Sistem Pemilihan Umum di Indonesia

Pemilu tahun 1999 merupakan pemilu yang diselenggarakan di awal masa reformasi dan tercatat diikuti oleh 48 Partai politik dan menempatkan PDI Perjuangan sebagai pemenang pemilu dengan perolehan kursi sebanyak 153 Kursi. Pemilu 1999 berlangsung damai dan tertib tanpa adanya kekacauan. Dua pemilu berikutnya setelah pemilu tahun 1999, pemilu tahun 2004 dan pemilu tahun 2009. Pemilu tahun 2004 dan pemilu tahun 2009 merupakan dua pemilu terakhir yang diselenggarakan Indonesia pada masa reformasi ini. Pemilu 2004 dilaksanakan secara demokratis dan untuk pertama kalinya presiden dipilih oleh rakyat. Pemilu tahun 2004 menghasilkan Partai Golkar kembali sebagai pemenang pemili legislatif. Pemilu pada tahun 2004 merupakan pemilu yang kesembilan yang dilaksanakan di Indonesia yang diikuti oleh 24 Partai Politik. Setelah pemilu 2009, Pemilu nasional selanjutnya adalah pemilu tahun 2009, yang merupakan pemilu nasional yang kesepuluh. Pemilu 2009 diikuti oleh 44 partai politik yang mana pemilu tahun 2009 ini dimenangkan oleh Partai Demokrat. Pemilu tahun 2009 dilaksanakan lebih demokratis dan kompetitif karena pemilihan calon didasarkan dengan perolehan suara terbanyak dan bukan berdasarkan nomor urut. Pemilu 2009 meberlakukan aturan Parliementary Threshold dan hanya sembilan partai yang mampu memenuhi ambang batas tersebut.

C. Sistem Pemilihan Umum di Indonesia

Pemilihan umum dilaksanakan oleh setiap negara yang demokratis, yang mana pemilu digunakan sebagai menyalurkan suara rakyat atau menunjukkan kedaulatan rakyat di dalam suatu negara. Di Indonesia, pemilu merupakan sarana Universitas Sumatera Utara bagi rakyat untuk memilih wakilnya yang akan menjalankan fungsi melakukan pengawasan, meyalurkan aspirasi politik rakyat, membuat undang-undang sebagai landasan bagi semua pihak di Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam menjalankan fungsi masing-masing, serta merumuskan anggaran pendapatan dan belanja untuk membiayai pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut. 92 Salah satu instrumen penting di dalam pelaksanaan pemilu adalah sistem pemilu. Secara sederhana maka sistem pemilu dapat diartikan sebagai suatu cara mentransfer suara rakyat dalam pemilu untuk mengisi kursi parlemen melalui partai politik yang memperoleh suara. Sistem pemilu dapat pula diartikan sebagai kumpulan metode atau cara warga masyarakat memilih wakil mereka. 93 AREND LIJHPART memandang arti penting dari sistem pemilu karena sistem pemilu membawa konsekuensi yang sangat besar terhadap proporsionalitas hasil pemilihan, juga terhadap sistem kepartaian terutama yang menyangkut banyaknya partai dalam sebuah sistem kepartaian. 94 Apabila diuraikan secara sederhana, maka terdapat dua kelompok besar sistem pemilu yang ada di dunia, yaitu sistem pemilu proporsional dan sistem pemilu distrik. Namun sesungguhnya apabila diperhatikan sistem pemilu di tiap- tiap negara, maka dapat diketahui bahwa sesungguhnya sistem pemilu itu sangatlah banyak dan beragam. Secara umum, terdapat empat rumpun keluarga di dalam sistem pemilu, yaitu sistem pluralitas atau mayoritas, sistem perwakilan 92 Penjelasan Undang-undang Nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum 93 Mexsasai Indra, Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia, Refika Aditama,Bandung,2011.Halaman. 285 94 Ibid Universitas Sumatera Utara proporsional, sistem campuran, dan sistem-sistem lain. 95 setiap sistem pemilu melekat di dalamnya sejumlah kebaikan dan kekurangan bagi pembangunan politik, risiko dari digunakannya sebuah sistem pemilu setidaknya berdampak pada tiga hal yaitu : 96 1. Tingkat proporsionalitas perwakilan 2. Sistem kepartaian 3. Kabinet yang dibentuk Pemilu di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga masa, yakni pemilu pada masa orde lama, pemilu pada masa orde baru, dan pemilu pada masa reformasi. Sistem pemilu yang digunakan di dalam pemilihan umum di Indonesia sejak tahun 1955 adalah sistem pemilu proporsional. Pada pemilu tahun 1955 yang merupakan pemilu pertama di Indonesia, partai politik mendapatkan kursi yang didasarkan pada perolehan partai politik tersebut dalam pemilihan umum. Oleh karena menganut sistem proporsional daftar terbuka pada tahun 1955, menjadikan pemilih dapat menuliskan nama calon dari daftar calon yang disusun oleh partai politik. 97 Pada pemilu di masa orde baru, sistem pemilu yang digunakan juga adalah sistem pemilu proporsional melanjutkan sistem pemilu yang telah ada sebelumnya. Namun, pada pemilu pada masa orde baru, sistem proporsional yang digunakan adalah sistem proporsional degan daftar tertutup yang mana dengan sistem daftar tertutup ini, masyarakat hanya diperkenankan memilih partai saja dan tidak dapat memilih kandidat calon. Pada pemilu masa orde baru, 95 Kacung Marijan, Op.Cit Halaman 85 96 Dedi Mulyadi, Op.Cit. Halaman 256 97 Ibid. Universitas Sumatera Utara penyaringan terhadap calon yang akan diusung oleh partai politik untuk duduk di parlemen sangatlah ketat dengan melibatkan intervensi dari pemerintah dengan maksud agar memastikan bahwa kandidat-kandidat yang akan diusung oleh partai politik merupakan loyalis orde baru. Penerapan sistem pemilu yang proporsional ini juga tidak lepas dari kekurangan. Hingga masa jatuhnya pemerintahan soeharto harapan untuk mengubah sistem pemilu dari proporsional menjadi sistem distrik juga disuarakan. Dengan sistem pemilu yang proporsional dianggap bahwa, para wakil rakyat dianggat kurang peka terhadap kepentingan para konstituen karena keterikatan antara para wakil dan konstituen di daerah pemilihannya memang kurang. 98 akan tetapi tuntutan-tuntutan tersebut tidak dapat dikabulkan, dan Indonesia tetap menggunakan sistem pemilu secara proporsional. Proporsional dianggapm sebagai sitem yang paling tepat dianut di indonesia karena kemajemukan masyarakat yang cukup besar. Selain itu, terdapat kekhawatiran ketika sistem distrik dipakai akan banyak kelompok-kelompok yang tidak terwakili, khususnya kelompok-kelompok kecil atau marginal. 99 Oleh karena sistem distrik ditolak, maka pemilu di indonesia tetap menggunakan sistem proporsional. Pemilu pada tahun 1999 sebagai pemilu pertama di masa reformasi juga menggunakan sistem pemilu yang proporsional. Pemilih dalam pemilu 1999 hanya dapat memilih tanda gambar partai tanpa dapat memilih kandidatnya, namun kandidat tersebut tetap harus diumumkan kepada masyarakat umum. Oleh karena itu sekalipun pemilu 1999 diselenggarakan 98 Kacung Marijan, Op.Cit Halaman 92 99 Ibid. Universitas Sumatera Utara dengan banyak partai namun pemilu 1999 tersebut tetap tidak memberikan kesempatan kepada rakyat untuk memilih wakil rakyatnya sendiri. Perubahan sistem pemilu di Indonesia dari sistem pemilu proprsional tertutup kepada sistem pemilu Proporsional terbuka mulai terlihat di tahun 2004. Pada pemilu tahun 2004, pemilih di perbolehkan untuk memilih secara langsung wakilnya dan memberikan kesempatan kepada semua calon untuk dapat masuk ke parlemen baik itu calon dengan nomor urut atas maupun calon dengan nomor urut bawah asalkan memenuhi jumlah bilangan pembagi pemilih. Sekalipun telah menggunakan sistem proporsional terbuka, namun Nico Harjanto menyatakan bahwa, sekalipun sistem pemilu di Indonesia telah menjadi proporsional terbuka, namun perubahan tersebut tidak sepenuhnya terbuka, karena itu sistem baru tersebut lebih tepat disebut sebagai sistem pemilu proporsional semi daftar terbuka. 100 Pemilu 2004 dikatakan sebagai pemilu dengan sistem proporsional semi daftar terbuka karena sekalipun rakyat diperkenankan untuk memilih calonnya sendiri, namun calon yang dapat ditetapkan sebagai calon terpilih adalah calon yang memperoleh suara memenuhi jumlah yang didasarkan pada BPP. Namun, apabila tidak terdapat satupun calon yang memenuhi jumlah BPP maka penentuan calon terpilih akan dikembalikan berdasarkan nomor urut. Hal inilah yang menyebabkan bahwa sistem proporsional terbuka yang diterapkan adalah sistem proporsional terbuka yang setengah hati karena untuk mencapai jumlah BPP 100 Ibid. Halaman. 95 Universitas Sumatera Utara adalah hal yang sulit untuk dilakukan oleh setiap calon anggota legislatif yang bersaing. Untuk melakukan suatu perbaikan atas sistem proporsional yang telah di modifikasi sebelumnya menjadi daftar semi terbuka, maka terdapat usulan agar kemudian sistem proporsional yang sudah ada di modifikasi menjadi lebih baik lagi dari sistem pemilu proporsional semi terbuka menjadi sistem proporsional yang benar-benar terbuka. Maka, dengan demikian penetapan calon terpilih tidak lagi berdasarkan nomor urut namun berdasarkan suara terbanyak yang diperoleh oleh calon anggota legislatif. Namun hal ini menimbulkan pro dan kontra di internal DPR yang akan membuat undang-undang karena sebagian partai setuju dengan usulan ini namun sebagian partai lainnya tidak setuju dengan ide suara terbanyak tersebut karena dianggap akan membuka peluan adanya money politics dan sistem demikian dianggap akan mendeligitimasikan keberadaan partai. 101 Pada akhirnya undang-undang pemilu yang diterbitkan pada saat itu, yakni UU nomor 10 tahun 2008 menyatakan bahwa calon terpilih adalah mereka yang memperoleh suara sebanyak 30 persen dari jumlah suara BPP, dan apabila tidak terdapat satu pun calon yang memperoleh suara sebanyak 30 persen tersebut maka penentuan calon terpilih akan dikembalikan ke nomor urut. Sekalipun telah diatur demikian, namun masih ada pihak yang masih kurang puas dengan keberadaan undang-undang tersebut yang masih belum menerapkan sistem proporsional yang benar-benar terbuka, yang mana pihak-pihak tersebut melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi tentang pasal yang mengatur penetapan calon terpilih 101 Ibid. Halaman 96 Universitas Sumatera Utara tersebut. Mahkamah Konstitusi melalui keputusan nomor 22-24PUU-VI2008 akhirnya menetapkan bahwa penetapan calon terpilih harus murni berdasarkan suara terbanyak. Dengan demikian, putusan tersebut menetapkan bahwa sistem pemilu yang dianut akhirnya menjadi sistem proporsional yang benar-benar terbuka dan sistem seperti ini akhinya diterapkan dalam pemilihan umum pada tahun 2009. Pemilu 2009 juga mengenal adanya Parliementaryu Thresshold atau ambang batas perolehan suara yang mana diatur bahwa partai yang mampu menembus ambang batas lah yang boleh masuk kedalam parlemen. Artinya apabila ada calon yang memperoleh suara memenuhi jumlah BPP namun secara nasional partainya tidak lolos ambang batas maka otomatis calon tersebut tidak dapat masuk ke parlemen. Dengan sistem pemilu yang masuk kedalam sistem pemilu proporsional terbuka dalam pemiu yang diselenggarakan pada tahun 2009 dan diberlakukannya Parliementary Threshold , maka setidaknya Kacung Marijan dalam bukunya Sistem Politik Indonesia, konsolidasi demokrasi pasca orde-baru menyebutkan ada tiga konsekuensi yakni : 1. Kompetisi partai semakin kuat seiring diberlakukannya Parliementary Threshold dan pengecilan daerah pemilihan untuk pemilu anggota DPR 2. Kompetisi internal partai semakin tinggi 3. Sebagai konsekuensi lain dari deiberlakukannya Parliementary Threshold adalah dimungkinkan sistem multi partai sederhana di Universitas Sumatera Utara dalam pemerintah pusat, dan multi partai di dalam pemerintahan di daerah. Pemilu 2009 menunjukkan kemajuan dalam berdemokrasi dimana pemilih bisa dengan bebas memilih pilihannya dan penetapan calon terpilih didasarkan tidak pada nomor urut namun pada suara terbanyak, namun tentu saja hal ini semakin menimbulkan suatu kompetisi yang tidak hanya di luar tapi juga di internal partai karena setiap calon akan berlomba untuk mendapatkan suara terbanyak. Namun yang menjadi catatan pada pemilu 2009 dengan sistem pemilu proporsional yang terbuka dengan adanya sistem PT atau ambang batas, maka terdapat 19.048.653 suara atau sekitar 18,29 suara yang tidak terwakili pada pemilu tersebut. Hal ini didasarkan pada akumulasi jumlah perolehan suara 29 partai politik yang tidak lolos ambang batas parlemen. D. Pengaturan Mengenai Pemilihan Umum di Indonesia Setiap hal yang dilakukan di Indonesia memerlukan dasar hukum agar tindakan-tindakan yang dilaksanakan dapat dianggap sah dan terlegitimasi serta hasil yang dihasilkan oleh perbuatan tindakan tersebut tidak cacat hukum. Peraturan perundang-undangan sangat penting karena tujuan utama pembentukan perundang-undangan di negara hukum adalah untuk menciptakan suasana yang kondusif dalam tatanan kehidupan masyarakat, yakni kondisi sistem hukum yang mendukung cita-cita kesejahteraan itu. 102 102 M.Solly Lubis, Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan, Mandar Maju, Bandung, 2009, Halaman 28 Universitas Sumatera Utara Pemilihan umum sebagai pesta demokrasi rakyat serta sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat perlu juga perlu memiliki dasar hukum untuk penyelenggaraannya. Sejarah mencatat bahwa pemilu di Indonesia pernah tidak dapat terlaksana oleh karena tidak adanya suatu perangkat undang-undang ataupun suatu pengaturan menegenai pemilu tersebut. Pemilu yang seyogianya harus dilaksanakan pada tahun 1946 akhirnya baru terlaksana pada tahun 1955, hal ini disebabkan oleh tidak adanya dasar hukum untuk penyelenggaraan pemilu tersebut. Oleh karena setiap tindakan perlu memiliki dasar hukum, maka pemilu pun juga memiliki rangkaian peraturan yang mengatur mengenai pemilu itu sendiri. Pemilihan umum di Indonesia pada masa sekarang ini sebagai landasan konstitusionalnya terdapat pada undang-undang dasar republik Indonesia tahun 1945 Pasal 22 E ayat 1-6 yaitu : 1. Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali 2. Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Daerah 3. Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik 4. Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan Universitas Sumatera Utara 5. Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri 6. Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang- undang Ayat-ayat yang ada didalam undang-undang dasar 1945 tersebutlah yang kemudian menjadi dasar dari seluruh peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pemilihan umum di Indonesia. Ayat satu menjelaskan bahwa pemilu harus dilaksanakan secara langsung,umum,bebas,rahasaia,jujur dan adil setiap lima tahun sekali menjelaskan asas yang harus dianut di dalam penyelenggaraan pemilu tersebut sehingga pemilu diharapkan dapat memunculkan pilihan-pilihan yang berkualitas, serta di dalam pasal satu lah kemudian menjadi dasar bahwa pemilihan umum diselenggarakan setiap lima tahun sekali dan menjelaskan lamanya masa jabatan orang-orang yang dipilih berdasarkan pemilu yaitu anggota DPR,DPRD,DPD, bahkan hingga presiden dan wakil presiden. Sementara ayat dua menjelaskan bahwa pemilihan umum yang diselenggarakan di Indonesia merupakan suatu sarana kedaulatan rakyat untuk mengisi kursi-kursi di parlemen dan juga kepala pemerintaahan, yang mana rakyat akan memilih secara langsung anggota DPR,DPRD,DPD dan Presiden dan wakil presiden. Ayat tiga dan ayat empat dalam undang-undang dasar 1945 lebih mengatur mengenai peserta dalam pemilihan umum yang akan diselenggarakan, yang mana untuk memilih anggota DPR dan DPRD maka peserta pemilu adalah partai politik dan untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan. Hal ini lah yang kemudian Universitas Sumatera Utara menjadi dasar bahwa untuk duduk menjadi seorang anggota DPR ataupun DPRD maka seseorang harus masuk ke dalam suatu partai politik. Sementara itu, ayat lima dalam UUD 1945 pasal 22 E mengatur mengenai lembaga yang akan melaksanakan penyelenggaraan pemilu. ayat lima ini yang kemudian menjadi dasar hukum pembentukan suatu lembaga pemilihan umum yang akan menyelenggarakan teknis pemilihan umum dan mempersiapkan pemilu hingga menetapkan hasil pemilihan umum tersebut. Pada ayat yang terakhir dalam pasal 22 E ini menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut diatur di dalam suatu peraturan perundang-undangan menunjukkan bahwa, perlunya dibentuk aturan perundang- undangan yang mengatur mengenai teknis penyelenggaraan pemilihan umum. Untuk terciptanya suatu pemilihan umum yang berkualitas maka elemen electoral process meliputi : 1. Struktur 2. Peserta pemilu 3. Penyelenggara pemilu 4. Mekanisme pemilihan umum 103 Maka uraian dari keempat elemen tersebut kemudian diatur di dalam suatu peraturan pelaksanaan pemilihan umum yang menjadi hukum dasar pemilu. Mengingat bahwa suatu penyelenggaraan pemilu memerlukan suatu peraturan yang mengatur mengenai teknis pelaksaannya maka kemudian dibentuklan suatu undang-undang yang mengatur mengenai pemilihan umum di 103 Dedi Mulyadi,Op.Cit Halaman 271 Universitas Sumatera Utara Indonesia. Beberapa peraturan yang pernah ada di Indonesia yang mengatur tentang penyelenggaraan pemilihan umum adalah : 1. Undang-undang nomor 7 tahun 1953 2. Undang-undang nomor 15 tahun 1969 3. Undang-undang nomor 4 tahun 1975 4. Undang-undang nomor 2 tahun 1980 5. Undang-undang nomor 1 tahun 1985 6. Undang-undang nomor 3 tahun 1999 7. Undang-undang nomor 4 tahun 2000 8. Undang-undang nomor 12 Tahun 2003 9. Undang-undang nomor 23 Tahun 2003 10. Undang-undang nomor 20 Tahun 2004 11. Undang-undang nomor 10 tahun 2008 12. Undang-undang nomor 3 tahun 2012 Undang-undang tersebut dibentuk sebagai dasar hukum teknis penyelenggaraan pemilu di indonesia. Pada dasarnya, sekalipun telah mengalami perubahan,namun substansi yang diatur di dalam undang-undang tersebut hampir sama adanya yaitu mengatur mengenai peserta pemilu, penyelenggara pemilu, dan mekanisme pemilihan umum. Selain membentuk undang-undang, maka kemudian undang-undang itu juga kemudian menjadi dasar hukum untuk membentuk suatu peraturan – peraturan yang lainnya mengenai penyelenggaraan pemilu misalnya Peraturan Komisi Pemilihan Umum PKPU. Universitas Sumatera Utara Penyelenggaraan pemilu tidak berdiri sendiri, melainkan terkait dengan lembaga atau kegiatan kenegaraan lain sehingga keberadaan undang-undang pemilu juga terkait dengan beberapa undang-undang lain. 104 seperti undang- undang partai politik, undag-undang lembaga negara yang pejabatnya dipilih melalui pemilu seperti MPR,DPR,DPD,dan DPRD, dan juga pengaturan mengenai pemilu juga tidak terlepas dari peraturan-peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Di masa reformasi kini, terdapat pula pengaturan mengenai apabila terjadinya perselisihan mengenai hasil pemilu. peraturan menetapkan mahkamah konstitusi sebagai pengadilan yang berwenang untuk memutuskan hasil pemilihan umum. Undang-undang kini juga mengatur mengenai sengketa tata usaha negara pemilu diantaranya sengketa verifikasi peserta pemilu serta peraturan juga telah mengatur mengenai sanksi pidana dalam pemilihan umum. 104 http:www.rumahpemilu.orgread95Peraturan ‐Pemilu‐dan‐Peraturan‐Terkait‐Permilu diakses pada Rabu 22 Mei 2013, Pukul 01:55 Universitas Sumatera Utara

BAB IV Pelaksanaan Pemilihan Umum Legislatif di Indonesia dengan Multi Partai