemilih sehingga tahapan pemilu tidak diikutinya. Selain itu ada juga sekelompok orang yang terdaftar sebagai pemilih, tetapi tidak menggunakan hak pilihnya pada hari pemungutan suara.

Golput secara tidak langsung berhubungan dengan perasaan terkait dengan rasa kepuasan atau ketidakpuasan dari masyarakat itu sendiri sebagai pemilih. Ketidakhadiran dalam golput juga dapat dikaitkan dengan perhitungan untung dan rugi seseorang sebagai pemilih. Pernyataan ini diperkuat dengan pendapat Susan Welch dalam Efriza (2012:534) yang menyatakan sebagai berikut:

“Ketidakhadiran seseorang dalam pemilu berkaitan dengan kepuasan atau ketidakpuasan pemilih. Kalau seseorang memperoleh kepuasan dengan tidak menghadiri pemilu tentu ia akan tidak hadir ke bilik suara, begitu pula sebaliknya. Di samping itu, ketidakhadiran juga berkaitan dengan kalkulasi untung rugi. Kalau seseorang merasa lebih beruntung secara finansial dengan tidak hadir dalam pemilu, tentu ia akan lebih suka melakukan pekerjaan lain yang lebih menguntungkan.”


(23)

Ketidakpuasan juga dapat dikaitkan sebagai bentuk protes terhadap sesuatu yang telah terjadi. Protes tersebut tentunya berkaitan dengan hal politik. Arbi Sanit (1992:190) menilai bahwa golput adalah gerakan protes politik yang didasarkan pada segenap problem kebangsaan. Sasaran protes masyarakat golput adalah pemilu dan tujuannya mewujudkan demokrasi dalam kehidupan masyarakat dan kenegaraan sebagai dari cita-cita kemerdekaan. Golput juga merupakan bentuk ketidakpuasan masyarakat terhadap objek politik, hal ini seperti yang dikemukakan Arief Budiman dalam Joko Prihatmoko (2003:150) yang mengatakan bahwa:

“golput bukan organisasi, tanpa pengurus, dan hanya merupakan pertemuan solidaritas. Golput adalah sebuah identifikasi bagi mereka yang tidak puas dengan keadaan dan aturan main demokrasi yang diinjak-injak oleh partai politik dan pemerintah demi memenangkan pemilu dengan menggunakan aparat negara melalui cara di luar batas aturan main demokratis. Keberadaan golput mengindikasikan bahwa proses politik yang sedang berlangsung tidak benar. Kendati tidak memiliki kekuatan politik, golput melakukan gerakannya dengan diam.” Arief Budiman secara tidak langsung mengatakan golput itu adalah hal yang dilakukan seseorang dengan sengaja datang ke TPS dan membuat pilihannya tidak sah dengan merusak atau mencoblos diluar ketentuan yang ada. Dia juga menghubungkan golput dengan orang yang tidak percaya dengan hasil pemilu dan tidak mau berpartisipasi. Orang tersebut bisa tidak datang ke TPS atau juga bisa datang ke TPS, tetapi membuat suaranya tidak sah. Perilaku tidak memilih atau lebih dikenal dengan golput merupakan bentuk pemikiran yang terbentuk dari pribadi masing-masing yang terbentuk sendiri maupun terbentuk dari pengaruh lingkungan/orang lain. Berdasarkan penjelasan dan pendapat mengenai golput dari para ahli di atas, golput dapat


(24)

diartikan sebagai suatu gerakan sekelompok orang (masyarakat) atau individu yang tidak menggunakan hak pilihnya. Sekelompok orang atau individu tersebut memiliki alasan yang sengaja untuk tidak memilih serta memiliki tujuan yang jelas mengenai hal yang dilakukannya tersebut dan juga dengan dampak atau akibat yang akan terjadi nantinya. Golput juga sebagai wujud protes politik dikarenakan adanya perasaan yang tidak puas dalam kehidupan masyarakat yang disebabkan oleh sistem dan objek politik yang ada disekitarnya.

3.1 Kategori dan Implikasi Golput

Golongan putih (golput) merupakan bentuk protes masyarakat karena ketidakpuasan maupun ketidakpercayaan terhadap kekuatan politik yang dikuasai oleh seseorang atau sekumpulan orang yang memiliki kepentingan. Gerakan protes tersebut biasanya bersifat teknis mengacu kepada pelaksanaan demokrasi. Mufti Mubarak dalam Efriza (2012:541) berpandangan bahwa sikap golput lebih dianggap sebagai bentuk perlawanan atas parpol dan para kandidat yang tidak sesuai dengan aspirasi, sedangkan di sisi kandidat, golput akan melemahkan legitimasi mereka kelak ketika berada di lembaga pemerintahan.

Ketidakpuasan dan ketidakpercayaan tersebut hanya sebagian alasan yang melandasi pilihan untuk menjadi golput. Menurut Eep Saefullah dalam Efriza (2012:546-547) fenomena golput terpilah ke dalam tiga kategori besar, antara lain:


(25)

1) Golput teknis

Golput teknis ini dijelaskan ke dalam beberapa kelompok seperti di bawah ini:

 Pemilih yang berhalangan hadir karena ketiduran seusai bergadang semalaman sehingga kehilangan kesempatan mencoblos. Selain itu absen di tempat pemungutan suara karena kelelahan, sakit atau harus mengurus jenazah dan memakamkan kerabatnya.

 Pemilik suara tidak sah karena keliru mencoblos akibat gagalnya sosialisasi atau minimnya pengetahuan pemilih.  Pemilih yang kurang pengetahuan misalnya di pelosok

daerah. Mereka yang tak tahu untuk apa pemilu diadakan dan untuk apa mereka memilih, kaitan pilihan dan kepentingan, bahkan tak tahu apa yang ia inginkan sehingga gamang dan tak mencoblos.

 Pemilik suara tidak dapat memilih karena tidak mendapat undangan dan tidak terdaftar sebagai pemilih (tidak masuk dalam daftar pemilih tetap) atau disengaja tidak diberikan undangan oleh pihak panitia walaupun sudah terdaftar dalam daftar pemilih tetap.

2) Golput politis

Golput politis ini terdiri atas beberapa kelompok, antara lain:  Pemilih tidak memiliki pilihan dari salah satu kandidat

karena tidak sesuai dengan harapannya sehingga dia tidak mau mencoblos.

 Pemilih tidak percaya formalisme sekalipun bersahabat dengan elitisme dan tak percaya formalisme sekaligus elitisme. Biasanya mereka anti terhadap hal-hal formal, seperti partai, pemilu, parlemen, dan pemerintah).

 Pemilih yang tidak mau memilih karena menganggap demokratisasi sebagai arena permainan elite menggunakan arena dan kendaraan formal. Mereka tidak percaya pemilu dan pilihan mereka membawa perubahan terhadap kehidupan mereka.

3) Golput ideologis

Golput ini cenderung bersifat permanen. Golput ideologis terbagi terdiri dari ideologi sayap kanan maupun sayap kiri. Masyarakat menganggap golput sebagai perwujudan keyakinan ideologis.

 Pada sayap kiri, mereka menolak berpartisipasi dalam pemilu sebagai konsekuensi dari penolakan atas demokrasi liberal. Masyarakat tidak percaya pada mekanisme demokrasi yang dianggap liberal, untuk itu mereka tidak mau terlibat di dalamnya.


(26)

 Pada sayap kanan, mereka berasal dari kalangan fundamentalisme agama terutama Islam. Mereka beranggapan demokrasi dan pemilu bertentangan dengan syariat agama.

Pengelompokkan golput ke dalam beberapa kategori juga dikemukakan oleh Indra J. Pilliang dalam Efriza (2012:545), yaitu:

1) Golput ideologi mencakup segala penolakan yang berkaitan dengan ketatanegaraan.

2) Golput pragmatif berkaitan dengan kalkulasi rasional, tentang ada tidaknya pengaruh pemilu bagi pemilihnya.

3) Golput politis terjadi akibat perubahan sistem dan pilihan politik.

Masyarakat yang mengambil langkah golput pasti dilatarbelakangi oleh berbagai alasan pribadi. Alasan golput memang lebih cenderung berkaitan dengan alasan yang berkaitan dengan hal politis. Beberapa alasan yang melatarbelakangi sekelompok atau seorang pemilih menjadi golput dapat disimpulkan menjadi beberapa kategori lainnya. Pengklasifikasian golput tersebut dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yaitu :

1) Kelompok anggota masyarakat yang kecewa dengan kondisi selama reformasi (kalangan mahasiswa dan masyarakat awam). Kelompok ini merasa tidak puas dalam tiga hal, yakni :

a) kepemimpinan yang lemah dan cenderung korup.

b) partai politik yang tidak mampu membangun kompetensi dan kredibilitas.

c) elite politik yang lebih mengurus diri sendiri daripada mencurahkan perhatian dan tindakan untuk kepentingan rakyat.

2) Kelompok anggota masyarakat yang tidak aksesibel terhadap informasi pemilu, perubahan sistem pemilu, dan teknik pencoblosan karena kurangnya sosialisasi pemilu. Kelompok ini umumnya berpendidikan rendah, sebagian tinggal di pedesaan, dan perkotaan, dan menghadapi kemiskinan struktural.

3) Kelompok aparat dan pendukung partai-partai yang tidak bisa ikut pemilu. (Joko Prihatmoko, 2003:162-163)


(27)

Tanpa disadari oleh berbagai pihak baik dari masyarakat maupun pemerintah, golput akan membawa dampak yang memengaruhi jalannya kehidupan politik dan pemerintahan. Adanya golput ini memiliki implikasi pada proses-proses demokrasi selanjutnya. Pahmi Sy (2010:69-70) menjelaskan setidaknya ada lima implikasi dari keberadaan golput, yaitu:

1) Lemahnya legitimasi pemenang pemilu sehingga pemerintahan yang dibentuk tidak begitu kuat karena lemahnya dukungan politik.

2) Munculnya sikap apatisme masyarakat golput karena kecewa dengan partai politik.

3) Melemahnya optimisme publik terhadap penyelenggara pemilu. 4) Menularnya antipati masyarakat terhadap pemilu sehingga

pengetahuan dan penggunaan hak pilih berikutnya dalam sistem pemilu semakin tidak mendapat dukungan rakyat.

5) Golput merupakan protes terhadap perilaku peserta pemilu, penyelenggara pemilu, pengawas pemilu, dan pemenang pemilu sehingga menjadikan mereka untuk berubah perilaku pada pemilu berikutnya.

3.2 Bentuk Perilaku Golput

Perilaku tidak memilih atau golput umumnya dipakai untuk merujuk pada fenomena ketidakhadiran seseorang dalam pemilu karena tidak adanya motivasi. Masyarakat pada beberapa negara berkembang saat ini mewujudkan perilaku golput tidak hanya dengan tidak hadir ke tempat pemungutan suara saja. Mereka melakukan hal sebaliknya, dimana mereka tetap datang ke tempat pemungutan suara dengan tidak mencoblos kartu suara atau merusak kartu suara. Bentuk perilaku golput ini dilakukan sebagai ekspresi protes terhadap pihak pemerintah, partai politik, dan lembaga-lembaga demokrasi lainnya. Perilaku golput di


(28)

Indonesia pada umumnya dapat dimanifestasikan ke dalam beberapa bentuk, seperti yang dikemukakan Efriza (2012:547-548) berikut ini:

1) Orang yang menghadiri TPS sebagai aksi protes terhadap pelaksanaan pemilu dan sistem politik yang ada.

2) Orang yang menghadiri TPS namun tidak menggunakan hak pilihnya secara benar dengan menusuk lebih dari satu gambar. 3) Orang yang menggunakan hak pilihnya dengan jalan menusuk

bagian putih dari kartu suara. Perilaku ini merupakan refleksi protes atas ketidakpuasan terhadap sistem politik yang sedang berkembang.

4) Orang yang tidak hadir di TPS dikarenakan mereka memang tidak terdaftar sehingga tidak memiliki hak suara. Perilaku golput ini disebabkan alasan administratif dan kelompok golput ini disebut golput pasif.

Perilaku golput merupakan salah satu fenomena yang menjadi bagian dalam pemilihan umum sebagai perwujudan asas demokrasi kenegaraan. Memahami perilaku golput memang tidak sebatas pengamatan semata. Perilaku golput juga susah untuk dijelaskan karena alasan yang berbeda-beda dari pemikiran dan latar belakang setiap pemilih. Muhammad Asfar menjelaskannya dalam tulisan “perilaku golput” untuk membantu dalam memahami perilaku bentuk golput, diantaranya:

1) Pendukung golput yang mengaku akan mengekspresikan perilakunya dengan cara tidak menghadiri bilik suara, setidaknya ada empat alasan sebagai argumentasi mereka tidak hadir di bilik suara, yaitu:

 Sebagai aksi protes terhadap pemerintah, anggota DPR, dan parpol.

 Tidakadanya nilai yang lebih dari proses pemilu yang terjadi.

 Adanya urusan yang lebih penting seperti disinggung di atas mengenai tidakadanya nilai yang lebih dari proses pemilu.

 Dikarenakan malas saja karena tidakadanya nilai lebih dari aktivitas politik melalui kehadiran di bilik suara.


(29)

2) Pendukung golput yang beralasan tetap hadir ke tempat pemungutan suara meskipun sudah menetapkan tidak memilih, ada beberapa alasan yang melatarbelakanginya, yaitu:

 Untuk menghindari sorotan pengurus kampung, khususnya Ketua RT.

 Untuk menghindari perbincangan para tetangga.

 Sebagai tindak pencegahan atas kecurangan yang mungkin bisa dilakukan panitia pemilihan akibat ketidakhadirannya ke TPS.

3) Pendukung golput yang mengekspresikan perilakunya dengan mencoblos lebih dari satu kandidat atau tanda gambar, memasukkan kartu suara kosong atau mencoblos bagian putih dari kertas suara, pertimbangannya sebagai berikut:

 Sebagai aksi protes baik kepada pemerintah, anggota DPR-DPRD, dan parpol.

 Agar kertas suara tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

 Untuk memberikan dorongan dan keberanian pada publik agar berani menunjukkan sikap protes mereka melalui merusak kertas suara.

 Agar parpol dan kandidat memperhitungkan keberadaan kelompok golput.

3.3 Faktor-Faktor Penyebab Golput

Pemikiran golput memang muncul dari kalangan yang berpendidikan. Memasuki era reformasi di Indonesia, masyarakat cenderung memiliki pemikiran yang relatif lebih maju dan kritis. Pemikiran itu tidak terbatas pada latar belakang pendidikan yang tinggi, tetapi masyarakat yang berpendidikan rendah pun telah memiliki pemikiran yang berasal dari penilaian pribadi. Penilaian tersebut merupakan alasan yang menyebabkan mereka untuk menjadi golput dalam suatu pemilihan langsung. Berbagai alasan yang melatarbelakangi golput dapat dijelaskan lebih singkat dan jelas di bawah ini:


(30)

1) Adanya kejenuhan politik, dengan banyak pemilihan umum mulai dari pemilu legislatif, pemilihan presiden, pemilihan kepala daerah gubernur, bupati, hingga pemilihan kepala desa yang berujung pada kejenuhan politik.

2) Tidak adanya harapan yang lebih pasti dan kongkrit dari pemilihan umum tersebut. Pemilu tidak membawa perubahan bagi kehidupan masyarakat baik dari segi ekonomi maupun sosal dan budaya.

3) Hilangnya kepercayaan masyarakat kepada politisi, janji-janji politik yang dilakukan politisi ternyata tidak terbukti.

4) Kebutaan politik, kurangnya pengetahuan pemilih terhadap sistem pemilihan umum dan perubahan-perubahan terkait dengan pemilu tersebut.

5) Sistem politik yang ruwet, dengan tidak sederhananya sistem politik menyebabkan masyarakat pemilih enggan untuk menggunakan hak pilihnya.

6) Hilangnya kepercayaan terhadap panitia penyelenggara pemilu seperti KPU dan Panwaslu.

7) Adanya indikasi keterlibatan dan keberpihakkan pemerintah, PNS, POLRI, dan TNI dalam proses pemilu. (Pahmi Sy, 2010:66-68)

Golput yang identik dengan ketidakhadiran dapat dikaitkan dengan perasaan yang timbul akibat ketidakpercayaan dan ketidaksukaan masyarakat terhadap sistem politik, rezim yang berkuasa, partai politik, dan kandidat. Bentuk ketidaksukaan dan ketidakpercayaan tersebut seperti yang dikemukakan Muhammad Asfar berikut ini:

1) Ketidakhadiran diinterpretasikan kepada sistem politik, berbeda dengan kehadiran yang sering diinterpretasikan sebagai bentuk “loyalitas” atau kepercayaan pada sistem politik yang ada.

2) Ketidakhadiran pemilih dianggap sebagai reaksi/ekspresi dari ketidaksukaan masyarakat terhadap rezim yang berkuasa. Asumsi tersebut menyiratkan kondisi bahwa ketidakhadiran pemilih dimaknakan sebagai indikator lemahnya legitimasi rezim yang berkuasa.

3) Ketidakpercayaan anggota masyarakat terhadap parpol dan kandidat. (Efriza, 2012:541)


(31)

Sebagaimana yang terjadi, mereka yang memilih golput umumnya dilatarbelakangi oleh pendidikan yang rendah, tinggal di pedesaan, dan juga buta akan hal politik, akan tetapi hal itu tidak menutup kemungkinan bagi mereka yang berpendidikan tinggi, tinggal di perkotaan, dan memiliki kesadaran politik yang baik. Seiring perkembangan zaman dan wawasan mengenai kehidupan politik saat ini, pendukung golput tidak terbatas dari karakteristik tingkat pendidikan semata, tetapi juga dari tingkat pekerjaan, dan tingkat ekonomi. Tingkat pendidikan, pekerjaan, dan ekonomi merupakan hal yang berkaitan dengan latar belakang sosial ekonomi. Faktor latar belakang sosial ekonomi hanya salah satu yang menjadi penyebab golput. Berdasarkan hasil tulisan Muhammad Asfar dalam “Presiden Golput”, Efriza (2012:537-544) setidaknya menyimpulkan ada empat faktor yang menjadi penyebab golput, yaitu:

1) Faktor Psikologis

Faktor ini berkaitan dengan ciri-ciri kepribadian seseorang dan orientasi kepribadian. Perilaku golput berkaitan dengan kepribadian seseorang melihat bahwa kepribadian yang tidak toleran, otoriter, tak acuh, perasaan tidak aman, perasaan khawatir, kurang mempunyai tanggung jawab secara pribadi, dan semacamnya. Orientasi kepribadian melihat dari rendahnya sosialisasi politik, tidak merasakan kepuasan dari aktivitas politik, merasakan aktivitas politik tidak memengaruhi peristiwa maupun kebijaksanaan politik, menganggap dirinya tidak terlibat urusan politik, dan pemerintah tidak berpengaruh terhadap hidupnya.

2) Faktor Sistem Politik

Faktor ini berkaitan dengan sistem politik khususnya sistem pemilu secara langsung. Pemilih melakukan protes terhadap sistem politik dan sistem pemilu terutama kecewa dengan kebijakan dan implementasi dari pemerintah. Sistem politik yang dibangun rezim berkuasa saat ini dirasakan pemilih tidak mampu membangun demokrasi yang sehat. Sistem pemilu


(32)

proporsional juga dinilai tidak membawa perubahan politik dan tidak menjamin kedekatan antara wakil dan terwakili.

3) Faktor Kepercayaan Politik

Faktor ini sebagai bentuk perilaku golput sebagai ekspresi atas kepercayaan yang rendah terhadap sistem politik atau sebagai suatu ekspresi atas perasaan keterasingan (alienasi). Fenomena faktor kepercayaan politik ini biasanya muncul karena ketidakpercayaan terhadap saluran politik dalam bentuk partai dan akhirnya adanya keinginan warga negara untuk melakukan delegitimasi politik terhadap kekuasaan.

4) Faktor Latarbelakang Status Sosial-Ekonomi

Faktor ini terbagi lagi ke dalam tiga indikator, yaitu tingkat pendidikan, tingkat pekerjaan, dan tingkat pendapatan. Raymond E. Wolfinger dan Steven J. Rossenstone menjelaskan bahwa:

 Tingkat pendidikan tinggi menciptakan kemampuan lebih besar untuk mempelajari kehidupan politik tanpa rasa takut, sedangkan yang kurang berpendidikan berpengaruh untuk menghindari politik karena kekurangan mereka terhadap kepentingan dalam proses politik. Penelitian Raymond E. Wolfinger dan Steven J. Rossenstone menunjukkan hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat ketidakhadiran selalu menunjukkan arah berlawanan. Pemilih yang tingkat pendidikannya rendah cenderung menunjukkan angka ketidakhadiran dalam pemilu cukup tinggi.

 Tingkat pekerjaan tertentu lebih menghargai partisipasi warga. Para pemilih yang bekerja di lembaga berkaitan langsung dengan pemerintah cenderung lebih tinggi tingkat kehadirannya dalam pemilu dibandingkan para pemilih yang bekerja pada lembaga yang tidak mempunyai kaitan langsung dengan kebijakan pemerintah.

 Tingkat pendapatan tinggi memudahkan orang menanggung beban finansial akibat keterlibatannya dalam proses pemilu. Menurut Raymond E. Wolfinger dan Steven J. Rossenstone, para pemilih yang tingkat pendapatannya rendah cenderung menunjukkan angka ketidakhadiran cukup tinggi dan sebaliknya.

Berdasarkan pemaparan mengenai faktor-faktor penyebab golput di atas khususnya mengenai pendapat Raymond E. Wolfinger dan Steven J. Rossenstone, penelitian ini memakai empat faktor, yaitu faktor


(33)

psikologis, faktor sistem politik, faktor kepercayaan politik, dan faktor latarbelakang status sosial-ekonomi.

Faktor psikologis untuk mengetahui penyebab golput yang dilihat dari kepribadian seseorang dan orientasi kepribadian. Kepribadian seseorang ini melihat bahwa kepribadian yang tidak toleran, tak acuh, kurang mempunyai tanggung jawab secara pribadi, dan semacamnya. Apabila dijelaskan lebih spesifik, kepribadian seseorang ini berkaitan dengan diri pribadi pemilih yang terlihat kurang bertanggung jawab, tidak acuh, dan tidak toleran seperti tidak memilih karena sakit/lelah/malas, adanya keluarga yang sakit/wafat, keenganan ke TPS karena hujan dan letaknya jauh dari rumah, dan lain-lain. Orientasi kepribadian melihat dari rendahnya sosialisasi politik, tidak merasakan kepuasan dari aktivitas politik, merasakan aktivitas politik tidak memengaruhi peristiwa maupun kebijaksanaan politik, menganggap dirinya tidak terlibat urusan politik, dan pemerintah tidak berpengaruh terhadap hidupnya.

Faktor sistem politik mengetahui penyebab golput yang dilihat dari sistem politik dan sistem pemilu karena kecewa dengan kebijakan dan implementasi dari pemerintah, pemilih melihat sistem pemilu tidak membawa kepada perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara, pemilih merasakan jenuh dengan banyaknya pemilihan yang dilakukan sebelumnya, pemilih kecewa karena tidak mendapat undangan/tidak terdaftar, pemilih kecewa dengan kinerja panitia penyelenggara


(34)

pemilihan (KPU, PPK, dan PPS), pemilih melihat keberpihakkan pemerintah dalam proses pemilihan, dan lain sebagainya.

Faktor kepercayaan politik mengetahui penyebab golput yang melihat dari ketidakpercayaan terhadap saluran politik dalam bentuk kandidat atau partai politik. Lebih jelasnya, faktor ini melihat pemilih yang tidak percaya kepada janji politik, ketidaksukaan kepada pemimpin yang berkuasa saat ini, kandidat kurang berprestasi, kandidat tidak dekat dengan masyarakat, kemampuan kandidat kurang memadai, kecewa karena masih maraknya praktik KKN, pemilih kecewa karena pilihannya tidak ikut berkompetisi, dan lain-lain.

Faktor latarbelakang status sosial-ekonomi mengetahui penyebab golput yang dilihat dari tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan tingkat pekerjaan. Penelitian Raymond E. Wolfinger dan Steven J. Rossenstone menunjukkan pemilih yang tingkat pendidikannya rendah cenderung menunjukkan angka ketidakhadiran dalam pemilu cukup tinggi. Para pemilih yang tingkat pendapatannya rendah cenderung menunjukkan angka ketidakhadiran cukup tinggi dalam pemilu. Pemilih yang memiliki pekerjaan tertentu lebih menghargai partisipasi warga. Para pemilih yang bekerja di lembaga pemerintah cenderung lebih tinggi tingkat kehadirannya dalam pemilu dibandingkan pemilih yang bekerja di lembaga yang tidak mempunyai kaitan dengan kebijakan pemerintah.


(35)

B.Tinjauan Partisipasi Politik 1. Definisi Partisipasi Politik

Istilah partisipasi politik merupakan bagian dari perilaku politik yang mencakup segala bentuk kegiatan maupun tindakan yang berhubungan dengan aktivitas dalam kehidupan politik. Partisipasi politik dalam definisi yang umum dapat diartikan sebagai kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara secara langsung atau tidak langsung dan memengaruhi kebijakan pemerintah (public policy) (Miriam Budiardjo, 1982:1). Kegiatan yang dimaksudkan Budiardjo mencakup tindakan memberikan suara dalam pemilu, menghadiri rapat umum, mengadakan hubungan (contacting), atau lobbying dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, menjadi anggota partai atau salah satu gerakan sosial. Herbert McClosky dalam Miriam Budiardjo (2008:367) juga memiliki pemikiran yang sejalan dengan Budiardjo, dimana partisipasi politik diartikan sebagai kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum. Kegiatan yang dimaksudkan McClosky sifatnya legal dan langsung bertujuan memengaruhi seleksi pejabat negara atau tindakan yang diambil mereka.


(36)

Partisipasi politik menurut Koirudin merupakan tindakan yang dilakukan oleh seorang individu atau kelompok yang berusaha untuk memengaruhi pengambilan keputusan yang merupakan indikasi aktif dari pemilih terhadap kehidupan politik. (Efriza, 2012:156). Amin Ibrahim (2009:139) mengatakan partisipasi politik merupakan kegiatan yang dilakukan oleh warga negara yang bertujuan memengaruhi pengambilan keputusan atau mengubah kebijakan yang akan dan telah diambil oleh supra struktur politik (pemerintahan). Kegiatan yang dimaksudkan seperti himbauan hingga gerakan yang melawan pemerintahan yang sah. Pendapat ini serupa dengan Samuel P. Huntington dan Joan Nelson (1994:4) yang mengatakan partisipasi politik merupakan kegiatan yang dilakukan oleh para warganegara (private citizen) dengan tujuan memengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. Partisipasi itu dapat secara spontan, secara sinambung atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif.

Koirudin, Amin Ibrahim, dan Huntington memberi batasan kegiatan sebagai gerakan maupun kegiatan yang memengaruhi dalam pembuatan keputusan atau kebijakan semata. Pendapat tersebut berbeda dengan pemaparan yang dikemukakan Budiardjo dan McClosky yang memasukkan juga unsur pemilihan pimpinan atau penguasa dalam pengertian kegiatan yang mereka jelaskan. Berdasarkan penjelasan tersebut, partisipasi politik merupakan kegiatan-kegiatan politik warga negara, baik dalam bentuk pemilihan pemimpin/penguasa maupun kegiatan untuk memengaruhi kebijakan


(37)

pemerintah, baik secara langsung maupun tidak langsung, secara individu maupun kelompok, dan secara legal maupun ilegal.

2. Bentuk Partisipasi Politik

Suatu bentuk partisipasi yang agak mudah untuk diukur intensitasnya adalah perilaku warga negara dalam pemilihan umum, antara lain melalui perhitungan persentase orang yang memilih dibanding dengan jumlah warga negara yang berhak memilih (Miriam Budiardjo, 1982:7). Bentuk partisipasi politik ternyata tidak hanya sebatas dalam pemilihan umum. Bentuk partisipasinya pun meliputi berbagai kegiatan-kegiatan langsung dan tidak langsung serta bersifat aktif maupun pasif. Kategori positif ini berupa kegiatan yang bisa bermanfaat secara pribadi dan kelompok. Kategori yang bersifat negatif merupakan kegiatan yang dapat merugikan dan biasanya berbentuk dalam kelompok atau gerakan yang radikal dan separatis. Partisipasi politik yang bersifat negatif ini seperti yang dijelaskan Huntington dalam Miriam Budiardjo (2008:370) yang menganggap bahwa kegiatan yang ada unsur destruktifnya seperti demonstrasi, teror, pembunuhan politik, dan lain-lain, merupakan suatu bentuk partisipasi. Bentuk-bentuk kegiatan partisipasi politik menurut Amin Ibrahim (2009:140), diantaranya:

1) Kegiatan pemilihan, dengan berbagai jenis dan kegiatannya seperti pemilihan umum untuk memilih anggota legislatif, pemilihan Presiden/Wakil Presiden, Gubernur/Wakil Gubernur, pemilihan anggota DPD yang biasanya diadakan secara berkala. Kegiatan pemilihan ini meliputi banyak kegiatan partisipasi seperti kampanye,


(38)

mencari dukungan untuk calon yang diunggulkan masing-masing kelompok atau parpol (tim kampanye atau tim sukses).

2) Kegiatan Lobbying, meliputi upaya-upaya perorangan atau kelompok mengadakan pendekatan dengan tokoh-tokoh supra maupun infra struktur politik. Tujuannya ialah agar tokoh ini dapat mengubah keputusan atau sikap politiknya sesuai dengan para lobbyist ini, baik murni keinginan mereka, atau mengatasnamakan pihak atau kelompok yang diwakilinya.

3) Kegiatan organisasi, meliputi kegiatan organisasi yang secara resmi diacarakan/diprogramkan dengan maksud yang sama seperti di atas. 4) Kegiatan mencari koneksi (contacting), berbeda dengan lobbying,

kegiatan ini bersifat khusus, biasanya dilakukan perorangan untuk mengadakan kontak-kontak dengan tokoh-tokoh kunci supra atau infra struktur politik yang ditujukan baik kepentingan yang bersangkutan atau untuk kepentingan pihak yang dibelanya atau didukungnya.

5) Tindakan kekerasan (violence), bersifat kekerasan yang merugikan hingga upaya-upaya melawan kekuasaan negara yang sah (keinginan mengubah kebijakan negara secara drastis).

Bentuk partisipasi politik yang sudah dianggap normal atau yang sudah umum dalam demokrasi modern adalah meliputi aktivitas pemberian suara (voting), diskusi politik, kegiatan kampanye, bergabung dalam kelompok kepentingan, atau melaksanakan komunikasi individual dengan pejabat-pejabat politik maupun administratif (Gabriel Almond dalam Cheppy Haricahyono (1991:181-182)). Pemaparan secara jelas mengenai bentuk partisipasi politik Almond tersebut adalah sebagai berikut:

1) pemberian suara (voting), boleh jadi merupakan suatu bentuk yang paling umum digunakan dari masa lampau sampai sekarang, baik dalam masyarakat tradisional maupun yang modern. Di samping itu, pemberian suara ini merupakan bentuk partisipasi politik aktif yang paling luas tersebar di berbagai masyarakat.

2) diskusi politik, dijelaskan sebagai usaha-usaha yang dilaksanakan oleh sekelompok warganegara untuk membicarakan dan memecahkan persoalan-persoalan politik negaranya, sekaligus ikut


(39)

mencari alternatif pemecahannya. Output yang dihasilkan dalam diskusi politik berupa tuntutan maupun dukungan yang tidak mengikat pihak penguasa.

3) kegiatan kampanye, erat hubungannya dengan bentuk pertama. Bentuk kegiatan kampanye pada prakteknya dilaksanakan sebelum kegiatan pemberian suara atau pemungutan suara itu sendiri dilaksanakan. Kegiatan ini melibatkan sumber pendukung yang lebih besar seperti waktu, tenaga, dan ruang serta tidak jarang mengarah pada bentrokan fisik.

4) bergabung dalam kelompok kepentingan atau melaksanakan komunikasi individual dengan pejabat-pejabat politik maupun administratif, kelompok kepentingan yang dibentuk dengan tujuan untuk lebih memperkuat dan mengefektifkan tuntutan-tuntutan yang bersifat individual itu telah ada dan berperan dalam kehidupan politik di sepanjang sejarah. (Cheppy Haricahyono, 1991:181-185)

3. Faktor Penunjang dan Model Partisipasi Politik

Tiap-tiap negara mempunyai ruang tersendiri terhadap kemungkinan partisipasi politik warga negaranya dengan tidak melihat sistem politik yang dianut negara itu sendiri. Sistem politik suatu negara merupakan faktor penunjang utama partisipasi politik warganegaranya. Menurut Nazaruddin Sjamsuddin, Zulkifli Hamid, dan Toto Pribadi, tinggi dan rendahnya partisipasi politik di negara-negara berkembang sangat ditentukan oleh tiga faktor utama, yakni tingkat pendidikan, tingkat kehidupan ekonomi, dan fasilitas-fasilitas yang memungkinkan berlangsungnya partisipasi politik, seperti komunikasi dalam masyarakat dan sistem politik. (Efriza, 2012:194).


(40)

Faktor penunjang lainnya berdasar analisa kehidupan bernegara. Menurut Haricahyono (1991:187), kehidupan bernegara meliputi dua sektor, yaitu:

“sektor supra struktur yang dalam hal ini diwakili oleh pemerintah dan sektor infra struktur yang dicerminkan oleh masyarakat atau seluruh rakyat negara yang bersangkutan. Partisipasi politik dari sektor supra struktur, umumnya berlandaskan pada sistem politik yang dianut suatu negara. Sedangkan sektor infra struktur, kondisi sosio-kultural masyarakat yang menjadi penunjang partisipasi politik.”

Antara supra struktur dan infra struktur memiliki hubungan yang berperan dalam penunjang partisipasi politik masyarakat. Hubungan itu ditentukan oleh kondisi sosio-kultural masyarakat, karakteristik pemerintah, serta ajaran yang dianut masyarakat dan negara. Berbeda dengan pendapat Weimar yang menyebutkan paling tidak ada lima faktor yang memengaruhi partisipasi politik, yakni:

1)Modernisasi di segala bidang yang berimplikasi pada komersialisasi pertanian, industrialisasi, meningkatnya arus urbanisasi, peningkatan tingkat pendidikan, meluasnya peran media massa, dan media komunikasi.

2)Terjadinya perubahan-perubahan struktur kelas esensial.

3)Pengaruh kaum intelektual dan meningkatnya komunikasi massa. 4)Adanya konflik diantara pemimpin-pemimpin politik.

5)Adanya keterlibatan pemerintah yang semakin meluas dalam urusan sosial, ekonomi, dan kebudayaan. (Efriza, 2012:198)

Partisipasi politik juga berkaitan dengan kesadaran politik. Jeffry M. Paige dalam Ramlan Surbakti (2010:184-185) membagi partisipasi menjadi empat model berdasarkan tinggi-rendahnya kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah. Pembagian tipe tersebut meliputi:

1) Partisipasi politik aktif, jika kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah tinggi.

2) Partisipasi politik apatis, jika kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah rendah.


(41)

3) Partisipasi politik militan radikal, jika kesadaran politik tinggi tetapi kepercayaan kepada pemerintah rendah.

4) Partisipasi politik pasif, jika kesadaran politik sangat rendah tetapi kepercayaan kepada pemerintah sangat tinggi.

Partisipasi politik aktif terjadi apabila seseorang memiliki kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah yang tinggi maka partisipasi politik seseorang ini cenderung aktif. Partisipasi politik apatis terjadi dimana kondisi yang berlawanan dengan partisipasi aktif. Apabila seseorang memiliki kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah yang rendah maka partisipasi politik cenderung pasif-tertekan (apatis). Partisipasi politik militan (radikal) terjadi apabila seseorang memiliki kesadaran politik yang tinggi, tetapi kepercayaan terhadap pemerintah lemah maka perilaku yang muncul adalah militan radikal. Partisipasi politik pasif terjadi apabila seseorang memiliki kesadaran politik yang sangat rendah, tetapi kepercayaan kepada pemerintah yang sangat tinggi maka partisipasi ini disebut tidak aktif (pasif).

Kategori golput memang susah untuk dijelaskan masuk ke dalam model partisipasi politik yang mana. Penjelasan model partisipasi politik dari Paige di atas setidaknya memunculkan dua kemungkinan perilaku golput sebagai model partisipasi politik yang bersifat pasif maupun partisipasi politik yang bersifat apatis. Partisipasi politik pasif menurut Goel dalam Efriza (2012:175) diartikan sebagai pendukung pasif (Passive Supporters) yang berarti individu yang memilih secara regular atau teratur, menghadiri parade patriotik, membayar seluruh pajak, dan mencintai negara. Model partisipasi politik pasif juga diungkapkan oleh Charles Andrain dan James Smith dalam


(42)

Efriza (2012:182) yang melihat keterlibatan politik seseorang, yaitu sejauh mana orang itu melihat politik sebagai sesuatu yang penting, memiliki minat terhadap politik, dan sering berdiskusi mengenai isu politik dengan teman. Berbeda lagi dengan pendapat Efriza (2012:182) yang memandang partisipasi pasif merupakan partisipasi yang berorientasi hanya pada output, dalam arti hanya menaati peraturan pemerintah, menerima, dan melaksanakan saja setiap keputusan pemerintah.

Kategori apatis menurut Lester Milbarth menyatakan apatis berarti orang yang tidak berpartisipasi dan menarik diri dari proses politik, sedangkan apatis (Aphatetic Inactives) menurut goel adalah individu yang tidak beraktivitas secara partisipatif, dan tidak pernah memilih (Efriza 2012:175). Efriza sendiri menyimpulkan kelompok partisipasi apatis sebagai golput karena menganggap sistem politik yang ada telah menyimpang dari apa yang dicita-citakan. Gambaran yang lebih jelas dapat dilihat berdasarkan pendapat Dedi Irawan dalam Efriza (2012:179) yang mengkaitkan teori partisipasi dengan sistem politik. Teori partisipasi berdiri dalam proses input yang terdiri dari tuntutan (demand) dan tuntutan (support) serta output. Berikut ini gambaran keterkaitan partisipasi politik dengan sistem politik yang menjelaskan posisi atau letak dari partisipasi aktif, partisipasi pasif, dan partisipasi apatis atau dikenal golput (non-voting behavior):


(43)

Tuntutan Output Dukungan

Input

Partisipasi Politik Aktif Partisipasi Politik Pasif Gambar 1. Posisi Partisipasi Politik Aktif, Pasif, Apatis (Golput) Yang

Ditinjau Dari Sistem Politik

Berdasarkan gambar di atas dapat dijelaskan bahwa:

1) manakala anggota masyarakat melakukan dukungan dan tuntutan kepada sistem politik, sejatinya ia telah melakukan tindakan partisipasi politik yang aktif. Partisipasi politik aktif adalah manakala anggota masyarakat mengajukan usul mengenai suatu kebijakan umum, mengajukan alternatif kebijakan umum yang berlainan dengan kebijakan yang dibuat pemerintah, mengajukan kritik dan perbaikan meluruskan kebijakan, membayar pajak dan memilih pemimpin pemerintahan.

2) Kegiatan yang termasuk dalam kegiatan yang menerima, menaati, dan melaksanakan apa saja yang diputuskan oleh kebijakan pemerintah disebut sebagai kegiatan partisipasi politik pasif.

3) (Debatable) adalah pihak yang tidak melakukan partisipasi, baik secara aktif maupun pasif adalah mereka yang menganggap masyarakat dari sistem politik yang ada telah menyimpang dari apa yang mereka cita-citakan. Kelompok ini disebut sebagai apatis atau golput (non-voting behavior). (Efriza, 2012:179)

Non-voting behavior Partisipasi Politik Apatis (Golput)


(44)

C.Tinjauan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) 1. Pemilih

Pemilih adalah warga negara Indonesia yang telah genap berusia 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih (Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pasal 68). Warga negara adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan Undang-Undang sebagai warga negara (Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 pasal 1 ayat (21)). Pemilih dalam setiap pemilihan umum didaftarkan melalui pendataan yang dilakukan oleh petugas yang ditunjuk oleh penyelenggara pemilihan umum. Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 menjelaskan bahwa untuk dapat menggunakan hak memilih, warga negara Republik Indonesia harus terdaftar sebagai pemilih. Warga negara Republik Indonesia tersebut harus memenuhi syarat agar dapat didaftarkan sebagai pemilih. Syarat itu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu:

a) Nyata-nyata tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya;

b) Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Seorang warga negara Republik Indonesia yang telah terdaftar dalam daftar pemilih ternyata tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2), maka tidak dapat menggunakan hak memilihnya. Mekanisme pencoblosan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah terkait pemilih ditegaskan dalam pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004.


(45)

Pasal tersebut menjelaskan bahwa pemberian suara untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan dengan mencoblos salah satu pasangan calon dalam surat suara.

2. Pemilihan Umum (Pemilu)

Pemilihan umum (pemilu) merupakan wujud dari pesta demokrasi dari sebuah negara yang menganut paham demokrasi. Pemilu sebagai wujud demokrasi adalah milik warga negara dan juga menentukan nasib mereka nantinya. Pemilu yang baik tidak bisa lepas dari keikutsertaan masyarakat yang memahami, mengerti, dan mengikuti semua proses dalam pemilihan umum. Pemilu sebagai sarana demokrasi, melibatkan partisipasi masyarakat luas yang membutuhkan informasi secara terbuka atau transparan.

Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008). Pemilu dapat melihat perwujudan dari keterlibatan masyarakat dalam proses politik. Keikutsertaan ini juga dapat dipandang sebagai wujud partisipasi dalam proses pemerintahan. Pemilihan umum merupakan sarana untuk mengembangkan demokrasi yang pada dasarnya lahir dari rakyat.


(46)

3. Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada)

Pemilukada langsung dipastikan membuka ruang partisipasi politik rakyat untuk mewujudkan kedaulatan dalam menentukan pemimpin di daerah. Tujuan ideal pemilukada langsung antara lain terpilihnya kepala daerah yang terpercaya, memiliki kemampuan, kepribadian, dan moral yang baik. Kepala daerah yang terpilih merupakan orang yang berkenan di hati masyarakat, dikenal dan mengenal daerah, dan memiliki ikatan emosional kuat kepada masyarakat. Kepala daerah yang dimaksud disini adalah gubernur, bupati atau walikota. Kepala daerah adalah kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis (Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004). Ma’aruf berpendapat bahwa:

“pemilukada langsung sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah. Keberhasilan otonomi daerah salah satunya juga ditentukan oleh pemimpin lokal. Semakin baik pemimpin lokal yang dihasilkan dalam pemilukada langsung, maka komitmen pemimpin lokal dalam mewujudkan tujuan otonomi daerah, antara lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memerhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat agar dapat diwujudkan”. (Suharizal, 2011:41)

Dihapuskannya kewenangan DPRD untuk memilih kepala daerah dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 menjadi alasan pemilihan Kepala Daerah secara langsung. Penjelasan ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pada bagian penjelasan angka 4 yang berbunyi sebagai berikut:

“Kepala Daerah adalah Kepala Pemerintahan Daerah yang dipilih secara demokratis. Pemilihan secara demokratis terhadap Kepala Daerah tersebut dengan mengingat bahwa tugas dan wewenang DPRD menurut Undang-Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,


(47)

menyatakan, antara lain bahwa DPRD tidak memiliki tugas dan wewenang untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah maka pemilihan secara demokratis dalam undang-undang ini dilakukan oleh rakyat secara langsung.”

Menurut A.A. GN Ari Dwipayana, setidaknya ada beberapa kondisi yang mendorong pemilukada dilakukan secara langsung:

Pertama, pengaturan pemilukada langsung menawarkan sejumlah manfaat dan sekaligus harapan bagi pertumbuhan, pendalaman, dan perluasan demokrasi lokal.

Kedua, dari sisi kompetisi politik, pemilukada langsung memungkinkan munculnya secara lebih lebar prefensi kandidat-kandidat yang bersaing serta memungkinkan masing-masing kandidat berkompetisi dalam ruang yang lebih terbuka dibandingkan ketertutupan yang sering terjadi dalam demokrasi perwakilan.

Ketiga, sistem pemilihan langsung akan memberi peluang bagi warga untuk mengaktualisasikan hak-hak politiknya secara lebih baik tanpa harus direduksi oleh kepentingan-kepentingan elite politik seperti yang kasat mata muncul dalam sistem demokrasi perwakilan.

Keempat, pemilukada langsung memperbesar harapan untuk mendapatkan figure pemimpin yang aspiratif, kompeten, dan legitimate. Kelima, kepala daerah yang terpilih melalui pemilukada akan memiliki legitimasi politik yang kuat sehingga akan terbangun perimbangan kekuatan (check and balances) di daerah, antara kepala daerah dengan DPRD. (Suharizal, 2011:41)

Selama berlangsungnya pemilukada langsung di daerah sampai saat ini pasti menyisakan berbagai hal negatif. Adanya pro dan kontra terhadap hasil pemilukada merupakan bentuk dari jalannya proses demokrasi. Keadaan ini masih dapat dimaklumi selama tidak melanggar ranah hukum. Penyelenggaraan pemilukada langsung juga dapat memberikan dampak positif terhadap penguatan demokrasi di Indonesia. Lima alasan menurut Suharizal (2011:180-181) mengenai hal tersebut, yaitu:


(1)

2. Bapak Drs. Hi. Aman Toto Dwijono, M.H. selaku Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung; 3. Bapak Drs. Denden Kurnia Drajat, M.Si. selaku Sekretaris Jurusan Ilmu

Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung dan selaku Pembimbing Akademik, terima kasih atas bimbingan dan nasehatnya;

4. Bapak Drs. R. Sigit Krisbintoro, M.IP. selaku dosen pembimbing utama, terima kasih atas waktu, bimbingan, motivasi, saran, dan kritik serta kesabarannya selama proses bimbingan skripsi ini sehingga saya dapat menyelesaikan pendidikan di Universitas Lampung;

5. Ibu Dwi Wahyu Handayani, S.IP, M.Si. selaku dosen pembimbing pembantu, terima kasih atas waktu, bimbingan, motivasi, saran, dan kritik serta kesabarannya selama proses bimbingan skripsi sehingga saya dapat menyelesaikan pendidikan dan mencapai gelar sarjana di Universitas Lampung;

6. Bapak Dr. Suwondo, M.A. selaku dosen pembahas, terima kasih telah menyempatkan dan membagi waktu diantara kesibukkan aktivitas Bapak, terima kasih atas kritik, saran, dan motivasi yang selalu membangun demi perbaikan skripsi ini;

7. Bapak Robi Cahyadi Kurniawan, S.IP., M.A., terima kasih atas nasehat, bantuan, informasi, dan pengalaman yang Bapak berikan;

8. Seluruh Dosen Pengajar FISIP Universitas Lampung khususnya Dosen-Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan, terima kasih atas pembekalan ilmu yang kalian berikan selama perkuliahan;


(2)

9. Seluruh Staf Jurusan Ilmu Pemerintahan dan Staf FISIP Universitas Lampung yang telah membantu dan melayani urusan administrasi penulis selama menuntun ilmu di Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung; 10. Aparat Pemerintah Kecamatan Gadingrejo dan Aparat Pemerintah Pekon

Kediri Kecamatan Gadingrejo Kabupaten Pringsewu, terima kasih atas informasi dan bantuannya;

11. Masyarakat Pekon Kediri selaku informan maupun responden dalam skripsi ini, terima kasih atas informasi dan bantuannya;

12. Kedua orang tuaku yang telah membesarkan, mendidik, dan membimbing diriku dengan penuh pengorbanan, cinta, dan kasih sayang serta kesabaran yang tiada habisnya. Terimakasih buat mamaku yang selalu berdoa untuk diriku demi kebaikkan dunia dan akhirat khususnya untuk keberhasilanku dalam menimba ilmu dan menggapai cita-citaku;

13. Kedua kakakku, Maman dan Chari serta kakak iparku, Mbak Irli, terima kasih atas nasihat, bimbingan, dukungan, bantuan, dan doa untuk keberhasilan diriku dalam menggapai gelar sarjanaku ini;

14. Keponakanku tersayang, Razan, jadilah anak yang soleh, cerdas, dan berbakti kepada Papa Maman dan Bunda Irli. Kalau adeknya nanti sudah lahir, harus menjadi kakak yang baik dan teladan serta bisa menjaga adek-adeknya sampai besar;

15. Pengisi hatiku dan belahan jiwaku, Ayank Noralia Priyanti, terima kasih atas semua bantuan, pengorbanan, semangat, doa, dan kasih sayang yang tercurah selalu setiap hari. Tanpa diduga tulang rusukku ada di sekitar bangku kuliahku (memang benar cinta itu datang tanpa diduga, 5 semester lebih ada di sekitar diri ini tanpa rasa, tapi tiba-tiba jatuh cinta, hahayy). Perjalanan


(3)

hidup dan cinta kita saat ini pasti akan berujung indah. Diriku yakin engkaulah yang pantas menjadi pendamping hidupku. Banyak orang di sekitar kita yang bilang kita berdua mirip dan bilang kita berdua jodoh. Jadikanlah semua itu sebagai doa untuk pengharapan kita dalam menggapai hidup yang berujung indah. Amin;

16. Teman-teman Ilmu Pemerintahan 2008, maaf kalau urutan bukan berarti prioritas, tapi kalian semua sama, yaitu teman-teman seperjuangan dalam menggapai gelar S.IP. Buat Tomy (terima kasih atas bimbingan Skripsi Kuantitatifnya, TOP banget lah, bisa jadi panutan temen-temen lain yang penelitian kuantitatif, terima kasih atas semua bantuannya selama berjuang di Pemerintahan, sukses yah “Tom”, lanjutkan indigo mu, hahaha), buat Ikhsan (terima kasih atas semua informasi, pengalaman, teman diskusi, teman seboncengan selama berapa semester yah “San” ???, hahaha), buat Andri Marta (selamat menempuh perjuangan di dunia kerjanya, sukses selalu, terima kasih atas semua bantuan selama berjuang di Pemerintahan), buat Baretha (terima kasih atas semua bantuan dan traktiran cemilan selama berjuang di Pemerintahan, jangan mengejar ilmu terus “Bar”, perhatikan juga kesehatan dan penampilan “Bar”, hahaha), buat Habrianda Bukit (jangan “Mail” terus, terima kasih atas semua bantuan selama di Pemerintahan khususnya waktu gw nembak Nora, maaf buat lw menunggu di kegelapan sambil dicumbu nyamuk, hahaha), buat Hury (teman KKN dan pak korcam, terima kasih jadi tempat curhat selama KKN dan teman nge-bolang selama di Tubabar), buat Dedi (gw jawab sanwancana skripsi lw neh: Iyah Ded, gw inget lw temen pemerintahan pertama gw yang ketemuan di GSG, hehehe), buat Arum (tobat lagi rum berpetualang cinta, hentikan menyakiti hati


(4)

pria-pria yang tidak berdosa, cukuplah zul, hariansya, dan alvindra jadi korban di Pemerintahan “jangan ada korban-korban lainnya”, hahha), buat Nira (jangan angong terus, ngomongnya jangan ngelantur “hahaha”, ditunggu undangan nikahan ma Aak Leon di Novotel “nginep di kelas kambing yah gw???”, terima kasih buat kostannya menjadi basecamp ngerumpi, hehehe), buat Nindy (semangat terus buat bimbingannya, jangan menyerah, jangan pikirin Robi terus, yang terpenting jangan mudah bersumpah atas nama “Allah” yah, dosa tau, piisss), Stella dan Eva (thanks atas semua bantuannya selama di Pemerintahan), Hariansya (“Ri” kenapa lw bisa menjalin kisah cinta dengan orang-orang yang memiliki nama depan “Dwi” (Dwi Elok=pacar lw dan Dwi Arum=mantan TTM lw), jangan sampe Dwi Agung lw jadiin istri yah, hahha), buat Shely, Wisnu, dan Nadya (makasih atas bantuan dan informasinya terutama saat seminar hasil, spesial buat Nadya kabarin yah klo mau nikah ma Aak Ferdi, lupakanlah kisah dengan “SiWon”, hehehe), buat Andri Giring, Aditya Hoppus, Suhada, Agung, Puput, Janto, Ardi (thanks atas persahabatannya dan semua bantuannya, jgn lupakan nongkrong di bawah pohon alpukat abis kuliah, hohoho), buat Putri (langgeng yah ma aak “Giring” klo bisa wisudanya barengan berdua ma Andri Giring), buat Alvindra (teruskan perjuangan skripsinya, gw siap memberikan kritik dan saran), buat Felix, Wahyu, Andika, Eko, Ahmad, Tyo, Fadhli, Aris, Feri, Zulyandra (sukses yah buat skripsinya semua terkecuali Mbe yg dah kerja, sukses dalam dunia kerjanya), buat Hida, Ita, Dona, Mei, Redho, Joshua (Desember ceria yah!!! terimakasih atas bantuan dan informasi selama di Pemerintahan), Nanda dan Ayu (buruan lagi seminar duanya, wisuda harus barengan yah), buat Reni, Abror, Risca, Duwi, Trio (lanjutkan perjuangan


(5)

sampai Kompre), buat Agustoni (kira-kira masuk rekening gk yah BUMN tahap kedua???), buat Aya, Ilham, Fuad, Sindy, Dudu, Sony, Edwin, Ivan, Alex, Riki, Aditya Primanda, Dendri, Iyong, Kajong, Ido, Bang Jona, dan teman-teman seangkatan 2008 yang belum disebut namanya (thanks buat semuanya dan sukses selalu);

17. Buat teman-teman SMAN 3 Balam, Rully, Seto, Danu, Arif, Nadia, Rima, Berty, Rizza, Merry, Anissa, dan semua teman “Toxido” (semoga kita sukses sepuluh tahun mendatang, Amin);

18. Buat Bang Apri, Bang Gede dan Mbak Kinoy (makasih atas ilmu dan pengalaman dalam bidang akademik dan organisasinya);

19. Buat Kanda dan Yunda Pemerintahan 2006-2007 baik Reguler maupun Non-Reguler; Mb Henny Nuritasari, Bg M. Adhi Ksatria (Makasih atas semua bantuan dan keramahan kalian berdua, langgeng sampe nikah yah), Bg Hardian, Bg Frengky, Bg Rizki Godjali, Bg Fariez, Mb Yeni, Mb Atika, Mb Pipit, Mb Wayan, Mb Rani, Mb Nurul Mutia, Mb Novi, Mb Nadia, Mb Nurul Nadia, Mb Khamida, Mb Erwi, Mb Yuni, Mb Manyun, Mb Nissa, Bg didik, Bg Friade, Bg Prandiki, dan abang-abang serta mbak-mbak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. (Terima kasih atas bimbingan dan bantuannya); 20. Buat Adek-adek Angkatan 2009 Ilmu Pemerintahan: Mahayu (jangan

berantem terus ma Iksan), Ridhal, Hadi, Bangun, Tetra, Yusi, Goestyari, Fauzi, Yul, Tommy, Wira, Awok, Ibe, dan yang lain (semangat buat kuliahnya dan semoga lancar menjadi S.IP-nya);

21. Buat Adek-Adek Angkatan 2010-2012 Ilmu Pemerintahan: (semangat buat kuliahnya! Jalan kalian masih panjang menjadi S.IP., terus belajar dan harus pintar membagi waktu kuliah dan organisasi, Hidupkan HMJ IP kembali!!!);


(6)

22. Teman-teman seperjuangan KKN di Desa Margasari Kecamatan Gunung Terang Kabupaten Tulang Bawang Barat: Yunita, Desma, Dini, Dina (terimakasih atas bantuan saat KKN dan sukses buat kita semua. Aminnn); 23. Yang terakhir buat beasiswa BUMN (terimakasih atas uang bantuannya

karena bermanfaat sekali bagi Penulis dalam proses penyusunan skrispi ini sampai selesai).

Akhir kata, Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, 14 November 2012

Penulis


Dokumen yang terkait

Non Voting Behavior (Perilaku Tidak Memilih) Pada Pemilukada kota Pematang Siantar 2010 (Studi Kasus : Perilaku Tidak Memilih Masyarakat di Kecamatan Siantar Selatan pada Pemilukada Kota Pematangsiantar 2010)

1 114 127

Non-Voting Dalam Pemilukada (Suatu Studi Perilaku Tidak Memilih Masyarakat Desa Tanjung Sari Kecamatan Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang Dalam PEMILUKADA Provinsi Sumatera Utara Pada Tahun 2013)

2 57 98

PERAN LEMBAGA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN KEPALA PEKON DALAM PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH PEKON GUMUKREJO KECAMATAN PAGELARAN KABUPATEN PRINGSEWU TAHUN 2011-2015

2 34 151

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU MEMILIH TERHADAP CALON BUPATI PEREMPUAN PADA PILKADA PRINGSEWU 2011 (Studi Pada Pekon Mataram Kecamatan Gading Rejo)

0 20 115

KONDISI ORIENTASI POLITIK MASYARAKAT PEKON SEBARUS DALAM PEMILUKADA KABUPATEN LAMPUNG BARAT

0 13 159

PERGESERAN PERANAN MERAJE DALAM MASYARAKAT SEMENDE DI DUSUN PAMASALAK PEKON SINARBARU KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN PRINGSEWU

3 14 55

PERAN INDUSTRI KERAJINAN KAIN PERCA DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PADA PEKON SUKAMULYA KECAMATAN BANYUMAS KABUPATEN PRINGSEWU

4 21 75

PENYEBAB MASYARAKAT TIDAK MEMILIH DALAM

0 0 11

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Non Voting Behavior (Perilaku Tidak Memilih) Pada Pemilukada kota Pematang Siantar 2010 (Studi Kasus : Perilaku Tidak Memilih Masyarakat di Kecamatan Siantar Selatan pada Pemilukada Kota Pematangsiantar 2010)

0 0 43

NON VOTING BEHAVIOUR (PERILAKU TIDAK MEMILIH) PADA PEMILUKADA KOTA PEMATANGSIANTAR 2010

0 0 17