3.2.3 Hubungan Pemerintahan Kecamatan Dan Desa Pada Masa Otonomi Daerah
Kebijakan otonomi daerah dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, secara eksplisit memberikan otonomi yang luas kepada pemerintah
daerah untuk mengurus dan mengelola berbagai kepentingan dan kesejahteraan masyarakat daerah. Pemerintah daerah harus mengoptimalkan pembangunan daerah yang
berorientasi kepada kepentingan masyarakat. Melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, pemerintah daerah dan masyarakat di daerah lebih diberdayakan sekaligus diberi
tanggung jawab yang lebih besar untuk mempercepat laju pembangunan daerah. Sejalan dengan hal tersebut, maka implementasi kebijakan otonomi daerah telah
mendorong terjadinya perubahan baik secara struktural, fungsional maupun kultural dalam tatanan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Salah satu perubahan yang sangat
esensial yaitu menyangkut kedudukan, tugas pokok dan fungsi kecamatan yang sebelumnya merupakan perangkat wilayah dalam kerangka asas dekonsentrasi, berubah
statusnya menjadi perangkat daerah dalam kerangka asas desentralisasi. Sebagai perangkat daerah, Camat dalam menjalankan tugasnya mendapat pelimpahan wewenang
dari dan bertanggung jawab kepada bupatiwali kota. Sebagai perangkat daerah, Camat mendapatkan pelimpahan kewenangan yang
bermakna urusan pelayanan masyarakat. Selain itu kecamatan juga akan mengemban penyelenggaraan tugas-tugas umum pemerintahan.
Camat juga berperan sebagai kepala wilayah wilayah kerja, namun tidak memiliki daerah dalam arti daerah kewenangan, karena melaksanakan tugas umum
pemerintahan di wilayah kecamatan, khususnya tugas-tugas atributif dalam bidang koordinasi pemerintahan terhadap seluruh instansi pemerintah di wilayah kecamatan,
penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban, penegakkan peraturan perundang- undangan, pembinaan penyelenggaraan pemerintahan desa danatau kelurahan, serta
pelaksanaan tugas pemerintahan lainnya yang belum dilaksanakan oleh pemerintahan desakelurahan danatau instansi pemerintah lainnya di wilayah kecamatan. Oleh karena
itu, kedudukan Camat berbeda dengan kepala instansi pemerintahan lainnya di kecamatan, karena penyelenggaraan tugas instansi pemerintahan lainnya di kecamatan
harus berada dalam koordinasi camat.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Camat sebagai perangkat daerah juga mempunyai kekhususan dibandingkan dengan perangkat daerah lainnya dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya untuk
mendukung pelaksanaan asas desentralisasi. Kekhususan tersebut yaitu adanya suatu kewajiban mengintegrasikan nilai-nilai sosio-kultural, menciptakan stabilitas dalam
dinamika politik, ekonomi dan budaya, mengupayakan terwujudnya ketentraman dan ketertiban wilayah sebagai perwujudan kesejahteraan rakyat serta masyarakat dalam
kerangka membangun integritas kesatuan wilayah. Dalam hal ini, fungsi utama camat selain memberikan pelayanan kepada masyarakat, juga melakukan tugas-tugas pembinaan
wilayah. Camat dalam melaksanakan kewenangan pemerintahan dari 2 dua sumber yakni: pertama, bidang kewenangan dalam lingkup tugas umum pemerintahan; dan
kedua, kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan oleh bupatiwali kota dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.
Dengan demikian, peran camat dalam penyelenggaraan pemerintahan lebih sebagai pemberi makna pemerintahan di wilayah kecamatan, atas dasar pertimbangan
demikian, maka Camat secara filosofis pemerintahan dipandang masih relevan untuk menggunakan tanda jabatan khusus sebagai perpanjangan tangan dari bupatiwali kota di
wilayah kerjanya.
30
Dengan demikian, kepala desa langsung dibawah pembinaan bupatiwali kota. Perlu diketahui bahwa sesuai dengan UU No. 322004 kecamatan bukan lagi sebagai
wilayah administrasi yang membawahi desa-desa, melainkan hanyalah wilayah kerja camat sebagai perangkat daerah kabupaten. Camat sendiri bukan kepala wilayah dan
penguasa tunggal di wilayahnya sesuai UU No.51974, melainkan hanya sebagai pejabat Sedangkan disisi lain, status desa adalah satuan pemerintahan di bawah
kabupatenkota. Desa tidak sama dengan kelurahan yang statusnya dibawah camat. Kelurahan hanyalah wilayah kerja lurah di bawah camat yang tidak mempunyai hak
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Sedangkan desa atau yang disebut dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas
wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati
dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
30
Himpunan peraturan perundang-undangan. 2011. Kecamatan, desa dan kelurahan. Bandung: Fokusmedia. Hal 20-22. penjelasan umum atas PP Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Kecamatan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
pemerintah kabupaten yang mengepalai kecamatan. Atau dengan kata lain, camat adalah tangan panjang bupati di wilayah kerja tertentu yaitu kecamatan yang salah satu tugasnya
adalah melakukan koordinasi, sinkronisasi, pengawasan dan pembinaan terhadap desa- desa. Hal tersebut berbeda dengan status camat pada zaman orde baru, yaitu tangan
panjang pemerintah pusat di bawah pembinaan menteri dalam negeri, gubernur, dan bupatiwali kota.
Sumber Data: Repository Institut Pemerintahan Dalam Negeri
Gambar tersebut memperlihatkan bahwa camat adalah perangkat daerah dibawah bupatiwali kota yang mengkoordinir desa-desa. Desa langsung berada dibawah
bupatiwali kota. Camat tidak dibawah hirarki wilayah administrasi kabupatenkota madya, provinsi, dan departemen dalam negeri seperti pada zaman Orde Baru.
31
31
Ibit. Hal 68
Berdasarkan UU No. 322004 tersebut tentang pemerintahan daerah yang juga mengatur pemerintahan desa dimana adanya pengakuan tentang otonomi desa semakin
memperjelas bahwa secara subtantif antara pemerintahan kecamatan dan desa tidak mempunyai hubungan hirarkis, yang dimaksud dengan tidak mempunyai hubungan
hirarkis satu sama lain yaitu bahwa pemerintahan kecamatan tidak membawahkan pemerintahan desa, tetapi dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan terdapat
hubungan koordinasi dan pembinaan.
BAGAN 4
Kedudukan Desa dan Kecamatan BupatiWali Kota
Sekda
Desa Camat
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Dengan demikian hubungan hirarkis yang ada adalah antara kabupatenkota dengan pemerintah desa, sehingga apabila ada persoalan di desa maka penanganannya
adalah menjadi tugas, tanggung jawab dan kewenangan kabupatenkota. Hubungan bersifat non-hirarkis yang demikian juga dapat dilihat dari bentuk
pertanggungjawabannya yaitu berupa laporan dari desa kepada camat dari sistem yang lebih kecil dan berupa pembinaan, pengawasan serta fasilitasi oleh kecamatan kepada
desa dari sistem yang lebih besar. Selanjutnya dilihat dari pola pertanggungjawaban kepala desa sebagai pimpinan
satuan pemerintahan yang dipilh secara langsung oleh rakyat dalam PILKADES maka pertanggungjawabannya akan mengikuti pola pemilihnya. Prinsipnya kepala desa
bertanggung jawab kepada rakyat pemilihnya dengan menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada masyarakat,
32
laporan keterangan pertanggungjawaban kepada BPD,
33
32
Informasi ini dapat berupa selebaran yang ditempelkan pada papan pengumuman atau diinformasikan secara lisan dalam berbagai pertemuan masyarakat desa, radio komunitas atau media lainnya.
33
Disampaikan 1 satu kali dalam satu tahun dalam musyawarah BPD.
dan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa disampaikan kepada bupatiwali kota melalui Camat 1 satu kali dalam satu tahun.
Hubungan Camat dengan Kepala Desa mengalami perubahan yang sangat berarti. Apabila pada masa UU Nomor 5 Tahun 1974 dan UU Nomor 5 Tahun 1979,
hubungannya bersifat hierarkhis, sekarang hubungannya bersifat koordinasi, pembinaan dan fasilitasi.
Adapun koordinasi yang dimaksud bertujuan untuk mendorong kelancaran berbagai kegiatan ditingkat kecamatan kearah peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Sedangkan Yang dimaksud dengan membina yaitu antara lain dalam bentuk fasilitasi pembuatan peraturan desa, terwujudnya administrasi tata pemerintahan desa yang baik.
Lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah membawa suasana peningkatan peran yang sedikit lebih luas bagi pemerintah desa hak otonomi. Dengan
kesempatan dan peluang ini diharapkan dapat terwujudnya cita-cita keadilan, demokratisasi, dan kesejahteraan rakyat. Di sisi lain posisi kecamatan sedikit
mengambang terhadap ada atau tidaknya kewenangan yang akan dilimpahkan dari kabupaten.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Dalam perjalanannya keberadaan UU ini belum berdampak dalam menggeser dominasi perspektif desentralisasi administrasi dalam hubungan kekuasaan kecamatan
dan desa kearah desentralisasi politik. Kenyataan ini sangat jelas terlihat untuk membatasi “kekuasaan” kecamatan dan mendesentralisasikan wewenang yang lebih luas kepada
pemerintah desa. Otonomi daerah dimaknai dengan pemberian kebebasan dan kemandirian vrijheid
dan Zelfstandigheid untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri atas sebagian urusan pemerintahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kebebasan dan kemandirian dalam otonomi daerah yang didasarkan UUD 1945 bukanlah kemerdekaan Indenpendency, akan tetapi kebebasan dan kemandirian dalam ikatan
kesatuan yang lebih besar. Otonomi sekedar subsistem dari sistem kesatuan yang lebih besar.
34
Berdasarkan pola yang demikian dimana desa sebenarnya belum bisa dikatakan sepenuhnya telah memiliki otonomi. Ditambah lagi oleh problem SDM yang belum
memadai sehingga arah pembangunan desa berdasarkan kreatifitas serta kemampuan desa akan sulit untuk bangkit dan tercapai, dengan otonomi yang terbatas seperti ini kesulitan
akan lebih dirasakan oleh desa ketika desa sama sekali tidak dapat mengelola anggaran desa secara mandiri tetapi desa akan tetap sebagai tempat untuk memberikan bantuan dari
kabupaten. Berkaitan dengan ini pemerintah pusat masih setengah hati. Hal ini jelas terlihat
dalam PP No. 72 Tahun 2005 tentang desa maupun dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU dan PP tersebut tidak secara rinci menjabarkan
kewenangan pemerintahan desa sebagai pelaksana pasal 206. Akan tetapi, justru kewenangan kabupatenkota sebagai tempat otonomi berhenti dan yang diutamakan,
sehingga hanya melalui political will kemauan politik yang dimiliki kepala daerah untuk menyusun dan mengatur kewenangan desa dengan melibatkan Camat sebagai jembatan
antara kabupaten dan desa. Hal ini telah menyebabkan tumpang tindih kekuasaan yang diakibatkan oleh kebiasaan lama kecamatan sebagai “kepala wilayah” untuk menguasai
wilayah kerjanya.
34
Marzuki, SH, M. Hum, Makalah “Hubungan Kekuasaan Pemerintah Provinsi dan KabupatenKota dalam Konteks Hukum Tata Negara”, Disampaikan dalam SeminarWorkshop “Reposisi Kewenangan Provinsi dan
KabupatenKota dalam Perspektif Otonomi Daerah studi kasus: di Sumatera Utara”, di Novotel Soechi Medan, Rabu, 24 Desember 2003. Dalam Buku: Hasim Purba, SH, M. Hum. 2004. Hubungan Pemerintah Provinsi
Dengan KabupatenKota perspektif Otonomi Daerah. Medan: Pustaka Bangsa Press. Hal 79-80.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Kecamatan dalam hal ini merupakan perangkat daerah kabupaten yang mendapat sebahagian pelimpahan wewenang dalam konteks pembinaan, pengawasan dan supervisi
juga belum dapat dirasakan oleh desa, justru apa yang kemudian muncul adalah pola-pola kekuasaan lama seperti pada masa orde baru dengan UU No. 5 Tahun 1974 tentang
pemerintahan daerah dimana pemerintahan kecamatan masih cenderung sebagai penguasa terhadap desa.
Kalau kita perhatikan kecenderungan demikian yang menjadi persoalannya adalah selain dari ego kekuasaan kecamatan ternyata UU yang memungkinkan desa itu untuk
dapat mandiri juga belum terakomodir secara tegas dan jelas, dimana pada pemerintahan kabupatenlah otonomi yang mutlak berada, sehingga baik pola pembangunan maupun
pola kekuasaan yang terbangun antara kabupaten dengan kecamatan serta kecamatan dengan desa masih bersifat top down artinya berdasarkan kemauan penguasa diatasnya
sehingga secara politik desa masih mengalami ketergantungan. Lantas, yang disebut sebagai otonomi dalam hal kewenangan yang dimiliki desa
saat ini dengan berdasarkan UU 32 Tahun 2004 adalah tidak lebih dari sekedar membangun sebuah simbol kedaerahan melalui pasal 206 huruf a yang memberikan
peluang kepada desa untuk menyelenggarakan pemerintahannya berdasarkan hak asal- usul desa. Artinya ada pengakuan kembali oleh negara terhadap keberadaan pemerintahan
terendah di republik ini, namun peluang ini tidak akan membawa perubahan yang signifikan terhadap desa karena local wisdom saja tidak akan serta merta automaticly
dapat memberikan kewenangan terhadap desa. Sampai saat ini yang terlihat justru hanya perubahan penyebutan nama lain dari
desa saja tetapi tidak ada upaya mengembalikan model maupun ciri dari pemerintahan terendah berdasarkan karakteristiknya masing-masing. Seperti Gampong di aceh, huta di
Tapanuli, Nagari di Sumatera Barat dan lain-lain secara struktural pemerintahan terendah tersebut belum mengalami perubahan sesuai dengan mekanisme maupun tatanan asli dari
pemerintahan Nagari, Gampong, Huta dan lain-lain. Dilihat dari sisi lain seiring dengan perubahan tersebut, salah satu wujud dari
Good Governance dalam penyelenggaraan pemerintahan masa kini yaitu partisipasi aktif anggota masyarakat dirasakan sedikit mengalami kemajuan. Namun partisipasi yang
timbul belum tergolong signifikan dalam upaya mendorong kemajuan desa ke arah yang lebih mandiri. Adapun partisipasi yang tampak adalah partisipasi yang cenderung
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
digerakkandimobilisasi oleh pemerintah desa dalam kegiatan yang sifatnya sudah menjadi rutinitas, seperti gotong royong misalnya. Artinya apa yang dimaksud dengan
kreatifitas dan inisiatif masyarakat sendiri yaitu sebuah gagasan atau ide yang bersifat membangun dan tumbuh dari diri masing-masing anggota masyarakat dengan orientasi
sosial belum dapat dirasakan. Seharusnya dalam era otonomi daerah saat ini masyarakat menjadi sumber energy
dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah baik desa maupun kecamatan, dengan desentralisasi daerah tentu harus mampu meretas ketergantungan kepada pemerintah
pusat, hal ini juga ternyata disebabkan oleh lemahnya pembinaan serta pengawasan yang dilakukan mulai dari pemerintah kabupaten, kecamatan sampai ke desa. Kebijakan
desentralisasi belum mampu memberikan pendidikan kepada daerah untuk dapat mandiri dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Dalam kondisi yang demikian
masyarakat menjadi penting untuk dilibatkan dan ikut serta bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Selain prinsip diatas, transparansi yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni
informasi mengenai kebijakan, proses pembuatan dan pelaksanaanya serta sejauh mana hasil-hasil yang telah dicapai dapat diketahui oleh masyarakat. Keterbukaan informasi
selain sebagai saranamedia yang berarti wujud pertanggungjawaban pemerintah kepada warganya juga menjadi sarana untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat.
Keterbukaan informasi diharapkan akan menghasilkan persaingan politik yang sehat, toleran dan kebijakan dibuat berdasarkan pada preferensi publik, sehingga masyarakat
mengetahui kewenangan dan tugas pemeritah yang harus dijalankan bukan sekedar menjadi tumpukan kata-kata manis di atas kertas.
Bahkan lebih parahnya lagi kebijakan desentralisasi yang memberi peluang kepada daerah kabupatenkota untuk melimpahkan sebagian kewenangannya justru masih
ada yang belum mendelegasikannya. Malah seringkali Perbub tentang pelimpahan sebagian kewenangan bupati kepada Camat dilupakan begitu saja. Begitu juga mengenai
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupatenkota yang diserahkan pengaturannya kepada desa dan tugas pembantuan dari pemerintah provinsi,
kabupatenkota kepada desa Laut Dendang sejauh ini belum ada. Pemerintah di aras desa sendiri harus lebih berani memberikan kesempatan kepada desa untuk menjalankan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
sebagian kewenagan yang memungkinkan untuk dapat dilaksanakan, selain itu pembinaan dan supervisi menjadi keniscayaan yang menyertainya mengingat desa juga masih
memiliki berbagai kekurangan. Mengingat kedudukan kecamatan yang strategis tersebut, maka yang perlu
dilakukan adalah bagaimana pemerintah daerah KabupatenKota mendudukkan kecamatan sebagai bagian pemerintah daerah dalam menyelenggarakan otonomi serta
memberikan penguatan untuk melalukan banyak peran dalam penyelenggaraan otonomi daerah melalui pelimpahan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
kabupatenkota. Sebagai intitusi publik, keberadaan kecamatan hendaknya dimanfaatkan secara
optimal untuk melayani masyarakat desa. Jangan sampai dana publik yang dikeluarkan untuk membayar gaji PNS dan membiayai fasilitas kantor namun tidak memberi manfaat
bagi rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Otonomi daerah dengan konsekuensi logisnya tentu harus menyertakan
desentralisasi kewenangan terhadap desa dengan semangat kemandirian dan kesejahteraan rakyat. UU No.32 Tahun 2004 sama sekali tidak ada mengatur secara detail
dan tegas tentang bagaimana pemerintahan desa seharusnya berjalan melainkan kembali pada political will dari kepala daerah. Cukup disayangkan memang karena posisi desa
yang sedemikian ini tentu akan menggantung di satu sisi tidak memiliki kewenangan yang jelas, disisi lain desa tidak mendapatkan supervisi dan pembinaan yang memadai.
Berdasarkan struktur pemerintahan daerah saat ini dan berdasarkan kewenangan yang dimiliki oleh desa bahwa desa tersebut bisa dikatakan sebagai perpanjangan tangan
dari pemerintahan kabupaten meskipun kepala desa itu sendiri dipilih secara langsung oleh masyarakat di desa. Desa sebagai unit pemerintahan terendah secara administratif
tentu ada tugas-tugas pemerintahan umum yang harus dijalankan tetapi ada urusan atau kewenangan yang lebih tepat lagi untuk dilimpahkan dan dijalankan oleh pemerintahan
desa seperti perizinan, kependudukan, kartu keluarga dan seterusnya yang merupakan ruang lingkup pemerintahan desa yang secara nyata berhadapan dengan masyarakat.
Kelemahan lain dalam upaya implementasi otonomi daerah secara komprehensif yaitu mandegnya proses pemberdayaan terhadap masyarakat disaat fungsi-fungsi
pendampingan yang harus dilaksanakan oleh kecamatan belum dapat berjalan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
sebagaimana mestinya. Di samping itu khususnya dalam hubungan pemerintahan kecamatan dengan desa masih terkontaminasi oleh intervensi-intervensi dari kecamatan
karena pada persoalan anggaran misalnya desa masih bergantung kepada kecamatan maupun kabupaten.
Sampai disini dapat kita lihat bahwa desa tidak akan mampu bekerja maksimal untuk mendukung otonomi desa tersebut karena memang wewenang yang diberikan
kepada desa itu belum kuat sehingga harus ada UU tersendiri yang mengatur tentang desa karena kepala daerah kabupaten memiliki kekuasaan mutlak dalam UU No.322004
sebagai kepala daerah. Apa yang terjadi di desa saat ini belum sampai pada kondisi ideal yang kita
harapkan dalam banyak hal termasuk pelayanan publik. Sebenarnya banyak hal yang dapat dilakukan oleh desa apabila diberikan kewenangan, minimal urusan kependudukan,
seharusnya bisa diserahkan kepada desa dan tidak bergantung kepada kecamatan. Begitu juga dengan kecamatan harus lebih fokus pada fungsi supervisi dan pembinaan terhadap
desa-desa dalam membantu pemerintah kabupatenkota dalam rangka otonomi daerah. Inti otonomi adalah ketika level pemerintahan atas menyerahkan sebagian
kewenangannya kepada level pemerintahan yang dibawahnya, jadi sekarang yang kita butuhkan dalam berotonomi adalah seberapa banyak urusan yang dapat dilaksanakan oleh
desa yang diserahkan oleh pemerintah daerah guna terciptanya tatakelola pemerintahan yang efektif dan efisien.
Khusus bagi kecamatan Percut Sei Tuan sendiri yang memiliki cakupan wilayah yang cukup luas sehingga pemekaran yang notabenenya merupakan anak kandung dari
proses otonomi daerah patut untuk dipertimbangkan agar implementasi nilai-nilai substansi dari otonomi daerah itu sendiri dapat tercapai lebih efektif dan efisien untuk
kemandirian dan kesejahteraan masyarakat di desa sesuai dengan kearifan lokalnya masing-masing.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB IV Kesimpulan Dan Rekomendasi Penelitian
4.1 Kesimpulan Penelitian
Berdasarkan permasalahan dan analisa hasil penelitian maka dapat disimpulkan
hal-hal sebagai berikut :
1. Bahwa peraturaninstrumen hukum yang menyangkut tentang pemerintahan
daerah otonomi daerah khususnya menyangkut wewenang desa sebagai daerah otonom baik Undang-Undang maupun Peraturan Pemerintah secara substansial
belum dapat sepenuhnya mengatur dengan jelas dan tegas terhadap penyelenggaraan pemerintahan terendah pemerintahan desa.
2. Bahwa desa berdasarkan pasal 14 ayat 2 PP No. 72 Tahun 2005 tentang desa
pada prinsipnya tidak memiliki kewenangan strategis, justru kewenangan strategis berada pada kecamatan sebagaimana yang diatur dalam pasal 15 ayat 2 PP No.
19 Tahun 2008 tentang kecamatan. Kewenangan camat justru lebih bersifat umum dan menyangkut berbagai aspek dalam pemerintahan dan pembangunan serta
kemasyarakatan. Dalam posisinya sebagai koordinator bukan sebatas administrator pemerintahan camat banyak menemui kendala dalam pelaksanaan
tugas karena luasnya cakupan kerja camat semacam ini serta masih mengambangnya tugas dan fungsinya sehingga menciptakan image bahwa camat
merupakan kepala wilayah penguasa tunggal di kecamatan. 3.
Bahwa Kewenangan yang dimiliki desa saat ini hanya sebatas wewenang dalam upaya menumbuhkan kembali local wisdom yang sejak lama telah ada di desa
selain dari pada pelimpahan urusan administratif pemerintahan, dimana urusan- urusan tersebut tidak menyentuh pelayanan kepada masyarakat secara tepat, cepat,
efektif dan efisien.
4. Bahwa berkaitan dengan adanya kelemahan dalam substansi Undang-Undang No.
32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah khususnya yang menyangkut tentang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA