Visi Misi Kondisi Saat Ini

Isu-isu Pokok untuk menyusun Pernyataan Pernyataan Hutan Nasional KATA PENGANTAR Sejumlah isu pokok telah diidentifikasi dalam Lokakarya National Forest Statetement di Bandar Lampung pada tanggal 2-3 Desember 2004 yang dihadiri oleh wakil-wakil dari DPR Lampung, serta organisasi kehutanan pemerintah, Perguruan Tinggi, pengusaha dan Lembaga Swadaya Masyarakat di wilayah Sumatera Bagian Selatan. Isu-isu tersebut merupakan review dan pembaruan dari hasil identifikasi yang telah dihasilkan pada Lokakarya serupa yang dilaksanakan di Palembang pada tahun 2003. Proses konsultasi melalui partisipasi multi-stakeholders diharapkan akan berjalan secara efektif dalam mencapai kesepahaman dan kesepakatan dari semua stakeholders dalam mengelola hutan secara lestari, untuk mendukung terwujudnya pembangunan secara berkelanjutan di semua tingkatan kabupatenpropinsi, nasional maupun global. Mengingat Kehutanan merupakan salah satu sektor yang paling terkena pengaruh krisis ekonomi yang berawal sejak 1997, maka dalam rangka melaksanakan penyesuaian kebijakan kehutanan serta penanganan dampak krisis ekonomi terhadap kelestarian sumberdaya hutan, perlu dilakukan identifikasi isu-isu pokok serta penetapan prioritas yang didasarkan pada kesepakatan multi-stakeholders. Partisipasi aktif seluruh stakeholder sangat penting untuk mendukung pelaksanaan kesepahaman dan kesepakatan yang berkaitan dengan isu-isu pokok serta penetapan prioritas yang dihasilkan melalui dialog multistakeholder. Pernyataan Hutan Nasional akan digunakan sebagai pedoman dalam proses perencanaan kehutanan dan atau keselarasan perencanaan kehutanan dan perencanaan antar sector pada semua tingkatan. PENDAHULUAN Pernyataan hutan Nasional yang disepakati untuk dilaksanakan melalui proses yang terus-menerus dalam kerangka Program Kehutanan Nasional NFP. NFP yang telah diterima sebagai kerangka kerja pengelolaan hutan lestari, konservasi hutan dan pembangunan seluruh tipe hutan; diharapkan menjadi proses yang efektif dalam menangani permasalahan lingkungan yang terjadi saat ini, dan sebagai upaya untuk mencapai pengelolaan hutan secara lestari dalam mendukung pembangunan secara berkelanjutan. Proses dilakukan berdasarkan pendekatan antar sektor di seluruh tingkatan , termasuk perumusan kebijakan , strategi dan rencana aksi, serta implementasi, pemantauan serta evaluasinya. Tantangannya adalah bagaimana proses tersebut dapat berjalan secara efektif. Keragaman kepentingan stakeholder termasuk kesenjangan pengetahuan diantara mereka, keterbatasan data mutakhir keadaan hutan, adalah sebagian masalah yang harus ditangani melalui proses partisipatif penyusunan NFP. Disamping itu, dengan mempertimbangkan keragaman latarbelakang dan kepentingan stakeholders dalam mengelola hutan, skim penyelesaian konflik juga harus dibangun. PRINSIP KEHUTANAN Pengelolaan Hutan lestari untuk Mendukung Pembangunan Berkelanjutan 1. INVENTARISASI SUMBERDAYA HUTAN DAN TATA GUNA KAWASAN HUTAN

1.1. Visi

Tersedaianya informasi mengenai sumberdaya hutan secara menyeluruh dan terperbarui secara periodik

1.2. Misi

Melakukan penilaian sumberdaya hutan secara menyeluruh baik dari sisi biofisik, ekonomi, sosial budaya serta isu-isu lain yang terkait secara terus menerus dengan sumberdana, tenaga dan teknologi tersedia

1.3. Kondisi Saat Ini

Selama sepuluh tahun terakhir, deforestasi di Indonesia telah mencapai rata-rata 2,8 juta hektar per tahun, yang disebabkan antara lain oleh : illegal logging, kebakaran hutan, konversi hutan untuk penggunaan lain, dan penjarahan. Dalam rangka memperoleh gambaran terkini tentang sumber daya hutan Indonesia untuk keperluan pembangunan kehutanan , Departemen Kehutanan telah memulai ‘re-assessment’ atas sumber daya hutan yang ada. Beberapa progress telah dicapai, namun, masih banyak informasi yang diperlukan untuk pengambilan keputusan belum dapat disediakan dengan tingkat akurasi yang tinggi, misalnya tentang pertumbuhan dan hasil dari hutan tropis, termasuk potensi nilai ekonomi hasil hutan non-kayu. Dalam kaitan ini itu perlu untuk terus menurus menggunakan metodologi dan teknologi yang terbaru dan tepat untuk dapat merekam dan menilai situasi penggunaan lahan kawasan hutan yang terbaru present land use dan perubahannya dari waktu ke waktu, serta nilai ekonomi hasil hutan non-kayu dan nilai ekonomi nion pasar jasa-jasa hutan total economic value . Dalam Alokasi kawasan hutan berdasar TGHK dan RTRWP dalam banyak kasus secara parsial masih perlu dikonsultasikan lagi dengan Pemerintah Daerah Kabupaten sejalan dengan desentralisasi ke tingkat Kabupaten dengan selalu merujuk pada kriteria kawasan berdasarkan fungsinya, guna menghindarai konflik penggunaan lahan baik antar sektor maupun dengan ‘stakeholders’ lainnya. Dalam kaitan ini perlu didorong kesadaran bahwa posisi kawasan hutan dalam RTRW yang telah ditetapkan melalui PERDA telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap meskipun belum dilakukan penetapan melaui proses pengukuhan. Dengan memperhatikan perlunya menjaga keutuhan pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan ekosistem, maka perlu segera diselesaikan pembentukan KPHP, KPHL, dan KPHK dengan mempertimbangkan batas-batas adminsitrasi pemerintahan, dan kondisi sosial-ekonomi dan budaya yang ada

1.4. Strategi