Relasi Politik OMS dengan Partai Politik

RELASI POLITIK OMS

  PARTAI POLITIK

  Sebuah Dinamika Tantangan Gerakan Sipil

  di Aceh

  Chairul Fahmi Aryos Nivada Cut Famelia

  T.M.Jafar

  © The Aceh Institute The Asia Foundation Februari 2014

  ISBN: 978-602-14847-0-8

  RELASI POLITIK OMS dengan PARTAI POLITIK: Sebuah Dinamika dan Tantangan Gerakan Sipil di Aceh

  Penulis Chairul Fahmi Aryos Nivada Cut Famelia T.M. Jafar

  Tim Peneliti Baiquni Hasbi, Nur Azizah, Kholilullah Zulkarnaen

  Konsultan Ahli

  : Sutoro Eko

  Editor

  : Afrizal Tjoetra Design Cover : Arif Abdul Ghafur

  The Aceh Institute Jl.Lingkar Kampus Kav.11-12 Pertokoan Limpok, Limpok Squere Darussalam, Banda Aceh 23111 INDONESIA Email: infoacehinstitute.org Homepage: http:www.acehinstitute.org

  Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

KATA PENGANTAR

  MIGRASI politik aktivis Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) ke partai politik bukanlah fenomena yang baru terjadi, baik di Aceh maupun daerah lain di Indonesia. Sudah lama hal ini berlangsung, dari waktu waktu. Di awal kemerdekaan Indonesia, misalnya, banyak pendiri republik yang awalnya bergiat dalam wadah ormas bergabung ke dalam – atau bahkan mendirikan-- partai politik. Sementara itu, jauh sebelum reformasi, migrasi aktivis OMS ke partai politik ibarat peta jalan untuk

  menapaki langkah selanjutnya bekerja untuk melayani kepentingan publik. Tengoklah beberapa aktivis mahasiswa -- dari kelompok Cipayung maupun bukan-- yang kemudian menjadi fungsionaris partai politik di jaman orde baru. Setelah reformasi, tidak sedikit pula aktivis OMS yang awalnya sangat militan beraktivitas di dunia LSM beralih menjadi aktivis partai politik, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Dan, sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran, jumlah aktivis OMS yang bermigrasi ke partai politik makin membengkak menjelang pelaksanaan Pemilu. Inilah yang kita saksikan menjelang Pemilu 2014 ini.

  Meskipun sudah berlangsung lama, perdebatan atas isu migrasi aktivis OMS ke partai politik selalu terjadi, dan tentunya semakin menjadi perhatian Meskipun sudah berlangsung lama, perdebatan atas isu migrasi aktivis OMS ke partai politik selalu terjadi, dan tentunya semakin menjadi perhatian

  Di tengah maraknya perdebatan yang setuju dan tidak setuju itu, Aceh Institute melakukan penelitian secara mendalam mengenai hal ini di Aceh. Apakah aktivis OMS yang bermigrasi ke partai politik memiliki dua kaki di ranah yang berbeda; menjadi pendukung partai sambil tetap mengklaim sebagai aktivis OMS? Apakah aktivis OMS yang masuk partai berhasil melakukan perubahan? Apakah OMS yang aktivisnya masuk partai tetap independen atau menjadi kepanjangan tangan partai? Itulah beberapa contoh pertanyaan yang ingin dijawab melalui penelitian Aceh Institute ini, untuk kemudian dipetakan dalam kerangka yang lebih sistematis.

  Tentu saja, memetakan OMS tidaklah mudah mengingat tingginya keragaman OMS yang ada di Aceh, baik dari segi bentuk organisasi maupun orientasi programnya. Jika salah langkah di awal, hasil penelitian ini beresiko dipersepsikan secara keliru, atau malah ditentang oleh kalangan OMS sendiri. Namun, melalui konsultasi yang intensif dengan berbagai kalangan OMS, Aceh Institute mampu melakukan penggalian data yang Tentu saja, memetakan OMS tidaklah mudah mengingat tingginya keragaman OMS yang ada di Aceh, baik dari segi bentuk organisasi maupun orientasi programnya. Jika salah langkah di awal, hasil penelitian ini beresiko dipersepsikan secara keliru, atau malah ditentang oleh kalangan OMS sendiri. Namun, melalui konsultasi yang intensif dengan berbagai kalangan OMS, Aceh Institute mampu melakukan penggalian data yang

  Setidaknya ada tiga hal menarik dari hasil penelitian Aceh Institute ini yang patut menjadi catatan. Pertama, penelitian ini telah merangkum dinamika peran- peran OMS dalam beberapa situasi di Aceh, baik dalam situasi konflik Aceh, situasi paska bencana tsunami, hingga situasi terkini dimana hampir semua lembaga internasional yang memberi bantuan mengatasi bencana tsunami telah meninggalkan Aceh.

  Kedua, penelitian ini berhasil memetakan realitas pola relasi yang terbangun antara beragam jenis OMS dengan partai politik di Aceh ke dalam kategorisasi yang umum dibahas dalam literatur dan berbagai kajian akademik, yakni relasi yang bersifat partisipatoris, klientalistik, korporatis maupun konfrontatif.

  Ketiga, penelitian ini berhasil mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi minat aktivis OMS di Aceh untuk bermigrasi ke partai politik, mulai dari pemenuhan kebutuhan finansial, meningkatkan eksistensi diri, memperkuat kapasitas personal dalam bidang politik praktis, membangun jaringan politik yang lebih luas, hingga upaya untuk melakukan perubahan kebijakan.

  Temuan penelitian Aceh Institute ini dapat memberi sumbangan yang berarti dalam memahami relasi

  antara OMS dengan partai politik. Meskipun penelitian dilakukan di Aceh, ia dapat bermanfaat juga bagi kalangan OMS di berbagai daerah lain di Indonesia, mengingat antara OMS dengan partai politik. Meskipun penelitian dilakukan di Aceh, ia dapat bermanfaat juga bagi kalangan OMS di berbagai daerah lain di Indonesia, mengingat

  

  Jakarta, 20 Februari 2014

  The Asia Foundation

  Sandra Hamid, PhD

  Country Representative

SAMBUTAN UCAPAN TERIMAKASIH

  GERAKAN masyarakat sipil yang terorganisir atau dikenal dengan istilah organisasi masyarakat sipil merupakan bagian penting dalam proses pengembangan sistem negara yang lebih demokratis, transparant, akuntabel dan responsible. Meskipun sebagian OMS telah ada sebelum adanya negara Republik Indonesia, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Perti, dll namun dalam perkembangan kemudian, berbagai OMS lainnya tumbuh dan berkembang seiring prinsip-prinsip konstitusi negara diaplikasi dengan baik. Salah satu prinsip konstitusi itu adalah kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dan membentuk perkumpulan-perkumpulan dalam sebuah masyarakat Indonesia.

  Perkembangan gerakan sipil juga terjadi di Aceh, khususnya setelah terjadinya gerakan reformasi di Indonesia, dan bencana tsunami yang menimpa Aceh pada

  26 Desember 2004. Peran OMS pada awal reformasi di Indonesia secara khusus mendorong agar pemerintah Indonesia menyelesaikan berbagai pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh, membuka ruang demokrasi dan kebebasan berekspresi bagi elemen sipil serta mendorong penyelesaian konflik Aceh secara damai.

  Sementara saat bencana gempa 8.9 sr dan gelombang tsunami yang menewaskan lebih dari 200.000 orang, 78.000 lainnya hilang, serta lebih dari 700.000 orang kehilangan tempat tinggal dan kerugian ekonomi lainnya, sejumlah OMS tumbuh di Aceh. Menurut Teuku Ardiansyah, lebih dari 600 OMS berbasis lokal tumbuh setelah bencana gempa dan tsunami. Umumnya OMS ini tumbuh dan berkembang karena banyaknya dukungan financial dari berbagai negara asing, donor, dan lembaga- lembaga NGO internasional yang berkerja untuk membangun kembali Aceh yang telah hancur.

  Seiring dengan itu, proses perdamaian di Aceh juga diwujudkan. Pertemuan antara perwakilan pemerintah Republik Indonesia dan utusan petinggi GAM di Helsinki Finladia yang difasilitasi oleh CMI telah melahirkan satu perjanjian perdamaian dan mengakhiri konflik politik di Aceh yang telah berjalan selama lebih dari 30 tahun.

  Proses perdamaian ini sangat didukung oleh masyarakat sipil. Rasa suka cita yang diperlihatkan oleh seluruh rakyat Aceh menyambut perjanjian damai ini menunjukkan kerinduan rakyat terhadap perdamaian di Aceh segera terwujud. Peran OMS yang dipelopori oleh berbagai LSM kemanusian di Aceh juga menjadi front line untuk mendukung terciptakan perjanjian tersebut.

  Hasil perjanjian ini kemudian melahirkan kewajiban bagi pemerintah RI untuk menindaklanjuti butir-butir MoU Helsinki ke dalam regulasi Indonesia, dimana regulasi ini menjadi legal standing bagi pelaksanaan Hasil perjanjian ini kemudian melahirkan kewajiban bagi pemerintah RI untuk menindaklanjuti butir-butir MoU Helsinki ke dalam regulasi Indonesia, dimana regulasi ini menjadi legal standing bagi pelaksanaan

  Setelah UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh disahkan oleh DPR RI pada juli 2006, sejumlah aktivis OMS ikut dalam pembentukan partai berbasis lokal untuk dapat mengikuti pemilu pada tahun 2009. Pada saat itu, setidaknya ada tiga parlok yang lulus verifikasi yang didirikan secara murni oleh para aktivis OMS, antara lain; partai SIRA, PRA dan PDA. Sebaliknya PAAS didirikan oleh mantan anggota MPRDPR RI yaitu Ghazali Abbas Adan, dan anggota MPRDPR RI yaitu Dr.Ahmad Farhan Hamid yang mendirikan PBA. Selain itu terdapat satu partai yang dirikan oleh mantan GAM yaitu Partai Aceh. Namun secara umum transformasi dari gerakan sipil ke gerakan politik ini memberikan warna baru dan orientasi baru dalam gerakan sipil di Aceh, yaitu dari gerakan jalanan ke gerakan parlemen.

  Proses transformasi aktivis sipil ke gerakan politik ini tidak sedikit yang tidak sepakat terhadap perubahan

  gerakan tersebut. Sejumlah aktivis yang tetap menyakini bahwa masyarakat sipil harus terpisah dari political society, karena political society sarat dengan kepentingan gerakan tersebut. Sejumlah aktivis yang tetap menyakini bahwa masyarakat sipil harus terpisah dari political society, karena political society sarat dengan kepentingan

  Ketika pembentukan partai lokal, sejumlah aktivis terpecah karena mempunyai persepsi yang berbeda. Ketika itu ada yang berpendapat bahwa UU No.11 tahun 2006 yang memberikan kewenangan terbentuknya partai lokal di Aceh sebaiknya hanya dibentuk satu partai saja, yaitu partai yang diusulkan oleh aktivis GAM. Salah satu aktivisi sipil yang berpendapat seperti itu adalah Kausar, salah satu tokoh gerakan mahasiswa tahun 1998-2004.

  Namun usulan dari Kausar tidak diterima oleh aktivis sipil lainnya, yang berpendapat bahwa UUPA memberikan kesempatan bagi siapa saja warga Aceh untuk membentuk partai yang berbasis lokal, jadi tidak saja menjadi hak mantan kombatan GAM untuk mendirikan partai lokal.

  Pemilu legislatif pada tahun 2009 menunjukkan bahwa peran aktivis OMS yang mencalonkan diri sebagai calon legislatif tidak terbukti dipilih oleh warga. Sebaliknya warga lebih memilih calon yang diusulkan oleh partai lokal yang dibentuk oleh mantan pejuang GAM yaitu dari Partai Aceh. Hal ini terbukti dengan terpilihnya 33 kursi untuk Partai Aceh dari 56 kursi yang ada di DPRA. Demikian juga di sejumlah kabupatenkota,

  partai aceh menjadi partai pemenang pemilu legislatif tahun 2009, kecuali untuk beberapa kabupaten di bagian tengah Aceh, seperti di kabupaten Bener Meriah, Aceh

  Tengah, Gayo Lues dan Aceh Tenggara yang masih didominasi oleh partai golkar.

  Sebaliknya gerakan sipil menjadi melemah, seiring dengan telah berakhirnya program tsunami di Aceh. Berbagai lembaga internasional yang selama ini mendukung kerja-kerja OMS. Disisi lain, beberapa aktivis OMS yang memutuskan bergabung dengan partai tertentu juga mempengaruhi posisi dan peran OMS sejak tahun 2009 sampai sekarang. Pemilu 2014 juga membuktikan sejumlah aktivis OMS yang bergabung dengan sejumlah partai politik, baik partai yang berbasis lokal maupun yang berbasis nasional.

  Penelitian ini bertujuan untuk mengukur pengaruh relasi yang dibangun oleh sejumlah aktivisi OMS dengan partai politik, baik secar langsung maupun tidak langsung, serta posisi dari OMS dalam relasi tersebut. Menggunakan pendekatan purpusive sampling, dimana sampel penelitian ini ditentukan berdasarkan karakteristik wilayah, maka terdapat tiga wilayah yang dijadikan sebagai sampel penelitian ini yaitu (1) kota Banda Aceh, (2) Kota Lhokseumawe, dan (3) kabupaten Aceh Tengah.

  Hasil akhir dari penelitian ini diharapkan akan menemukan satu konsep ralasi yang ideal antara OMS dengan partai politik, sekaligus untuk memetakan sejumlah OMS yang mempunyai relasi dan atau yang tidak mempunyai relasi dengan partai politik di Aceh.

  Terimakah banyak kepada seluruh tim yang telah terlibat dalam penelitian ini, baik terlibat secara langsung

  maupun tidak langsung. Terimakasih kepada Nur Azizah, Baiquhi Hasbi, Kholilullah, dan Zulkarnaen yang telah bekerja keras untuk mengumpulkan berbagai data di lapangan, baik di Banda Aceh, Lhokseumawe maupun di Takengon Aceh Tengah. Terimakasih juga kepada tim pendukung, Marlina, Yusriana, Era, Ijal dan Zakwan serta Kiffah yang juga ikut serta dalam proses penelitian ini. Kepada Sutoro Eko yang telah membantu dalam proses penyusunan kerangka penelitian dan review akhir penelitian ini dan Afrizal Tjoetra atas bantuan review tulisan ini. Terimakasih yang tak terhingga kepada tim penulis yang telah bekerja siang malam dalam menyelesaikan laporan akhir penelitian ini, Aryos Nivada dan Teuku Muhammad Jafar Sulaiman, atas kerja kerasnya dalam menyempurnakan penulisan buku ini dapat diselesaikan dengan baik dan sempurna. Terakhir, ucapan terimakasih yang tak terhingga kepada The Asia Foundation, khususnya kepada ibu Sandra Hamid, PhD, mas Lili Hasanuddin, mbak Natalia Warat, mbak Yassinta, dan mas Ade dan seluruh personil The Asia Foundation yang telah mendukung secara penuh dalam penelitian ini.

  Banda Aceh, 28 Februari 2014 The Aceh Institute

  Chairul Fahmi, M.A

  Direktur Eksekutif

DAFTAR ISTILAH

  APBA

  : Anggaran Pendapatan Belanja Aceh

  APBK

  : Anggaran Pendapatan Belanja

  KabupatenKota

  APF

  : Aceh People Forum

  ACSTF

  : Aceh Masyarakat sipil Task Force AI : The Aceh Institute

  AJMI

  : Aceh Justice Monitoring Institute AM : Aceh Merdeka

  ADF

  : Aceh Development Fund

  AMM

  : Aceh Monitoring Mission

  AMIR

  : Aksi Mahasiswa Islam untuk Reformasi

  BRR

  : Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi

  BRA

  : Badan Re-Intergrasi Aceh

  CSO

  : Masyarakat sipil Organization CDI : Citra Desa Indonesia

  CCDE

  : Center for Community Development and

  Education

  CoHA

  : Cession of Hostalities Aceh

  CIDA

  : Canadian International Development

  Agency

  Caleg

  : Calon Legislatif

  DPRA

  : Dewan Perwakilan Rakyat Aceh

  DPRK

  : Dewan Perwakilan Rakyat

  KabupatenKota

  DOM

  : Daerah Operasi Militer

  FoRMEDIA : Forum Reformasi Mahasiswa Daerah

  Istimewa Aceh

  Forkoet

  : Forum Koetaradja

  Fokusgampi : Forum Komunikasi Gerakan Mahasiswa

  Pemuda Pidie

  FoPKRA

  : Forum Perjuangan Keadilan Rakyat Aceh

  GAM

  : Gerakan Aceh Merdeka

  GerAK

  : Gerakan Anti Korupsi

  HMI

  : Himpunan Mahasiswa Islam

  HUDA

  : Himpunan Ulama Dayah Aceh

  HDC

  : Henry Dunart Center

  HAM

  : Hak Asasi Manusia

  JDA

  : Jaringan Demokrasi Aceh

  Kanwilhukam : Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan

HAM

  KMPAN

  : Komite Mahasiswa Pemuda Aceh

  Nusantara

  KAMAUT : Kesatuan Aksi Mahasiswa Aceh Utara KMPA

  : Komite Mahasiswa Pemuda Aceh

  KAGEMPAR : Koalisi Gerakan Mahasiswa Pemuda

  Aceh Barat

  KNPI

  : Komite Nasional Pemuda Indonesia

  KARMA

  : Komite Aksi Reformasi Mahasiswa Aceh

  KoMPAS

  : Kongres Mahasiswa Pemuda Aceh

  Serantau

  KAMMI

  : Komite Aksi Mahasiswa Muslim

  Indonesia

  LSM

  : Lembaga Swadaya Masyarakat

  MoU

  : Memorandum of Understanding

  MaTA

  : Masyarakat Transparansi Aceh

  NGO

  : Non-Goverment Organization

  NAD

  : Nanggroe Aceh Darussalam

  NU

  : Nahdlatul Ulama

  OMS

  : Organisasi Masyarakat Sipil

  Ormas

  : Organisasi Masyarakat

  PNS

  : Pegawai Negeri Sipil

  PA

  : Partai Aceh

  PDA

  : Partai Damai Aceh

  PAAS

  : Partai Aceh Aman Sejahtera

  PRA

  : Partai Rakyat Aceh

  PNA

  : Partai Nasional Aceh

  PAN

  : Partai Amanat Nasional

  PBA

  : Partai Bersatu Aceh

  Pilkada

  : Pemilihan Kepala Dearah

  RTA

  : Rabithah Thaliban Aceh

  RUU

  : Rancangan Undang Undang

  RPUK

  : Relawan Perempuan Untuk Kemanusian

  RI

  : Republik Indonesia

  SMUR

  : Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat

  SIRA

  : Sentral Informasi Referendum Aceh

  SIRA

  : Suara Independen Rakyat Aceh

  UUPA

  : Undang Undang Pemerintahan Aceh

DAFTAR GAMBAR

  Gambar 1

  : Tipologi Relasi Politik ---- 27

  Gambar 2

  : Jumlah OMS dan Partai Politik ---- 40

  Gambar 3

  : Tipologi OMS ---- 51

  Gambar 4

  : Pola Relasi OMS Terhadap

  Partai Politik ---- 128

  Gambar 5

  : Pola orientasi politik aktivis sipil

  terhadap partai politik ---- 133

  Gambar 6

  : Model Relasi LSMPartai Politik ---- 137

  Gambar 7

  : Peran OMS Mempengaruhi Kebijakan

  Partai Politik ---- 164

  Gambar 8

  : Posisi OMS dalam Pemilu-

  2014 ---- 171

  Gambar 9

  : Contoh Surat Dukungan OMS Terhadap

  Partai Politik Tertentu ---- 173

DAFTAR TABEL

  Tabel 1 : Persepsi masyarakat terhadap lembaga yang

  berwajah korup di Aceh ---- 70

  Tabel 2 : On Budget (APBN) Dana Yang di Kelola

  oleh BRR NAD-Nias ---- 80

  Table 3 : Off Budget (Bantuan NGO) Tahun Anggaran

  2005-2006 ---- 82

  Tabel 4 : Contoh Aktivis Yang bergabung dengan

  Partai Politik dan DPD ---- 118

  Tabel 5 : Contoh Peran OMS Terhadap kebijakan

  pemerintah dan partai politik di Aceh---- 159

DAFTAR ISI

  Kata Pengantar ---- iii Sambutan Ucapan Terimakasih ---- vii Daftar Istilah ---- xiii Daftar Gambar ---- xvi Daftar Tabel ---- xvii Daftar Isi ---- xviii Ringkasan Eksekutif ---- xxi

1. Pendahuluan ---- 1

  1.1. Latar Belakang ---- 1

  1.2. Penjelasan Istilah ---- 8

  1.2.1. Organisasi Masyarakat Sipil ---- 8

  1.2.2. Pemetaan ---- 9

  1.2.3. Relasi Politik ---- 10

  1.2.4. Partai Politik ---- 11

2. OMS dan Relasi Politik ---- 13

  2.1. Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) ---- 13

  2.2. Relasi OMS dengan Partai Politik ---- 18

3. Perkembangan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) di Aceh ---- 28

  3.1. Sejarah Pembentukan OMS ---- 29

  3.1.1. Fase Paska Gempa – Tsunami ---- 38

  3.1.2. Paska MoU UUPA ---- 42

  3.2. Bentuk-Bentuk OMS ---- 46

  3.3. Peran dan Fungsi OMS ---- 57

  3.3.1. Advokasi DRAFT UUPA --- 59

  3.3.2. Advokasi Qanun KKR ---- 64

  3.3.3. Advokasi Qanun Lainnya ---- 67

  3.3.4. Dukungan terhadap

  Good Governance ---- 68

4. Tranformasi Gerakan Organisasi Masyarakat Sipil di Aceh ---- 72

  4.1. Gerakan OMS Paska Reformasi ---- 73

  4.2. Gerakan OMS Paska Gempa Tsunami ---- 77

  4.3. Gerakan OMS Paska MoU Helsinki dan UU

  Pemerintahan Aceh ---- 84

5. Dinamika Relasi Politik OMS dengan Partai Politik ---- 89

  5.1. Gerakan OMS di Indonesia ---- 90

  5.2. Perkembangan Politik di Aceh Paska MoU

  Helsinki dan UUPA ---- 94

  5.3. Relasi Politik OMS dengan Partai Politik ---- 104

  5.3.1. Dinamika Relasi Politik OMS dalam

  Pemilu ---- 115

  5.3.2. Persepsi Aktivis Terhadap Relasi Politik

  OMS dengan Partai Politik ---- 122

  5.3.3. Pola Relasi Yang Berkembang ---- 134

  5.3.4. Analisis Terhadap Relasi Politik OMS di

  Aceh ---- 140

  5.4. Faktor yang Mempengaruhi Relasi Politik

  OMS di Aceh ---- 144

  5.5. Dampak Relasi Politik dengan Partai Politik

  terhadap Indepedensi OMS ---- 148

6. Posisi OMS Terhadap Dinamika Demokrasi dan Pemerintahan ---- 154

  6.1. Pengaruh OMS terhadap Kebijakan Partai

  Politik ---- 155

  6.2. Pengaruh OMS terhadap Pembangunan

  Demokrasi ---- 165

  6.3. Posisi OMS dalam Dinamika

  Pemilu 2014 ---- 168

  7. Penutup ---- 178

  7.1. Kesimpulan ---- 178

  7.2. Rekomendasi ---- 181

  DAFTAR PUSTAKA

RINGKASAN EKSEKUTIF

  TRANSFORMASI gerakan sipil ke dalam partai politik setelah penandatanganan MoU damai antara GAM dan Pemerintah Republik Indonesia menjadi satu fenomena yang fenomal dalam sistem perpolitikan di Aceh. Sebagaimana diketahui bahwa sejak reformasi pada tahun 1998, sekaligus dicabutnya DOM oleh Panglima ABRI Jenderal Wiranto perkembangan kebencian terhadap simbol-simbol republik Indonesia kiat memuncak. Proses ini juga dipengaruhi oleh terbongkarnya pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh ABRI saat penerapan DOM sejak tahun 1989 sampai tahun 1998.

  Euforia terhadap perpolitikan praktis di Aceh dimulai sejak disahkannya UU No.11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh, dimana pasal 229 memberikan kewenangan kepada rakyat Aceh untuk membentuk partai lokal. Dari sejumlah usulan yang masuk ke kementerian Hukum dan HAM Kantor wilayah Aceh, setidak ada 6 partai lokal yang lolos untuk mengikuti pemilu legislatif tahun 2009, yaitu: PA, PAAS, PBA, PDA, PRA dan SIRA. Sementara pada tahun 2012, yang lolus verifikasi oleh Kemenhukam hanya terdapat tiga partai lokal yang PA, PNA dan PDA. Sebaliknya yang lain tidak lulus verfikasi dari Kanwilhukham Aceh. Sejak tahun 2009 Euforia terhadap perpolitikan praktis di Aceh dimulai sejak disahkannya UU No.11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh, dimana pasal 229 memberikan kewenangan kepada rakyat Aceh untuk membentuk partai lokal. Dari sejumlah usulan yang masuk ke kementerian Hukum dan HAM Kantor wilayah Aceh, setidak ada 6 partai lokal yang lolos untuk mengikuti pemilu legislatif tahun 2009, yaitu: PA, PAAS, PBA, PDA, PRA dan SIRA. Sementara pada tahun 2012, yang lolus verifikasi oleh Kemenhukam hanya terdapat tiga partai lokal yang PA, PNA dan PDA. Sebaliknya yang lain tidak lulus verfikasi dari Kanwilhukham Aceh. Sejak tahun 2009

  Disisi lain, sejumlah OMS secara tidak langsung juga menggantung harapan kepada dana-dana pemerintah setelah sejumlah lembaga donor dan LSM internasional menutup programnya di Aceh. Maka relasi dengan partai politik dijadikan sebagai milestone untuk membangun relasi yang lebih dekat dengan pemerintahan lokal di Aceh, khususnya pihak eksekutif.

  Penelitian ini mencoba memetakan sejumlah OMS di Aceh yang mempunyai relasi dan atau yang tidak mempunyai relasi dengan partai politik, serta menemukan bentuk relasi yang dibangun. Terakhir diharapkan akan ditemukan satu konsep ideal tentang relasi yang dapat dijadikan sebagai lesson learned bagi OMS lain di Indonesia dalam melihat posisi OMS dengan partai politik itu sendiri.

  Penelitian ini disusun dalam 7 (tujuh) bab, yang terdiri dari bab satu yang membahas tentang latar

  belakang masalah, tujuan dan ruang lingkup penelitian, dimana terdapat 4 tujuan dan ruang lingkup penelitian ini yaitu: (1) Untuk memetakan pola relasi politik yang dibangun oleh OMS terhadap partai politik, apakah pola belakang masalah, tujuan dan ruang lingkup penelitian, dimana terdapat 4 tujuan dan ruang lingkup penelitian ini yaitu: (1) Untuk memetakan pola relasi politik yang dibangun oleh OMS terhadap partai politik, apakah pola

  Kemudian dilanjutkan dengan penjelasan istilah, yaitu istilah organisasi masyarakat sipil, pemetaan, relasi politik dan partai politik. Setelah itu dilanjutkan dengan metodologi penelitian, mencakup; jenis dan sumber data, sampling, metode pengumpulan data, analisa data, serta terakhir tentang lokasi penelitian.

  Penelitian ini bersifat kualitatif, dimana data-data didapatkan melalui interview secara mendalam dengan sejumlah pengurus OMS serta partai politik di Aceh, kemudian melalui diskusi kelompok terfokus, kajian dokumen (desk study), serta mengkaji kasus-kasus yang pernah ada (case study). Sementara informan dari penelitian ini ditentukan melalui mekanisme purposive samping, yaitu wilayah studi ditentukan berdasarkan karakteristik tertentu yang mencakup kota Banda Aceh, kot Lhokseumawe dan kabupaten Aceh Besar.

  Bab dua, akan membahas tentang pemahaman mengenai relasi politik, yang dibagi dalam beberapa sub bab, antara lain: tentang definisi relasi, dimana relasi itu Bab dua, akan membahas tentang pemahaman mengenai relasi politik, yang dibagi dalam beberapa sub bab, antara lain: tentang definisi relasi, dimana relasi itu

  1) participatory linkage. Dalam tipelogi ini OMS

  ataupun partai politik memainkan peran sebagai arena atau agen yang memfasilitasi langsung dalam kepentingan publik.

  2) electoral linkage dimana pemimpin-pemimpin

  partai mengontrol seluruh element dalam proses- proses elektoral.

  3) policy responsive linkages ketika partai berperan

  sebagai agen yang memastikan pemerintah akan responsif terhadap pemilihnya atau mewakili suara rakyat dalam urusan publik.

  4) representative linkages ketikan pola hubungan

  yang ada berhasil memastikan keterwakilan baik dalam konteks elektoral maupun kebijakan secara lebih luas.

  5) clientelistic linkages ketika partai bertindak

  sebagai saluran berbagai keuntungan dengan imbal balik loyalitas dan dukungan suara.

  6) directive linkages berlangsung jikalau pengurus

  partai selalu berusaha untuk memastikan dan mengontrol perilaku warga dengan cara koersif dominatif.

  7) organ sational linkages atau adanya pertukaran

  antara elit partai dengan organisasi yang memobilisasi atau memastikan dukungan organisasi mereka terhadap partai politik, dan

  8) integrative linkage adalah pola yang sama dengan

  directive linkages melalui sosialisasi, pendidikan, dan kaderisasi politik.

  Terakhir pada bab ini akan diuraikan secara konkrit tentang konsep relasi politik OMS terhadap partai politik berdasarkan pengalaman yang ada di Indonesia, serta direlevansikan dengan konsep dan teori mengenai relasi itu sendiri.

  Selanjutnya bab tiga, yaitu bab yang membahas tentang perkembangan OMS di Aceh yang terdiri dari beberap sub bab antara lain: Sejarah perkembangan OMS di Aceh, sejak tahun 1970an, ketika konflik di Aceh yang meletus pada tahun 1976 sampai dicabutnya DOM karena adanya gerakan reformasi di Indonesia. Kemudian dilanjutkan dengan OMS pada masa tsunami menimpa Aceh, dimana pertama kali Aceh bersentuhan dengan dunia internasional setelah tiga puluh tahun lamanya terisolasi dalam konflik yang berkepanjangan. Selanjutkan perkembangan OMS paska MoU Helsinki dan pengesahan UU No.11 tahun 2006 tentang Pemeritahan Aceh. Pada sub bab lainnya akan dibahas mengenai bentuk –bentuk OMS yang umumnya berkembang di Aceh dan terakhir mengenai peran dan fungsi OMS.

  Bab empat adalah bab yang menarik untuk dibahas, karena pada bab ini akan dikaji tentang transformasi gerakan masyarakat sipil di Aceh. Isi pada bab ini akan menjelaskan gerakan organisasi masyarakat sipil di Aceh yang terbagi menjadi empat (4) ranah terdiri dari : gerakan OMS paska reformasi, gerakan OMS paska gempa dan tsunami, gerakan OMS paska MoU Helsinki, dan gerakan OMS paska disahkan UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Keseluruhan isi akan dijelaskan satu persatu guna mendapatkan gambaran mendalam akan kondisi disetiap ranah tersebut.

  Dilanjutkan dengan bab lima, yang merupakan bab inti dari studi ini. Bab ini dibagi dalam beberapa sub pembahasan, antara lain: perkembangan partai politik di Aceh paska MoU Helsinki dan UUPA, pola relasi OMS terhadap partai politik, faktor yang mempengaruhi relasi politik OMS, dan paradigman OMS terhadap relasi politik dengan partai politik.

  Sebagaimana diketahui bahwa setelah MoU Helsinki ditanda tangani, dan proses selanjutnya adalah dibentuknya UU otonomi khusus bagi Aceh, dan salah satu poin nya adalah pembentukan partai lokal. Saat itu setidaknya ada 14 partai lokal yang diusulkan oleh masyarakat dan hanya 6 yang lulus verifikasi oleh kementerian hukum dan HAM RI. Dinamika politik juga secara dramatis berubah, dimana Aceh dikenal sebagai basis bagi PPP yang berbasis Islam Nasionalis, dikalahkan secara telak oleh Partai Aceh yang dibentuk oleh eks-

  GAM yang mempunyai ideologi pancasila berbasis etno- nasionalis ke-achehan.

  Sementara pola relasi yang dibangun pada umumnya adalah pola participatory, khususnya relasi yang dibangun oleh LSM, sebaliknya baberapa organisasi massa membangun pola klientalistik dengan partai politik tertentu. Sedangkan faktor yang mendorong relasi itu juga beraneka ragam, ada yang didorong untuk mempengaruhi kebijakan dari dalam, ada karena faktor relasi dengan ketokohan dari gerakan sipil yang sudah bergabung dengan sejumlah partai politik yang ada. Disisi lain, faktor ekonomi secara programatik juga menjadi faktor terbentuknya relasi dengan partai politik. Relasi secara ekonomi programatik ini umumnya terbentuk melalui instrumen dana-dana aspirasi yang dimiliki oleh sejumlah anggota legislatif dari partai politik. Sementara relasi klientelistik, terbentuk karena OMS tersebut umumnya dibentuk oleh fungsionaris-fungsionari partai politik yang tujuannya adalah untuk menjadi mesin-mesin bagi partai politik atau calon legislatif untuk bekerja ditingkat komunitas, seperti LeS MoU dan KMPA yang menjadi salah satu underbow Partai Aceh, menerima uang dari Partai Aceh dan bekerja untuk kepentingan-kepentingan partai.

  Secara umum perspektif para aktivis OMS di Aceh terhadap relasi dengan partai politik umumnya menyatakan harus dibangun dan hal itu bukanlah sesuatu yang tabu. Meskipun relasi yang dibangun adalah Secara umum perspektif para aktivis OMS di Aceh terhadap relasi dengan partai politik umumnya menyatakan harus dibangun dan hal itu bukanlah sesuatu yang tabu. Meskipun relasi yang dibangun adalah

  Bab selanjutnya yaitu bab enam mengkaji pengaruh OMS terhadap berbagai kebijakan partai politik terhadap negara dan rakyat, kontrol OMS terhadap fungsi partai politik, termasuk fungsi pendidikan politik bagi bagi warga serta terakhir mengkaji tentang pengaruh OMS terhadap pembangunan demokrasi di Aceh secara khusus dan indonesia pada umumnya.

  Hasil kajian ini kemudian mengambil satu kesimpulan tentang konsep relasi yang dibangun oleh sejumlah OMS yang ada di Aceh, serta tergambar sejumlah OMS yang mempunyai relasi dan atau yang tidak mempunyai relasi dengan partai politik, pola relasi yang dibangun, serta faktor yang mempengaruhi relasi itu tersebut. Beberapa rekomendasi dari penelitian ini, antara lain:

  1) Perlunya konsolidasi kembali gerakan OMS yang

  didasarkan kepada prinsip-prinsip demokratis, independensi, mandiri, kritis, dan partisipatif serta komitmen terhadap agenda-agenda perubahan negara ke arah yang lebih baik

  2) Perlunya penguatan kapasitas OMS dari berbagi

  segi, baik secara managerial, financial maupun pengkaderan bagi kerja-kerja kerelawanan dan

  keswasembadaan.

  3) Perlunya satu konsensus untuk menentukan garis

  relasi yang jelas antara OMS dengan partai politik secara menyeluruh, sehingga tidak terjebak dalam kepentingan pragmatisme-mutualistik antara OMS dengan partai politik, sebaliknya harus dibangun prinsip-prinsip participatory yang kritis dan idealis.

1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

  Paska perjanjian damaiMemorandum of Understanding (MoU) Helsinki antara Pemerintah Republik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tanggal 15 Agustus 2005, secara tidak langsung telah terjadi perubahan arah pergerakan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) di Aceh. Perubahan ini terlihat dari pola perjuangan OMS. Sebelum masa perdamaian, OMS pada umumnya mengambil sikap oposisi terhadap pemerintah dan partai politik. Sementara, paska perdamaian OMS telah menjadi bagian dari sistem demokrasi itu sendiri melaluipendirian partai politik, khususnya partai lokal (parlok). Landasan yang dijadikan rujukan adalah “amanat” poin 1.21 MoU Helsinki dan pasal 75 UU No.11 tahun 2006 tentang

  Pemerintahan Aceh yang mengatur pembentukan partai politik lokal.

  Kewenangan membentuk partai lokal ini kemudian melahirkan banyak partai politik yang didirikan oleh aktivis OMS, diantaranya Partai Rakyat Aceh (PRA), Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA), Partai Bersatu Aceh (PBA), Partai Daulat Aceh (PDA), dan Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS). Semua partai politik yang lulus verifikasi Depkumham pada Pemilu 2009 tersebut lahir dari aktivis OMS kecuali Partai Aceh (PA), yang dibentuk oleh aktivis Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Misalnya, PRA didirikan oleh beberapa aktivis OMS seperti Wiratmadinata, yang pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Forum LSM Aceh, dan Thamren Ananda, aktivis Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR). Sementara, SIRA adalah partai lokal yang berasal dari organisasi yang dibentuk oleh sejumlah mahasiswa Aceh pada tahun 1998 yang mendorong lahirnya referendum di Aceh, salah satunya ialah Teuku Banta Syahrizal, yang juga pernah terlibat aktif di Acehnese Civil Society Task Force (ACSTF). Demikian pula halnya dengan PBA, yang didominasi oleh aktivis 98 di Aceh seperti Tgk.Muhammad Saleh, yang pernah duduk dalam Presidium SIRA. Sementara itu, PDA didirikan oleh para santri yang sebelumnya tergabung dalam berbagai organisasi santri dan ulama seperti Rabithah Thaliban

  Aceh (RTA) dan Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), di antaranya ialah Tgk. Harmen Nuriqman dan Waled Husaini. Lain halnya dengan PAAS, partai lokal ini lahir dari aktivis dakwah yang beraliansi pada gerakan neo-Masyumi yang berbasis di Aceh di bawah pimpinan Ghazali Abas Adan.

  Transformasi gerakan sipil menjadi gerakan politik ini menjadi catatan penting dalam upaya membangun demokrasi di Aceh, khususnya paska konflik berkepanjangan sejak tahun 1976, meskipun kemudian hasil pemilu legislatif 2009 di Aceh menunjukkan bahwa satu-satunya partai lokal yang mendapatkan kursi terbanyak adalah Partai Aceh, sementara partai lokal lainnya tidak memperoleh kursi sama sekali di DPRAceh kecuali PDA, yang hanya meraih satu kursi. Partai lokal lainnya pada akhirnya membubarkan diri, seperti PRA, PBA, PAAS dan SIRA, yang tidak lolos verifikasi Komisi Independen Pemilihan (KIP) pada tahun 2012.

  Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa tidak sedikit politisi dari kalangan aktivis yang tidak terpilih kemudian kembali membangun gerakan sosial melalui OMS. Reposisi dari politisi menjadi aktivis non- partisan ini menimbulkan berbagai pertanyaan terkait dimana posisi OMS terhadap partai politik; apakah harus terpisah dari aktivitas politik praktis atau menjadi bagian Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa tidak sedikit politisi dari kalangan aktivis yang tidak terpilih kemudian kembali membangun gerakan sosial melalui OMS. Reposisi dari politisi menjadi aktivis non- partisan ini menimbulkan berbagai pertanyaan terkait dimana posisi OMS terhadap partai politik; apakah harus terpisah dari aktivitas politik praktis atau menjadi bagian

  Disisi lain, berbagai pemikiran muncul terkait konsep ideal posisi dan relasi antara OMS dengan partai politik dalam konteks pembangunan demokrasi. Budi Setyono menyatakan bahwa OMS merupakan lembagaorganisasi non partisan yang berbasis pada gerakan moral (moral force) yang berperan dalam mengawal penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan

  politik sesuai dengan aspirasi rakyat. 1 Fungsi moral force ini bertujuan untuk membangun proses demokrasi

  agar tetap berada pada jalurnya dimana kebijakan penguasa harus mewakili kepentingan rakyat. Oleh karena itu, OMS harus berdiri secara independen tanpa pengaruh dari kepentingan politik partai politik tertentu, atau sebaliknya, menjadi mitra kritis terhadap penyelengaraan pemerintahan oleh pemerintah maupun partai politik di badan legislatif.

  Otho H.Hadi mengatakan bahwa pemisahan antara partai politik dengan OMS merupakan upaya OMS sebagai “narcissism”, yaitu OMS harus mempunyai karakter anti perilaku politisi dimana politik adalah sesuatu yang kotor, atau sebaliknya, bekerja di

  1 Budi Setyono, Pengawasan Pemilu oleh LSM, Suara Merdeka, 15 Oktober 2003, diunduh 12 November 2013

  OMS merupakan sesuatu yang bersih. 2 Aliran ini menganggap bahwa politisi dan kekuasaan cenderung

  korup. Seperti yang ditegaskan oleh Nodia, bahwa posisi OMS seharusnya sebagai oposisi dan cenderung melawan partai politik jika kondisi partai politik yang menguasai negara secara mayoritas cenderung otoriter

  dan diktator. 3 Kondisi ini seperti yang terjadi pada rezim komunis Rusia atau ketika masa Orde Lama dan Orde

  Baru di Indonesia. Konsep posisi OMS terhadap partai politik (political society) ini juga dianggap sebagai relasi anti-negara (relasi negatif) yang dikembangkan oleh Karl Marx. Seperti yang dikutip Canterbury, Marx menuliskan bahwa partai politik adalah instrumen dalam meraih kekuasaan dan kemudian menjadi penguasa adalah kelas borjuis yang merupakan bagian dari kaum kapitalistik. Penguasa yang diperoleh melalui instrumen ini menjadi kelompok dominan dalam pengambilan sebuah keputusan dan kebijakan atau dikenal sebagai

  superstucture. 4

  2 Otho H.Hadi, Peran Masyarakat Sipil Dalam Proses Demokratisasi, Jurnal Makara, Sosial Humaniora, Vol. 14. No.2,

  Desember 2010, hlm. 117-129

  3 Gia Nodia, Civil Society Development in Georgia, (Georgia: Caucacus Institute for Peace, Democracy and Development, 2005),

  hlm 56.

  4 Dennis Compton Canterbury, Neo-Liberal Democratization and New Authoritarianism, England: Ashgate Publishing Limited,

  2005, hlm. 62

  Model relasi yang lain adalah transformatif. Carl Gershman menyatakan jika negara atau partai politik penguasa yang diktator telah berakhir maka peran OMS harus melakukan transformasi. Upaya transformasi ini dilakukan dengan mendorong demokratisasi, reformasi, toleransi, serta mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. Proses membangun sistem ini dilakukan dengan menempatkan aktivis OMS di lembaga pemerintahan atau menjadi penguasa negara dan pengambil kebijakan, baik melalui instrumen partai politik maupun instrumen

  lainnya yang diatur oleh hukum. 5

  Mengamati situasi terkini menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) 9 April 2014, banyak aktor OMS yang berafiliasi dengan berbagai partai politik lokal maupun nasional. Salah satu faktor yang mempengaruhi transformasi gerakan ini ialah tidak adanya dukungan finansial terhadap OMS lokal khususnya, setelah berakhirnya program rehabilitasi dan rekonstruksi paska tsunami dan konflik di Aceh, baik yang didanai oleh pemerintah maupun LSM nasional dan internasional. Disisi lain, independensi secara ekonomi institusi OMS di Aceh relatif tidak terwujud. Oleh karena itu, konsepsi Marx

  5 Carl Gershman, The Relationship of Political Parties and Civil Society, Washington: National Endowment for Democracy,

  Supporting Freedom Around the World, 17 Maret 2004, diunduh 12 Desember 2013 Supporting Freedom Around the World, 17 Maret 2004, diunduh 12 Desember 2013

  ketergantungan OMS secara ekonomi terhadap donor juga melahirkan disorientasi independensi gerakan OMS. Hal ini ditandai dengan adanya sejumlah OMS yang membangun relasi dengan partai politik untuk mendapatkan dana aspirasi dan bantuan pemerintah melalui relasi dengan aktor tertentu dari lembagapemerintahan. Krisis ketokohan dan ekonomi yang dihadapi oleh berbagai OMS di Aceh juga menyebabkan posisi beberapa OMS terlihat lebih prakmatis dalam menjaga eksistensinya.

  Buku ini merupakan hasil dari penelitian pemetaan relasi politik OMS dengan partai politik di Aceh. Secara khusus, buku ini akan menggambarkan tentang; (1) pola relasi politik yang dibangun oleh OMS terhadap partai politik, (2) bentuk dan faktor transformasi OMS baik secara individu fungsional maupun secara struktural terhadap partai politik di Aceh, (3) model relasi yang efektif antara OMS dengan partai politik dalam upaya membangun proses demokrasi yang lebih baik, dan (4) menjadi baseline dalam melihat peta model relasi politik OMS dengan partai politik.

1.2. Penjelasan Istilah

1.2.1. Organisasi Masyarakat Sipil (OMS)

  Secara umum OMS didefinisikan sebagai organisasi kemasyarakatan yang terbagi menjadi organisasi massa, organisasi rakyat, organisasi profesi, organisasi komunitas, dan organisasi Non-Government Organisation (NGO) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Istilah OMS, yang serupa dengan Civil Soceity Organization (CSO), dan dianggap sebagai institusi “third sector” yang berbeda dengan institusi pemerintahan dan institusi wirausaha (business). Collin English Dictionary mendefinisikan OMS, pertama, sebagai institusi yang melakukan manifestasi gerakan untuk mewujudkan kepentingan rakyat secara umum,kedua, para fungsionaris dan institusi OMS bersifat independen dari pengaruh pemerintah.

  Perspektif lain dikemukakan oleh Gramsci (1971) yang mendefinisikan masyarakat sipil sebagai kumpulan organisme “privat”, berbeda dengan negara, yang disebutnya sebagai masyarakat politik (political society). Secara konkret, Gramsci memaknai masyarakat sipil sebagai suatu wilayah institusi privat mencakup gereja, serikat-serikat dagangpekerja, dan lembaga pendidikan, sementara negara adalah institusi-institusi publik seperti pemerintah, pengadilan, polisi dan tentara. Gramsci, seperti dikutip oleh Luiz Carlos Bresser-Pereira dalam

  “State, Civil Society and Democracy Ligitimacy”, mendefinisikan negara sebagai masyarakat politik ditambah masyarakat sipil;“the state should be understood not only as the apparatus of the government, but also ths private apparatus of Civil Society” (negara tidak harus dipahami hanya sebagai lembaga pemerintahan, tetapi juga sebagai lembaga masyarakat

  sipil). 6

  Secara umum, OMS terbagi ke dalam 5 bentuk, yaitu (1) organisasi rakyat, seperti kelompok buruh atau kelompok petani, (2) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), (3) organisasi profesi, seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dll., (4) organisasi massa, seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dll., dan (5) organisasi berbasis komunitas, seperti serikat mukim, dll.

1.2.2. Pemetaan

  Pemetaan adalah proses penggambaran yang sistematik serta melibatkan pengumpulan data dan informasi termasuk di dalamnya profil dan masalah yang ada. Sementara, pemetaan yang dimaksud di dalam penelitian ini adalah gambaran tentang hubungan antara

  6 Luiz Carlos Bresser-Pereira, State, Civil Society and Democracy Ligitimacy, http:webcache.googleusercontent.com,

  diunduh 12 Desember 2014 diunduh 12 Desember 2014

1.2.3. Relasi Politik

  Relasi adalah hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya yang berbeda. Dalam konteks ini, relasi diartikan sebagai hubungan antara satu individu dengan individu lainnya atau satu organisasi

  dengan organisasi lainnya yang berbeda. 7

  Sedangkan politik, sebagaimana dikemukakan oleh Roger F. Soltau di dalam bukunya yang berjudul Introduction to Politics, seperti dikutip oleh Prof. Mariam Budiarjo mengartikan politik sebagai “suatu praktek atau teori yang mempengaruhi orang lain baik dalam bentuk individu maupun kelompok atau lebih khusus sebagai bentuk mencapai posisi dalam pemerintahandan mengontrol serta mengatur kehidupan

  kemanusiaan, khususnya negara”. 8

  Berdasarkan definisi di atas, makna relasi politik dalam konteks penelitian ini adalah hubungan antara OMS baik secara individu maupun institusi dengan penyelengara negara, khususnya partai politik baik secara individu maupun institusi.

  7 Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2008, hlm. 165

  8 Prof. Mariam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007, hlm. 17

1.2.4. Partai Politik (Parpol)

  Secara umum, partai politik diartikan sebagai organisasi yang dibentuk oleh sekelompok orang (warga negara) yang bertujuan untuk memperjuangkan kepentingan kelompoknya dan masyarakat secara umum yang didasarkan pada perundang-undangan.

  Sementara, Carl J. Friedrich mengartikan partai politik sebagai sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan pemerintah bagi pemimpin partainya, dan penguasaan ini memberikan anggota partainya kemanfaatan yang bersifat ideal maupul

  material. 9

  Di sisi lain, Prof. Mariam Budiardjo mendefinisikan partai politik sebagai “suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama dengan tujuan memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya), dengan cara konstitusional

  guna melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka. 10

  Partai Politik,

  http:id.wikipedia.orgwikiPartai_politik, diunduh 15 Desember 2013

  10 Prof. Mariam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik,

  Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007, hlm. 34

  Jika merujuk pada UU No.2 Tahun 2011, yang merupakan perubahan terhadap UU No.2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, definisi partai politik adalah “organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

OMS DAN RELASI POLITIK

2.1. Organisasi Masyarakat Sipil

  Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) adalah fenomena yang kompleks. Menurut Nanna Thue, kompleksitas OMS muncul karena adanya perbedaan yang signifikan terhadap konsep dan komposisi OMS di berbagai negara yang berbeda akibat dari situasi politik,

  budaya dan kenyakinan masyarakat dinegara setempat. 11 Oleh karena itu, tidak mungkin membangun definisi

  standar terhadap masyarakat sipil yang dapat menyamakan perbedaan kondisi yang dihadapi oleh masyarakat sipil secara keseluruhan. Kendati demikian, untuk membangun metodologi dan penilaian empiris, maka diperlukan pendefinisian yang jelas. Helmut

  11 Nanna Thue, dkk., Report of A Study on Civil Society in Uganda, NORAD, 2002 11 Nanna Thue, dkk., Report of A Study on Civil Society in Uganda, NORAD, 2002

  

  untuk memperjuangkan kepentingan yang sama. 12

  Helmut menyiratkan bahwa secara esensi tidak ada perbedaan antara masyarakat sipil dengan OMS, karena antara satu dan lainnya merupakan satu bagian yang tidak terpisahkan. Dengan kata lain, masyarakat sipil adalah OMS yang memperjuangkan kepentingan yang sama, begitupun sebaliknya. Helmut hanya menambahkan arahan terhadap terminologi organisasi kepada sebuah asosiasi sukarela, non-pemerintah atau nirlaba, pergerakan sosial, jejaring dan group informal. Organisasi seperti ini merupakan susunan bangunan suatu masyarakat sipil; bahwa mereka adalah kendaraan dan forum untuk partisipasi sosial, proses aspirasi, ekspresi nilai dan paham, dan pemberian layanan.

  Sahya Anggara mengelaborasi OMS menjadi beberapa karakter, bahwa Masyarakat sipil terepresentasi oleh berbagai jenis yang luas, baik melalui sistem membership ataupun sistem dari orientasi OMS tersebut, seperti: (i) ekonomi: asosiasi dan jaringan yang produktif dan komersial, (ii) budaya: agama, etnik, kelompok

  12 Anheir, Helmut K., How To Measure Civil Society, London: Economic and Political Science Journal, 2005

  komunal, dan institusi dan asosiasi lain yang mempertahankan hak kolektif, nilai, kepercayaan publik, (iii) kepentingan: kelompok yang bertujuan memajukan atau melindungi kepentingan anggotanya seperti perserikatan buruh, asosiasi pensiunan, dan kelompok professional, (iv) pembangunan: organisasi yang mengumpulkan sumber daya dan bakat individual untuk memajukan infrastuktur, institusi dan kualitas kehidupan masyarakat, (v) perlindungan lingkungan, perlindungan konsumen, hak perempuan, dll., (vi) civic: kelompok non-partisan yang bertujuan memajukan sistem politik dan menjadikannya demokratis (pengawas pemilu,

  pembela HAM, dll.). 13