17
gunung-gunung itu telah menyebabkan penunjukan arah yang membedakan orang Bali utara dan orang Bali selatan.
Di Bali pun terdapat kesusastraan lisan dan tulisan baik puisi maupun prosa. Disamping itu sampai kini di Bali terdapat juga sejumlah kursi
kesusastraan Jawa Kuno atau Kawi baik dalam bentuk puisi ataupun prosa yang dibawa ke Bali manakala Bali di bawah kekuasaan raja-raja Majapahit.
2.2.2 Sistem Budaya
Dalam sistem budaya Person membaginya menjadi 4 jenis lambang sebagai berikut
1. Lambang Konstitusi, lambang yang mengacu pada hal-hal yang bertalian
dengan kepercayaan manusia akan adanya kekuatan di luar dan diatas dirinya yang mengatur dan menentukan hidup serta kehidupan. Dalam
perkembangannya, lambang ini kemudian menjadi berbagai kepercayaan seperti agama, yang kemudian dikaitkan dengan keburukan dan penderitaan,
keterbatasan hidup manusia dan sebagainya. 2.
Lambang Kognisi, adalah simbol yang dihasilkan manusia dalam upaya memperoleh pengetahuan dan pengertian tentang kenyataan yang ada dalam
alam semesta, sehingga kenyataan-kenyataan yang ditemui disekeliling manusia akan dapat dimengerti dengan lebih baik.
3. Lambang evaluasi, lambang ini bertalian dengan nilai-nilai baik-buruk, betul
salah, pantas tidak pantas, indah tidak indah dan sebagainya. Menurut
18
pertimbangan anggota-anggota masyarakat adalah perwujudan dari system lambnag evaluasi ini.
4. Lambang ekspresi, yaitu lambang yang dikaitkan segala ungkapan beraneka
macam perasaan dan emosi manusia. Rasa hormat, kasih sayang, benci, iri, rasa terima kasih dan sebagainya.
2.2.3 Sosio Budaya
Pendekatan yang mengungkap aspek sastra dengan refleksi dokumen sosial budaya, ngimplikasikan bahwa karya sastra menyimpan hal-hal penting
bagi kehidupan sosiobudaya. Memang, pendekatan ini hanya persial artinya sekedar mengungkap persoalan kemampuan karya sastra mencatat keadaan
sosialbudaya masyarakat tertentu. Jadi, pendekatan ini tidak memperhatikan struktur teks, melainkan hanya penggalan-penggalan cerita yang terkait dengan
sosiobudaya. Kajian konteks sosiobudaya dibedakan menjadi empat jenis yang berasal dari
Grebstein Damono 1978:4-5 bahwa 1. Karya sastra tidak dapat dipahami selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan
dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya. Ia harus dipelajari dalam konteks seluas luasnya, dan tidak hanya dirinya
sendiri. Setiap karya sastra adalah hasil pengaruh timbal balik yang rumit antara faktor-faktor sosial dan kultur, dan karya itu sendiri merupakan obyek
kultural yang rumit. Bagaimanapun karya sastra bukan obyek kultural yang rumit.
19
2. Gagasan yang ada dalam karya sastra sama pentingnya dengan bentuk dan teknik penulisannya: bahkan boleh dikatakan bahwa bentuk dan teknik itu
ditentukan oleh gagasan tersebut. Tak ada karya besar yang diciptakan berdasarkan gagasan sepele dan dangkal; dalam pengertian ini sastra adalah
kegiatan yang sungguh-sungguh. 3. Setiap karya sastra yang bertahan lama, pada hakikatnya suatu moral, baik
dalam hubungannnya dengan kebudayaan sumbernya maupun dalam hubungannya dengan orang seorang. Karya sastra bukan moral dalam arti
sempit, yakni yang sesuai dengan suatu kode atau sisitem tindak tanduk tertentu, melainkan pengertian bahwa ia terlibat dalam kehidupan dan
menampilkan tanggapan evaluatif. Dengan demikian sastra adalah eksperimen moral.
4. Masyarakat dapat mendekati karya sastra dari dua arah: pertama, sebagai suatu kekuatan atau faktor material istimewa, dan kedua, sebagai tradisi-yakni
kecenderungan-kedenderungan spiritual maupun kultural yang bersifat kolektif. Bentuk dan isi dengan sendirinya dapat mencerminkan perkembangan
sosiologis, atau menunjukan perubahan-perubahan yang halus dalam watak kultural.
5. Kritik sastra seharusnya lebih dari sekedar perenungan estetis yang tanpa pamrih, ia harus melibatkan dirinya sendiri dalam suatu tujuan tertentu. Kritik
adalah kegiatan penting yang harus mempengaruhi penciptaan sastra, tanpa mendekte sastrawan agar memilih tema tertentu, misalnya, melainkan
menciptakan iklim tertentu yang bermanfaat lagi penciptaan seni besar.
20
6. Kritikus bertanggung jawab baik kepada sastra masa silam maupun sastra masa datang. Dari sumber sastra yang sangat luas itu kritikus harus sesuai dengan
masa kini. Perahatiaanya bukan seperti pengumpul benda kuno yang kerjanya hanya menyusun kembali, tetapi memberi penafsiran seperti yang dibutuhkan
oleh masa kini. Dan karena setiap generasi membutuhkan pilihan yang berbeda-beda, tugas kritikus untuk menggali masa lalu tak ada habisnya.
Pendekatan yang mengungkap aspek sastra dengan refleksi dokumen sosiobudaya, mengimplikasikan bahwa karya sastra menyimpan hal-hal penting
bagi kehidupan sosiobudaya, memang, pendekatan ini hanya parsial, artinya sekedar mengungkap persoalan kemampuan karya sastra mencatat keadaan
sosiobudaya masyarakat tertentu. Jadi, pendekatan ini tidak memperhatikan struktur teks, melainkan hanya penggalan-penggalan cerita yang terkait dengan
sosiobudaya.
2.3 Konflik