41.5 63.1 36.4 43.6 5.09 7.30 3.94 5.47 Pengolahan tanah optimum pada budidaya tebu lahan kering

99 Gambar 51 Produktivitas tebu sampling pada berbagai metode dan intensitas pengolahan tanah di areal kebun II Produktivitas tebu sampling PTS dan produktivitas gula sampling PGS cenderung turun pada intensitas pengolahan tanah yang meningkat Gambar 51 dan 52. Densitas dan tahanan penetrasi tanah yang meningkat akibat meningkatnya intensitas pengolahan tanah telah menyebabkan jumlah anakan tebu menurun Gambar 46. Kondisi ini mengakibatkan jumlah batang tebu, atau bobot batang tebu, menurun sehingga PTS menurun. PTS yang menurun tersebut menyebabkan PGS menurun pula.

56.2 41.5

40.8 63.1

45.6 36.4

1 3 5 2 4 6 Metode Pengolahan Tanah Produktivitas tebu sampling tonha

59.6 43.6

38.6 4 5 6 Intensitas Pengolahan Tanah Produktivitas tebu sampling tonha 100 Gambar 52 Produktivitas gula sampling pada berbagai metode dan intensitas pengolahan tanah di areal kebun II PTS hasil aplikasi metode 2 dan 4 lebih besar dibanding metode 1 dan 3, tetapi PTS metode 6 lebih kecil dibanding metode 5 Gambar 51. Bajak singkal digunakan pada metode 2, 4, dan 6, sedangkan bajak piring digunakan pada metode 1, 3, dan 5. Penggunaan bajak singkal dengan intensitas lebih dari satu kali pada metode 6 tersebut telah menyebabkan TPT lebih tinggi dibanding metode 2 dan 4 Gambar 28, sehingga jumlah tunas tebu muncul JTM dan jumlah anakan tebu JAT yang diperoleh lebih kecil dibanding metode 2 dan 4

6.71 5.09

5.96 7.30

5.84 3.94

1 3 5 2 4 6 Metode Pengolahan Tanah Produktivitas gula sampling tonha

7.01 5.47

4.95 4 5 6 Intensitas Pengolahan Tanah Produktivitas gula sampling tonha 101 Lampiran 30. Bajak singkal pada metode 2 dan 4 diaplikasikan dengan intensitas satu kali saja. Dengan demikian, dapat diungkapkan bahwa penggunaan bajak singkal dalam kegiatan pembajakan tanah moldboard plowing dengan intensitas satu kali akan menghasilkan PTS yang lebih besar dibanding moldboard plowing dengan intensitas lebih tinggi. JTM dan JAT yang meningkat telah menyebabkan PTS cenderung meningkat Gambar 53 dan Gambar 54. Gambar 53 Hubungan antara jumlah tunas tebu muncul JTM dan produktivitas tebu sampling PTS di areal kebun II Gambar 54 Hubungan antara jumlah anakan tebu JAT dan produktivitas tebu sampling PTS di areal kebun II y = 4.5297x + 11.053 R 2 = 0.781 30 40 50 60 70 4 6 8 10 12 14 JTM tunasm 2 PTS tonha y = 19.187x + 11.906 R 2 = 0.6094 30 40 50 60 70 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 JAT batangrumpun PTS tonha 102 Hubungan antara Densitas dan Tahanan Penetrasi Tanah dengan Variabel Pertumbuhan dan Produksi Tebu Hubungan antara densitas DST dan tahanan penetrasi tanah TPT dengan variabel pertumbuhan dan produksi tebu JTM, PAT, BKA, JAT, TBT, DBT, PGT, BBG, PTS, RGT, dan PGS dianalisis pada masa hingga tebu ditebang umur tebu 9 bulan setelah tanam, dan tidak dianalisis hingga umur tebu ratoon 6 bulan setelah tebang. Hal ini disebabkan karena pada saat ratoon 6 bulan tersebut belum cukup umur untuk diambil sampel kadar gula tebu sehingga tidak bisa dimunculkan data rendemen giling tebu RGT dan produktivitas gula sampling PGS. Hubungan antara DST dan TPT dengan variabel pertumbuhan dan produksi tebu tersebut ditunjukkan dengan kurva-kurva Lampiran 33 dan Lampiran 34, dimana berdasarkan persamaan-persamaan kurva tersebut dapat dihitung atau ditentukan nilai DST dan TPT yang memberikan nilai variabel pertumbuhan dan produksi tebu yang minimum dan maksimum, seperti ditunjukkan pada Tabel 15. Tabel 15 Nilai densitas dan tahanan penetrasi tanah yang memberikan nilai variabel pertumbuhan dan produksi tebu minimum dan maksimum Nilai DST gcc Y MIN = Y MAX = Nilai TPT kgfcm 2 Y MIN = Y MAX = Variabel Y X 1 X 2 fX 1 fX 2 X 3 X 4 fX 3 fX 4 JTM 1.35 1.30 4.85 9.26 9.06 12.04 8.77 13.26 PAT 1.45 1.27 18.67 23.03 12.91 25.32 20.63 23.18 BKA 1.33 1.53 10.45 19.40 13.27 25.37 7.91 16.15 JAT 1.47 1.30 1.62 2.13 14.44 24.31 1.83 2.20 TBT 1.32 1.47 92.71 108.71 24.06 12.34 90.06 97.85 DBT 1.29 1.48 18.24 19.73 27.63 13.64 18.03 19.21 PGT 1.28 1.48 11.23 15.82 6.74 21.87 11.71 13.65 BBG 1.19 1.63 264.51 415.88 14.06 26.17 252.31 348.11 PTS 1.48 1.30 37.70 61.88 13.93 24.85 37.03 61.63 RGT 1.30 1.46 10.41 14.95 24.11 9.13 8.35 12.68 PGS 1.54 1.32 4.68 6.75 16.10 26.01 4.11 5.39 Y = variabel pertumbuhan dan produksi tebu, X = nilai DST dan TPT yang memberikan nilai Y MIN atau Y MAX , MIN = minimum, dan MAX = maksimum 103 Kurva-kurva dalam Lampiran 33 dan 34 menunjukkan pola yang sama antara satu dan lainnya. Kurva-kurva yang berpola sama dalam hubungan antara DST dengan variabel pertumbuhan dan produksi tebu adalah kurva-kurva JTM, PAT, JAT, PTS, dan PGS, dan kurva-kurva BKA, TBT, DBT, PGT, BBG, dan RGT. Kurva-kurva yang berpola sama dalam hubungan antara TPT dengan variabel pertumbuhan dan produksi tebu adalah kurva-kurva JTM, PAT, BKA, JAT, PGT, BBG, PTS, dan PGS, dan kurva-kurva TBT, DBT, dan RGT. Panjang akar tebu PAT mencapai minimum pada DST sebesar 1.45 gcc dan mencapai maksimum pada DST sebesar 1.27 gcc Tabel 15, yang menunjukkan bahwa PAT berkembang semakin besar pada DST yang semakin rendah. Hasil ini analog dengan laju pemanjangan akar tebu yang semakin besar pada DST yang semakin rendah, sebagaimana telah diungkapkan oleh Trouse 1965. Pada DST yang semakin rendah maka tanah akan semakin remah sehingga akan semakin mudah ditembus oleh akar-akar tebu. Pemanjangan akar tebu yang semakin besar bukan semata-mata karena kondisi DST yang semakin rendah, melainkan juga berhubungan dengan perkembangan akar tebu dalam mencari air dalam tanah. Pada saat kadar air tanah berkurang akibat tanah yang terlampau remah sehingga tanah mudah meloloskan air, maka akar tebu akan cenderung memperpanjang akar-akarnya untuk mencari sumber air dalam tanah. Keadaan tersebut tentunya akan berpengaruh terhadap pertumbuhan batang tebu. Pertumbuhan batang tebu TBT dan DBT dapat terhambat karena tebu terkonsentrasi ke pemanjangan akar untuk bertahan hidup. Hal tersebut dapat dilihat dari TBT dan DBT yang besar pada BKA yang besar pula. BKA yang besar, berarti dalam satu rumpun terdapat banyak akar tebu, yang menyebabkan penyerapan air dan zat-zat hara dalam tanah oleh akar-akar tebu dalam jumlah yang banyak pula, sehingga pertumbuhan batang tebu TBT dan DBT menjadi besar pula. Pada DST yang rendah tersebut 1.27 gcc maka PAT dapat mencapai maksimum sebesar 23.03 cm Tabel 15. Pada DST yang hampir sama sebesar 1.30 gcc maka JTM dan JAT menjadi besar karena tunas-tunas dan anakan tebu mempunyai kemudahan menembus tanah. JAT yang banyak akan menyebabkan jumlah dan bobot batang tebu menjadi besar sehingga pada DST sebesar 1.30 gcc tersebut akan diperoleh PTS tertinggi sebesar 61.88 tonha Tabel 15. Pada DST 104 yang hampir sama tersebut 1.32 gcc diperoleh PGS yang tertinggi pula sebesar 6.75 tonha Tabel 15. PTS yang tinggi pada JTM dan JAT yang besar didukung oleh korelasi positif antara PTS dengan JTM dan JAT, sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 56 dan Gambar 57. Dapat diungkapkan bahwa DST sebesar 1.30- 1.32 gcc merupakan gambaran kisaran DST optimum yang memberikan PTS dan PGS maksimum. DST sebesar 1.30-1.32 gcc diperoleh pada metode-metode yang menghasilkan DST mendekati gambaran kisaran DST optimum tersebut, yaitu pada metode 1, 2, dan 6. DST metode 6 adalah sebesar 1.29 gcc. Oleh karena pada DST tersebut diperoleh PTS dan PGS sebesar 36.41 tonha dan 3.94 tonha terendah di antara 5 metode lainnya maka dapat disebutkan bah wa kisaran DST hasil pengolahan tanah yang memberikan hasil JTM, JAT, PTS, dan PGS terbesar diperoleh pada metode 1 dan 2 yang diaplikasikan di plot 1 dan 2. Dengan demikian, dapat diungkapkan pula bahwa dengan metode pengolahan tanah berintensitas paling rendah subsoiling-plowing-harrowing -furrowing dapat dihasilkan PTS dan PGS paling tinggi. Hal tersebut juga didukung oleh adanya kecenderungan bahwa dengan intensitas pengolahan tanah yang semakin tinggi diperoleh PTS dan PGS yang semakin rendah, seperti ditunjukkan dalam Gambar 51 dan Gambar 52. Bobot kering akar BKA maksimum sebesar 19.40 grumpun diperoleh pada DST sebesar 1.53 gcc, dimana TBT, DBT, dan RGT maksimum sebesar 108.71 cm, 19.37 mm, dan 14.95 diperoleh pada DST sebesar 1.47 gcc, 1.48 gcc, dan 1.46 gcc Tabel 15. Pada DST dalam kisaran tersebut 1.46-1.53 gcc BKA bernilai tinggi. BKA yang semakin besar menyebabkan suplai air dan zat- zat hara ke batang menjadi semakin besar sehingga pertumbuhan batang tebu TBT dan DBT dan rendemen giling tebu RGT menjadi semakin besar pula. BKA terbesar pada DST sebesar 1.53 gcc tersebut memberikan gambaran bahwa gulma juga tumbuh lebat pada DST mendekati 1.53 gcc tersebut, yakni PGT dan BBG maksimum sebesar 15.82 dan 415.88 kgha dip eroleh pada DST sebesar 1.48 gcc dan 1.63 gcc Tabel 15. Hal ini berarti bahwa ketika akar-akar tebu dapat menyerap air dan zat-zat hara dalam jumlah besar untuk pertumbuhan batang dan kadar gula tebu TBT, DBT, dan RGT maka gulma yang tumbuh di sekitar tebu tersebut juga dapat menyerap air dan zat -zat hara dalam jumlah yang besar pula sehingga PGT dan BBG menjadi besar. 105 Pada DST yang lebih rendah hingga mencapai 1.28 gcc dan 1.19 gcc diperoleh PGT dan BBG minimum sebesar 11.23 dan 264.51 kgha Tabel 15. Hasil analisis ini mengisyaratkan bahwa dengan semakin rendah DST maka akan diperoleh pertumbuhan gulma yang semakin rendah pula, sehingga hasil pengolahan tanah yang menghasilkan DST rendah akan menguntungkan karena akan diperoleh produktivitas tebu dan gula sampling PTS dan PGS tinggi, tetapi diperoleh pertumbuhan gulma PGT dan BBG yang rendah. JTM mencapai maksimum 13.26 tunasm 2 pada TPT hasil pengolahan tanah sebesar 12.04 kgfcm 2 Tabel 15. Sebagai ilustrasi, TPT sebesar 12.04 kgfcm 2 1.204 MPa tersebut masih lebih kecil dari 1.6 MPa yang merupakan batas TPT tertinggi yang membatasi pemunculan tunas seedling emergence biji- biji shorgum, sebagaimana telah dikemukakan oleh Parker dan Taylor 1965. Berdasarkan hasil analisis hubungan antara TPT dengan variabel pertumbuhan dan produksi tebu diperoleh kurva-kurva PAT, BKA, JAT, PGT, BBG, PTS, dan PGS yang mempunyai pola sama. Ketujuh variabel tersebut bernilai maksimum pada kisaran TPT sebesar 21.87-26.17 kgfcm 2 Tabel 15. Tahanan penetrasi tanah TPT memberikan gambaran kekerasan tanah, dimana pengukurannya dalam arah vertikal ke bawah. Tanah yang semakin keras ditunjukkan oleh TPT yang semakin tinggi. Hasil pengukuran TPT sebelumnya, sebagai contoh adalah Lampiran 11, menun jukkan bahwa pada kedalaman tanah yang semakin besar maka tanah semakin keras yang menyebabkan semakin sulit ditembus oleh kerucut penetrometer sehingga TPT akan semakin tinggi besar. Kondisi ini memberikan petunjuk bahwa di dalam tanah akar-akar tebu akan berkembang lebih besar ke arah horisontal dibanding ke arah vertikal ke bawah. Gambaran kondisi inilah yang menyebabkan PAT dan BKA sama-sama mencapai maksimum pada TPT yang hampir sama, yaitu sebesar 25.32 kgfcm 2 dan 25.37 kgfcm 2 Tabel 15. Pada TPT mendekati kedua nilai tersebut 24.31 kgfcm 2 JAT mencapai maksimum sebesar 2.20 batangrumpun. Pencapaian JAT maksimum pada TPT sebesar 24.31 kgfcm 2 dapat menghasilkan PTS maksimum sebesar 61.63 tonha pada TPT sebesar 24.85 kgfcm 2 . Pada TPT yang mendekati 24.85 kgfcm 2 tersebut 26.01 kgfcm 2 diperoleh PGS maksimum sebesar 5.39 tonha Tabel 15. Pencapaian PTS dan PGS maksimum tersebut memberikan gambaran besarnya kisaran TPT optimum. 106 Pertumbuhan gulma PGT dan BBG mencapai maksimum pada kisaran TPT yang memberikan BKA maksimum 25.37 kgfcm 2 . PGT dan BBG maksimum sebesar 13.65 dan 348.11 kgha diperoleh pada TPT sebesar 21.87 kgfcm 2 dan 26.17 kgfcm 2 . PGT dan BBG mencapai minimum pada TPT sebesar 6.74 kgfcm 2 dan 14.06 kgfcm 2 Tabel 15. Dapat diungkapkan bahwa pertumbuhan gulma tersebut akan semakin rendah pada TPT yang semakin rendah pula, sehingga kondisi ini memberikan gambaran bahwa tindakan pengolahan tanah yang menghasilkan TPT rendah akan memberikan keuntungan karena akan diperoleh PGT dan BBG yang rendah pula. Pertumbuhan batang dan rendemen giling tebu TBT, DBT, dan RGT mencapai maksimum pada TPT berkisar 9.13-13.64 kgfcm 2 . Hasil ini memberi petunjuk bahwa untuk mendapatkan TBT, DBT, dan RGT yang tinggi diperlukan TPT dalam kisaran tersebut agar akar-akar tebu dapat menyerap air dan zat -zat hara secara maksimum sehingga diperoleh TBT, DBT, dan RGT maksimum. Densitas dan Tahanan Penetrasi Tanah Optimum Densitas DST dan tahanan penetrasi tanah TPT optimum tercapai apabila perkembangan akar -akar tebu mencapai optimum sehingga pertumbuhan JTM, JAT, TBT, dan DBT dan produksi tebu PTS, RGT, dan PGS mencapai maksimum, tetapi pertumbuhan gulma PGT dan BBG mencapai minimum. Berdasarkan hasil analisis hubungan antara DST dan TPT dengan variabel pertumbuhan dan produksi tebu JTM, PAT, BKA, JAT, TBT, DBT, PGT, BBG, PTS, RGT, dan PGS terungkap bahwa pada DST hasil pengolahan tanah berkisar 1.30-1.32 gcc diperoleh JTM, JAT, PTS, dan PGS maksimum sebesar 9.26 tunasm 2 , 2.13 batangrumpun, 61.88 tonha, dan 6.75 tonha Tabel 15. Pada DST lebih kecil dari 1.30 gcc hingga 1.19 gcc diperoleh PGT dan BBG minimum sebesar 11.23 dan 264.51 kgha. Pada TPT hasil pengolahan tanah berkisar 6.74-14.06 kgfcm 2 diperoleh TBT, DBT, dan RGT maksimum sebesar 97.85 cm, 19.21 mm, dan 12.68, serta diperoleh PGT dan BBG minimum sebesar 11.71 dan 252.31 kgha Tabel 15. Dengan demikian, kisaran DST dan TPT optimum untuk pertumbuhan dan produksi tebu maksimum dan untuk pertumbuhan gulma minimum adalah 1.20-1.30 gcc dan 6.00-14.00 kgfcm 2 . 107 DST optimum sebesar 1.20-1.30 gcc diperoleh pada metode-metode yang menghasilkan DST mendekati kisaran optimum tersebut, yaitu metode 1, 2, dan 6. Pada metode 1 dan 2 diperoleh PTS dan PGS terbesar kedua dan pertama, sedangkan pada metode 6 diperoleh PTS dan PGS terkecil Gambar 51 dan 52, sehingga metode 1 dan 2 berpotensi menghasilkan DST optimum. TPT optimum sebesar 6.00-14.00 kgfcm 2 berpeluang dihasilkan oleh metode-metode 1 hingga 6, karena TPT hasil pengolahan tanah keenam metode tersebut masuk dalam kisaran TPT optimum. Berdasarkan atas potensi dan peluang tersebut maka dapat ditentukan bahwa metode 1 dan 2 adalah metode pengolahan tanah optimum. Kedua metode tersebut mengaplikasikan intensitas pengolahan tanah paling rendah sebanyak 4 kali. Dengan demikian, dapat diungkapkan bahwa DST dan TPT optimum diperoleh pada metode-metode pengolahan tanah dengan intensitas pengolahan tanah paling rendah sebanyak 4 kali. Metode Pengolahan Tanah Optimum Metode pengolahan tanah optimum merupakan gabungan dari metode pengolahan tanah efektif dan metode pengolahan tanah efisien, sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 14. Metode pengolahan tanah efektif mengacu kepada pengolahan tanah efektif, yan g ditandai dengan dihasilkannya densitas DST dan tahanan penetrasi tanah TPT optimum sehingga diperoleh pertumbuhan gulma PGT dan BBG minimum dan produktivitas gula sampling PGS maksimum. Metode pengolahan efisien mengacu kepada pengolahan tanah efisien, yang ditandai dengan diperolehnya konsumsi bahan bakar per satuan luas tanah terolah KBL minimum. Metode pengolahan tanah dikatakan semakin optimum apabila PGS semakin tinggi, tetapi KBL semakin rendah, sehingga diperoleh penerimaan hasil penjualan gula PHG semakin tinggi dan biaya operasi pengolahan tanah BPT semakin rendah. Selisih antara PHG dan BPT merupakan keuntungan sementara bagi pabrik gula KPG, sehingga dengan PHG yang semakin tinggi dan BPT yang semakin rendah akan diperoleh KPG semakin besar. Metode pengolahan tanah paling optimum ditentukan berdasarkan KPG terbesar. Hasil perhitungan untuk menentukan metode pengolahan tanah optimum disajikan pada Tabel 16, dimana hasil perhitungan secara lengkap disajikan pada Lampiran 35 dan Lampiran 36. 108 Tabel 16 Hasil perhitungan untuk menentukan metode pengolahan tanah optimum pada budidaya tebu lahan kering Me- tode WPT jamha KBL lha PGS tonha BPT 1 Rpha PHG 2 Rpha KPG Rpha Urutan optimum 1 3.86 73.44 6.7 1 308 448 32 208 000 31 899 552 No. 2 2 4.93 91.56 7.30 384 552 35 040 000 34 655 448 No. 1 3 4.19 87.94 5.09 369 348 24 432 000 24 062 652 No. 5 4 4.27 78.27 5.84 328 734 28 032 000 27 703 266 No. 4 5 5.99 148.05 5.96 621 810 28 608 000 27 986 190 No. 3 6 7.39 131.06 3.94 550 452 18 912 000 18 361 548 No. 6 WPT = waktu operasi pengolahan tanah, KBL = konsumsi bahan bakar per satuan luas, PGS = produktivitas gula sampling , BPT = biaya operasi pengolahan tanah, PHG = penerimaan hasil penjualan gula, dan KPG = keuntungan sementara bagi pabrik gula Dihitung berdasarkan jumlah total kegiatan pengolahan tanah 1 Dihitung berdasarkan harga bahan bakar Rp 4 200.00liter 2 Dihitung berdasarkan asumsi harga gula pasir Rp 4 800.00kg Metode Sub-MP-DH-Fur metode 2 adalah metode pengolahan tanah paling efektif untuk penyiapan lahan tebu karena dihasilkan produktivitas gula sampling PGS terbesar, atau penerimaan hasil penjualan gula PHG terbesar Tabel 16. Metode Sub-DP-DH-Fur metode 1 merupakan metode pengolahan tanah yang paling efisien karena WPT total dan KBL total paling rendah sehingga biaya operasi pengolahan tanahnya BPT paling rendah. Berdasarkan hasil perhitungan keuntungan sementara bagi pabrik gula KPG diperoleh nilai KPG terbesar pada metode 2, diikuti metode 1, 5, 4, 3, dan terkecil metode 6. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa metode Sub-MP-DH-Fur metode 2 merupakan metode pengolahan tanah paling optimum pada budidaya tebu lahan kering di PT Gula Putih Mataram, Lampung Tengah. Hasil ini mengisyaratkan bahwa dalam budidaya tebu lahan kering sedapat mungkin diupayakan diraih pengolahan tanah efektif agar diperoleh produktivitas gula tertinggi sehingga diperoleh PHG tertinggi pula. Hal ini berarti bahwa ketika faktor tanah, iklim, dan tanamannya adalah tertentu dan seragam maka faktor tindakan budidaya pada saat penyiapan lahan menjadi penentu keberhasilan diperolehnya pengolahan tanah efektif tersebut sehingga terbentuk densitas dan tahanan penetrasi tanah optimum untuk pertumbuhan dan produksi tebu maksimum. SIMPULAN Simpulan yang dapat dimunculkan dari hasil penelitian di kebun tebu lahan kering milik PT Gula Putih Mataram, Lampung Tengah yaitu: 1 Metode pengolahan tanah dengan intensitas semakin tinggi menghasilkan produktivitas tebu dan gula sampling yang semakin rendah, dan biaya konsumsi bahan bakar yang semakin tinggi, sehingga menyebabkan hasil pengolahan tanahnya semakin tidak efektif dan semakin tidak efisien 2 Metode pengolahan tanah dengan intensitas pengolahan tanah minimum menghasilkan densitas dan tahanan penetrasi tanah optimum yang menyebabkan produktivitas tebu dan gula sampling mencapai maksimum, tetapi pertumbuhan gulma dan biaya konsumsi bahan bakarnya minimum, sehingga menghasilkan pengolahan tanah paling efektif dan efisien 3 Kisaran densitas dan tahanan penetrasi tanah optimum untuk pertumbuhan dan produksi tebu maksimum, serta untuk pertumbuhan gulma minimum, adalah sebesar 1.20-1.30 gcc dan 6.00-14.00 kgfcm 2 , yang diperoleh dengan cara mengaplikasikan metode pengolahan tanah minimum untuk tebu, yaitu metode “subsoiling-plowing-harrowing -furrowing” 4 Metode pengolahan tanah “subsoiling-moldboard plowing-disk harrowing- furrowing ” merupakan metode pengolahan tanah paling optimum pada budidaya tebu lahan kering di PT Gula Putih Mataram, Lampung Tengah SARAN Saran-saran yang dapat diajukan dari hasil penelitian di kebun tebu lahan kering milik PT Gula Putih Mataram, Lampung Tengah yaitu: 1 Hasil-hasil penelitian dan analisis maupun kesimpulan yang dituangkan dalam tulisan ini berlaku atau valid untuk kondisi alat dan mesin pertanian, jenis tanah, varietas bibit tebu, tindakan budidaya tanaman, dan iklim yang tertentu di PT Gula Putih Mataram, Lampung Tengah sehingga penelitian serupa perlu dilakukan untuk aplikasi metode pengolahan tanah optimum ini di tempat lain 2 Pengolahan tanah minimum pada budidaya tebu lahan kering dapat digunakan sebagai acuan dalam melakukan pengolahan tanah optimum efektif dan efisien 3 Penggunaan bajak singkal sebaiknya tetap dipertahankan untuk penyiapan lahan di PT Gula Putih Mataram karena meskipun efisiensinya lebih rendah dibanding penggunaan bajak piring, tetapi mampu menghasilkan kondisi sifat fisik-mekanik tanah untuk pertumbuhan dan produksi tebu yang lebih baik dibanding bajak piring. Penggun aan bajak singkal untuk penyiapan lahan cukup dilakukan satu kali saja, karena dengan intensitas yang lebih tinggi hanya akan menyebabkan pengolahan tanahnya menjadi tidak efisien 4 Tindakan PT Gula Putih Mataram yang tidak melakukan pembumbunan pada varietas tebu TC-9 sudah tepat, karena apabila dilakukan pembumbunan maka densitas tanah akan bertambah besar yang menyebabkan jumlah anakan tebunya berkurang sehingga akan menurunkan produktivitas tebu sampling 5 Metode pengolahan tanah optimum dengan cara menerapkan intensitas pengolahan tanah minimum adalah sangat sesuai untuk tanah Ultisol Podsolik Merah Kuning di PT Gula Putih Mataram, Lampung Tengah karena tanah jenis ini mempunyai karakteristik miskin hara dan lapisan tanah olahnya dangkal Daftar Pustaka [AGI] Asosiasi Gula Indonesia. 27 April 2003. Tak Ada Gula, Ada “Semut Merah”. Kompas:25 kolom 1-4. Alcock R. 1986. Tractor–Implement Systems. Connecticut: The AVI Publishing Company. Arkin GF, Taylor HM, editor. 1981. Modifying the Root Environment to Reduce Crop Stress . Michigan: The American Society of Agricultural Engineers. Bainer R, Kepner RA, Barger EL. 1960. Principles of Farm Machinery. Ed ke- 2. New York: John Wiley Sons, Inc. Bakker H. 1999. Sugar Cane Cultivation and Management. New York: Kluwer AcademicPlenum. Baver LD, Gardner WH, Gardner WR. 1972. Soil Physics. Ed ke-4. New Delhi : Wiley Eastern Limited. Blake GR, Hartge KH. 1986. Bulk Density. Di dalam: Klute A, editor. Methods of Soil Analysis Part 1: Physical and Mineralogical Methods . Edisi ke-2. Wisconsin: American Society of Agronomy, Inc., and Soil Science Society of America, Inc. hlm: 363-375 Bradford JM. 1986. Penetrability. Di dalam: Klute A, editor. Methods of Soil Analysis Part 1: Physical and Mineralogical Methods . Edisi ke-2. Wisconsin: American Society of Agronomy, Inc., and Soil Science Society of America, Inc. hlm: 463-478 Buckingham F, editor. 1984. Fundamentals of Machine Operation: Tillage. Ed ke-2. Illinois: Deere Company Service Training. Carter LM, Stockton JR, Tavernetti JR, Colwick RF. 1965. Precision Tillage for Cotton Production. Trans. of the ASAE 82:177-179. Chapman SR, Carter LP. 1976. Crop Production: Principles and Practices. San Francisco: W.H. Freeman and Company. Davies DB, Payne D. 1988. Management of Soil Physical Properties. Di dalam: Wild A, editor. Russell’s Soil Conditions and Plant Growth. Ed ke-11. Essex: Longman Scientific Technical, Longman Group UK Limited. Davies DB, Eagle DJ, Finney JB. 1993. Soil Management. Ed ke-5. New York: Farming Press. Donahue RL, Follett RH, Tulloch RW. 1976. Our Soils and Their Management. Ed ke-4. Illinois: The Interstate Printers Publishers, Inc. Fauconnier R. 1993. Sugar Cane. London: The Macmillan Press Ltd. Forbes JC, Watson RD. 1992. Plants in Agriculture. Ed ke-1. Cambridge: Cambridge University Press. 112 Glover J. 1967. The Simultaneous Growth of Sugarcane Roots and Tops in Relation to Soil and Climate. Procs. SASTA 41:145-146. Goering CE, Hansen AC. 2004. Engine and Tractor Power. Ed ke-4. Michigan: The American Society of Agricultural Engineers. [GPM Group] Gula Putih Mataram Group. 2003. Review of Crop 2002 Fiscal 20022003 Plantations Department . Lampung Tengah: PT Gula Putih Mataram. Gregory PJ. 1988. Growth and Functioning of Plant Roots. Di dalam: Wild A, editor. Russell’s Soil Conditions and Plant Growth. Ed ke-11. Essex: Longman Scientific Technical, Longman Group UK Limited. Hakim N, Nyakpa MY, Lubis AM, Nugroho SG, Saul MR, Diha MA, Hong GB, Bailey HH. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Bandar Lampung: Universitas Lampung Hardjowigeno S. 1995. Ilmu Tanah . Ed ke-4. Jakarta: Akademika Pressindo. Hartmann HT, Flocker WJ, Kofranek AM. 1981. Plant Science: Growth, Development, and Utilization of Cultivated Plants . New Jersey: Prentice- Hall, Inc. Hayes WA. 1982. Minimum Tillage Farming. Wisconsin: No-Till Farmer, Inc. Hill RW. 1979. Tillage Requirement for Cereal Crop Production and Their Relationship to the Development of New Tillage Machinery. Di dalam: Emerson WW, Bond RD, Dexter AR, editor. Modification of Soil Structure . A Wiley – Interscience Publication. New York: John Wiley Sons. hlm: 363-370 Humbert RP. 1968. The Growing of Sugar Cane. Amsterdam: Elsevier Publishing Company. Hunt D. 1995. Farm Power and Machinery Management. Ed ke-9. Iowa: IOWA State University Press. [IKAGI] Ikatan Ahli Gula Indonesia. 1975. Proceedings Ikatan Ahli Gula Indonesia ; Yogyakarta, 21-22 Maret 1975. Islam MN, Sattar MA. 1997. Selection of Power Tiller for Bangladesh Farmers. Agricultural Mechanization in Asia, Africa and Latin America AMA 28 4 Autumn:18-20. Kepner RA, Bainer R, Barger EL. 1972. Principles of Farm Machinery. Ed ke- 2. Connecticut: The AVI Publishing Co., Inc. Kisu M. 1972. Soil Physical Properties and Machine Performances. JARQ Japan Agricultural Research Quarterly 63:151-154. Kohnke H. 1968. Soil Physics. New York: McGrawHill Book Company. Kuntohartono T. 1987. Pergeseran Gulm a di Kebun Tebu dan Penanggulangannya . Pasuruan: BP3G. hlm 7 Lockhart JAR, Wiseman AJL. 1988. Introduction to Crop Husbandry, Including Grassland . Ed ke-6. Oxford: Pergamon Press, Wheaton Co. Ltd. 113 Mandang T, Nishimura I. 1991. Hubungan Tanah dan Alat Pertanian. Bogor: Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi, JICA-DGHEIPB ProjectADAET: JTA-9a13. McKyes E. 1985. Soil Cutting and Tillage. Developments in Agricultural Engineering 7 . Amsterdam: Elsevier Science Publishers B.V. McKyes E, Negi SC, Douglas E, Taylor F, Raghavan GSV. 1979. The Effect of Machinery Traffic and Tillage Operations on the Physical Properties of A Clay and On Yield of Silage Corn. J. Agr. Eng. Res. 24 :143-148. Miller RW, Donahue RL. 1990. Soils: An Introduction to Soils and Plant Growth . New Jersey: Prentice Hall. Moenandir J. 1988. Persaingan Tanaman Budidaya dengan Gulma Ilmu Gulma-Buku III . Jakarta: Rajawali Press. Mohr ECJ, Van Baren FA, Van Schuylenborgh J. 1972. A Comprehensive Study of Their Genesis. Jakarta: Mouton-Ichtiar Baru -Vahoerne, The Hague- Paris Muchtar M. 2002. Perubahan Densitas, Tahanan Penetrasi dan Ukuran Bongkah Tanah Akibat Pengolahan Tanah untuk Budidaya Tebu Lahan Kering [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Munir M. 1996. Tanah-tanah Utama Indonesia. Karakteristik, Klasifikasi, dan Pemanfaatannya . Edisi ke-1. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya Murwandono, Yogasara A, Fachri A. 1993. Kajian Cara Pengolahan Tanah Secara Mekanis Untuk Tanaman Tebu Terhadap Keadaan Gulma dan Efektivitas Herbisida. Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia P3GI Pasuruan: Berita No. 10. hlm 66-72. Negi SC, McKyes E, Raghavan GSV, Taylor F. 1981. Relationships of Field Traffic and Tillage to Corn Yields and Soil Properties. J. Terramechanics 18 3:259-270. Oida A. 1992. Terramechanics. Kyoto: Dept. Agric. Eng., Fac. Agric., Kyoto Univ. Parker ER, Jenny H. 1945. Water Infiltration and Related Soil Properties as Affected by Cultivation and Organic Fertilization. Soil Science, 60: 353- 376 Parker JJJr, Taylor HM. 1965. Soil Strength and Seedling Emergence Relations. I. Soil Type, Moisture Tension, Temperature, and Planting Depth Effects. Agron. J. 57:289-291. Payne D. 1988. Soil Structure, Tilth and Mechanical Behaviour. Di dalam: Wild A, editor. Russell’s Soil Conditions and Plant Growth. Ed ke-11. Essex: Longman Scientific Technical, Longman Group UK Limited. Plaster EJ. 1992. Soil Science and Management. Ed ke-2. New York: Delmar Publishers Inc. Radosevich S, Holt J, Ghersa C. 1977. Weed Ecology, Implication for Management . Ed ke-2. New York: John Wiley Sons, Inc. 114 Reaves CA, Cooper AW. 1960. Stress Distribution in Soils under Tractor Loads. Agricultural Engineering, 41: 20-21 [RD PT GPM] Research and Development PT Gula Putih Mataram. 2002. Soil and Climate Report . Lampung Tengah: Group Agro Lab. Division, Research and Development PT Gula Putih Mataram. Reid RL. 1990. The Manual of Australian Agriculture. Sydney: Butterworths Pty Limited. Rosenberg NJ. 1964. Response of Plants to the Physical Effects of Soil Compaction. Advances in Agronomy 16:181-196. Rozaq A. 1999. Reorientasi Penelitian Pengolahan Tanah Mekanis di Indonesia. Di dalam: Susanto S, Rahardjo B, Purwadi T, editor. Prosiding Seminar Nasional dan Kongres VII Perhimpunan Teknik Pertanian PERTETA ; Yogyakarta, 27-28 Juli 1998. Yogyakarta: Perhimpunan Teknik Pertanian. hlm 109-118. Sastroutomo SS. 1990. Ekologi Gulma. Jakarta: PT Gramedia. Setyamid jaja D, Azharni H. 1992. Tebu : Bercocok Tanam dan Pascapanen . Cetakan Pertama. Jakarta: CV Yasaguna. Shippen JM, Ellin CR, Clover CH. 1980. Basic Farm Machinery. Ed ke-3. Oxford: Pergamon Press, Wheaton Co. Ltd. Smith HP. 1955. Farm Machinery and Equipment. Ed ke-4. New York: McGraw-Hill Book Company. Söhne W. 1956. Fundamentals of Pressure Distribution and Soil Compaction under Tractor Tire. Agricultural Engineering, 39: 276-281 Sopyan H. 2002. Pengolahan Tanah Efisien pada Budidaya Tebu Lahan Kering di PT Gula Putih Mataram GPM, Lampung [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sukman Y, Yakup. 2002. Gulma dan Teknik Pengendaliannya. Ed ke-2, Cetakan 3. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Tarmani P, Darmanto H, Agresiana M. 1984. Gulma di Kebun Tebu di Sumatera Utara. Prosiding Pertemuan Teknis Tengah Tahunan II Lahan Kering di Luar Jawa Tahun 1984 . Pasuruan: Balai Penelitian Perusahaan Perkebunan Gula BP3G. hlm 116-122. Taylor HM, Parker JJJr, Roberson GM. 1966. Soil Strength and Seedling Emergence Relations. II. A Generalized Relation for Gramineae. Agron. J . 58:393-395. Thompson GD. 1957. Soils and Soil Fertility. New York: McGraw -Hill Book Company. hlm 37. Toboldt WK. 1977. Diesel : Fundamentals, Service, Repair. Illinois: The Goodheart-Willcox Company, Inc. Trouse ACJr. 1965. Effects of Soil Compression on the Development of Sugarcane Roots. Procs. ISSCT XII; Amsterdam. hlm 136 -148. 115 Trouse ACJr, Baver LD. 1965. Tillage Problems in the Hawaiian Sugar Industry. IV. Seedbed Preparation and Cultivation. Tech. Suppl. To Soil Rpt. No. 12, Exp. Sta., Hawaiian Sugar Planters Assn. Trouse ACJr, Humbert RP. 1961. Some Effects of Soil Compaction on the Development of Sugar -cane Roots. Soil Science: 91, 208-217. Upadhyaya SK, Lancas KP, Santos-Filho AG, Raghuwanshi NS. 2003. Evaluation of One-Pass Tillage Equipment versus Conventional Tillage Systems. http:www.energy.ca.govprocesspubseval_of_one_pass.pdf [6 Feb 2003]. [USDA] United State Department of Agriculture. 2002. Gain Report: Indonesia Sugar Semi-Annual 2002. http:www.fas.usda.govgainfiles199904 25454077.pdf Van Dillewijn C. 1952. Botany of Sugarcane. Waltham: The Chronica Botanica Co. Vomocil JA. 1955. The Occurrence of An Optimum Density for Soil [disertasi]. NewJersey: Rutgers State University. Wolfe TK, Kipps MS. 1953. Production of Field Crops. Ed ke-4. New York: McGraw-Hill Book Company, Inc. Yasumasa K. 1988. Farm Machinery. Volume II. Tsukuba: Tsukuba International Agricultural Training Centre, JICA. Yuschal. 1986. Pengaruh Pengolahan Tanah terhadap Sifat Fisik dan Mekanis Tanah, Penetrasi Akar dan Pertumbuhan Tebu di PG Bungamayang, Lampung Utara. Di dalam: Prosiding Pertemuan Teknis Tengah Tahunan; Pasuruan, 26-27 November 1986. Pasuruan: Balai Penelitian Perusahaan Perkebunan Gula BP3G. hlm 283-293. Zimdahl RL. 1980. Weed – Crop Competition : A Review. Oregon: International Plant Protection Center, Oregon State University. L A M P I R A N Lampiran 1 Peta topografi areal lahan penelitian di 76TU40, Blok 48, Rayon I, PT Gula Putih Mataram, Lampung Tengah 116 117 Lampiran 2 Spesifikasi implemen pengolahan tanah Identifikasi Implemen I Implemen II Implemen III Implemen IV Implemen V Nama Implemen Bajak Subsoiler Bajak Piring Bajak Singkal Garu Piring K a i r No. Inventaris – DP 74 MP 12 DH 33 WR 11 Merek – Cholburi Muang Thong C.M.T. DOWDES- WELL BALDAN HUARD Tipe Model Straight Shank MTD 1500 JUMBO, Standard Disk Plow DP–5, Share mulut ikan hiu, singkal panjang CSRG–28, Two Gang , Cutaway Disk , Trailing S0–270, Adjustable Wing Ridger Nomor chasis – 71026 Z 951644690 00251 – Negara Pabrik Pembuat PT Gula Putih Mataram Thailand Inggris Brazil – Tahun Pembuatan – 1992 1995 1994 1988 Harga Beli – – – – – Panjang Total m 0.50 3.00 2.85 5.29 1.60 Lebar Total m 2.50 1.00 1.66 4.32 4.00 Tinggi Total m 0.97 1.38 1.43 1.05 1.30 Jumlah Bottom 2 3 2 28 2 x 14 3 Jarak antar Bottom m 1.30 0.60 1.12 0.27 1.30 Diameter Piring m – 0.64 – 0.64 – Tinggi Singkal m – – 0.36 – – Lebar Kair m tiap Bottom – – – – 0.86, 0.93, 0.97 Tinggi Kair m tiap Bottom – – – – 0.46, 0.48, 0.41 Bobot kg – – – – – 118 Lampiran 3 Spesifikasi mesin pengolahan tanah traktor Identifikasi Mesin I Mesin II Nama Mesin Traktor Roda Empat Traktor Roda Empat Nomor Inventaris No. FT 350 No. FT 374 Merek F I A T JOHN DEERE Tipe Model Fiatagri-New Holland 140-90 Turbo 4 WD JD 6205 – 4 WD Daya, Rpm 140 hp, 2500 rpm 100 hp, 2300 rpm Negara Pembuat Brazil Jerman Tahun Pembuatan 1999 2002 Harga Beli US 41800 25900 Panjang Total m 4.420 4.020 Lebar Total m 2.250-2.700 2.062-2.362 Tinggi Total m 2.960 2.400 Jumlah Transmisi 8 Maju, 2 Mundur 10 Maju, 2 Mundur Bobot kg 7140 3950 119 Lampiran 4 Variabel-variabel penelitian dan prosedur pengukuran untuk menentukan sifat fisik-mekanik tanah VARIABEL PENELITIAN ALAT UKUR DAN BAHAN PROSEDUR PENGUKURAN F O R M U L A Kadar air tanah KAT Oven, timbangan analitis, desikator Timbang bobot basah contoh tanah BTB, dioven, lalu timbang bobot kering oven tanah BTK KAT = BTB – BTK BTK 100 Satuan : Densitas tanah DST Ring sampel, oven, timbangan analitis, dan desikator Ambil contoh tanah menggunakan ring sampel, dioven, lalu timbang bobot tanah kering oven BTK, ukur volume bagian dalam ring sampel tersebut VLT DST = BTK VLT Satuan : gcc Porositas tanah PST - Ukur dan hitung densitas tanah DST dan densitas partikel tanah DPT PST = DPT – DST DPT 100 Satuan : Tahanan penetrasi tanah TPT Penetrometer Eijkelkamp 06.01 Set A, jangka sorong, dan timbangan Ukur dan hitung luas dasar kerucut penetrometer LDK, penetrometer ditekan vertikal ke bawah dengan laju penekanan 3 cmdetik dan baca gaya penetrasinya GPP pada setiap interval kedalaman 5 cm hingga kedalaman 50 cm dari permukaan tanah TPT = GPP LDK Satuan : kgfcm 2 Penghitungan didasarkan atas hasil kaliberasi penetrometer Lampiran 12 120 Lampiran 5 Variabel-variabel penelitian dan prosedur pengukuran untuk menentukan unjuk kerja alat dan mesin pengolah tanah VARIABEL PENELITIAN ALAT UKUR DAN BAHAN PROSEDUR PENGUKURAN F O R M U L A Luas tanah terolah A Meteran gulung Ukur panjang tanah terolah p dan lebar tanah terolah l A = p l Satuan : m 2 , ha Waktu lapang total t Pencatat waktu stopwatch Ukur waktu total untuk mengolah tanah, atau waktu efektif untuk mengolah tanah T E , waktu belok T 1 , dan waktu berhenti T 2 t = T E + T 1 + T 2 Satuan : detik, jam Kapasitas lapang efektif KLE - Hitung luas total tanah terolah A dan waktu lapang total t KLE = 0.36 A t Satuan : hajam Konsumsi bahan bakar KBB Gelas ukur, thermometer, dan stopwatch Ukur volume bahan bakar terpak ai VBB dan waktu lapang total t KBB = VBB t Satuan : literjam Konsumsi bahan bakar per satuan luas tanah terolah KBL - Hitung konsumsi bahan bakar KBB dan kapasitas lapang efektif KLE KBL = KBB KLE Satuan : literha 121 Lampiran 6 Variabel-variabel penelitian dan prosedur pengukuran untuk menentukan pertumbuhan tebu dan gulma VARIABEL PENELITIAN ALAT UKUR DAN BAHAN PROSEDUR PENGUKURAN F O R M U L A Jumlah tunas tebu muncul JTM Kamera foto, dan meteran Hitung jumlah tunas tebu JTT muncul dalam 1 alur tanam seluas sampling 1 m 2 A S JTM = JTT A S Satuan : tunasm 2 Panjang akar tebu rata-rata PAT Cangkul, garpu tanah, meteran, dan busur derajat Bongkar tebu dalam satu rumpun, bersihkan akar dari tanah -tanah yang melekat, lalu bentangkan akar-akar tebu dan diukur panjang akar tebu dalam arah sudut 0 ° , 45 ° , 90 ° , 135 ° , dan 180 ° dari pangkal batang tebu PAT = panjang akar tebu rata-rata dari arah sudut 0 ° , 45 ° , 90 ° , 135 ° , dan 180 ° dari pangkal batang tebu Satuan : cm Bobot kering akar tebu BKA Gunting, plastik, oven, timbangan analitis, dan desikator Gunting akar tebu dalam satu rumpun, bersihkan akar dari tanah dicuci, dioven, lalu ditimbang bobot kering akar tebu BKA = bobot kering akar tebu Satuan : grumpun Jumlah anakan tebu JAT - Hitung jumlah anakan tebu yang muncul dalam satu rumpun JAT = jumlah anakan tebu Satuan : batangrumpun Tinggi batang tebu rata-rata TBT Meteran Ukur tinggi panjang batang dari permukaan tanah sampai dengan ruas batang teratas titik tumbuh TBT = tinggi atau panjang batang tebu rata-rata terukur Satuan : cm Diameter batang tebu rata-rata DBT Jangka sorong Ukur diameter batang tebu bagian bawah D B , bagian tengah D T , dan bagian atas D A menggunakan jangka sorong DBT = ¼ D B + 2D T + D A Satuan : mm 122 Lampiran 6 Variabel-variabel penelitian dan prosedur pengukuran untuk menentukan pertumbuhan tebu dan gulma Lanjutan VARIABEL PENELITIAN ALAT UKUR DAN BAHAN PROSEDUR PENGUKURAN F O R M U L A Persentase batang tebu rebah PTR Busur derajat Hitung jumlah batang tebu rebah 45 ° JBR dan total jumlah batang tebu JBT dalam satu alur tanam PTR = JBR JBT 100 Satuan : Penutupan gulma tebu PGT Meteran Hitung luas penutupan gulma tebu LPG dalam satu alur tanam seluas sampling 1m 2 A S PGT = LPG A S 100 Satuan : Bobot kering biomassa gulma tebu BBG Pisau, timbangan, meteran, oven dan desikator Cabut gulma beserta akarnya pada luasan sebesar pengukuran penutupan gulma tebu A S , dicuci, dioven, lalu ditimbang bobot keringnya BKG BBG = BKG A S Satuan : kgha 123 Lampiran 7 Variabel-variabel penelitian dan prosedur pengukuran untuk menentukan produktivitas tebu dan gula VARIABEL PENELITIAN ALAT UKUR DAN BAHAN PROSEDUR PENGUKURAN F O R M U L A Produktivitas tebu sampling PTS Parang atau golok, meteran, dan timbangan gantung Potong dan timbang total batang-batang tebu sampling TBS dalam 1 alur tanam sepanjang 1 m PJS dengan jarak antar alur tanam tertentu JAR yang terkonversi ke dalam satuan luas 1 subplot atau plot PTS = 10TBS PJSJAR Satuan : tonha 10 = faktor konversi 1 kgm 2 = 10 tonha Rendemen giling tebu RGT Satu set peralatan ukur kadar gula tebu Batang-batang tebu dipres digiling, diukur bobot tebu W T dan bobot nira W N , dihitung kandungan gula dalam nira Pol dan kandungan gula + non-gula dalam nira Brix RGT = Pol – 0.4 Brix – Pol W N W T Satuan : Produktivitas gula sampling PGS - Hitung rendemen giling tebu RGT dan produktivitas tebu sampling PTS PGS = RGT PTS Satuan : tonha 124 Lampiran 8 Hasil uji kompaksi Proctor pada berbagai kedalaman tanah Pengukuran ke - Keda- laman Para- meter Satuan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 0-10 KAT brt. 2.31 7.64 8.42 10.98 12.09 12.93 15.86 18.01 21.14 cm KAT vol. 3.33 11.07 12.55 17.05 19.70 21.69 27.39 30.48 33.87 ρ t gcc 1.48 1.56 1.62 1.72 1.83 1.89 2.00 2.00 1.94 ρ d gcc 1.44 1.45 1.49 1.55 1.63 1.68 1.73 1.69 1.60 ρ s gcc 2.54 2.24 2.20 2.08 2.04 2.00 1.89 1.82 1.72 10-20 KAT brt. 0.72 4.38 6.35 8.54 11.52 14.84 16.61 18.76 20.21 cm KAT vol. 1.04 6.44 9.39 12.83 18.38 25.18 28.60 31.14 32.77 ρ t gcc 1.46 1.53 1.57 1.63 1.78 1.95 2.01 1.97 1.95 ρ d gcc 1.45 1.47 1.48 1.50 1.60 1.70 1.72 1.66 1.62 ρ s gcc 2.65 2.41 2.30 2.19 2.06 1.93 1.86 1.79 1.75 20-30 KAT brt. 3.47 6.61 9.31 11.46 14.06 15.70 18.24 20.22 - cm KAT vol. 5.07 9.76 13.81 17.91 23.19 27.31 30.92 32.91 - ρ t gcc 1.51 1.57 1.62 1.74 1.88 2.01 2.00 1.96 - ρ d gcc 1.46 1.48 1.48 1.56 1.65 1.74 1.70 1.63 - ρ s gcc 2.47 2.29 2.16 2.06 1.96 1.90 1.81 1.75 - 0-30 KAT brt. 1.26 7.24 9.96 13.67 15.84 17.91 19.79 - - cm KAT vol. 1.79 10.45 15.23 23.36 27.65 30.35 32.58 - - ρ t gcc 1.44 1.55 1.68 1.94 2.02 2.00 1.97 - - ρ d gcc 1.42 1.44 1.53 1.71 1.75 1.69 1.65 - - ρ s gcc 2.61 2.26 2.13 1.97 1.89 1.82 1.76 - - 30-60 KAT brt. 0.46 5.13 7.23 9.25 11.85 15.14 18.13 19.41 - cm KAT vol. 0.67 7.66 10.87 14.22 19.31 26.83 30.93 32.33 - ρ t gcc 1.47 1.57 1.61 1.68 1.82 2.04 2.02 1.99 - ρ d gcc 1.46 1.49 1.50 1.54 1.63 1.77 1.71 1.67 - ρ s gcc 2.67 2.37 2.26 2.16 2.05 1.92 1.81 1.77 - KAT = kadar air tanah ρ t = densitas tanah basah wet bulk density ρ d = densitas tanah kering dry bulk density = 100 ρ t 100 + KAT ρ s = densitas tanah bulk density = ρ w 1GS + KAT100 ρ w = densitas air ≅ 1.00 gcc GS = gravitasi spesifik tanah ≅ 2.70 brt. = berat ; vol. = volume 125 Lampiran 8 Hasil uji kompaksi Proctor pada berbagai kedalaman tanah Lanjutan y = -0.0003x 3 + 0.0106x 2 - 0.0753x + 1.5625 R 2 = 0.9718 y = -0.0002x 3 + 0.0063x 2 - 0.032x + 1.4777 R 2 = 0.9646 y = -0.0004x 3 + 0.0131x 2 - 0.1114x + 1.7173 R 2 = 0.9534 1.4 1.5 1.6 1.7 1.8 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 Kadar air tanah berat Densitas tanah gcc 0-10 cm 10-20 cm 20-30 cm y = -0.00007x 3 + 0.0037x 2 - 0.0398x + 1.5392 R 2 = 0.9926 y = -0.00005x 3 + 0.0022x 2 - 0.0164x + 1.4729 R 2 = 0.9703 y = -0.00008x 3 + 0.0041x 2 - 0.0532x + 1.6471 R 2 = 0.9635 1.4 1.5 1.6 1.7 1.8 5 10 15 20 25 30 35 Kadar air tanah volume Densitas tanah gcc 0-10 cm 10-20 cm 20-30 cm 126 Lampiran 8 Hasil uji kompaksi Proctor pada berbagai kedalaman tanah Lanjutan y = -0.0004x 3 + 0.0114x 2 - 0.0708x + 1.4923 R 2 = 0.9872 y = -0.0003x 3 + 0.0074x 2 - 0.0379x + 1.4891 R 2 = 0.9374 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7 1.8 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 Kadar air tanah berat Densitas tanah gcc 0-30 cm 30-60 cm Kedalaman 0-30 cm: KAT OPTIMUM = 16.34 DST MAKSIMUM = 1.74 gcc Kedalaman 30-60 cm: KAT OPTIMUM = 16.33 DST MAKSIMUM = 1.73 gcc y = -0.00007x 3 + 0.0035x 2 - 0.0315x + 1.4672 R 2 = 0.9964 y = -0.00005x 3 + 0.0024x 2 - 0.0184x + 1.4852 R 2 = 0.955 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7 1.8 5 10 15 20 25 30 35 Kadar air tanah volume Densitas tanah gcc 0-30 cm 30-60 cm Kedalaman 0-30 cm: KAT OPTIMUM = 26.82 DST MAKSIMUM = 1.74 gcc Kedalaman 30-60 cm: KAT OPTIMUM = 27.21 DST MAKSIMUM = 1.74 gcc 127 Lampiran 9 Kondisi sifat fisik-mekanik tanah sebelum pengolahan tanah Metode Pengolahan Tanah Kedalaman cm 1 2 3 4 5 6 Rata- rata Simp. baku c.v. Kadar air tanah berat 0 – 10 13.75 12.39 14.10 11.48 13.34 14.37 13.24 1.11 8.35 10 – 20 16.25 14.90 18.03 16.55 16.57 16.14 16.41 1.00 6.12 20 – 30 17.60 18.43 18.42 17.08 18.63 19.71 18.31 0.91 4.95 0 – 30 15.87 15.24 16.85 15.04 16.18 16.74 15.99 0.75 4.70 C.V. 10.05 16.26 11.58 16.79 13.46 13.27 Kadar air tanah volume 0 – 10 18.56 16.60 17.34 14.35 16.01 19.40 17.04 1.81 10.65 10 – 20 22.75 21.61 27.77 22.84 22.04 20.82 22.97 2.47 10.74 20 – 30 26.40 26.17 28.00 26.30 28.13 28.58 27.26 1.09 3.98 0 – 30 22.57 21.46 24.37 21.16 22.06 22.93 22.43 1.16 5.17 c.v. 14.19 18.21 20.40 23.72 22.43 17.59 Densitas tanah gcc 0 – 10

1.35 1.34

1.23 1.25 1.20 1.35 1.29 0.07 5.26 10 – 20 1.40 1.45 1.54 1.38 1.33 1.29 1.40 0.09 6.35 20 – 30 1.50 1.42 1.52 1.54 1.51 1.45 1.49 0.05 3.06 0 – 30 1.42 1.40 1.43 1.39 1.35 1.36 1.39 0.03 2.29 c.v. 4.40 3.31 9.91 8.53 9.43 4.85 Porositas tanah 0 – 10 49.06 49.43 53.58 52.83 54.72 49.06 51.45 2.56 4.97 10 – 20 47.37 45.49 42.11 48.12 50.00 51.50 47.43 3.34 7.04 20 – 30 42.97 46.01 42.21 41.44 42.59 44.87 43.35 1.73 4.00 0 – 30 46.42 47.17 46.04 47.55 49.06 48.68 47.48 1.20 2.53 c.v. 5.53 3.73 11.72 9.84 10.17 5.65 Tahanan penetrasi tanah kgfcm 2 0 – 10 13.70 13.70 12.00 22.30 16.00 13.30 15.17 3.73 24.56 10 – 20 20.30 30.00 23.30 26.00 30.70 25.30 25.93 3.96 15.26 20 – 30 33.00 38.00 30.00 37.30 51.70 40.70 38.45 7.53 19.58 0 – 30 21.20 25.30 21.00 27.40 27.90 25.90 24.78 3.01 12.14 c.v. 36.41 37.97 34.47 22.67 47.04 42.65 Simp. = simpangan c.v. = koefisien variasi Diameter dalam ring sampel = 5.00 cm dan tinggi ring sampel = 5.10 cm sehingga volume tanah dalam ring sampel = 100.14 cc Densitas partikel tanah pada kedalaman tanah 0-10 cm = 2.65 gcc Densitas partikel tanah pada kedalaman tanah 10-20 cm = 2.66 gcc Densitas partikel tanah pada kedalaman tanah 20-30 cm = 2.63 gcc Densitas partikel tanah pada kedalaman tanah 0-30 cm = 2.65 gcc Dihitung berdasarkan hasil kaliberasi penetrometer Lampiran 21 128 Lampiran 10 Kondisi sifat fisik -mekanik tanah sesudah pengolahan tanah Metode Pengolahan Tanah Kedalaman cm 1 2 3 4 5 6 Rata- rata Simp. Baku c.v. Kadar air tanah berat 0 – 10 18.88 18.32 17.53 17.16 18.79 16.80 17.91 0.87 4.88 10 – 20 19.33 19.50 17.21 17.34 18.39 17.62 18.23 1.01 5.51 20 – 30 19.37 18.88 17.70 17.13 18.84 18.87 18.47 0.86 4.64 0 – 30 19.19 18.90 17.48 17.21 18.67 17.76 18.20 0.82 4.52 c.v. 1.16 2.55 1.16 0.54 1.08 4.79 Kadar air tanah volume 0 – 10 22.47 20.15 20.16 21.45 22.17 18.65 20.84 1.45 6.97 10 – 20 25.32 25.16 24.44 23.93 25.93 23.43 24.70 0.93 3.79 20 – 30 27.70 28.13 27.08 25.87 28.07 27.36 27.37 0.84 3.07 0 – 30 25.16 24.48 23.89 23.75 25.39 23.15 24.30 0.87 3.57 c.v. 8.50 13.45 11.94 7.61 9.60 15.39 Densitas tanah gcc 0 – 10 1.19 1.10 1.15 1.25 1.18 1.11 1.16 0.06 4.79 10 – 20 1.31 1.29 1.42 1.38 1.41 1.33 1.36 0.05 4.00 20 – 30 1.43 1.49 1.53 1.51 1.49 1.45 1.48 0.04 2.51 0 – 30 1.31 1.29

1.37 1.38

1.36 1.30 1.33 0.04 2.90 c.v. 7.48 12.31 11.68 7.69 9.66 10.86 Porositas tanah 0 – 10 55.09 58.49 56.60 52.83 55.47 58.11 56.10 2.10 3.75 10 – 20 50.75 51.50 46.62 48.12 46.99 50.00 49.00 2.04 4.16 20 – 30 45.63 43.35 41.83 42.59 43.35 44.87 43.60 1.42 3.25 0 – 30 50.57 51.19 48.43 47.92 48.68 51.07 49.64 1.46 2.94 c.v. 7.66 12.10 12.73 8.75 10.45 10.69 Tahanan penetrasi tanah kgfcm 2 0 – 10 7.10 3.90 9.70 5.10 3.20 2.70 5.28 2.67 50.62 10 – 20 10.00 12.60 16.70 13.00 11.80 13.00 12.85 2.20 17.10 20 – 30 13.00 12.60 17.60 14.90 16.00 25.60 16.62 4.78 28.76 0 – 30 8.80 9.40 13.50 10.50 9.80 13.90 10.98 2.18 19.84 c.v. 25.57 42.64 24.90 39.09 52.30 67.86 Simp. = simpangan c.v. = koefisien variasi Diameter dalam ring sampel = 5.00 cm dan tinggi ring sampel = 5.10 cm sehingga volume tanah dalam ring sampel = 100.14 cc Densitas partikel tanah pada kedalaman tanah 0-10 cm = 2.65 gcc Densitas partikel tanah pada kedalaman tanah 10-20 cm = 2.66 gcc Densitas partikel tanah pada kedalaman tanah 20-30 cm = 2.63 gcc Densitas partikel tanah pada kedalaman tanah 0-30 cm = 2.65 gcc Dihitung berdasarkan hasil kaliberasi penetrometer Lampiran 21 129 Lampiran 11 Tahanan penetrasi tanah rata-rata sebelum dan sesudah diolah Tahanan penetrasi tanah kgfcm 2 rata-rata di Metode 1 Metode 2 Metode 3 Metode 4 Metode 5 Metode 6 Keda- laman cm Seb. Ssd. Seb. Ssd. Seb. Ssd. Seb. Ssd. Seb. Ssd. Seb. Ssd. 5 13.7 7.1 13.7 3.9 12.0 9.7 22.3 5.1 16.0 3.2 13.3 2.7 10 14.0 8.3 21.3 9.7 20.7 15.9 31.7 9.2 28.0 7.3 19.0 9.1 15 20.3 10.0 30.0 12.6 23.3 16.7 26.0 13.0 30.7 11.8 25.3 13.0 20 26.0 11.8 32.7 12.3 17.7 16.9 39.7 14.6 41.3 15.2 33.0 18.1 25 33.0 13.0 38.0 12.6 30.0 17.6 37.3 14.9 51.7 16.0 40.7 25.6 30 41.7 11.7 41.7 14.7 43.7 18.1 35.0 16.4 - 15.2 50.0 28.7 35 37.0 14.7 39.7 16.1 37.5 19.7 35.0 16.9 - 14.8 28.0 29.7 40 55.0 15.1 36.7 16.3 40.0 19.8 36.3 17.2 - 15.9 29.0 29.1 45 50.0 16.9 38.3 19.2 38.5 21.1 32.7 16.9 - 14.0 32.0 26.2 50 - 23.8 40.7 19.2 34.5 22.9 35.3 17.9 - 12.0 26.0 26.3 0 -30

21.2 8.8