Uji yang digunakan untuk hipotesis 2 adalah uji proporsi satu pihak pihak kanan. Kriteria pengujiannya adalah
ditolak apabila
0,5 − �
. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh
= 1,99. Dengan � = 5, dari
daftar distribusi normal baku diperoleh
0,45
= 1,64. Dari perhitungan data, diperoleh. Karena
0,45
, maka H ditolak. Ini berarti bahwa
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang diajar dengan model TAPPS lebih baik daripada kemampuan pemecahan masalah siswa yang diajar
dengan model TPS. Perhitungan selengkapnya dimuat dalam lampiran 27.
4.3 Pembahasan
Hasil tes kemampuan pemecahan masalah pada pembelajaran model Thinking Aloud Pair Problem Solving dan model Think Pair Share diuji
ketuntasan klasikalnya. Hasil uji proporsi menunjukkan ketuntasan klasikal hasil tes kemampuan pemecahan masalah matematika materi ruang dimensi tiga pada
siswa yang diberlakukan model Thinking Aloud Pair Problem Solving dan model Think Pair Share mencapai batas minimal 75.
Berdasarkan uji proporsi pada kelas eksperimen I diperoleh z
hitung
= 3,204 dan z
tabel
= 1,64 maka H
1
diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil tes kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang menggunakan model
Thinking Aloud Pair Problem Solving pada materi pokok ruang dimensi tiga pada siswa kelas X-9 MAN 2 Kudus telah mencapai ketuntasan klasikal yang
ditetapkan oleh sekolah yaitu minimal 75 dari banyaknya siswa di kelas X-9 memperoleh nilai minimal 67. Demikian halnya pada uji proporsi menunjukkan
ketuntasan klasikal hasil tes kemampuan pemecahan masalah matematika materi ruang dimensi tiga pada siswa yang diberlakukan model Think Pair Share
mencapai batas minimal 75. Uji proporsi pada kelas eksperimen II diperoleh z
hitung
= 1,95 dan z
tabel
= 1,64 maka H
1
diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil tes kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang menggunakan
model Think Pair Share pada materi pokok ruang dimensi tiga pada siswa kelas X-10 MAN 2 Kudus telah mencapai ketuntasan klasikal yang ditetapkan oleh
sekolah yaitu minimal 75 dari banyaknya siswa di kelas X-10 memperoleh nilai minimal 67.
Dari hasil uji proporsi yang dilakukan pada kedua kelas eksperimen, tampak bahwa kedua model pembelajaran yang digunakan efektif dalam
pembelajaran materi ruang dimensi tiga. Untuk mengetahui model pembelajaran yang lebih baik di antara kedua model pembelajaran yang telah digunakan,
dilakukan uji kesamaan dua proporsi. Berdasarkan uji kesamaan dua proporsi, dapat diketahui bahwa pembelajaran model Thinking Aloud Pair Problem Solving
dan pembelajaran model Think Pair Share memberikan hasil tes kemampuan pemecahan masalah yang berbeda. Ini dapat dilihat dari membandingkan z
hitung
dan z
tabel
dari hasil perhitungan diperoleh z
hitung
= 1,78; sedangkan tabel z dengan α = 5 z
tabel
= 1,64. Karena z
hitung
z
tabel
, maka H ditolak yang berarti proporsi
kemampuan pemecahan masalah siswa kelas eksperimen I lebih tinggi daripada proporsi kemampuan pemecahan masalah siswa kelas eksperimen II. Hal ini
berarti hasil tes kemampuan pemecahan masalah siswa yang diajar menggunakan pembelajaran model Thinking Aloud Pair Problem Solving lebih tinggi
dibandingkan hasil tes kemampuan pemecahan masalah siswa yang diajar menggunakan pembelajaran model Think Pair Share.
Adanya perbedaan rata-rata kemampuan pemecahan masalah dari kedua kelompok siswa yang diberi perlakuan model yang berbeda dikarenakan kedua
model yang digunakan memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Pada pembelajaran dengan model Thinking Aloud Pair Problem Solving, siswa terlibat
secara aktif dalam pembelajaran untuk bekerjasama dalam kelompok secara berpasangan. Pembelajaran model Thinking Aloud Pair Problem Solving
membutuhkan dua orang siswa, yang berperan sebagai problem solver dan listener untuk berkerja sama dalam memecahkan masalah. Dalam proses
kerjasama ini terjadi interaksi antara siswa dengan pasangan masing-masing yang saling membantu, saling mendukung, dan melengkapi satu sama lain sehingga
siswa yang belum mengetahui solusi dari permasalahan yang dihadapi, menjadi mengetahuinya melalui kerjasama dengan pasangannya. Jadi, tugas dari masing-
masing siswa dalam kelompoknya sudah jelas dan tidak terjadi kerancuan dalam proses diskusi kelompok.
Penerapan model pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving memiliki unsur-unsur fase yang membuat siswa lebih aktif dan lebih dapat
memahami materi. Guru tidak sekadar memberikan pengetahuan kepada siswa, melainkan memfasilitasi siswa untuk membangun pengetahuannya sendiri
sehingga siswa memiliki pemahaman yang lebih mantap terhadap materi ruang dimensi tiga.
Pembelajaran model Thinking Aloud Pair Problem Solving memiliki beberapa kelebihan, yaitu 1 siswa menjadi lebih aktif dalam pembelajaran; 2
siswa menjadi lebih bertanggung jawab karena setiap siswa dalam pasangannya telah memiliki tugas masing-masing 3 siswa dapat saling belajar mengenai
strategi pemecahan masalah satu sama lain; 4 melatih siswa untuk berpikir keras dalam memecahkan masalah sehingga pola berpikir mereka lebih terstruktur.
Selain kelebihan, pembelajaran model Thinking Aloud Pair Problem Solving juga memiliki kekurangan, yaitu 1 siswa tidak mudah untuk
menyampaikan apa yang ada dipikirannya kepada pasangannya.; dan 2 bagi seorang listener harus menuntun problem solver memecahkan masalah sekaligus
memonitor segala yang dilakukan PS. Kekurangan-kekurangan tersebut dapat diatasi dengan bantuan dari guru untuk memandu proses diskusi yang berlangsung.
Pada kelas dengan pembelajaran Think Pair Share, siswa mengikuti pelajaran dengan berdiskusi secara berpasangan, namun tugas siswa daalm
kelompoknya tidak dibagi dengan jelas. memiliki tugas yang jelas karena peran masing-masing siswa dalam tiap pasangan tidak dibedakan antara yang
mengerjakan soal dan yang membantu mengarahkan temannya untuk menyelesaikan soal yang diberikan. Sehingga, interaksi antar siswa dalam tiap
pasangan terkadang kurang berjalan secara aktif dan efektif karena siswa cenderung untuk bekerja sendiri-sendiri terlebih dahulu.
Pada awal pelaksanaan penelitian mengalami sedikit hambatan yang terjadi dikarenakan pembelajaran tersebut merupakan pembelajaran yang baru
bagi guru dan siswa sehingga memerlukan waktu untuk penyesuaian. Pada kelas
eksperimen I hambatan yang terjadi secara perlahan-lahan dapat berkurang dikarenakan siswa mulai tertarik dan terbiasa dengan penerapan model Thinking
Aloud Pair Problem Solving. Kerjasama, saling membantu dan bertukar pendapat memudahkan siswa dalam menyelesaikan permasalahan yang diberikan oleh guru
sehingga berdasarkan perhitungan, perolehan rata-rata hasil tes kemampuan pemecahan masalah pada materi ruang dimensi tiga pada kelas eksperimen I
sebesar 83,00. Sedangkan pada kelas eksperimen II, masalah yang dihadapi adalah kurang jelasnya pembagian tugas siswa dalam setiap kelompok. Ini
mengakibatkan banyak
waktu yang
sering terbuang
karena terjadi
kesalahpahaman di antara siswa dalam kelompoknya. Untuk mengatasi masalah ini, guru seringkali berkeliling memantau dan membantu proses diskusi siswa
agar berjalan lancar. Dengan kerjasama dan bimbingan dari guru, perolehan rata- rata hasil tes kemampuan pemecahan masalah pada materi ruang dimensi tiga
pada kelas eksperimen II sebesar 78,042.
BAB 5 PENUTUP