perilaku orang-orang yang diamati. Melalui penelitian kualitatif peneliti dapat mengenali subjek, merasakan apa yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari dalam Basrowi, 2008: 1.
Penelitian kualitatif bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang sifatnya umum terhadap kenyataan sosial dari perspektif partisipan. Pemahaman tersebut tidak ditentukan
terlebih dahulu, tetapi didapat setelah melakukan analisis terhadap kenyataan sosial yang menjadi fokus penelitian. Berdasarkan analisis tersebut kemudian ditarik kesimpulan berupa
pemahaman umum yang sifatnya abstrak tentang kenyataan-kenyataan. Penelitian kualitatif memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Latar alamiah. Penelitian kualitatif melakukan penelitian pada latar alamiah atau pada
konteks dari suatu keutuhan. 2.
Manusia sebagai alat. Dalam penelitian kualitatif, peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data utama.
3. Metode kualitatif. Penelitian kualitatif menggunakan metode kualitatif.
4. Analisis data secara induktif. Penelitian kualitatif mengutamakan analisis data secara
induktif, dari lapangan tertentu yang bersifat khusus, untuk ditarik suatu proposisi atau teori yang dapat digeneralisasikan secara luas.
5. Teori dari dasar. Penelitian kualitatif lebih menghendaki penyusunan teori substantif yang
berasal dari data. 6.
Deskriptif. Data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. 7.
Lebih mementingkan proses daripada hasil. Hal ini disebabkan oleh hubungan bagian- bagian yang sedang diteliti akan jauh lebih jelas apabila diamati dalam proses.
8. Ada “batas” yang ditentukan oleh “fokus”. Penelitian kualitatif menghendaki
ditetapkannya batas dalam penelitiannya atas dasar fokus yang timbul sebagai masalah dalam penelitian.
9. Adanya kriteria khusus untuk keabsahan data. Penelitian kualitatif mendefinisikan
validitas, reabilitas, dan objektivitas dalam versi lain dibandingkan dengan lazim digunakan dalam penelitian klasik.
10. Desain yang bersifat sementara. Penelitian kualitatif menyusun desain yang secara terus-
menerus disesuaikan dengan kenyataan lapangan. Jadi, tidak menggunakan desain yang telah disusun secara ketat dan kaku sehingga tidak dapat diubah lagi.
11. Hasil penelitian dirundingkan dan disepakati bersama. Penelitian kualitatif lebih
menghendaki agar pengertian dan hasil interpretasi yang diperoleh dirundingkan dan disepakati oleh manusia yang dijadikan sebagai sumber data. Basrowi, 2008: 20
2.2.1 Paradigma Interpretif
Metode penelitian kualitatif cenderung dihubungkan dengan paradigma interpretif. Metode ini memusatkan penyelidikan terhadap cara manusia memaknai cara kehidupan sosial
mereka, serta bagaimana manusia mengekspresikan pemahaman mereka. Paradigma interpretif menekankan perlunya memahami realitas sosial dari berbagai sudut pandang orang-orang yang
Universitas Sumatera Utara
hidup di dalamnya. Realitas sosial yang dihadapi manusia sudah terbentuk dari waktu ke waktu melalui proses komunikasi, interaksi dan sejarah bersama Daymon, 2008: 6.
Paradigma interpretif rumbuh berdasarkan ketidakpuasan dengan teori post-positivis, karena perspektif positivis dipandang terlalu umum, terlalu mekanis, dan tidak mampu
menangkap keruwetan, nuansa, dan kompleksitas dari interaksi manusia. Perspektif interpretif mencari sebuah pemahaman bagaimana kita berperilaku terhadap dunia yang kita bentuk itu.
Dalam pencarian pemahaman jenis ini, teori interpretif mendekati dunia dan pengetahuan dengan cara yang sangat berbeda dengan cara teori post-positivis. Ardianto, 2007: 124
2.2.2 Interaksionisme Simbolik
George Herbert Mead lahir di Massacusettes, Amerika Serikat, pada tahun 1863, yakni pada era perang sipil. Ayahnya merupakan seorang menteri, namun kakeknya merupakan
seorang petani miskin. Mead dianggap sebagai bapak interaksionisme simbolik, karena pemikirannya yang luar biasa. Pemikiran Mead terangkum dalam konsep pokok mengenai
“mind”, “self” dan “society” sebagaimana dijelaskan berikut ini Mufid, 2009:160.
Dia mengatakan bahwa pikiran manusia mengartikan dan menafsirkan benda-benda dan peristiwa yang dialaminya, menerangkan asal muasalnya dan meramalkannya. Pikiran manusia
menerobos dunia luar, seolah-olah mengenalnya dari balik penampilannya. Cara manusia mengartikan dunia dan dirinya sendiri berkaitan erat dengan masyarakatnya. Mead dalam
Mufid, 2009:161-165 melihat pikiran dan diri menjadi bagian dari perilaku manusia, yaitu bagian interaksinya dengan orang lain. Interaksi itu membuat dia mengenal dunia dan dia sendiri.
Mead mengatakan bahwa, pikiran mind dan diri self berasal dari masyarakat society atau aksi sosial social act.
a. Konsep Mead tentang “Mind”
Mead mendefinisikan “mind” pikiran sebagai fenomena sosial yang tumbuh dan berkembang dalam proses sosial sebagai hasil dari interaksi. Mind dalam hal ini mirip dengan
symbol, yakni sebagai hasil dari interaksi sosial. Hanya, mind terbentuk setelah terjadinya percakapan diri self-conversation, yakni ketika seseorang melakukan percakapan diri yang juga
disebut sebagai berpikir. Karenanya bagi Mead, berpikir tidak mungkin terjadi jika tidak menggunakan bahasa.
Konsepsi “mind” lebih merupakan proses daripada sebuah produk. Hal ini berarti bahwa kesadaran bukanlah hasil tangkapan dari luar, melainkan secara aktif selalu berubah dan
berkembang. Mead mengatakan bahwa, “consciousness mind is not given, it is emergent”. Kesadaran mind tidak diberi, tapi dicari.
Universitas Sumatera Utara
b. Konsep Mead tentang “Self”
Self, menurut Mead adalah proses yang tumbuh dalam keseharian sosial yang membentuk
identitas diri. Perkembangan self tergantung pada bagaimana seseorang melakukan role taking pengambilan peran dari orang lain. Dalam role taking kita mengimajinasikan tingkah laku kita
dari sudut pandang orang lain. Esensi self bagi Mead adalah reflexivity. Yakni bagaimana kita merenung ulang relasi
dengan orang lain untuk kemudian memunculkan adopsi nilai dari orang lain. c.
Konsep Mead tentang “Society” “Society”
menurut Mead adalah kumpulan self yang melakukan interaksi dalam lingkungan yang lebih luas yang berupa hubungan personal, kelompok intim, dan komunitas.
Institusi society karenanya terdiri dari respon yang sama. “Society” dipelihara oleh kemampuan individu untuk melakukan role taking dan generalized others.
Holstein dan Gubrium 2001 menyebutkan “teori interaksionisme simbolik berorientasi pada prinsip bahwa orang-orang merespons makna yang mereka bangun sejauh mereka
berinteraksi satu sama lain. Setiap individu merupakan agen aktif dalam dunia sosial, yang tentu saja dipengaruhi oleh budaya dan organisasi sosial, bahkan ia juga menjadi instrument penting
dalam produksi budaya, masyarakat dan hubungan yang bermakna memengaruhi mereka. Mead dan pengikutnya menggunakan banyak konsep untuk menyempurnakan cara
lahirnya makna melalui interaksi dalam kelompok sosial. Contohnya, mead berbicara tentang simbol signifikan significant symbol dengan makna yang sama dalam sebuah masyarakat.
Tanpa sistem penyimbolan yang sama aksi yang terkkoordinasi adalah gtidak mungkin. Konsep penting lainnya dalam teori interaksionisme simbolik adalah orang lain yang signifikan
significant others yaitu orang-orang yang berpengaruh dalam kehidupan kita. Lalu orang lain generalized other yang digeneralisasikan yakni konsep tentang orang lain merasakan kita dan
tata cara yang dipakai role taking yaitu pembentukan setelah perilaku setelah perilaku orang lain. Konsep ini disusun bersama dalam teori interaksionisme simbolik untuk menyediakan
sebuah gambaran kompleks dari pengaruh persepsi individu dan kondisi psikologis, komunikasi simbolik, serta nilai sosial dan keyakinan dalam sebuah konstruksi sosial masyarakat. Ardianto,
2007: 135. Prespektif interaksi simbolik, perilaku manusia harus di pahami dari sudut pandang
subyek. Dimana teoritis interaksi simbolik ini memandang bahwa kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol, Mulyana, 2001: 70.
Inti pada penelitian ini adalah mengungkap bagaimana cara manusia menggunakan simbol-
Universitas Sumatera Utara
simbol yang merepresentasikan apa yang akan mereka sampaikan dalam proses komunikasi dengan sesama.
Penggunaan simbol yang dapat menunjukkan sebuah makna tertentu, bukanlah sebuah proses yang interpretasi yang diadakan melalui sebuah persetujuan resmi, melainkan hasil dari
proses interaksi sosial. Arnold M Rose 1974:143 dalam Mulyana 2001:72 Makna adalah produk interaksi
sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan dalam penggunaan bahasa. Negosiasi itu dimungkinkan karena manusia mampu menamai segala sesuatu, bukan
hanya objek fisik, tindakan atau peristiwa bahkan tanpa kehadiran objek fisik, tindakan atau peristiwa itu.
Terbentuknya makna dari sebuah simbol tak lepas karena peranan individu yang melakukan respon terhadap simbol tersebut. Individu dalam kehidupan sosial selalu merespon
lingkungan termasuk objek fisik benda dan objek sosial perilaku manusia yang kemudian memunculkan sebuah pemaknaan . Respon yang mereka hasilkan bukan berasal dari faktor
eksternal ataupun didapat dari proses mekanis, namun lebih bergantung dari bagaimana individu tersebut mendefinisikan apa yang mereka alami atau lihat. Jadi peranan individu sendirilah yang
dapat memberikan pemaknaan dan melakukan respon dalam kehidupan sosialnya. Namun, makna yang merupakan hasil interpretasi individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan
dengan perubahan dari faktor-faktor yang berkaitan dengan bentuk fisik benda ataupun tujuan perilaku manusia memungkinkan adanya perubahan terhadap hasil intrepetasi barunya. Dan hal
tersebut didukung pula dengan faktor bahwa individu mampu melakukan proses mental, yakni berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Proses mental tersebut dapat berwujud proses
membayangkan atau merencanakan apa yang akan mereka lakukan. Individu dapat melakukan antisipasi terhadap reaksi orang lain, mencari dan memikirkan alternatif kata yang akan ia
ucapkan. Menurut pandangan Mead, perilaku manusia sebagai makhluk sosial berbeda dengan
perilaku hewan yang pada umumnya ditandai dengan stimulus dan respon. Perilaku merupakan produk dari penafsiran individu atas objek di sekitarnya.makna yang mereka berikan kepada
objek berasal dari interaksi sosial dan dapat berubah selama interaksi itu berlangsung. Senada dengan apa yang bisa kita lihat dari penampilan fisik atau budaya material kaum Punk. Dimana
pola pemaknaan yang terjadi dalam masyarakat terhadap kaum Punk adalah berkonotasi negatif. Penampilan dengan gaya pakaian yang terkesan kumal, penuh dengan aksesoris sangar seperti
Universitas Sumatera Utara
Peniti yang dijadikan hiasan di wajah yang pada akhirnya membentuk respon masyarakat kepadanya.
Konsep tentang “self ” atau diri merupakan inti dari teori interaksi simbolik. Mead menganggap konsep diri adalah suatu proses yang berasal dari interaksi sosial individu dengan
orang lain Mulyana, 2001:73.Teori Interaksi Simbolik yang masih merupakan pendatang baru dalam studi ilmu komunikasi, yaitu sekitar awal abad ke-19 yang lalu. Sampai akhirnya teori
interaksi simbolik terus berkembang sampai saat ini, dimana secara tidak langsung SI merupakan cabang sosiologi dari perspektif interaksional Ardianto. 2007: 40.
Interaksi simbolik menurut perspektif interaksional, dimana merupakan salah satu perspektif yang ada dalam studi komunikasi, yang barangkali paling bersifat ”humanis”
Ardianto. 2007: 40. Dimana, perspektif ini sangat menonjolkan keangungan dan maha karya nilai individu diatas pengaruh nilai-nilai yang ada selama ini. Perspektif ini menganggap setiap
individu di dalam dirinya memiliki esensi kebudayaan, berinteraksi di tengah sosial masyarakatnya, dan menghasilkan makna ”buah pikiran” yang disepakati secara kolektif. Dan
pada akhirnya, dapat dikatakan bahwa setiap bentuk interaksi sosial yang dilakukan oleh setiap individu, akan mempertimbangkan sisi individu tersebut, inilah salah satu ciri dari perspektif
interaksional yang beraliran interaksionisme simbolik. Teori interaksi simbolik menekankan pada hubungan antara simbol dan interaksi, serta
inti dari pandangan pendekatan ini adalah individu Soeprapto. 2007. Banyak ahli di belakang perspektif ini yang mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling penting dalam
konsep sosiologi. Mereka mengatakan bahwa individu adalah objek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lain.
Menurut Ralph Larossa dan Donald C. Reitzes 1993 dalam West- Turner 2008: 96, interaksi simbolik pada intinya menjelaskan tentang kerangka referensi untuk memahami
bagaimana manusia, bersama dengan orang lain, menciptakan dunia simbolik dan bagaimana cara dunia membentuk perilaku manusia. Tema pertama pada interaksi simbolik berfokus pada
pentingnya membentuk makna bagi perilaku manusia, dimana dalam teori interaksi simbolik tidak bisa dilepaskan dari proses komunikasi, karena awalnya makna itu tidak ada artinya,
sampai pada akhirnya di konstruksi secara interpretif oleh individu melalui proses interaksi, untuk menciptakan makna yang dapat disepakati secara bersama. Hal ini sesuai dengan tiga dari
tujuh asumsi karya Herbert Blumer 1969 dalam West-Turner 2008: 99 di mana asumsi- asumsi itu adalah sebagai berikut: Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan
Universitas Sumatera Utara
makna yang diberikan orang lain kepada mereka, Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia, Makna dimodifikasi melalui proses interpretif.
Tema terakhir pada interaksi simbolik berkaitan dengan hubunganantara kebebasan individu dan masyarakat, dimana asumsi ini mengakui bahwa norma-norma sosial membatasi
perilaku tiap individunya, tapi pada akhirnya tiap individu-lah yang menentukan pilihan yang ada dalam sosial kemasyarakatannya. Fokus dari tema ini adalah untuk menjelaskan mengenai
keteraturan dan perubahan dalam proses sosial. George Herbert Blumer 1967, merupakan professor di Universitas California.
Pemikiran Blumer tentang interaksionisme simbolik lebih banyak merupakan penuangan ide Mead. Sebagai seorang penganut pemikiran Mead, ia berusaha menjabarkan pemikiran idolanya
Mead mengenai konsep interaksionisme simbolik. Menurut Blumer dalam Sunarto, 2004 : 38 bahwa pokok-pokok pikiran interaksionisme simbolik terdiri dari tiga asumsi, yakni : pertama,
bahwa manusia bertindak act terhadap sesuatu thing itu atas dasar makna meaning yang dimiliki sesuatu tersebut baginya. Kedua, makna yang memiliki sesuatu tersebut berasal atau
muncul dari interaksi sosial antara seseorang dengan sesamanya. Ketiga, bahwa makna diperlakukan atau diubah melalui proses penafsiran interpretative yang digunakan orang dalam
menjumpai sesuatu yang unik. a.
Konsep Diri Manusia bukan semata-mata organisme yang bergegas di bawah pengaruh perangsang-
perangsang, baik dari dalam maupun dari luar, melainkan organism yang sadar akan dirinya an organism having a self.
Oleh karena ia seorang diri, maka ia mampu memandang dirinya sebagai objek pikirannya sendiri dan berinteraksi dengan drinya sendiri. Ia mengarahkan dirinya
kepada berbagai objek, termasuk dirinya sendiri, berunding dan berwawancara dengan dirinya sendiri. ia mempermasalahkan, mempertimbangkan, menguraikan, dan menilai hal-hal tertentu
yang telah ditarik ke dalam lapangan kesadarannya, dan akhirnya ia merencanakan dan mengorganisasikan perilakunya.
Antara perangsang dengan perilakunya tersisiplah proses interaksi dengan diri sendiri tadi. Inilah kekhasan manusia.
b. Konsep Kegiatan
Oleh karena perilaku manusia dibentuk dengan proses interaksi dengan diri sendiri, maka kegiatannya itu berlainan sama sekali dengan kegiatan makhluk-makhluk lain.
Manusia menghadapkan dirinya dengan berbagai hal, seperti tujuan, perasaan, kebutuhan, perbuatan, dan harapan serta bantuan orang lain, citra dirinya, cita-citanya, dan lain sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
Maka, ia merancang kegiatannya yang tidak semata-mata sebagai reaksi biologis terhadap kebutuhannya, norma kelompoknya, atau situasinya, melainkan merupakan konstruksinya.
Adalah manusia sendiri yang menjadi konstruktor perilakunya. c.
Konsep Objek Manusia hidup di tengah-tengah objek. Objek meliputi segala sesuatu yang menjadi
sasaran perhatian manusia. Objek bisa bersifat konkrit seperti kursi, meja, dan seterusnya, dan dapat pula bersifat abstrak seperti kebebasan. Bisa juga pasti seperti golongan darah atau agak
kabur seperti filsafat. Inti hakikat objek tadi tidak ditentukan oleh ciri-cirinya, melainkan oleh minat seseorang
dan makna yang dikenakan kepada objek tersebut. jadi, menurut Blumer, tidak hanya kegiatan atau perbuatan yang harus dilihat sebagai konstruksi, tapi juga objek.
d. Konsep Interaksi Sosial
Interaksi sosial adalah suatu proses hubungan timbale balik yang dilakukan oleh individu dengan individu, antara individu dengan kelompok, antara kelompok dengan individu, antara
kelompok dengan kelompok dalam kehidupan sosial. Dalam interaksi terjadi proses pemindahan diri pelaku yang terlibat secara mental ke
dalam posisi orang lain. Dengan demikian, mereka mencoba mencari makna yang oleh orang lain diberikan kepada aksinya memungkinkan terjadinya komunikasi atau interaksi. Jadi,
interaksi tidak hanya berlangsung melalui gerak-gerak secara fisik saja, melainkan lambang- lambang yang maknanya perlu dipahami. Dalam interaksi simbolis seseorang mengartikan dan
menafsirkan gerak-gerik orang lain dan bertindak dengan makna yang dikandungnya. Blumer mengatakan, bahwa orang-orang menimba perbuatan masing-masing secara
timbal balik, dalam arti tidak hanya merangkaikan perbuatan orang yang satu dengan perbuatan orang yang lainnya, melainkan seolah-olah menganyam perbuatan-perbuatan mereka menjadi
apa yang disebut sebagai transaksi, dalam arti kata perbuatan-perbuatan yang berasal dari masing-masing pihak itu diserasikan, sehingga membentuk suatu aksi bersama yang
menjembatani mereka. e.
Konsep Aksi Bersama Istilah aksi bersama sebagai terjemahan dari “joint action”, jadi berarti kegiatan kolektif
yang timbul dari penyesuaian dan penyerasian perbuatan orang-orang satu sama lain. Blumer memberikan contoh, transaksi dagang, makan bersama keluarga, upacara pernikahan, diskusi,
sidang pengadilan, peperangan, dan sebagainya Mufid, 2009:165-170.
Universitas Sumatera Utara
Analisis aksi bersama ini menunjukkan bahwa hakikat masyarakat, kelompok atau organisasi tidak harus dicari dalam struktur relasi-relasi yang tetap, melainkan dalam proses aksi
yang sedang berlangsung. Tanpa aksi setiap struktur relasional tidak dapat dipahami secara atomistis, melainkan sebagai aksi bersama, dimana unsur-unsur individual dicocokkan satu sama
lain dan melebur.
2.2.3 Fenomenologi