Kajian kinerja Surfaktan Mes (Metil Ester Sulfonat) dari Jarak Pagar (Jatropha Curcas L.) untuk enhanced waterflooding

(1)

AN EXPERIMENTAL STUDY OF MES (METHYL ESTER

SULFONATES) SURFACTANT FROM JATROPHA

(Jatropha curcas L.) FOR ENHANCED WATERFLOODING

1) 2)Riztiara Nurfitri, 1) 2)Erliza Hambali and 3)Dadang Rukmana 1)

Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia

email : diademawinchester@yahoo.com

2)

Surfactant and Bioenergy Research Centre, Bogor Agricultural University, IPB Baranang Siang Campus, Bogor, West Java, Indonesia

3)

BP MIGAS, Wisma Mulia Building, PO Box 12710, Gatot Subroto, South Jakarta, Indonesia

ABSTRACT

Year by year, the production of petroleum decreases but its demand increases. The world will get the energy crisis if that condition happens continously. The main cause of low production of petroleum in Indonesia is the majority Indonesia’s oil wells being mature field/brown field and the discovery of new oil field in small scale. Indonesia focuses on maximize oil recovery in brown field because its oil production decreases naturally up 15% in total production. In recent years, the field of enhanced oil recovery has grown became more popular due to a combination of stagnant oil production and low recoveries by conventional methods. Many fields use unconventional method like enhanced oil recovery (EOR) which is tertiary oil recovery phase. One way of EOR is chemical flooding which uses surfactant for injection. Surfactant is injected to water and it is known as enhanced waterflooding. Generally, surfactant of petroleum sulfonates is used for oil recovery. This surfactant has many weaknesses such as resistance to water hardness, susceptible detergency to high salinity and being imported with expensive price. Due to these weaknesses, therefore it trigger to get surfactant substitute like MES (methyl ester sulfonates) that is synthesized by biooil. One of biooil is Jatropha oil. The study was aimed to know experimental of surfactant formula for enhanced waterflooding in fluida sample of oil field and synthetic core sandstone. The result showed that injection of surfactant 0,2 PV gave the influence differently to oil recovery. The best condition was surfactant 0,2 PV with the soaking time of 12 hours. This formula gave the highest of incremental total oil recovery 61,07%. The number were resulted from 47,73% waterflooding and 13,34% surfactant injection. Surfactant formula gave the good performance of compatibility, thermal stability, phase behavior and filtration test.


(2)

I.

PENDAHULUAN

1.1.

LATAR BELAKANG

Minyak bumi merupakan sumber energi yang masih menjadi primadona dan belum tergantikan oleh bahan lain hingga saat ini. Permintaan dunia pada minyak bumi diperkirakan akan terus meningkat. Berdasarkan model OWEM (OPEC World Energy Model), permintaan minyak dunia pada periode jangka menengah (2002–2010) diperkirakan tumbuh rata-rata 1,8% per tahun. Sedangkan pada periode berikutnya (2010–2025), permintaan minyak mentah dunia masih akan meningkat dengan pertumbuhan rata-rata 1,7% per tahun. Permintaan minyak dunia hampir 75% dari kenaikan sebesar 38 juta bph selama periode 2002–2025 tersebut diserap oleh negara-negara berkembang seperti Indonesia. Sementara itu, produksi minyak bumi dunia terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun.

Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP MIGAS) menyatakan bahwa produksi minyak Indonesia terus menurun pada kurun waktu 1997–2006. Pencapaian produksi tertinggi (peak production) pertama tahun 1977 adalah sebesar 1,7 juta barrel per hari (million barrel oil per day / MBOPD) adalah puncak produksi minyak dari Lapangan-Lapangan dengan tenaga alamiah (primary). Peak production kedua tahun 1995 sebesar 1,6 MBOPD terjadi hasil kegiatan dari injeksi air (waterflood) di sebagian besar Lapangan-Lapangan Chevron dan berhasilnya injeksi steam (steam flood), setelah puncak produksi kedua, produksi minyak Nasional terus mengalami penurunan dengan rata-rata penurunan produksi sekitar 6% dan dapat stabil di tahun 2007. Tahun 2007 produksi minyak Indonesia total rata-rata 954.000 BOPD (barel per hari / bph) dan pada Agustus dan September 2007 angka produksi merambah naik sedikit demi sedikit serta puncaknya pada Januari 2008, produksi minyak menembus satu juta BOPD lalu sempat turun tetapi naik kembali (BP MIGAS, 2009). Jika permintaan minyak bumi Indonesia terus meningkat sedangkan produksi minyak bumi dunia terus menurun maka dunia akan mengalami krisis energi. Krisis energi memacu kenaikan harga minyak bumi. Minyak bumi terus mengalami kenaikan harga dari USD 85 per barel menjadi 100 USD per barel pada pertengahan Juni 2011.

Perusahaan petroleum terus berusaha memproduksi minyak bumi secara optimal hingga saat ini guna memenuhi permintaan dunia terhadap minyak dunia. Usaha yang dilakukan oleh perusahaan petroleum untuk meningkatkan produksi minyak bumi dapat berupa eksplorasi ladang minyak baru dan recovery secara optimal pada ladang minyak tua (mature field atau brown field). Faktor utama penyebab penurunan produksi minyak bumi di Indonesia adalah sumur-sumur minyak di Indonesia merupakan ladang minyak tua dan belum ditemukannya ladang minyak baru yang memiliki cadangan minyak dalam jumlah besar. Produksi minyak dari brown field Indonesia mengalami penurunan sebesar 15 persen per tahun sehingga perlu dilakukan pengoptimalan recovery minyak pada brown field. Menurut Willhite, et. al. (1998), banyak cara yang dapat dilakukan dalam meningkatkan

recovery minyak seperti injeksi air ditambahkan dengan bahan kimia guna meningkatkan energi dorong pada reservoir melalui pendesakan minyak diantara batuan sehingga membentuk kondisi yang baik untuk memaksimumkan recovery minyak dimana proses tersebut dikenal dengan proses

Enhanced Oil Recovery (EOR).

Berdasarkan data Dirjen Migas (2010), status tahun 2010 volume minyak di tempat (OOIP /

original oil in place) Indonesia mencapai 64.211 BSTB dimana 31,80% berhasil diproduksikan secara kumulatif dan diperkirakan remaining reserves hanya sebesar 5,72%, sedangkan sisanya sebesar 62,48% merupakan minyak sisa di tempat (residual oil) yang merupakan target EOR. Metode EOR


(3)

sebesar 30–60% sedangkan tahap konvensional (fase primer dan fase sekunder) hanya mampu memproduksi minyak sebesar 20–40%. Indonesia telah menerapkan fase sekunder berupa teknologi injeksi air (waterflooding). Teknologi tersebut menghasilkan kinerja produksi yang buruk karena memiliki water cut yang tinggi sebesar 95–99%. Untuk memperbaiki kinerja produksi minyak bumi maka dilakukan tahap lanjut (fase tersier) berupa EOR. Salah satu metode EOR yang dilakukan adalah

chemical flooding. Chemical flooding dapat dilakukan dengan menggunakan surfaktan.

Surfaktan dilarutkan dalam air kemudian diinjeksikan melalui sumur injeksi dimana metode ini dikenal dengan enhanced waterflooding. Saturasi air memperangkap minyak karena gaya kapilaritas yang menyebabkan air menutup pori-pori minyak dan membatasi pergerakan minyak. Sedangkan surfaktan menurunkan gaya kapilaritas secara efektif melalui penurunan tegangan antarmuka dan perubahan kebasahan. Melalui penurunan tegangan antarmuka, surfaktan mampu membentuk emulsi dengan minyak dan melepaskan minyak dari batuan sehingga residu minyak yang tertinggal dapat didesak dan diproduksi.

Surfaktan yang umum digunakan adalah petroleum sulfonat yang merupakan turunan dari minyak bumi. Penggunaan surfaktan ini memiliki beberapa kelemahan yaitu memiliki ketahanan yang buruk terhadap kondisi sadah dan sifat deterjensinya menurun dengan sangat tajam pada tingkat salinitas yang tinggi, butuh biaya yang tinggi serta masih harus diimpor. Harga minyak bumi yang terus meningkat menyebabkan harga petroleum sulfonat juga meningkat. Akan tetapi, petroleum sulfonat juga memiliki beberapa kelebihan diantaranya memiliki kinerja maksimal dalam menurunkan tegangan antarmuka bahkan dilaporkan dapat mencapai 0,1 µN/m atau 10-4 dyne/cm (Salager, 2002). Kelemahan yang dimiliki surfaktan petroleum sulfonat memicu pencarian alternatif surfaktan pengganti. Salah satu alternatif surfaktan pengganti adalah surfaktan MES.

Surfaktan MES merupakan surfaktan anionik dimana bagian aktif pada permukaannya mengandung muatan negatif. Surfaktan MES adalah surfaktan yang diperoleh dari hasil sintesa minyak nabati. Menurut Matheson (1996), surfaktan MES memiliki beberapa kelebihan seperti memiliki sifat dispersi yang baik, sifat deterjensi yang baik walaupun berada pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi (hard water) dan tidak adanya fosfat, daya deterjensi sama dengan petroleum sulfonat pada konsentrasi MES yang lebih rendah, dapat mempertahankan aktivitas enzim yang lebih baik serta toleransi yang lebih baik terhadap keberadaan kalsium dan kandungan garam (disalt). Berdasarkan kelebihan tersebut, pengembangan dan produksi surfaktan MES semakin banyak dilakukan.

Di Indonesia, pengembangan dan produksi surfaktan MES sangat prospektif untuk dilakukan karena Indonesia beriklim tropis, sehingga berbagai tanaman penghasil minyak seperti kelapa sawit, kelapa dan jarak pagar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Salah satu komoditas alternatif yang prospektif sebagai bahan baku surfaktan MES adalah jarak pagar (Jatropha curcas L.). Jarak pagar memiliki kadar minyak yang tinggi. Swern (1979) menyatakan bahwa kandungan minyak dalam jarak pagar sebesar 54%. Daerah penyebaran jarak pagar sangat luas yakni meliputi Lampung, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan Tengah (Departemen Pertanian Indonesia, 2008). Selain itu, jarak pagar menghasilkan minyak yang merupakan minyak non-pangan sehingga minyak jarak pagar tidak akan bersinggungan dengan kebutuhan minyak pangan seperti minyak sawit dan minyak kelapa. Pemanfaatan surfaktan MES dari jarak pagar untuk enhanced waterflooding perlu dikaji lebih lanjut. Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja formula surfaktan MES dari jarak pagar untuk enhanced waterflooding.


(4)

1.2.

TUJUAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja formula surfaktan MES dari jarak pagar untuk enhanced waterflooding pada contoh fluida dari lapangan minyak dan contoh core sandstone

sintetik.

1.3.

RUANG LINGKUP

Ruang lingkup dari penelitian ini meliputi 1. Pembuatan coresandstone sintetik

2. Formulasi larutan surfaktan MES dari jarak pagar

3. Uji kinerja formula larutan surfaktan MES dari jarak pagar meliputi uji IFT (interfacial tension), uji compatibility, pengukuran densitas, pengukuran viskositas, pengukuran pH, uji phase behavior, uji thermal stability dan uji filtrasi.

4. Aplikasi formula larutan surfaktan MES dari jarak pagar untuk enhanced waterflooding berupa


(5)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

SURFAKTAN MES DARI JARAK PAGAR

Surfaktan (surface active agent) merupakan bahan kimia yang berpengaruh pada aktivitas permukaan. Surfaktan memiliki kemampuan untuk larut dalam air dan minyak. Molekul surfaktan terdiri dari dua bagian yaitu gugus yang larut dalam minyak (hidrofob) dan gugus yang larut dalam air (hidrofil). Surfaktan yang memiliki kecenderungan untuk larut dalam minyak dikelompokkan dalam surfaktan oil soluble sedangkan yang memiliki kecenderungan untuk larut dalam air dikelompokkan dalam surfaktan water soluble (Allen dan Robert, 1993). Kehadiran gugus hidrofobik dan hidrofilik yang berada pada satu molekul akan menyebabkan surfaktan berada pada antarmuka antara fasa yanag berbeda derajat polaritas dan ikatan hidrogen seperti minyak dan air (Geourgiou et. al., 1992).

Menurut Hui (1996) dan Hasenhuettl (1997), peranan surfaktan yang berbeda dan beragam disebabkan oleh struktur molekul surfaktan yang tidak seimbang. Molekul surfaktan dapat divisualisasikan seperti berudu atau bola raket mini yang terdiri atas bagian kepala dan ekor. Bagian kepala bersifat hidrofilik (suka air) merupakan bagian yang sangat polar sedangkan bagian ekor bersifat hidrofobik (tidak suka air / suka minyak) merupakan bagian nonpolar. Kepala dapat berupa anion, kation atau nonion sedangkan ekor dapat berupa rantai linier atau cabang hidrokarbon. Struktur molekul surfaktan dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Molekul surfaktan (Gevarsio, 1996)

Surfaktan berdasarkan gugus hidrofilnya dibagi menjadi empat kelompok penting yaitu surfaktan anionik, surfaktan kationik, surfaktan nonionik dan surfaktan amfoterik (Rosen, 2004). Menurut Matheson (1996), surfaktan anionik adalah molekul yang bermuatan negatif pada bagian hidrofilik atau aktif permukaan (surface-active). Sifat hidrofilik disebabkan oleh keberadaan gugus ionik yang sangat besar seperti gugus sulfat atau sulfonat. Surfaktan kationik adalah senyawa yang bermuatan positif pada gugus hidrofilnya atau bagian aktif permukaan (surface-active). Sifat hidrofilik umumnya disebabkan oleh keberadaan garam amonium seperti quaternary ammonium salt (QUAT). Surfaktan non ionik adalah surfaktan yang tidak bermuatan atau tidak terjadi ionisasi molekul. Sifat hidrofilik disebabkan oleh keberadaan gugus oksigen eter atau hidroksil. Surfaktan amfoterik adalah surfaktan yang bermuatan positif dan negatif pada molekulnya dimana muatannya bergantung kepada pH, pada pH rendah akan bermuatan negatif dan pada pH tinggi bermuatan positif.

Kelompok surfaktan yang penggunaannya terbesar (dalam jumlah) adalah surfaktan anionik. Karakteristiknya yang hidrofilik disebabkan karena adanya gugus ionik yang cukup besar, yang biasanya berupa grup sulfat atau sulfonat. Beberapa contoh surfaktan anionik yaitu linear alkilbenzen sulfonat (LAS), alkohol sulfat (AS), alkohol eter sulfat (AES), alfa olefin sulfonat (AOS), paraffin (secondary alkane sulfonate, SAS) dan metil ester sulfonat (MES) (Matheson, 1996).


(6)

Sifat-sifat surfaktan adalah mampu menurunkan tegangan permukaan, tegangan antarmuka, meningkatkan kestabilan partikel yang terdispersi dan mengontrol sistem emulsi (misalnya oil in water (o/w) atau water in oil (w/o)). Di samping itu, surfaktan akan terserap ke dalam permukaan partikel minyak atau air sebagai penghalang yang akan mengarungi atau menghambat penggabungan (coalescence) dari partikel yang terdispersi (Rieger, 1985). Kemampuan surfaktan untuk meningkatkan kestabilan emulsi tergantung dari kontribusi gugus polar (hidrofilik) dan gugus non polar (lipofilik) (Swern, 1979). Menurut Piispanen (2002), bagian polar surfaktan dipengaruhi oleh gaya elektrostatik (ikatan hidrogen, ikatan ionik, interaksi dipolar) sehingga dapat berikatan dengan molekul seperti air dan senyawa ion. Gugus non polar surfaktan berikatan dengan dukungan gaya van der walls.

Pada konsentrasi yang memadai, surfaktan yang awalnya merupakan elektrolit biasa, mulai membentuk asosiasi antar molekul/micelles. Keadaan ini terjadi pada konsentrasi yang disebut dengan

Critical Micelle Concentration (CMC). Pada kondisi ini terjadi proses pembentukan emulsi yang menghasilkan analogi kelarutan/solubilization non equilibrium dan memberikan IFT yang rendah. Kondisi ini tidak akan terjadi jika konsentrasi di bawah kondisi CMC sedangkan jika konsentrasi surfaktan ditingkatkan setelah terjadi titik CMC maka akan terbentuk agregat dan tidak menurunkan nilai IFT lebih rendah lagi (Mitsui, 1997).

Surfaktan metil ester sulfonat (MES) termasuk golongan surfaktan anionik yaitu surfaktan yang bermuatan negatif pada gugus hidrofiliknya atau bagian aktif permukaan (surface-active). Struktur kimia metil ester sulfonat (MES) dapat dilihat pada Gambar 2. (Watkins, 2001) :

Gambar 2. Struktur kimia MES

Menurut Swern (1979), panjang molekul sangat kritis untuk keseimbangan kebutuhan gugus hidrofilik dan lipofilik. Apabila rantai hidrofobik terlalu panjang, akan terjadi ketidakseimbangan, terlalu besarnya afinitas untuk gugus minyak atau lemak atau terlalu kecilnya afinitas untuk gugus air. Hal ini akan ditunjukkan oleh keterbatasan kelarutan di dalam air. Demikian juga sebaliknya, apabila rantai hidrofobiknya terlalu pendek, komponen tidak akan terlalu bersifat aktif permukaan ( surface-active) karena ketidakcukupan gugus hidrofobik dan akan memiliki keterbatasan kelarutan dalam minyak. Pada umumnya panjang rantai terbaik untuk surfaktan adalah asam lemak dengan 10–18 atom karbon.

Kemampuan surfaktan dalam hubungannya untuk meningkatkan emulsi tergantung dari kontribusi gugus polar (hidrofilik) dan gugus non polar (lipofilik), yang dapat dilihat dari ukuran HLB (Hydrophile Lypophile Balance). Semakin rendah nilai HLB maka surfaktan semakin larut dalam minyak. Sebaliknya, semakin tinggi nilai HLB maka surfaktan semakin cenderung larut dalam air. Kisaran HLB dan aplikasi penggunaannya dapat dilihat pada Tabel 1.


(7)

Tabel 1. Kisaran HLB dan aplikasi penggunaannya

Kisaran Aplikasi Penggunaan

3-6 Emulsifier water in oil (w/o)

7-9 Bahan pembasah

8-15 Emulsifier oil in water (o/w)

13-15 Deterjen 15-18 Bahan pelarut Sumber : Swern (1979)

Menurut Matheson (1996), metil ester sulfonat (MES) telah mulai dimanfaatkan sebagai bahan aktif pada produk-produk pembersih (washing and cleaning products). Pemanfaatan surfaktan jenis ini pada beberapa produk adalah karena metil ester sulfonat memperlihatkan karakteristik dispersi yang baik, sifat deterjensi yang baik terutama pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi (hard water) dan tidak adanya fosfat, ester asam lemak C14, C16, dan C18 memberikan tingkat deterjensi terbaik serta bersifat mudah didegradasi (good biodegradability). Dibandingkan petroleum sulfonat, surfaktan MES menunjukkan beberapa kelebihan diantaranya yaitu pada konsentrasi MES yang lebih rendah daya deterjensinya sama dengan petroleum sulfonat, dapat mempertahankan aktivitas enzim yang lebih baik serta toleransi yang lebih baik terhadap keberadaan kalsium dan kandungan garam (disalt). Namun demikian surfaktan MES memiliki kelemahan diantaranya warnanya yang gelap (Rosen, 2004).

Proses produksi pembuatan surfaktan MES dimulai melalui proses esterifikasi atau/dan transesterifikasi menjadi metil ester (biodiesel) dengan metanol. Esterifikasi adalah reaksi asam karboksilat (asam lemak) dengan alkohol untuk menghasilkan ester sedangkan transesterifikasi adalah reaksi ester untuk menghasilkan ester baru yang mengalami penukaran posisi asam lemak (Swern, 1982). Reaksi tersebut bersifat reversibel dan menghasilkan alkil ester dan gliserol. Setelah dilakukan reaksi esterifikasi dan transesterifikasi ini, metil ester harus dimurnikan terlebih dahulu untuk menghilangkan gliserol, air, sisa metanol, katalis, dan bahan pengotor lainnya. Proses pemurnian dapat dilakukan dengan water washing dan dry washing.

Metil ester yang telah terbentuk selanjutnya dilakukan konversi menjadi metil ester sulfonat. Metil ester sulfonat (MES) adalah zat yang disintesis dari bahan metil ester dan agen sulfonasi melalui proses sulfonasi. Proses sulfonasi dapat dilakukan dengan mereaksikan asam sulfat, sulfit, NaHSO3 atau gas SO3 dengan ester asam lemak (Watkins, 2001). Menurut Foster (1996), untuk menghasilkan kualitas produk terbaik, beberapa perlakuan penting yang harus dipertimbangkan adalah rasio mol, suhu reaksi, konsentrasi grup sulfat yang ditambahkan, waktu netralisasi, jenis dan konsentrasi katalis, pH dan suhu netralisasi.

Proses produksi metil ester sulfonat dapat dilakukan dengan mereaksikan metil ester dan gas SO3 dalam falling film reactor pada suhu 80–90oC (Watkins, 2001). Proses sulfonasi yang dilakukan oleh pihak SBRC (Surfactant and Bioenergy Research Centre) menggunakan reaktor STFR (Single Tube Film Sulfonation Reactor) memiliki tinggi 6 meter dan diameter tube 25 mm. Prinsip kerja reaktor ini adalah gas SO3 dialirkan ke dalam tabung dimana pada dinding bagian dalam tabung dialirkan secara co-current metil ester dalam bentuk film (lapisan) tipis sehingga terbentuk tabung yang menyelimuti gas yang mengalir di bagian tengah tabung. Proses sulfonasi membentuk produk antara berupa MESA (methyl ester sulfonate acid). Suhu umpan (feed) berupa metil ester pada proses sulfonasi diatur konstan pada suhu 80–100oC. Pada proses sulfonasi dilakukan penambahan udara kering. Perbandingan metil ester, gas SO3 dan udara kering adalah 1 : 1 : 2. Feed dipompa naik ke reaktor masuk ke liquid chamber lalu mengalir turun membentuk film (lapisan) tipis dengan ketebalan tertentu. Ketebalan yang dihasilkan sesuai dengan bentuk corong head pada reaktor. Proses sulfonasi


(8)

berlangsung selama 3–6 jam. Selanjutnya, MESA yang telah dihasilkan mengalami proses aging. Proses aging berlangsung dalam reaktor aging pada suhu 70–80oC selama 75 menit dengan kecepatan putaran pengaduk 150 rpm. Kemudian MESA mengalami proses netralisasi dengan penambahan NaOH 50%. Proses netralisasi pada suhu 30–40oC selama 40 menit. Setelah proses netralisasi, diperoleh surfaktan MES (metil ester sulfonat).

Mekanisme reaksi yang terjadi selama reaksi sulfonasi dengan urutan proses adalah metil ester (I) bereaksi dengan gas SO3 membentuk senyawa intermediet (II), pada umumnya berupa senyawa anhidrad. Dalam kondisi reaksi yang setimbang, senyawa intermediet (II) tersebut akan mengaktifkan gugus alfa (α) pada rangkaian gugus karbon metil ester sehingga membentuk senyawa intermediet (III). Selanjutnya, senyawa intermediet (III) tersebut mengalami restrukturisasi dengan melepaskan gugus SO3. Gugus SO3 yang dilepaskan bukanlah gugus yang terikat pada ikatan alfa. Dengan terlepasnya gas SO3 selama proses post digestion tersebut, maka terbentuklah MESA (IV) (Mac Arthur et. al., 2001).

Komoditas yang dapat diolah sebagai surfaktan MES adalah jarak pagar. Jarak pagar (Jatropha curcas L.) merupakan jenis tanaman yang berasal dari keluarga Euphorbiaceae yang banyak ditemukan di Afrika Tengah dan Selatan, Asia Tenggara dan India. Jarak pagar merupakan golongan pohon perdu dengan ketinggian mencapai 3 hingga 7 meter dan memiliki cabang yang tidak teratur. Jarak pagar dapat tumbuh dengan baik pada daerah dengan ketinggian 0–1.700 m dpl dan suhu 19–38oC. Kisaran curah hujan daerah penyebarannya bervariasi antara 200–2.000 mm/tahun, tetapi ada pula yang sampai lebih dari 4.000 mm/tahun. Secara umum, jarak pagar dapat tumbuh pada daerah kurang subur (Hambali et. al., 2006).

Jarak pagar memiliki buah yang terbagi menjadi tiga ruang dimana masing-masing ruang berisi satu biji. Biji jarak pagar berbentuk bulat lonjong, berwarna coklat kehitaman dan mengandung banyak minyak (Sinaga, 2006). Gambar buah dan biji jarak pagar dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. (a) Buah jarak pagar dan (b) Biji jarak pagar (SBRC, 2010)

Tanaman jarak pagar menghasilkan biji yang memiliki kandungan minyak cukup tinggi, sekitar 30–50% sehingga sangat prospektif untuk digunakan sebagai bahan baku produk oleokimia seperti surfaktan. Kelebihan minyak jarak pagar apabila dibuat menjadi metil ester antara lain adalah minyak jarak pagar tidak termasuk kategori minyak makan (edible oil) sehingga pemanfaatannya tidak menganggu penyediaan kebutuhan minyak makan. Minyak jarak pagar tidak dapat dikonsumsi manusia karena mengandung senyawa forbol ester dan cursin yang bersifat toksik (Hambali et.al., 2006). Seperti halnya minyak yang lain, minyak jarak pagar juga tersusun dari beberapa asam lemak. Asam lemak dominan pada minyak jarak pagar adalah asam oleat, asam linoleat dan asam palmitat.


(9)

Sifat fisikokimia minyak jarak pagar dapat dilihat pada Tabel 2. dan komposisi asam lemak dalam minyak jarak pagar dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 2. Sifat fisiko-kimia minyak jarak pagar

Analisis Satuan Nilai

Kadar airc % 0.07

Bilangan asama mg KOH/g lemak 3.21±0.21 Bilangan iodb mg iod/g lemak 96.5 Bilangan penyabunana mg KOH/g lemak 198±0.5

Densitasa g/cm3 0.911

Sumber : Peace dan Aladesanmi (2008)a ; Hambali et. al. (2006)b ; Gubitz et. al. (1999)c

Tabel 3. Komposisi asam lemak dalam minyak jarak pagar

Kandungan asam lemak Sifat dan komponen Persentase (%) Asam miristat Jenuh, C 14:0 0–0.1 Asam palmitat Jenuh, C 16:0 14.1–15.3 Asam stearat Jenuh, C 18:0 3.7–9.8 Asam arachidat Jenuh, C 20:0 0–0.3 Asam behenat Jenuh, C 22:0 0-0.2 Asam palmitoleat Tidak jenuh, C 16:1 0–1.3 Asam oleat Tidak jenuh, C 18:1 34.3–45.8 Asam linoleat Tidak jenuh, C 20:2 29.0–44.2 Asam linolenat Tidak jenuh, C 22:3 0–0.3 Sumber : Gubitz et. al. (1999)

2.2.

ENHANCED OIL RECOVERY

Menurut Gomaa (1997), pengembangan Lapangan minyak dapat dikelompokkan atas tiga fase yaitu fase primer (primary phase), fase sekunder (secondary phase) dan fase tersier (tertiary phase). Pada fase primer, produksi dikontrol dari tenaga alami yang tergantung pada kandungan energi alam pada reservoir. Optimasi produksi pada fase primer antara lain stimulasi menggunakan metode asam (acidizing), metode fracturing dan metode sumur horizontal (horizontal wells). Pada fase sekunder diterapkan penambahan energi dari luar seperti gas flood dan water flood. Metode pada fase tersier sering juga disebut sebagai metode enhanced oil recovery (EOR). Metode Enhanced Oil Recovery (EOR) didefinisikan sebagai suatu metode yang melibatkan proses penginjeksian dengan penambahan material tertentu yang dapat menyebabkan perubahan fluida dalam reservoir seperti komposisi minyak, rasio mobilitas dan juga karakteristik interaksi batuan-fluida. Metode EOR dapat dikelompokkan berdasarkan material yang diijeksikan ke reservoir yaitu metode panas (air panas,

steam stimulation, steamflood, fireflood), metode kimia (polimer, surfaktan, alkali), metode solvent-miscible (pelarut hidrokarbon, CO2, N2, gas hidrokarbon, campuran gas alam) dan lainnya (busa, mikrobial). Meskipun metode EOR kadang disebut sebagai recovery tersier, namun bukan berarti metode EOR ini diterapkan setelah fase sekunder. Beberapa metode EOR dapat diterapkan setelah fase primer atau pada awal pengembangan. Menurut Haynes (1976), teknologi EOR sangat bergantung karakteristik reservoir.

Metode primer dan sekunder pada recovery minyak bumi biasanya mencakup 1/3 bagian dari volume minyak awal (OOIP) karena gaya kapilaritas yang tinggi mampu memperangkap minyak


(10)

dalam pori-pori. Gaya kapilaritas merupakan hasil tegangan antar muka minyak-air menyebabkan terikatnya fluida dalam pori-pori batuan sehingga recovery hanya 1/3 bagian dari OOIP. Walaupun banyak metode yang telah dilakukan dalam metode EOR, tetapi metode dalam menurunkan tegangan antarmuka seperti surfactant flooding lebih memberikan harapan yang besar dalam peningkatan

recovery (Zhang et. al., 2007).

Menurut Wahyono (2009), waterflooding merupakan injeksi air yang dilakukan pada tahap kedua produksi (secondary recovery) yang menjadi salah satu pilihan EOR Pertamina saat ini. Penginjeksian air (waterflooding) ke dalam pori-pori reservoir bertujuan agar tekanan reservoir meningkat sehingga minyak terdorong yang mengakibatkan produksi naik atau penurunan produksi (decline) dapat diturunkan. Skema mekanisme recovery minyak dapat dilihat pada Gambar4.

Gambar 4. Skema mekanisme recovery minyak (Wahyono, 2009)

Menurut Gulick dan William (1998), waterflooding telah dikenal sejak tahun 1860 tetapi pada saat itu waterflooding sebagai upaya proses peningkatan recovery minyak bumi tidak dapat diterapkan secara luas. Hal ini dikarenakan karakteristik reservoir yang berbeda-beda tiap wilayah. Menurut Lake (1989), reservoir-reservoir minyak bumi berbeda dalam hal kondisi geologis alamnya, kandungan air dalam reservoir dan sebagainya. Berdasarkan hal tersebut, metode optimum untuk merecovery minyak bumi dalam jumlah yang maksimum pada suatu reservoir berbeda terhadap

Mekanisme Perolehan Minyak Perolehan Minyak

Secara Konvensional

EOR

Primer

Sekunder

Tersier

Tenaga alami Pengangkatan buatan

Injeksi air Penggunaan tekanan

Termal Kimia

Alkali Surfaktan Polimer

Miscible Lainnya : mikrobial, listrik, mekanis (getaran, pengeboran horizontal )

CO2 Miscible solvent Gas

inert

Stimulasi uap panas atau injeksi uap panas

secara siklik

Uap panas atau air

panas

Pembakaran in-situ


(11)

Menurut Salager (1977), chemical flooding dengan menggunakan formula surfaktan harus memperhatikan beberapa faktor seperti :

• Tahan terhadap temperatur dan tekanan reservoir.

• Tidak menyebabkan tersumbatnya pori-pori batuan.

• Dapat menurunkan saturation residu oil (SOR) dan dapat merubah sifat kebasahan (wettability) batuan

• Dapat meningkatkan efisiensi displacement minyak dimana formula surfaktan harus mampu menurunkan tegangan antarmuka antara minyak mentah dengan air formasi.

• Adsorpsi formula surfaktan yang rendah oleh batuan reservoir dan tanah lempung untuk mengurangi lose surfaktan.

• Kompatibilitas yang baik dengan fluida pada reservoir khususnya terhadap senyawa kation dua valen seperti Mg2+ dan Ca2+.

Menurut Ayirala (2002) ketika surfaktan diinjeksikan, surfaktan menyebar ke dalam minyak dan air dan tegangan antar muka yang rendah meningkatkan nilai kapilaritas. Hasilnya, lebih banyak minyak yang tadinya dalam kondisi immobile berubah menjadi mobile. Menyebabkan perbaikan rasio mobilitas yang efektif.

Reservoir minyak dan / atau gas bumi adalah suatu batuan yang berpori-pori dan permeable

tempat minyak dan/atau gas bergerak serta berakumulasi. Secara teoritis semua batuan, baik batuan beku maupun batuan metamorf dapat bertindak sebagai batuan reservoir, tetapi pada kenyataan lebih dari 90% batuan reservoir adalah batuan sedimen. Jenis batuan reservoir akan berpengaruh terhadap besarnya porositas dan permeabilitas (Rachmat, 2009). Porositas menurut Levorsen (1954) adalah perbandingan antara volume total ruang pori-pori dan volume total batuan yang disebut porositas total atau absolut.

%

Permeabilitas menurut Koesoemadinata (1978) dapat dinyatakan dalam rumus sebagai berikut : atau

dengan q adalah laju rata-rata aliran melalui media pori (cm3/dt), k adalah permeabilitas (Darcy), A adalah luas alas benda yang dilalui aliran (cm2), µ adalah viskositas fluida yang mengalir (centipoise) dan adalah tekanan per panjang benda (atm/cm).

Beberapa reservoir secara alami bersifat padat dan memperlihatkan permeabilitas yang rendah yang diakibatkan oleh kandungan endapan lumpur dan lempung yang tinggi serta ukuran butiran yang kecil. Pada beberapa kasus, permeabilitas yang rendah terjadi pada daerah sekitar sumur bor yang mengalami penyumbatan selama proses pengeboran (drilling) berlangsung. Sumur yang mengalami kerusakan akibat pengeboran dan ditambah dengan reservoir yang padat akibat kandungan mineralnya memperlihatkan laju produksi yang rendah sehingga sering menjadi tidak ekonomis. Kondisi ini tetap akan ada walaupun tekanan reservoir tinggi. Pada kondisi ini, pemberian tekanan menggunakan injeksi fluida tidak akan memberikan keuntungan. Injeksi tekanan akan menjadi terlalu tinggi akibat permeabilitas reservoir yang rendah (Economides dan Nolte, 1989).

Menurut Rachmat (2009), fluida reservoir terdiri dari minyak, gas dan air formasi. Minyak dan gas kebanyakan merupakan campuran yang rumit berbagai senyawa hidrokarbon, yang terdiri dari golongan naftan, paraffin, aromatik dan sejumlah kecil gabungan oksigen, nitrogen, dan belerang. Air formasi merupakan fluida reservoir yang tercampur dan terangkat bersama minyak bumi ke permukaan. Sedangkan Air injeksi merupakan air yang telah diolah untuk diinjeksikan kembali ke


(12)

dalam batuan reservoir melalui sumur injeksi untuk meningkatkan perolehan minyak pada secondary phase pada sumur production well. Perbandingan kandungan air formasi dan air injeksi tersaji pada Tabel 4.

Tabel 4. Kandungan garam air formasi / injeksi

Jenis Air Air Formasi Air Injeksi mg/L mg/L Kation

Sodium 5763 9862

Kalsium 296.6 256.5 Magnesium 41.3 1079.8

Ferrum 6.7 6.7

Anion

Klorida 9041.5 17019.4 Bikarbonat 842 134.2

Sulfat - 2317.3

Karbonat - -

Total 15,991.10 30,675.90

Sumber : Sugiharjo et. al. (2001)

Unsur pokok terbesar dalam minyak bumi adalah hidrokarbon dengan konsentrasi antara 50– 95%. Unsur lainnya merupakan senyawa-senyawa non-hidrokarbon seperti nitrogen, belerang, oksigen dan logam. Hidrokarbon minyak bumi merupakan senyawa organik yang terdiri dari karbon dan hidrogen. Hidrokarbon digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu hidrokarbon alifatik, hidrokarbon alisiklik, dan hidrokarbon aromatik. Secara garis besar minyak bumi mempunyai komposisi seperti terlihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Komposisi minyak bumi

Komponen % Bobot

Karbon 83,9-86,8 Hidrogen 11,4-14,0 Belerang 0,06-0,08 Nitrogen 0,11-1,70

Oksigen ± 0,50

Logam ± 0,03

Sumber : Speight (1980)

Irapati (2008) mengatakan bahwa secara umum komposisi hidrokarbon minyak mentah terdiri dari dua komponen yaitu komponen hidrokarbon dan non hidrokarbon. Berdasarkan sifat, susunan atau komposisi kimia dalam minyak mentah dapat digolongkan ke dalam tiga bagian yaitu komponen hidrokarbon dan non hidrokarbon. Berdasarkan sifat, susunan atau komposisi kimia dalam minyak mentah dapat digolongkan ke dalam tiga bagian yaitu minyak mentah alkana, minyak mentah siklo alkana dan minyak mentah campuran. Berikut adalah sifat dari jenis minyak mentah :


(13)

asphaltic, menghasilkan bensin dengan kualitas kurang baik karena mempunyai angka oktan yang rendah, menghasilkan kerosine, solar dan wax yang bermutu baik.

Minyak mentah sikloalkana mempunyai kerapatan relatif yang tinggi, susunan hidrokarbonnya bersifat siklo alkana, sedikit sekali mengandung kadar lilin dan mengandung komponen asphaltic, menghasilkan bensin dengan kualitas baik karena mempunyai angka oktan yang tinggi, menghasilkan kerosine yang kurang baik, solar bersifat ringan-berat sampai kurang baik, dapat diproses untuk pembuatan asphalt dan fuel oil.

Minyak mentah campuran mempunyai kerapatan relatif diantara jenis parafinik dan naftenik, Susunan hidrokarbonnya mengandung parafinik, naftenik dan aromatik, tipe minyak ini dapat diproses menjadi berbagai jenis produk minyak bergantung dari tipe unit pengolahannya.

Golongan parafinik merupakan senyawa HC jenuh alkana yang memiliki rantai lurus dan bercabang dimana golongan ini merupakan fraksi yang terbesar di dalam minyak mentah. Golongan naftenik merupakan senyawa HC jenuh siklo alkana yang memiliki lima cincin atau enam cincin. Golongan aromatik merupakan senyawa HC tidak jenuh yang memiliki enam cincin dimana golongan ini terdapat dalam jumlah kecil (Irapati, 2008).

Kerusakan formasi sumur minyak bumi telah menyebabkan menurunnya produktivitas sumur minyak. Kerusakan formasi disebabkan oleh proses pemboran dan cara memproduksikan hidrokarbon yang menyebabkan menurunnya permeabilitas sekitar lubang sumur. Produktifitas sumur dapat dipengaruhi oleh sifat kebasahan batuan (wettability) menjadi oil wet, tekanan kapiler yang tinggi,

water blocking, particle blocking dan emulsion blocking (Mulyadi, 2000).

Wettability merupakan ukuran yang menjelaskan apakah permukaan dari batuan memiliki kemampuan lebih mudah terlapisi oleh film minyak atau oleh film air. Surfaktan dapat menyusup ke daerah antar muka antar cairan dengan batuan dan dapat mengubah kutub dari permukaan batuan sehingga akan mengubah wettability dari batuan tersebut (Ashayer et. al., 2000). Sifat batuan yang cenderung basah air disebut water wet sedangkan sifat batuan yang cenderung basah minyak disebut

oil wet. Pada kondisi water wet, batuan diselubungi oleh air sedangkan pada kondisi oil wet, batuan cenderung diselubungi oleh minyak. Pada kondisi oil wet, keberadaan minyak yang menyelubungi batuan menyebabkan meningkatnya ketebalan dari lapisan film pada batuan reservoir sehingga menyebabkan berkurangnya laju alir. Sifat batuan oil wet dapat mengurangi produktivitas sumur hingga 15–85% (Mulyadi, 2000).

Tekanan kapiler adalah tekanan yang timbul karena adanya perbedaan tegangan antar muka dari dua fluida yang immiscible (tidak saling melarut) pada daerah penyempitan pori-pori batuan. Tingginya tekanan kapiler berbanding terbalik dengan jari-jari kapilernya dan berbanding lurus dengan tegangan antar muka. Tekanan kapiler yang tinggi akan menghambat aliran fluida minyak sehingga minyak akan tertinggal di dalam pori-pori (Allen dan Robert, 1993).

Water blocking merupakan kondisi dimana pori-pori reservoir tertutup oleh air formasi dalam jumlah yang banyak. Water blocking terjadi karena air yang bergerak akibat adanya gaya kapilaritas air. Sifat air ini menyebabkan air akan memby-passed minyak dan menyebabkan minyak tertinggal di dalam pori-pori sebagai by-passed oil. Salah satu cara dalam mengatasi water blocking

adalah dengan menginjeksikan 1–3% surfaktan dalam formasi (Allen dan Robert, 1993).

Particle blocking atau penyumbatan pori-pori oleh partikel-partikel tertentu (lempung halus dan lumpur) merupakan masalah umum yang sering dijumpai pada reservoir. Particle blocking dapat diatasi dengan melarutkan partikel-partikel penyumbat dengan menggunakan surfaktan jenis tertentu. Surfaktan anionik dapat melarutkan lempung pada larutan asam (Allen dan Robert, 1993). Menurut McCune (1976), melalui penginjeksian asam ke dalam formasi reservoir carbonate yang padat dan


(14)

mengalami kerusakan biasa disebut stimulasi, diharapkan asam tersebut akan bereaksi dengan beberapa mineral dan menciptakan pori-pori dan saluran pori yang lebih besar sehingga permeabilitas meningkat.

Emulsion block merupakan emulsi kental minyak dan air yang terbentuk pada lubang

reservoir dimana dapat mengurangi produksi minyak bumi (Mulyadi, 2000). Emulsion block dapat dihancurkan dengan cara menyuntikkan oil well stimulation agent ke dalam reservoir. Oil well stimulation agent mampu menghancurkan emulsi dengan cara menghilangkan kestabilan emulsi (Allen dan Robert, 1993).


(15)

III.

METODE PENELITIAN

3.1.

BAHAN DAN ALAT

Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah surfaktan MES dari jarak pagar. Bahan-bahan lain yang digunakan adalah minyak bumi mentah, air injeksi, air formasi,

sandstone sintetik, toluene dan aquades.

Peralatan yang digunakan adalah timbangan analitik, peralatan gelas, pipet, suntikan,

magnetic stirrer, dan hotplate stirrer. Peralatan yang digunakan untuk analisa adalah spinning drop interfacial tensiometer, pH meter, coreflood apparatus, densitometer, viscosimeter, oven, filtration apparatus, stopwatch, desikator, pipet mohr, ampul dan filter.

3.2.

METODE

3.2.1. Pembuatan Core Sandstone Sintetik

Core sandstone sintetik dibuat dengan menggunakan pasir kuarsa dan semen dengan perbandingan 5 : 2 dengan penambahan air 10% dari bobot total (pasir kuarsa dan semen). Core

tersebut dicuci dengan menggunakan toluene melalui distilasi selama 4 jam. Core yang telah dicuci dikeringkan dalam oven bersuhu 70–80oC selama 1 hari lalu didinginkan dalam desikator selama minimal 30 menit. Selanjutnya, dilakukan pembungkusan core dengan menggunakan alumunium foil. Selanjutnya, core diukur panjang dan diameter dengan 3 kali ulangan serta ditimbang bobot kering lalu divakum dengan menggunakan Air Formasi Tx selama 6 jam dan dijenuhkan dalam Air Formasi Tx selama 1–3 hari.

3.2.2. Formulasi Surfaktan MES dari Jarak Pagar

Surfaktan MES dari jarak pagar diformulasi dengan menggunakan bahan aditif. Formulasi dilakukan dengan menggunakan pelarut yaitu air injeksi dari Lapangan T. Formulasi ini bertujuan untuk memperoleh formula larutan surfaktan yang terbaik. Formula larutan surfaktan yang terbaik adalah formula yang memiliki IFT (interfacial tension) sebesar 10-3 dyne/cm dengan nilai terkecil. Formulasi yang dilakukan terbagi menjadi tiga tahapan yaitu optimal salinitas, optimal alkali dan optimal co-surfaktan.

3.2.3. Uji Kinerja Formula Surfaktan

Tahapan ketiga adalah uji kinerja formula larutan surfaktan. Uji yang dilakukan meliputi uji IFT (interfacial tension), uji compatibility, pengukuran densitas,pengukuran viskositas, pengukuran pH, uji phase behavior, uji thermal stability dan uji filtrasi. Prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 4.

3.2.4. Coreflooding Test

Tahapan terakhir adalah aplikasi formula larutan surfaktan untuk enhanced waterflooding

berupa coreflooding test. Diagram alir coreflooding test dapat dilihat pada Lampiran 7. Coreflooding test dimulai dengan penginjeksian Air Injeksi T ke dalam batuan sandstone yang telah berisi minyak bumi mentah hingga tidak ada lagi minyak bumi mentah yang keluar. Selanjutnya, diinjeksikan formula larutan surfaktan dengan kombinasi 0,1 PV, 0,2 PV dan 0,3 PV. Kemudian batuan sandstone

disoaking dengan lama perendaman 12 jam. Penentuan lama perendaman 12 jam merujuk pada penelitian yang telah dilakukan Paulina Mwangi (2008) dimana lama perendaman selama 12 jam


(16)

mampu memberikan tambahan recovery sebesar 8%. Setelah mengalami soaking, batuan sandstone

diinjeksikan kembali dengan menggunakan air injeksi T hingga tidak ada lagi minyak bumi mentah yang keluar. Berikut ini merupakan gambar diagram alir penelitian :

Gambar 5. Diagram alir penelitian

3.3.

RANCANGAN PERCOBAAN

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan satu faktor dengan dua kali ulangan. Faktor yang divariasikan adalah volume larutan surfaktan. Faktor volume larutan surfaktan terdiri dari tiga taraf yaitu 0.1 PV, 0.2 PV dan 0.3 PV. Model matematika yang digunakan adalah:

Yij = µ + αi + εij

dengan :

Yij = Nilai pengamatan µ = Rata-rata

αi = Pengaruh faktor volume larutan surfaktan pada taraf ke-i (i = 1,2,3) Persiapan core

sandstone sintetik

Core sandstone

sintetik

Surfaktan MES dari jarak pagar

Formulasi

Formula larutan surfaktan

Uji kinerja meliputi uji pH, IFT, compatibility, densitas, viskositas, phase behavior, thermal

stability dan filtrasi

Aplikasi waterflooding berupa coreflooding test pada sumur injeksi dengan porevolume formula larutan surfaktan yaitu 0,1 PV, 0,2 PV dan 0,3 PV dengan lama

soaking 12 jam


(17)

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.

SURFAKTAN MES DARI JARAK PAGAR

Surfaktan yang digunakan dalam penelitian ini adalah surfaktan MES (Metil Ester Sulfonat) dari jarak pagar. Surfaktan MES dari jarak pagar ini diproduksi di Laboratorium Surfaktan SBRC–IPB di Pulo Gadung yang berdampingan dengan PT. Mahkota Indonesia yang memproduksi produk kimia dari bahan sulfur. Lokasi produksi yang berdampingan tersebut bertujuan untuk mempermudah pasokan bahan baku berupa gas SO3. Gas SO3 merupakan agen sulfonasi yang digunakan pada proses pembuatan surfaktan MES. Tahapan pembuatan surfaktan MES dari jarak pagar adalah pembuatan metil ester dan proses sulfonasi metil ester.

Pembuatan metil ester dari minyak jarak pagar diawali dengan analisis sifat fisiko-kimia minyak jarak pagar. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui sifat fisiko-kimia minyak jarak pagar dan untuk menentukan langkah selanjutnya yang dilakukan berupa pemurnian. Sifat fisiko-kimia yang dianalisis meliputi kadar air, bilangan asam, bilangan iod, bilangan penyabunan, kadar asam lemak bebas, densitas dan viskositas Prosedur analisis minyak jarak pagar dapat dilihat pada Lampiran 1. Berikut ini adalah hasil sifat fisiko-kimia minyak jarak pagar :

Tabel 6. Hasil analisis sifat fisiko-kimia minyak jarak pagar

No. Sifat Fisiko-Kimia Nilai Satuan

1 Kadar air 0.36 % 2 Bilangan asam 7.09 mg KOH/g minyak 3 Bilangan iod 96.42 mg Iod/g minyak 4 Bilangan penyabunan 194.06 mg KOH/g minyak 5 Kadar asam lemak bebas 3.57 %

6 Densitas 0.91 g/cm3

7 Viskositas (30oC) 52.60 cP

Kadar air minyak jarak pagar yang diperoleh cukup rendah yaitu sebesar 0,36%. Kandungan air pada bahan baku metil ester dapat ditolerir hingga 1% (Gerpen et. al., 2004). Lain halnya dengan nilai bilangan asam minyak jarak pagar yang diperoleh cukup tinggi yaitu sebesar 7,09 mg KOH/g minyak. Ketaren (1986) menyatakan bahwa bilangan asam merupakan jumlah milligram KOH yang dibutuhkan untuk menetralkan asam-asam lemak bebas dari satu gram minyak atau lemak. Bilangan asam minyak jarak pagar yang diperoleh cukup tinggi. Hal ini dapat dikarenakan adanya kerusakan minyak baik pada saat pengepresan maupun selama penyimpanan.

Nilai bilangan iod minyak jarak pagar yang diperoleh adalah sebesar 96,42 mg Iod/g minyak. Bilangan iod menunjukkan banyaknya ikatan rangkap atau derajat ketidakjenuhan suatu minyak atau lemak. Menurut Sinaga (2006), jenis asam lemak dominan pada minyak jarak adalah asam lemak oleat (C18H34O2) dan linoleat (C18H32O2) yang merupakan asam lemak tidak jenuh. Banyak ikatan rangkap pada asam lemaknya berpengaruh terhadap karakteristik fisik dan kimia minyaknya. Sementara itu, nilai bilangan penyabunan yang diperoleh sebesar 194,06 mg KOH/g minyak. Bilangan penyabunan mengukur bobot molekul atau panjang rantai karbon asam lemak dalam suatu minyak atau lemak. Menurut Sanford et. al. (2009), semakin tinggi bilangan penyabunan menunjukkan asam lemak penyusun trigliserida memiliki panjang rantai karbon yang pendek. Semakin pendek rantai karbon asam lemak maka semakin banyak kandungan asam lemak dalam satu gram lemak sehingga semakin banyak kebutuhan KOH untuk menyabunkannya. Demikian pula, semakin tinggi bobot molekul asam


(18)

lemak (semakin panjang rantai karbon) penyusun trigliserida maka semakin sedikit asam lemak penyusunnya sehingga KOH yang diperlukan untuk penyabunan semakin sedikit.

Densitas yang diperoleh dari analisis fisiko-kimia minyak jarak adalah 0,91 g/cm3. Densitas merupakan ukuran massa per unit volume suatu bahan atau zat. Sementara itu, nilai viskositas minyak jarak pagar adalah 52,60 cP. Viskositas berkaitan erat dengan kemampuan bahan untuk mengalir dimana semakin tinggi nilai viskositas (semakin kental suatu cairan) maka semakin sulit cairan tersebut untuk mengalir karena membutuhkan gaya yang makin besar untuk membuat cairan tersebut mengalir pada kecepatan tertentu.

Kadar asam lemak bebas (FFA) dijadikan sebagai acuan dalam menentukan tahapan pada proses pemurnian minyak. Pemurnian minyak yang dilakukan berupa esterifikasi dan atau transesterifikasi. Minyak jarak pagar mengalami proses esterifikasi terlebih dahulu dan kemudian dilanjutkan dengan proses transesterifikasi atau langsung mengalami proses transesterifikasi tergantung analisis FFA awal. Jika FFA awal > 2% maka minyak jarak pagar mengalami proses esterifikasi terlebih dahulu dan kemudian proses transesterifikasi. Sedangkan jika FFA awal < 2% maka minyak jarak pagar langsung mengalami proses transesterifikasi. Berdasarkan Tabel 5., diketahui bahwa kadar asam lemak bebas (FFA) yang diperoleh cukup tinggi yaitu 3,57% > 2% sehingga minyak jarak pagar harus melalui dua tahap pemurnian yaitu esterifikasi dan transesterifikasi. Esterifikasi perlu dilakukan terlebih dahulu karena jika tidak dilakukan proses esterifikasi maka terjadi pembentukan sabun yang menyulitkan pemisahan metil ester dan gliserol sehingga berdampak terhadap penurunan rendemen metil ester yang dihasilkan. Pembentukan sabun terjadi karena asam lemak bebas bereaksi dengan sodium metoksida pada proses transesterifikasi. Proses pembuatan metil ester yang dilakukan SBRC–IPB tersaji pada Gambar 6.

Tingginya nilai kadar asam lemak bebas pada minyak jarak pagar karena terjadi reaksi hidrolisis asam lemak. Reaksi hidrolisis terjadi akibat adanya kandungan air dan enzim lipase yang dapat memecah trigliserida menjadi asam lemak bebas. Selain reaksi hidrolisis, peningkatan kadar asam lemak bebas minyak jarak pagar karena terjadi reaksi oksidasi asam lemak. Reaksi oksidasi terjadi akibat adanya kontak langsung dengan udara atau panas (cahaya matahari) pada saat proses pengepresan biji jarak pagar. Menurut Hamilton (1983), tingginya jumlah asam lemak tak jenuh pada minyak jarak juga menyebabkan semakin mudahnya minyak tersebut mengalami oksidasi.


(19)

Gambar 6. Diagram alir pembuatan metil ester

Pada proses esterifikasi, minyak jarak pagar direaksikan dengan metanol sebanyak 225% (b/b) dari FFA awal dan katalis asam sulfat (H2SO4) sebanyak 4% (b/b) dari FFA awal. Proses esterifikasi membentuk ester dan air (H2O). Selanjutnya dilakukan proses transesterifikasi untuk mengubah trigliserida menjadi metil ester. Proses esterifikasi dilakukan bertujuan untuk menurunkan bilangan asam minyak jarak pagar. Interaksi antara asam lemak dan alkohol bersifat reversible dan prosesnya berlangsung sangat lambat. Mekanisme reaksi esterifikasi dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Reaksi esterifikasi (Khan, 2002)

Proses transesterifikasi menggunakan metanol 15% (b/b) dan KOH 1% (b/b). Reaksi transesterifikasi (alkoholisis) merupakan tahap konversi trigliserida pada minyak nabati menjadi metil ester (biodiesel) melalui reaksi dengan menggunakan alkohol rantai pendek seperti metanol atau etanol dan katalis asam atau basa serta menghasilkan produk samping berupa gliserol. Berikut ini adalah mekanisme reaksi transesterifikasi umum trigliserida dengan alkohol dari jenis metanol (1):

Minyak Jarak Pagar

Analisis

FFA

Transesterifikasi Esterifikasi

> 2% < 2%

MeOH 225% H2SO4 4%

MeOH 15% KOH 1%

Transesterifikasi MeOH 15%

KOH 1%

Metil Ester Gliserol

Pencucian

Pengeringan


(20)

Gambar 8. Mekanisme transesterifikasi; (1) Mekanisme reaksi umum trigliserida dengan alkohol dari jenis metanol; (2) Tiga reaksi berurutan dan reversible [R1,2,3 = asam lemak]

Selanjutnya, dilakukan proses settling selama 24 jam untuk memisahkan gliserol. Metil ester yang telah dipisahkan mengalami proses pencucian sebanyak 3–4 kali. Proses pencucian dilakukan dengan menggunakan air (H2O). Kemudian dilakukan proses pengeringan melalui pemanasan pada suhu 110oC. Setelah proses pengeringan, diperoleh metil ester. Metil ester yang telah diperoleh dilakukan analisis. Prosedur analisis metil ester jarak pagar dapat dilihat pada Lampiran 2. Hasil analisis fisiko-kimia metil ester dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Hasil analisis sifat fisiko-kimia metil ester jarak pagar

No. Sifat Fisiko-Kimia Nilai Satuan

1 Kadar air 0.02 % 2 Bilangan asam 2.79 mg KOH/g minyak 3 Bilangan iod 95.71 mg Iod/g minyak 4 Bilangan penyabunan 245.33 mg KOH/g minyak 5 Kadar asam lemak bebas 1.40 %

6 Densitas 0.88 g/cm3

7 Viskositas (30oC) 3.6 cP

Nilai bilangan asam metil ester jarak pagar jauh lebih kecil dibandingkan dengan nilai bilangan asam minyak jarak pagar. Bilangan asam metil ester adalah 2,79 mg KOH/g minyak sedangkan bilangan asam minyak adalah 7,09 mg KOH/g minyak. Penurunan bilangan asam terjadi karena reaksi esterifikasi minyak jarak pagar telah mengubah asam lemak bebas menjadi metil ester sehingga jumlah milligram KOH yang dibutuhkan untuk menetralkan asam lemak bebas dari satu gram minyak atau lemak menjadi lebih sedikit. Lain halnya dengan bilangan penyabunan dan bilangan iod metil ester jarak pagar yang tidak mengalami perbedaan signifikan dengan minyak jarak pagar. Bilangan penyabunan dan bilangan iod berturut-turut dari metil ester adalah 245,33 mg KOH/g minyak dan 95,71mg Iod/g minyak sedangkan dari minyak jarak pagar adalah 194,06 mg KOH/g minyak dan 96,42 mg Iod/g minyak. Bilangan iod yang tidak mengalami perbedaan signifikan karena


(21)

Nilai densitas dan nilai viskositas metil ester jarak pagar yang diperoleh lebih kecil dibandingkan dengan nilai densitas dan nilai viskositas minyak jarak pagar. Nilai densitas metil ester adalah 0,88 g/cm3 sedangkan nilai densitas minyak adalah 0,91 g/cm3 serta nilai viskositas metil ester adalah 3,60 Cp sedangkan nilai viskositas minyak adalah 52,60 cP. Penurunan nilai densitas terjadi karena adanya pengikatan gugus OH dari metanol yang memiliki densitas yang lebih kecil sedangkan penurunan nilai viskositas terjadi karena adanya pengikatan gugus OH pada ester dan adanya proses pemisahan produk dengan gliserin.

Metil ester (ME) tersebut selanjutnya mengalami proses sulfonasi. Proses sulfonasi metil ester dalam pembuatan MES melalui beberapa tahap yaitu reaksi sulfonasi, pengendapan, pemurnian, penguapan metanol dan penetralan. Diagram alir sulfonasi MES yang diterapkan oleh SBRC–IPB dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Diagram alir proses sulfonasi ME menjadi MES

Metil ester yang telah didapatkan mengalami proses sulfonasi. Proses sulfonasi dilakukan dengan menggunakan reactor STFR (Single Tube Film Reactor). Reaktor STFR memiliki tinggi 6 meter dan diameter tube 25 mm. Prinsip kerja reaktor ini adalah gas SO3 dialirkan ke dalam tabung dimana pada dinding bagian dalam tabung dialirkan secara co-current metil ester dalam bentuk film (lapisan) tipis sehingga terbentuk tabung yang menyelimuti gas yang mengalir di bagian tengah tabung.

Suhu umpan (feed) berupa metil ester pada proses sulfonasi diatur konstan pada suhu 80– 100oC. Kontak gas metil ester dengan gas SO3 berlangsung pada laju alir 100 ml/menit. Pada proses sulfonasi dilakukan penambahan udara kering. Penambahan udara kering bertujuan untuk mengencerkan gas SO3 dari konsentrasi 25–26% menjadi konsentrasi 4–7%. Perbandingan metil ester, gas SO3 dan udara kering adalah 1 : 1 : 2. Feed dipompa naik ke reaktor masuk ke liquid chamber lalu mengalir turun membentuk film (lapisan) tipis dengan ketebalan tertentu. Ketebalan yang dihasilkan sesuai dengan bentuk corong head pada reaktor. Kontak metil ester dengan gas SO3 pada puncak reaktor STFR harus berlangsung secara kontinyu sepanjang tube dengan aliran laminar dan ketebalan film harus konstan agar reaksi yang terjadi sepanjang tube merata. Reaksi sulfonasi berlangsung selama 3–6 jam. Reaksi sulfonasi membentuk produk antara berupa MESA (methyl ester sulfonate acid). Selanjutnya, MESA yang telah dihasilkan mengalami proses aging. Proses aging berlangsung dalam reaktor aging pada suhu 70–80oC selama 75 menit dengan kecepatan putaran pengaduk 150

Metil Ester

Sulfonasi dalam STFR Gas SO3

Udara Kering

MESA

Aging

Netralisasi NaOH 50%


(22)

rpm. Kemudian MESA mengalami proses netralisasi dengan penambahan NaOH 50%. Proses netralisasi pada suhu 30–40 oC selama 40 menit. Setelah proses netralisasi, diperoleh surfaktan MES (metil ester sulfonat). Surfaktan MES yang diperoleh dianalisis. Analisis sifat fisiko-kimia surfaktan MES disajikan pada Tabel 8. Prosedur analisis sifat fisiko-kimia MES jarak pagar disajikan pada Lampiran 3.

Tabel 8. Hasil analisis sifat fisiko-kimia surfaktan MES jarak pagar

No. Karakteristik Nilai Satuan

1 Warna > 3,749 Klett 2 Densitas 0.9836 g/cm3 3 Viskositas 0.9750 cP 4 pH 7.7000 -

Surfaktan MES yang diperoleh berwarna gelap. Warna gelap tersebut dikarenakan reaksi reaktif gas SO3 terhadap metil ester jarak pagar pada ikatan rangkap. Berikut ini adalah penampakan visual dari MESA dan MES jarak pagar yang dihasilkan :

Gambar 10. (a) MESA jarak pagar dan (b) MES jarak pagar

4.2.

PEMBUATAN

CORE SANDSTONE

SINTETIK

Reservoir merupakan suatu batuan yang berpori-pori dan permeable di bawah permukaan bumi yang merupakan tempat minyak dan atau gas bergerak serta berakumulasi. Tiap reservoir

memiliki jenis batuan yang berbeda-beda dengan karakteristik yang berbeda pula. Jenis batuan dipengaruhi oleh fasa fluida yang mengisi pori-pori batuan berhubungan atau tidak satu sama lainnya. Di samping itu, jenis batuan berpengaruh terhadap porositas dan permeabilitas. Porositas merupakan perbandingan volume ruang pori-pori terhadap volume total batuan sedangkan permeabilitas merupakan kemampuan dari medium berpori untuk mengalirkan fluida yang dipengaruhi olah ukuran butiran, bentuk butiran serta distribusi butiran. Contoh batuan yang diambil dari reservoir pada saat pemboran kemudian batuan mengalami pengecilan ukuran dengan diameter 3 cm disebut core.

Core yang digunakan pada penelitian merupakan core sintetik sehingga dibutuhkan formula

core sintetik yang tepat agar menyerupai karakteristik core asli. Core asli berasal dari Lapangan T


(23)

semen dengan porositas yang mendekati core asli. Menurut Lange et. al. (1991), batu pasir adalah batu-batu yang renggang (loose) tapi padat (compact) yang terdiri dari fragmen-fragmen yang menyatu dan mengeras (cemented). Persiapan core sintetik terdiri dari tiga tahap yaitu pembuatan core

sintetik, pencucian core sintetik dan penjenuhan core sintetik. Pada tahap pertama, core sintetik dibuat dengan menggunakan perbandingan pasir kuarsa dan semen adalah 5 : 2 lalu ditambahkan air 10% dari bobot total (pasir kuarsa dan semen). Perbandingan tersebut mampu menghasilkan porositas yang paling mendekati dengan porositas core asli. Porositas yang dihasilkan dari core sintetik adalah 30– 35%.

Gambar 11. Core sandstone sintetik

Porositas beberapa reservoir menurut Koesoemadinata (1978) dikelompokkan menjadi diabaikan (negligible) 0–5%, buruk (poor) 5–10%, cukup (fair) 10–15%, baik (good) 15–20%, sangat baik (very good) 20–25% dan istimewa (excellent) > 25 %. Permeabilitas beberapa reservoir

dikelompokkan menjadi ketat (tight) < 5 mD, cukup (fair) 5–10 mD, baik (good) 10–100 mD, baik sekali 100–1000 mD dan (very good) >1000 mD. Berikut ini tersaji nilai porositas dan nilai permeabilitas dari tiap core pada Tabel 10. Prosedur pengukuran porositas dan permeabilitas core

dapat dilihat pada Lampiran 8.

Tabel 9. Porositas dan permeabilitas core sintetik

No Kode core Porositas (%) Permeabilitas (mDarcy)

1 A 33.1034 44.8112

2 B 35.4648 40.8308

3 C 33.1273 44.6989

4 D 32.5419 44.7010

5 E 34.4336 41.0749

6 F 33.4326 45.6682

Core yang dibuat berbentuk tabung dengan diameter ±2,3 cm dan tinggi ±3,1 cm. Ukuran core ini disesuaikan dengan core holder yang terdapat pada alat corefloodingapparatus. Untuk lebih jelasnya, ukuran core dapat dilihat pada Lampiran 9. Berdasarkan Tabel 9 diketahui bahwa nilai porositas berbanding terbalik dengan nilai permeabilitas dimana semakin besar nilai porositas maka semakin kecil nilai permeabilitas. Porositas yang dimiliki core sintetik termasuk reservoir yang istimewa (> 25%) sedangkan permeabilitas yang dimliki core sintetik termasuk reservoir yang baik (10–100 mD). Nilai porositas yang besar mengindikasikan lubang pada pori-pori core besar sehingga fluida dapat mengalir dengan cepat maka seharusnya nilai permeabilitas yang dihasilkan pun besar pula. Berdasarkan penelitian Nurwidyanto dan Noviyanti (2005) pada batupasir (study kasus formasi Kerek, Ledok dan Selorejo), korelasi atau hubungan yang nyata dan bersifat positif antara variabel porositas dan permeabilitas. Hasil yang dimiliki oleh core sintetik disebabkan oleh terdapatnya semen yang membentuk interpartikel pada core sintetik tidak sepenuhnya berbentuk bola sehingga berdampak


(24)

pada porositas yang besar tetapi permeabilitas yang kecil. Menurut Koesoemadinata (1978), jika bentuk butiran mendekati bentuk bola maka permeabilitas dan porositasnya akan lebih meningkat.

Pada tahap kedua, core dicuci dengan menggunakan distilasi dengan pelarut toluene. Distilasi adalah proses mengekstrak bahan dengan menggunakan pelarut yang sesuai dengan bahan. Pillihan terhadap toluene sebagai pelarut karena toluene mampu mengikat kotoran yang terkandung pada core sintetik. Selain itu, penggunaan toluene sebagai pelarut didasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan Paulina Mwangi (2008) karena kemampuan toluene dalam menghilangkan hydrocarbons, termasuk aspal, dan pengotor lainnya dengan baik dan mengembalikan wettability

batuan. Selanjutnya, core dikeringkan dalam oven pada suhu 70oC. Pengeringan bertujuan untuk menguapkan pelarut toluene yang masih terkandung pada core. Setelah itu, core didinginkan dalam desikator guna menghilangkan uap panas akibat proses pengeringan. Kemudian core ditimbang bobotnya untuk mengetahui bobot kering dari core. Bobot kering digunakan pada perhitungan porositas core. Bobot kering yang dimiliki core berkisar antara 31–36 gram.

Pada tahap ketiga, dilakukan pemvakuman pada core. Pemvakuman dilakukan 2 tahap dimana tahap pertama dilakukan untuk memasukkan udara ke dalam pori-pori core dan tahap kedua dilakukan untuk menggantikan udara dengan fluida ke dalam pori-pori core. Fluida yang digunakan pada proses pemvakuman adalah Air Formasi (AF) Tx dari Lapangan T. Air formasi merupakan fluida reservoir yang tercampur dan terangkat bersama minyak bumi ke permukaan. Air formasi bersifat asin dengan salinitas rata-rata di atas air laut. Kandungan utama air formasi adalah unsur Ca (kalium), Na (natrium), dan Chlor (Cl) dalam jumlah besar. Air formasi yang digunakan untuk uji telah mengalami proses penyaringan terlebih dahulu. Penyaringan dilakukan sebanyak 4 kali yaitu penyaringan menggunakan filter 500 mesh, dilanjutkan dengan menggunakan filter 21 µm, dilanjutkan dengan menggunakan filter 0,45 µm dan terakhir dengan menggunakan filter 0,22 µm. Penyaringan hingga filter 0,22 µm dilakukan sesuai dengan prosedur yang dilakukan oleh Lemigas.

Core yang telah divakum dijenuhkan dengan merendam core dalam AF Tx selama 1–3 hari. Penjenuhan bertujuan untuk memperoleh core sintetik semirip mungkin dengan kondisi core asli yang telah terendam dengan AF Tx selama berjuta-juta tahun. Semakin lama penjenuhan maka semakin mirip kondisi yang dimiliki oleh core sintetik dengan core asli.

4.3.

FORMULASI LARUTAN SURFAKTAN

Formulasi merupakan sebuah tahapan yang menentukan performa terbaik dari larutan surfaktan yang dihasilkan untuk aplikasi enhanced waterflooding. Performa terbaik yang dimaksud adalah formula surfaktan yang mampu menurunkan tegangan antar muka (IFT) antara minyak-larutan surfaktan dan merubah sifat batuan yang suka minyak (oil wet) menjadi suka air (water wet). Dengan performa terbaik tersebut diharapkan mampu memproduksi minyak secara optimal. Berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan pihak SBRC–IPB diketahui bahwa formula surfaktan dengan konsentrasi surfaktan 0,3% menghasilkan nilai IFT terkecil. Formulasi dilakukan dengan melarutkan surfaktan MES jarak pagar dengan konsentrasi 0,3% dalam Air Injeksi Tx. Air injeksi merupakan air yang memiliki komposisi dan konsentrasi yang berbeda dengan air formasi. Air injeksi adalah air yang telah mendapatkan treatment sehingga air injeksi dapat digunakan untuk diinjeksikan kembali ke dalam batuan reservoir melalui sumur injeksi. Penginjeksian ini bertujuan untuk meningkatkan perolehan minyak pada secondary phase pada sumur produksi. Pada formulasi, Air Injeksi dari Lapangan T yang digunakan adalah air injeksi yang telah mengalami proses penyaringan sebanyak 4


(25)

Penyaringan hingga filter 0,22 µm dilakukan sesuai dengan prosedur yang dilakukan oleh Lemigas. Prosedur analisis Air Injeksi T dan Air Formasi Tx dapat dilihat pada Lampiran 5. Berikut ini adalah hasil analisis yang dilakukan pihak SBRC–IPB terhadap Air Formasi Tx dan Air Injeksi dari Lapangan T :

Tabel 10. Hasil analisis air formasi dan air injeksi

Parameter Air Injeksi T Air Formasi Tx

pH 7.41 7.73

Viskositas (cP) 1.08 1.23

Densitas (g/cm3) 0.9840 0.9842

Formulasi dilakukan melalui tahapan terstruktur yaitu optimal salinitas, optimal alkali dan optimal co-surfaktan. Tahapan terstruktur dilakukan untuk memperoleh data yang valid. Tahapan tersebut berhenti dilakukan jika setelah diperoleh formula surfaktan yang sesuai dengan karakteristik yang ditetapkan oleh BP MIGAS. Menurut BP MIGAS (2009), karakteristik formula yang diharapkan untuk EOR (enhanced oil recovery) adalah formula surfaktan yang memiliki karakteristik sebagai berikut:

• Compatibility : tidak ada endapan

• Adsorbsion : < 0.25% atau 0.4 mg/g

• IFT : 10-3 dyne/cm

• Thermal stability : tahan terhadap temperatur reservoir minimal 3 bulan

• pH : 6 – 8

• Phase form : bawah atau tengah

• Filtrasi ratio : < 1.2

• Recovery oil : > 10% incremental tergantung keekonomian

Karakteristik utama yang harus dipenuhi untuk aplikasi EOR menggunakan surfaktan adalah nilai IFT dari fomula larutan surfaktan. Hal ini dikarenakan penggunaan surfaktan bertujuan untuk menurunkan tegangan antar muka antara fasa minyak dan fasa air. Pada tahap formulasi ini dilakukan uji kinerja dari formula surfaktan yang dihasilkan berupa pengukuran densitas dan uji IFT. Pada uji kinerja tersebut, digunakan minyak Tx dari Lapangan T untuk memperoleh nilai IFT dari larutan surfaktan. Minyak tersebut terlebih dahulu dianalisis. Prosedur analisis minyak Tx dapat dilihat pada Lampiran 6 Berikut ini adalah hasil analisis terhadap minyak Tx dari Lapangan T :

Tabel 11. Hasil analisis minyak Tx

Parameter Nilai

Aspaltine Positif (+) Viskositas (cP) 2.43

Densitas (g/cm3) 0.7918 Specific Gravity 0.8335

API Gravity 38.25

Berdasarkan gravitas API atau kerapatan relatif, minyak mentah dibagi dalam 5 jenis minyak mentah, yaitu: minyak mentah ringan, minyak mentah ringan sedang, minyak mentah berat sedang, minyak mentah berat, minyak mentah sangat berat, seperti terlihat pada Tabel 12.


(26)

Tabel 12. Klasifikasi minyak bumi

Jenis Minyak Mentah

Gravitas API Kerapatan Relatif

Dari Sampai Dari Sampai

Ringan >39,0 <0,830 Medium Ringan 39,0 35,0 0,830 0,850

Medium Berat 35,0 35,0 0,850 0,865

Berat 35,0 24,8 0,865 0,905 Sangat Berat <24,8 >0,905

Sumber : Kontawa (1995)

Pada analisis dilakukan uji aspaltine dimana uji tersebut bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya kandungan aspal pada minyak dimana kandungan aspal mengindikasikan minyak tersebut bersifat polar. Berdasarkan uji aspaltine diketahui bahwa minyak Tx memiliki kandungan aspal sehingga minyak Tx bersifat polar. Hal ini dibuktikan dengan terdapatnya endapan pada bagian bawah minyak. Pada Gambar 12 disajikan gambar sebelum dan setelah uji aspaltine.

Gambar 12. (a) Sebelum uji aspaltine dan (b) Setelah uji aspaltine

Tahapan awal formulasi yaitu optimal salinitas. Optimal salinitas bertujuan untuk mengetahui performa terbaik dari larutan surfaktan pada kondisi salinitas yang optimum pada air injeksi. Pada tahapan ini, digunakan NaCl dengan variasi konsentrasi yaitu 1000 ppm, 3000 ppm, 5000 ppm, 7000 ppm, 9000 ppm, 11000 ppm, 13000 ppm dan 15000 ppm. Penentuan variasi konsentrasi NaCl didasari atas penelitian terdahulu yang dilakukan pihak SBRC–IPB. Berikut ini adalah grafik yang menggambarkan hubungan antara nilai IFT yang dihasilkan dengan konsentrasi NaCl yang digunakan :


(27)

Gambar 13. Grafik hubungan antara IFT dengan konsentrasi NaCl

Untuk lebih jelasnya, nilai densitas dan nilai IFT dapat dilihat pada Lampiran 10. Berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa mula-mula nilai IFT menurun setelah larutan surfaktan dicampur dengan NaCl tetapi nilai IFT terus meningkat setelah konsentrasi NaCl diperbesar. Efektifitas surfaktan untuk menurunkan IFT akan berkurang dengan semakin tingginya kadar garam larutan (Ashrawi, 1984). Hasil uji coba laboratorium, nilai IFT terkecil yang dihasilkan terdapat pada MES jarak pagar 0,3% pada konsentrasi 1000 ppm NaCl dimana nilai IFT sebesar 7,45 x 10-3 dyne/cm. Hasil formula optimal salinitas digunakan pada tahapan selanjutnya. Hasil penampakan visual IFT pada optimal salinitas dapat dilihat pada Lampiran 11.

Tahapan formulasi selanjutnya adalah optimal alkali. Optimal alkali bertujuan untuk menurunkan nilai IFT yang telah diperoleh dari formulasi awal. Alkali yang digunakan adalah NaOH (natrium hidroksida) dan Na2CO3 (natrium karbonat). Tujuan penggunaan dua alkali adalah sebagai pembanding. Alkali merupakan zat aditif dengan penambahan konsentrasi maksimal 1% atau 10000 ppm. Baik NaOH maupun Na2CO3 ditambahkan dengan variasi konsentrasi yaitu 1000 ppm, 3000 ppm, 5000 ppm, 7000 ppm dan 9000 ppm. Berikut ini adalah grafik yang menggambarkan hubungan antara nilai IFT yang dihasilkan dengan konsentrasi alkali yang digunakan :

Gambar 14. Grafik hubungan antara IFT dengan konsentrasi alkali

2.55E‐02

7.45E‐03 9.15E‐03 8.39E‐03

1.40E‐02

1.68E‐02 1.76E‐02 1.60E02

1.91E‐02

0.E+00

1.E‐02

2.E‐02

3.E‐02

0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000

Nilai

 

IFT

 

(dyne/cm)

Konsentrasi NaCl (ppm)

7.45E‐03 1.12E‐02 2.45E‐02 2.36E‐02 2.36E‐02 2.69E‐02 7.45E‐03

1.11E‐01

2.99E‐01

3.98E‐01 4.33E‐01

4.72E‐01

0.E+00

2.E‐01

4.E‐01

6.E‐01

0 2000 4000 6000 8000 10000

Nilai

 

IFT

 

(dyne/cm)

Konsentrasi alkali (ppm)

Natrium 

karbonat

Natrium 


(28)

Untuk lebih jelasnya, nilai densitas dan nilai IFT dapat dilihat pada Lampiran 12. Berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa semakin besar konsentrasi alkali yang digunakan maka semakin besar nilai IFT yang dihasilkan. Penambahan alkali tidak mampu menurunkan nilai IFT yang telah dihasilkan pada formulasi awal malahan penambahan alkali makin menaikkan nilai IFT yang telah dihasilkan pada formulasi awal. Formulasi pun berhenti pada tahapan formulasi kedua karena penambahan unsur lain menaikkan nilai IFT yang dihasilkan sehingga tahapan terakhir yaitu optimal co-surfaktan tidak dilakukan. Hasil penampakan visual IFT pada optimal alkali dapat dilihat pada Lampiran 13. Jadi, formula larutan surfaktan yang digunakan pada aplikasi enhanced waterflooding adalah larutan surfaktan yang dihasilkan pada formulasi awal yaitu MES jarak pagar 0,3% pada konsentrasi 1000 ppm NaCl.

Untuk memperoleh nilai IFT, terlebih dahulu dilakukan pengujian densitas. Densitas menyatakan kerapatan antar molekul dalam suatu material yang didefinisikan sebagai rasio (perbandingan) antara massa dan volume material (g/cm3). Baik pada tahap optimal salinitas maupun tahap optimal alkali terjadi peningkatan nilai densitas. Peningkatan densitas mengindikasikan telah terjadinya peningkatan konsentrasi (massa) akibat adanya penambahan senyawa lain. Pada optimal salinitas, penambahan NaCl menyebabkan peningkatan konsentrasi (massa) pada larutan surfaktan. Sama halnya pada optimal alkali, baik penambahan NaOH maupun Na2SO3 menyebabkan peningkatan konsentrasi (massa) pada larutan surfaktan. Grafik nilai densitas larutan surfaktan pada tahap optimal salinitas dan pada optimal alkali dapat dilihat pada Gambar 15 dan Gambar 16.

Gambar 15. Grafik hubungan antara densitas dengan konsentrasi NaCl

Berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa peningkatan konsentrasi NaCl berbanding lurus dengan nilai densitas yang dihasilkan oleh larutan surfaktan. Semakin tinggi konsentrasi NaCl yang digunakan maka semakin tinggi pula nilai densitas yang dihasilkan oleh larutan surfaktan. Peningkatan densitas terjadi akibat penambahan konsentrasi (massa) dari NaCl yang semakin meningkat. Hal ini juga terjadi pada optimal alkali dimana peningkatan konsentrasi alkali yang digunakan (Na2SO3 dan NaOH) berdampak pada peningkatan densitas. Peningkatan densitas larutan surfaktan diakibatkan peningkatan konsentrasi (massa) dari alkali yang semakin meningkat pula.

0.98420.9850

0.9864 0.9876

0.9890

0.9907 0.9920

0.9931

0.9954

0.98 0.99 1.00

0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000

Densitas

 

(g/cm

3)


(29)

4.4.

UJI

4.4.1. injek surfak tidak selam pada pagar 0 0 1 Densitas   (g/cm 3) Gambar 1

KINERJA

. Uji Compat

Uji compa

si. Maksudny ktan larut sec larut secara ma formulasi.

Berdasark surfaktan ME r terhadap opt

Gam 0.98500.986 0.98500.985 .98 .99 .00 0

16. Grafik hub

A FORMUL

tibility

atibility adala ya adalah surfa cara sempurna

sempurna da

kan hasil form ES jarak paga timal alkali. B

mbar 17. (a) M (b1) (b2) 60 0.987 58 0.988 2000 K (a) bungan antara

LA

ah uji untuk m faktan larut ata a dalam air inj alam air inje

mulasi diketah ar terhadap op Berikut ini adal

MES jarak pag MES jarak pa MES jarak pa

77

0.990 82

0.990

4000

Konsentrasi al

(

densitas deng

mengetahui ke au tidak dalam njeksi sedangk

ksi. Pengama

hui bahwa uj ptimal salinita

lah hasil peng

gar pada optim agar pada opti agar pada opti

01

0.9915 02

0.9920

6000

kali (ppm)

b1)

gan konsentra

ecocokan anta m air injeksi. kan uji bernila atan uji ini d

ji compatibili

s maupun pad gamatan secara

mal salinitas (N mal alkali (Na imal alkali (N

5 0.9941 0 0.9944 8000 (b2) si alkali

ara surfaktan d Uji bernilai p ai negatif jika dilakukan sec

ity bernilai po da surfaktan M

a visual :

NaCl); aOH); Na2CO3) 1 4 10000 Natr karb Natr hidr dengan air positif jika a surfaktan ara visual ositif baik MES jarak rium  bonat rium  oksida


(30)

4.4.2. Uji Thermal Stability

Uji thermal stability merupakan uji untuk mengetahui ketahanan larutan surfaktan terhadap pengaruh suhu. Uji ini memiliki parameter-parameter penting yaitu densitas, IFT, pH dan viskositas. Nilai IFT merupakan parameter terpenting pada uji ini dimana perubahan nilai IFT tidak berubah secara signifikan. Pengujian dilakukan selama minimal 1 bulan. Grafik-grafik perubahan IFT, densitas, pH dan viskositas tersaji pada gambar di bawah ini sedangkan nilai densitas, IFT, pH dan viskositas tersaji pada Lampiran 14.

Tegangan antar muka (IFT) pad uji thermal stability diharapkan tidak mengalami kenaikan yang signifikan seiring dengan lama pemanasan. Kenaikan yang terlalu signifikan mengindikasikan formula surfaktan tidak memiliki kinerja yang baik. Hasil IFT formula surfaktan dapat dilihat pada Gambar 18.

Gambar 18. Grafik hubungan antara IFT dengan lama pemanasan

Berdasarkan gambar di atas diketahui bahwa terjadi fluktuasi nilai IFT yang dihasilkan terhadap lama pemanasan. Seharusnya nilai IFT yang dihasilkan mengalami peningkatan seiring dengan lama pemanasan. Hal ini dikarenakan telah terjadi degradasi struktur formula surfaktan. Fluktuasi nilai IFT berdampak terhadap nilai densitas yang dihasilkan. Fluktuasi tersebut dapat terjadi disebabkan pemasukan sampel ke dalam alat pengujian tidak mengalami pengadukan. Sebaiknya sampel mengalami pengadukan sebelum sampel dimasukkan ke dalam alat pengujian. Grafik hubungan antara densitas yang dihasilkan dengan lama pemanasan disajikan pada Gambar 19.

1.04E‐02 1.08E‐02

3.33E‐03

7.02E‐03 6.73E03

0.E+00

5.E‐03

1.E‐02

2.E‐02

0 5 10 15 20 25 30 35

Nilai

 

IFT

 

(dyne/cm)


(31)

Gambar 19. Grafik hubungan antara densitas dengan lama pemanasan

Dari Gambar 19 diketahui bahwa secara garis besar semakin kecil nilai IFT maka semakin kecil pula nilai densitas. Hal ini berarti IFT berbanding lurus dengan densitas. Densitas menunjukkan besarnya bobot molekul yang terkandung pada suatu bahan. Suhu tinggi dengan waktu pemanasan yang lama menyebabkan degradasi ikatan antar molekul sehingga terjadi pemutusan ikatan antar molekul. Pemutusan ikatan molekul berdampak terhadap penurunan nilai densitas. Dengan kata lain, nilai densitas yang dihasilkan menurun seiring dengan lama pemanasan.

Viskositas merupakan suatu sifat fluida yang dipengaruhi oleh ukuran dan gaya antar molekul fluida tersebut. Viskositas menunjukkan tingkat kekentalan suatu fluida. Semakin tinggi nilai viskositas maka semakin tinggi pula tingkat kekentalan suatu fluida. Terikatnya gugus sulfonat pada MES selama proses formulasi menyebabkan formula surfaktan memiliki ukuran molekul yang lebih besar. Ukuran molekul yang lebih besar berpengaruh terhadap nilai viskositas yang lebih tinggi dibandingkan dengan Air Injeksi T (sebagai pelarut). Grafik hubungan antara nilai viskositas yang dihasilkan dengan lama pemanasan dapat dilihat pada Gambar 20

Gambar 20. Grafik hubungan antara viskositas dengan lama pemanasan

0.9856 0.9878 0.9863 0.9857

0.9803

0.96 0.98 1.00

0 5 10 15 20 25 30 35

Densitas

 

(g/cm

3)

Hari ke‐

0.6667

0.6367

0.6600

0.7100 0.7133

0.63 0.66 0.69 0.72

0 5 10 15 20 25 30 35

Viskositas

 

(cP)


(32)

Dari Gambar 20 terlihat bahwa terjadi penurunan dan peningkatan kembali nilai viskositas. Pada hari ke-0, larutan surfaktan dibuat pada suhu ruang kemudian diukur nilai viskositasnya tanpa pemanasan. Larutan tersebut mengalami penurunan nilai vikositas pada hari ke-7 tetapi mengalami peningkatan nilai viskositas secara terus-menerus hingga hari ke-30. Sifat densitas suatu fluida memiliki korelasi positif dengan viskositas dimana semakin rendah nilai densitas maka semakin rendah pula nilai viskositas suatu fluida. Dengan kata lain, fluida tersebut semakin encer. Menurut Holmberg (2002), kenaikan viskositas disebabkan karena meningkatnya konsentrasi partikel. Suhu yang tinggi dengan waktu pemanasan yang lama menyebabkan degradasi ikatan antar molekul suatu bahan. Ikatan molekul yang terdegradasi berdampak terhadap pemutusan ikatan antar molekul sehingga mengakibatkan penurunan nilai densitas dan nilai viskositas suatu bahan. Peningkatan nilai viskositas yang terjadi disebabkan pemasukan sampel ke dalam alat pengujian tidak mengalami pengadukan. Sebaiknya sampel mengalami pengadukan sebelum sampel dimasukkan ke dalam alat pengujian.

Pada uji thermal stability, dilakukan pula pengukuran nilai pH. Pengukuran tersebut dilakukan untuk mengetahui pengaruh suhu yang tinggi dengan waktu pemanasan yang lama terhadap tingkat derajat keasaman larutan surfatan. Nilai pH merupakan logaritma negatif dari konsentrasi ion hidrogen (Fessenden dan Fessenden, 1995). Pada umumnya, nilai pH suatu bahan berkisar antara 0–14. Suatu bahan berada pada kondisi pH netral jika bahan dengan pH 7 sedangkan suatu bahan bersifat asam jika bahan dengan pH berkisar antara 0–6 serta suatu bahan bersifat basa jika bahan dengan pH berkisar antara 8–14. Derajat keasaman (pH) formula surfaktan yang dihasilkan tersaji pada Gambar 21.

Gambar 21. Grafik hubungan antara pH dengan lama pemanasan

Dari Gambar 21 terlihat bahwa terjadi peningkatan derajat keasaman dan penurunan kembali derajat keasaman. Peningkatan nilai pH terjadi pada hari ke-7 sedangkan penurunan nilai pH terjadi dari hari ke–14 hingga hari ke–30. Penurunan nilai pH pada larutan surfaktan menunjukkan telah terjadi peningkatan konsentrasi asam akibat penurunan volume larutan surfaktan. Penurunan volume larutan terjadi karena penguapan air injeksi. Jadi, ketika sampel dikeluarkan dari alat pengujian maka uap air injeksi akan langsung terlepas ke udara bebas.

7.75 8 7.5

6.5 6.5

0 6 12

0 5 10 15 20 25 30 35

pH


(33)

4.4.3. Uji Phase Behavior

Uji phase behavior merupakan uji untuk mengetahui kinerja surfaktan dari terbentuknya fasa antara larutan surfaktan dengan minyak bumi. Fasa yang terbentuk terbagi menjadi tiga yaitu fasa atas, fasa tengah dan fasa bawah. Menurut Levitt (2006), mikroemulsi kelakuan fasa dideskripsikan sebagai Winsor tipe I, tipe II dan tipe III. Perubahan kelakuan fasa dapat terjadi akibat perubahan salinitas, suhu, struktur surfaktan atau equivalent alkane carbon number (EACN) pada minyak. Pada salinitas rendah, tipe I atau mikroemulsi minyak-dalam-air baru terjadi diakibatkan oleh kelebihan fasa air. Pada salinitas sangat tinggi, tipe II atau mikroemulsi air-dalam-minyak terbentuk diakibatkan oleh kelebihan fasa minyak. Tipe III atau fasa yang terbentuk di antara tipe I dengan tipe II dimana mikroemulsi minyak dan air terbentuk yang dikenal sebagai fasa tengah serta keseimbangan antara kelebihan fasa air dengan kelebihan fasa minyak terjadi.

Secara umum kondisi fasa campuran yang terbentuk dan setelah dilakukan pengamatan secara kasat mata terbagi dalam 4 kategori. Emulsi fasa bawah: emulsi yang terbentuk dalam fasa air, dalam kondisi dua fasa, berwarna translucent (jernih tembus cahaya) pada umumnya terbentuk pada kadar salinitas rendah, dan Vw/Vs>Vo/Vs. Mikroemulsi atau

emulsi fasa tengah: emulsi terbentuk di fasa tengah, dalam kondisi tiga fasa (air-mikroemulsi-minyak), berwarna translucent, terbentuk pada kadar salinitas optimum, Vw/Vs=Vo/Vs.

Emulsi fasa atas: emulsi yang terbentuk di fasa minyak, dalam kondisi dua fasa, berwarna jernih, pada kadar salinitas tinggi cenderung membentuk emulsi di fasa atas, Vw/Vs<Vo/Vs.

Makroemulsi: emulsi yang terbentuk kental, berwarna putih susu (milky), ukuran makroemulsi sangat besar (2000-100.000 A). (Lemigas, 2002)

Pengujian ini dilakukan secara visual dan perhitungan proporsi antara fasa larutan surfaktan dengan fasa minyak selama minimal 1 bulan. Pengamatan visual tersaji pada Gambar 22. sedangkan perhitungan proporsi antara fasa larutan surfaktan dengan fasa minyak tersaji pada Lampiran 15.

T0 T7 T14


(1)

Lampiran 15. Perhitungan Kelarutan Minyak pada Phase Behavior

Hari Volume (ml)

Po Keterangan ke- Larutan Surfaktan Minyak Tx

0

I 2.5 2.5

- - II 2.5 2.5

Rata-Rata 2.5 2.5

7

I 2.6 2.4 0.0820

Fase bawah

II 2.5 2.5 dengan excess

Rata-Rata 2.55 2.45 larutan surfaktan 0.5 ml

14

I 2.6 2.4

0.0820 Tidak terjadi perubahan II 2.5 2.5

Rata-Rata 2.55 2.45

21

I 2.6 2.4 0.1639

Fase bawah

II 2.6 2.4 dengan excess

Rata-Rata 2.6 2.4 larutan surfaktan 0.5 ml

30

I 2.6 2.4

0.1639 Tidak terjadi perubahan II 2.6 2.4


(2)

66 

 

Lampiran 16. Hasil Uji Filtrasi

Filtrasi Menggunakan Filter 500 mesh Tanpa Tekanan

Volume (ml)

Air Injeksi T Surfaktan Waktu Alir (detik)

Rerata Fr Waktu Alir (detik) Rerata Fr

I II I II

0 0 0 0.00

25.36

0 0 0.00

0.85

50 15 7 11.00 13 13 13.00

100 27 13 20.00 25 27 26.00

150 41 18 29.50 33 39 36.00

200 57 27 42.00 39 46 42.50

250 96 46 71.00 44 54 49.00

300 173 85 129.00 52 67 59.50 350 287 194 240.50 62 72 67.00 400 483 358 420.50 70 77 73.50

450 722 542 632.00 78 84 81.00 500 1056 901 978.50 83 92 87.50

Filtrasi Menggunakan Filter 21 µm Tanpa Tekanan

Volume (ml)

Air Injeksi T Surfaktan Waktu Alir (detik)

Rerata Fr Waktu Alir (detik) Rerata Fr

I II I II

0 0 0 0.00

3.17

0 0 0.00

2.38 50 33 35 34.00 140 158 149.00 100 72 71 71.50 462 275 368.50

150 121 114 117.50 808 560 684.00 200 188 152 170.00 1231 1075 1153.00 250 263 190 226.50 1851 1659 1755.00 300 351 232 291.50 3154 2428 2791.00 350 467 307 387.00 4033 3185 3609.00 400 571 397 484.00 5109 4186 4647.50 450 746 497 621.50 5982 5423 5702.50 500 931 662 796.50 6822 6205 6513.50


(3)

Filtrasi Menggunakan Filter 0,45 µm dengan Tekanan 0,5 bar

Volume (ml)

Air Ineksi T Surfaktan Waktu Alir (detik)

Rerata Fr Waktu Alir (detik) Rerata Fr

I II I II

0 0 0 0.00

6.42

0 0 0.00

3.74

50 6 6 6.00 23 16 19.50

100 12 13 12.50 148 166 157.00

150 18 19 18.50 398 418 408.00 200 26 25 25.50 742 774 758.00

250 36 36 36.00 1382 1452 1417.00 300 51 50 50.50 2346 2478 2412.00 350 65 65 65.00 3578 4086 3832.00 400 88 88 88.00 4782 5163 4972.50

450 121 123 122.00 5743 6132 5937.50 500 167 176 171.50 7134 7305 7219.50

Filtrasi Menggunakan Filter 0,22 µm dengan Tekanan 0,5 bar

Volume (ml)

Air Injeksi T Surfaktan Waktu Alir (detik)

Rerata Fr Waktu Alir (detik) Rerata Fr

I II I II

0 0 0 0.00

0.98

0 0 0.00

1.09

50 11 10 10.50 27 29 28.00

100 20 21 20.50 146 160 153.00

150 31 31 31.00 286 302 294.00 200 42 41 41.50 542 568 555.00

250 50 49 49.50 743 767 755.00 300 61 60 60.50 988 1008 998.00 350 69 69 69.00 1246 1268 1257.00 400 77 79 78.00 1488 1508 1498.00

450 89 89 89.00 1689 1704 1696.50 500 98 99 98.50 1924 1946 1935.00


(4)

68 

 

Lampiran 17. Nilai Densitas dan IFT pada Filtrasi

Perlakuan Densitas Rata-Rata

Densitas IFT

Rata-Rata IFT Tanpa saring (I) 0.9859

0.9860 7.00E-03 9.11E-03 Tanpa saring (II) 0.9860 1.12E-02

Filter 500 mesh (I) 0.9857

0.9857 8.32E-03 7.00E-03 Filter 500 mesh (II) 0.9857 5.68E-03

Filter 21 mikron (I) 0.9858

0.9857 8.73E-03 9.34E-03 Filter 21 mikron (II) 0.9857 9.96E-03

Filter 0.45 mikron (I) 0.9861

0.9861 1.88E-02 5.03E-02 Filter 0.45 mikron (II) 0.9861 8.18E-02

Filter 0.22 mikron (I) 0.9861

0.9861 1.49E-02 3.81E-02 Filter 0.22 mikron (II) 0.9862 6.12E-02


(5)

Lampiran 18. Data Hasil Penelitian

Ket :

a = berat kering core d = volume air formasi yang keluar = volume minyak dalam core b = berat basah core e = volume minyak yang keluar setelah air injeksi

Densitas Recovery e Recovery f

Air Formasi Injeksi

(%) (mDarcy) (g/ml) Surfaktan

1 33.4905 37.9551 2 33.4922 37.9944 3 33.4931 37.9739 Rerata 33.4919 37.9745

1 32.4361 36.7402 2 32.4387 36.7888 3 32.4405 36.7998 32.4384 36.7763 1 26.8617 32.6296 2 26.8629 32.5920 3 26.8636 32.6296 26.8627 32.6171 1 27.3307 33.1189 2 27.3295 33.1161 3 27.3302 33.1081 27.3301 33.1144 1 32.3852 36.9122 2 32.3874 36.8609 3 32.3888 36.8826 32.3871 36.8852 1 32.3870 36.6694 2 32.3878 36.8424 3 32.3885 36.8364 32.3878 36.7827 44.7010 32.5419 33.1273 35.4648 34.4336 41.0749 40.8308 44.6989 D C B E F A 53.13%

0.3 PV (II)

4.3950 4.4655 3.0000 1.4000 46.67%

33.4326

33.1034 0.2000 6.67% 53.33%

45.6682

44.8112

60.61%

0.3 PV (I)

4.4981 4.5703 3.2000 1.5000 46.88% 0.2000 6.25%

0.2 PV (II)

5.7842 5.8771 3.3000 1.5000 45.45% 0.5000

43.75%

1.3000 50.00% 0.3000 11.54% 61.54%

5.8467 2.6000

3.57%

15.15%

43.75% 0.0000 0.00%

50.00%

0.1 PV (II)

4.3378 4.4075 3.2000 1.4000

0.1 PV (I)

4.4825

0.9842

4.5545 2.8000 1.3000 46.43% 0.1000

0.2 PV (I)

5.7543

Total Recovery Core Porositas Permeabilitas a (gram) b (gram) b - a (gram) c (ml) d (ml) e (ml) f (ml)


(6)

70

 

Lampiran 19. Hasil Analisis Statistik

Data Hasil Coreflooding Test Setelah Injeksi Surfaktan

Perlakuan Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata ± SD 0.1 PV 0.0357 0.0000 0.0179 ± 0.0252 0.2 PV 0.1154 0.1515 0.1334 ± 0.0255 0.3 PV 0.0625 0.0667 0.0646 ± 0.0030

Hasil Sidik Ragam

Sumber

dB JK KT F-Hitung F-Tabel

Variasi 0.05 Porevolume 2 0.0135 0.0068 15.6400 9.5500

Kekeliruan 3 0.0013 0.0004

Jumlah 5 0.0148

Hasil Uji Lanjut Duncan

Perlakuan N Rata-Rata Kelompok Duncan 0.1 PV 2 0.0179 B

0.2 PV 2 0.1334 A 0.3 PV 2 0.0646 B

Keterangan : Kelompok Duncan dengan huruf yang sama menunjukkan hasil tidak berbeda nyata antar taraf perlakuan sedangkan kelompok Duncan dengan huruf yang berbeda menunjukkan hasil berbeda nyata antar taraf perlakuan.