Tiba-Tiba Malam Karya Putu Wijaya: Analisis Sosiologi Sastra

(1)

TIBA-TIBA MALAM KARYA PUTU WIJAYA: ANALISIS SOSIOLOGI

SASTRA

SKRIPSI

OLEH

WIKA REMINCE SIHOMBING

050701033

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TIBA-TIBA MALAM KARYA PUTU WIJAYA:

ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA

SKRIPSI

OLEH

WIKA REMINCE SIHOMBING 050701033

Proposal ini diajukan untuk melengkapi persyaratan mengikuti ujian skripsi dan telah disetujui oleh:

Pembimbing I Pembimbing II

Dra. Nurhayati Harahap, M. Hum. Dra. Yulizar Yunas, M. Hum. NIP 196204191987032001 NIP 195004111981022001

Departemen Sastra Indonesia Ketua

Dra. Nurhayati Harahap, M. Hum. NIP 196204191987032001


(3)

TIBA- TIBA MALAM KARYA PUTU WIJAYA: ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA

ABSTRAK

Karya sastra yang tercipta merupakan proses kreatifitas dari seorang pengarang terhadap realitas kehidupan sosial pengarangnya. Karya sastra yang baik adalah karya sastra yang dapat mencerminkan zaman serta situasi yang berlaku dalam masyarakat melalui proses kreatifitas pengarang terhadap realita kehidupan sosial. Penulisan skripsi ini dilakukan dengan tujuan memperoleh gambaran bagaimana bentuk-bentuk proses sosial yang terdapat dalam novel Tiba-Tiba Malam karya Putu Wijaya. Untuk mencapai tujuan tersebut, penulis telah menelaah novel Tiba-Tiba Malam dan telah menerapkan teori struktural dan sosiologi sastra untuk mencari hubungan antara struktur karya sastra dengan bentuk proses sosial dalam novel Tiba-Tiba Malam. Masalah dalam analisis skripsi ini dibatasi pada bagian bentuk proses sosial yang meliputi kerja sama, pertikaian atau pertentangan, dan akomodasi, dan struktur pembangun karya sastra yang meliputi penokohan, alur, latar, dan tema. Manfaat dari penelitian ini untuk memperkaya pengkajian dan pengapresiasian karya sastra Indonesia, dapat memahami bentuk- bentuk proses sosial yang terdapat dalam novel Tiba-Tiba Malam karya Putu Wijaya, dapat memahami syarat-syarat terjadinya interaksi sosial dalam novel Tiba-Tiba Malam karya Putu Wijaya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode membaca heuristik dan hermeneutik. Kerja sama dalam novel Tiba-Tiba Malam dapat kita lihat dari usaha-usaha yang dilakukan oleh penduduk desa yang saling bergotong-royong dalam membersihkan pura, selokan, dan acara-acara kematian ataupun pernikahan. Pertikaian secara garis besar dapat dilihat ketika Utari tidak mau tinggal di rumah mertuanya yang mengakibatkan Subali marah dan terjadi pertikaian antara Subali dengan Utari dan keluarganya. Begitu juga akomodasi dapat kita lihat dari adanya suatu upaya damai yang diberikan oleh kepala desa untuk menyelesaikan konflik yang terjadi antara keluarga Subali dan penduduk desa.


(4)

KATA PENGANTAR

Pertama sekali penulis mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari dari awal sampai akhir penyelesaian skripsi ini mengalami kesulitan-kesulitan yang disebabkan kurangnya bahan-bahan, kemampuan dan pengalaman penulis.

Skripsi ini berjudul Tiba-Tiba Malam Karya Putu Wijaya: Analisis Sosiologi Sastra. Skripsi ini diajukan guna memenuhi salah satu syarat dalam menempuh ujian sarjana bidang Ilmu Sastra di Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Indonesia.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M. A., Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. 2. Ibu Dra. Nurhayati Harahap, M. hum. sebagai Ketua Jurusan Departemen Sastra

Indonesia dan juga sebagai pembimbing I, dan Ibu Dra. Yulizar Yunas, M. Hum. sebagai pembimbing II, yang telah memberikan petunjuk dan saran yang berguna bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Seluruh dosen pengajar, khususnya Ibu Dra. Sugihana Sembiring, M. Hum. sebagai dosen wali yang selalu memberikan dorongan selama penulis mengikuti perkuliahan di Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara.

4. Kedua orangtuaku Op. Frendika Immanuel Sihombing/br. Siallagan, terima kasih penulis ucapkan buat setiap do’a, materi, semangat, nasehat, dan kasih sayang yang selalu penulis dapatkan.


(5)

5. Buat kakak dan abangku Sarinah Sihombing, Juan Carlos Sihombing, dan Rustam Sihombing, terima kasih buat do’a, semangat, dan kasih sayang yang diberikan kepada penulis.

6. Untuk saat ini, keponakanku yang tersayang, Frendika Immanuel Sihombing dan Ling Lie Nauli Sihombing, terima kasih buat kebahagiaan dapat merasakan menjadi seorang bou yang sesungguhnya.

7. Teman-teman Sasindo, khususnya stambuk 2005, Sandra Pasaribu, Rusliana Pasaribu, Nurul Fitria, terima kasih buat waktu dan semangat yang diberikan kepada penulis selama mengerjakan skripsi ini. Buat anak kos Pamen G-8 yang namanya tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih buat semangat dan canda tawanya. Buat Hanz Vodicha yang tidak akan pernah terlupakan.

8. Terima kasih buat semangat, do’a, cinta dan kasih sayang kepada Babe, yang akan tetap menjadi Babe.

Mudah-mudahan skripsi ini berguna bagi pembaca dan dapat membangkitkan minat untuk membicarakan ilmu sastra lebih dalam lagi.

Medan, Agustus 2010

Wika Remince Sihombing NIM 050701033


(6)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR ISI ... v

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Batasan Masalah………...6

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian... 7

1.2.1Tujuan Penelitian... 7

1.2.2Manfaat Penelitian... 7

BAB II : KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA... 8

2. 1 Konsep ... 8

2. 2 Landasan Teori... 10

2. 3 Tinjauan Pustaka ... 17

BAB III : METODE PENELITIAN... 19

3.1 Metode Pengumpulan Data... 19

3. 1. 1 Bahan Analisis... 20

3. 2 Sinopsis ... 20

BAB IV : ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA TERHADAP NOVEL TIBA-TIBA MALAM KARYA PUTU WIJAYA ... 23

4. 1 Pendekatan Struktural dalam Novel Tiba-Tiba Malam Karya Putu Wijaya ... 23

4. 1. 1 Penokohan ... 23


(7)

4. 1. 4 Tema... 45

4. 2 Bentuk- Bentuk Proses Sosial dalam Novel Tiba-Tiba Malam Karya putu Wijaya ... 48

4. 2. 1 Kerja Sama ... 48

4. 2. 2 Pertikaian... 50

4. 2. 3 Akomodasi ... 52

4. 3 Syarat-Syarat Terjadinya Interaksi Sosial dalam Novel Tiba-Tiba Malam Karya Putu Wijaya ... 54

4. 3. 1 Kontak Sosial... 54

4. 3. 2 Komunikasi Sosial... 59

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN... 61

5. 1 Kesimpulan ... 61

5. 2 Saran... 62 DAFTAR PUSTAKA


(8)

TIBA- TIBA MALAM KARYA PUTU WIJAYA: ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA

ABSTRAK

Karya sastra yang tercipta merupakan proses kreatifitas dari seorang pengarang terhadap realitas kehidupan sosial pengarangnya. Karya sastra yang baik adalah karya sastra yang dapat mencerminkan zaman serta situasi yang berlaku dalam masyarakat melalui proses kreatifitas pengarang terhadap realita kehidupan sosial. Penulisan skripsi ini dilakukan dengan tujuan memperoleh gambaran bagaimana bentuk-bentuk proses sosial yang terdapat dalam novel Tiba-Tiba Malam karya Putu Wijaya. Untuk mencapai tujuan tersebut, penulis telah menelaah novel Tiba-Tiba Malam dan telah menerapkan teori struktural dan sosiologi sastra untuk mencari hubungan antara struktur karya sastra dengan bentuk proses sosial dalam novel Tiba-Tiba Malam. Masalah dalam analisis skripsi ini dibatasi pada bagian bentuk proses sosial yang meliputi kerja sama, pertikaian atau pertentangan, dan akomodasi, dan struktur pembangun karya sastra yang meliputi penokohan, alur, latar, dan tema. Manfaat dari penelitian ini untuk memperkaya pengkajian dan pengapresiasian karya sastra Indonesia, dapat memahami bentuk- bentuk proses sosial yang terdapat dalam novel Tiba-Tiba Malam karya Putu Wijaya, dapat memahami syarat-syarat terjadinya interaksi sosial dalam novel Tiba-Tiba Malam karya Putu Wijaya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode membaca heuristik dan hermeneutik. Kerja sama dalam novel Tiba-Tiba Malam dapat kita lihat dari usaha-usaha yang dilakukan oleh penduduk desa yang saling bergotong-royong dalam membersihkan pura, selokan, dan acara-acara kematian ataupun pernikahan. Pertikaian secara garis besar dapat dilihat ketika Utari tidak mau tinggal di rumah mertuanya yang mengakibatkan Subali marah dan terjadi pertikaian antara Subali dengan Utari dan keluarganya. Begitu juga akomodasi dapat kita lihat dari adanya suatu upaya damai yang diberikan oleh kepala desa untuk menyelesaikan konflik yang terjadi antara keluarga Subali dan penduduk desa.


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karya sastra yang tercipta merupakan hasil dari proses kreativitas pengarang. Pengarang merupakan bagian dari masyarakat, dan hidup dalam masyarakat dengan beraneka ragam permasalahan, misalnya masalah sosial. Hasil dari kreatifitas pengarang dapat diperoleh dari keadaan masyarakat dimana pengarang tinggal yang dituangkan ke dalam karya sastra. Jabrohim (2001: 167 ) mengatakan bahwa pengalaman dan pengamatan sastrawan terhadap lingkungan sosialnya tersebut kemudian menginspirasi lahirnya sebuah karya sastra. Sehingga, sastra bukan- lah sesuatu yang otonom, berdiri sendiri, melainkan sesuatu yang terkait erat dengan situasi kondisi lingkungan tempat karya itu dilahirkan.

Menurut Goldmann (dalam Ratna, 2003: 89), karya sastra yang valid adalah karya sastra yang didasarkan atas keseluruhan kehidupan manusia, yaitu pengalaman subjek kreator sebagai warisan tradisi dan konvensi. Karya sastra yang baik adalah karya sastra yang dapat mencerminkan zaman serta situasi yang berlaku dalam masyarakat melalui proses kreatifitas pengarang terhadap realita kehidupan sosial. Hal ini sejalan dengan pernyataan Damono (1984: 1) yang menyatakan bahwa,

Karya sastra diciptakan sastrawan untuk dinikmati, dipahami dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastrawan merupakan masyarakat yang terikat dengan status sosial tertentu. Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium, bahasa merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan adalah suatu kenyataan sosial. Seluruh peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang, yang sering menjadi bahan sastra adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau masyarakat.


(10)

kehidupan masyarakat sekitarnya dan pengalaman pribadi seorang pengarang. Pengaruh masyarakat terhadap pengarang akan terlihat dari isi karya sastra yang menggambarkan kehidupan masyarakat yang ia kenal. Kondisi dan permasalahan sosial yang terjadi dalam kenyataan sehari-hari merangsang imajinasi sastrawan untuk mengungkapkan permasalahan sosial tersebut dengan sudut pandang sosial tertentu, sehingga lahirlah kenyataan baru dalam karyanya. Wellek dan warren (1984: 276) mengatakan bahwa karya sastra adalah hasil ciptaan pengarang yang menggambarkan segala peristiwa yang dialami masyarakat di dalam kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sastra merupakan penafsiran kehidupan yang mengalami proses kreatifitas dari seorang pengarang. Pengungkapan realitas yang dilakukan pengarang di dalam karya sastra tidak terlepas dari berbagai faktor yang turut mempengaruhi ide, visi, atau sikap pengarang. Keseluruhan faktor tersebut berasal dari lingkungan masyarakat yang ditempati pengarang.

Albrecht (dalam Ratna, 2003: 82) mengatakan bahwa karya sastra sebagai cara komunikasi antarperson. Aparatus interaksi sosial, yang keberadaannya mesti dinilai melalui sistem antarhubungan peranan. Untuk menilai karya sastra dapat dilihat dari sudut pandang yang berbeda, misalnya dari sudut sosiologi. Karya sastra Indonesia sangat erat kaitannya dengan masyarakat dimana karya sastra tersebut diciptakan. Karya sastra yang menciptakan konflik yang terjadi dalam masyarakat, baik dari struktur sosial, perubahan sosial, dan proses sosial sering kita jumpai dalam masalah-masalah sosial antar masyarakat. Karya sastra yang diciptakan oleh seorang pengarang dewasa ini kebanyakan menceritakan masalah-masalah sosial, misalnya dalam novel “Tuhan Tiri” karya Aris Wahyudi. Novel ini berisi masalah-masalah sosial yang sering dijumpai dalam kehidupan masyarakat, yaitu pandangan masyarakat terhadap wanita


(11)

pekerja seksual. Kita mengetahui bahwa masyarakat memiliki pandangan yang “miring” kepada pekerja seksual. Masalah-masalah seperti ini sudah sering kita jumpai, mungkin pernah kita alami.

Sastra dan sosiologi merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan karena memiliki objek yang sama yaitu masyarakat. Lotman (dalam Faruk, 1994: 47) menyebutkan sastra sebagai sistem pemodelan tingkat kedua. Maksudnya, sastra merupakan sistem pemodelan yang ditumpangkan pada sistem pemodelan tingkat pertama, yaitu bahasa. Sedangkan sosiologi menurut Tamotsu Shibutani (dalam Soekanto,1990: 65) adalah ilmu yang mempelajari transaksi-transaksi sosial yang mencakup usaha-usaha bekerja sama antara para pihak, karena semua kegiatan-kegiatan manusia didasarkan pada gotong-royong. Maksudnya adalah bahwa sosiologi merupakan kajian yang membahas segala proses dalam kehidupan masyarakat, karena transaksi-transaksi dan usaha-usaha untuk bekerja sama merupakan proses-proses kehidupan masyarakat untuk mencapai satu tujuan yang sama. Sastra dan proses sosial merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan. Proses-proses sosial yang terdapat dalam kehidupan masyarakat dapat digambarkan melalui karya sastra. Karya sastra sebagai hasil ciptaan dari seorang pengarang menggambarkan realita kehidupan masyarakat, beserta proses-proses yang dialami oleh masyarakat dalam melangsungkan kehidupannya. Diantara keduanya saling memerlukan dan saling melengkapi agar menjadikan hidup masyarakat mengerti akan kebudayaan masing-masing dan tetap melestarikan adat-istiadat yang telah ada sebelumnya dan memperbaharui kehidupan menjadi lebih baik lagi dengan melihat dampak positif dari proses-proses sosial yang ada dalam kehidupan masyarakat.

Kesusastraan Indonesia saat ini tidak sedikit yang membicarakan masalah proses sosial, karena proses sosial merupakan segala bentuk proses yang terjadi dalam kehidupan


(12)

bermasyarakat, baik itu proses kerja sama, pertikaian, pertentangan, dan akomodasi. Sastra merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat karena sastra menceritakan masalah-masalah yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Masalah-masalah yang terjadi dalam kehidupan masyarakat merupakan proses dalam berlangsungnya kehidupan masyarakat sosial.

Menurut Basrowi (2005: 136),

Proses sosial merupakan aspek dinamis dari kehidupan masyarakat. Di dalamnya terdapat suatu proses hubungan antara manusia satu dengan lainnya. Proses hubungan tersebut berupa interaksi sosial yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari secara terus-menerus. Interaksi sosial yang dimaksudkan sebagai pengaruh timbal-balik antara kedua belah pihak, yaitu antara individu yang satu dengan individu atau kelompok lainnya dalam rangka mencapai sesuatu atau tujuan tertentu.

Kehidupan manusia saat ini, proses-proses sosial sangat dibutuhkan, karena tanpa adanya proses-proses sosial maka manusia tidak dapat menjalankan kehidupannya dengan baik, tanpa adanya kegiatan dan interaksi dengan sesama masyarakat. Proses-proses sosial tersebut terjadi akibat adanya hubungan antara individu dengan individu maupun dengan kelompok-kelompok masyarakat.

Kehidupan masyarakat budaya Minahasa dan Bali mengenal adanya kerja sama sebagai proses dalam menjalankan kehidupan antara sesama masyarakat. Kerja sama merupakan proses sosial kehidupan bermasyarakat. Dalam budaya Minahasa mengenal adanya solidaritas dan kerja sama yang disebut sebagai Mapalus. Menurut Kalangi (dalam Koentjaraningrat, 2007: 156),

Mapalus diartikan sebagai kegiatan bantu-membantu dan kerja sama. Dalam menghadapi hal-hal yang penting seperti kematian dengan serangkaian upacara perkabungan dan penghiburan, perkawinan, dan perayaan-perayaan lainnya, serta dalam mengerjakan berbagai pekerjaan pertanian dan kepentingan rumah tangga maupun komunitas, tampak adanya gejala solidaritas berupa bantu-membantu dan kerja sama, terutama didasarkan pada prinsip resiprositas.

Budaya Bali juga sangat erat dengan kerja sama sebagai bukti masih adanya sikap tolong-menolong diantara mereka. Gotong-royong merupakan bentuk dari adanya kerja sama. Dalam masyarakat Bali mengenal dua macam cara dan sistem royong yaitu


(13)

gotong-royong antara individu dengan individu, atau antara keluarga dan keluarga. Menurut Bagus (dalam Koentjaraningrat, 2007: 298),

Gotong-royong disebut dengan Nguopin dan meliputi lapangan-lapangan aktivitas di sawah (seperti menanam, menyiangi, panen, dan sebagainya), sekitar rumah tangga (memperbaiki atap rumah, dinding rumah, menggali sumur, dan sebagainya), dalam perayaan-perayaan atau upacara-upacara yang diadakan oleh suatu keluarga, atau dalam peristiwa kecelakaan dan kematian.

Kedua budaya di atas dapat kita simpulkan bahwa dalam kehidupan bermasyarakat kita harus saling bantu-membantu atau saling bekerja sama sebagai bentuk dari proses sosial dalam kehidupan antar individu dengan individu atau kelompok dengan kelompok masyarakat. Kerja sama dalam novel ini dapat kita lihat dari usaha-usaha yang dilakukan oleh penduduk desa yang saling bergotong-royong seperti membersihkan pura, selokan, pembangunan desa, memperbaiki rumah penduduk, gotong-royong ketika ada acara-acara pernikahan maupun kematian semuanya dilakukan oleh penduduk dalam novel ini secara bekerja sama. Secara umum proses sosial bukan hanya dilakukan dengan cara kerja sama saja, tetapi dapat diwujudkan dengan aspek-aspek lain, seperti persaingan, pertentangan, maupun akomodasi. Persaingan secara umum sudah sering kita lihat dalam kehidupan masyarakat saat ini, baik persaingan untuk merebut jabatan atau kedudukan, persaingan atas harta dan kekayaan, maupun persaingan atas prestasi dalam suatu organisasi. Pertikaian dapat dilihat dengan adanya perbedaan-perbedaan pendapat yang berhubungan dengan ekonomi, politik, dan lain sebagainya. Pertikaian atau pertentangan dalam novel Tiba-Tiba Malam karya Putu wijaya ini secara garis besar dapat kita lihat ketika Subali marah kepada Utari karena Utari tidak mau tinggal di rumah mereka. Karena Subali marah pada Utari, kedua orang tua Utari pun marah kepada Subali, merasa tidak diterima anaknya mendapat perlakuan yang dilakukan oleh Subali. Begitu juga dengan akomodasi secara umum dapat kita lihat dari adanya suatu konflik yang mendapat penyelesaian, dan membuat situasi yang tegang


(14)

kembali menjadi seperti semula. Akomodasi dalam novel ini dapat kita lihat melalui upaya damai yang diberikan oleh kepala desa untuk menyelesaikan konflik yang terjadi antara keluarga Subali dan penduduk desa.

Novel Tiba-Tiba Malam karya Putu Wijaya menceritakan tentang kebudayaan Bali. Indonesia memiliki beraneka ragam suku dengan budaya yang berbeda. Karena keanekaragaman budaya inilah penulis tertarik menganalisis novel ini, dan Bali juga merupakan provinsi yang terkenal dengan pemandangan alam yang menarik perhatian orang luar negri dan masyarakat Indonesia sendiri dengan melihat proses sosial yang ada dalam suku Bali dalam novel Tiba-Tiba Malam karya Putu Wijaya melalui tinjauan sosiologi sastra, agar kebudayaan-kebudayaan yang ada di Indonesia tetap terjaga dan tetap terlestarikan.

1.2 Rumusan Masalah

Masalah yang akan dianalisis dalam penelitian ini antara lain:

a. Bagaimanakah struktur pembangun karya sastra yang terdapat dalam novel Tiba-Tiba Malam karya Putu Wijaya.

b. Bagaimanakah bentuk proses sosial yang terdapat dalam novel Tiba-Tiba Malam karya Putu Wijaya?

c. Apa sajakah syarat-syarat terjadinya interaksi sosial yang terdapat novel Tiba-Tiba Malam karya Putu Wijaya?

1.3 Batasan Masalah

Batasan masalah dalam penelitian ini dapat dilihat dalam bentuk-bentuk proses sosial yang meliputi kerjasama, akomodasi, dan pertentangan atau pertikaian dalam novel Tiba-Tiba Malam karya Putu Wijaya.


(15)

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dari peelitian ini adalah:

a. Mendeskripsikan struktur pembentuk karya sastra yang terdapat dalam novel Tiba-Tiba Malam karya Putu Wijaya.

b. Mendeskripsikan bentuk-bentuk proses sosial yang terdapat dalam novel Tiba-Tiba Malam karya Putu Wijaya.

c. Mendeskripsikan syarat-syarat terjadinya interaksi sosial yang terdapat dalam novel Tiba-Tiba Malam karya Putu wijaya.

1.4.2 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah:

a. Memperkaya pengajian dan pengapresiasian karya sastra di Indonesia.

b. Memahami pembaca bagaimana struktur pembentuk karya sastra yang terdapat dalam novel Tiba-Tiba Malam karya Putu Wijaya.

c. Untuk memahami pembaca bagaimana bentuk-bentuk proses sosial yang terdapat dalam novel Tiba-Tiba Malam karya Putu Wijaya.

d. Memahami pembaca bagaimana syarat-syarat terjadinya interaksi sosial dalam novel Tiba-Tiba Malam karya Putu Wijaya.


(16)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Agar peneliti dan pembaca mendapatkan gambaran yang jelas mengenai preposisi penelitian, maka pada subbab ini akan dijelaskan preposisi-preposisi tersebut. Menurut Malo dkk. (1985: 47) “konsep-konsep yang dipakai dalam ilmu sosial walaupun kadang-kadang istilahnya sama dengan yang dipergunakan sehari-hari, namun makna dan pengertiannya dapat berubah.”

Di samping adanya perbedaan mengenai makna dan pengertian suatu konsep dalam bahasa sehari-hari, sering juga terdapat perbedaan diantara para ahli atau peneliti sendiri mengenai makna dan pengertian istilah yang sama yang mereka pergunakan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka penelitian ini akan menjabarkan atau mendefinisikan istilah yang dianggap sama dari beberapa ahli karena banyaknya arti atau definisi yang dipakai dalam penelitian ini. Istilah-istilah tersebut akan dijabarkan sebagai berikut:

a. Sosiologi

Sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang masyarakat atau ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan, hubungan antarmanusia dalam masyarakat (Ratna, 2003: 1).

b. Sastra

Sastra adalah tulisan yang mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk, atau buku pengajaran yang baik ( Ratna, 2003: 1).


(17)

c. Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra menurut pendapat Ratna (2003:1) adalah pendekatan sastra dengan mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan yang ada dalam karya sastra. Segi kemasyarakatan yang berhubungan dengan masyarakat, baik penciptanya, masyarakat yang diceritakan dalam karya sastra itu dan pembacanya.

d. Proses Sosial

Proses sosial menurut Basrowi (2005: 136) merupakan aspek dinamis dari kehidupan masyarakat. Di dalamnya terdapat suatu proses hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Proses hubungan tersebut berupa interaksi sosial yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari secara terus- menerus. Interaksi sosial yang dimaksudkan sebagai pengaruh timbal balik antara kedua belah pihak, yaitu antara individu yang satu dengan individu atau kelompok lainnya dalam rangka mencapai sesuatu atau tujuan tertentu.

e. Interaksi Sosial

Menurut Basrowi (2005: 138) interaksi sosial adalah hubungan dinamis yang mempertemukan orang dengan orang, kelompok dengan kelompok maupun orang dengan kelompok manusia. Bentuknya tidak hanya bersifat kerja sama, tetapi bisa juga berbentuk tindakan persaingan, pertikaian, dan sejenisnya.

f. Kerja Sama

Hendropuspito (1989: 236) mengatakan bahwa kerja sama adalah suatu bentuk proses sosial dimana dua atau lebih perorangan atau kelompok mengadakan kegiatan guna mencapai tujuan yang sama.


(18)

g. Akomodasi

Akomodasi menurut Dirdjosisworo (1985: 277) adalah suatu keadaan dimana suatu pertikaian atau konflik mendapat penyelesaian sehingga terjalin kerja sama yang baik kembali.

h. Pertentangan atau Pertikaian

Basrowi (2005: 148) mengatakan bahwa pertikaian adalah bentuk persaiangan yang berkembang ke arah negatif, artinya karena di satu pihak bermaksud untuk mencelakakan atau paling tidak bermaksud untuk mencelakakan atau paling tidak berusaha untuk menyingkirkan pihak lainnya.

i. Kontak Sosial

Menurut Dirdjosisworo (1985: 273) kontak sosial mengandung arti bersama-sama menyentuh secara fisik (persinggungan badani). Maka kontak sosial dapat diartikan sebagai hubungan-hubungan melalui percakapan satu dengan lain.

j. Komunikasi Sosial

Komunikasi sosial menurut Basrowi (2005: 143) adalah suatu proses saling memberikan tafsiran kepada atau dari perilaku pihak lain.melalui tafsiran pada perilaku pihak lain, seseorang mewujudkan perilaku sebagai reaksi terhadap maksud atau peran yang ingin disampaikan oleh pihak lain itu.

2. 2 Landasan Teori

Sebuah penelitian perlu ada landasan teori yang mendasari karena landasan teori merupakan kerangka dasar sebuah penelitian. Landasan teori yang dipergunakan hendaknya mampu menjadi tumpuan seluruh pembahasan. Dalam analisis ini terlebih dahulu penulis mempergunakan teori struktural karena karya sastra tidak terlepas dari unsur-unsur yang


(19)

terdapat di dalam karya sastra. Selanjutnya teori yang dipergunakan adalah teori sosio sastra untuk menggambarkan proses sosial yang terdapat di dalam novel Tiba-Tiba Malam.

Karya sastra adalah sebuah struktur yang kompleks. Untuk dapat memahaminya karya sastra haruslah dianalisis. Karya sastra haruslah terlebih dahulu diuraikan unsur- unsur pembentuknya. Makna karya sastra dapat dipahami dari unsur- unsur pembentuknya sehingga karya sastra dapat dianalisis ke dalam teori-teori yang lain. Teeuw (dalam Jabrohim, 2001: 55) berpendapat bahwa analisis struktural merupakan tugas prioritas bagi seorang peneliti sastra sebelum ia melangkah pada hal-hal lain. Hal itu berdasarkan anggapan bahwa pada dasarnya karya sastra merupakan “dunia dalam kata” yang mempunyai makna intrinsik yang hanya dapat digali dari karya sastra itu sendiri. Jadi, untuk memahami karya sastra secara optimal menurut Jabrohim (2001: 55-56) pemahaman terhadap struktur adalah suatu tahap yang sulit untuk dihindari, dan harus dilakukan bagi seorang peneliti sastra. Pemahaman struktur yang dimaksudkan itu adalah pemahaman atau analisis unsur atau anasir pembangunan keutuhan karya sastra.

Stanton (dalam jabrohim, 2001: 56) mendeskripsikan unsur-unsur karya sastra sebagai berikut. Unsur-unsur pembangun itu terdiri atas tema, fakta cerita dan sarana sastra. Fakta cerita itu sendiri terdiri atas alur, tokoh, dan latar; sedangkan sarana sastra biasanya terdiri atas susut pandang, gaya bahasa dan suasana, simbol-simbol dan imaji-imaji, dan juga cara-cara pemilihan judul. Secara eksplisit Jeans Peaget (dalam Jabrohim, 2001:55) menyatakan bahwa struktur adalah suatu sistem transformasi yang bercirikan keseluruhan; dan keseluruhan itu dikuasai oleh hukum-hukum (rule of composition) tertentu dan mempertahankan atau bahkan memperkaya dirinya sendiri karena cara dijalankannya transformasi-transformasi itu tidak memasukkan ke dalamnya unsur- unsur dari luar. Keterkaitan antara tema, penokohan,alur, dan


(20)

latar sangat erat dan saling berhubungan. Unsur-unsur tersebut saling berpengaruh antara satu dengan yang lainnya, sehingga menjadikan novel Tiba-Tiba Malam menjadi utuh dan padu.

Penokohan dalam novel ini dapat kita lihat melalui tokoh-tokoh yang digambarkan oleh Putu Wijaya. Tokoh-tokoh yang dianalisis dalam novel Tiba-Tiba Malam ini yaitu Sunatha, Sunithi, Subali, Utari, Ngurah, Weda, dan David. Sunatha memiliki watak yang sangat bijaksana. Dia mau mengakui kesalahan keluarganya kepada penduduk desa dan meminta maaf, dan dia juga merelakan istrinya Utari untuk menjadi istri Ngurah. Sunithi adiknya Sunatha, merupakan wanita yang sangat kuat menghadapi permasalahan yang terjadi dalam keluarga mereka. Dia merupakan wanita yang sangat tegar dan pemaaf, walau Utari meninggalkan mereka tetapi Sunithi tetap ingin mengunjunginya dan memaafkan kesalahannya. Subali merupakan salah satu tokoh yang melanggar adat-istiadat yang terdapat di desa. Dia memiliki watak dan dapat menerima segala perubahan tanpa berpikir panjang apa akibat dari tindakan yang telah dilakukannya. Karena sikapnya yang mau menerima segala masukan dari David tanpa berpikir panjang apa akibat dari tindakannya ini, sehingga keluarganya dikarma oleh penduduk desa.

Selanjutnya tokoh Utari digambarkan Putu Wijaya memiliki watak yang berubah-ubah. Dengan memilih Sunatha sebagai suaminya, dan kemudian menyesal karena sehari setelah pernikahan dia ditinggal oleh Sunatha yang pergi mengajar ke Kupang. Karena Sunatha pergi, maka perasaan Utari pun berpindah kepada Ngurah. Karena sikapnya yang berubah inilah mengakibatkan terjadinya pertikaian antara keluarga Subali dengan keluarga Utari. Ngurah memiliki watak yang tegas dalam mengambil keputusan. Karena sikapnya yang tegas inilah dia dia disegani oleh penduduk desa. Weda memiliki watak yang pencemburu. Kemudian David adalah orang yang selalu bereksperimen dalam hidupnya. Yang selalu menganalisa apa yang sedang terjadi di sekitarnya, sehingga dia dapat menghasut Subali agar mengikuti


(21)

kehidupan-kehidupan praktis dan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama yang tidak menguntungkan bagi Subali. Pembicaraan yang sering terjadi antara Subali dan David yang akhirnya diikuti oleh

Subali yang mengakibatkan Subali menentang kebiasaan-kebiasaan yang ada di desa dengan tidak mengikuti rapat, tidak mengikuti kerja bakti di desa sehingga Subali beserta keluarganya dikarma oleh penduduk desa dengan tidak boleh lagi menggunakan pancuran, tanah kuburan dan yang lainnya yang dianggap milik desa.

Alur dalam novel ini adalah alur maju. Kejadian yang terjadi saat ini dapat berakibat atau memiliki dampak dikemudian hari yang harus dilalui oleh masyarakat yang tidak patuh terhadap aturan-aturan yang telah berlaku dalam masyarakat. Latar dalam novel tersebut yaitu terletak di sebuah desa, Tabanan, Denpasar, dan Banyuwangi yang merupakan kawasan provinsi Bali. Bali merupakan sebagian dari daerah Indonesia yang sangat kental dengan adat-istiadat yang harus dipatuhi oleh masyarakat. Apabila adat-istiadat tersebut dilanggar oleh masyarakat, maka penduduk desa yang melakukan pelanggaran tersebut dapat dikarma atau dikeluarkan dari adat desa. Karena latar yang terdapat di daerah Bali, maka dapat juga kita lihat latar sosial dalam novel ini yaitu kehidupan sosial di pulau Bali. Dari latar sosial ini, maka masyarakat harus mematuhi aturan-aturan yang telah berlaku dalam daerah tersebut. Alur dalam novel ini adalah alur maju. Kejadian yang terjadi saat ini dapat berakibat atau memiliki dampak dikemudian hari yang harus dilalui oleh masyarakat yang tidak patuh terhadap aturan-aturan yang telah berlaku dalam masyarakat. Dari uraian di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa tema dalam novel ini adalah pelanggaran terhadap tanggung jawab dan norma yang mengakibatkan penderitaan yang berkepanjangan. Tanggung jawab dan norma yang harus dipatuhi oleh penduduk desa merupakan adat- istiadat yang harus dilaksanakan oleh masyarakat setempat.


(22)

Kaitan antara tema, latar, alur, dan penokohan dalam novel Tiba-Tiba Malam ini dapat kita lihat bahwa dengan latar yang terdapat di daerah Bali dengan segala aturan dan norma-norma dapat membentuk watak penduduk yang tinggal di daerah tersebut dengan mematuhi aturan-aturan yang telah berlaku. Tetapi ada juga sebagian dari penduduk yang tidak mematuhi aturan-aturan yang telah berlaku sehingga warga tersebut memiliki watak yang menyimpang. Hubungan antara latar, watak dan tema yaitu akibat adanya perilaku yang menyimpang dari beberapa tokoh yang tinggal di dalam latar budaya sosial Bali dengan segala aturan dan norma yang berlaku yang harus dipatuhi oleh masyarakat menjadikan tema dalam novel ini yaitu pelanggaran terhadap tanggung jawab dan norma yang mengakibatkan penderitaan yang berkepanjangan.

Sosiologi dan sastra memiliki objek yang sama yaitu manusia dalam masyarakat. Masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan. Dan masyarakat juga merupakan kumpulan individu yang tinggal pada suatu wilayah. Sastra menurut Damono (1984: 1) adalah lembaga sosial yang menampilkan gambaran kehidupan yang mencakup hubungan antarmasyarakat, antarmanusia, dan antarperistiwa yang terjadi di dalam batin seseorang. Selain itu Damono (1984: 3-4) juga mengungkapkan bahwa pendekatan sosiologi ini pengertiannya mencakup berbagai pendekatan, masing-masing didasarkan pada sikap dan pandangan teoritis tertentu, namun semua pendekatan ini menunjukkan satu ciri kesamaan, yaitu mempunyai perhatian terhadap sastra sebagai institusi sosial yang diciptakan oleh sastrawan sebagai anggota masyarakat.

Karya sastra diciptakan oleh seorang pengarang untuk dinikmati, dipahami dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Pengarang adalah anggota masyarakat yang terikat dengan status sosial tertentu. Damono (dalam Satoso, 2000: 5) sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan


(23)

bahasa sebagai medium (alat): bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan itu sendiri sebagai suatu kenyataan sosial. Hal ini sejalan dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Damono (1984: 1) yang menyatakan bahwa sastra adalah lembaga sosial karena sastra menampilkan gambaran kehidupan.

Pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan ini oleh beberapa penulis disebut sosiologi sastra. Istilah itu pada dasarnya tidak berbeda pengertiannya dengan sosiosastra, pendekatan sosiologis atau pendekatan struktural terhadap sastra. Sosiologi sastra dalam pengertian ini mencakup berbagai pendekatan, masing-masing didasarkan pada sikap dan pandangan teoritis tertentu. Jadi, sebuah karya didekati dari hal-hal yang berada di luar sastra itu sendiri (ekstrinsik) dengan memfokuskan perhatian pada latar belakang sosiobudaya. Harahap (2006; 32) mengatakan dalam ilmu sastra pendekatan ini disebut sosiologi sastra, yaitu pendekatan sastra dengan mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatannya. Swingewood (dalam Faruk, 1994: 1) mendefinisikan sosiologi sebagai studi ilmiah yang objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga dan proses-proses sosial

Beberapa uraian di atas dapat disimpulkan masalah sosiologi sastra menurut Umar Junus, Alam Swingewood, dan Wellek dan Warren (dalam Harahap, 2006: 33) ada tiga hal yaitu: (1) pengarang atau pencipta karya sastra dengan latar belakang kehidupannya dihubungkan dengan karya sastra yang dihasilkannya, (2) karya sastra sebagai cermin masyarakat tempat karya sastra tersebut dihasilkan, jadi sebagai dokumen sosiobudaya, dan (3) pembaca karya sastra, bagaimana pengaruh sebuah karya terhadap masyarakat pembacanya. Dari beberapa uraian yang dikemukakan di atas, penelitian ini mengkaji masalah sosiologi sastra dengan melihat gambaran proses-proses sosial yang terdapat dalam novel Tiba-Tiba Malam karya Putu Wijaya.


(24)

Lahirnya sebuah karya sastra merupakan reaksi dari keadaan yang terjadi di lingkungan tempat karya sastra itu tercipta yang dihasilkan oleh seorang pengarang. Dalam menganalisis karya sastra harus berangkat dari latar manusia yang digambarkan dalam karya sastra tersebut karena karya sastra merupakan gambaran kehidupan masyarakat serta jiwa tokoh yang hidup di suatu masa di suatu tempat dan bersifat fiksi.

Selain sosiologi sastra penulis juga akan membicarakan tentang proses sosial, karena dalam tulisan ini penulis akan membahas tentang proses sosial yang terdapat dalam novel Tiba-Tiba Malam karya Putu Wijaya. Berbicara tentang proses sosial berarti berbicara tentang proses-proses yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Menurut Basrowi (2005: 136) proses-proses sosial merupakan aspek dinamis dari kehidupan masyarakat. Di dalamnya terdapat suatu proses hubungan antara manusia satu dengan lainnya. Proses hubungan tersebut berupa interaksi yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari secara terus-menerus. Dengan kata lain berbicara tentang proses sosial berarti berbicara tentang interaksi sosial. Hal ini dapat kita lihat dari pendapat Soekanto (1990: 67) yang mengatakan bahwa bentuk umum dari proses sosial adalah interaksi sosial (yang juga dapat dinamakan proses sosial), oleh karena interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial.

Interaksi sosial menurut Roucek dan Warren (dalam Basrowi, 2005: 137) adalah suatu proses mengenai tindak balas tiap-tiap kelompok berturut-turut manjadi unsur penggerak bagi tindak balas dari kelompok yang lain, ia adalah suatu proses timbal balik, dimana suatu kelompok dipengaruhi tingkah laku reaktif pihak lain dan dengan berbuat demikian ia mempengaruhi tingkah laku orang lain. Proses timbal balik maksudnya adalah adanya hubungan kedua belah pihak, yaitu antara individu yang satu dengan individu atau kelompok lainnya dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu. Dari hubungan yang ingin mencapai suatu tujuan tertentu


(25)

tersebut dapat kita lihat bahwa telah terjadi adanya suatu kerja sama, dan kerja sama merupakan salah satu bentuk-bentuk proses sosial.

Basrowi (2005: 145) mengatakan bahwa secara mendasar ada empat macam bentuk interaksi sosial yang ada dalam masyarakat yaitu kerja sama (cooperation), pertikaian atau pertentangan, akomodasi, dan persaingan. Jadi, hubungan antara sosiologi dengan proses sosial adalah dengan memandang bahwa masyarakat adalah mahkluk sosial, yang hidup di tengah-tengah masyarakat yang bersosialisasi antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok yang mengalami proses-proses dalam menjalankan kehidupan seperti kerja sama, akomodasi, pertikaian atau pertentangan, maupun persaingan.

Hubungan unsur intrinsik seperti yang telah dikemukakan di atas dengan unsur ekstrinsik yaitu proses sosial adalah dengan berangkat dari latar yang memiliki aturan-aturan yang harus dipenuhi oleh masyarakat secara bersama-sama dengan konflik yang muncul karena adanya pelanggaran terhadap aturan- aturan tersebut yang dilakukan oleh tokoh dalam novel ini merupakan proses yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat saat ini. Seperti yang kita ketahui bahwa kerja sama, konflik, persaingan, dan akomodasi adalah bentuk dari proses sosial dalam kehidupan bermasyarakat.

2.3 Tinjauan Pustaka

Suatu penelitian hendaklah memiliki objek, karena objek adalah unsur yang paling utama dalam suatu penelitian. Dalam penelitian ini objek yang akan diteliti adalah novel Tiba-Tiba Malam karya Putu Wijaya. Berdasarkan pengamatan penulis, novel ini belum pernah diteliti oleh oleh mahasiswa di Departemen Sastra Indonesia Universitas Sumatera Utara, sedangkan di tempat lain, novel ini sudah pernah diteliti sebelumnya oleh Sunarti dengan judul penelitian


(26)

Nilai-Nilai Budaya dalam Novel Tiba-Tiba Malam karya Putu Wijaya: Tinjauan Semiotika (http//etd. Eprints. Ums. Ac. Id). Sunarti menelaah nilai-nilai budaya yang terdapat dalam novel ini dengan mempergunakan tinjauan semiotika sastra.Menurut hasil penelitian Sunarti nilai- nilai budaya dalam novel Tiba-Tiba Malam karya Putu Wijaya meliputi: (1) Nilai budaya hubungan antara manusia dengan Tuhan (percaya kepada Tuhan, suka berdoa, percaya pada Takdir, dan ketabahan), (2) Nilai budaya hubungan antara manusia dengan masyarakat (musyawarah, gotong royong, kebijaksanaan, saling menolong, saling memaafkan, dan kerukunan), (3) Nilai budaya hubungan antara manusia dengan alam (pemanfaatan alam), (4) Nilai budaya hubungan antara manusia dengan orang lain (kerendahan hati, kejujuran, kesabaran, kasih sayang, keramahan, dan rela berkorban), (5) Nilai budaya hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri (bekerja keras, kewaspadaan, tanggung jawab, menuntut ilmu, dan keberanian).  Selain melihat nilai-nilai

budayanya, Sunarti juga melihat bagaimana unsur- unsur yang membangun novel Tiba-Tiba Malam karya Putu Wijaya. Penelitian ini dipergunakan Sunarti sebagai tugas akhir skripsi tesis di Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Pada kesempatan ini dilakukan analisis terhadap novel Tiba-Tiba Malam dari segi sosiosastra, karena karya ini tidak terlepas dari proses-propses sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat dengan melihat proses-proses sosial dalamm novel Tiba-Tiba Malam karya Putu Wijaya. Proses-proses sosial tersebut meliputi: (1) kerja sama, yang dilakukan oleh penduduk; seperti merapikan pura, membersihkan selokan, perbaikan jalan, dan kerja bakti yang lain, (2) pertikaian, terjadi antara Subali dengan Utari dan ibunya, antara Sunatha dan keluarga Utari, (3) akomodasi, dilakukan oleh kepala desa yang menyelesaikan konflik yang terjadi antara penduduk desa dengan keluarga Subali.


(27)

BAB III

METODE PENELITIAN 3. 1 Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini dilakukan pengumpulan data melalui metode membaca heuristik dan hermeneutik. Membaca karya sastra sebagaimana yang dikemukakan oleh Riffaterre (dalam Jabrohim, 2001: 12), dimulai dengan langkah-langkah heuristik, yaitu membaca dengan jalan meneliti tataran gramatikalnya dari segi mimetisnya dan dilanjutkan dengan pembacaan retroaktif, yaitu bolak-balik sebagaimana yang terjadi pada metode hermeneutik untuk menangkap maknanya.”

Pernyataan di atas sejalan dengan ungkapan yang dikemukakan oleh Pradopo (2001) yang mengatakan bahwa,

Pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur kebahasaannya atau secara semiotik adalah berdasarkan kenvensi tingkat pertama. Pembacaan heuristik adalah pembacaan tata bahasa ceritanya yaitu pembacaan dari awal sampai akhir secara berurutan. Hasilnya adalah sinopsis cerita. Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan ulang atau retroaktif sesudah pembacaan heuristik dengan memberikan konvensi sastranya. Konvensi sastra yang dimaksud adalah memberikan makna dari cerita.

Penelitian ini menggunakan teknik kualitatif, yaitu penelitian yang sangat erat kaitannya dengan faktor-faktor kontekstual (Moleong dalam Jabrohim ed, 2001: 42). Jadi penelitian ini tidak dihubungkan dengan angka-angka atau penjumlahan. Data yang diperoleh akan dibaca dan akan diseleksi untuk mencari hubungan dan keterkaitannya dengan penelitian. Semua data-data tersebut akan diuraikan dengan metode deskriptif, yaitu menguraikan hasil penelitian secara sistematis. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi perpustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan di ruang perpustakaan. Penelitian ini akan diperoleh data dan informasi tentang objek penelitian melalui buku-buku (Semi, 1988: 8). Kemudian dari teknik tersebut pengumpulan data tersebut dicari hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialnya.


(28)

3. 1. 1 Bahan Analisis

Data dikumpulkan dari novel, yaitu: Judul : Tiba-Tiba Malam Karya : Putu Wijaya Penerbit : KOMPAS Tebal Buku : 236 halaman Ukuran : 14 x 21 cm Cetakan : I Tahun : 2005

Warna Sampul : Putih, hitam, dan abu- abu

Gambar : Gambar seseorang yang sedang sujud dan menundukkan kepala Disain : AN Rahmawanta

3. 2 Sinopsis Novel Tiba-Tiba Malam

Cerita dalam novel ini dimulai oleh tokoh utama yaitu Sunatha, yang baru saja menikah dengan Utari, gadis Tabanan cantik dan bunga desa. Banyak pemuda sampai orang tua yang tidak rela atas pernikahan mereka berdua. Ngurah, misalnya, lelaki muda yang paling kaya, dan satu-satunya orang yang memiliki mobil pada saat itu tidak habis mengerti mengapa Utari mau menikah dengan Sunatha yang hanya seorang guru SMP. Ketidakrelaan para pemuda setempat itu sempat menjadi bahan pembicaraan yang panas yang dilontarkan oleh Renti, pengawal Ngurah, bahwa Utari menikah karena diguna-guna oleh Sunatha. Tentu secara spontan ibu Utara berteriak sedih mendengar ungkapan fitnah Renti tersebut.


(29)

Sehari setelah pernikahan, Sunatha harus pergi ke Kupang untuk mengajar, dan Utari berteriak histeris tidak henti-hentinya, berteriak seperti orang gila. Dalam teriakannya itu, Utari mengatakan bahwa dirinya telah diguna-guna oleh Sunatha. Karena tangisan dan jeritan Utari membuat meme (ibu) Utari yang ikut juga mengantarkan Sunatha mulai yakin bahwa ada yang tidak beres dalam pernikahan putrinya. Tidak hanya di Tabanan, sampai didesa Utari terus saja berteriak- teriak. Utari tidak mau tinggal di rumah Sunatha. Karena hal ini, Subali, ayah Sunatha sampai menampar Utari karena sikapnya yang tetap tidak mau tinggal di rumah mereka. Tetapi Utari tetap saja tidak mau tinggal di rumah mertuanya.

Utari yang terus berteriak menjadi kesempatan bagi Ngurah dengan alasan berobat Utari diajak ke Tabanan, dan orangtua Utari merelakan kepergian putrinya bersama Ngurah, sehingga akhirnya Utari menyukai Ngurah. Utari dan Ngurah sepakat untuk melarikan diri. Merekapun pergi ke Banyuwangi. Di Banyuwangi, Utari yang masih perawan ditinggalkan Sunatha itu menyerahkan keperawanannya kepada Ngurah, maka semakin lengkaplah penderitaan keluarga Sunatha. Ditambah lagi meme (ibu) Sunatha yang sudah sejak dulu menderita batuk-batuk, penyakitnyapun semakin parah.

Kepergian Sunatha yang hanya sehari setelah pernikahannya membuat warga marah. Sunatha dianggap menyalahi aturan adat dan akan ada bencana akibat kepergian Sunatha. David yang menghasut Subali agar meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang harus mematuhi aturan-aturan, dan lebih mengajak Subali agar hidup instan ternyata berhasil. Subali tidak pernah lagi mengikuti rapat dan melaksanakan kerja bakti. Padahal di desa sedang mengadakan kerja bakti membersihkan pura, selokan-selokan, dan akan membangun desa. Ditambah lagi Subali tidak datang memberikan bantuan pada saat salah seorang dari penduduk desa meninggal. Subali tidak hadir disana.Subali pergi bersama David ke Denpasar. Karena ulahnya


(30)

tersebut penduduk desa jadi marah. Keluarga Subalipun dikucilkan oleh penduduk desa, dan dikarma dengan tidak boleh mempergunakan fasilitas-fasilitas yang ada di desa, seperti pancuran, dan tanah kuburan, dan yang lainnya.Maka keputusanpun ditetapkan bahwa keluarga Sunatha harus dikarma (dikucilkan) dari desa. Tidak boleh lewat jalan desa, tidak mendapatkan subak (air), tidak boleh mengikuti pertemuan ke pura, mayat keluarganya tidak boleh dikuburkan di desa itu.

David, tokoh yang digambarkan pengarang sebagai orang turis yang datang ke desa itu tanpa tujuan yang jelas. Ia hanya mencatat dan memotret sikap dan perilaku penduduk desa, dan dialah yang mengenalkan Subali dengan dunia luar; tuak, perempuan, dan belenggu desa. Subali yang seharusnya menjadi tulang punggung keluarga, setelah perkenalan dengan dunia luar yang dipengaruhi oleh David menjadi orang yang kehilangan jati diri, malu saat bertemu dengan warga. Untuk mandi di sungaipun ia harus malam hari. Lama-kelamaan Subali menjadi linglung.

Suniti yang akhirnya menjadi tulang punggung keluarga; merawat meme dan menanam padi. Suniti melewati semua itu dengan sendirian. Berbulan-bulan keadaan seperti itu. Weda, pacar Suniti akhirnya putus dengannya. Karena keadaan seperti inilah yang akhirnya membuat Suniti menjadi wanita yang kuat dalam menghadapi masalah. Ia tidak mengharapkan lagi akan sikap Ayahnya. Ia pun menjadi gadis yang mandiri. Tetapi sayang, meme akhirnya meninggal. Tidak ada tetangga yang melihat mayat ibunya saat itu karena sikap Subali yang tidak peduli lagi terhadap hak dan kewajiban yang harus dilaksanakannya pada desa mereka. Hanya saudara dekat saja yang datang, itupun dengan cara sembunyi-sembunyi, karena masyarakat desa tidak mau mendapat hukuman jika melihat mayat ibunya.


(31)

Saat iring-iringan mayat yang hanya dihadiri oleh beberapa orang itu, Sunatha pun akhirnya datang, dan pemakaman harus dilanjutkan. Sunatha pun mengikuti prosesi pemakaman ibunya. Usai di pemakaman, Suniti menceritakan tentang Utari dan Ngurah, ditambah lagi keterangan yang diberikan oleh Weda. Sunatha pun tidak dapat menahan diri. Didatanginya Utari dan terjadilah perkelahian antara Sunatha dan Ngurah. Sikap Sunatha yang seperti itu membuat warga desa simpati pada Ngurah. Akibatnya, mayat ibunya yang sudah dimakamkan itu dibongkar lagi oleh warga dan diletakkan di depan rumah Sunatha.

Saat itu keluarga Sunatha sangat sedih melihat mayat meme dibongkar kembali oleh warga. Dengan kerendahan hati, Sunatha meminta maaf kepada warga desa atas apa yang telah diperbuat oleh keluarganya, terlebih terhadap apa yang dilakukan oleh Subali. Subali juga menangis dan meminta maaf kepada warga, dan mayat meme pun dikuburkan kembali oleh warga desa setelah kepala desa menyelesaikan konflik yang terjadi antara keluarga Subali dengan penduduk desa dengan memberikan jalan keluar yaitu memaafkan keluarga Subali dan menerima mereka kembali sebagai penduduk desa. Konflik antara Sunatha dengan Utari pun selesai juga. Akhirnya Sunatha melepaskan Utari ke tangan Ngurah. Pernikahan Utari dengan Ngurah pun berlangsung dengan meriah, dan Sunatha pun kembali ke Kupang.


(32)

BAB IV

PROSES SOSIAL DALAM NOVEL TIBA-TIBA MALAM KARYA PUTU

WIJAYA

4. 1 Pendekatan Struktural dalam Novel Tiba-Tiba Malam Karya Putu Wijaya 4. 1. 1 Penokohan

Penokohan atau karakteristik adalah upaya pengarang untuk memberikan gambaran yang utuh mengenai tokoh di dalam ceritanya. Penggambaran watak untuk penciptaan tokoh yang hidup dalam suatu karya sastra sangat tergantung pada penggambaran dari tokoh tersebut.

Penokohan itu adalah perwatakan, yaitu mengenai sifat, tabiat, atau perangai tokoh yang terdapat dalam cerita atau drama. Menurut Abrams (1981: 20) watak selalu diinterpretasikan oleh pembaca sebagai pembawaan disertai moral kualitas disposisional (pembawaan, sifat) yang diekspresikan melalui dialog dan lakon action.

Watak itu digambarkan dengan berbagai cara. Diterangkan satu persatu, baik keadaan jasmani dan rohani tokoh. Ciri- ciri watak ini dapat diterangkan dengan tindakan kata-kata serta dapat pula dengan menggunakan lambing literer (symbolization) (Wellek dan Warren, 1956: 219).

Berdasarkan pendapat- pendapat di atas ternyata penokohan dapat dilihat melalui keadaan jasmani dan rohani yaitu tokoh, dialog, laku, simbolisme, dan latar. Penelusuran tindakan tokoh dalam wujud dialog, diperkirakan dapat mengungkapkan segala sesuatu mengenai tokoh dan penokohan. Penokohan tidak dapat dilepaskan kaitannya dari masyarakat di mana tokoh berada. Dalam hal ini, sebagai bagian dari masyarakat, tokoh harus benar-benar menganut laku yang dianggap wajar oleh masyarakat yang ditransformasikan pengarang. Pengetahuan pengarang mengenai laku masyarakat yang ditransformasikan melalui tokoh, akan diproyeksikan kembali


(33)

oleh tokoh. Penelusuran penokohan melalui simbolisme memberi peluang untuk mengetahui lebih jauh mengenai nilai-nilai yang menjadi pedoman masyarakat untuk melakukan sesuatu. Dalam kaitannya dengan penokohan, latar dianggap sebagai kerangka kerja moral bagi pengarang dalam menangani tokoh dan penokohan. Dengan demikian, seorang pengarang harus benar-benar menciptakan penokohan yang selaras dengan latar agar dapat diterima secara wajar.

Berdasarkan uraian di atas, unsur penokohan terjaring dalam sebuah sistem jaringan yang menunjang keutuhan struktur karya sastra. Sistem jaringan yang dimaksud dimanifestasikan melalui penokohan dalam wujud dialog, laku, simbol, dan latar.

Dilihat dari urutan pentingnya tokoh dalam cerita, dikenal adanya tokoh utama dan tokoh pembantu. Tokoh utama atau protagonist (Inggris, main character) adalah tokoh dalam karya sastra yang memegang peran pimpinan di dalam drama atau cerita rekaan (Panuti Sudjiman, 1984: 61). Lawan tokoh utama disebut antagonis (Inggris, antagonist) ialah tokoh dalam karya sastra yang merupakan penentang utama dari tokoh utama (protagonist).

Untuk mengetahui tokoh utama dalam sebuah roman dapat dilakukan dengan tiga cara, pertama dilihat masalahnya (tema), lalu dilihat tokoh mana yang paling banyak berhubungan dengan masalah tersebut. Kedua, tokoh-tokoh mana yang paling banyak berhubungan dengan tokoh- tokoh lainnya. Ketiga, tokoh mana yang paling banyak memerlukan waktu penceritaan. Tokoh yang paling banyak memenuhi persyaratan yang demikian ditetapkan sebagai tokoh utama. Dengan demikian suatu diskusi atau debat tentang yang mana tokoh utama menjadi tidak diperlukan (Esten, 1982: 93).

Menurut Tarigan (1984: 138) mengatakan bahwa dalam beberapa cerita, lebih-lebih dalam cerita pendek, sering kita jumpai satu tokoh sebagai pusat utama, dan segala kejadian


(34)

berpusat pada tokoh utama ini; sedangkan pada sementara fiksi, misalnya novel atau roman, tokoh utamanya mungkin lebih dari seorang.

Di bawah ini akan dideskripsikan penokohan dari tokoh- tokoh yang ada dalam novel Tiba-Tiba Malam karya Putu Wijaya sebagai berikut:

a. Sunatha

Sunatha adalah tokoh utama dalam novel ini. Dia adalah seorang pemuda yang berwawasan luas, komitmen yang tinggi terhadap janji, dan setia kepada pasangan. Sunatha merupakan seorang guru yang ditugaskan ke Kupang. Karena tugas yang harus diembannya mengajar ke Kupang, dia harus rela berpisah dengan istrinya sehari setelah pernikahan.

Dia menuntun tangan Utari ke tempat tidur.

“Besok pagi kita harus bangun pagi- pagi benar, sebab dari sini ke pelabuhan memakan waktu 6 jam. Saya tidak boleh ketinggalan kapal. Kita harus banyak beristirahat. Saya tidak mau kamu menanggung resiko sepeninggal saya nanti. Jadi apapun kata orang nanti, biarlah kita tidur terpisah mala mini. Nanti kalau kita sudah bersama- sama, kita akan berbuat sebagai suami istri. Saya minta kamu memahami hal ini.”

Dia membaringkan tubuh istrinya di tempat tidur. Kemudian dia sendiri mengambil tikar dan menggelarnya di lantai.

“Saya tidur di sini. Tetapi hati kita telah bersatu.” (Hal. 18-20).

Ketabahan Sunatha sedang diuji ketika dia mengetahui bahwa keluarganya sedang dalam masalah dengan warga desa akibat tindakan yang dilakukan oleh Subali ayahnya, dan karena istrinya sudah tidak lagi menjaga janji yang telah disepakati oleh mereka ketika malam pernikahan mereka. Tetapi dengan keadaan seperti ini, Sunatha masih tetap tabah dan berbesar hati akan hukuman yang diberikan oleh adat desa kepada keluarga mereka. Suntha juga tidak malu mengungkapkan kesalahan yang telah diperbuat oleh keluarganya dan meminta maaf kepada penduduk desa.

Sunatha menarik napas panjang-panjang. Sekarang kebesaran jiwanya, ketabahannya, kejantanannya sedang diuji. Ia mengangguk kepada bapaknya. Kemudian


(35)

ia berjalan perlahan-lahan. Fajar telah membayang. Sunatha berjalan-jalan ke depan orang banyak itu dengan tangan terbuka.

Di belakang Sunatha, Subali mengekor seperti kerbau.

Dan Sunatha pun meminta maaf kepada seluruh penduduk desa.

“Saudara- saudara, kawan-kawan semua, para sesepuh desa, saya dan bapak saya sekeluarga, menyerahkan diri saya untuk diadili oleh desa. Keluarga saya, bapak saya, telah melakukan kesalahan besar terhadap adat, sekarang Hyang Widdhi Wasa sudah menjatuhkan hukumannya. Saya terima semua ini dengan penuh pengertian. Seandainya pun ini belum cukup, izinkanlah saya meminta maaf, atas kekeliruan bapak saya. Juga kesalahan-kesalahan saya sendiri. Hukumlah kami sesuai dengan kesalahan-kesalahan kami, akan tetapi satu permintaan saya, jangan buang kami dari pergaulan desa, berikan kami kesempatan sekali lagi. Ini semua adalah pelajaran berat bagi kami. Dan izinkanlah ibu saya beristirahat dengan tenang. Biar saya sendiri sajalah yang memikul semua ini!” (Hal.224- 225)

Sunatha sangat ikhlas terhadap apa yang telah terjadi kepada keluarganya, khususnya melihat apa yang telah terjadi dalam pernikahannya dengan Utari. Sunatha rela kehilangan Utari, dia pasrah terhadap nasib yang menimpanya. Dan akhirnya Sunatha merelakan Utari kepada Ngurah. Tadinya Sunatha ingin membicarakan masalah mereka dengan Utari dengan baik- baik saja, dan membuat keputusan agar Utari memilih antara dirinya atau Ngurah. Tapi tiba- tiba saja keputusan itu tidak jadi diucapkan oleh Sunatha karena melihat Utari telah berbadan dua. Utari pun dilepas kepada Ngurah.

Tadinya ia menyangka ia akan sanggup bicara banyak. Paling tidak ia akan dapat meminta istrinya itu untuk memilih, apakah kembali atau memang membutuhkan perceraian. Sunatha sudah menyiapkan kata- kata yang baik. Dia juga sudah menyiapkan hati yang besar.tetapi begitu melihat perut Utari hatinya jadi ringsek. Ia tidak bisa ngomong lagi. (Hal 228)

b. Utari

Utari adalah istri Sunatha, dia juga termasuk salah satu dari tokoh utama. Ia merupakan anak tunggal dari keluarganya. Banyak orang-orang dari warga desa yang sangat menyukainya. Mulai dari pemuda desa sampai bapak-bapak yang telah memiliki istri juga menyukainya karena kecantikannya. Ia merupakan bunga desa, tak heran banyak yang menyukainya seperti Sunatha dan Ngurah.


(36)

Upacara pernikahan Sunatha dilangsungkan dengan sederhana dan mendadak. Banyak orang heran dan bertanya-tanya, mengapa hal tersebut terjadi. Mempelai wanita adalah bunga dalam desa, dipujikan kecantikan maupun kelakuannya.

“Ah,” kata seorang istri tua menyindir-nyindir suaminya yang terlalu sibuk memikirkan keajaiban itu, “orang kawin diributkan. Kan sudah waktunya dia kawin daripada dauber-uber banyak orang. Malahan aku aman sekarang! Kan sudah dari dulu aku nasehati juga, Utari pasti memilih guru itu, mana mau dia dengan orang bulukan seperti kamu!” (Hal. 1-2)

Utari adalah seorang wanita yang jiwanya terombang-ambing. Pada malam pernikahnnya ia mengatakan kepada Sunatha bahwa ia tidak menyesal menikah dengan Sunatha ketika Sunatha menanyakan hal itu.

“Kenapa, kamu menyesal?”

Utari menggeleng. Lalu Sunatha membelai tangannya. Jari-jari mereka bersentuhan. Kemudian saling meremas. Ada tenaga yang meledak- ledak di ujung jari keduanya. Sunatha memegang dagu Utari dan mendongakkannya, agar ia bisa menatap mata itu. (Hal. 16)

Utari juga mengatakan kepada Sunatha bahwa ia berjanji akan bekerja demi hari depan mereka, dan sadar bahwa masih banyak sekali pengorbanan- pengorbanan yang harus mereka lalui dalam membina rumah tangga mereka. Dan Utari juga mengatakan bahwa ia kuat menanti Sunatha.

Wanita itu mengangguk lalu menangis. Sunatha mengusap air matanya.

“Saya mengerti kenapa kamu menangis. Saya juga menangis dalam hati. Tapi saya mempunyai yanggung jawab. Saya minta supaya kita harus saling percaya mempercayai. Kamu akan percaya kepada saya?”

Wanita itu mengangguk. (Hal.18)

Utari terombang-ambing dan tidak punya pendirian. Setelah Sunatha berangkat ke Kupang, di pelabuhan ia berkata bahwa ia diguna- guna oleh Sunatha dan tidak mau tinggal di rumah Sunatha.

Waktu itu Utari tiba- tiba berkata.

“Saya mau pulang. Saya tinggal di rumah saja. Saya sudah diguna-guna.” Semua orang terperanjat.


(37)

Pada malam yang sama tiba-tiba saja Utari membaringkan kepalanya di pangkuan Ngurah, dan mengatakan bahwa Sunatha wangdu. Tindakan Utari yang seperti ini jelas menggambarkan bahwa Utari sedang terombang- ambing jiwanya.

Utari tiba-tiba membaringkan kepalanya dipangkuan Ngurah. Lelaki ini terkejut dan deg-degan. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Terutama karena orang tua Utari juga kelihatan biasa saja. Uteri menangis terisak-isak. Tapi ia mulai bicara.

“Dia wangdu! Aku tidak mau lagi kesana! Aku tidak mau!” (Hal. 39)

Ketika Ngurah membawa Utari berobat di Tabanan, sebenarnya Utari tidak sakit, hanya saja ia ingin lebih lama bersama dengan Ngurah. Tindakan Utari seperti ini jelas menggambarkan bahwa ia tidak memiliki pendirian, ia memilih mendekat dengan Ngurah karena ia telah ditinggal oleh Sunatha yang telah pergi ke Kupang untuk mengajar.

Wanita itu memandangi Ngurah dengan kangen. Lelaki itu juga tampaknya rindu, tapi sebagaimana biasanya ia selalu mencoba menutupi perasaan. Ia hanya tersenyum membawa buah-buahan yang segar. Ia duduk di samping Utari.

“Sudah baikan rasanya?” Utari mengangguk.

“Kalau begitu tidak usah lagi ke dokter. Pulang saja ya?” Utari diam saja.

“Bagaimana mau pulang?”

“Ya. Tapi rasanya belum baik betul.”

Ngurah tersenyum. Ia mengerti. Tak banyak yang harus disembunyikan lagi. Mereka sudah saling menyukai. (Hal. 91- 92)

c. Subali

Subali juga tokoh utama dalam novel ini. Dia adalah ayah Sunatha. Subali yang pernah kecewa akibat usaha dagangnya yang pernah bangkrut membuat dia ingin sekali membuat perubahan-perubahan baru dalam keluarganya.

“Bukan begitu. Buah pikirannya berbahaya. Saya tidak suka dia terlalu rapat dengan bapak. Kamu tahu sendiri, bapak sedang kecewa. Dia masih memikirkan usaha dagangnya yang bangkrut.” (Hal. 23)

Akibat usaha dagangnya yang pernah bangkrut, Subali mudah terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran David yang berpendapat agar orang harus menjauhi hidup


(38)

berkelompok-kelompok karena akan menghambat perkembangan individu. Subali pun percaya pada David tanpa memikirkan dampak dari tindakan yang diambil olehnya.

David mulai menerangkan segala sesuatu dengan panjang lebar. Ia memberikan bukti-bukti bahwa semua orang harus mulai menjauhi hidup berkelompok yang saling gerogot-menggerogoti. Ia berikan bukti-buktinya segala ketidakpraktisan di kampung yang hanya menjadikan gotong-royong itu sebagai pangkal kemiskinan. Subali mendengarkan sungguh-sungguh. Ia kelihatan sangat percaya. (Hal. 52)

Subali kehilangan David. David telah meninggalkannya. Ia pun kehilangan arah, akibatnya Subali menjadi kecewa dan menyadari akibat dari perbuatannya yang terlalu percaya pada David dia telah kehilangan semuanya, kehilangan istri, menantu, kehilangan Sunatha, dan kehilangan sebagai bagian dari banjar di desa.

Subali memang telah kembali ke rumah, akan tetapi ia telah putus asa. Ia merasa kehilangan David. Kehilangan anak lakinya. Kehilangan menantu. Kehilangan istri. Dan kemudian kehilangan tempatnya dalam banjar. Entah karena malas atau karena malu, ia tak mau lagi keluar rumah.

Ia tak mau bicara apa- apa lagi. Bahkan ia tidak peduli juga pada Sunithi yang setiap kali memberikannya makan. Ia hanya duduk- duduk saja. Kadang- kadang membalik buku atau majalah yang pernah diterimanya dari David. (Hal. 140)

d. Ngurah

Ngrurah merupakan pemuda yang bijaksana dan disegani oleh penduduk desa. dia juga salah satu tokoh utama yang berperan penting dalam novel ini. Ia termasuk dalam salah satu tokoh yang penting dalam masyarakat. Dalam rapat ia selalu duduk sejajar dengan kepala desa. pendapat-pendapatnya juga sering diterima oleh penduduk desa.

Tunggu! Saya tidak bermaksud menghasut Saudara untuk membenci orang asing. Banyak diantara mereka yang pintar dan bermaksud baik. Hanya kadang kala kita salah menerima ajaran-ajarannya itu. Jadi saya harapkan Saudara-saudara jangan begitu saja menerima pikiran-pikiran orang lain, tapi harus dicernakan. (Hal. 66)

Dalam menyelesaikan persoalan Ngurah selalu berpikir panjang, sehingga banyak diantara penduduk desa yang kurang setuju akan pendapatnya, tetapi hal ini dapat dikuasai oleh Ngurah dengan bijaksana.


(39)

Rapat itu kacau. Ngurah cepat bertindak menenangkan mereka. Stop! Stop! Tenang-tenang! Jangan mudah terpengaruh!” Dia berusaha menenangkan mereka.

“Subali tidak salah. Orang asing itu tidak salah. Kita terlalu bodoh. Kitalah yang salah.” (Hal. 69- 70)

Ngurah seorang pemuda yang tabah dan berlapang dada terhadap kekalahan yang dialami olehnya.

Di sebuah rumah yang kaya di desa itu, seorang lelaki tercenung. Dia tidak mengatakan apa-apa, tetapi hatinya hancur. Dia baru saja merencanakan mempersiapkan lamaran.ia hampir tak bisa menerima kenyataan itu, karena ia sebenarnya sudah begitu yakin. Baik tampang, keadaan sosial ekonomi, dan kedudukan semuanya menyokong rencananya. Ia menyesali dirinya dan mencoba menerima berita pernikahan itu dengan tabah. (Hal. 2)

Walaupun perasaan Ngurah sangat hancur tetapi ia dapat juga berjiwa besar menerima kekalahannya.

“Kita harus jujur. Kekalahan meskipun hanya karena keterlambatan tetap juga kekalahan. Kamu tak usah mencak- mencak begitu. Kita kesana beri selamat, nanti kita jadi bahan omongan.” (Hal. 3)

Ngurah juga orang yang jujur. Walaupun ia merupakan orang yang terhormat di desa, bukan berarti ia tidak pernah melakukan kesalahan, dan bukan berarti juga ia tidak mau mengakui kesalahannya, sekalipun ia orang yang disegani di desa, tetapi ia jujur mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepada Sunatha.

Ngurah menceritakan semuanya dengan jujur. Ia tidak berusaha menyembunyikan apa-apa. Sunatha mendengarkan semuanya sambil menahan rasa sakit. Tetapi ia mengerti, tak ada lagi yang bisa dicabut setelah terjadi. Ia hanya berusaha untuk menghargai ketulusan Ngurah.

“Sekarang terserah pada Sunatha, bagaimana?” Sunatha tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan.


(40)

e. Sunithi

Sunithi adalah adik perempuan Sunatha dan juga merupakan tokoh utama dalam novel ini. Dia adalah wanita yang sangat tegar. Masalah yang menimpa keluarganya menjadikan dia sebagai wanita yang tegar dan kuat.

Sunithi menahan perasaannya. Ia menangis. Kemudian ia memungut bungkusan itu. Weda hanya tercengang. Ibu Utari melotot pada Weda. (Hal. 46)

Walaupun hatinya sangat sedih tetapi Sunithi tetap berusaha memberikan yang terbaik pada orang tuanya. Dia tidak mau berbagi kesedihan kepada ibunya, karena ibunya sedang sakit. Dia menahan semua itu dengan sendirian.

Sunithi melayani sambil memandangnya. Di balai-balai kedengaran perempuan itu menangis. Sunithi segera menghampirinya. Perempuan itu memanggil-manggil nama Sunatha. Sunithi menahan air matanya. Dia mencoba menyabarkan. (Hal. 60)

Sunithi adalah sosok seorang wanita yang tabah. Dia tahu tidak ada yang bisa membuatnya bahagia, sehingga dia sendiri yang dapat menenangkan dirinya sendiri.

Sunithi menangis terus. Suki tidak berusaha membujuknya. Dia diam menunggu. Gadis itu kemudian menenangkan dirinya sendiri. Ia seorang yang tabah. Dihapusnya matanya, lalu memandang langsung pada Suki. (Hal. 109)

Selain tabah Sunithi juga gadis yang siap menerima kenyataan yang terjadi dalam dirinya dan juga keluarganya. Ia merupakan wanita yang sangat tegar. Air mata sudah tidak bisa lagi mengalir ke wajahnya karena dia sudah terlalu banyak menangis. Semua dihadapinya dengan mengangkat mukanya. Dia adalah wanita yang sangat tegar.

Untung ia bukan wanita yang lemah. Setelah banyak menangis, ia mengangkat mukanya. Ia hadapi kenyataan tanpa berharap terlalu banyak. Mula- mula dengan membuat telinganya buntet, sehingga ia tidak perlu lagi tahu apa yang terjadi dengan Utari. Kemudian ia terima bapaknya sebagai kenang- kenangan yang tak mungkin lagi kembali. (Hal. 145)


(41)

f. David

David adalah orang asing yang menyukai hal-hal yang praktis, dan tidak menyukai hal- hal yang dianggap merugikan pribadi dari seorang warga. Dia tidak menyukai hal- hal yang berlebihan dan dapat merugikan pribadi orang lain. David berperan sebagai tokoh pelengkap dalam novel ini.

“Ya, Saudara boleh membela diri, itu semacam kompensasi dari perasaan bersalah dan kecewa. Desa Saudara akan hancur kalau segala tara karma yang tidak praktis terus diikuti. Perkawinan Saudara saja, maaf, sebetulnya akan menghamburkan uang. Padahal, di desa sudah terlalu banyak penduduk, penghasilan tidak ada, dan usaha-usaha lain tidak ada.” (Hal. 22 )

g. Weda

Weda sebagai tokoh pelengkap adalah kekasih Sunithi. Dia merupakan seorang pria yang memiliki tanggung jawab. Dia suka membantu, apalagi membantu keluarga Sunithi dalam menghadapi masalah. Tetapi dia juga penakut apabila dikaitkan dengan Ngurah si pemilik tanah yang sedang digarapnya. Dia takut terlalu membela keluarga Sunithi, dan tidak menghargai Ngurah.

“Kamu juga ikut-ikutan dia! Kalau Ngurah tahu kamu sekongkol dengan tukang guna-guna itu, sawah kamu pasti dicabut. Awas ya!”

Sunithi mengambil bungkusan itu lalu pergi.

Pada saat itu muncul Ngurah. Dia mendekati Weda. “Ada apa ini?”

Weda tersenyum kikuk memandang pemilik sawah yang digarapnya. “Saya mau ke sawah.” (Hal. 47)

Weda juga laki-laki yang pencemburu. Dia tidak suka melihat siapa saja yang dekat dengan Sunithi.

Weda melihat semuanya itu dengan cemburu sekali. Matanya melotot. Dia menunggu beberapa saat. Masih terdengar Devid berbisik-bisik pada Sunithi. Weda mencoba mengintip. Tapi pikirannya sudah tak karuan. Ia hanya melihat bayangan Sunithi dan David berdekatan. Juga dilihatnya Subali tidak sakit. Dia mengepalkan tangannya.


(42)

Karena kecemburuannya, Weda melebih-lebihkan perkataannya di hadapan penduduk desa ketika kelapa desa menanyakan keberadaan Subali.

Weda berjuang dalam hatinya. Kedongkolan pada David tiba-tiba muncul lagi. Cemburunya membakar.

“Dia bilang kita semua bodoh. Pemalas. Kita sudah menyalahgunakan hak- hak desa untuk membuat……”

Weda bercerita panjang lebar. Kebenciannya pada David membuat ia sedikit menambah-nambah. (Hal. 68)

h. Ibu Utari

Ibu Utari memiliki watak yang mudah terpengaruh terhadap perkataan orang lain. Ibu Utari berperan sebagai pelengkap.

Orang tua itu tiba-tiba jadi sedih. Kini ia baru berpikir mungkin Utari sudah kena guna-guna. Ia sudah beberapa kali menyarankan Utari untuk memperhatikan Ngurah. Ya, dia bukan tidak ingin mempunyai menantu kaya. Tapi hati Utari rupanya sudah begitu terjerat Sunatha.

Tiba-tiba saja orang tua itu menangis. Ia menggapai memegang tangan Renti. Tetapi lelaki itu mulai bosan. Melihat air mata itu ia Cuma bertambah kesal. Lalu cepat ditinggalkannya. Orang tua itu makin keras menangis. Ia menyesal sekali. (Hal. 12- 13) i. Ayah Utari

Ayah Utari sebenarnya orang yang baik. Ia juga berperan sebagai pelengkap dalam novel ini. Dia tahu hal-hal apa saja yang salah yang telah dilakukan oleh keluarganya. Tapi dia tidak berani mengambil tindakan karena takut pada istrinya.

Ayah Utari sebenarnya tak setuju dengan tindakan itu. Tapi kemudian ia terpaksa mengikuti istrinya setelah wanita itu menjauh beberapa langkah.

Sebenarnya dia berusaha menyadarkan istrinya karena kesalahan mereka yang menyerahkan Utari kepada Ngurah untuk berobat, tetapi istrinya membantah. Kemudian mereka bertengkar karena ketidakcocokan pendapat mereka.

Mereka berpamitan. Bapak Utari diam-diam saja. Tapi sekilas terlihat bahwa dia tidak menyetujui hal itu. Tatkala mobil bergerak, dia mulai memperlihatkan ketidakcocokannya.

“Kamu sadar apa yang kita lakukan ini?” ”Ya!” teriak isterinya galak.


(43)

“Ingat, Wayan masih istri Sunatha.”

“Istria apa! Disentuh saja tidak. Dikirimi surat tidak. Malah ditinggal. Lelaki apa itu. Tidak bertanggung jawab!”

“Tapi….”

“Sudah! Sudah! Bapak kok malah bela Sunatha anak wangdu itu….” Mereka bertengkar. (Hal. 54)

j. Renti

Renti adalah pengawal Ngurah dan berperan sebagai pelengkap dalam novel ini. Di desa dia merasa jagoan. Penduduk desa banyak yang takut padanya karena kegagahannya, dan karena dia juga mau main kasar kepada orang.

“Kita rebut saja sekarang, larikan ke Jawa. Saya yang menanggung risikonya,” usulnya.

Ngurah lelaki itu hanya tersenyum. Ia member isyarat agar anak buahnya sabar. Walaupun dia merasa jagoan, tetapi dia memiliki rasa sayang dan peduli pada majikannya, Ngurah.

Entah kenapa ia merasa seperti ia sendirilah yang ditinggal oleh pacar. Ia tahu benar bagaimana Ngurah sudah berkhayal-khayal untuk kawin dengan Utari. Meskipun hal itu dipendamnya diam- diam, tetapi Renti tahu anak muda itu sedang mempersiapkan diri untuk melamar. Ia telah membangun rumah. Membeli kendaraan Renti bisa merasakan betapa hancur hati saudagar muda itu.

4. 1. 2 Alur

Alur tidak dapat diarahkan dalam cerita rekaan (fiksi). Dalam cerita yang sesungguhnya tidak mungkin tidak ada alur. Dalam cerita rekaan modern yang eksperimental sekalipun masih ditemui alur, orang tidak akan menyebutnya cerita apalagi cerita rekaan, melainkan hanya sebuah lukisan atau paparan belaka.

Menurut U. U. Hamidy (1983: 26) alur suatu cerita atau plot dapat dipandang sebagai pola atau kerangka cerita dari bagian-bagian lain cerita itu disangkutkan sehingga cerita itu kelihatan menjadi suatu bangunan yang utuh.

Perlu ditambahkan adalah tidak perlu dipersoalkan bahwa akhir cerita masih menimbulkan persoalan baru lagi karena akhir suatu kejadian atau peristiwa bisa menjadi awal


(44)

dari kejadian lain atau awal dari tragedy itu merupakan sebuah diskusi yang pada gilirannya menjadi bagian pendahuluan dari kisah berikutnya.

Untuk membatasi titik tinjauan, maka perlu diberi batasan terhadap apa yang dimaksud cerita di dalam sebuah novel, yaitu rangkaian tindakan yang terdiri dari tahap-tahap yang penting dalam sebuah struktur yang terikat oleh waktu.

Mochtar Lubis (1981: 17) mengatakan bahwa suatu cerita terdiri dari lima bagian, yaitu: a. Situation (pengarang mulai melukiskan suatu keadaan),

b. Generating Circumstante (peristiwa yang bersangkut- paut dan mulai bergerak),

c. Racing Action (keadaan mulai memuncak),

d. Climax (peristiwa- peristiwa mencapai puncaknya), dan

e. Denoument (pengarang memberikan pemecahan soal dari semua peristiwa).

Namun bukan berarti bahwa suatu cerita harus disusun menurut urutan peristiwa di atas, karena ini hanya merupakan penjelas terhadap unsur- unsur yang membangun alur tersebut. Bagian-bagian tersebut dapat saja berpindah ke bagian lain, denoument dapat saja berpindah ke bagian situation, demikian pula bagian situation dapat berubah ke posisi ke tempat climax. Pertukaran atau perpindahan posisi tersebut berguna untuk bagian-bagian tertentu, seperti ketakterdugaan, keterkejutan, dan kelogisan cerita. Bagaimana cerita itu disusun tergantung kepada fantasi pengarangnya.

Pada dasarnya alur dibagi atas dua bagian besar, yaitu alur maju dan alur mundur. Alur maju sering juga disebut alur biasa. Disebut alur maju apabila suatu cerita mengikuti urutan-urutan situation, generating circumstance, racing action, climax, dan denoument. Sedangkan pengertian alur mundur ialah apabila cerita tidak mengikuti konsep di atas. Alur mundur dapat diketahui apabila pengarang memulai suatu cerita yang menefangkan atau klimaks, kemudian diceritakan penyebab konflik besar tersebut.


(45)

Menurut fungsinya, Boulton (1975: 47- 48) membagi alur cerita atas fungsi dan pengarang dan pembaca. Bagi pengarang, alur adalah arah supaya penulis tetap jelas. Sedangkan bagi pembaca, alur membawa pembaca bergerak maju meskipun tidak setiap hal kecil dapat ditangkapnya.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut di atas, penulis memberikan batasan alur sebagai berikut, alur ialah rangkaian peristiwa dalam cerita berdasarkan sebab-akibat yang logis. Batasan ini selanjutnya penulis jadikan dasar kajian dalam penelitian yang dilakukan oleh penulis. Sebagai pegangan tentang kriteria pembangunan alur, penulis mengambil pembagian dari Mochtar Lubis.

Alur yang terdapat dalam novel Tiba-Tiba Malam ini adalah alur maju. Bagian-bagian alur cerita ini dapat digambarkan dan dimulai dari pemaparan (Situation).

a. Situation

Pada bagian ini pengarang mulai melukiskan suatu keadaan. Pemaparan (Situation) merupakan suatu kondisi permulaan yang menyampaikan informasi permulaan kepada pembaca cerita ini dimulai saat pernikahan Sunatha dengan Utari yang banyak diceritakan banyak orang di desa.

Upacara perkawinan Sunatha dilangsungkan dengan sederhana dan mendadak. Banyak orang heran dan bertanya-tanya, mengapa hal tersebut terjadi. Mempelai wanita adalah bunga dalam desa, dipujikan kecantikan maupun kelakuannya. Di samping orang cemburu kenapa guru SMP yang gemar menyanyi lagu-lagu rakyat itu yang mampu merobohkan hati Utari, orang juga merasa belum waktunya desa kehilangan putrinya yang tercantik. (Hal. 1)

Pernikahan itu terjadi mendadak karena Sunatha akan pergi ke Kupang untuk mengajar. Hal ini yang membuat warga desa heran karena kepergian Sunatha ke Kupang sehari setelah pernikahannya berlangsung.


(46)

“Kalian jangan begitu, beli Sunatha kan mau berangkat ke Kupang besok pagi.” Semuanya terperanjat. (Hal. 4)

b. Generating Circumstance

Peristiwa yang tersangkut-paut mulai bergerak. Pada tahap ini, pembaca mulai memahami bahwa cerita akan diceritakan sedikit demi sedikit oleh pengarang, tetapi cerita belum jelas, masih samar-samar.

Pada tahap ini dapat kita lihat bahwa Utari yang tidak mau tinggal di rumah Subali. Kesedihannya karena ditinggal oleh Sunatha semakin menjadi-jadi. Dia mengatakan bahwa Sunatha telah mengguna-guna dia.

Utari meronta.

“Aku mau pulang! Aku sudah diguna-guna.” (Hal. 31)

Perang mulut akhirnya terjadi. Ayah dan Ibu Utari mulai percaya bahwa ada sesuatu yang tak beres. (Hal. 32)

Pertengkaran antara dua keluarga pun sudah terjadi. Subali mengancam Utari.

Tak sadar Subali menampar menantunya. Waktu itu ayah Utari segera campur tangan menarik tangan anaknya.

“Baik!” teriak Subali. “Sejak dulu orang selalu menyebarkan fitnah atas keluargaku. Kamu mau kawin dengan Sunatha secara baik-baik, sekarang kamu tuduh anak saya mengguna-guna kamu, setelah dia tak ada disini untuk membela dirinya. Ini pasti ada orang yang campur tangan. Baik! Sekarang pilih saja, kamu pulang atau tinggal di rumah suamimu. Kalau kamu mau pulang, tak usah lagi kamu balik ke rumah kami. Kamu dengar?” (Hal. 32- 33)

Kemarahan Subali terhadap menantunya membuat Subali semakin dekat dengan David, dan mempercayai segala ide-ide David yang menginginkan agar kebiasaan-kebiasaan lama ditinggalkan dan hidup dengan hal-hal yang praktis.

“Bapak harus bikin pembaruan di desa ini. Kalau tidak siapa lagi? Di sini harus ada rumah-rumah sekolah, harus ada listrik, dan harus hidup lebih praktis.”

“kami merencanakan untuk memperbaiki pura kami menjelang odalan besar-besaran yang akan datang.”


(47)

“Ah, buat apa! Kan ada orang lain. Masa kalau satu tidak datang kerja itu tidak bisa diteruskan. Omong kosong. Apa artinya satu orang. Kasih saja uang untuk ganti kerugian. Pokoknya besok kita harus ada di Denpasar. Saya bawa mobil.”

“Tapi bagaimana kata orang nanti?”

“Sudahlah. Jadilah orang praktis, jangan tenggelam dengan sistem yang sudah bobrok ini. Sebab coba…..” (Hal. 51- 52)

c. Racing Action

Tahap ini berisi peristiwa-peristiwa yang mulai mengarah ke puncak cerita, namun belum sampai menimbulkan klimaks (puncak cerita). Dalam cerita ini dapat dilihat tahap racing action yaitu terjadinya insiden atau konflik. Walaupun konflik telah terjadi, namun belum menimbulkan suatu perubahan yang mendasar terhadap tokoh utama. Hal ini disebabkan konflik atau insiden yang terjadi sifatnya tidak terlalu fatal, dengan perkataan lain konflik yang terjadi adalah konflik- konflik kecil.

Konflik dalam cerita ini dimulai dengan Subali yang tidak pernah ikut dalam rapat desa. “Sekarang saya dengar bapak Subali tidak pernah datang kalau ada kerepotan desa.”

“Waktu istri saya mati dulu dia tidak kelihatan, padahal dia ada di rumah. Mengakunya sakit.”

“Ya. Sudah sering dia tidak keluar, waktu ada kerja bakti di pura.” (Hal. 66) Subali yang tidak pernah ikut dalam setiap kerepotan desa membuat warga desa sangat marah.

“kalau besok Subali tidak datang memugar pura bersama kita, keluarkan dia dari karma desa! kita harus tegas!”

Orang banyak berteriak menyambut. “Setujuuuu!”

“Kita cari dia ke rumahnya sekarang!” “Setujuuuuuuu!!”

Rapat itu kacau. Ngurah cepat bertindak dan menenangkan mereka. (Hal. 67)

d. Climax

Apabila tahap ketiga tadi menceritakan tentang berbagai macam konflik kecil dan sifatnya menjurus ke konflik besar, maka pada tahap ke empat atau puncak, konflik pecah.


(1)

Mereka bersalam- salaman lagi meski hati mereka hancur. (Hal. 230) 4. 3. 2 Komunikasi Sosial

Komunikasi sosial menurut Basrowi (2005: 143) adalah suatu proses saling memberikan tafsiran kepada atau dari perilaku pihak lain. Melalui tafsiran pada perilaku pihak lain, seseorang mewujudkan perilaku sebagai reaksi terhadap maksud atau peran yang ingin disampaikan oleh pihak lain itu.

Komunikasi sosial dalam novel Tiba-Tiba Malam ini dapat kita lihat pada kutipan berikut:

Diam-diam ia menyentuh tangan Utari. Wanita itu membalas dan mencubit tangan Sunatha. (Hal. 6)

Jelas dapat kita lihat bahwa Sunatha memberikan tafsiran kepada Utari, dan Utari pun menanggapi tafsiran yang diberikan oleh Sunatha.

Tatkala upacara peresmian pernikahan dilangsungkan, orang asing itu berusaha memotret dari tempat yang agak tinggi. Tapi ia kurang memperhatikan sekitarnya, sehingga secara tak sengaja ia menaiki sebuah sanggah untuk sesajen di halaman. Banyak orang melihat, akan tetapi semuanya hanya tersenyum- senyum saja memaafkan. Hanya Ngurah yang tak tahan melihat hal itu. Ia mulai marah (Hal. 7)

Tindakan yang dilakukan oleh David dianggap hal yang wajar oleh warga desa. tetapi Ngurah tidak menyukai hal tersebut, ia mulai marah.

Dia membukakan pintu dan mengejapkan mata pada renti. Baru pengawal itu mengerti. Begitu saja keluar siulannya. (Hal. 56)

Renti menangkap tindakan yang dilakukan oleh Ngurah. Ngurah memberi tanda dengan mengejapkan mata pada Renti disambut baik oleh Renti. Komunikasi sosial telah terjalin dengan baik dari tindakan Ngurah dengan Renti. Ngurah membalas tanda yang diberikan oleh Ngurah sebagai bukti bahwa ia telah memahami maksud dari tanda yang diberikan oleh Ngurah.

Lalu terdengar kentongan memanggil orang untuk kerja bakti. Pemukul kentongan yang tua itu memukul kentongannya dengan serius sekali. Ia memperhatikan


(2)

ke sekitarnya, ia terus juga memukul. Di kejauhan terdengar juga kentongan-kentongan kecil meneruskan suara kentongan itu. Ia mengangguk-angguk. Lalu tak lama kemudian dilihatnya penduduk desa telah turun ke jalan. Semuanya mengalir ke pura. Penduduk desa lain yang juga ikut bertanggung jawab pada pura itu muncul pula dari berbagai arah. Para lelaki, perempuan juga tak ketinggalan beberapa orang anak-anak, terutama para pemuda. Semuanya datang berduyun-duyun. (Hal. 71)

Tanda yang diberikan oleh seorang laki- laki tua dapat ditafsirkan dengan baik oleh para warga. Ketika seorang tua tersebut memukul kentongan, warga desa mengetahui maksud dari pukulan kentongan tersebut. Ketika kentongan dipukul, warga langsung pergi untuk rapat dan berkumpul dengan warga yang lainnya, misalnya dalam melaksanakan kerja bakti.

Ia mengulurkan segenggam uang yang tadi disisipkan oleh David.

Kepala Desa terpaku. Semua orang terpaku. Uluran tangan itu tidak disambut. Subali jadi gugup. Tapi kemudian dia memegang tangan Kepala Desa dan meletakkan uang itu disana. Waktu itu David cepat menjepret.

“Semuanya masih diam. Semuanya masih memperhatikan Kepala Desa. orang tua itu gemetar. Ia menggenggam uang ditangannya. Tak ada yang berani bicara. Orang tua itu berusaha menahan dirinya. Kemudian ia memperhatikan dengan sedih orang-orang di sekelilingnya.

“Puluhan tahun Bapak memimpin kamu semuanya. Puluhan tahun Bapak memimpin desa ini. Kita semua rukun seperti saudara satu sama lain. Kita tidak pernah bertengkar. Tapi sekali ini Bapak merasa sudah tua sekali. Mungkin dunia sudah berubah. Bapak takut mengatakan apa-apa, takut nanti salah di belakang hari. Tapi Bapak benar- benar merasa seperti muka Bapak dikentuti oleh orang yang Bapak anggap mengerti tata karma desa!” (Hal. 77- 78)

Kepala desa tidak menyambut baik tindakan yang diberikan oleh Subali dengan memberikan amplop kepada kepala desa sebagai pengganti karena Subali tidak bisa ikut dalam kerja bakti di desa.


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5. 1 Kesimpulan

Setelah dilakukan penelitian terhadap novel Tiba-Tiba Malam maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Kesimpulan dari struktur pembentuk karya sastra dapat kita lihat dari latar dalam novel ini berada di pulau Bali, dengan keadaan kehidupan sosial masyarakat Bali yang harus dipatuhi oleh masyarakat. Karena kehidupan Bali yang mengharuskan masyarakat mematuhi adat-istiadat, maka latar juga dapat membentuk watak masyarakat, karena masyarakat diwajibkan mematuhi segala adat-istiadat yang ada di Bali. Jika masyarakat melanggar aturan, maka adat akan mengeluarkan masyarakat yang melanggar aturan tersebut. Alur dalam novel ini adalah alur maju yaitu kejadian yang terjadi saat ini memiliki dampak dikemudian hari bagi masyarakat yang tidak patuh terhadap adat-istiadat yang telah berlaku. Tema dalam novel ini adalah pelanggaran tanggung jawab dan norma yang mengakibatkan penderitaan yang berkepanjangan.

2. Kesimpulan dari proses sosial dalam bidang kerja sama dapat kita lihat dalam pembangunan pura, perbaikan jalan, acara pernikahan, kelahiran maupun kematian. Dalam bidang pertikaian dapat kita lihat antara Subali dan orang tua Utari karena Utari yang tidak mau tinggal di rumah Subali. Pertikaian juga terjadi antara Subali dan Sunithi karena Subali sudah tidak pernah mengikuti kegiatan rapat di desa. pertikaian Sunithi dan Weda karena kecemburuan Weda melihat kedekatan Sunithi dan David juga terdapat dalam novel ini. Pertikaian terakhir terjadi antara Sunatha dengan keluarga Utari dan Sunatha karena Utari tidak melaksanakan kewajibannya sebagai istri Sunatha semenjak


(4)

Sunatha pergi ke Kupang. Kesimpulan terakhir dari proses social adalah akomodasi yang dapat kita lihat dari tindakan yang dilakukan oleh kepala desa dalam menyelesaikan masalah keluarga Subali dengan penduduk desa.

3. Kesimpulan dari syarat-syarat terjadinya interaksi sosial dalam bidang kontak sosial adalah segala percakapan yang terdapat dalam novel Tiba-Tiba Malam karya Putu Wijaya. Kesimpulan dari komunikasi sosial adalah adanya balasan dari perilaku seseorang yang ditafsirkan dari perilaku yang diberikan oleh orang lain, seperti pukulan kentongan dapat diartikan oleh penduduk sebagai tanda untuk mengikuti kegiatan di desa. 5. 2 Saran

Penulis telah melakukan penelitian terhadap novel Tiba-Tiba Malam karya Putu Wijaya dengan menggunakan analisis sosiologi sastra. Gambaran budaya Bali sangat jelas terlihat dalam novel Tiba-Tiba Malam. Bagaimana masyarakat Bali melangsungkan hidup penuh dengan gotong-royong, dan novel ini juga mengingatkan kita agar selalu melestarikan kebudayaan yang kita miliki. Hal ini lah yang membuat penulis merasa tertarik untuk mengkaji novel Tiba-Tiba

Malam dari segi sosiologi sastra. Penulis menyarankan agar novel ini bisa dikaji dari segi

psikologi sastra. Bagaimana watak dari tokoh-tokoh yang ada dalam novel Tiba-Tiba Malam karya Putu Wijaya ini.


(5)

D AFTAR PUSTAKA

Abrams, M. H. 1979. The Miror and the Lamp. New York: Oxford University press. Basrowi.2005. Pengantar Sosiologi. Bogor: Ghalia Indonesia.

Boulton, M. 1975. The Anatomy of Novel. London: Routledge and Keagen Paul.

Brooks, C. and R. P. Warren. 1959. Understanding Fiction. New York: Appleton Century Crofts, Inc.

Damono, Sapardi Djoko.1984. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta Pusat: Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dan Kebudayaan.

Dirdjosisworo, Soedjono. 1985. Asas- Asas Sosiologi. Bandung: Armico.

Esten, Mursal. 1982. Sastra Indonesia dan Tragedi Subkultur. Bandung: Angkasa.

Harahap, Nurhayati. 2006. Ende Ungut-Ungut Angkola Mandailing Kajian Sosiologi Sastra.

Widayati,(Ed.). 2006. Jurnal Ilmu-Ilmu Bahasa dan Sastra Logat. Medan: USU Press.

Hendropuspito. 1989. Sosiologi Semantik. Kanisius: Yogyakarta.

Hudson, W. H. 1955. An Imroduction to the Study of Literature. London: George 6. Harrap and Co. Ltd.

Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI). Hamidy, U. U. 1983. Pembahasan Karya Fiksi dan Puisi. Pecan Baru: Bumi Pustaka. Jabrohim, dkk. (Ed). 2001. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya. Koentjaraningrat. 2007. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. Lubis, mochtar. 1981. Teknik Mengarang. Jakarta: Kurnia Esa.

Malo, Monase. 1985. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Karunika.


(6)

Satoso, Soediro dan Zainuddin Fananie. 2000. Sastra: Ideologi, Politik, dan Kekuasaan. Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Semi, Atar. 1988. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.

Soekanto, Soerjono. 1993. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sudjiman, Panuti. 1984. Kamus Istilah Sastra. Ende- Flores: Nusa Indah.

Sulastin, S. 1983. Hikayat Hang Tuah. Yogyakarta. University Gajah Mada Press. Tarigan, Henry Guntur. 1984. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1984. Teori Kesusastraan (Terjemahan oleh Melani Budianta). Jakarta: Gramedia