17 Macerasi fetus dapat terjadi pada beberapa spesies, walaupun kejadian paling
sering pada hewan ternak. Macerasi fetus juga dapat terjadi akibat kegagalan dalam pengeluaran fetus yang mengalami abortus, dimana kemungkinan akibat
inertia uteri. Bakteri dapat masuk ke dalam uterus melalui cervix yang mengalami dilatasi. Selain itu, terjadi pula keadaan busuk dan digesti dari jaringan lunak yang
telah mengalami autolisis, serta tersisa patahan tulang fetus di dalam uterus. Tulang fetus terkadang mengelilingi dinding uterus, sehingga dapat menyulitkan
proses pemindahan atau pengeluaran fetus dengan menggunakan teknik histerektomi Arthur et al. 1996.
Diagnosa macerasi pada anjing dan kucing diperoleh melalui anamnesa, inspeksi, palpasi abdominal, gejala klinis dan pemeriksaan yang menggunakan
USG maupun radiografi. Pada kebanyakan kasus, tidak ditemukan adanya discharge uterus pada vulva. Prognosa dari macerasi buruk, dimana emfisema
fetus dan macerasi dapat menyebabkan perimetritis lokal atau ruptur uteri dengan penutupan rongga abdominal. Pada kasus tertentu, torsio uteri dapat menyebabkan
kondisi macerasi pada ruminansia dan hewan multipara Roberts 1956. Tindakan medis yang diberikan pada penyakit macerasi adalah histerektomi
atau histerotomi pada hewan multipara. Hal ini mengingat kapasitas reproduksi hewan multipara dan pemiliknya, sehingga fetus yang mengalami macerasi dapat
dikeluarkan dan fetus yang masih hidup dapat dipertahankan. Antibiotika perlu diberikan pada hewan yang telah diberikan terapi, mengingat adanya infeksi
bakteri pada saluran reproduksi tersebut. Jika hewan sudah kembali sehat maka hewan dapat bereproduksi kembali.
3. Mumifikasi
Kematian embrio dini pada hewan dapat diikuti dengan penyerapan kembali. Jaringan embrio dan hewan akan kembali estrus, jika tidak ada konseptus lain
pada uterus. Tetapi, jika fetus mati setelah proses ossifikasi atau pembentukan tulang, maka akan terjadi resorbsi tidak sempurna yang disebut mumifikasi fetus.
Jenis mumifikasi yang biasa terjadi ialah papyreceous mummification Arthur et al. 1996. Papyreceous mummification terjadi pada kuda, babi, anjing dan kucing.
Jenis mumifikasi ini memiliki ciri berupa kematian satu atau lebih fetus pada
18 hewan multipara, tetapi masih terdapat fetus yang hidup dan berkembang dengan
normal Roberts 1956. West 1994 menyatakan bahwa mumifikasi fetus terkadang terjadi setelah
resorbsi cairan dari plasenta. Penyakit ini tidak umum pada sapi, sedangkan pada babi, mumifikasi terjadi mengikuti penyakit Aujeszky dan erysipelas. Pada
kambing, mumifikasi terjadi akibat toxoplasmosis dan abortus enzootik. Mumifikasi fetus berada atau tertahan pada uterus, sehingga menyebabkan
periode kebuntingan lebih lama dari pada normal. Mumifikasi dapat disebabkan oleh infeksi maupun kekurangan gas oksige n.
Infeksi yang menyebabkan mumifikasi ialah Feline Panleukopenia Virus FPV. Kematian fetus diikuti oleh penyerapan cairan fetus dan terjadi dehidrasi.
Membran fetus dapat melekat kuat di tubuh fetus, fetus juga menjadi kering dalam uterus dan berwarna kecoklatan serta tidak terdapat pus atau nanah. Pada
mumifikasi tidak terdapat infeksi bakteri, sehingga fetus tidak membus uk dan tidak membentuk pus Marrow 1980.
Menurut Arthur et al 1996 fetus yang mengalami mumifikasi dapat menghambat jalan kelahiran dan menyebabkan distokia. Pada kucing, mumifikasi
fetus tidak menyebabkan anak yang besar dan mengakibatkan uterus dalam keadaan padat serta insufisiensi plasenta. Pada sapi, mumifikasi yang terjadi dapat
berbentuk mumifikasi hematik. Pada kondisi tersebut, cairan fetus diserap tetapi fetus dan membran dikelilingi oleh cairan berwarna kecoklatan. Warna coklat
tersebut berasal dari pigmen darah, dimana hal ini disebabkan oleh perdarahan karunkula yang
mengakibatkan kematian fetus. Perdarahan karunkula diperkirakan dipengaruhi unsur genetik hewan seperti pada sapi Jersey dan
Guernsey lebih frekuentatif terkena. Selain itu, kema tian fetus juga dapat disebabkan akibat torsio uteri serta pengaruh hormon estradiol dan trembolone
asetat. Diagnosa mumifikasi dapat dilakukan pertama kali melalui anamnesa yang
dapat menunjukkan periode kebuntingan abnormal. Kemudian dilakukan palpasi abdominal serta pemeriksaan USG untuk mengetahui status denyut jantung fetus.
Radiografi dapat pula digunakan sebagai diagnosa penunjang untuk menentukan prognosa penyakit tersebut.
19 Menurut Arthur et al 1996 terapi yang dapat diberikan pada keadaan
mumifikasi fetus ialah histerektomi. Pada keadaan mumifikasi hematik yang menyebabkan corpus luteum tertahan atau corpus luteum persisten, perlu
diberikan sebagai terapi pilihan berupa induksi abortus menggunakan prostaglandin agar terjadi luteolisis. Hal ini dapat mengeluarkan fetus dari uterus
dan menghentikan periode kebuntingan yang abnormal.
4. Pyometra