Faktor resiko Gejala Klasifikasi Asma

9 kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas Rengganis, 2008. Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO 2 . Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsang menyebabkan dilepasnya neuropeptida. Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi Rengganis, 2008.

2.4 Faktor resiko

Secara umum faktor risiko asma menurut Pedoman Pengendalian Penyakit Asma 2009 yaitu: a. Faktor Pejamu 1. Hipereaktivitas 2. Atopialergi bronkus 3. Faktor yang memodifikasi penyakit genetik 4. Jenis kelamin 5. Rasetnik b. Faktor Lingkungan Universitas Sumatera Utara 10 1. Alergen di dalam ruangan tungau, debu rumah, kucing, jamur dll. 2. Alergen diluar ruangan alternaria, tepung sari. 3. Makanan bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang, makanan laut, susu sapi, telur. 4. Obat-obatan tertentu misalnya golongan aspirin, NSAID, bloker dll 5. Bahan yang mengiritasi misalnya parfum, household spray dan lain-lain 6. Ekspresi emosi berlebih 7. Asap rokok dari perokok aktif dan pasif 8. Polusi udara di luar dan di dalam ruangan 9. Exercised induced asthma 10. Perubahan cuaca

2.5 Gejala

Gejala asma bersifat episodik, seringkali reversibel denganatau tanpa pengobatan. Gejala awal berupa : a. Batuk terutama pada malam atau dini hari b. Sesak napas c. Napas berbunyi mengi yang terdengar jika pasien menghembuskan napasnya d. Rasa berat di dada e. Dahak sulit keluar Gejala yang berat adalah keadaan gawat darurat yang mengancam jiwa. Yang termasuk gejala yang berat adalah: a. Serangan batuk yang hebat b. Sesak napas yang berat dan tersengal-sengal c. Sianosis kulit kebiruan, yang dimulai dari sekitar mulut Universitas Sumatera Utara 11 d. Sulit tidur dan posisi tidur yang nyaman adalah dalam keadaan duduk e. Kesadaran menurun Depkes, RI., 2007

2.6 Diagnosis Asma

Diagnosis asma bisa ditegakkan dengan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesa berupa keluhan utama, riwayat penyakit keluarga, faktor yang memperberat atau memperingan gejala, bagaimana dan kapan terjadinya keluhan. Karakteristik gejala asma yaitu lebih dari satu gejala berupa mengi, sesak napas, batuk, dada terasa berat, yang semakin buruk saat malam atau pagi hari dengan waktu dan intensitas yang bervariasi, bisa dipicu oleh infeksi virus, olahraga, paparan allergen, perubahan cuaca, serta bahan iritan seperti asap GINA, 2014.

2.6.1 Anamnesis

Ada beberapa hal yang harus ditanyakan dari pasien asma antara lain : a. Apakah ada batuk yang berulang terutama pada malam menjelang dini hari? b. Apakah pasien mengalami mengi atau dada terasa berat atau batuk setelah terpajan alergen atau pencetus? c. Apakah ada mengi atau rasa berat di dada atau batuk setelah melakukan aktifitas atau olahraga? d. Apakah ada batuk, mengi, sesak di dada jika terjadi perubahan musim atau cuaca atau suhu yang ekstrim perubahan yang tiba-tiba? e. Apakah gejala-gejala tersebut di atas berkurang atau hilang setelah pemberian obat pelega bronkodilator? f. Apakah dalam keluarga kakeknenek, orang tua, anak, saudara kandung, saudara sepupu ada yang menderita asma? Depkes, RI., 2009 Universitas Sumatera Utara 12

2.6.2 Pemeriksaan fisik

Pasien yang mengalami serangan asma, pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan sesuai derajat serangan : a. Inspeksi : pasien terlihat gelisah, sesak nafas cuping hidung, nafas cepat, sianosis. b. Palpasi : biasanya tidak ada kelainan yang nyata pada serangan berat dapat terjadi pulsus paradoksus. c. Perkusi : biasanya tidak ada kelainan yang nyata. d. Auskultasi : ekspirasi memanjang, wheezing, suara lendir Depkes, RI., 2009 2.6.3 Pemeriksaan penunjang 2.6.3.1 Pemeriksaan fungsi Paru Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi mengenai asmanya sehingga dibutuhkan pemeriksaan objektif yaitu faal paru. Pemeriksaan fungsi paru sebagai paramater objektif yang standar dipakai yaitu pemeriksaan spirometri dan peak expiratory flow PEF PDPI, 2003. Spirometer adalah alat pengukur faal paru yang penting dalam menegakkan diagnosa untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan Rengganis, 2008. Spirometer adalah mesin yang dapat mengukur kapasitas vital paksa KVP dan volume ekspirasi paksa detik pertama VEP1. Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang diperiksa Depkes, RI., 2007. Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma : a. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP 1 KVP 75 atau VEP 1 80 nilai prediksi. Universitas Sumatera Utara 13 b. Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP 1 15 secara spontan, atau setelah inhalasi bronkodilator uji bronkodilator, atau setelah pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid inhalasioral 2 minggu. Reversibiliti ini dapat membantu diagnosis asma c. Menilai derajat berat asma PDPI, 2003. Peak Expiratory Flow Meter PEF meter adalah alat yang paling sederhana untuk memeriksa gangguan jalan napas, yang relatif sangat murah, mudah dibawa. Dengan PEF meter fungsi paru yang dapat diukur adalah arus puncak ekspirasi APE Depkes, RI., 2007. Manfaat APE dalam diagnosis asma a. Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE 15 setelah inhalasi bronkodilator uji bronkodilator, atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau respons terapi kortikosteroid inhalasi oral, 2 minggu. b. Variabiliti, menilai variabiliti APE harian. Variabiliti juga dapat digunakan menilai derajat berat penyakit PDPI, 2003. Cara pemeriksaan variabilitas APE Depkes, RI., 2007. Pada pagi hari diukur APE untuk mendapatkan nilai terendah dan malam hari untuk mendapatkan nilai tertinggi. Universitas Sumatera Utara 14 Pengukuran Arus Puncak Ekspirasi APE dengan Peak ekspiratory Flow Meter ini dianjurkan pada : a. Penanganan serangan akut di gawat darurat, klinik, praktek dokter dan oleh pasien di rumah. b. Pemantauan berkala di rawat jalan, klinik dan praktek dokter. c. Pemantauan sehari-hari di rumah.

2.6.3.2 Uji provokasi bronkus

Uji provokasi bronkus dilakukan untuk menunjukan adanya hiperreaktivitas bronkus. Ada beberapa cara untuk melakukan uji provokasi bronkus seperti uji dengan histamin, metakolin, kegiatan jasmani, udara dingin, larutan garam hipertonik. Uji provokasi bronkus bermakna jika terjadi penurunan FEV1 sebesar 20 atau lebih Sundaru, 2001.

2.6.3.3 Pemeriksaan sputum

Sputum eosinofil sangat karakteristik untuk asma, sedangkan neutrofil sangat dominan pada bronkitis kronik Sundaru, 2001.

2.6.3.4 Pemeriksaan eosinofil total

Jumlah eosinofil total dalam darah sering meningkat pada pasien asma dan hal ini dapat membantu dalam membedakan asma dari bronkitis kronik Sundaru, 2001.

2.6.3.5 Uji tusuk kulit skin prick test

Uji kulit dengan alergen dilakukan sebagai pemeriksaan diagnostik pada asma ekstrinsik alergi. Keadaan alergi ini dihubungkan dengan adanya produksi antibodi Ig E Meiyanti, 2000. Universitas Sumatera Utara 15

2.6.3.6 Pemeriksaan radiologis

Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru Tanjung, 2003.

2.7 Klasifikasi Asma

GINA membagi klasifikasi klinis asma menjadi 4, yaitu Asma intermiten, Asma persisten ringan, Asma persisten sedang, dan Asma persisten berat. Dalam klasifikasi GINA dipersyaratkan adanya nilai PEF atau FEV1 untuk penilaiannya. Tabel 2.1. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis secara umumpada orang dewasa Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Asma Pedoman Penatalaksanaan di Indonesia, 2003 Derajat Asma Gejala Gejala Malam Faal Paru Intermitten Bulanan APE 80 - Gejala 1xminggu - Tanpa gejala diluar serangan. - Serangan singkat 2 kali sebulan - VEP 1 80 nilai prediksi APE 80 nilai terbaik. - Variabiliti APE20 Persisten ringan Mingguan APE80 - Gejala1xminggu tetapi1xhari. - Serangan dapat mengganggu aktiviti dan tidur 2 kali sebulan - VEP 1 80 nilai prediksi APE 80 nilai terbaik. - Variabiliti APE 20- 30 Persisten sedang Harian APE 60-80 - Gejala setiap hari - Serangan mengganggu aktiviti dan tidur. - Membutuhkan bronkodilator setiap hari. 2 kali sebulan - VEP 1 60-80 nilai prediksi APE 60- 80 nilai terbaik. - Variabiliti APE30. Persisten berat Kontinyu APE - Gejala terus menerus - Sering kambuh - Aktiviti fisik terbatas Sering - VEP 1 60 nilai prediksi. APE 60 nilai terbaik - Variabiliti APE30 Universitas Sumatera Utara 16 Konsensus Internasional III juga membagi asma anak berdasarkan keadaan klinis menjadi 3 yaitu asma episodik jarang asma ringan yang meliputi 75 populasi anakasma, asma episodik sering asma sedang meliputi 20 populasi, dan asma persisten asma berat meliputi 5 populasi Warner, 1998. Konsensus Nasional juga membagi asma anak menjadi 3 derajat penyakit seperti halnya Konsensus Internasional, tapi dengan kriteria yang lebih lengkap seperti dapat dilihat dalam tabel berikut ini. Tabel 2.2. Pembagian derajat penyakit asma pada anak Parameter klinis, kebutuhan obat, dan faal paru Asma episodik jarang Asma ringan Asma episodik sering Asma sedang Asma persisten Asma berat Frekuensi serangan 1x bulan 1x bulan sering Lama serangan 1 minggu 1 minggu hampir sepanjang tahun Intensitas serangan biasanya ringan biasanya sedang biasanya berat Di antara serangan tanpa gejala sering ada gejala gejala siang dan malam Tidur dan aktivitas tidak terganggu sering terganggu sangat terganggu Faal paru di luar serangan PEF FEV1 80 PEF FEV1 60- 80 PEF FEV1 60 Faal paru pada saat variabilitas 15 variabilitas 30 variabilitas 50 Sumber : Konsensus Nasional Asma Anak IDAI, 2000

2.8 Penatalaksanaan asma