Analisis Hubungan antara Sikap terhadap Implementasi Otonomi Daerah dengan Tingkat Kepuasan Masyarakat Desa Ciaruteun Ilir

(1)

ANALISIS HUBUNGAN ANTARA SIKAP TERHADAP

IMPLEMENTASI OTONOMI DAERAH DENGAN TINGKAT

KEPUASAN MASYARAKAT DESA CIARUTEUN ILIR

RATU SARAH INDAH KUSUMAWATI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Hubungan antara Sikap terhadap Implementasi Otonomi Daerah dengan Tingkat Kepuasan Masyarakat Desa Ciaruteun Ilir adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2013

Ratu Sarah Indah K


(4)

ABSTRAK

RATU SARAH INDAH KUSUMAWATI. Analisis Hubungan antara Sikap terhadap Implementasi Otonomi Daerah dengan Tingkat Kepuasan Masyarakat Desa Ciaruteun Ilir. Dibimbing oleh RILUS A. KINSENG.

Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan antara sikap terhadap implementasi otonomi daerah dengan tingkat kepuasan masyarakat di Desa Ciaruteun Ilir. Sampel penelitian ini adalah warga desa RT 01/03, RT 03/03, RT 02/05 dan RT 03/05 di Desa Ciaruteun Ilir pada usia 17-60 tahun yang berjumlah 60 responden. Penelitian ini menggunakan data kuantitatif yang dilengkapi dengan data kualitatif. Data kuantitatif dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner. Penelitian ini diuji dengan menggunakan uji korelasi Rank Spearman

dengan taraf nyata 0.05. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat memiliki sikap yang netral terhadap implementasi otonomi daerah. Tingkat kepuasan masyarakat cenderung sedang atau cukup puas. Uji korelasi menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif yang kuat antara sikap terhadap implementasi otonomi daerah dengan tingkat kepuasan masyarakat.

Kata Kunci: Implementasi Otonomi Daerah, Sikap, Tingkat Kepuasan Masyarakat

ABSTRACT

RATU SARAH INDAH KUSUMAWATI. Analysis of Corellation between Attitudes toward the Regional Autonomy Implementation with The Level of Rural Community satisfaction in Ciaruteun Ilir Village. Supervised by RILUS A. KINSENG.

This study aims to analyze the correlation between attitudes toward the implementation of regional autonomy with the level of community satisfaction in Ciaruteun Ilir village. The sample was villagers RT 01/03, RT 03/03, RT 02/05 and RT 03/05 in Ciaruteun Ilir village at the age of 17-60 years amounted to 60 respondents. This study uses quantitative data and supported by qualitative data. Quantitative data were collected by questionnaires, while respondents were selected through a multistage random sampling. The data were analyzed using Rank Spearman correlation test with the level 0.05. The results showed that people have a neutral attitude towards the implementation of regional autonomy. Community satisfaction levels tend to moderate or fairly satisfied. The test shows that there is a strong and positive correlation between attitude toward the implementation of regional autonomy and people satisfaction.

Keywords: Attitudes, Community Satisfaction, Implementation of Regional Autonomy


(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

ANALISIS HUBUNGAN ANTARA SIKAP TERHADAP

IMPLEMENTASI OTONOMI DAERAH DENGAN TINGKAT

KEPUASAN MASYARAKAT DESA CIARUTEUN ILIR

RATU SARAH INDAH KUSUMAWATI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(6)

(7)

Judul Skripsi : Analisis Hubungan antara Sikap terhadap Implementasi Otonomi Daerah dengan Tingkat Kepuasan Masyarakat Desa Ciaruteun Ilir Nama : Ratu Sarah Indah K

NIM : I34090081

Disetujui oleh

Dr Ir Rilus A Kinseng, MA Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS Ketua Departemen


(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Analisis Hubungan antara Sikap terhadap Implementasi Otonomi Daerah dengan Tingkat Kepuasan Masyarakat Desa Ciaruteun Ilir”. Skripsi ini ditujukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara sikap terhadap implementasi otonomi daerah dengan tingkat kepuasan masyarakat. Tujuan spesifiknya ialah: 1) menganalisis sikap masyarakat terhadap implementasi otonomi daerah di Desa Ciaruteun Ilir, 2) menganalisis tingkat kepuasan masyarakat Desa Ciaruteun Ilir, 3) Menganalisis hubungan antara sikap terhadap implementasi otonomi daerah dengan tingkat kepuasan masyarakat.

Penulis menyadari banyak pihak yang telah membantu penulis dalam proses pembuatan skripsi ini baik secara moril maupun materil. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu dan pikiran dalam memberikan masukan dan bimbingan hingga skripsi ini dapat terselesaikan. Penulis juga menyampaikan hormat dan rasa terimakasih kepada ayahanda Elang Mulyaningrat, ibunda Dessy Mawati, serta adik-adik Elang Rama Satria Ningrat dan Elang Rikzaa Syahputra yang selalu memberi motivasi, semangat, doa, dukungan, dan semua pengorbanan dengan ikhlas kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada sahabat-sahabat terbaik di KPM 46, Adis, Lidya, Tiara, Agustin, Tami, Denissa, Gilang, Septiadi, Elbie, Via, teman-teman pimpinan HIMASIERA 2012-2013, teman sebimbingan Hilda, teman-teman seperjuangan akselerasi dan keluarga besar KPM 46 atas kebersamaannya selama di KPM. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman kontrakan Dramaga Cantik, Uji, Laras, Niken dan Listy yang selalu memberi dukungan, semangat dalam penulisan skripsi ini. Akhir kata semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.

Bogor, Januari 2013


(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR LAMPIRAN xi

PENDAHULUAN 1 

Latar Belakang 1 

Perumusan Masalah 3 

Tujuan Penelitian 4 

Manfaat Penelitian 4 

TINJAUAN PUSTAKA 5 

Implementasi Otonomi Daerah 5 

Pembangunan Desa 7 

Tata Pemerintahan (Good Governance) 9 

Penyelenggaraan Pelayanan Publik 10 

Sikap dan Persepsi 11 

Kepuasan Masyarakat 15 

Kerangka Pemikiran 18 

Hipotesis Penelitian 19 

Definisi Operasional 19 

PENDEKATAN LAPANG 23 

Metode Penelitian 23 

Lokasi dan Waktu Penelitian 23 

Pengumpulan Data 24 

Teknik Pengolahan dan Analisis Data 25 

GAMBARAN UMUM DESA CIARUTEUN ILIR, KECAMATAN

CIBUNGBULANG, KABUPATEN BOGOR 27 

Kondisi Geografis 27 

Kondisi Demografis 27 

Mata Pencaharian 29 

Kondisi Sosial 29 

Sarana dan Prasarana 30 


(10)

Gambaran Umum Responden 33  Karakteristik Responden Menurut Jenis Kelamin 33 

Karakteristik Responden Menurut Usia 34 

Karakteristik Responden Menurut Tingkat Pendidikan 35  Karakteristik Responden Menurut Pekerjaan 36  SIKAP MASYARAKAT TERHADAP IMPLEMENTASI OTONOMI DAERAH

DI DESA CIARUTEUN ILIR 39 

Sikap terhadap Penyelenggaraan Pembangunan Desa 39  Sikap terhadap Penyelenggaraan Tata Pemerintahan (Good Governance) 42  Sikap terhadap Penyelenggaraan Pelayanan Publik 44  Sikap terhadap Implementasi Otonomi Daerah 47  TINGKAT KEPUASAN MASYARAKAT TERHADAP IMPLEMENTASI

OTONOMI DAERAH DI DESA CIARUTEUN ILIR 49 

HUBUNGAN ANTARA SIKAP TERHADAP IMPLEMENTASI OTONOMI

DAERAH DENGAN TINGKAT KEPUASAN MASYARAKAT 53 

SIMPULAN DAN SARAN 56 

Simpulan 57 

Saran 57 

DAFTAR PUSTAKA 59 


(11)

DAFTAR TABEL

1 Luas lahan berdasarkan penggunaannya tahun 2011 27  2 Jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur di Desa Ciaruteun Ilir,

tahun 2010 28 

3 Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan di Desa Ciaruteun Ilir,

tahun 2010 28 

4 Jumlah penduduk berdasarkan jenis pekerjaan di Desa Ciaruteun Ilir,

tahun 2011 29 

5 Nilai rataan skor sikap masyarakat terhadap pembangunan desa

menurut aspek pembangunan 40 

6 Jumlah responden menurut respon atas pernyataan mengenai aspek

pembangunan 41 

7 Nilai rataan skor sikap masyarakat terhadap tata pemerintahan desa

menurut aspek tata pemerintahan 42 

8 Jumlah responden menurut respon terhadap pernyataan mengenai aspek

tata pemerintahan 44 

9 Nilai rataan skor sikap masyarakat terhadap penyelenggaraan pelayanan

publik 45 

10 Jumlah responden menurut respon atas pernyataan mengenai aspek

penyelenggaraan pelayanan publik 46 

11 Nilai rataan skor tingkat kepuasan masyarakat terhadap implementasi

otonomi daerah 49 

12 Jumlah responden menurut respon terhadap aspek kepuasan 52  13 Korelasi antara sikap terhadap implementasi otonomi daerah dengan

tingkat kepuasan masyarakat 54 

DAFTAR GAMBAR

1 Proses persepsi 14 

2 Kerangka pemikiran 19 

3 Distribusi frekuensi responden menurut jenis kelamin 33  4 Jumlah responden menurut jenis kelamin (%) 33  5 Distribusi frekuensi responden menurut usia 34 

6 Jumlah responden menurut usia (%) 34 

7 Distribusi jumlah responden berdasarkan tingkat pendidikan 35  8 Persentase jumlah responden menurut tingkat pendidikan 35  9 Distribusi frekuensi responden menurut pekerjaan 36 

10 Jumlah Responden Menurut Pekerjaan (%) 37 

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta Desa Ciaruteun Ilir 62 

2 Kuesioner Penelitian 63 

3 Pedoman Wawancara Mendalam 68 

4 Kerangka sampling 71 


(12)

6 Hasil Wawancara Mendalam 79 


(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Otonomi daerah di Indonesia dimulai dengan lahirnya Undang-Undang (UU) Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang sekarang telah direvisi menjadi UU No. 32 tahun 2004 dan UU No. 25 tahun 2005 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Menurut Undang-Undang ini, otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah.

Hakikat otonomi daerah adalah upaya pemberdayaan daerah dalam pengambilan keputusan daerah secara lebih leluasa dan bertanggung jawab untuk mengelola sumberdaya yang dimiliki sesuai dengan kepentingan, prioritas, dan potensi daerah sendiri. Kewenangan yang luas dan utuh meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi pada semua aspek pemerintahan ini, pada akhirnya harus dipertanggungjawabkan kepada pemerintah dan masyarakat. Penerapan otonomi daerah seutuhnya membawa konsekuensi logis berupa pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah berdasarkan manajemen keuangan yang sehat (Sinaga 2010).

Sinaga (2010) selanjutnya menjelaskan mengenai prinsip luas, nyata dan bertanggungjawab dalam penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Selain itu, penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antara daerah dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antar daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar daerah dengan pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan negara.

Perkembangan otonomi daerah menuntut Pemerintah Pusat untuk semakin memperhatikan dan menekankan pembangunan masyarakat desa melalui otonomi daerah. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) dan pembangunan desa harus mampu mengakomodasi aspirasi masyarakat serta mewujudkan peran aktif masyarakat untuk turut serta bertanggung jawab terhadap perkembangan kehidupan bersama sebagai sesama warga desa. Dalam UU No. 32 Tahun 2004 dijelaskan mengenai pengaturan hubungan keuangan pusat dan daerah, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya secara adil dan selaras. Dengan adanya UU No. 32 Tahun 2004 ini, merupakan kesempatan bagi desa untuk mengatur sendiri pembentukan, kedudukan, kewenangan serta tugas pokok dan fungsi desa sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan kemampuan desa, sehingga desa lebih leluasa dalam


(14)

menentukan dan memberikan kewenangan dalam rangka memenuhi tuntutan, keinginan dan kebutuhan masyarakat, terutama dalam penyelenggaraan pemerintahan di desa yang banyak berkaitan langsung dengan pemberian pelayanan publik. Kualitas pelayanan di desa diharapkan akan menjadi lebih baik dibandingkan pada saat pengaturan yang sentralistik, sehingga diharapkan mampu selalu dapat beradaptasi dengan kemajuan yang begitu cepat dalam memberikan pelayanan dan pemenuhan kebutuhan masyarakat.

Pelayanan publik yang positif dan berkualitas, akan menciptakan kepuasan, kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat, yang akhirnya dapat mewujudkan tujuan pembangunan masyarakat. Pelayanan publik menjadi salah satu indikator penilaian kualitas administrasi pemerintahan dalam melakukan tugas dan fungsinya. Baik tidaknya administrasi publik atau pemerintahan itu dapat dilihat dari seberapa jauh pelayanan publiknya sesuai dengan tuntutan, kebutuhan dan harapan masyarakat (Istianto 2010). Demikian halnya Desa Ciaruteun Ilir, urusan pemerintahan desa menjadi kewenangan yang harus dilaksanakan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 pasal 206 yaitu:

1. Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul, urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa.

2. Tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah propinsi dan atau pemerintah kabupaten/kota.

3. Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa.

Pemberian urusan/kewenangan tersebut menurut Istianto (2010) tentunya dimaksudkan sebagai upaya menghadirkan pemerintahan ditengah masyarakat yang memerlukan perluasan jangkauan pelayanan atau dalam rangka mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Dengan kata lain kebijakan ini membawa konsekuensi menjadikan organisasi desa sebagai unit pemerintahan otonom terdepan yang menyelenggarakan pembangunan desa yang dapat memberdayakan masyarakat, menyelenggarakan tata pemerintahan yang partisipatif, transparan, responsif dan akuntabel serta menyelenggarakan pelayanan publik secara ideal dalam rangka mendekatkan pelayanan kepada masyarakat.

Realitas faktual yang berbeda, umumnya dapat kita lihat dalam praktek penyelenggaran pelayanan di desa yaitu masih banyak masyarakat kurang puas dengan kualitas pelayanan yang diberikan oleh Kantor Desa, kesenjangan terjadi dari segi waktu maupun tuntutan-tuntutan komplain lainnya yang diajukan oleh pemohon untuk Pemerintah Desa, misalnya pada pelayanan pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang dirasakan sangat memakan waktu yang lama, pelayanan akta jual beli tanah yang dirasakan sangat berbelit-belit dan biayanya sangat mahal. Hal ini ditunjukkan dengan munculnya keluhan masyarakat dari mulut ke mulut. Menurut (Mulyadi et al. 2012) Jika kondisi ini tidak direspon oleh Pemerintah Desa, maka akan dapat menimbulkan citra yang kurang baik terhadap pemerintahan desa sendiri.

Sinaga (2010) menyatakan bahwa perlu pengenalan dan kajian lebih jauh untuk mengatasi persoalan yang dapat menghambat penyelenggaraan otonomi dan desentralisasi di desa. Pengenalan permasalahan di lapangan ditujukan untuk mengantisipasi kemampuan daerah dalam menyelenggarakan fungsi desentralisasi dan otonomi daerah. Dengan teridentifikasinya permasalahan yang berkaitan


(15)

dengan fungsi otonomi daerah dan desentralisasi, pemerintah desa diharapkan semakin mampu mengelola semua persoalan dan harapan publik sesuai dengan fungsinya sebagai lembaga otonom.

Pengenalan permasalahan ini salah satunya dapat dilakukan dengan melihat sikap dan persepsi masyarakat mengenai implementasi otonomi daerah di desa ini serta melihat tingkat kepuasan masyarakat terhadap implementasi otonomi daerah. Mulyadi et al. (2012) berpendapat bahwa sikap dan persepsi atau tanggapan yang baik dari masyarakat merupakan kunci keberhasilan bagi suatu organisasi dalam memberdayakan masyarakat terutama masyarakat miskin dan kaum marginal untuk mendapatkan penghidupan yang layak dan bermartabat. Untuk itu diperlukan adanya suatu sistem pelayanan dan komunikasi yang baik antara Pemerintah Desa dengan masyarakat agar masyarakat dapat merasakan kepuasan dari pelayanan yang diberikan.

Berdasarkan pernyataan-pernyataan tersebut, penelitian mengenai “Analisis Hubungan antara Implementasi Otonomi Daerah dengan Tingkat Kepuasan Masyarakat Desa Ciaruteun Ilir” menjadi sangat penting untuk dilakukan karena hasil penelitian tersebut dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam rangka meningkatkan kualitas pemerintahan desa sehingga diharapkan dapat tercipta pelayanan yang semakin berkualitas, serta dapat digunakan sebagai modal informasi dalam memahami isu-isu penyelenggaraan otonomi daerah dan dapat menginspirasi untuk pengadaan program dan pelayanan publik yang mengarah pada peningkatan kepuasan dan kesejahteraan masyarakat.

Perumusan Masalah

Implementasi otonomi daerah dapat dilihat dari berbagai segi yaitu pertama, dilihat dari segi wilayah (teritorial) harus berorientasi pada pemberdayaan dan penggalian potensi daerah. Kedua dari segi struktur tata pemerintahan berorientasi pada pemberdayaan pemerintah daerah dalam mengelola sumber-sumber daya yang dimilikinya secara bertanggung jawab dan memegang prinsip-prinsip kesatuan negara dan bangsa. Ketiga dari segi kemasyarakatan berorientasi pada pemberdayaan dan pelibatan masyarakat dalam pembangunan di berbagai daerah sesuai dengan kemampuan masing-masing daerah. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa implementasi otonomi daerah dapat dilihat dari sisi pembangunan, tata pemerintahan dan pelayanan publik.

Berangkat dari persoalan mempertanyakan kepuasan masyarakat terhadap apa yang diberikan oleh aparat desa dalam implementasi otonomi daerah adalah pemerintah itu sendiri dengan apa yang mereka inginkan, maksudnya yaitu sejauh mana masyarakat berharap apa yang akhirnya diterima mereka. Apabila tingkat kepuasan masyarakat terhadap implementasi otonomi daerah di Desa Ciaruteun Ilir rendah, maka pemerintah desa diharapkan dapat mengoreksi keadaan agar lebih teliti untuk peningkatan dari penyelenggaraan otonomi daerah dalam hal pembangunan desa, tata pemerintahan (good governance) dan kualitas pelayanan publik.

Berdasarkan pernyataan tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti beberapa permasalahan yang dapat diangkat dalam topik penelitian mengenai Analisis


(16)

Hubungan antara Sikap terhadap Implementasi Otonomi Daerah dengan Tingkat Kepuasan Masyarakat di Desa Ciaruteun Ilir, yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimana sikap masyarakat terhadap implementasi otonomi daerah di Desa Ciaruteun Ilir?

2. Bagaimana tingkat kepuasan masyarakat terhadap implementasi otonomi daerah di Desa Ciaruteun Ilir?

3. Bagaimana korelasi antara sikap terhadap implementasi otonomi daerah dengan tingkat kepuasan masyarakat Desa Ciaruteun Ilir?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah disampaikan sebelumnya, tujuan penelitian ini adalah :

1. Menganalisis sikap masyarakat terhadap implementasi otonomi daerah di Desa Ciaruteun Ilir

2. Menganalisis tingkat kepuasan masyarakat terhadap implementasi otonomi daerah di Desa Ciaruteun Ilir

3. Menganalisis korelasi antara sikap terhadap implementasi otonomi daerah dengan kepuasan masyarakat Desa Ciaruteun Ilir

Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat berguna bagi berbagai lapisan dan pihak-pihak yang terkait, yaitu:

1. Bagi Akademisi

Penelitian ini dapat memberikan tambahan pengetahuan dan menjadi literatur untuk penelitian yang lebih dalam.

2. Bagi pemerintah desa

Bagi pemerintah desa penelitian ini dapat digunakan sebagai modal informasi dalam memahami isu-isu penyelenggaraan otonomi daerah dan dapat menginspirasi untuk pengadaan program dan pelayanan publik yang mengarah pada peningkatan kepuasan dan kesejahteraan masyarakat.


(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Implementasi Otonomi Daerah

Otonomi yang berasal dari kata autonomos (bahasa Yunani) memiliki pengertian mengatur diri sendiri. Pada hakekatnya otonomi daerah adalah upaya untuk mensejahterakan masyarakat melalui pemberdayaan potensi daerah secara optimal. Makna otonomi daerah adalah daerah memiliki hak, wewenang dan kewajiban untuk mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pusat Bahasa 2001). Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 menyebutkan bahwa kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Aspek “prakarsa sendiri” dalam otonomi daerah memberikan “roh” pada penyelenggaraan pembangunan daerah yang lebih partisipatif.

Prinsip otonomi daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 memaknai otonomi daerah sebagai pemberian kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Widjaja (2007) memaparkan bahwa menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberikan pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Seiring dengan prinsip tersebut dilaksanakan prinsip otonomi nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian, isi dan jenis otonomi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya.

Otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud otonomi yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah, termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional. Seiring dengan prinsip itu, penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Selain itu, penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antara daerah dengan daerah lainnya. Artinya mampu membangun kerjasama antar daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah (Widjaja 2007).

Ukuran keberhasilan otonomi daerah menurut Widjaja (2007) adalah terwujudnya kehidupan yang lebih baik, pelayanan publik yang lebih baik, lebih adil dalam memperoleh penghasilan/pendapatan, terlindungnya dari segala ganggguan, dan tercipta rasa aman serta lingkungan hidup yang lebih nyaman. Selain itu ada beberapa indikator dari keberhasilan otonomi daerah yaitu:


(18)

a. Tingginya tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik b. Tingginya partisipasi masyarakat

c. Tingginya tingkat kemandirian masyarakat d. Rendahnya birokratisme

Selain indikator dari keberhasilan otonomi daerah, menurut Epstein (dalam Salam 2004), paling tidak ada empat kriteria untuk mengukur keefektifan suatu pemerintahan daerah yaitu:

a. Kebutuhan masyarakat secara implisit dapat dikontrol

b. Adanya program layanan khusus yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat c. Mengukur kualitas layanan pemerintah daerah terutama dengan ukuran

kepuasan dan persepsi masyarakat

d. Pemberian pelayanan harus dapat menyesuaikan diri dengan masalah-masalah yang ada di masyarakat.

Implementasi otonomi daerah dapat dilihat dari berbagai segi yaitu pertama, dilihat dari segi wilayah (teritorial) harus berorientasi pada pemberdayaan dan penggalian potensi daerah. Kedua dari segi struktur tata pemerintahan berorientasi pada pemberdayaan pemerintah daerah dalam mengelola sumber-sumber daya yang dimilikinya secara bertanggung jawab dan memegang prinsip-prinsip kesatuan negara dan bangsa. Ketiga dari segi kemasyarakatan berorientasi pada peberdayaan dan pelibatan masyarakat dalam pembangunan di berbagai daerah sesuai dengan kemampuan masing-masing daerah (Salam 2004). Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa implementasi otonomi daerah dapat dilihat dari sisi pembangunan, tata pemerintahan dan penyelenggaraan pelayanan publik.

Undang-undang dan peraturan mengenai otonomi daerah sudah disusun sejak Indonesia merdeka yaitu pada Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum amandemen) pasal 18 yang menegaskan bahwa otonomi daerah adalah hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan inisiatif sendiri (Saragi 2003). Hal ini menunjukkan bahwa para pemimpin negara dari zaman Orde Lama, Orde Baru sampai pemimpin negara saat ini sudah memikirkan betapa penting otonomi daerah mengingat wilayah Indonesia yang demikian luas menjadi tanggung jawab pemerintah. Pemberian otonomi kepada daerah pada dasarnya merupakan upaya pemberdayaan dalam rangka mengelola pembangunan di daerahnya. Daerah diharapkan sedikit demi sedikit mampu melepaskan ketergantungannya terhadap bantuan pemerintah pusat dengan cara meningkatkan kreativitas, meningkatkan inovasi dan meningkatkan kemandiriannya. Jika pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang telah disusun, maka harapannya dapat mewujudkan “daerah membangun” bukan “membangun daerah” dapat segera tercapai. Otonomi daerah memberikan harapan cerah kepada daerah untuk lebih meningkatkan dayaguna dan hasilguna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka memberikan efektifitas pelayanan kepada masyarakat. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah daerah dapat melaksanakan fungsi-fungsi pembangunan serta mengembangkan prakarsa masyarakat secara demokratis sehingga sasaran pembangunan diarahkan dan disesuaikan dengan kondisi dan permasalahan yang ada di daerah.


(19)

Pembangunan Desa

Pembangunan (development) menurut Alexander (dalam Trijono 2007) adalah proses perubahan yang mencakup seluruh system sosial, seperti politik, ekonomi, infrastruktur, pertahanan, pendidikan dan teknologi, kelembagaan, dan budaya. Menurut Portes (dalam Badruddin 2009) mendefenisiskan pembangunan sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya. Pembangunan adalah proses perubahan yang direncanakan untuk memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat, sedangkan menurut Tikson (dalam Badruddin 2009) pembangunan nasional dapat pula diartikan sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya secara sengaja melalui kebijakan dan strategi menuju arah yang diinginkan. Transformasi dalam struktur ekonomi, misalnya, dapat dilihat melalui peningkatan atau pertumbuhan produksi yang cepat di sektor industri dan jasa, sehingga kontribusinya terhadap pendapatan nasional semakin besar. Sebaliknya, kontribusi sektor pertanian akan menjadi semakin kecil dan berbanding terbalik dengan pertumbuhan industrialisasi dan modernisasi ekonomi.

Badruddin (2009) menjelaskan bahwa transformasi sosial dapat dilihat melalui pendistribusian kemakmuran melalui pemerataan memperoleh akses terhadap sumber daya sosial-ekonomi, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, air bersih, fasilitas rekreasi dan partisipasi dalam proses pembuatan keputusan politik, sedangkan transformasi budaya sering dikaitkan, antara lain dengan bangkitnya semangat kebangsaan dan nasionalisme, disamping adanya perubahan nilai dan norma yang dianut masyarakat, seperti perubahan dan spiritualisme ke materialisme/sekularisme. Pergeseran dari penilaian yang tinggi kepada penguasaan materi, dari kelembagaan tradisional menjadi organisasi modern dan rasional. Dengan demikian, proses pembangunan terjadi di semua aspek kehidupan masyarakat, ekonomi, sosial, budaya, politik, yang berlangsung pada level makro (nasional) dan mikro (commuinity/group). Makna penting dari pembangunan adalah adanya kemajuan/perbaikan (progress), pertumbuhan dan diversifikasi. Sebagaimana dikemukakan oleh para para ahli di atas, pembangunan adalah sumua proses perubahan yang dilakukan melalui upaya-upaya secara sadar dan terencana. Sedangkan perkembangan adalah proses perubahan yang terjadi secara alami sebagai dampak dari adanya pembangunan.

Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah menjelaskan tentang pembentukan pemerintahan daerah kabupaten/kota oleh pemerintahan desa yang terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Pembentukan, penghapusan, dan/atau penggabungan desa dengan memperhatikan asal usulnya atas prakarsa masyarakat. Desa di kabupaten/kota secara bertahap dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi kelurahan sesuai usul dan prakarsa pemerintah desa bersama badan permusyawaratan desa yang ditetapkan perda. Dalam UU No. 32 Tahun 2004, Pemerintahan desa terdiri atas kepala desa dan perangkat desa. Perangkat desa terdiri dari sekretaris desa dan perangkat desa lainnya.Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup:


(20)

b. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa

c. Tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota

d. Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa.

Sumber pendapatan desa dikelola melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBD). Kepala Desa dan BPD menetapkan APBD setiap tahun dengan peraturan desa. Pedoman penyusunan APBD ditetapkan oleh Bupati. Tata cara dan pungutan obyek pendapatan dan belanja desa ditetapkan bersama antara Kepala Desa dan Badan Perwakilan Desa. Menurut Widjaja (2003), sumber pendapatan desa terdiri atas:

1) pendapatan asli desa yang meliputi: a. Hasil usaha desa

b. Hasil kekayaan desa

c. Hasil swadaya dan partisipasi

d. Lain-lain pendapatan asli desa yang sah

2) Bantuan dari pemerintah Kabupaten yang meliputi: a. Bagian perolehan pajak dan retribusi daerah

b. Bagian dari dana perimbangan keuangan Pusat dan Daerah 3) Bantuan dari Pemerintah dan Pemerintah Propinsi

4) Sumbangan dari Pihak Ketiga dan 5) Pinjaman Desa

Menurut Hutagaol (2001), program pembangunan pedesaan harus didesain untuk memberdayakan masyarakat perdesaan dalam menghadapi persaingan global. Untuk itu, pembangunan perdesaan harus mampu menggali dan mengembangkan keunggulan ekonomi lokal serta menciptakan sinergi ekonomi antar kawasan perdesaan, juga pembangunan pedesaan harus mampu menempatkan kawasan pedesaan sebagai tulang punggung perekonomian nasional. Paradigma pembangunan lama harus diganti dengan paradigma baru yang lebih handal dalam mencapai tujuan-tujuan pembangunan perdesaan yang telah ditetapkan di atas. Perubahan paradigma tersebut dimanifestasikan didalam azas dasar dan azas pendukung dari pendekatan pembangunan perdesaan (basic and supporting principles of rural developmentapproach) yang akan diterapkan di dalam pembangunan kawasan dan masyarakat pedesaan. Salah satu azas dasar tersebut adalah:

1. Berorientasi Pada Pemberdayaan Masyarakat

Azas pemberdayaan masyarakat mengandung makna bahwa pembangunan perdesaan dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan sosial dan ekonomi seluruh masyarakat perdesaan secara berkelanjutan agar mereka mampu mandiri di dalam mengelola kehidupannya baik sebagai individu-individu maupun sebagai komunitas sosial, sehingga pembangunan perdesaan tidak boleh mengorbankan suatu golongan demi kepentingan kelompok lain seperti yang terjadi di masa lalu. 2. Berorientasi Pada Partisipasi Masyarakat

Azas partisipasi masyarakat mengandung makna bahwa masyarakat perdesaan harus menjadi subjek dalam pembangunan perdesaan. Azas ini


(21)

merupakan kebalikan dari azas paradigma lama yang cenderung menempatkan masyarakat hanya sekedar objek pembangunan. Pada masa lalu, pemerintah mendominasi proses pembangunan, mulai dari pendanaan, perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Seperti yang telah dikemukakan di atas, dominasi pemerintah ini tidak hanya membuat pembangunan gagal mencapai tujuannya, tetapi juga pendekatan pembangunan tersebut telah merusak kemandirian dan semangat kerjasama di masyarakat perdesaan.

Tata Pemerintahan (Good Governance)

Tata Pemerintahan atau good governance jika dilihat lebih lanjut, maka menurut UNDP arti good dalam good governance mengandung pengertian nilai yang menjunjung tinggi keinginan rakyat, kemandirian, berdayaguna dan berhasilguna dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai suatu tujuan, serta aspek fungsional dan pemerintahan yang efektif dan efisien. Menurut Daniri (2006) secara harfiah, governance kerap diterjemahkan sebagai “pengaturan”. Adapun dalam konteks good governance, governance sering juga disebut “tata pamong”.

Menurut FCGI (Forum for Corporate Governance in Indonesia) (dalam Yunianto, 2011) good governance didefinisikan sebagai seperangkat peraturan yang menetapkan hubungan antara pemegang saham, pengurus, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya sehubungan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan.

Menurut UNDP tentang definisi good governance adalah sebagai hubungan yang sinergis dan konstruktif diantara negara, sektor swasta dan masyarakat, dalam prinsip-prinsip; partisipasi, supremasi hukum, transparansi, cepat tanggap, membangun konsesus, kesetaraan, efektif dan efisien, bertanggung jawab serta visi stratejik. Good governance dimaknai sebagai praktek penerapan kewenangan, penerapan pengelolaan berbagai urusan penyelenggaraan negara secara politik, ekonomi dan administratif di semua tingkatan. Ada tiga pilar good governance

yang penting, yaitu:

a. Economic governance atau kesejahteraan rakyat

b. Political governance atau proses pengambilan keputusan

c. Administrative governance atau tata laksana pelaksanaan kebijakan

Jika dikaitkan dengan tata kelola pemerintahan maka good governance

adalah suatu gagasan dan nilai untuk mengatur pola hubungan antara pemerintah, dunia usaha swasta, dan masyarakat sehingga terjadi penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, demokratis, dan efektif sesuai dengan cita-cita terbentuknya suatu masyarakat yang makmur, sejahtera dan mandiri. Komite Nasional Kebijakan Governance (dalam Yunianto 2011) memaparkan prinsip-prinsip good governance yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi serta kesetaraan dan kewajaran diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan dengan tetap memperhatikan pemangku kepentingan.

Pengukuran variabel good governance menurut Istianto (2010) dilakukan dengan indikator partisipasi masyarakat, transparansi dan akuntabilitas. Partisipasi masyarakat disini adalah dimensi yang menggambarkan adanya media untuk turut sertanya secara aktif masyarakat dalam pembangunan. Indikator-indikator yang


(22)

terpenting adalah adanya media lokal dan program-program komunikasi antara pemerintah dan masyarakat. Dimensi transparansi yang dimaksud disini mencakup persepsi terhadap aspek kepedulian pemerintah dalam hal menyebarluaskan informasi-informasi penting bagi masyarakat dan adanya lembaga pengawas kinerja pemerintahan, sedangkan dimensi akuntabilitas yang dimaksud disini adalah mencakup persepsi terhadap laporan keuangan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah dan adanya akuntan publik yang mengawasi keuangan pemerintah daerah.

Penyelenggaraan Pelayanan Publik

Pelayanan publik dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Penyelenggaraan pelayanan pemerintahan daerah merupakan tugas dan fungsi utama pemerintah daerah. Hal ini berkaitan dengan fungsi dan tugas pemerintahan secara umum, yaitu memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dengan pemberian pelayanan yang baik kepada masyarakat, maka pemerintah akan dapat mewujudkan tujuan negara yaitu menciptakan kesejahteraan masyarakat. Pelayanan kepada masyarakat tersebut terintegrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan (Nurcholish 2005).

Menurut Nurcholish (2005), pelayanan publik berhubungan dengan pelayanan yang masuk kategori sektor publik, bukan sektor privat. Pelayanan tersebut dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah dan BUMN/BUMD. Ketiga komponen yang menangani sektor publik tersebut menyediakan layanan publik, seperti kesehatan, pendidikan, keamanan, dan ketertiban, bantuan sosial dan penyiaran.Dengan demikian yang dimaksud pelayanan publik adalah pelayanan yang diberikan oleh negara/daerah dan perusahaan milik negara kepada masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat.

Otonomi Daerah dapat mendorong terjadinya pelayanan publik yang lebih dekat dengan masyarakat yang membutuhkan. Dengan otonomi daerah diharapkan rantai birokrasi yang panjang dapat dipangkas untuk menghindari penundaan dan kualitas yang menurun dari pelayanan publik yang menjadi kewajiban negara kepada warganya. Keberhasilan otonomi daerah juga dilihat dari kualitas pelayanan pada masyarakat yang semakin baik. Pelayanan publik juga menjadi bagian yang krusial dalam praktik negara demokratis karena, demokrasi sebagai konsep hanya dapat dirasakan dalam kualitas pelayanan yang diberikan oleh pemerintah kepada rakyatnya. Dengan tingkat heterogenitas dan penyebaran yang luas sangatlah rentan bagi suatu pemerintahan untuk dapat memenuhi kebutuhan layanan masyarakat sesuai dengan tingkat kebutuhan dan tingkat kepuasan rakyat. Dalam konteks inilah pelayanan publik menjadi tolak ukur penting untuk melihat implementasi otonomi daerah di desa (Istianto 2010).

Dua perspektif yang penting diamati sebagai bagian proses transaksi politik dalam kaitannya dengan pelayanan publik menurut Fernandez et al. (2002) yaitu, dimensi service delivery agent (dinas atau unit kerja pemerintah) dan dimensi

customer atau user (masyarakat yang memanfaatkan). Berdasarkan dimensi pemberi pelayanan perlu diperhatikan tingkat pencapaian kinerja yang meliputi


(23)

layanan yang adil (dimensi ruang dan kelas sosial), kesiapan petugas dan mekanisme kerja (readiness), harga terjangkau (affordable price), prosedur sederhana, dan dapat dipastikan waktu penyelesaiannya. Sedangkan dari dimensi penerima layanan publik harus memiliki pemahaman dan reaktif terhadap penyimpangan atau layanan tak berkualitas yang muncul dalam praktik penyelenggaraan layanan publik. Keterlibatan aktif masyarakat baik dalam mengawasi dan menyampaikan keluhan terhadap praktik penyelenggaraan layanan publik menjadi faktor penting umpan balik bagi perbaikan kualitas layanan publik dan memenuhi standar yang telah ditetapkan.

Pemahaman masyarakat tentang dasar hukum atau kebijakan yang ditetapkan, menurut Fernandez et al. (2002) menjadi salah satu faktor penting untuk menjamin standar pelayanan publik yang berkualitas. Ada beberapa variabel yang dapat dijadikan indikator tingkat pemahaman masyarakat terhadap prosedur pemberian pelayanan publik yaitu:

1) Pemahaman masyarakat tentang prosedur untuk memperoleh layanan publik. 2) Penjelasan tentang prosedur untuk memperoleh layanan publik dari petugas. 3) Informasi yang transparan bagi masyarakat yang secara rinci menjelaskan

jangka waktu dan tarif yang harus dibayar untuk memperoleh layanan

4) Perilaku petugas yang diskriminatif terhadap masyarakat dalam praktik penyelenggaraan layanan publik.

Sikap dan Persepsi Definisi Sikap

Sikap merupakan konsep yang paling penting dalam psikologi sosial, karena sikap adalah salah satu unsur kepribadian yang mempunyai pengaruh besar dalam diri seseorang. Sebagai suatu gejala psikologis, sikap memiliki berbagai definisi yang dikemukakan dengan berbagai tinjauan oleh para ahli. Menurut Rakhmat (1999), sikap hanyalah sejenis motif sosiogenis yang diperoleh melalui proses belajar, sedangkan Krech et al (dalam Harihanto 2001) menyatakan bahwa, sikap adalah kecenderungan seseorang untuk mengetahui, merasakan, dan bertindak terhadap obyek yang disikapi dan terorganisir di dalam suatu sistem yang berlangsung secara terus menerus. Selanjutnya dijelaskan bahwa sikap merupakan reaksi yang tertutup dan umumnya mencerminkan opini atau pendapat seseorang secara implisit, tetapi sebaliknya apa yang dinyatakan seseorang belum tentu menggambarkan sikap atau attitude

yang sebenarnya.

Mekanisme mental yang mengevaluasi, membentuk pandangan, mewarnai perasaan dan akan ikut menentukan kecenderungan perilaku individu terhadap manusia lainnya atau sesuatu yang sedang dihadapi oleh individu, bahkan terhadap diri individu itu sendiri disebut fenomena sikap. Fenomena sikap yang timbul tidak saja ditentukan oleh keadaan objek yang sedang dihadapi tetapi juga dengan kaitannya dengan pengalaman-pengalaman masa lalu, oleh situasi di saat sekarang, dan oleh harapan-harapan untuk masa yang akan datang. Sikap manusia, atau untuk singkatnya disebut sikap, telah didefinisikan dalam berbagai versi oleh para ahli (Azwar, 2007). Thurstone mendefinisikan sikap sebagai derajat afek positif atau afek negatif terhadap suatu objek psikologis (dalam Azwar, 2007). Sikap atau Attitude senantiasa diarahkan pada suatu hal, suatu


(24)

objek.

Rakhmat (1999) mengatakan bahwa sikap bukanlah tingkah laku tetapi merupakan kecenderungan untuk merasa, berpikir, berpersepsi, bertindak, dan bertingkah laku dengan cara-cara tertentu terhadap obyek sikap baik berupa benda, orang, kelompok, tempat, situasi ataupun gagasan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa sikap mempunyai daya pendorong atau motivasi bukan sekedar rekaman masa lalu, tetapi menentukan apakah seseorang harus setuju atau tidak setuju terhadap sesuatu, menentukan apa yang disukai, diharapkan dan diinginkan serta mengesampingkan apa yang tidak diinginkan dan harus dihindari. Sikap relatif lebih menetap, timbul dari pengalaman dan mengandung aspek evaluatif, artinya mengandung nilai menyenangkan atau tidak menyenangkan.

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa, sikap berkenaan dengan keyakinan pikiran, perasaan dan kecenderungan untuk bertindak atau kecenderungan untuk bertingkah laku seseorang dalam merespons obyek sikap yang bersifat permanen dan dinyatakan dengan pernyataan setuju atau ketidak setujuan orang tersebut terhadap obyek sikap yang dihadapinya.

Komponen Sikap dan Kategori Sikap

Secara umum, menurut Krech (dalam Harihanto 2001) sikap memiliki 3 komponen yakni: kognitif, afektif, dan kecenderungan tindakan yang akan dijelaskan sebagai berikut:

1. Komponen Kognitif

Aspek sikap yang berkenaan dengan penilaian individu terhadap obyek atau subyek. Informasi yang masuk ke dalam otak manusia, melalui proses analisis, sintesis, dan evaluasi akan menghasilkan nilai baru yang akan diakomodasi atau diasimilasikan dengan pengetahuan yang telah ada di dalam otak manusia. Nilai-nilai baru yang diyakini benar, baik, indah, dan sebagainya, pada akhirnya akan mempengaruhi emosi atau komponen afektif dari sikap individu.

2. Komponen Afektif

Aspek ini berkenaan dengan emosional dan faktor sosio psikologis, aspek ini menyangkut masalah emosional subyektif seseorang terhadap suatu obyek sikap. Secara umum komponen ini disamakan dengan perasaan yang dimiliki obyek tertentu

3. Komponen Kecenderungan Bertindak

Aspek ini berkenaan dengan keinginan individu untuk melakukan perbuatan sesuai dengan keyakinan dan keinginannya.

Sikap seseorang terhadap suatu obyek atau subyek dapat positif atau negatif. Manifestasikan sikap terlihat dari tanggapan seseorang apakah ia menerima atau menolak, setuju atau tidak setuju terhadap obyek atau subjek, selain itu, teori tradisional menjelaskan bahwa terdapat sikap netral yaitu sikap yang tidak berpihak akan dua sesuatu, menatap permasalahan secara berimbang. Teori tradisional memandang sikap netral merupakan sikap yang baik demi menjaga harmonisasi struktur-struktur sosial yang ada. Horkheimer (dalam Zulkifri 2010) memandang sikap netral sama saja membiarkan realitas sosial yang ada.

Komponen sikap berkaitan satu dengan yang lainnya. Komponen kognitif, afektif, dan kecenderungan bertindak merupakan satu kesatuan sistem, sehingga


(25)

tidak dapat dilepas satu dengan lainnya. Ketiga komponen tersebut secara bersama-sama membentuk sikap dan ketiga komponen kognitif, afektif, dan kecenderungan bertindak secara bersama-sama membentuk sikap. Tentunya ada faktor yang dapat mempengaruhi sikap, antara lain :

a) Adanya akumulasi pengalaman dari tanggapan-tanggapan tipe yang sama. b) Pengamatan terhadap sikap lain yang berbeda.

c) Pengalaman (baik / buruk) yang pernah di alami.

d) Hasil peniruan terhadap sikap pihak lain secara sadar / tidak sadar.

Penelitian ini berfokus pada komponen sikap afektif yaitu aspek yang menyangkut masalah emosional subyektif atau perasaan masyarakat Desa Ciaruteun Ilir terhadap objek pernyataan mengenai implementasi otonomi daerah dalam hal pembangunan desa, tata kelola dan pelayanan publik. Sikap masyarakat ini berisi evaluasi positif atau negatif yang dimiliki masyarakat Desa Ciaruteun Ilir mengenai implemntasi otonomi daerah tersebut.

Untuk mengubah suatu sikap, kita harus ingat bagaimana sikap dengan pola-polanya terbentuk. Sikap bukanlah diperoleh dari keturunan, tetapi dari pengalaman, linkungan, orang lain, terutama dari pengalaman dramatis yang meninggalkan kesan yang sangat mendalam. Dikarenakan sikap sebagian besar berkaitan dengan emosi, kita lebih mudah mempengaruhinya dengan emosi pula, yaitu dengan pendekatan yang ramah tamah, penuh pengertian (empathy) dan kesabaran.

Definisi Persepsi

Persepsi didefinisikan oleh Rakhmat (1999) sebagai pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan. Persepsi sebagai proses menerima, menyeleksi, mengartikan, menguji, dan memberikan reaksi kepada rangsangan pancaindera atau data. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa persepsi adalah suatu proses aktif komunikasi, menyerap, mengatur, dan menafsirkan pengalamannya secara selektif. Beberapa orang dapat mempunyai persepsi yang berbeda dalam melihat suatu objek yang sama, hal ini dipengaruhi oleh faktor antara lain tingkat pengetahuan dan pendidikan seseorang, kombinasi penglihatan, penciuman, pendengaran serta pengalaman masa lalu. Persepsi dapat diartikan juga sebagai proses pengorganisasian stimulus yang diterima oleh indra individu, kemudian diinterpretasikan, sehingga individu menyadari dan mengerti tentang apa yang diterima oleh indera itu. Persepsi merupakan keadaan yang terpadu dari individu terhadap stimulus yang diterimanya, maka apa yang ada dalam diri individu, pengalaman-pengalaman individu akan ikut aktif dalam persepsi individu.

Wiratno (dalam Subekti 2009) menyatakan persepsi pada hakekatnya adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap orang dalam memahami informasi tentang lingkungan baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan dan penciuman. Persepsi dinyatakan sebagai proses menafsir sensasi-sensasi dan memberikan arti kepada stimuli. Persepsi merupakan penafsiran realitas dan masing-masing orang memandang realitas dari sudut perspektif yang berbeda. Persepsi tidak hanya sekedar mendengar, melihat dan merasakan sesuatu yang didapatinya tetapi lebih jauh disepakati persepsi melibatkan rangsangan internal


(26)

dan eksternal. Persepsi adalah proses pengorganisasian dan menafsirkan pola stimulus dalam lingkungannya. Proses tersebut berkaitan dengan kemampuan interpretasi individu, sehingga masing-masing memberikan interpretasi yang bersifat subjektif terhadap objek yang sedang menjadi stimulus.

Berdasarkan pernyataan di atas, dapat dijelaskan bahwa persepsi adalah suatu hal yang sangat memberikan pandangan pada seseorang individu atau masyarakat tentang keadaan yang sebenarnya terjadi dalam lingkungannya. Dalam memberikan tanggapan terhadap hal tersebut individu atau masyarakat tidak hanya memandang dengan indera penglihatan dan pikiran tetapi juga dengan perasaan sehingga individu atau masyarakat dapat mengenal dan tahu tentang perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan masyarakat sekarang. Secara skematis proses persepsi dapat dilihat pada skema dibawah ini:

Sumber: Subekti (2009)

Gambar 1 Proses persepsi

Faktor pihak pelaku persepsi dipengaruhi oleh karakteristik pribadi seperti sikap, motivasi, kepentingan atau minat, pengalaman dan pengharapan. Variabel lain yang ikut menetukan persepsi adalah umur, tingkat pendidikan, latar belakang sosial ekonomi, budaya, lingkungan fisik, pekerjaan, kepribadian dan pengalaman hidup individu. Kesamaan persepsi akan mendorong terbentuknya motivasi yang mendukung makna dari perubahan yang terjadi, dengan kata lain bahwa kesamaan persepsi akan mendorong terciptanya motivasi yang optimal bagi pelaksanaan pencapaian tujuan dan misi yang dihadapinya. Begitu juga dalam pembuatan keputusan dan kualitas dari keputusan akhirnya sangat ditentukan oleh persepsi mereka masing-masing (Mulyadi et al. 2012).

Berdasarkan pernyataan-pernyataan diatas, dapat dijelaskan bahwa persepsi masyarakat terhadap implementasi otonomi daerah merupakan tanggapan masyarakat terhadap pelaksanaan kebijakan dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri. Kebijakan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah dalam hal pembangunan desa, tata pemerintahan dan penyelenggaraan pelayanan publik. Hubungan Persepsi dengan Sikap

Rakhmat (1999) mengemukakan lima pengertian sikap. Salah satu pengertian sikap ini adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi dan nilai. Sikap bukan perilaku tetapi merupakan kecenderungan untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu terhadap

Perhati an dan seleksi

Pengor ganisasi an

Penafsiran

stimuli Persepsi Stimulus


(27)

objek sikap. Objek sikap boleh berupa benda, orang, tempat, gagasan atau situasi. atau kelompok. Persepsi merupakan stimulus proses kepribadian seseorang dalam menilai sesuatu dan sikap tersebut merupakan keorganisasian pendapat sehingga dari hal tersebut membentuk sebuah prilaku. Sebuah persepsi bagi Individual bisa merupakan proses awal terbentuknya sikap dan prilaku, contohnya dapat dilihat ketika seseorang menonton televisi dan peran ditelevisi tersebut merupakan tokoh kegemaranya maka stimulus dalam otaknya bergerak sehingga memiliki persepsi penilaian dan cara pandang untuk mengikuti peran di televisi tersebut sehingga di dalam interaksi kehidupan sehari-hari pembawaan sikapnya terbawa – bawa dengan tokoh kegemarannya tersebut.

Teori persepsi (self-perception theory), telah menghasilkan beberapa penemuan dan membuktikan bahwa sikap digunakan, setelah melakukan sesuatu, untuk memahami suatu tindakan yang telah terjadi daripada sebagai alat yang mendahului dan memandu tindakan. Berlawanan dengan teori ketidaksesuaian kognitif, sikap hanyalah pernyataan verbal yang sederhana. Ketika individu ditanyai tentang sikap mereka dan mereka tidak mempunyai pendirian atau perasaan yang kuat, teori persepsi diri mengatakan bahwa mereka cenderung membuat jawaban yang masuk akal. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa sikap memiliki hubungan dan keterkaitan dengan persepsi. Persepsi seseorang dapat menggambarkan sikap orang tersebut terhadap suatu objek.

Hubungan Sikap dengan Kepuasan

Keterkaitan antara sikap dengan kepuasan dapat dilihat pada penelitian mengenai sikap dan kepuasan kerja oleh Khairul (2002). Seseorang bisa memiliki ribuan sikap, sikap kerja berisi evaluasi positif atau negatif yang dimiliki oleh karyawan tentang aspek-aspek lapangan kerja mereka, ada tiga sikap yaitu kepuasan kerja, keterlibatan pekerjaan, dan komitmen organisasional. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi memiliki perasaan-perasaan positif tentang pekerjaan tersebut, sementara seseorang yang tidak puas memiliki perasaan-perasaan negatif tentang pekerjaan tersebut.

Kepuasan Masyarakat

Kepuasan masyarakat dalam konteks penelitian ini disetarakan dengan kepuasan pelanggan dalam bidang konsumen dan pelayanan. Masyarakat dianggap sebagai konsumen atau penerima manfaat dari pelaksanaan otonomi daerah. Pengertian kepuasan menurut Kotler (1999) adalah “Satisfaction is person’s feeling of pleasure or disappointment resulting from comparing a product’s perceived performance in relation to his or her expectation”. Jadi tingkat kepuasan merupakan persepsi terhadap suatu produk atau jasa yang telah memenuhi harapannya. Penerima layanan (pelanggan) akan merasa puas, apabila persepsinya sama atau lebih dari yang diharapkan, karena kepuasan pelanggan sangat tergantung pada harapan pelanggan, maka diperlukan pengetahuan secara rinci dan akurat terhadap harapan pelanggan.

Menurut Tse dan Wilton (dalam Tjiptono 1996) disebutkan bahwa kepuasan atau ketidakpuassan pelanggan adalah respon pelanggan terhadap evaluasi


(28)

ketidaksesuaian yang dirasakan antara harapan sebelumnya dan kinerja aktual produk setelah pemakaiannya. Kepuasan penerima layanan (pelanggan) merupakan fungsi dari harapan dan kinerja. Oliver (dalam Tjiptono 1996) memberikan pendapat bahwa kepuasan keseluruhan ditentukan oleh ketidaksesuaian harapan yang merupakan perbandingan antara kinerja yang dirasakan dengan harapan. Kepuasan merupakan fungsi positif dari harapan pelanggan dan keyakinan diskonfirmasi. Dengan demikian kepuasan atau ketidakpuasan masyarakat merupakan respon dari perbandingan antara harapan dan kenyataan.

Lebih lanjut dijelaskan oleh Linder Pelz (dalam Tjiptono 1996) bahwa kepuasan merupakan respon afektif terhadap pengalaman melakukan konsumsi yang spesifik. Sementara Engel (1994), mendefinisikan kepuasan pelanggan sebagai evaluasi purna beli terhadap alternatif yang dipilih yang memberikan hasil sama atau melampaui harapan pelanggan. Sedangkan kepuasan masyarakat adalah pendapat masyarakat dalam memperoleh pelayanan dari aparatur penyelenggara pelayanan publik dengan membandingkan antara harapan dan kebutuhannya (Kepmen PAN nomor 25 tahun 2004). Definisi tersebut di atas dapat dijabarkan bahwa kepuasan merupakan fungsi dari kesan kinerja dan harapan. Apabila kinerja berada di bawah harapan, pelanggan tidak puas, sebaliknya apabila kinerja memenuhi harapan, pelanggan puas dan apabila kinerja melebihi harapan, pelanggan sangat puas.

Menurut Supraptono (dalam Tjiptono 1996), ukuran kepuasan masyarakat yang tinggi mencakup kecakapan petugas, keramahan pelayanan, suasana lingkungan yang nyaman, waktu tunggu yang singkat, dan aspek pelayanan lainnya. Menurut Endah (dalam Tjiptono 1996), kepuasan masyarakat mencakup tingkat kepuasan secara keseluruhan (overall satisfaction), kesesuaian pelayanan dengan harapan masyarakat (expectation), dan tingkat kepuasan masyarakat selama menjalin hubungan dengan instansi (experience). Selanjutnya, penilaian kepuasan dan ketidakpuasan pelanggan mengambil salah satu dari tiga bentuk yang berbeda (Engel et al. 1994), yaitu:

a. Diskonfirmasi positif, yaitu apabila kinerja lebih baik dari yang diharapkan b. Konfirmasi sederhana, apabila kinerja sama dengan yang diharapkan c. Diskonfirmasi negatif, apabila kinerja lebih buruk dari yang diharapkan

Diskonfirmasi positif menghasilkan respon kepuasan dan yang berlawanan terjadi ketika diskonfirmasi negatif. Konfirmasi sederhana menyiratkan respon yang lebih netral yang tidak positif atau negatif. Kepuasan pelanggan keseluruhan pada akhirnya berpengaruh negatif pada komplain pelanggan dan berpengaruh positif pada kesetiaan pelanggan. Apabila dikaitkan dengan kepuasan masyarakat, maka kepuasan pelanggan dapat dianalogikan sebagai kepuasan masyarakat yang membutuhkan pelayanan instansi. Indikator yang dipergunakan untuk mengetahui kepuasan masyarakat antara lain:

a. Tanggapan masyarakat yang meliputi tingkat kinerja dan tingkat harapan dari kualitas pelayanan pemerintahan

b. Tanggapan masyarakat yang meliputi tingkat kinerja dan tingkat harapan dari semangat kerja aparat pemerintahan

Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, telah disusun indeks kepuasan masyarakat sebagai tolok ukur untuk menilai tingkat kualitas pelayanan yang termuat dalam Keputusan Menpan Nomor


(29)

KEP/25/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah. Menurut Kepmen PAN No. 25 tahun 2004, ada beberapa dimensi yang menjelaskan kinerja pegawai pelayanan publik. Dari peraturan tersebut, ada 14 hal yang berkaitan dengan kepuasan masyarakat dari pelayanan yang dilakukan oleh pegawai/petugas pelayanan, yaitu:

1. Prosedur pelayanan; yaitu kemudahan tahapan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dilihat dari sisi kesederhanaan alur pelayanan

2. Prasyarat pelayanan; yaitu persyaratan teknis dan administratif yang diperlukan untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan jenis pelayanan

3. Kejelasan petugas pelayanan; yaitu keberadaan dan kepastian petugas yang memberikan pelayanan (nama, jabatan serta kewenangan dan tanggungjawabnya)

4. Kedisiplinan petugas pelayanan; yaitu kesungguhan petugas dalam memberikan pelayanan terutama terhadap konsistensi waktu kerja sesuai ketentuan yang berlaku

5. Tanggung jawab petugas pelayanan; yaitu kejelasan wewenang dan tanggung jawab petugas dalam penyelenggaraan dan penyelesaian pelayanan

6. Kemampuan petugas pelayanan; yaitu tingkat keahlian dan keterampilan yang dimiliki petugas dalam memberikan/menyelesaiakan pelayanan kepada masyarakat

7. Kecepatan pelayanan; yaitu target waktu pelayanan dapat diselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan oleh unit penyelenggara pelayanan

8. Keadilan mendapatkan pelayanan; yaitu pelaksanaan pelayanan dengan tidak membedakan golongan/status masyarakat yang dilayani

9. Kesopanan dan keramahan petugas; yaitu sikap dan perilaku petugas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sexcara sopan dan ramah serta saling menghargai dan menghormati

10.Kewajaran biaya pelayanan; yaitu keterjangkauan masyarakat terhadap besarnya biaya yang ditetapkan oleh unit pelayanan

11.Kepastian biaya pelayanan, yaitu kesesuaian antara biaya yang dibayarkan dengan biaya yang telah ditetapkan

12.Kepastian jadwal pelayanan, yaitu pelaksanaan waktu pelayanan, sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan

13.Kenyamanan lingkungan, yaitu kondisi sarana dan prasarana pelayanan yang bersih, rapi, dan teratur sehingga dapat memberikan rasa nyaman kepada penerima pelayanan

14.Keamanan pelayanan, yaitu terjaminnya tingkat keamanan lingkungan unit penyelenggara pelayanan ataupun sarana yang digunakan, sehingga masyarakat merasa tenang untuk mendapatkan pelayanan tarhadap resiko-resiko yang diakibatkan dari pelaksanaan pelayanan.


(30)

Kerangka Pemikiran

Hakekat implementasi otonomi daerah adalah upaya untuk mensejahterakan masyarakat melalui pemberdayaan potensi daerah secara optimal. Makna otonomi daerah adalah daerah memiliki hak, wewenang dan kewajiban untuk mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan otonomi daerah berarti telah memindahkan sebagian besar ke-wenangan yang tadinya berada di pemerintah pusat diserahkan kepada daerah otonom, sehingga pemerintah daerah otonom dapat lebih cepat dalam merespon tuntutan masyarakat daerah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Karena kewenangan membuat kebijakan sepenuhnya menjadi wewenang daerah otonom, maka dengan otonomi daerah pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan akan dapat berjalan lebih cepat dan lebih berkualitas.

Implementasi otonomi daerah dapat dilihat dari berbagai segi yaitu pertama, dilihat dari segi wilayah (teritorial) harus berorientasi pada pemberdayaan dan penggalian potensi daerah. Kedua dari segi struktur tata pemerintahan berorientasi pada pemberdayaan pemerintah daerah dalam mengelola sumber-sumber daya yang dimilikinya secara bertanggung jawab dan memegang prinsip-prinsip kesatuan negara dan bangsa. Ketiga dari segi kemasyarakatan berorientasi pada pemberdayaan dan pelibatan masyarakat dalam pembangunan di berbagai daerah sesuai dengan kemampuan masing-masing daerah. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa implementasi otonomi daerah dapat dilihat dari sisi pembangunan, tata pemerintahan (good governance) dan pelayanan publik.

Penyelenggaraan otonomi daerah dalam hal pembangunan desa, tata pemerintahan (good governance) dan khususnya dalam hal pemberian pelayanan publik oleh aparatur pemerintah desa kepada masyarakat sebenarnya merupakan implikasi dari fungsi aparat desa sebagai pelayan masyarakat. Karena itu, kedudukan aparatur pemerintah desa dalam pelayanan umum (public services) sangat strategis karena akan sangat menentukan sejauh mana pemerintah desa mampu memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi masyarakat, dengan demikian akan menentukan sejauh mana desa telah menjalankan perannya dengan baik sesuai dengan tujuan pendiriannya.

Menyimak hal tersebut, kiranya perlu pengenalan dan kajian lebih jauh untuk mengatasi persoalan yang dapat menghambat penyelenggaraan otonomi dan desentralisasi di desa. Pengenalan permasalahan ini salah satunya dapat dilakukan dengan melihat sikap dan persepsi masyarakat mengenai implementasi otonomi daerah di desa ini dan melihat tingkat kepuasan masyarakat terhadap implementasi otonomi daerah. Sikap dan persepsi atau tanggapan yang baik dari masyarakat merupakan kunci keberhasilan bagi suatu organisasi dalam memberdayakan masyarakat terutama masyarakat miskin dan kaum marginal untuk mendapatkan penghidupan yang layak dan bermartabat. Persepsi ini diukur melalui sikap masyarakat terhadap pernyataan-pernyataan mengenai implementasi otonomi daerah di desa tersebut.

Berangkat dari persoalan mempertanyakan kepuasan masyarakat terhadap apa yang diberikan oleh aparat desa dalam implementasi otonomi daerah adalah pemerintah itu sendiri dengan apa yang mereka inginkan, maksudnya yaitu sejauh mana masyarakat berharap apa yang akhirnya diterima mereka. Selanjutnya dipertanyakan apakah terhadap kehendak masyarakat, seperti pembangunan yang


(31)

berorientasi pada pemberdayaan dan partisipasi masyarakat, tata pemerintahan yang baik, yang memiliki prinsip transparansi, akuntabilitas dan responsibilitas, serta ketentuan biaya yang tepat, waktu yang diperhitungkan dan mutu yang dituntut masyarakat dalam penyelenggaraan publik telah dapat terpenuhi. Apabila tidak terpenuhi, pemerintah desa diharapkan dapat mengoreksi keadaan. Uraian di atas mengungkapkan keterkaitan berbagai variabel dalam kajian terhadap hubungan antara sikap terhadap implementasi otonomi daerah dengan tingkat kepuasan masyarakat. Keterkaitan variabel tersebut dapat digambarkan secara detail sebagai berikut.

Keterangan:

Berhubungan

Gambar 2 Kerangka pemikiran Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran, dapat disusun hipotesis yaitu sikap terhadap implementasi otonomi daerah berhubungan nyata dengan tingkat kepuasan masyarakat.

Definisi Operasional

1. Sikap masyarakat terhadap implementasi otonomi daerah merupakan kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir dan merasa dalam menghadapi

Kualitas Pemerintahan Desa

a. Pembangunan Desa b. Tata Kelola

Pemerintahan (good governance) c. Pelayanan Publik

Otonomi Daerah

Sikap Masyarakat

Tingkat Kepuasan Masyarakat


(32)

objek, ide, situasi dan nilai. Sikap seseorang terhadap suatu obyek atau subyek dapat positif atau negatif. Manifestasi sikap terlihat dari tanggapan seseorang apakah ia menerima atau menolak, setuju atau tidak setuju terhadap obyek atau subjek. Penelitian ini berfokus pada komponen sikap afektif yaitu aspek yang menyangkut masalah emosional subyektif atau perasaan masyarakat Desa Ciaruteun Ilir terhadap objek pernyataan mengenai implementasi otonomi daerah dalam hal pembangunan desa, tata kelola pemerintahan dan pelayanan publik. Sikap masyarakat ini berisi evaluasi positif atau negatif yang dimiliki masyarakat Desa Ciaruteun Ilir mengenai implementasi otonomi daerah tersebut.

a. Pembangunan desa merupakan proses perubahan yang direncanakan untuk memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat di desa. Pembangunan desa ini berorientasi pada pemberdayaan masyarakat dan partisipasi masyarakat. Pembangunan desa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pembangunan jalan, pembangunan sanitasi, pembangunan sarana kesehatan dan pendidikan.

b. Tata kelola pemerintahan (good governance) merupakan hubungan yang sinergis dan konstruktif diantara negara, sektor swasta dan masyarakat, dalam prinsip-prinsip; partisipasi, supremasi hukum, transparansi, cepat tanggap, membangun konsesus, kesetaraan, efektif dan efisien, bertanggung jawab serta visi stratejik. Good governance dimaknai sebagai praktek penerapan kewenangan, penerapan pengelolaan berbagai urusan penyelenggaraan negara secara politik, ekonomi dan administratif di semua tingkatan. Pengukuran variabel good governance dilakukan dengan indikator partisipasi masyarakat, transparansi dan akuntabilitas.

c. Pelayanan publik merupakan pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Berdasarkan dimensi pemberi pelayanan perlu diperhatikan tingkat pencapaian kinerja yang meliputi layanan yang adil (dimensi ruang dan kelas sosial), kesiapan petugas dan mekanisme kerja (readiness), harga terjangkau (affordable price), prosedur sederhana, dan dapat dipastikan waktu penyelesaiannya. Pelayanan publik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pelayanan publik dalam hal pembuatan KTP, pembuatan akta kelahiran dan pembuatan kartu keluarga

Variabel sikap terhadap implementasi otonomi daerah ini diukur dengan menggunakan skala ordinal dengan skala likert yaitu skala yang biasa digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang mengenai suatu gejala atau fenomena. Pengukuran variabel ini meliputi “Sangat setuju” (5), “Setuju” (4), “Netral” (3), “Tidak setuju” (2), dan “Sangat tidak setuju” (1). Variabel ini akan dibagi menjadi tiga kelas yaitu sikap negatif, sikap netral, dan sikap positif. Dalam menentukan kelas tersebut, interval kelas dapat diperoleh melalui rumus:

Interval Kelas = Skor Maksimum – Skor Minimum


(33)

Skor terendah yang diperoleh pada pernyataan mengenai sikap terhadap implementasi otonomi daerah adalah 1 dan skor maksimum adalah 5. Interval kelas yang diperoleh adalah:

5 – 1

Interval Kelas = = 1.33 3

Rentang kelas yang diperoleh yaitu sebesar 1.33, maka diperoleh kategori dengan akumulasi rataan skor sebagai berikut:

1. Negatif = 1 - 2.33 2. Netral = 2.34 - 3.67 3. Positif = 3.68 – 5

2. Kepuasan masyarakat adalah hasil pendapat dan penilaian masyarakat terhadap kinerja pelaksanaan kebijakan yang diberikan oleh aparatur penyelenggara kebijakan otonomi daerah. Indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat kepuasan ini, yaitu:

a. Prosedur pelayanan yaitu kemudahan tahapan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dilihat dari sisi kesederhanaan alur pelayanan sudah sesuai dengan harapan masyarakat.

b. Prasyarat pelayanan; yaitu persyaratan teknis dan administratif yang diperlukan untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan jenis pelayanan c. Tanggung jawab petugas pelayanan, yaitu kejelasan wewenang dan

tanggung jawab petugas dalam penyelenggaraan dan penyelesaian pelayanan

d. Kemampuan petugas pelayanan, yaitu tingkat keahlian dan keterampilan yang dimiliki petugas dalam memberikan/menyelesaiakan pelayanan kepada masyarakat sudah sesuai

e. Kecepatan pelayanan, yaitu terget waktu pelayanan dapat diselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan oleh unit penyelenggara pelayanan f. Keadilan mendapatkan pelayanan, yaitu pelaksanaan pelayanan dengan

tidak membedakan golonga/status masyarakat yang dilayani sudah sesuai g. Kesopanan dan keramahan petugas, yaitu sikap dan perilaku

petugas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat secara sopan dan ramah serta saling menghargai dan menghormati

h. Kewajaran biaya pelayanan, yaitu keterjangkauan masyarakat terhadap besarnya biaya yang ditetapkan oleh unit pelayanan

i. Kepastian biaya pelayanan, yaitu kesesuaian antara biaya yang dibayarkan dengan biaya yang telah ditetapkan

j. Kepastian jadwal pelayanan, yaitu pelaksanaan waktu pelayanan, sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan

k. Kenyamanan lingkungan, yaitu kondisi sarana dan prasarana pelayanan yang bersih, rapi, dan teratur sehingga dapat memberikan rasa nyaman kepada penerima pelayanan

l. Keamanan pelayanan, yaitu terjaminnya tingkat keamanan lingkungan unit penyelenggara pelayanan ataupun sarana yang digunakan, sehingga masyarakat merasa tenang untuk mendapatkan pelayanan tarhadap resiko-resiko yang diakibatkan dari pelaksanaan pelayanan.


(34)

m. Transparansi alokasi dana, keterbukaan mengenai aliran penggunaan dana kepada masyarakat

n. Responsivitas Pemerintah Desa yaitu, cepat tanggapnya respon Pemerintah Desa dalam menangani permasalahan yang ada

o. Pembangunan desa yaitu, perubahan yang mencakup seluruh sistem sosial, seperti politik, ekonomi, infrastruktur, pertahanan, pendidikan dan teknologi, kelembagaan, dan budaya.

Pengukuran variabel ini meliputi “Sangat puas” (5), “Puas” (4), “Netral” (3), “Tidak puas” (2), dan “Sangat tidak puas” (1). Variabel ini akan dibagi menjadi tiga kelas yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Dalam menentukan kelas tersebut, interval kelas dapat diperoleh melalui rumus:

Interval Kelas = Skor Maksimum – Skor Minimum ∑ kategori

Skor terendah yang diperoleh pada pernyataan mengenai kepuasan masyarakat terhadap implementasi otonomi daerah adalah 1 dan skor maksimum adalah 5. Interval kelas yang diperoleh adalah:

5 – 1

Interval Kelas = = 1.33 3

Rentang kelas yang diperoleh yaitu sebesar 1.33, maka diperoleh kategori dengan akumulasi rataan skor sebagai berikut:

4. Rendah = 1 - 2.33 5. Sedang = 2.34 - 3.66 6. Tinggi = 3.67 – 5


(35)

PENDEKATAN LAPANG

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kombinasi metode kuantitatif dan kualitatif. Kombinasi ini dilakukan untuk memperkaya data dan lebih memahami fenomena sosial yang diteliti. Pendekatan kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi kasus yang bersifat deskriptif, untuk mengetahui gambaran lokasi penelitian dan gambaran umum responden. Data kualitatif diperoleh melalui wawancara mendalam dan pengamatan langsung di lokasi penelitian untuk menggali pemahaman responden secara subjektif.

Pendekatan kuantitatif yang digunakan adalah penelitian survei yaitu penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok. Penelitian kuantitatif ini bersifat

explanatory research yang menjelaskan hubungan kausal antara variabel-variabel melalui pengujian hipotesa (Singarimbun dan Effendi 1989). Pendekatan kuantitatif ini digunakan untuk melihat hubungan antara sikap terhadap implementasi otonomi daerah dengan tingkat kepuasan masyarakat di lokasi penelitian. Data kuantitatif diperoleh dari pengumpulan data melalui kuesioner dengan cara menanyakan langsung isi kuesioner kepada responden dalam wawancara tatap muka. Teknik wawancara yang dilakukan peneliti saat pengisian data kuesioner, agar responden tidak kebingungan saat pengisian dan peneliti juga dapat sekaligus melakukan wawancara mendalam terkait hal-hal yang diperlukan yang berada diluar kuesioner.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Lokasi tersebut dipilih untuk mengetahui sikap terhadap implementasi otonomi daerah dan kepuasan di desa tersebut. Penentuan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa desa tersebut merupakan desa yang sudah otonom, lokasi Desa Ciaruteun Ilir yang jauh dari pusat kota dan rendahnya kualitas infrastruktur sehingga relevan untuk melihat bagaimana persepsi terhadap implementasi otonomi daerah dan kepuasan di desa tersebut.

Penelitian ini dilakukan di dua RW, yaitu RW 03 dan RW 05. Lokasi tersebut dipilih secara purposive dengan pertimbangan letak RW 03 yang paling dekat dengan balai desa dan letak RW 05 yang paling jauh dari balai desa sehingga diharapkan karakteristik individunya tersebar secara merata dan memiliki sikap yang berbeda-beda mengenai implementasi otonomi daerah di desa tersebut, karena populasi di kedua RW tersebut sangat besar yaitu 2.461 orang dan tidak memungkinkan untuk membuat kerangka sampling, maka dipilih dengan metode multistage random sampling empat RT yang menjadi fokus utama penelitian yaitu RT 01/03, RT 03/03, RT 02/05 dan RT 03/05.

Penelitian dilaksanakan dalam waktu tujuh bulan. Kegiatan penelitian meliputi penyusunan proposal skripsi, kolokium, perbaikan proposal,


(36)

pengambilan data lapangan, pengolahan dan analisis data, penulisan draft skripsi, uji petik, sidang skripsi, dan perbaikan skripsi.

Pengumpulan Data Teknik Pengambilan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh warga Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor yaitu pada rentang usia 17-60 tahun yang berjumlah 4.817 orang, dengan alasan pada umur tersebut responden mampu menggambarkan hal yang sebenarnya mengenai implementasi otonomi daerah yang diselenggarakan Pemerintah Desa berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya. Teknik pengambilan sampel dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:

(1) Dipilih dua buah RW secara purposive yaitu RW 03 dan RW 05

(2) Karena populasi individu yang berada pada kategori usia 17-60 tahun sangat besar dan tidak memungkinkan untuk dibuat kerangka sampling, maka dipilih 4 RT dari kedua RW tersebut dengan metode multistage random sampling. (3) Individu yang berada pada kategori usia 17-60 tahun yang berada di 4 RT ini

berjumlah 186 orang dijadikan sampling frame

(4) Dari sampling frame yang berjumlah 186 orang tersebut, akan dipilih 60 responden di Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor dengan menggunakan teknik simple random sampling (sampel acak sederhana). Pemilihan jumlah responden ini didasarkan pada 2n jumlah minimum responden dalam penelitian sosial yaitu 30 menjadi 2(30)= 60 responden.

Metode simple random sampling (sampel acak sederhana) adalah sebuah sampel yang diambil sedemikian rupa sehingga setiap unit penelitian atau satuan elementer dari populasi mempunyai kesempatan atau peluang yang sama untuk dipilih sebagai sampel (Singarimbun dan Effendi, 2006). Terpilihnya tetap satuan elementer ke dalam sampel harus benar-benar berdasarkan faktor kebetulan (chance), bebas dari subyektivitas peneliti atau orang lain. Metode pengambilan sampel acak sederhana ini dilakukan menggunakan undian.

Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang secara langsung diambil dari sumber asli atau obyek penelitian oleh peneliti perorangan maupun organisasi. Data primer kuantitatif diperoleh dari wawancara terstruktur kepada responden dengan menggunakan instrumen berupa kuesioner yang terdiri dari pertanyaan tertutup, yaitu pertanyaan yang sudah disertai alternatif jawabannya. Selain itu, pengumpulan data penelitian ini juga dilakukan melalui wawancara mendalam dengan Pemerintahan Desa untuk mengkaji implementasi otonomi daerah yang dilaksanakan oleh pemerintahan desa.

Data sekunder adalah data yang tidak dikumpulkan langsung dari sumbernya melainkan menggunakan data yang sudah dikumpulkan pihak lain. Data sekunder dikumpulkan melalui Studi Pustaka dan kajian dokumen terhadap sumber-sumber sekunder di Pemerintahan Desa, data monografi dan dokumen kependudukan yang dimiliki oleh kantor desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Badan Pusat Statistika (BPS) Kabupaten Bogor, serta berbagai


(37)

literatur yang relevan dengan penelitian ini, yakni buku, disertasi, tesis, skripsi, jurnal penelitian dan situs internet.

Instrumen

Instrumen yang digunakan dalam penelitian berupa kuesioner yang berisi pertanyaan terstruktur. Kuesioner berisi tentang pertanyaan yang ditujukan kepada masyarakat desa untuk menganalisis hubungan antara sikap terhadap implementasi otonomi daerah dengan tingkat kepuasan masyarakat di Desa Ciaruteun Ilir. Kuesioner yang menjadi acuan dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama berisikan pertanyaan-pertanyaan mengenai karakteristik individu responden. Bagian kedua berisikan pernyataan mengenai sikap terhadap implementasi otonomi daerah yang mencakup pembangunan desa, tata pemerintahan dan pelayanan publik. Bagian ketiga berisikan pernyataan mengenai kepuasan masyarakat terhadap implementasi otonomi daerah.

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data dilakukan melalui beberapa langkah, yaitu pertama, melakukan pengkodean pada berbagai jenis pertanyaan, baik tertutup maupun terbuka, kemudian memasukkan data ke buku kode atau lembaran data (code sheet). Kedua, membuat tabel frekuensi. Ketiga, mengedit yakni mengoreksi kesalahan-kesalahan yang ditemui setelah membaca tabel frekuensi, baik pada saat mengisi kuesioner, mengkode, maupun memindahkan data dari lembaran kode ke komputer (Singarimbun & Effendi 2006).

Data hasil kuesioner terhadap responden kemudian diolah secara statistik deskriptif dengan menggunakan software Statistic Program for Social Sience (SPSS) for Windows versi 16.0 dan Microsoft Excel 2007. Statistik deskriptif merupakan statistik yang menggambarkan sekumpulan data secara visual baik dalam bentuk gambar maupun tulisan, yang digunakan untuk menggambarkan data berupa tabel frekuensi.

Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif, untuk menggambarkan karakteristik individu. Data kuantitatif yang diperoleh dari kuesioner dimasukkan dalam tabel frekuensi, diuji, kemudian dianalisis secara statistik deskriptif yang meliputi tabel frekuensi, grafik, ukuran pemusatan, dan ukuran penyebaran. Hasil analisis diinterpretasikan untuk memperoleh suatu kesimpulan.

Pengujian variabel diuji dengan menggunakan uji korelasi Rank Spearman

untuk melihat hubungan yang nyata antar variabel dengan data berbentuk ordinal. Uji korelasi Rank Spearman digunakan untuk menentukan hubungan antara kedua variabel (variabel independen dan variabel dependen) yang ada pada penelitian ini, yaitu menguji hubungan antara sikap terhadap implementasi otonomi daerah dengan tingkat kepuasan masyarakat. Korelasi dapat menghasilkan angka positif (+) dan negatif (-). Korelasi positif menunjukkan hubungan yang searah antara dua variabel yang diuji, yang berarti semakin besar variabel bebas (variabel independen) maka semakin besar pula variabel terikat (variabel dependen). Sementara itu, korelasi negatif menunjukkan hubungan yang tidak searah, yang berarti jika variabel bebas besar maka variabel terikat menjadi kecil.


(38)

Dimana:

ρ atau rs : koefisien korelasi spearman rank

di : determinan

n : jumlah data atau sampel

Klasifikasi keeratan hubungan dijelaskan oleh Guilford (dalam Rakhmat, 1997) sebagai berikut:

0-0.199 hubungan sangat lemah/sangat rendah 0.200 – 0.399 hubungan lemah/rendah

0.400 – 0.599 hubungan yang sedang/cukup berarti 0.600 – 0.799 hubungan yang kuat

0.800 - 1.000 hubungan sangat tinggi/sangat kuat, dapat diandalkan

Tingkat kesalahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebesar 5 persen atau pada taraf nyata α 0.05, yang berarti memiliki tingkat kepercayaan 95 persen. Nilai probabilitas (P) yang diperoleh dari hasil pengujian dibandingkan dengan taraf nyata untuk menentukan apakah hubungan antara variabel nyata atau tidak. Bila nilai P lebih kecil dari taraf nyata α 0.05 maka hipotesis diterima, terdapat hubungan nyata, dan nilai koefisien korelasi γs digunakan untuk melihat keeratan hubungan antara dua variabel. Sebaliknya bila nilai P lebih besar dari taraf nyata α 0.05 maka hipotesis tidak diterima, yang berarti tidak terdapat hubungan nyata dan nilai koefisien korelasi γs diabaikan.


(1)

Lampiran 6 Hasil Wawancara Mendalam

1. Informan : Pemerintahan Desa Hari / Tanggal : 22 November 2012 Lokasi Wawancara : Rumah

Nama : Rukmanta Jenis Kelamin : L

Usia : 47 Tahun

Pekerjaan : PNS

Jabatan : Sekretaris Desa Pendidikan Formal Terakhir : SMA

Hasil Wawancara :

Pembangunan di Desa Ciaruteun Ilir menjadi lebih baik setelah adanya otonomi daerah, desa memiliki hubungan kerja sama yang baik dengan kabupaten dan desa-desa yang lain. Program pembangunan yang dilaksanakan atas kerja sama desa dengan kabupaten adalah program pembangunan jalan desa dan program pembangunan sanitasi dan MCK. Program selanjutnya dalam waktu dekat ini adalah program RTLH (Rumah Tidak Layak Huni) dimana akan membangun rumah-rumah yang tidak layak huni seperti yang berbilik bambu dan berlantai tanah menjadi rumah yang lebih layak. Partisipasi masyarakat di desa ini sudah baik, Pemerintah Desa selalu melibatkan masyarakat desa dalam setiap kegiatan yang akan dilaksanakan misalnya pada saat pembuatan MCK dan pembangunan desa, aparat desa akan menginformasikannya kepada ketua lingkungan setempat seperti RW dan RT yang selanjutnya akan diinfokan kepada masyarakat sekitar, selain itu juga desa memiliki kotak saran untuk menampung keluhan dari masyarakat.

Transparansi di desa ini juga sudah baik, desa selalu mengeluarkan pamflet untuk menginformasikan kegiatan yang akan dilakukan di desa. Jika ada perubahan peraturan, aparat desa selalu menginformasikannya kepada masyarakat melalui BPD. Desa memiliki lembaga pengawas yang berasal dari kabupaten untuk mengawasi kinerja pemerintahan desa. Pemerintah Desa selalu berusaha untuk membuat laporan keuangan secara berkala setiap tahunnya yang nantinya akan dilaporkan ke kabupaten. Penyelenggaraan pelayanan publik di desa ini sudah baik, karena tidak ada masyarakat yang mengeluhkan mengenai pelayanan publik di desa ini tapi terkadang masyarakat agak sulit diajak kerja sama misalnya pada saat pembuatan e-KTP banyak masyarakat yang masih tidak hadir dalam pembuatan e-KTP tersebut padahal pemerintah desa sudah menginformasikannya dengan sangat jelas.

2. Informan : Pemerintahan Desa Hari / Tanggal : 22 November 2012 Lokasi Wawancara : Rumah

Nama : Samsudin Jenis Kelamin : L


(2)

Pekerjaan : PNS

Jabatan : Kepala Urusan Pembangunan Pendidikan Formal Terakhir : SMA

Hasil Wawancara :

Pembangunan desa di Desa Ciaruteun Ilir lebih baik setelah adanya otonomi daerah. Program pembangunan yang dilaksanakan setelah adanya otonomi daerah adalah pembangunan jalan dan MCK. Pembangunan jalan di desa ini masih belum berjalan sesuai rencana karena sudah 3 kali diperbaiki tetapi jalan di desa masih rusak. Pemerintah Desa sendiri sudah mengajukan untuk pengaspalan jalan ke Pemerintah Kabupaten sejak tahun 2009 tetapi sampai saat ini belum ada respon dari Pemerintah Kabupaten. Pemerintah Desa selalu melibatkan masyarakat desa dalam setiap kegiatan yang akan dilaksanakan misalnya pada saat pembuatan MCK, pembangunan desa, dan kegiatan-kegiatan lainnya. Transparansi

Pemerintah Desa selalu mengeluarkan pamflet untuk menginformasikan kegiatan yang akan dilakukan di desa. Semua kegiatan dan rencana kegiatan juga disosialisasikan kepada masyarakat melalui BPD. Desa memiliki lembaga pengawas yang berasal dari kabupaten untuk mengawasi kinerja pemerintahan desa. Pemerintah Desa selalu berusaha untuk membuat laporan keuangan secara berkala setiap tahunnya, desa membutuhkan sarana komputer yang lebih banyak selain itu juga perlu adanya pelatihan-pelatihan dari Pemerintah Kabupaten untuk menambah keterampilan aparat desa.

3. Informan : Masyarakat Desa Hari / Tanggal : 23 November 2012 Lokasi Wawancara : Rumah

Nama : Ucu Jenis Kelamin : L

Usia : 43 Tahun

Pekerjaan : Petani organik Jabatan : Ketua RW 03 Pendidikan Formal Terakhir : SMP

Hasil Wawancara :

Pembangunan di desa ini sudah bermanfaat bagi masyarakat dan memiliki peningkatan, tadinya di desa ini belum memiliki sanitasi yang baik dan MCK, sarana peribadatannya pun masih sedikit, tetapi sekarang sanitasi di desa ini sudah baik, MCK juga jumlahnya sudah banyak, sarana peribadatan seperti masjid dan musholla juga sudah banyak dan tersebar di tiap RW, namun masih kurang dalam sarana pendidikan dan kesehatan. Masyarakat lebih banyak dilibatkan dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan, aparat desa akan menginformasikan kegiatan desa melalui ketua RW dan nantinya ketua RW akan menginfokan ke RT dan masyarakat. Pelayanan yang diberikan petugas pelayanan di desa sudah cukup memuaskan masyarakat, keamanan pelayanan di desa ini juga sudah baik karena terdapat petugas keamanan yang mengawasi jalannya pelayanan di desa. Pendidikan masyarakat di desa ini umumnya hanya tamat SD dan tamat SMP, karena banyak yang berfikir bahwa lebih baik bekerja untuk membantu


(3)

meringankan beban orangtua dibandingkan harus melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, selain jauh juga membutuhkan biaya yang banyak.

4. Informan : Masyarakat Desa Hari / Tanggal : 27 November 2012 Lokasi Wawancara : Rumah

Nama : Dayat Jenis Kelamin : L

Usia : 55 Tahun

Pekerjaan : Petani Organik Jabatan : -

Pendidikan Formal Terakhir : SD

Pembangunan di desa ini sudah sudah bermanfaat bagi masyarakat, tapi sayangnya di desa ini pembangunan jalannya masih kurang baik, jalan desa kondisinya masih dalam keadaan rusak dan belum diperbaiki sampai saat ini. Pemerintah Desa masih kurang cepat tanggap dalam merespon permasalahan di desa, padahal sudah hampir 5 tahun jalan di desa ini dalam keadaan rusak. Transparansi aliran penggunaan dana masih belum diinformasikan secara terbuka kepada masyarakat, semenjak kepala desa diganti dengan orang luar desa, banyak sekali keluhan dari masyarakat terutama mengenai pelayanan publik di desa. Masyarakat banyak yang merasa tidak puas dengan pelayanan yang diberikan oleh pemerintahan desa, prosedur dan prasyarat pelayanannya menjadi berbelit-belit dan biaya yang dikeluarkan pun lebih mahal. Masyarakat banyak yang mengeluh soal ketepatan dan kecepatan waktu pelayanan, seharusnya KTP sudah jadi dalam waktu seminggu tapi sudah berbulan-bulan belum juga selesai.

5. Informan : Masyarakat Desa Hari / Tanggal : 28 November 2012 Lokasi Wawancara : Rumah

Nama : Anissa Jenis Kelamin : P

Usia : 33 Tahun

Pekerjaan : - Jabatan : - Pendidikan Formal Terakhir : SMP Hasil Wawancara :

Pelayanan yang diberikan Pemerintah Desa masih belum bisa memuaskan masyarakat terutama dalam pelayanan publik, banyak masyarakat di sini yang mengeluhkan mengenai petugas layanan yang lambat dalam melayani masyarakat khususnya dalam hal pembuatan KTP, akta kelahiran dan kartu keluarga, selain itu persyaratan dan prosedur yang dikeluarkan oleh petugas layanan sangat banyak dan berbelit-belit sehingga masyarakat menjadi malas untuk mengurusnya. Biaya yang dikeluarkan juga terlalu mahal. Pembangunan di desa ini juga belum tersebar merata di seluruh desa, banyak terjadi penumpukkan di salah satu RW. Kondisi jalan di desa juga masih perlu diperbaiki agar akses masyarakat ke pusat kota bisa lebih mudah. Pembangunan sarana pendidikan dan kesehatan di desa ini juga


(4)

masih butuh perhatian khusus karena di desa ini hanya memiliki sekolah dasar (SD) dan tidak memiliki SMP serta SMA. Desa ini juga belum memiliki puskesmas sehingga apabila ada warga yang sakit, harus menempuh jarak 5 km untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di desa tetangga.


(5)

Lampiran 7 Jadwal Penelitian

Kegiatan Mei

2012 Juni 2012

September 2012

Oktober 2012

November 2012

Desember 2012

Januari 2013

Penyusunan Proposal Skripsi Kolokium Perbaikan Proposal Pengambilan Data

Lapangan Pengolahan dan Analisis Data Penulisan Draft Skripsi Uji Petik Sidang Skripsi Perbaikan Laporan Penelitian


(6)