Politik Menurut Tokoh RELASI KIAI DAN POLITIK
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
dibandingkan dengan masyarakat sekitar, termasuk memiliki akses informasi yang lebih baik.
8
Ketaatan masyarakat kepada kiai membentuk gurita bangunan sosial- etik yang unik, di samping memberikan ruang luas kepada kiai untuk bebas
menciptakan kultur dan budaya masyarakat. Otoritas itu diakui oleh siapa pun dan menjadi modal penting kiai melakukan mobilitas sosial dan bermacam
gerakan strategis pemberdayaan. Dalam pandangan politis, fakta bentuk ketaatan masyarakat yang
demikian itu di sisi lain acap kali dimanfaatkan guna meraih kepentingan tertentu kiai. Selama kharisma dan ketokohan kiai digunakan demi
kepentingan masyarakat dan memakai strategi politik yang tepat tampaknya tidak ada masalah. Sayangnya, kerap kali potensi massa masyarakat itu
dimanfaatkan untuk kepentingan politik praktis dan – kadang- pragmatis. Semua itu, seolah menjadi fenomena baru kalangan kiai saat ini. Ada
semacam politisasi agama demi kekuasaan yang sebenarnya sebagian kecil saja dari bentuk strategi dan gerakan politik kiai. Kekeliruan dalam bentuk
terjunnya kiai dalam politik praktis yang terjadi didorong oleh kekeliruan memahami politik di satu sisi, dan kekeliruan memahami fitrah kiai di sisi
lain. Dalam tatanan sosial, kiai tak hanya memiliki peran mengayomi dan
menjadi rujukan atas setiap masalah masyarakat yang dihadapi, akan tetapi juga memerankan diri sebagai orang yang membangun budaya. Pada masa-
8
Lihat dalam Trianto, “Membaca Peta Politik Kiai Nahdlatul Ulama: Antara Keteguhan Khithah dan Syahwat Politik”
. Gagasan ini dikutip oleh Trianto dari gagasan Laode Ida dalam bukunya NU Muda; Kaum Progresif dan Sekulerisme
. Lengkapnya tulisan Trianto bisa dilihat dalam Abu Dzarrin dkk. Sarung Demokrasi: Dari NU untuk Peradabatn Keindonesiaan Surabaya:
Khalista, 2008, hlm 88.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
masa awal pendirian pesantren, kiai mengemban misi transformatif, yaitu mengubah struktur dan kultur masyarakat menuju kondisi yang lebih baik.
Oleh karena itu, kiai-kiai dahulu biasanya mendirikan pesantren di tempat- tempat rawan atau biasa disebut dengan ‘daerah hitam’. Kiai mengemban
tanggung jawab syiar bagaimana mempu mengubah tatanan nilai dan kultur yang bobrok menuju yang lebih Islami dan manusiawi.
9
Dalam posisi itulah kiai nyatanya telah mampu membuktikan sebagai- dalam bahasa Van Bruinessen-cultural broker pembangun budaya. Nyaris
segala informasi dan pengetahuan yang beredar di tengah masyarakat waktu itu bersumber dari kiai. Masyarakat menjadikan kiai sebagai rujukan utama
atas segala persoalan dan informasi yang berkembang di masyarakat. Peran demikian memungkinkan kiai memiliki gerak yang lebih luas
dan punya lahan lebar berjuang mengembangkan opini di tengah masyarakat. Di situlah kemudian dituntut kemahiran kiai memainkan opini dan wacana
masyarakat untuk kemudian secara perlahan mengubah pandangan atau dalam bahasa sekarang disebut paradigma masyarakat menuju tatanan sosial
yang lebih baik. Dalam banyak contoh yang demikian itu kerap berhasil dilakukan
kiai. Satu contoh, KH. Hasyim Asy’ari yang mampu mengubah sebuah wilayah rawan menjadi kompleks atau wilayah pendidikan dengan
masyarakatnya yang-kalau memakai klasifikasi Cliffort Geertz-nyantri. Beliau mampu menciptakan sesuatu yang baru dan sangat bermanfaat bagi
masyarakat.
9
A. Muhaimin Iskandar, Melampaui Demokrasi: Merawat Bangsa dengan Visi Ulama Yogyakarta: KLIK.R, 2006, hlm. 102.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
Posisi dan eksistensi kiai, seperti kiai Hasyim Asy’ari, sangat jelas dan dirasakan oleh masyarakat. Beliau ada untuk berbuat sesuatu kepentingan
dan kebutuhan masyarakat, serta sama sekali tidak diarahkan untuk menyalahi nilai-nilai ke-kiai-an. Kiai Hasyim Asy’ari dan beberapa kiai yang
berjuang bersama beliau adalah tipologi kiai organik yang mampu menafsirkan kebutuhan masyarakat sebagai proyek utama dalam kehidupan
mereka. Memerankan posisi sebagai pembentuk budaya membutuhkan faktor
penting berupa netralitas sebab keberpihakan, apalagi pada penguasa, akan mengganggu peran itu. Penguasa di mata masyarakat kerap kali dipandang
miring sebagai sumber dari penderitaan dikarenakan pungutan pajak dan keotoriteran sebagai penguasa kepada masyarakat.
Pandangan masyarakat terhadap kiai tentunya sangat berbeda dengan pandangan mereka terhadap penguasa. Ketundukan, kepatuhan dan ketaatan
masyarakat kepada kiai sama sekali tidak dilandasi oleh keterpaksaan dan rasa takut sebagaimana yang lazim mereka alami terhadap penguasa. Di mata
masyarakat, ketokohan kiai nyaris murni disebabkan sumbangsih riil kiai bagi mereka bukan karena kekuatan fisik atau kekuasaannya. Ketundukan
masyarakat terhadap kiai ialah ketundukan yang pasrah dan tulus. Fakta demikian tentunya sangat dipahami oleh kiai sendiri. Menjaga
hati dan kepercayaan masyarakat menjadi begitu penting bagi kiai. Segala pandangan, tindakan dan perilaku kiai karena itu mesti selalu dilandaskan
pada prinsip independensi dan tidak berpihak demi menjaga keharmonisan di antara berbagai golongan yang berbeda dalam masyarakat. Kiai mesti
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
memposisikan diri di atas segala kepentingan masyarakat yang berbeda dan tampil sebagai pengayom yang bijak.
Sikap yang demikian diambil tidak saja karena faktor politis dan strategi bersyiar, akan tetapi Islam sendiri secara mandasar memang
mengajarkan demikian. Kiai dahulu sangat cermat memahami Islam tidak sebagai syariat atau aturan yang kaku dan mengekang, namun lebih sebagai
nilai dan kultur yang fleksibel dan menawan. Akibatnya, Islam yang mereka tawarkan benar-benar searah dengan
visi ideal Islam sebagai rahmat untuk seluruh alam. Para kiai itu mampu mensenyawakan nilai-nilai Islam dengan kenyataan yang dibutuhkan oleh
masyarakat dan kiai-kiai itu sendiri masih tergolong “berhati kiai yang original”, karena bagi mereka membela masyarakat adalah tuntutan agama
dan ajaran sosial sehingga hati nurani yang selalu berbicara. Masyarakat yang masih awam dalam banyak hal tidak mereka
posisikan sebagai makhluk lemah yang harus dipermainkan atau dijadikan sebagai batu loncatan untuk menaikkan prestise dan pangkat, tetapi kiai-kiai
masa lalu itu malah menjadikan dirinya sebagai batu loncatan untuk menaikkan prestise dan kesejahteraan masyarakat, bangsa, dan agama.
Karena itu secara tegas, sejak mulanya kiai dipandang memiliki sikap independensi dan kerap menjaga jarak dengan kekuasaan. Dalam struktur
kerajaan saja, kiai sering kali lebih dipercaya menjadi pendidik bagi keluarga kerajaan. Memang, ada sebagaian kiai atau orang alim yang menjadi
pemimpin formal dalam sebuah kerajaan sebagaimana diperagakan beberapa Wali Sanga.