31 Dari Gambar 20 terlihat bahwa terjadi penurunan dan peningkatan kembali nilai viskositas.
Pada hari ke-0, larutan surfaktan dibuat pada suhu ruang kemudian diukur nilai viskositasnya tanpa pemanasan. Larutan tersebut mengalami penurunan nilai vikositas pada hari ke-7 tetapi
mengalami peningkatan nilai viskositas secara terus-menerus hingga hari ke-30. Sifat densitas suatu fluida memiliki korelasi positif dengan viskositas dimana semakin rendah nilai densitas
maka semakin rendah pula nilai viskositas suatu fluida. Dengan kata lain, fluida tersebut semakin encer. Menurut Holmberg 2002, kenaikan viskositas disebabkan karena
meningkatnya konsentrasi partikel. Suhu yang tinggi dengan waktu pemanasan yang lama menyebabkan degradasi ikatan antar molekul suatu bahan. Ikatan molekul yang terdegradasi
berdampak terhadap pemutusan ikatan antar molekul sehingga mengakibatkan penurunan nilai densitas dan nilai viskositas suatu bahan. Peningkatan nilai viskositas yang terjadi disebabkan
pemasukan sampel ke dalam alat pengujian tidak mengalami pengadukan. Sebaiknya sampel mengalami pengadukan sebelum sampel dimasukkan ke dalam alat pengujian.
Pada uji thermal stability, dilakukan pula pengukuran nilai pH. Pengukuran tersebut dilakukan untuk mengetahui pengaruh suhu yang tinggi dengan waktu pemanasan yang lama
terhadap tingkat derajat keasaman larutan surfatan. Nilai pH merupakan logaritma negatif dari konsentrasi ion hidrogen Fessenden dan Fessenden, 1995. Pada umumnya, nilai pH suatu
bahan berkisar antara 0–14. Suatu bahan berada pada kondisi pH netral jika bahan dengan pH 7 sedangkan suatu bahan bersifat asam jika bahan dengan pH berkisar antara 0–6 serta suatu
bahan bersifat basa jika bahan dengan pH berkisar antara 8–14. Derajat keasaman pH formula surfaktan yang dihasilkan tersaji pada Gambar 21.
Gambar 21. Grafik hubungan antara pH dengan lama pemanasan Dari Gambar 21 terlihat bahwa terjadi peningkatan derajat keasaman dan penurunan kembali
derajat keasaman. Peningkatan nilai pH terjadi pada hari ke-7 sedangkan penurunan nilai pH terjadi dari hari ke–14 hingga hari ke–30. Penurunan nilai pH pada larutan surfaktan
menunjukkan telah terjadi peningkatan konsentrasi asam akibat penurunan volume larutan surfaktan. Penurunan volume larutan terjadi karena penguapan air injeksi. Jadi, ketika sampel
dikeluarkan dari alat pengujian maka uap air injeksi akan langsung terlepas ke udara bebas.
7.75 8
7.5 6.5
6.5
6 12
5 10
15 20
25 30
35
pH
Hari ke‐
32
4.4.3. Uji Phase Behavior
Uji phase behavior merupakan uji untuk mengetahui kinerja surfaktan dari terbentuknya fasa antara larutan surfaktan dengan minyak bumi. Fasa yang terbentuk terbagi
menjadi tiga yaitu fasa atas, fasa tengah dan fasa bawah. Menurut Levitt 2006, mikroemulsi kelakuan fasa dideskripsikan sebagai Winsor tipe I, tipe II dan tipe III. Perubahan kelakuan fasa
dapat terjadi akibat perubahan salinitas, suhu, struktur surfaktan atau equivalent alkane carbon number
EACN pada minyak. Pada salinitas rendah, tipe I atau mikroemulsi minyak-dalam-air baru terjadi diakibatkan oleh kelebihan fasa air. Pada salinitas sangat tinggi, tipe II atau
mikroemulsi air-dalam-minyak terbentuk diakibatkan oleh kelebihan fasa minyak. Tipe III atau fasa yang terbentuk di antara tipe I dengan tipe II dimana mikroemulsi minyak dan air
terbentuk yang dikenal sebagai fasa tengah serta keseimbangan antara kelebihan fasa air dengan kelebihan fasa minyak terjadi.
Secara umum kondisi fasa campuran yang terbentuk dan setelah dilakukan
pengamatan secara kasat mata terbagi dalam 4 kategori. Emulsi fasa bawah: emulsi yang
terbentuk dalam fasa air, dalam kondisi dua fasa, berwarna translucent jernih tembus cahaya
pada umumnya terbentuk pada kadar salinitas rendah, dan VwVsVoVs. Mikroemulsi atau emulsi fasa tengah: emulsi terbentuk di fasa tengah, dalam kondisi tiga fasa air-mikroemulsi-
minyak, berwarna translucent, terbentuk pada kadar salinitas optimum, VwVs=VoVs.
Emulsi fasa atas: emulsi yang terbentuk di fasa minyak, dalam kondisi dua fasa, berwarna
jernih, pada kadar salinitas tinggi cenderung membentuk emulsi di fasa atas, VwVsVoVs.
Makroemulsi: emulsi yang terbentuk kental, berwarna putih susu milky, ukuran makroemulsi
sangat besar 2000-100.000 A. Lemigas, 2002 Pengujian ini dilakukan secara visual dan perhitungan proporsi antara fasa larutan
surfaktan dengan fasa minyak selama minimal 1 bulan. Pengamatan visual tersaji pada Gambar 22. sedangkan perhitungan proporsi antara fasa larutan surfaktan dengan fasa minyak tersaji
pada Lampiran 15.
T T
7
T
14
I II I
II I II
33 Gambar 22. Pengamatan phase behavior hari ke-0 sampai hari ke-30
Jenis emulsi yang paling diharapkan dalam proses EORinjeksi surfaktan adalah emulsi fasa tengah Phase Form III atau mikroemulsi atau paling tidak emulsi fasa bawah Lemigas,
2002. Hal ini dikarenakan pada fasa tersebut menandakan kinerja surfaktan yang baik. Maksud kinerja yang baik adalah pada kondisi tersebut dihasilkan nilai IFT yang sangat rendah
sehingga proses pendesakan minyak bumi dapat berjalan secara optimal. Berdasarkan Gambar 22 diketahui bahwa pada hari ke-0 belum terbentuk fasa antara larutan surfaktan dengan
minyak. Proporsi jumlah larutan surfaktan dan minyak masih sama yaitu 2,5 ml. Lain halnya pada hari ke-7 dimana telah terjadi excess water yang ditandai dengan penambahan volume
larutan surfaktan sebesar 0,05 ml dan pengurangan volume minyak sebesar 0,05 ml pula. Penambahan volume tersebut menandakan telah terbentuk fasa bawah. Pada pengamatan visual
hari ke-14 tidak terjadi perubahan apapun dari hari ke-7 sehingga masih terbentuk fasa bawah hingga hari ke-14. Pada hari berikutnya yaitu hari ke-21 terjadi penambahan volume larutan
surfaktan sebesar 0,05 ml kembali dan pengurangan volume minyak sebesar 0,05 ml pula. Jadi, penambahan volume larutan surfaktan terjadi sebanyak 1 ml dengan pengurangan volume
minyak sebesar 1 ml pula. Pada pengamatan visual hari ke-30 tidak terjadi perubahan apapun dari hari ke-21 sehingga masih terbentuk fasa bawah hingga hari ke-21. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa kinerja larutan surfaktan yang baik hingga hari ke-30. Pada uji ini juga dilihat kelarutan minyak terhadap lama pemanasan. Jika selama
pengamatan hanya terbentuk dua fasa maka digunakan perhitungan sebagai berikut : Keterangan : Po = Kelarutan minyak
Vo = Volume minyak awal Vo’ = Volume minyak selama pengamatan
Vs = Volume surfaktan I II
I II
T
21
T
30
34 Lain halnya terbentuk tiga fasa dimana dilihat kelarutan air terhadap lama pemanasan. Jika
selama pengamatan terbentuk tiga fasa maka digunakan perhitungan sebagai berikut :
Keterangan : Pw = Kelarutan air Vw = Volume air awal
Vw’ = Volume air selama pengamatan Vs = Volume surfaktan
Berikut ini adalah ilustrasi kelakuan fasa dalam perhitungan :
Gambar 23. a Kelakuan fasa awal; b Terbentuk dua fasa;
c Terbentuk tiga fasa Selama 30 hari pengamatan yang telah dilakukan diketahui bahwa kelakuan fasa yang
terbentuk adalah fasa bawah. Pada fasa bawah hanya terbentuk dua fasa yaitu fasa air dan fasa minyak. Oleh karena itu, diihat kelarutan minyak terhadap lama pemanasan. Grafik hubungan
antara kelarutan minyak Po terhadap lama pemanasan dapat dilihat pada Gambar 24.
Gambar 24. Grafik hubungan antara kelarutan minyak dengan lama pemanasan Berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa kelarutan minyak Po meningkat seiring dengan
lama pemanasan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa emulsi yang terbentuk berada pada fase air sehingga menambah volume air dan mengurangi volume minyak. Kelarutan minyak tersebut
menunjukkan kinerja formula surfaktan yang baik karena formula surfaktan mampu membentuk emulsi.
Vo Vo’
Vw’ Vw
Vo’
Vw’ emulsi
a b
c
0.0000 0.0820
0.0820 0.1639
0.1639
0.00 0.10
0.20
5 10
15 20
25 30
35
Po
Hari ke‐
35
4.4.4. Uji Filtrasi
Uji filtrasi merupakan uji untuk mengetahui keberadaan butiran precipitant dalam larutan surfaktan. Selain itu, pengujian ini juga bertujuan untuk mengetahui laju alir dari bahan
dan mengetahui filtration rate Fr dari tiap bahan. Perhitungan Fr dapat dilihat pada rumus di bawah ini :
.
Keterangan : t
100
= Waktu yang dibutuhkan untuk fluida mencapai 100 ml t
200
= Waktu yang dibutuhkan untuk fluida mencapai 200 ml t
400
= Waktu yang dibutuhkan untuk fluida mencapai 400 ml t
500
= Waktu yang dibutuhkan untuk fluida mencapai 500 ml Pengujian ini dilakukan terhadap dua bahan yaitu Air Injeksi dari Lapangan T dan formula
surfaktan. Penggunaan Air Injeksi dari Lapangan T bertujuan sebagai pembanding dimana seharusnya laju alir formula surfaktan lebih cepat dibandingkan dengan laju alir Air Injeksi dari
Lapangan T. Hal tersebut dikarenakan surfaktan mampu menurunkan tegangan antar muka sehingga lebih mudah mengalir pada suatu media.
Uji filtrasi dilakukan melalui 4 tahap yaitu filtrasi menggunakan filter 500 mesh dilanjutkan dengan menggunakan filter 21 µm, dilanjutkan dengan menggunakan filter 0,45 µm
dan terakhir dengan menggunakan filter 0,22 µm. Filtrasi hingga filter 0,22 µm dilakukan sesuai dengan prosedur yang dilakukan oleh Lemigas. Pengujian ini dilakukan pada suhu
ruang. Pengujian ini memiliki parameter lain yaitu nilai IFT dari formula surfaktan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh filtrasi terhadap nilai IFT dari formula surfaktan.
Filtrasi menggunakan filter 500 mesh pada suhu ruang tanpa menggunakan tekanan hanya menggunakan gaya gravitasi telah dilakukan. Grafik perbandingan antara Air Injeksi
dari Lapangan T dan formula surfaktan tersaji pada Gambar 25. sedangkan tabel perbandingan antara Air Injeksi dari Lapangan T dan formula surfaktan tersaji pada Lampiran 16.
Gambar 25. Grafik filtrasi menggunakan filter 500 mesh Berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa laju alir formula surfaktan lebih cepat dibadingkan
dengan laju alir Air Injeksi dari Lapangan T dan berdasarkan tabel pada Lampiran 16 diketahui bahwa nilai Fr yang dimiliki oleh formula surfaktan lebih kecil dibandingkan dengan nilai Fr
100 200
300 400
500 600
200 400
600 800
1000
Volume ml
Waktu alir detik
Air Injeksi T
Larutan surfaktan
36 yang dimiliki oleh Air Injeksi dari lapangan T serta nilai Fr yang dihasilkan formula surfaktan
yaitu 0,85 sehingga formula surfaktan dikatakan memiliki kinerja baik karena nilai Fr yang dihasilkan 1.2. Hal tersebut terjadi karena air injeksi yang digunakan masih mengandung
pengotor sehingga meyumbat pori-pori filter. Penyumbatan filter mengakibatkan laju alir terhambat.
Filtrasi menggunakan filter 21 µm pada suhu ruang tanpa menggunakan tekanan hanya menggunakan gaya gravitasi telah dilakukan. Grafik perbandingan antara Air Injeksi
dari Lapangan T dan formula surfaktan tersaji pada Gambar 26. sedangkan tabel perbandingan antara Air Injeksi dari Lapangan T dan formula surfaktan tersaji pada Lampiran 16.
Gambar 26. Grafik filtrasi menggunakan filter 21 µm Berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa laju alir formula surfaktan lebih lambat
dibadingkan dengan laju alir Air Injeksi dari Lapangan T sedangkan berdasarkan tabel pada Lampiran 16 diketahui bahwa nilai Fr yang dimiliki oleh formula surfaktan lebih kecil
dibandingkan dengan nilai Fr yang dimiliki oleh Air Injeksi dari lapangan T serta nilai Fr yang dihasilkan formula surfaktan yaitu 2,38 sehingga formula larutan surfaktan dikatakan memiliki
kinerja kurang baik karena nilai Fr yang dihasilkan 1.2. Laju alir formula surfaktan lebih lambat dikarenakan formula tersebut memiliki bobot molekul yang lebih besar daripada bobot
molekul air injeksi. Bobot molekul memiliki korelasi positif terhadap ukuran molekul. Semakin besar bobot molekul suatu senyawa maka semakin besar pula ukuran molekul senyawa
tersebut. Filtrasi menggunakan filter 0,45 µm pada suhu ruang dengan menggunakan tekanan
vakum 0,5 bar telah dilakukan. Grafik perbandingan antara Air Injeksi dari Lapangan T dan formula surfaktan tersaji pada Gambar 27. sedangkan tabel perbandingan antara Air Injeksi dari
Lapangan T dan formula surfaktan tersaji pada Lampiran 16. 100
200 300
400 500
600
2000 4000
6000 8000
Volume ml
Waktu alir detik
Air Injeksi T
Larutan surfaktan
37 Gambar 27. Grafik filtrasi menggunakan filter 0,45 µm
Berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa laju alir formula surfaktan lebih lambat dibadingkan dengan laju alir Air Injeksi dari Lapangan T sedangkan berdasarkan tabel pada
Lampiran 16 diketahui bahwa nilai Fr yang dimiliki oleh formula surfaktan lebih kecil dibandingkan dengan nilai Fr yang dimiliki oleh Air Injeksi dari lapangan T serta nilai Fr yang
dihasilkan formula surfaktan yaitu 3,74 sehingga formula surfaktan dikatakan memiliki kinerja kurang baik karena nilai Fr yang dihasilkan 1,2. Laju alir formula surfaktan lebih lambat
dikarenakan formula tersebut memiliki bobot molekul yang lebih besar daripada bobot molekul air injeksi. Bobot molekul memiliki korelasi positif terhadap ukuran molekul. Semakin besar
bobot molekul suatu senyawa maka semakin besar pula ukuran molekul senyawa tersebut. Filtrasi menggunakan filter 0,22 µm pada suhu ruang dengan menggunakan tekanan
vakum 0,5 bar telah dilakukan. Grafik perbandingan antara Air Injeksi dari Lapangan T dan formula surfaktan tersaji pada Gambar 28. sedangkan tabel perbandingan antara Air Injeksi dari
Lapangan T dan formula surfaktan tersaji pada Lampiran 16.
Gambar 28. Grafik filtrasi menggunakan filter 0,22 µm 100
200 300
400 500
600
2000 4000
6000 8000
Volume ml
Waktu alir detik
Air Injeksi T
Larutan surfaktan
100 200
300 400
500 600
500 1000
1500 2000
2500
Volume ml
Waktu alir detik
Air Injeksi T
Larutan surfaktan
38 Berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa laju alir formula surfaktan lebih lambat
dibadingkan dengan laju alir Air Injeksi dari Lapangan T sedangkan berdasarkan tabel pada Lampiran 16 diketahui bahwa nilai Fr yang dimiliki oleh formula surfaktan lebih besar
dibandingkan dengan nilai Fr yang dimiliki oleh Air Injeksi dari lapangan T. Nilai Fr yang dihasilkan formula surfaktan yaitu 1,09 sehingga formula surfaktan dikatakan memiliki kinerja
baik karena nilai Fr yang dihasilkan 1,2. Laju alir formula surfaktan lebih lambat dikarenakan formula tersebut memiliki bobot molekul yang lebih besar daripada bobot molekul air injeksi.
Bobot molekul memiliki korelasi positif terhadap ukuran molekul. Semakin besar bobot molekul suatu senyawa maka semakin besar pula ukuran molekul senyawa tersebut.
Pada uji ini juga dilakukan uji lain berupa uji IFT dan uji densitas. Hal ini bertujuan untuk melihat pengaruh uji filtrasi terhadap nilai IFT dan nilai densitas. Untuk lebih jelasnya,
nilai IFT dan nilai densitas pada uji filtrasi dapat dilihat pada Lampiran 17. Berikut ini adalah nilai IFT dan nilai densitas dari larutan surfaktan pada tiap tahap filtrasi :
Gambar 29. Nilai IFT setelah tahapan filtrasi
Gambar 30. Nilai densitas setelah tahapan filtrasi
9.11E ‐03
7.00E ‐03
9.34E ‐03
5.03E ‐02
3.81E ‐02
0.E+00 2.E
‐02 4.E
‐02 6.E
‐02
Tanpa saring Filter 500 mesh Filter 21
mikron Filter 0.45
mikron Filter 0.22
mikron
IFT dynecm
Perlakuan
0.9860 0.9857
0.9857 0.9861
0.9861
0.97 0.98
0.99
Tanpa saring Filter 500 mesh Filter 21
mikron Filter 0.45
mikron Filter 0.22
mikron
Densitas gcm
3
Perlakuan
39 Dari Gambar 29 diketahui bahwa nilai IFT terkecil berada setelah filtrasi dengan menggunakan
filter 500 mesh sedangkan nilai IFT terbesar berada setelah filtrasi dengan 0,45 mikron. Nilai IFT meningkat seiring dengan filter yang semakin mengecil. Hal ini terjadi karena pada saat
filtrasi tidak hanya kotoran yang tersaring melainkan bahan aktif surfaktan juga ikut tersaring. Lain halnya dengan nilai densitas dimana nilai densitas terkecil berada setelah filtrasi dengan
menggunakan filter 500 mesh sedangkan nilai densitas terbesar berada setelah filtrasi dengan menggunakan filter 0,22 mikron. Nilai densitas meningkat seiring dengan filter yang semakin
mengecil. Densitas menunjukkan bobot molekul yang terkandung dalam suatu bahan. Semakin besar densitas maka semakin besar bobot molekul yang terkandung dalam suatu bahan.
Pada uji filtrasi, formula surfaktan diuji secara mikroskopik. Pengujian mikroskop ini bertujuan untuk mengetahui ukuran molekul yang terdapat pada larutan surfaktan. Penampakan
secara visual pada tiap tahapan filtrasi disajikan pada Gambar 31.
Gambar 31. Penampakan molekul pada tiap tahapan filtrasi Tanpa filtrasi
Filter 500 mesh
Filter 21 µm Filter 0,45 µm
Filter 0,22 µm
40 Dari Gambar 31 diketahui bahwa molekul surfaktan semakin sedikit jumlahnya seiring dengan
semakin rapatnya tahapan filtrasi. Selain molekul surfaktan, molekul lain juga terlihat seperti pengotor. Molekul pengotor semakin mengecil seiring dengan semakin rapatnya tahapan
filtrasi. Molekul pengotor telihat paling jelas berada tahapan tanpa filtrasi sedangkan molekul surfaktan terlihat paling jelas berada pada tahapan filtrasi dengan menggunakan filter 21 µm.
Molekul pengotor terlihat pada tiap tahapan filtrasi sedangkan molekul surfaktan sudah tidak terlihat secara jelas pada tahapan filtrasi dengan menggunakan filter 0,45 µm dan 0,22 µm. Hal
tersebut mengindikasikan bahwa molekul surfaktan hampir sudah tidak ada sehingga berdampak terhadap nilai IFT yang dihasilkan pada tahapan filtrasi tersebut dimana mengalami
kenaikan nilai IFT.
4.5. COREFLOODING TEST
Coreflooding test merupakan simulasi penginjeksian fluida ke dalam reservoir dengan
memperhatikan sifat batuan reservoir. Sifat batuan yang dimaksud adalah porositas dan permeabilitas batuan. Simulasi bertujuan untuk mengetahui proses pengambilan minyak bumi dengan melakukan
pendesakan pada core sintetik. Pendesakan dilakukan dengan menggunakan air injeksi dan formula surfaktan. Dalam coreflooding test terdapat parameter-parameter input yang perlu diperhatikan yaitu
batuan, sifat fluida yang diinjeksikan dan recovery factor. Batuan yang digunakan adalah batuan yang memiliki kesamaan dengan batuan di lapangan sedangkan sifat fluida disesuaikan dengan karakteristik
reservoir berupa suhu dan tekanan dimana pada sumur Tx bersuhu 70
o
C sehingga selama proses coreflooding test
harus berada pada suhu 70
o
C dan tekanan 10 psi. Sementara itu, recovery factor yang dimaksud adalah faktor-faktor yang mempengaruhi besar kecilnya recovery minyak yang
diperoleh. Faktor-faktor tersebut adalah jenis surfaktan, konsentrasi surfaktan dan lama perendaman batuan dalam surfaktan.
Pendesakan minyak pada enhanced waterflooding menggunakan konsep surfactant soaking. Hal yang mendasari konsep tersebut adalah pergerakan fluida dalam reservoir pada saat pendesakan
minyak hampir sama dengan aliran fluida saat diproduksikan aliran fluida ke lubang sumur. Surfactant soaking
yang dilakukan menggunakan system soak injection methods metode injeksi dan perendaman. Dengan adanya metode tersebut diharapkan surfaktan mampu bekerja secara optimal
dimana waktu perendaman yang telah ditetapkan mampu membentuk IFT yang baru antara minyak-air dan saturasi surfaktan di dalam core sintetik sehingga minyak yang terperangkap dalam pori-pori akan
terlepas dan akan terproduksikan dengan pergerakan yang sama pada saat pendesakan. Waktu perendaman surfaktan juga diharapkan mampu meningkatkan recovery minyak yang dilakukan oleh
surfaktan. Alat yang digunakan untuk coreflooding test adalah core holder apparatus. Core holder
apparatus terdiri dari pompa hidrolik, oven besar, core holder dan buret. Pompa hidrolik digunakan
untuk mengingjeksikan fluida berupa minyak bumi, air injeksi dan larutan surfaktan dari dalam tabung masing-masing ke core holder. Tabung tersebut berada di dalam oven besar yang telah diatur suhu
sesuai reservoir yaitu 70
o
C dengan tekanan 10 psi yang didorong oleh pompa hidrolik. Pada core holder
juga disetting suhu 70
o
C dan diberi tekanan 100 psi dalam kondisi vakum. Pemberian tekanan bertujuan untuk mengikat core serta tutup atas dan bawah core holder. Pengkondisian vakum dalam
core holder bertujuan untuk mencegah kebocoran fluida. Fluida diinjeksikan melewati pori-pori core
sandstone sintetik yang berada di dalam core holder. Selanjutnya, fluida yang keluar ditampung pada
buret yang tepat berada di bawah saluran keluar fluida pada core holder. Fluida yang keluar diukur volumenya sebagai hasil coreflooding.
41 20
40 60
80 100
0.1 0.2
0.3
Recovery minyak
Porevolume PV
Recovery minyak setelah
injeksi dan soaking surfaktan
Recovery minyak setelah
waterflood Penginjeksian fluida pertama berupa Minyak Tx dimana mendorong Air Formasi Tx yang
telah tersaturasi pada core. Minyak menggantikan tempat air formasi yang keluar sehingga minyak yang masuk setara dengan air formasi yang keluar. Air Formasi Tx yang keluar diukur untuk
mengetahui porevolume yang dimiliki oleh core. Penginjeksian fluida kedua berupa Air Injeksi T dimana mendorong Minyak Tx yang terkandung pada core. Penginjeksian kedua ini merupakan
simulasi tahap sekunder dalam recovery minyak berupa waterflooding. Penginjeksian ini berhenti jika tidak ada lagi minyak yang keluar. Selanjutnya, penginjeksian fluida ketiga berupa formula surfaktan
dimana surfaktan telah dilarutkan dalam air injeksi. Penginjeksian ini merupakan tahap lanjut atau EOR berupa enhanced waterflooding. Formula surfaktan yang diinjeksikan sebesar 0,1 PV, 0,2 PV
dan 0,3 PV bertujuan untuk mendapatkan tambahan recovery minyak 10–20. Pada penelitian ini digunakan analisis statistik berupa Rancangan Acak Lengkap dengan satu
faktor. Analisis statistik bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor terhadap respon. Faktor yang dimaksud adalah porevolume formula surfaktan dan respon yang dimaksud adalah recovery minyak.
Pada penelitian ini, total recovery minyak yang diperoleh 46,88 sampai 61,07. Hasil analisis statistik menunjukkan adanya pengaruh porevolume formula surfaktan terhadap recovery minyak
yang diperoleh. Pada tingkat kepercayaan 95 α = 0,05, porevolume formula surfaktan berpengaruh
secara signifikan terhadap recovery minyak yang diperoleh. Hasil analisis statistik dapat dilihat pada Lampiran 19.
Selanjutnya dilakukan uji Duncan untuk mengetahui porevolume formula surfaktan mana yang berpengaruh secara signifikan terhadap recovery minyak yang diperoleh. Hasil uji Duncan
menunjukkan bahwa pada tingkat kepercayaan 95 formula surfaktan 0,2 PV memberikan pengaruh berbeda terhadap recovery minyak yang dihasilkan dimana 13,34. Pada tingkat kepercayaan yang
sama, formula surfaktan 0,1 PV dan 0,3 PV tidak memberikan pengaruh berbeda terhadap recovery minyak yang dihasilkan yaitu berturut-turut 1,79 dan 6,46. Data hasil uji Duncan dapat dilihat
pada Lampiran 19. Berikut ini adalah total recovery minyak yang diperoleh pada tiap perlakuan yang dapat dilihat pada Tabel 13 dan Gambar 32.
Tabel 13. Recovery minyak pada tiap perlakuan
Perlakuan Recovery minyak
setelah waterflood Recovery minyak setelah
injeksi dan soaking surfaktan Total recovery minyak
0.1PV 45.09 1.79
46.88 0.2 PV
47.73 13.34
61.07 0.3 PV
46.77 6.46
53.32
Gambar 32. Grafik hubungan antara PV dengan recovery minyak
42 Berdasarkan Gambar 32 dapat dilihat bahwa recovery minyak tertinggi diproduksi dengan 0,2 PV
formula surfaktan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Mwangi 2008, kondisi optimal recovery minyak dihasilkan oleh 0,2 PV dengan lama perendaman 12 jam. Besar recovery
minyak ditentukan pula oleh karakteristik core sintetik yang digunakan. Karakteristik tersebut adalah porositas dan permeabilitas. Core yang digunakan pada 0,1 PV dan 0,3 PV memiliki porositas yang
hampir sama yaitu 32,5–33,4 sedangkan core yang digunakan pada 0,2 PV memiliki porositas lebih besar dari core pada 0,1 PV dan 0,3 PV yaitu 34,4 dan 35,5. Porositas menunjukkan seberapa
banyak volume yang terdapat dalam core. Semakin besar porositas maka semakin besar volume yang terdapat dalam core. Sama halnya dengan porositas, permeabilitas core pada 0,1 PV dan 0,3 PV
hampir sama yaitu 44,7010–45,6682 mDarcy sedangkan permeabilitas core pada 0,2 PV lebih kecil dari core pada 0,1 PV dan 0,3 PV yaitu 40,8308 mDarcy dan 41,0749 mDarcy. Permeabilitas
menunjukkan kemampuan fluida untuk mengalir. Semakin besar permeabilitas maka semakin mudah fluida untuk mengalir.
Core pada 0,2 PV memiliki porositas yang paling besar sehingga volume yang terdapat
dalam core juga yang paling banyak tetapi permeabilitas yang dimilikinya paling kecil sehingga fluida lebih sulit untuk mengalir. Hasil data penelitian dapat dilihat pada Lampiran 18. Perbedaan porositas
dan permeabilitas menghasilkan nilai ulangan 1 dan ulangan 2 yang tidak berbeda secara signifikan tetapi nilai rata-rata yang berbeda secara signifikan. Kondisi proses terbaik dicapai pada formula
surfaktan 0,2 PV dengan lama perendaman 12 jam yang menghasilkan total incremental recovery minyak tertinggi sebesar 61,07 dimana recovery minyak setelah waterflood 47,73 dan recovery
minyak setelah injeksi surfaktan 13,34. Berikut ini adalah hasil coreflooding test yang tersaji dalam Tabel 14.
Tabel 14. Perbedaan porositas dan permeabilitas core terhadap recovery minyak
Perlakuan Ulangan Porositas Permeabilitas Total
Recovery core core Minyak
mDarcy
0.1 PV 1 32.5419 44.7010
50.00 2 33.1273 44.6989
43.75 0.2 PV
1 35.4648 40.8308 61.54
2 34.4336 41.0749 60.61
0.3 PV 1 33.4326 45.6682
53.13 2 33.1034 44.8112
53.33
43
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1. SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa surfaktan MES jarak pagar dapat digunakan pada enhanced waterflooding. Formula surfaktan yang terpilih adalah MES jarak pagar 0,3 dengan
NaCl 1000 ppm pada kondisi optimal salinitas dengan nilai densitas dan nilai IFT berturut-turut adalah 0,9850 gcm
3
dan 7,45 x 10
-3
dynecm. Formula tersebut memberikan kinerja yang baik pada sebagian besar uji kinerja. Formula surfaktan memberikan kinerja yang baik pada uji compatibility
dan uji filtrasi. Formula surfaktan memberikan nilai positif terhadap uji compatibility ditandai dengan surfaktan larut dalam air injeksi secara sempurna. Pada uji filtrasi, formula surfaktan memberikan
kinerja yang baik. Secara garis besar formula surfaktan memiliki nilai Fr yang lebih kecil dibandingkan dengan Air Injeksi T sebagai blanko serta nilai Fr yang ditetapkan yaitu 1,2.
Semakin kecil nilai Fr maka semakin baik kinerja dari formula surfaktan. Padaa uji phase behavior, formula surfaktan juga menunjukkan kinerja yang baik ditandai dengan terbentuknya fasa bawah
hingga hari ke-30 dengan excess water sebanyak 1 ml. Berdasarkan hasil analisis statistik dan uji Duncan dengan selang kepercayaan 95
α = 0,05 diketahui bahwa porevolume formula surfaktan memberikan pengaruh berbeda terhadap
recovery minyak yang dihasilkan. Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa formula surfaktan 0,2 PV
memberikan pengaruh berbeda terhadap recovery minyak yang dihasilkan sedangkan formula surfaktan 0,1 PV dan 0,3 PV tidak memberikan pengaruh berbeda terhadap recovery minyak yang
dihasilkan. Kondisi proses terbaik pada penelitian ini adalah injeksi surfaktan 0,2 PV dengan lama perendaman 12 jam yang menghasilkan total incremental recovery minyak 61,07 dimana recovery
minyak setelah waterflood 47,73 dan recovery minyak setelah injeksi surfaktan 13,34.
5.2. SARAN
1 Sebaiknya formula surfaktan mendapatkan perlakuan filtrasi hingga menggunakan filter
500 mesh untuk memisahkan bagian molekul pengotor yang terdapat pada air injeksi. 2
Pada coreflooding test, sebaiknya digunakan native core sandstone agar dihasilkan gambaran recovery minyak yang lebih tepat.