ANALISIS ALUR, TOKOH DAN PENOKOHAN, DAN LATAR DALAM NOVEL TIBA TIBA MALAM KARYA PUTU WIJAYA Tugas Akhir Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia Program Studi Sastra Indonesia

ANALISIS ALUR, TOKOH DAN PENOKOHAN, DAN LATAR DALAM NOVEL TIBA TIBA MALAM KARYA PUTU WIJAYA

  Tugas Akhir Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia Program Studi Sastra Indonesia

  Oleh Dominicus Ganang Aditya I.

  NIM : 024114028 PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA November 2010

  

ANALISIS ALUR, TOKOH DAN PENOKOHAN, DAN LATAR

DALAM NOVEL TIBA TIBA MALAM

KARYA PUTU WIJAYA

  

Tugas Akhir

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

  

Oleh

Dominicus Ganang Aditya I.

  

NIM : 024114028

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

  

November 2010

PERNYATAAN KEASLIAN

  Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagai layaknya karya ilmiah.

  Yogyakarta, 24 November 2010

Penulis

Dominicus Ganang Aditya I.

  

Pernyataan Persetujuan Pulikasi Karya Ilmiah

Untuk Kepentingan Akademis

Yang bertanda tangn di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Dominicus Ganang Aditya I.

  Nim : 024114028

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan

Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul Analisis Alur, Tokoh dan

Penokohan, dan Latar Dalam Novel Tiba Tiba Malam Karya Putu Wijaya beserta

perangkat yang diperlukan (bila ada).

Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma

hak menyimpan, mengalihkan dalam bentuk lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan

data, mendistribusikan secara terbatas dan mempublikasikannya di internet atau media

yang lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun

memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

  Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal 24 November 2010 Yang menyatakan, Dominicus Ganang Aditya I.

KATA PENGANTAR

  Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala

rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis (akhirnya) dapat menyelesaikan skripsi ini

dengan baik. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat akhir dalam

menempuh ujian sarjana pada Fakultas Sastra, Jurusan Sastra Indonesia, Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta.

  Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan terwujud tanpa bantuan dan

dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih

kepada pihak-pihak yang telah membantu terselesainya skripsi ini, yaitu: 1.

  S.E. Peni Adji, S.S., M. Hum sebagai dosen pembimbing I, terima kasih telah meluangkan banyak waktu dan kesempatan untuk memberi masukan dan membimbing saya dalam menyelesaikan skripsi ini.

  2. Drs. B. Rahmanto, M. Hum, sebagai dosen pembimbing II, terima kasih atas waktu dan pengertiannya.

  3. Seluruh dosen jurusan Sastra Indonesia, yang telah dengan sabar membimbing penulis selama menempuh pendidikan di Sastra Indonesia.

  4. Kedua orang tua saya yang telah memberi dukungan secara materiil dan spirituil kepada penulis.

  5. Kedua kakakku, Lia dan Kiky, yang selalu cerewet agar segera menyelesaikan penelitian ini.

  6. Teman-teman komunitas Bengkel Sastra USD, Bengkel Mime Theater, Pondok Mapasadha yang sudi menjadi wadah keisenganku selama ini.

  7. Teman-teman seperjuangan Sastra Indonesia 2002, Ardi Tambal Ban, Agus Bonhead, Mbokde Fani, Eli Tubruk, Simbah Padmadi, Anang Electone , Yogi, Sigit Jarwo, Bayu Gembes, dan Martha Sriwul. Terima kasih atas kebersamaannya selama di bangku perkuliahan.

  8. Institusi Universitas Sanata Dharma, baik “atasan” maupun “bawahan”, terima kasih atas pelayanan dan kerjasamanya selama ini.

  9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun telah banyak memberikan dukungan dan perhatian sampai selesainya skripsi ini.

  Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Untuk itu, segala

saran dan kritik dari berbagai pihak akan penulis terima dengan segala kerendahan hati

dan harapan dapat lebih menyempurnakan penelitian ini. Penulis juga berharap skripsi

ini bermanfaat bagi pembaca.

  Yogyakarta, 24 November 2010 Penulis

  

ABSTRAK

Idris, Dominicus Ganang Aditya. 2010. Analisis Alur, Tokoh dan Penokohan, dan Latar

Dalam Novel Tiba Tiba Malam Karya Putu Wijaya. Yogyakarta: Program Studi

  Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma. Penelitian ini mengkaji alur, tokoh dan penokohan, dan latar dalam novel Tiba-Tiba

  Malam karya Putu Wijaya. Tujuan penelitian ini adalah menjabarkan unsur alur, tokoh

dan penokohan, dan latar atau setting dalam novel Tiba-Tiba Malam karya Putu Wijaya.

  Penelitian yang menggunakan metode deskriptif ini mengungkapkan penulisan

karya ini menggunakan alur progresif, lurus, atau maju, dikarenakan peristiwa yang

dikisahkan bersifat kronologis. Peristiwa pertama mengakibatkan peristiwa selanjutnya.

Alur dalam novel ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu tahap awal (beginning), tahap

tengah (middle), dan tahap akhir (end).

  Dalam novel ini diketahui juga bahwa Sunatha merupakan tokoh utama yang

utama, disusul dengan Sunithi, Utari, dan Ngurah sebagai tokoh utama tambahan, dan

sebagai tokoh tambahan utama adalah Subali, David, Weda, serta Renti yang berfungsi

mendukung keseluruhan cerita. Pemilihan Tokoh Sunatha sebagai tokoh utama yang

utama dikarenakan Sunatha merupakan tokoh yang mempengaruhi jalan cerita dalam

novel ini.

  Latar cerita dalam novel ini meliputi latar tempat, latar waktu, dan latar sosial.

Latar tempat didominasi oleh lokasi di pelabuhan, desa, dan Denpasar. Latar waktu

dalam novel ini meliputi pagi, siang, dan malam. Peneliti juga menemukan penggunaan

waktu tertentu, waktu lampau, dan waktu yang akan datang. Sedangkan untuk latar sosial

dapat diketahui dari lingkungan masyarakat pedesaan, rasa kekeluargaan dan sifat gotong

royong, penggunaan bahasa daerah atau dialek-dialek tertentu, dan penggunaan kultur

budaya dan religi.

  

ABSTRACT

Idris, Dominicus Ganang Aditya. 2010. The Analyzing of Plot, Character and

Characterization, and Setting in Tiba-Tiba Malam Novel by Putu Wijaya.

  

Yogyakarta: Indonesian Literature Study Program, Sanata Dharma University.

  This research analyzes the plot, character and characterization, and setting in Tiba-

Tiba Malam Novel by Putu Wijaya. This research aims to describe the elements of plot,

character and characterization, and setting in Tiba-Tiba Malam Novel by Putu Wijaya.

  This research—which uses the descriptive method—shows that the plot of this

novel is progressive plot for the events are arranged in chronological way; an event

causes other events. The plot of the novel is divided into three main parts; the beginning,

the middle, and the end.

  In this Novel, Sunatha is put as the main character over Sunithi, Utari, and Ngurah

who are the main additional characters. The other characters are Subali, David, Weda,

and Renti who are put as additional characters to construct the overall story. Sunatha is

put as the main characters for he influences the story most.

  The setting of the story includes the place setting, time setting, and social setting.

The most dominant places in place setting are the harbor, the village, and Denpasar city.

The time setting includes the morning time, midday time, and night. The researcher also

fined the usage of certain time, past time, and future time. The social setting is showed by

the familiar atmosphere and community self-helped, the usage of local language and

certain dialects, and the culture and religion usage.

  DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …………………………………………………………… i

  HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ……………………………….. ii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI…….................................................... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ........................................................... . iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH

UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ........................................................... v

KATA PENGANTAR ...........................………………………………….......... vi

ABSTRAK ..............................................................……………………………. viii ABSTRACT ............................................................................................................ ix

DAFTAR ISI ........................................................................................................ x

  BAB I PENDAHULUAN… .................................................................................... 1

  1.1 Latar Belakang ………………………………………………………. 1

  1.2 Rumusan Masalah …………………………………………………… 3

  1.3 Tujuan Penelitian ……………………………………………………. 3

  1.4 Manfaat Penelitian …………………………………………………… 3

  1.5 Tinjauan Pustaka …………………………………………………….. 4

  1.6 Landasan Teori ………………………………………………………. 5

  1.6.1 Struktural ………………………………………………. 5

  1.6.2 Alur ……………………………………………………… 6

  1.6.3 Tokoh dan Penokohan………………………...…………. 9

  1.6.4 Latar atau setting ………………………….....………….. 11

  1.7 Metodologi Penelitian .......................................................................... 13

  1.8 Sumber Data ......................................................................................... 13

  1.9 Sistematika Penyajian ........................................................................... 13

  

BAB II ALUR CERITA ....................................................................................... 15

  2.1 Tahap Awal .......................................................................................... 15

  2.2 Tahap Tengah ....................................................................................... 19

  2.3 Tahap Akhir ......................................................................................... 25

  

BAB III TOKOH dan PENOKOHAN ................................................................. 31

  3.1 Sunatha ................................................................................................. 31

  3.2 Sunithi ................................................................................................... 35

  3.3 Utari ....................................................................................................... 37

  3.4 Ngurah .................................................................................................... 39

  3.5 Subali ..................................................................................................... 41

  3.6 David ..................................................................................................... 43

  3.7 Weda ...................................................................................................... 45

  3.8 Renti ....................................................................................................... 47

  

BAB IV LATAR CERITA .................................................................................... 50

  4.1 Latar Tempat .......................................................................................... 50

  4.1.1 Pelabuhan ...................................................................................... 50

  4.1.2 Desa ............................................................................................... 53

  4.1.3 Denpasar ......................................................................................... 55

  4.2 Latar Waktu ............................................................................................ 56

  4.2.1 Pagi ................................................................................................ 56

  4.2.2 Siang .............................................................................................. 57

  4.2.3 Malam ............................................................................................ 57

  4.2.4 Waktu Tertentu .............................................................................. 57

  4.2.5 Waktu Lampau ................................................................................ 58

  4.2.6 Waktu Yang Akan Datang .............................................................. 58

  4.3 Latar Sosial ............................................................................................... 58

  4.3.1 Penyebutan Nama Tempat atau Nama Daerah ................................ 59

  4.3.2 Lingkungan Masyarakat Pedesaan .................................................. 59

  4.3.3 Rasa Kekeluargaan dan Sifat Gotong Royong ............................... 59

  4.3.4 Penggunaan Bahasa Daerah atau Dialek-dialek Tertentu ............... 60

  4.3.5 Penggunaan Kultur Budaya dan Religi ............................................ 60

  

BAB V PENUTUP ................................................................................................ 62

  5.1 Kesimpulan ................................................................................................ 62

  5.2 Saran ........................................................................................................... 64

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 66

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Karya sastra yang kita baca dibangun oleh pengarangnya sebagai hasil rekaman berdasarkan permenungan, penafsiran, dan penghayatan hidup terhadap realitas sosial dan lingkungan kemasyarakatan tempat pengarang itu hidup dan berkembang (Sumardjo 1984: 14).

  Sastra yang merupakan permenungan pengarang terhadap permasalahan kehidupan itu sarat akan nilai yang tercermin dari kultur sosialnya. Dengan kata lain sastra sebagai bagian dari integral kebudayaan dianggap sebagai cara untuk mengungkapkan kebudayaan tersebut (Ratna 2008: 11). Hal ini senada dengan

  

setting atau latar cerita novel Tiba-Tiba Malam (selanjutnya disingkat TTM) yang

  bermula dari Tabanan, Bali yang juga merupakan tempat pengarang novel TTM, Putu Wijaya (selanjutnya disingkat PW) berasal. Seorang sastrawan atau pengarang merupakan anggota dari suatu kelompok masyarakat yang komunal dan kompleks. Pengarang melihat gejala-gejala sosial yang terjadi di masyarakat dan menuangkannya dalam bentuk karya sastra dan tentunya menurut versi mereka (pengarang). Oleh karena itu karya sastra dapat dikatakan sebagai cerminan kehidupan nyata, realitas sehari-hari (walaupun hanya meniru-mimesis).

  Tetapi seniman tidak semata-mata meniru kenyataan melainkan mereka menciptakan dunianya sendiri yang harus kita bedakan dari kenyataan dan ini

  Nurgiyantoro yang mengatakan bahwa pengarang menghayati berbagai permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan yang kemudian diungkapkannya kembali melalui sarana fiksi sesuai pandangannya. Pengarang mengemukakan hal itu berdasarkan pengalaman dan pengamatannya terhadap kehidupan. (Nurgiyantoro, 2010:2-3).

  Berangkat dari hal itu, peneliti menyimpulkan bahwa novel merupakan salah satu hasil seni yang diciptakan pengarang berdasarkan pengalaman yang pernah dilihat atau (bahkan ) dialaminya. Persoalan atau permasalahan kehidupan manusia yang disajikan serta disuguhkan dalam novel biasanya merupakan cerminan atau tingkah laku yang terjadi di masyarakat sehari-hari (atau pada masa itu).

  Salah satu sastrawan yang berhasil menghadirkan kenyataan sosial dalam sebuah karya adalah PW. Bangsawan Bali dan juga penerima SEA Write Award (Bangkok, 1980) ini termasuk produktif. Seluruh genre sastra ia geluti, drama, cerpen, novel, esai maupun skenario film dan sinetron.

  Berbeda dengan karya-karyanya yang lain yang menggunakan konsep teror mental, TTM dapat dikatakan sebagai novel ‘konvensional’-nya PW. Teror mental sendiri merupakan gaya penulisan yang sering diusung PW. Baginya, teror adalah pembelotan, pengkhianatan, kriminalitas, tindakan subversif terhadap logika – tapi nyata. (2007, jurnalnet.com). Seperti yang ditulis dalam kata pengantar novel TTM, novel ini kekuatannya justru pada penyajiannya lewat gaya bertutur dan plot yang tergolong konvensional dan mengangkat tema seputar masalah adat di Bali.

  Peneliti sangat tertarik untuk meneliti novel TTM dikarenakan alur cerita yang membuat penasaran bagaimana berakhirnya (penyelesaian) masalah, Penokohan yang menarik, dan didukung penggambaran latar belakang Bali yang kuat. Hal inilah yang menarik perhatian saya untuk meneliti lebih lanjut karya

  TTM secara intrinsik.

1.2 Rumusan Masalah

  Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas masalah-masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

  1.2.1 Bagaimanakah unsur alur dalam novel TTM?

  1.2.2 Bagaimana dan siapa saja tokoh dan penokohan yang terlibat dalam novel TTM?

1.2.3 Bagaimanakah penggambaran latar cerita dalam novel TTM?

  1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Mendeskripsikan unsur alur dalam novel TTM.

  1.3.2 Mendeskripsikan tokoh dan penokohan dalam novel TTM.

  1.3.3 Mendeskripsikan latar cerita dalam novel TTM.

  1.4 Manfaat Penelitian

  Berbagai penelitian, baik akademik maupun non akademik telah dilakukan oleh orang yang menggemari ranah sastra. Sebesar atau sekecil apa pun hasil penelitiannya, telah memberikan sumbangsih yang bermanfaat bagi peminat dan pemerhati sastra. Demikian juga dengan penelitian ini diharapkan dapat menyodorkan berbagai macam manfaat, antara lain:

  1.4.1 Memperkaya khazanah pustaka dalam penelitian sastra, khususnya mengenai alur, tokoh, dan latar .

  1.4.2 Bermanfaat untuk meningkatkan apresiasi terhadap kesusastraan khususnya novel TTM.

1.5 Tinjauan Pustaka

  PW adalah salah seorang penulis Indonesia yang sangat produktif. Begitu banyak karya sastra yang dihasilkan oleh PW, oleh karenanya tidak sedikit tulisan-tulisan yang membahas karya PW, apalagi novel konvensionalnya, TTM.

  Kii (2007) dalam skripsinya membedah TTM dari sudut pandang pelanggaran adat istiadat di Bali. Dengan berlandaskan kajian sosiologi, ia berkesimpulan bahwa tokoh Subali telah melanggar adat disebabkan beberapa hal antara lain usaha dagangnya bangkrut, menjadi fitnahan orang serta mengalami tekanan dari orang lain. Ia juga menambahkan bahwa tokoh Subali mengalami perubahan pola pikir terhadap adat.

  Sedikit berbeda dengan Kii, Sunarti (2008) menemukan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam novel TTM. Nilai-nilai budaya tersebut adalah nilai budaya hubungan antara manusia dengan Tuhan, nilai budaya dalam hubungan antara manusia dengan masyarakat, nilai budaya hubungan antar manusia dengan alam, nilai budaya hubungan antara manusia dengan orang, nilai budaya hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri. (2008, etd_eprints.ums.ac.id)

  Masalah gender seputar pernikahan juga menghiasi novel TTM. Pendapat ini dikemukakan Violine dalam blog Nyanyian Bahasa. Menurut dia, PW tidak mengangkat ketidakadilan gender antara pria dan wanita tetapi ia justru mengangkat perubahan konsep pada diri seorang perempuan Bali ─seorang istri

  Bali. Menurut ajaran agama Hindu, wanita tidak dianggap marginal oleh laki-laki dan keluarga tetapi wanita sangat dimuliakan dan menjadi lambang Dewi Saraswati. (2009, nyanyianbahasa_wordpress.com)

  Violine juga mengatakan bahwa novel ini tidak hanya mengangkat masalah adat di Bali, tetapi juga menyorot rekonstruksi seorang perempuan Bali.

  Dengan menganalisis karakter tokoh, ia menemukan perubahan pada tokoh-tokoh dalam novel TTM. Tokoh wanitanya tidak hanya lebih dulu mencapai tahap rekonstruksi, tetapi juga berhasil membuat tokoh-tokoh pria berubah demi menyesuaikan diri dengannya. (2009, nyanyianbahasa_wordpress.com)

1.6 Landasan Teori

1.6.1 Struktural

  Secara etimologis, struktur berasal dari kata structura (Latin), yang berarti bentuk, bangunan. Sedangkan secara definitif, strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur, yaitu struktur itu sendiri, dengan mekanisme antarhubungannya, di satu pihak antarhubungan unsur yang satu dengan unsur lainnya, di pihak yang lain hubungan antara unsur (unsur) dengan totalitasnya (Ratna, 2008: 91).

  Analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antarberbagai unsur karya sastra yang secara bersamaan menghasilkan sebuah kemenyeluruhan. Memang, analisis struktural tak cukup dilakukan hanya sekedar mendata unsur tertentu sebuah karya fiksi. Namun, yang lebih penting adalah menunjukkan bagaimana hubungan antarunsur itu dan sumbangan apa yang diberikan terhadap tujuan estetik dan makna keseluruhan yang ingin dicapai (Nurgiyantoro, 2010: 37).

  Unsur-unsur itu salah satunya adalah unsur instrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Kepaduan antarberbagai unsur intrinsik inilah yang membuat sebuah novel berwujud, unsur- unsur (cerita) inilah yang akan dijumpai jika kita membaca sebuah novel. Unsur- unsur yang dimaksud, misalnya, peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa. (Nurgiyantoro, 2010: 23).

  Dalam analisis unsur intrinsik, kepaduan antarunsur-unsur pembangun sebuah novel biasanya dianalisis secara menyeluruh. Akan tetapi, dalam penelitian ini, peneliti tidak menganalisis keterkaitan antarunsur-unsur tersebut. Peneliti hanya fokus kepada deskripsi alur, tokoh dan penokohan, dan latar yang terdapat dalam novel TTM. Hal ini dikarenakan ketiga unsur tersebutlah yang menarik perhatian peneliti.

  Alur konvensional menjadi hal yang unik dalam novel ini dikarenakan biasanya PW menggunakan alur non-konvensional. Hal ini juga diikuti dengan penokohan yang menarik serta deskripsi latar Bali yang begitu kuat. Jadi, peneliti hanya memfokuskan penelitian pada deskripsi alur, tokoh dan penokohan, dan latar dalam novel TTM.

1.6.2 Alur

  Alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita. Istilah alur dalam hal ini sama dengan istilah plot maupun struktur cerita (Aminuddin, 1991: 83).

  Stanton via Nurgiyantoro (2010: 13) mengemukakan bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang lain.

  Aristoteles via Nurgiyantoro (2010: 142) membagi plot menjadi tiga bagian, yaitu tahap awal (beginning), tahap tengah (middle), dan tahap akhir (end). Tahap awal disebut juga tahap perkenalan yang berfungsi memberikan informasi dan penjelasan tentang latar, seperti nama-nama tempat, suasana alam waktu kejadiannya, yang pada garis besarnya berupa deskripsi setting. Selain itu tahap awal juga sering dipergunakan untuk pengenalan tokoh (-tokoh) cerita, mungkin berwujud deskripsi fisik dan perwatakannya (Nurgiyantoro, 2010: 142- 145).

  Tahap tengah atau disebut tahap pertikaian, menampilkan pertentangan dan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya, menjadi semakin meningkat. Konflik tersebut dapat berupa konflik internal yang terjadi dalam diri seorang tokoh maupun konflik eksternal yang terjadi antartokoh cerita.

  Dalam tahap ini klimaks ditampilkan ketika konflik (utama) telah mencapai intensitas tertinggi (Nurgiyantoro 2010: 145).

  Tahap akhir disebut sebagai tahap peleraian yang menampilkan adegan tertentu sebagai klimaks. Jadi, bagian ini misalnya (antara lain) berisi bagaimana kesudahan cerita atau akhir sebuah cerita, atau menyaran pada hal bagaimanakah akhir sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2010: 146-147).

  Plot dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis yang berbeda berdasarkan sudut-sudut tinjauan atau kriteria yang berbeda pula. Nurgiyantoro (2010: 153) membagi pembedaan plot berdasarkan kriteria urutan waktu menjadi tiga, yaitu plot lurus (progresif), plot sorot balik (flash-back), dan plot campuran.

  Plot lurus, progresif bila peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis, peristiwa(-peristiwa) yang pertama diikuti oleh (atau: menyebabkan terjadinya) peristiwa-peristiwa yang kemudian (Nurgiyantoro, 2010: 154).

  Plot sorot balik (flash-back) adalah cerita tidak dimulai dari tahap awal (yang benar-benar merupakan awal cerita secara logika), melainkan mungkin dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita dikisahkan. Biasanya karya yang berplot jenis ini langsung menyuguhkan adegan- adegan konflik, bahkan konflik yang telah meruncing. (Nurgiyantoro, 2010: 154).

  Sedangkan plot campuran adalah gabungan antara plot progresif dan plot

  

flash back . Secara garis besar plot sebuah novel mungkin progresif, tetapi di

dalamnya, betapun kadar kejadiannya, sering terdapat adegan-adegan sorot balik.

  Sehingga pengakategorian plot cenderung progresif atau sorot balik lebih didasarkan pada mana yang lebih menonjol, atau lebih bersifat gradasi.

  (Nurgiyantoro, 2010: 155-156).

  Pembedaan plot berdasarkan kriteria jumlah dibagi menjadi dua, yaitu plot tunggal dan plot sub-subplot (ganda). Plot tunggal biasanya mengembangkan sebuah cerita dengan menampilkan seorang tokoh utama protagonis yang sebagai

  

hero . Sedangkan sub-subplot terjadi bilamana sebuah karya fiksi memiliki lebih

  dari satu alur cerita yang dikisahkan, atau terdapat lebih dari seorang tokoh yang dikisahkan perjalanan hidup, permasalahan, dan konflik yang dihadapinya.

  (Nurgiyantoro, 2010: 157-158).

  Untuk pembedaan plot berdasarkan kriteria, dipilah menjadi dua bagian, yaitu plot padat dan plot longgar. Plot padat terjadi bilamana cerita disajikan secara cepat, peristiwa-peristiwa fungsional terjadi secara susul- menyusul dengan cepat, hubungan antarperistiwa juga terjalin secara erat, dan pembaca seolah-olah selalu dipaksa untuk terus-menerus mengikutinya. Sedangkan plot longgar terjadi bila pergantian antarperistiwa berlangsung lambat dan hubungan antarperistiwa diselai dengan oleh berbagai peristiwa ’tambahan’, atau berbagai pelukisan tertentu seperti penyituasian latar dan suasana. (Nurgiyantoro, 2010: 159-160).

1.6.3 Tokoh dan Penokohan

  Tokoh cerita (character), menurut Abrams, adalah orang(-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan (Nurgiyantoro, 2010: 165).

  Berdasarkan segi peranan atau tingkat pentingnya, tokoh dibagi menjadi dua macam, yakni tokoh utama (central character, main character) dan tokoh tambahan (peripheral character). (Nurgiyantoro, 2010: 176)

  Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian (Nurgiyantoro, 2010:176- 177). Sedangkan tokoh tambahan adalah tokoh yang tidak terlalu mendominasi cerita.

  Tokoh utama (biasanya) selalu hadir di setiap kejadian dan ia sangat menentukan perkembangan plot secara keseluruhan. Tokoh utama dalam sebuah novel, mungkin saja lebih dari seorang , walau kadar keutamaannya tak (selalu) sama. Dengan demikian, pembedaan antara tokoh utama dan tambahan tak dapat dilakukan secara eksak dan hanya dilihat dari intensitas kemunculan tokohnya saja. Hal ini sejalan dengan pendapat Nurgiyantoro (2010: 178) yang mengatakan pembedaan itu bersifat gradasi, kadar keutamaan tokoh (-tokoh) itu bertingkat. Tokoh utama (yang) utama, utama tambahan, tokoh tambahan utama, tambahan (yang memang) tambahan.

  ”Istilah ’penokohan’ lebih luas pengertiannya daripada ’tokoh’ dan ’perwatakan’ sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.” (Nurgiyantoro, 2010: 166).

  Nurgiyantoro (2010: 194) juga menambahkan bahwa masalah penokohan dalam sebuah karya tak semata-mata hanya berhubungan dengan masalah pemilihan jenis dan perwatakan para tokoh cerita saja, melainkan juga bagaimana melukiskan kehadiran dan penghadirannya secara tepat sehingga mampu menciptakan dan mendukung tujuan artistik karya yang bersangkutan.

  Menurut Altenbernd dan Lewis, secara garis besar ada dua teknik pelukisan tokoh dalam suatu karya, yakni teknik ekspositori (expository) dan teknik dramatik (dramatic). Teknik ekspositori adalah teknik pelukisan tokoh cerita dengan cara memberikan deskripsi, uraian, dan penjelasan secara langsung, sedangkan teknik dramatik merupakan teknik pelukisan tokoh yang dilakukan secara tidak langsung, artinya pengarang tidak mendeskripsikan secara ekplisit sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh, menyiasati para tokoh cerita untuk menunjukkan kehadirannya sendiri melalui berbagai aktifitas yang dilakukan baik secara verbal lewat kata maupun non verbal lewat tindakan atau tingkah laku, dan juga melalui peristiwa yang terjadi (Nurgiyantoro, 2010:194-198).

1.6.4 Latar atau Setting

  Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams via Nurgiyantoro, 2010: 216).

  Unsur-unsur latar dapat dibedakan menjadi tiga unsur pokok, yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Penggunaan latar tempat dengan nama (–nama) tertentu haruslah mencerminkan, atau paling tidak tak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan karena masing-masing tempat tentu memiliki karakteristiknya sendiri yang membedakannya dengan tempat-tempat yang lain. Pengangkatan suasana kedaerahan, sesuatu yang mencerminkan unsur local colour, akan menyebabkan latar tempat menjadi unsur yang dominan dalam karya yang bersangkutan. Namun, perlu ditegaskan bahwa sifat ketipikalan daerah tak hanya ditentukan oleh rincinya deskripsi lokasi, melainkan terlebih harus didukung oleh sifat kehidupan sosial masyarakatnya (Nurgiyantoro, 2010: 227-228).

  Latar waktu berhubungan dengan masalah ”kapan” terjadinya peristiwa- peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah ”kapan” tersebut biasanya dikaitkan dengan peritiwa sejarah. Dalam artian sesuatu yang diceritakan harus sesuai dengan perkembangan sejarah. Namun, tidak menutup kemungkinan latar waktu mungkin justru tampak samar tidak ditunjukkan secara jelas, mungkin karena memang tidak penting untuk ditonjolkan dengan kaitan logika ceritanya.

  Ketidakjelasan waktu sejarah dalam novel itu memang tidak diperlukan (Nurgiyantoro, 2010: 230-232).

  Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.

  Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap. Latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan. Selain itu, latar sosial memang dapat secara meyakinkan menggambarkan suasana kedaerahan, local

colour , warna setempat derah tertentu melalui kehidupan sosial masyarakatnya.

  Disamping itu dapat diperkuat dengan penggunaan bahasa daerah atau dialek- dialek tertentu (Nurgiyantoro, 2010: 233-235)

  1.7 Metodologi Penelitian

  Metode merupakan cara dan prosedur yang akan ditempuh oleh peneliti dalam rangka mencari pemecahan masalah (Santosa, 2004: 8). Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis. Secara etimologis deskripsi dan analisis berarti menguraikan, tidak semata-mata menguraikan, melainkan juga memberikan penjelasan dan pemahaman secukupnya (Ratna, 2008: 53).

  Adapun teknik yang penulis pakai adalah teknik catat dan simak. Penyimakan terhdap isi dan novel tersebut kemudian dilanjutkan dengan teknik catat pada kartu data. Teknik catat maksudnya pencatatan data yang digunakan dengan alat tulis, sedangkan kartu data berupa kertas dengan ukuran dan kualitas apapun dapat digunakan asal mampu memuat, memudahkan pembacaan dan menjamin data (Sudaryanto, 1988: 58).

  1.8 Buku Sumber Data

  Judul : Tiba Tiba Malam Pengarang : Putu Wijaya Penerbit : Buku Kompas Tahun terbit : 2005 Tebal : iv + 236 hlm

  1.9 Sistematika Penyajian

  Hasil penelitian ini akan disajikan dalam urutan bab per bab. Bab pertama berisi pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode dan pendekatan, serta sistematika penyajian. Bab kedua menjabarkan alur atau plot. Bab ketiga berisi analisis tokoh dan penokohan. Bab keempat akan mendeskripsikan latar atau setting cerita. Selanjutnya kesimpulan dan saran disajikan pada bab kelima.

BAB II ALUR CERITA Pada bab berikut, akan dijabarkan struktur cerita novel TTM dari sudut

  alur atau plot. Pembahasan mengenai alur dalam penelitian ini meliputi tahap awal (beginning), tahap tengah (middle), dan tahap akhir (end).

2.1 Tahap Awal

  Tahap awal dalam novel TTM karya PW merupakan tahap perkenalan yang berfungsi memberikan penjelasan tentang dekripsi setting, dalam hal ini meliputi nama-nama tempat, suasana alam, dan waktu kejadiannya.

  Selain itu, pada tahap ini juga dipergunakan untuk memperkenalkan tokoh (-tokoh) cerita, yang berwujud deskripsi fisik dan perwatakannya. Adapun pada tahap ini masalah (-masalah) yang memunculkan terjadinya konflik sudah mulai diperlihatkan.

  Penceritaan diawali dengan upacara perkawinan Sunatha dan Utari yang menjadi perhatian semua warga desa karena gadis cantik itu sudi menikah dengan Sunatha yang hanya guru SMP. Hal ini dapat diketahui dalam kutipan berikut.

  (1) Upacara perkawinan Sunatha dilangsungkan dengan sederhana dan mendadak. Banyak orang heran dan bertanya-tanya, mengapa hal tersebut terjadi… Di samping orang cemburu kenapa guru SMP yang gemar menyanyi lagu-lagu rakyat itu yang mampu merobohkan hati Utari… (hlm. 1)

  Pernikahan itu membuat beberapa lelaki patah hati, salah satunya adalah Ngurah, orang kaya di desa tersebut. Bahkan, ia sudah yakin serta mempersiapkan segala sesuatunya untuk meminang Utari. Tapi kenyatan berbicara lain. Utari lebih memilih Sunatha. Penggambaran situasi ini terdapat dalam kutipan berikut.

  (2) Di sebuah rumah yang kaya di desa itu, seorang lelaki tercenung.

  Dia tidak mengatakan apa-apa, tetapi hatinya hancur. Dia baru saja merencanakan untuk mempersiapkan lamaran. Ia hampir tak bisa menerima kenyataan itu, karena ia sebenarnya sudah begitu yakin. Baik tampang, keadaan sosial ekonomi, dan kedudukan semuanya menyokong rencananya. Ia tak pernah menduga bahwa antara Utari dan Sunatha sudah ada ikatan percintaan (hlm. 2). Pernikahan itu menarik perhatian seorang pria asing (bule), David. Ia mencatat dan mengabadikan apa saja yang dilihatnya ke dalam kamera, hal apa pun yang belum pernah dia tahu dan kelihatan asing di matanya. Dia melakukan segala cara untuk mendapatkan angle yang terbaik, bahkan ia menaiki sanggah, tempat untuk sesajen. Kejadian itu digambarkan dalam kutipan (3).

  (3) Tatkala upacara peresmian pernikahan dilangsungkan, orang asing itu berusaha memotret dari tempat yang agak tinggi. Tapi ia kurang memperhatikan sekitarnya, sehingga secara tak sengaja ia menaiki sebuah sanggah untuk sesajen di halaman (hlm. 7).

  Karena perbuatannya, David pun ditegur oleh Renti dan dia meminta maaf. Ia mendekati seorang lelaki tua yang tak lain adalah Subali, ayah Sunatha, David meminta ijin kepada Subali untuk memotret. Dari sinilah awal perkenalan mereka. Percakapan mereka dilukiskan dalam penggalan berikut.

  (4) “Maaf, apa di sini dilarang bikin potret?” Orang tua itu menggeleng. “Tidak. Silakan. Ambil saja banyak-banyak.” Orang asing itu mengulurkan tangan. “Nama saya David. Ini upacara perkawinan, ya?” “Betul.” “Perkawinan siapa?” “Perkawinan anak saya. Itu yang lelaki namanya Sunatha, anak saya yang paling tua. Saya sendiri bernama Subali. (hlm. 8). Renti geram melihat pernikahan antara Utari dan Sunatha yang menyebabkan majikannya, Ngurah, menderita berusaha mencari cara untuk mendekati ibu dari Utari dan menyebarkan isu bahwa Utari kena guna-guna supaya mau menikah dengan Sunatha. Berita itu didengar oleh ibu Utari dan membuat ia cemas terhadap anak gadisnya yang baru menikah, ini terdapat dalam kutipan berikut.

  (5) Orang tua itu tiba-tiba sedih. Kini ia baru berpikir mungkin sekali Utari sudah kena guna-guna. Ia sudah beberapa kali menyarankan Utari untuk memperhatikan Ngurah. Ya, dia bukan tidak ingin punya menantu kaya. Tapi hati Utari rupanya sudah begitu terjerat Sunatha (hlm. 13).

  Sunatha merasa tidak yakin keputusan Utari menikahi dirinya adalah suatu keputusan yang tepat. Ia merasa rendah diri. Sunatha merasa tidak pantas dibandingkan Ngurah yang kaya raya. Ia hanya seorang guru SMP yang besok pagi akan berangkat ke Kupang untuk mengajar. Situasi tersebut digambarkan dalam kutipan berikut.

  (6) ”Kamu ingat waktu Ngurah datang tadi?” Utari mengangguk.

  ”Kamu benar-benar tidak menyesal memilih aku? Dia jauh lebih kaya. Dia sudah siap. Sedangkan aku tidak punya apa-apa. Lagipula besok sudah harus berangkat. Menyesal?” (hlm. 16). Sunatha merasa was-was dengan buah pikiran David yang berbahaya maka ketika di pelabuhan menjelang keberangkatannya ke Kupang, ia berpesan kepada

  Weda, pacar Sunithi, untuk menjaga keluarganya, terutama Subali, ayahnya, dari pengaruh David. Hal ini dikarenakan kondisi psikologis Subali yang masih stress karena ia baru mengalami kebangkrutan. Hal ini dapat diketahui dalam kutipan berikut.

  (7) ”Buah pikirannya berbahaya. Saya tidak suka dia terlalu rapat dengan bapak. Kamu tahu sendiri, bapak sedang kecewa. Dia masih memikirkan usaha dagangnya yang bangkrut”. (hlm. 23).

  Setelah kepergian Sunatha, dalam bis, Utari menyesali keputusannya menikah dengan Sunatha. Untuk menutupi penyesalannya tersebut, ia mengatakan kepada semua orang bahwa ia telah diguna-gunai. Pernyataan ini membuat keluarga Sunatha merasa tersinggung. Utari meminta pulang ke rumah orang tuanya tetapi Subali tidak setuju. Terjadi pertengkaran antara Subali dengan keluarga Utari. Kejadian ini dilukiskan dalam kutipan berikut.

  (8) ”Baik!” teriak Subali. ”Sejak dulu orang selalu menyebarkan fitnah atas keluargaku. Kamu mau kawin dengan Sunatha secara baik- baik, sekarang kamu tuduh anak saya menguna-guna kamu,...

  Sekarang pilih saja, kamu pulang atau tinggal di rumah suamimu. (hlm. 33).

  Akhirnya Utari memutuskan untuk pulang ke rumah orang tuanya. Subali tak menyangka kejadiannya akan seperti ini. Utari semakin menjadi-jadi. Ia menuduh Sunatha wangdu (impoten) dan ia tidak mau kembali ke rumah mertuanya, bahkan ia berkasih-kasihan dengan Ngurah. Hubungan Ngurah dan Utari direstui oleh kedua orang tua Utari padahal status Utari masih menjadi istri sah Sunatha. Kejadian di atas dapat dilihat dalam kutipan berikut.

  (9) Utari tiba-tiba membaringkan kepalanya di pangkuan Ngurah.

  Lelaki ini terkejut dan deg-degan. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Terutama karena orang tua Utari juga kelihatan biasa saja. Utari menangis terisak-isak. Tapi ia mulai bicara. ”Dia wangdu! Aku tidak mau lagi ke sana! Aku tidak mau!” (hlm. 39).

  Perlakuan keluarga Utari tidak sampai di situ saja. Sunithi bahkan diusir dari rumah keluarga Utari ketika Sunithi pergi ke sana dengan ditemani Weda untuk menjenguk Utari yang sedang sakit. Bahkan bingkisan dari orang tua Sunatha untuk Utari dibuang karena dianggap ada guna-gunanya. Perlakuan mereka berbeda sekali ketika Ngurah datang ke rumah Utari dan menawarkan membawa Utari ke kota untuk berobat. Kontradiksi ini digambarkan dalam dua kutipan berikut.

  (10) Tiba-tiba ibu Utari meraih bingkisan itu dan melemparkannya.

  ”Enyah-enyah! Jangan bawa guna-guna kemari!” Sunithi terkejut. Dia hendak membalas, tapi Weda cepat mencegahnya. (hlm. 46).

  (11) ”Utari ada, Ibu?” ” Oh ada. Utariiii! Ini Ngurah. Semalam dia menunggu. Katanya Ngurah bawa obat!” “Ini saya bawa,” sambil menunjukkan bungkusan. Kalau boleh nanti sore saya ajak Wayan ke kota untuk berobat, supaya cepat sembuh.” “Oh, silakan. Wayan cepat!” (hlm.47)

  Subali mulai terhasut oleh David yang terlalu antipati terhadap budaya ketimuran, ini dapat dilihat ketika ia mengiyakan ajakan David untuk pergi ke Denpasar, sedangkan nanti malam ada rapat desa yang merencanakan untuk memperbaiki pura desa menjelang perayaan odalan. Selain itu sudah beberapa kali Subali tidak menghadiri rapat desa karena sering bepergian dengan David. Percakapan mereka dapat dilihat dalam kutipan berikut.

  (11) Ah, buat apa! Kan ada orang lain. Masa kalau satu tidak datang kerja itu tidak bisa diteruskan. Omong kosong. Apa artinya satu orang. Kasih saja uang untuk ganti kerugian. Pokoknya besok kita harus ada di Denpasar. Saya bawa mobil.” “Tapi sudah beberapa kali saya tidak muncul di desa gara-gara ikut David.” ....“Sudahlah. Jadilah orang yang praktis, jangan tenggelam dalam sistem yng sudah bobrok ini. (hlm. 52).

2.2 Tahap Tengah

  Tahap tengah pada novel TTM karya PW merupakan tahap pertikaian yang menampilkan konflik yang semakin meningkat ketika konflik tersebut merupakan