Akibat Pembatalan Perkawinan Karena Adanya Pemalsuan Identitas dan Kaitannya Dengan Kedudukan Anak Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Studi Pada Pengadilan Agama Medan Kelas-IA)

(1)

A. Buku

Afandi, Ali, 1986, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian Menurut

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), PT Bina Aksara, Jakarta.

Chazawi, Adami, 2001, Kejahatan Terhadap Pemalsuan, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Departemen Pendidikan Nasional, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.

Echols, John M dan Hasan Shadily, 2000, Kamus Inggris Indonesia, PT. Gramedia, Jakarta.

Fakhruddin, Fuad mohd, 1991, masalah anak dalam hukum islam (anak kandung,

anak tiri, anak angkat, dan anak zina), CV Pediman Ilmu jaya, Jakarta.

Gultom, Maidin, 2013, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dan Perempuan,

Rafika Aditama, Cet- Ke 2, Jakarta.

Hadikusuma, Hilman, 2007, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat Hukum Agama, CV. Mandar Maju, Bandung.

Hadisuprapto,Paulus, 1997, Juvenile Delinquency Pemahaman Dan Penanggulangannya, PT. Citra Aditia Bakti, Bandung.

Hakim, Rahmat, 2000, Hukum Perkawinan Islam, Pustaka Setia, Bandung.

Kamello, Tan dan Syarifah Lisa Andriati,2011, Hukum Perdata: Hukum Orang &

Keluarga, USU Press, Medan.

Kansil, C. S. T, 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.

---, dan Christine S.T Kansil, 2004, Modul Hukum Perdata termasuk

Asas-Asas Hukum Perdata, PT Pradnya Paramita, Jakarta.

Komariah, 2008, Hukum Perdata, Umm Press, Malang.

Malik, Rusdi, 2009, memahami Undang-Undang Perkawinan, Universitas Trisakti, Jakarta.

Marwan, Muchlis dan Thoyib Mangkupranoto, 1986, Hukum Islam II, Buana Cipta , Surakarta.


(2)

Prawirohamidjojo, R. Soetojo, 2002, Pluralisme Dalam Perundang-Undangan

Perkawinan Di Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya.

Prinst, Darwan,1997, hukum anak Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Prodjohamidjojo, Mr Martiman, 2002, Hukum Perkawinan Indonesia, Indonesia

Legal Center Publising, Jakarta.

Poerwadarminta, WJS, 2004, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2004.

Rofiq, Ahmad, 2003, Hukum Islam Di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Saleh, K. Wantjik, 1976, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Soekanto, Soerjono, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta.

---, dan Sri Mamudji, 2004, Penelitian Hukum Normatif (Suatu

Tinjauan Singkat), Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Sostroatmojo, Arso, dan Wasit Aulawi, 1981, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta.

Sudarsono,2015, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta.

Sukardja, Ahmad, 2008, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Pustaka Firdaus, Jakarta.

Syahrani, Riduan, 2004, Seluk-Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, PT Alumni, Bandung.

Tutik, Titik Triwulan, 2008, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Kencana Media Group, Jakarta.

Usman, Rachmadi, 2006, Aspek-Aspek Hukm Perorangan & Kekeluargaan Di

Indonesia, Sinargrafita, Jakarta.

Wadong, Maulana Hasan, 2000, Advokasi Dan Hukum Perlindungan Anak, PT. Gramedia Widia Sarana Indonesia, Jakarta.

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak


(3)

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Hak Asasi Manusia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek).

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Kompilasi Hukum Islam C. Internet

https://id.wikipedia.org/wiki/Pemalsuan

http://journal.uin-suka.ac.id/media/artikel/ASY134702-Imam%20Jauhari.pdf. https://www.researchgate.net/publication/42348871 Kajian Yuridis Terhadap

Perlindungan Hak Hak Anak Dan Penerapannya Penelitian Di Kota Binjai Kota Medan Dan Kabupaten Deli Serdang.

http://journal.uin-suka.ac.id/media/artikel/ASY134702-Imam%20Jauhari.pdf


(4)

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

A. Pengertian Anak menurut Undang-Undang Perlindungan Anak Anak merupakan anugerah terindah yang dimiliki oleh setiap orang tua. Anak adalah bagian dari generasi muda, sebagai salah satu sumber daya manusia, merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa. Seorang anak memiliki peranan yang sangat penting dalam sebuah kehidupan trumah tangga, karena tujuan melangsungkan perkawinan selain untuk membangun mahligai rumah tangga yang bahagia dan sejahtera juga untuk mempersatukan keluarga dan meneruskan keturunan.

Pengertian dan batas usia anak secara eksplisit, bunyi Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah sebagai berikut: “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak

yang masih dalam kandungan”. Dalam pengertian dan batasan tentang anak

sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ini tercakup 2 (dua) isu penting yang menjadi unsur dalam pengertian anak, yaitu pertama, seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Dengan demikian, maka setiap orang yang telah melewati batasan usia 18 tahun, termasuk orang yang secara mental tidak cakap, dikualifikasi sebagai bukan anak, yakni orang dewasa. Dalam hal ini tidak dipersoalkan apakah


(5)

statusnya sudah kawin atau tidak. Kedua, anak yang masih dalam kandungan. Jadi, Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ini untuk melindungi anak yang diperluas termasuk anak dalam kandungan.

Dengan demikian, pengertian dan batasan usia anak dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, bukan dimaksudkan untuk menentukan siapa yang telah dewasa, dan siapa yang masih anak-anak, sehingga konsekuensi hukumnya, seorang perempuan yang telah menikah kendatipun belum berusia 18 tahun, misalnya masih 16 tahun, secara hukum telah dikualifikasi sebagai status orang dewasa.

Secara yuridis formal terdapat berbagai batasan usia anak, yang dirumuskan sesuai dengan segi hukum yang mengatur masing-masing perbuatan hukumnya, seperti KUHPerdata, KUHP, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan lain-lain. Sehingga dapat dikemukakan bahwa terdapat 3 (tiga) isu krusial dalam menentukan apa dan bagaimana pengertian/batasan usia anak yang menyangkut 3 (tiga) aspek, yaitu:

a. Pertama, batas kuantitatif usia anak itu sendiri, apakah 18 tahun, 21 tahun, 17 tahun, 16 tahun, 15 tahun, dan lain sebagainya.

b. Kedua, isu tentang menikah atau belum menikah sebagai suatu penentu dalam batasan anak (bandingkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun


(6)

2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997).

c. Ketiga, isu anak dalam kandungan atau tidak (Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan Pasal 1 Konvensi Hak Anak).76

Pengertian anak juga dapat ditinjau dari usia atau dari aspek kejiwaan. Seseorang dapat dikategorikan anak bila ia berumur 8-17 tahun. Sementara aspek kejiwaan tampaknya ada pengklasifikasian yang agak rinci, yaitu anak, remaja dini, remaja penuh, dewasa muda, dan akhirnya dewasa.77 Pada dasarnya pengertian anak dapat kita jumpai dari berbagai aspek , baik aspek agama, aspek hukum maupun aspek sosial. Dalam hukum kita, terdapat berbagai pluralisme mengenai kriteria anak, ini sebagai akibat tiap-tiap peraturan perundang-undangan mengatur secara tersendiri kriteria tentang anak. Adapun pengertian anak dalam aspek hukum adalah sebagai berikut:

1) Pengertian anak menurut hukum perdata

Pengelompokan anak menurut hukum perdata, dibangun dari beberapa aspek keperdataan yang ada pada anak sebagai subjek hukum yang tidak mampu, aspek-aspek tersebut sebagai berikut:

a) Status belum dewasa (batas usia) sebagai subjek hukum

Dalam hukum perdata khususnya Pasal 330 ayat (1) KUHPerdata

76

http://journal.uin-suka.ac.id/media/artikel/ASY134702-Imam%20Jauhari.pdf. Di akses pada tanggal 1 Mei 2016, Pukul 11.00 WIB


(7)

mendudukkan status anak sebagai berikut: “Belum dewasa adalah mereka

yang belum mencapai umur genap berusia 21 tahun, dan tidak lebih dahulu

telah kawin”. Dalam Pasal 330 ayat (3) mendudukkan anak sebagai berikut: “seseorang yang belum dewasa yang tidak berada di bawah

kekuasaan orang tua akan berada di bawah perwalian”.

b) Hak-hak anak di dalam Hukum Perdata

Kedudukan seorang anak, akibat dari belum dewasa menimbulkan hak-hak anak perlu direalisasikan dengan ketentuan hukum khusus yang menyangkut urusan hak-hak keperdataan anak tersebut. Hak-hak keperdataan anak dijelaskan dalam Pasal 2 KUHPerdata yang

menyebutkan: “anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan,

dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak

menghendakinya”. Hak-hak anak demikian ini menonjolkan hak untuk dibuktikan, bahwa anak adalah seseorang yang dilahirkan oleh si ibu, dan anak mempunyai hak untuk membuktikan dengan jalan menunjuk bahwa seorang wanita adalah ibunya. Ketentuan ini terdapat di dalam Pasal 288 KUHPerdata “ Menyelidiki soal siapakah ibu seorang anak luar kawin adalah diperbolehkan. Dalam hal demikian si anak harus dibuktikan, bahwa ia adalah anak yang dilahirkan oleh si ibu. Si anak diperbolehkan membuktikannya dengan saksi, kecuali kiranya telah ada bukti permulaan dengan tulisan. 78

2) Anak menurut KUHPidana

Pasal 45 KUHP mendifinisikan anak yang belum dewasa apabila belum

78 Maulana Hasan Wadong, Advokasi Dan Hukum Perlindungan Anak, PT. Gramedia


(8)

berumur 16 (enam belas) tahun. Oleh karena itu, apabila ia tersangkut dalam perkara pidana hakim boleh memerintahkan supaya si tersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya dengan tidak dikenakan suatu hukuman. Atau memerintahkannya supaya diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman. Ketentuan Pasal 35, 46 dan 47 KUHP ini telah dihapuskan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

3) Undang-Undang Pengadilan Anak

Undang-undang pengadilan anak (Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997) Pasal 1 ayat (2) merumuskan, bahwa anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah. Jadi anak dibatasi dengan umur antara 8 (delapan) tahun sampai umur 18 (delapan belas) tahun. Sedangkan syarat kedua anak belum pernah kawin. Maksudnya tidak sedang terikat dalam perkawinan ataupun pernah kawin dan kemudian bercerai. Apabila si anak sedang terikat dalam perkawinan atau perkawinan putus karena perceraian, maka anak dianggap sudah dewasa, walaupun umurnya belum genap 18 (delapan belas) tahun. 79

4) Anak menurut Undang-Undang Perkawinan.

Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatakan, seorang pria hanya diijinkan kawin apabila telah mencapai usia 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita telah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Penyimpangan atas hal tersebut hanya dapat dimintakan dispensasi kepada Pengadilan Negeri.80

B. Hak Dan Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak

79

Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal. 2


(9)

Apabila suatu perkawinan memperoleh keturunan (anak), maka perkawinan tersebut tidak hanya menimbulkan hak dan kewajiban antara suami dan isteri, tetapi juga menimbulkan hak dan kewajiban antara suami isteri yang bersangkutan sebagai orang tua dan anak-anaknya. Hak dan kewajiban orang tua dan anak-anaknya ini dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan diatur pada Pasal 45 s/d Pasal 49.81

Berkenaan dengan kehidupan masyarakat Indonesia, hubungan hukum

antara orang tua dengan anak terlihat secara jelas dalam “alimentatieplicht” yaitu

suatu kewajiban orang tua terhadap anak untuk memberikan penghidupannya sampai si anak memiliki kemampuan untuk mencari nafkah sendiri, misalnya sudah bekerja, bahkan adakalanya anak dibiayai oleh orang tuanya walaupun sudah berumah tangga misalnya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Hal tergantung kepada kondisis orang tua masing-masing anak. sebaliknya adakalanya si anak sudah dibebani kewajiban untuk mencari nafkah hidupnya sejak tamat Sekolah Dasar dan bahkan membantu orang tuanya untuk mengurangi beban kehidupan mereka.

Secara normatif, orang tua memiliki kewajiban hukum sebagai perwujudan tanggung jawab terhadap anaknya untuk membiayai kehidupan sandang, pangan, dan pendidikan selama anak-anak tersebut masih belum dewasa. Kewajiban normatif tersebut bersifat hukum memaksa artinya tidak boleh kewajiban orang tua terhadap anaknya dilepaskan dengan membuat perjanjian untuk itu.

Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan telah


(10)

meletakkan kewajiban orang tua terhadap anak adalah: a. Kedua orang tua wajib memelihara anak; b. Kedua orang tua wajib mendidik anak; c. Kedua orang tua wajib memberi nafkah;

d. Kedua orang tua wajib menyediakan tempat tinggal;

e. Kedua orang tua mewakili kepentingan hukum si anak sampai anak tersebut dewasa.82

Kewajiban orang tua tersebut akan berakhir jika anak tersebut berumah tangga, atau anak sudah mandiri. Kekuasaan orang tua perlu diberikan terhadap anak-anak, yaitu kewajiban mendidik dan memelihara anak-anak mereka dengan sebaik-baiknya. Jadi kekuasaan itu tidak diberikan untuk kepentingan orang tua sendiri, melainkan untuk kepentingan si anak. Untuk kepentingan itu kepada

orang tua diberikan hak untuk “menghukum” dan “mengkoreksi” terhadap anak -anak mereka, jika -anak-anak berkelakuan tidak baik. Hak itu dapat dikatakan “hak

koreksi” dan “hak disipliner”, yaitu hak untuk mengkoreksi kelakuan anak yang tidak baik.83

Anak harus tunduk dan patuh kepada orang tuanya dan anak-anak harus disiplin. Jika kelakuan anak tidak baik, maka orang tuanya berhak memberikan hukuman atau memberikan koreksi. Hukuman dapat berupa fisik misalnya dengan memukul asal bukan bersifat penganiayaan. Undang-nndang tidak menentukan batas-batas kekuasaan orang tua, apakah yang boleh dan apakah yang dilarang.

Sebaliknya anak tidak hanya mempunyai hak terhadap orang tuanya, tetapi


(11)

juga mempunyai kewajiban. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah meletakkan kewajiban anak terhadap orang tuanya adalah:

1) Anak wajib menghormati orang tua; 2) Anak wajib mentaati kehendak orang tua;

3) Anak wajib mememlihara dan memberikan bantuan kepada orang tuanya jika anak sudah dewasa menurut kemampuannya.84

Sesungguhnya kewajiban anak menghormati orang tua dan mentaati kehendaknya bersifat universal, barangkali tidak ada suatu bangsa yang tidak menghendaki demikian. Tetapi sebaliknya orang tua harus memberikan contoh teladan yang baik dengan cara yang bijaksana dan tidak bersifat paksaan. Jika orang tua taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan taat beribadah, tentunya anak wajib hormat dan mentaatinya, tetapi jika orang tua penjudi, pemabuk dan penuh maksiat, tidak wajib anak mentaatinya.85

C. Perlindungan Terhadap Hak-Hak Anak

Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak merupakan tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara di masa depan. Ketentuan Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

84

Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Op.Cit., hal. 65

85


(12)

Perlindungan hak-hak anak diatur dalam sejumlah undang-undang yang terkait yaitu Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak serta Instruksi Presiden Nomor 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.86

Hak-hak anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Pasal 28 B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen kedua

disebutkan “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan

berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Hak anak dalam perspektif hukum memiliki aspek yang universal terhadap kepentingan anak. Meletakkan hak anak dalam pandangan hukum, memberikan gambaran bahwa tujuan dasar kehidupan manusia adalah membangun umat manusia yang memegang teguh ajaran agama. Dengan demikian, hak anak dalam pandangan hukum meliputi aspek hukum dalam lingkungan hidup seseorang.

Pada tindakan lain Maulana Hasan Wadong mengatakan “seorang umat Islam

harus taat dalam menegakkan hak-hak anak dengan berpegang pada hukum

nasional yang positif”.87

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah disebutkan bahwa hukum pengasuhan anak secara tegas yang merupakan rangkaian dari hukum perkawinan di Indonesia, akan tetapi hukum pengasuhan

86

https://www.researchgate.net/publication/42348871 Kajian Yuridis Terhadap Perlindungan Hak Hak Anak Dan Penerapannya Penelitian Di Kota Binjai Kota Medan Dan Kabupaten Deli Serdang, di akses pada tanggal 24 Mei 2016, Pukul 13.30 WIB


(13)

anak itu belum diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 secara luas dan rinci. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 45 sampai dengan Pasal 49 dijelaskan bahwa orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya yang belum mencapai umur 18 tahun dengan cara yang baik sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban ini berlaku terus meskipun perkawinan antara orang tua si anak putus karena perceraian atau kematian.88

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dalam Bab III Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar Manusia pada Bagian Kesepuluh mengatur mengenai hak anak. Bagian yang mempunyai judul Hak Anak ini memberikan ketentuan pengaturan yang dituangkan ke dalam 15 (lima belas) pasal, dimana dalam Pasal 52 ayat (2) disebutkan bahwa hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan.

Pasal 1 angka 5 Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia memberikan batasan pengertian mengenai anak yaitu setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya. Batasan pengertian mengenai anak yang terdapat dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia tersebut mempunyai makna yang sama dengan batasan pengertian yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang_Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang

88

http://journal.uin-suka.ac.id/media/artikel/ASY134702-Imam%20Jauhari.pdf di akses pada tanggal 1 Mei 2016, Pukul 11.00 WIB


(14)

belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.89

Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan pada setiap warga negaranya salah satunya adalah dengan memberikan perlindungan terhadap hak anak yang merupakan salah satu dari hak asasi manusia. Pemerintah Indonesia dalam usahanya untuk menjamin dan mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak adalah melalui pembentukan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindunagn Anak menentukan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Perlindungan anak juga dapat diartikan sebagai segala upaya yang ditunjukkan untuk mencegah, rehabilitasi dan memberdayakan anak yang mengalami tindak perlakuan salah, eksploitasi dan penelantaran, agar dapat menjamin kelangsungan hidup dan tumbuh kembang secara wajar, baik fisik, mental maupun sosialnya. Perlindungan anak adalah suatu usaha melindungi anak agar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya.90

Pasal 3 Undang-Undang tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar

89

http://www.kumham-jogja.info/karya-ilmiah/37-karya-ilmiah-lainnya/801-perlindungan-atas-hak-anak-dalam-undang-undang-nomor-23-tahun-2002 di akses pada tanggal 24 Mei 2016, Pukul 13.30 WIB

90

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dan Perempuan, Rafika Aditama, Cet- Ke 2, Jakarta, 20013, hal. 70


(15)

dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.

Hak anak dalam Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia diatur dalam ketentuan Pasal 52 sampai dengan Pasal 66 yang antara lain meliputi hak :

a. Atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara; b. Sejak dalam kandungan untuk hidup, mempertahankan hidup, dan

meningkatkan taraf kehidupannya;

c. Sejak kelahirannya atas suatu nama dan status kewarganegaraannya; d. Untuk anak yang cacat fisik dan/atau mental untuk memperoleh

perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara. e. Untuk anak yang cacat fisik dan/atau mental untuk terjamin kehidupannya

sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;

f. Untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan biaya di bawah bimbingan orang tua dan/atau wali;

g. Untuk mengetahui siapa orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri;

h. Untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan, dan dibimbing kehidupannya oleh orang tua atau walinya sampai dewasa;


(16)

fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain manapun yang bertanggungjawab atas pengasuhan anak tersebut;

j. Untuk tidak dipisahkan dari orang tuanya secara bertentangan dengan kehendak anak sendiri kecuali jika ada alasan dan aturan hukum yang sah yang menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak;

k. Untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya;

l. Untuk beristirahat, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri;

m. Untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial secara layak sesuai dengan kebutuhan fisik dan mental spiritualnya;

n. Untuk tidak dilibatkan di dalam peristiwa peperangan, sengketa bersenjata, kerusuhan social dan peristiwa lain yang mengandung unsur kekerasan; o. Untuk mendapat perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan

setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial dan mental spiritualnya;

p. Untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak serta berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya;


(17)

q. Untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi; dan

r. Untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.

Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia tidak mencantumkan ketentuan mengenai kewajiban anak secara terperinci. Ketentuan mengenai kewajiban yang terdapat dalam undang-undang tersebut adalah kewajiban dasar manusia secara menyeluruh. 91

Bab III Undang-Undang tentang Perlindungan Anak mengatur mengenai hak dan kewajiban anak. Hak anak diatur dalam ketentuan Pasal 4 sampai dengan Pasal 18 sedangkan kewajiban anak dicantumkan pada Pasal 19. Hak anak yang tercantum dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Anak tersebut antara lain meliputi hak :

1. Untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi;

2. Atas suatu nama sebagai identitas dan status kewarganegaraan;

3. Untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan berkreasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan orang tua;

4. Untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri;

5. Memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial;

91

http://www.kumham-jogja.info/karya-ilmiah/37-karya-ilmiah-lainnya/801-perlindungan-atas-hak-anak-dalam-undang-undang-nomor-23-tahun-2002 di akses pada tanggal 24 Mei 2016, Pukul 13.30 WIB


(18)

6. Memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya; 7. Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari

kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.

8. Memperoleh pendidikan luar biasa, rehabilitasi, bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial bagi anak yang menyandang cacat; 9. Memperoleh pendidikan khusus bagi anak yang memiliki keunggulan; 10.Menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari dan

memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan; 11.Untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak

yang sebaya, bermain, berekreasi dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri;

12.Mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi (baik ekonomi maupun seksual), penelantaran, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan serta perlakuan salah lainnya;

13.Untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir; 14.Memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan atau

penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi; 15.Memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum;


(19)

dipisahkan dari orang dewasa, memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku, serta membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum, bagi setiap anak yang dirampas kebebasannya;

17.Untuk dirahasiakan, bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum; dan

18.Mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya, bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana.

Pasal-pasal yang memuat ketentuan mengenai hak anak dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Anak mempunyai banyak kesamaan dengan ketentuan hak anak dalam Undang tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang tentang Perlindungan Anak juga mengatur mengenai kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap anak. Ketentuan Pasal 19 menyebutkan bahwa setiap anak berkewajiban untuk a) menghormati orang tua; b) mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman; c) mencintai tanah air, bangsa, dan negara; d) menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan e) melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.

Perlindungan anak sebagaimana batasan pengertian yang tercantum dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang tentang Perlindungan Anak dapat terwujud apabila mendapatkan dukungan dan tanggungjawab dari berbagai pihak. Dukungan yang dibutuhkan guna mewujudkan perlindungan atas hak anak di Indonesia diatur dalam ketentuan Bab IV Undang-Undang tentang Perlindungan Anak. Pasal 20 undang-undang tersebut menyebutkan bahwa negara, pemerintah,


(20)

pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, dan orang tua atau wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.

Negara dan Pemerintah Republik Indonesia mempunyai kewajiban dan tanggungjawab untuk menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental. Negara dan pemerintah juga berkewajiban serta bertanggungjawab untuk memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak. Pengaturan mengenai kewajiban dan tanggungjawab negara, pemerintah dan pemerintah daerah tercantum dalam ketentuan Pasal 21 dan Pasal 22 Undang-Undang tentang Perlindungan Anak.

Pasal 23 dan Pasal 24 Undang-Undang tentang Perlindungan Anak mengatur mengenai jaminan Negara, pemerintah dan pemerintah daerah atas penyelenggaraan perlindungan anak. negara, pemerintah, dan pemerintah daerah menjamin perlindungan, pemeliharaan dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggungjawab terhadap anak. Negara dan pemerintah juga menjamin anak untuk menggunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak. Jaminan yang diberikan oleh negara dan pemerintah tersebut diikuti pula dengan pengawasan dalam penyelenggaraan perlindungan anak.

Kewajiban dan tanggungjawab masyarakat atas perlindungan anak sebagaimana diatur dalam Pasal 25. Kewajiban dan tanggungjawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat


(21)

dalam penyelenggaraan perlindungan anak. Ketentuan Pasal 72 ayat (2) Undang-Undang tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa peran masyarakat dilakukan oleh orang perseorangan, lembaga perlindungan anak, lembaga kesejahteraan sosial, organisasi kemasyarakatan, lembaga pendidikan, media massa dan dunia usaha.

Pasal 26 Undang-Undang tentang Perlindungan Anak mengatur mengenai kewajiban dan tanggung jawab orang tua dan keluarga. Orang tua berkewajiban dan bertanggungjawab untuk a) mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak; b) menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan anak, bakat dan minatnya; c) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak; dan d) memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak. Apabila orang tua tidak ada, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, atau tidak diketahui keberadaannya, maka kewajiban dan tanggungjawab orang tua atas anak dapat beralih kepada keluarga yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Penyelenggaraan perlindungan terhadap anak diatur dalam Bab IX Undang-Undang tentang Perlindungan Anak. Perlindungan terhadap anak diselenggarakan dalam bidang agama, kesehatan, pendidikan, sosial, serta perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat.


(22)

PEMALSUAN IDENTITAS DAN KAITANNNYA DENGAN KEDUDUKAN ANAK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (STUDI PADA PENGADILAN AGAMA

MEDAN KELAS 1-A)

Kasus Posisi

Penulis telah melakukan penelitian mengenai pembatalan perkawinan dan akibat hukumnya di Pengadilan Agama Medan Kelas I-A. Penulis meneliti perkara yang ditangani oleh Pengadilan Agama Tanjungpinang, yaitu perkara Nomor : 767/Pdt.G/2013/PA.TPI tentang pembatalan perkawinan karena adanya pemalsuan identitas. Penulis melakukan penelitian di Pengadilan Agama Medan Kelas I-A tentang perkara Nomor : 767/Pdt.G/2013/PA.TPI yang dilaksanakan di Pengadilan Agama Tanjung pinang untuk mengetahui bagaimana pendapat hakim mengenai akibat pembatalan perkawinan karena adanya pemalsuan identitas dan kaitannya dengan kedudukan anak. Berdasarkan perkara Nomor: 767/Pdt.G/2013/PA.TPI kasus posisinya sebagai berikut:

Nomor Perkara: 767/Pdt.G/2013/PA.TPI

Pemohon : SAID KAMALUDDIN bin SAID IDRIS, umur 33 tahun, agama Islam, pekerjaan PNS ( Penghulu KUA Kecamatan Bukit Bestari), tempat tinggal di Jalan Perum. Bukit Indah Lestari, Blok D, RT.003/RW.014 No.11, Kelurahan Batu IX, Kecamatan Tanjungpinang Timur, Kota Tanjungpinang


(23)

Termohon I : YON HENDRI bin ALI ANAS, umur 30 tahun, agama Islam, pekerjaan Wiraswasta, tempat tinggal di Jalan Sungai Jang, RT.003/RW.003, Kelurahan Sungai Jang, Kecamatan Bukit Bestari, Kota Tanjungpinang.

Termohon II : SULASMI binti WAKINO, umur 29 tahun, agama Islam, pekerjaan Wiraswasta, tempat tinggal di Jalan Sungai Jang, RT.003/RW.003, Kelurahan Sungai Jang, Kecamatan Bukit Bestari, Kota Tanjungpinang.

Duduk perkara:

Menimbang, bahwa Pemohon dengan surat permohonannya tertanggal 18 Desember 2013, yang telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama anjungpinang pada hari itu juga dengan Nomor Register: 767/Pdt.G/2013/PA.TPI, dengan dalil-dalil yang pada pokoknya sebagai berikut :

1. Bahwa pada tanggal 18 Juli 2013, Termohon I dan Termohon II melangsungkan pernikahan yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Bukit Bestari, Kota Tanjungpinang (Kutipan Akta Nikah Nomor: 267/18/VII/2013 tanggal 18 Juli 2013); 2. Bahwa setelah pernikahan tersebut Termohon I dan Termohon II

bertempat tinggal di rumah kontrakan sampai sekarang, selama pernikahan tersebut Termohon I dengan Termohon II telah hidup rukun sebagaimana layaknya suami isteri dan dikaruniai seorang anak yang bernama: OLIFIA SALSABILA binti YON HENDRI, umur 3 bulan;

3. Bahwa kemudian ditengah rumah tangga Termohon I dengan Termohon II ada seorang laki-laki yang bernama TEGUH SLAMET RIYANTO bin


(24)

ANWAR, umur 37 tahun, pekerjaan Wiraswasta, tempat kediaman di Jalan Gatot Subroto, RT.002/RW.001, Kelurahan Kp. Bulang, Kecamatan Tanjungpinang Timur, Kota Tanjungpinang, yang mana yang bersangkutan datang ke Kantor KUA Bukit Bestari atas permintaan Termohon I dan Termohon II untuk merubah status Termohon II dari Perawan menjadi Janda, dengan melampirkan Akta Cerai dari Pengadilan Agama Tanjungpinang No. 0358/AC/2013/PA.TPI, dan atas dasar tersebutlah maka pihak KUA mengetahui bahwa pernikahan yang dilaksanakan pada tanggal 18 Juli 2013 dengan Kutipan Akta Nikah Nomor: 267/18/VII/2013, yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Bukit Bestari, Kota Tanjungpinang, ternyata pernikahan tersebut cacat secara hukum karena Termohon II dalam masa iddah; 4. Pada saat Termohon I melaksanakan pernikahan dengan Termohon II,

Termohon II mengaku berstatus perawan kepada Termohon I dan sekarang karena pihak KUA telah mengetahui perihal kejadian tersebut, maka apa yang telah dilakukan oleh Termohon I selama ini salah karena Termohon II telah melakukan pernikahan yang mana masa iddah Termohon II belum habis;

5. Pemohon sanggup membayar seluruh biaya perkara yang timbul akibat perkara ini;

Berdasarkan alasan/dalil-dalil di atas, Pemohon mohon agar Ketua Pengadilan Agama Tanjungpinang segera memeriksa dan mengadili perkara ini, selanjutnya menjatuhkan putusan yang amarnya sebagai berikut:


(25)

2. Menetapkan, membatalkan perkawinan antara Termohon I dengan Termohon II;

3. Menyatakan Akta Nikah dan Kutipan Akta Nikah Nomor:

“267/18/VII/2013” tidak berkekuatan hukum;

4. Menetapkan biaya perkara menurut hukum;

5. Atau menjatuhkan putusan lain yang seadil-adilnya. Upaya perdamaian Majelis Hakim:

Bahwa pada hari sidang yang telah ditentukan para pihak telah datang dan menghadap dipersidangan dan setelah majelis hakim mendamaikan tidak berhasil, lalu pemeriksaan dilanjutkan dengan membacakan surat permohonan Pemohon tersebut, yang isinya tetap dipertahankan oleh pemohon.

Jawaban Termohon:

Bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, para Termohon telah mengajukan jawaban secara lisan dipersidangan yang pada pokoknya membenarkan dan tidak membantah dalil-dalil serta alasan Pemohon.

Alat bukti yang diajukan Pemohon:

Bahwa untuk menguatkan dali-dalil permohonan Pemohon, Pemohon telah mengajukan bukti berupa:

a. Surat

1. Fotokopi Kartu Tanda Pengenal, atas nama SAID KAMALUDIN, S.HI, yang aslinya dikeluarkan oleh Kepala Kantor Kementrian Agama, Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau, pada bulan Januari 2012, telah dicocokkan dengan aslinya ternyata cocok, telah bermaterai cukup dan dinachtzagelen Kantor Pos dan Giro, serta telah


(26)

di legalisir Panitera Pengadilan Agama Tanjungpinang, sebagai bukti P.1;

2. Fotokopi Kartu Keluarga, Nomor : 2172041604130004, atas nama kepala keluarga YON HENDRI, yang aslinya dikeluarkan oleh Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Tanjungpinang, pada tanggal 07 Mei 2013, telah dicocokkan dengan aslinya ternyata cocok, telah bermaterai cukup dan dinachtzagelen Kantor Pos dan Giro, serta telah di legalisir Panitera Pengadilan Agama Tanjungpinang, sebagai bukti P.2;

3. Fotokopi Surat Keterangan Domisili, Nomor : 266/KET/VII/2013, atas nama SULASMI, yang dikeluarkan oleh Lurah Tanjung Unggat, Kecamatan Bukit Bestari, pada tanggal 11 Juli 2013, telah dicocokkan dengan aslinya ternyata cocok, telah bermaterai cukup dan dinachtzagelen Kantor Pos dan Giro, serta telah di legalisir Panitera Pengadilan Agama Tanjungpinang, sebagai bukti P.3;

4. Fotokopi Daftar Pemeriksaan Nikah, Nomor : 0291/02/2013, atas nama YON HENDRI dengan SULASMI binti WAKINO, yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Bukit Bestari, Kota Tanjungpinang, pada tanggal 22 Juni 2013, telah dicocokkan dengan aslinya ternyata cocok, telah bermaterai cukup dan dinachtzagelen Kantor Pos dan Giro, serta telah di legalisir Panitera Pengadilan Agama Tanjungpinang, sebagai bukti P.4;

5. Fotokopi Kuitansi, Nomor : 0291/02/2013, atas nama YON HENDRI, yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Bukit


(27)

Bestari, Kota Tanjungpinang, tanpa tanggal dan tahun, telah dicocokkan dengan aslinya ternyata cocok, telah bermaterai cukup dan dinachtzagelen Kantor Pos dan Giro, serta telah di legalisir Panitera Pengadilan Agama Tanjungpinang, sebagai bukti P.5;

6. Fotokopi Pemberitahuan Kehendak Nikah (model N-7), atas nama Yon Hendri dengan Sulasmi Binti Wakino, yang dibuat pada tanggal 21 Juli 2013, telah dicocokkan dengan aslinya ternyata cocok, telah bermaterai cukup dan dinachtzagelen Kantor Pos dan Giro, serta telah di legalisir Panitera Pengadilan Agama Tanjungpinang, sebagai bukti P.6;

7. Fotokopi Surat Keterangan untuk Nikah (model N-1), Nomor : 106/474.2/VII/2013, atas nama YON HENDRI, yang dikeluarkan oleh Lurah Tanjung Ayun Sakti, Kecamatan Bukit Bestari, pada tanggal 01 Juli 2013, telah dicocokkan dengan aslinya ternyata cocok, telah bermaterai cukup dan dinachtzagelen Kantor Pos dan Giro, serta telah di legalisir Panitera Pengadilan Agama Tanjungpinang, sebagai bukti P.7;

8. Fotokopi Surat Keterangan Asal-Usul (model N-2), Nomor : 106/474.2/VII/2013, atas nama YON HENDRI, yang dikeluarkan oleh Lurah Tanjung Ayun Sakti, Kecamatan Bukit Bestari, pada tanggal 01 Juli 2013, telah dicocokkan dengan aslinya ternyata cocok, telah bermaterai cukup dan dinachtzagelen Kantor Pos dan Giro, serta telah di legalisir Panitera Pengadilan Agama Tanjungpinang, sebagai bukti P.8;


(28)

9. Fotokopi Surat Keterangan Asal-Usul Orang Tua (model N-4), Nomor: 106/474.2/VII/2013, atas nama YON HENDRI, yang dikeluarkan oleh LurahTanjung Ayun Sakti, Kecamatan Bukit Bestari, pada tanggal 01 Juli 2013, telah dicocokkan dengan aslinya ternyata cocok, telah bermaterai cukup dan dinachtzagelen Kantor Pos dan Giro, serta telah di legalisir Panitera Pengadilan Agama Tanjungpinang, sebagai bukti P.9;

10.Fotokopi Surat Keterangan untuk Nikah (model N-1), atas nama SULASMI, yang dikeluarkan oleh Lurah Tanjung Unggat, Kecamatan Bukit Bestari, pada tanggal 11 Juli 2013, telah dicocokkan dengan aslinya ternyata cocok, telah bermaterai cukup dan dinachtzagelen Kantor Pos dan Giro, serta telah di legalisir Panitera Pengadilan Agama Tanjungpinang, sebagai bukti P.10;

11.Fotokopi Surat Keterangan Asal-Usul (model N-2), Nomor : 161/474.2/VII/2013, atas nama SULASMI, yang dikeluarkan oleh Lurah Tanjung Unggat, Kecamatan Bukit Bestari, pada tanggal 11 Juli 2013, telah dicocokkan dengan aslinya ternyata cocok, telah bermaterai cukup dan dinachtzagelen Kantor Pos dan Giro, serta telah di legalisir Panitera Pengadilan Agama Tanjungpinang, sebagai bukti P.11;

12.Fotokopi Surat Persetujuan Mempelai (model N-3), atas nama YON HENDRI dengan SULASMI BINTI WAKINO, yang dibuat pada tanggal 16 Juli 2013, telah dicocokkan dengan aslinya ternyata cocok, telah bermaterai cukup dan dinachtzagelen Kantor Pos dan Giro, serta


(29)

telah di legalisir Panitera Pengadilan Agama Tanjungpinang, sebagai bukti P.12;

13.Fotokopi Surat Keterangan Tentang Orang Tua (model N-4), Nomor: 161/474.2/VII/2013, dari SULASMI, yang dikeluarkan oleh Lurah Tanjung Unggat, Kecamatan Bukit Bestari, pada tanggal 11 Juli 2013, telah dicocokkan dengan aslinya ternyata cocok, telah bermaterai cukup dan dinachtzagelen Kantor Pos dan Giro, serta telah di legalisir Panitera Pengadilan Agama Tanjungpinang, sebagai bukti P.13;

14.Fotokopi Surat Pernyataan, yang dibuat oleh SULASMI, pada tanggal 18 Juli 2013, dan disaksikan oleh 2 orang saksi yaitu : Jemmy Achmed dan Tabrani, telah dicocokkan dengan aslinya ternyata cocok, telah bermaterai cukup dan dinachtzagelen Kantor Pos dan Giro, serta telah di legalisir Panitera Pengadilan Agama Tanjungpinang, sebagai bukti P.14;

15.Fotokopi Buku Kutipan Akta Nikah Nomor : 267/18/VII/2013, atas nama YON HENDRI bin ALI ANAS dengan SULASMI binti WAKINO, yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Kecamatan Bukit Bestari, pada tanggal 18 Juli 2013, telah dicocokkan dengan aslinya ternyata cocok, telah bermaterai cukup dan dinachtzagelen Kantor Pos dan Giro, serta telah di legalisir Panitera Pengadilan Agama Tanjungpinang, sebagai bukti P.15;

16.Fotokopi Kutipan Akta Cerai, Nomor : 358/AC/2013/PA.TPI, atas nama SULASMI binti WAKINO, dengan MAKMURI bin ISTAMAR, yang dikeluarkan oleh Panitera Pengadilan Agama Tanjungpinang,


(30)

pada tanggal 08 Juli 2013, telah dicocokkan dengan aslinya ternyata cocok, telah bermaterai cukup dan dinachtzagelen Kantor Pos dan Giro, serta telah di legalisir Panitera Pengadilan Agama Tanjungpinang, sebagai bukti P.16;

b. Saksi

TEGUH SLAMET RIYANTO bin ANWAR, umur 37 tahun, pekerjaan Wiraswasta, tempat kediaman di Jalan Gatot Subroto, No.51, RT.002/RW.001, Kelurahan Kampung Bulang, Kecamatan Tanjungpinang Timur, Kota Tanjungpinang, yang memberikan keterangan di bawah sumpah yang pada pokoknya sebagai berikut:

- Bahwa saksi kenal dengan Pemohon dan kenal Termohon I dan Termohon II, karena saksi adalah teman Termohon I dan Termohon II; - Bahwa saksi mengetahui Pemohon mengajukan permohonan

Pembatalan Nikah atas pernikahan Termohon I dengan Termohon II; - Bahwa Termohon I menikah dengan Termohon II pada tanggal 18 Juli

2013 di depan Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Bukti Bestari, tetapi saksi tidak hadir waktu pernikahan tersebut;

- Bahwa sepengetahuan saksi alasan Pemohon mengajukan permohonan pembatalan nikah Termohon I dengan Termohon II karena pada waktu aqad nikah dilaksanakan Termohon II mengaku perawan sesuai dengan Surat Keterangan dari Lurah Tanjung Ayun Sakti, Kecamatan Bukit Bestari, dan ternyata sebenarnya Termohon II adalah seorang janda dan masih dalam masa iddah dari perceraian dengan mantan suaminya;


(31)

- Bahwa saksi mengetahui tentang status Termohon II tersebut sejak Termohon I dan Termohon II minta bantuan kepada saksi untuk mengurus perubahan status Termohon II dalam buku nikah mereka dari perawan menjadi janda sesuai dengan Akta Cerai Termohon II, kemudian saksi datang ke Kantor Urusan Agama Kecamatan Bukit Bestari dan menyampaikan maksud tersebut, namun pihak Kantor Urusan Agama menolak untuk merubah status Termohon II, tetapi setelah pihak Kantor Urusan Agama melihat Akta Cerai atas nama Termohon II dan ternyata benar Termohon II sudah janda dan masih dalam masa iddah, maka pihak Kantor Urusan Agama berpendapat pernikahan Termohon I dengan Termohon II harus segera dibatalkan; - Bawha saksi datang ke Kantor Urusan Agama Kecamatan Bukit

Bestari setelah 4 (empat) bulan pernikahan Termohon I dengan Termohon II;

Pemohon hanya mampu menghadirkan satu orang saksi, maka berdasarkan Putusan Sela Nomor : 676/Pdt.G/2013/PA.TPI, tanggal 28 Januari 2014 untuk memenuhi batas minimal pembuktian Pemohon telah mengucapkan sumpah tambahan/pelengkap (Suplitoire eed), yang berbunyi sebagai berikut; “Bismillahirrahmaanirrahiim, Wallahi, Demi Allah saya bersumpah, bahwa apa yang saya terangkan dalam persidangan ini adalah benar, jika keterangan saya palsu atau bohong, saya bersedia menerima akibat dari sumpah tersebut dunia dan

akhirat”;

Selanjutnya Majelis Hakim memberi kesempatan kepada Termohon I dan Termohon II untuk mengajukan bukti-bukti, namun para Termohon menyatakan


(32)

tidak akan mengajukan bukti-bukti; Kesimpulan:

Pemohon menyampaikan kesimpulan secara lisan tetap pada permohonanannya dan mohon agar Majelis Hakim segera menjatuhkan putusan, kemudian para Termohon juga menyampaikan kesimpulan secara lisan yang menyatakan tidak keberatan dengan maksud dan tujuan permohonan Pemohon;

Menimbang, bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, Majelis Hakim menunjuk kepada segala sesuatu sebagaimana termuat dalam Berita Acara Persidangan perkara ini yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari putusan ini;

Pertimbangan hukum:

Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah sebagaimana telah diuraikan di atas;

Menimbang, bahwa berdasarkan pasal 49 huruf (a) Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989, yang telah diubah pula dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 perkara ini termasuk wewenang Pengadilan Agama Tanjungpinang, oleh karenanya Majelis Hakim akan mempertimbangkan lebih lanjut;

Menimbang, bahwa pada hari sidang yang telah ditetapkan Pemohon dan para Termohon hadir menghadap di persidangan dengan memberikan keterangan yang cukup disertai dengan bukti-bukti;

Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan Pemohon yang dibenarkan oleh para Termohon serta dikuatkan dengan bukti surat P.15 serta keterangan satu orang saksi yang dilengkapi dengan sumpah pelengkap (Suplitoire eed), harus


(33)

dinyatakan terbukti bahwa pernikahan antara Termohon I dengan Termohon II yang dilaksanakan di Kantor Urusan Agama Kecamatan Bukit Bestari, Kota Tanjungpinang, yaitu dalam wilayah hukum Pengadilan Agama Tanjungpinang, dengan demikian sesuai ketentuan pasal 25 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo pasal 74 (1) Kompilasi Hukum Islam, perkara ini termasuk yurisdiksi Pengadilan Agama Tanjungpinang;

Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan Pemohon serta dikuatkan dengan bukti surat (P.1) serta keterangan satu orang saksi yang dilengkapi dengan sumpah pelengkap (Suplitoire eed), harus dinyatakan terbukti bahwa Pemohon adalah Pejabat yang berwenang untuk mengajukan perkara ini, maka sesuai ketentuan pasal 23 (c) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo pasal 73 (c) Kompilasi Hukum Islam, Pengadilan Agama dapat menerima permohonan Pemohon, karena Pemohon mempunyai kewenangan untuk mengajukannya;

Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan Pemohon yang dibenarkan oleh para Termohon serta dikuatkan dengan bukti surat P.2, P.7 s/d P.9 serta keterangan satu orang saksi yang dilengkapi dengan sumpah pelengkap (Suplitoire eed), harus dinyatakan terbukti bahwa pada saat menikah dengan Termohon II pada tanggal 18 Juli 2013, Termohon I masih jejaka;

Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan Pemohon yang dibenarkan oleh para Termohon serta dikuatkan dengan bukti surat P.3, P.10, P.11, P.12 s/d P.14 serta keterangan satu orang saksi yang dilengkapi dengan sumpah pelengkap (Suplitoire eed), harus dinyatakan terbukti bahwa identitas Termohon II pada saat menikah dengan Termohon I pada tanggal 18 Juli 2013, Termohon II mengaku


(34)

berstatus Perawan padahal masih dalam masa iddah dari laki-laki lain (mantan suaminya);

Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan Pemohon yang dibenarkan oleh para Termohon serta dikuatkan dengan bukti surat P.4 dan P.12 serta keterangan satu orang saksi yang dilengkapi dengan sumpah pelengkap (Suplitoire eed), harus dinyatakan terbukti bahwa Petugas Kantor Urusan Agama Kecamatan Bukit Bestari tidak mengetahui tentang identitas Termohon II, sehingga kehendak nikah dari Termohon I dengan Termohon II telah dicatat identitasnya dalam Daftar Pemeriksaan Nikah dan dengan Biaya Pencatatan Nikah sesuai dengan bukti surat P.5, sehingga pernikahan antara Termohon I dengan Termohon II berlangsung seperti biasa pada tanggal 18 Juli 2013;

Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan Pemohon yang dibenarkan oleh para Termohon serta dikuatkan dengan bukti surat-surat dan keterangan satu orang saksi di persidangan yang dilengkapi dengan sumpah pelengkap (Suplitoire eed) sebagaimana tersebut di atas, harus dinyatakan terbukti bahwa surat-surat yang digunakan sebagai syarat pernikahan antara Termohon II dengan Termohon I adalah identitas yang palsu, dimana Termohon II berstatus perawan, padahal yang benar adalah Termohon II telah menikah dan telah bercerai di Pengadilan Agama Tanjungpinang serta masih dalam masa iddah dari laki-laki lain (mantan suaminya) sebagaimana bukti surat P.16, dengan demikian pernikahan antara Termohon I dengan Termohon II mengandung unsure pemalsuan identitas;

Menimbang, bahwa berdasarkan peristiwa tersebut di atas, Majelis Hakim telah menemukan fakta bahwa Termohon II telah melanggar ketentuan Pasal 40 (b) Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan: Dilarang melangsungkan


(35)

perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;

Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo pasal 4 Kompilasi Hukum Islam, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, selanjutnya dalam penjelasan pasal 2 tersebut berbunyi :

“Dengan perumusan pasal 2 ayat (1) ini tidak ada perkawinan di luar hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-Undang

Dasar 1945”, sedangkan selanjutnya “yang dimaksud dengan hukum masing

-masing agamanya dan kepercayaannya itu, termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini’, oleh karenanya suatu

perkawinan harus dilakukan sesuai ketentuan syari’at agama dan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku; sedangkan perkawinan yang dilakukan oleh Termohon II dengan Termohon I tidak memenuhi ketentuan perundangundangan yang berlaku dan dengan menggunakan identitas palsu, maka perkawinan tersebut tidak sah dan harus dibatalkan;

Menimbang, bahwa Kutipan Akta Nikah Nomor: 267/18/VII/2013 tanggal 18 Juli 2013 yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Bukit Bestari, Kota Tanjungpinang mengandung unsur pemalsuan identitas, karena dalam pelaksanaan pernikahan tersebut identitas Termohon II berstatus Perawan padahal masih dalam masa iddah dengan laki-laki lain (mantan suaminya), dengan demikian Majelis Hakim berpendapat Akta Nikah yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Urusan Agama tersebut adalah cacat hukum dan


(36)

batal serta harus dinyatakan tidak pernah ada, hal ini sejalan dengan ketentuan pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo pasal 74 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam;

Menimbang, bahwa berdasarkan fakta tersebut di atas Majelis berpendapat dan berkesimpulan bahwa dalil-dalil permohonan Pemohon telah terbukti, karena telah sesuai dengan ketentuan pasal 24 Undang-Undang Nomor: 1 Tahun 1974 jo pasal 71 (a) dan pasal 72 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam, dengan demikian Permohonan Pemohon tersebut dapat dikabulkan;

Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 89 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, maka biaya perkara ini dibebankan kepada Pemohon;

Amar putusan:

Mengingat, segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kaidah hukum Islam yang berkaitan dengan perkara ini ;

1. Mengabulkan permohonan Pemohon;

2. Menetapkan batal perkawinan antara YON HENDRI bin ALI ANAS dengan SULASMI Binti WAKINO, yang dilaksanakan pada tanggal 18 Juli 2013 di Kantor Urusan Agama Kecamatan Bukit Bestari, Kota Tanjungpinang;

3. Menyatakan buku Kutipan Akta Nikah, Nomor : 267/18/VII/2013, atas nama YON HENDRI Bin ALI ANAS dengan SULAMI Binti WAKINO, yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Bukit Bestari, Kota Tanjungpinang pada tanggal 18 Juli 2013, tidak berkekuatan hukum;


(37)

4. Menghukum Pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 471.000,- (Empat ratus tujuh puluh satu ribu rupiah);

A. Kedudukan Anak Akibat Batalnya Perkawinan karena adanya Pemalsuan Identitas

Pernikahan merupakan institusi agung untuk mengikat dua insan berlawanan jenis dalam satu ikatan keluarga. Secara sederhana, pernikahan dapat pula dipahami sebagai jalan legal untuk memenuhi hajat biologis, persetubuhan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan ajaran Islam.

Sebuah perkawinan yang sah tentunya akan mengahasilkan anak yang sah, jika proses pembuahan dan lahirnya seorang anak dalam sebuah perkawinan yang sah. Kehadiran seorang anak merupakan salah satu anugerah yang telah diberikan oleh Allah kepada pasangan suami isteri. Oleh karenanya seorang anak mempunyai hak-hak atas orang tuanya, seperti mendapatkan kasih sayang dari orang tua, mendapat biaya pendidikan dan pengasuhan, mendapat harta dari kedua orang tuanya bahkan ketentuan dan kepastian nasab.

Kajian mengenai kedudukan anak merupakan hal yang sangat mendasar bagi kehidupan manusia. Anak menurut hukum dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Anak Sah; 2. Anak Tidak Sah.

Menurut Pasal 250 KUHPerdata dan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang dimaksud dengan anak sah adalah anak-anak yang dilahirkan sepanjang perkawinan, atau dengan kata lain dapat diartikan sebagai anak yang dilahirkan sebagai akibat perkawinan yang sah. Perkawinan yang sah adalah jalan satu-satunya dalam tanggungjawab terhadap keturunan, baik


(38)

dari segi nafkah yang wajib, bimbingan, pendidikan maupun warisan.92 Dilihat dari kedudukannya, anak sah mempunyai kedudukan tertentu terhadap keluarga. Orang tua berkewajiban atas nafkah hidup, pendidikan, pengawasan dan budi pekerti sampai ia dewasa.

Sedangkan anak tidak sah tidak dijelaskan secara eksplisit dalam pasal-pasal KUHPerdata maupun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, tetapi secara penafsiran anak tidak sah dapat diartikan sebagai anak yang dilahirkan oleh seorang wanita yang tidak terikat dalam suatu perkawinan yang sah dengan seorang laki-laki.

Perbedaan kedudukan anak dalam hukum ini terdapat unsur yang sangat menentukan, yaitu perkawinan. Anak tidak sah pada dasarnya adalah keturunan yang kelahirannya tidak didasarkan atas suatu perkawinan yang sah. Anak tidak sah dalam arti luas meliputi anak luar kawin, anak zina,dan anak sumbang. Sedangkan dalam arti sempit yang dimaksud dengan anak tidak sah terbatas pada anak luar kawin saja. Masing-masing perbedaan anak tidak sah ini menurut KUHPerdata memiliki akibat yang berbeda.

a. Anak luar kawin

Anak luar kawin yang disebut juga anak tidak sah dalam arti sempit adalah anak yang dilahirkan dari hasil hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang kedua-duanya tidak terikat perkawinan dengan orang lain dan tidak ada larangan untuk saling menikahi;

b. Anak zina

Anak zina adalah anak yang dilahirkan dari hubungan luar nikah antara

92 Fuad mohd Fakhruddin, Masalah Anak Dalam Hukum Islam (Anak Kandung, Anak


(39)

seorang laki-laki dan seorang perempuan, dimana salah satu atau kedua-duanya terikat perkawinan dengan orang lain;

c. Anak sumbang

Anak sumbang adalah anak yang dilahirkan dari hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya berdasarkan undang-undang (Pasal 31 KUHPerdata) ada larangan untuk saling menikahi.

Menurut Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam Anak yang sah adalah: 1) Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah

2) Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.

Sedangkan anak tidak sah juga tidak dijelaskan secara eksplisit dalam Hukum Islam , tetapi secara penafsiran anak tidak sah dapat diartikan sebagai anak yang dilahirkan oleh seorang wanita yang tidak terikat dalam suatu perkawinan yang sah dengan seorang laki-laki. Secara garis besar anak juga terbagi beberapa macam, diantaranya anak angkat, anak susuan dan anak tiri.

Melalui wawancara yang dilakukan dengan Abdul Rahim, SH selaku Hakim Pengadilan Agama Medan Kelas 1-A mengenai perkara Nomor Register : 767/Pdt.G/2013/PA.TPI, terlebih dahulu ia menjelaskan mengenai perkara tersebut. Dalam perkara tersebut memang pada awal pernikahan Termohon I (Yon Hendri) dan Termohon II (Sulasmi) telah fasid/rusak, karena telah terjadi pemalsuan identitas diri yang dilakukan oleh Termohon II dengan mengaku bahwa dirinya berstatus perawan padahal sebenarnya Termohon II berstatus sebagai janda yang mana masa iddah Termohon II belum habis. Iddah adalah


(40)

suatu masa yang dijalani oleh wanita yang diceraikan oleh suaminya dengan cerai thalak untuk mengetahui kebersihan rahimnya. Kalau sudah ada benih di dalam rahimnya maka tidak boleh di nikahi oleh laki-laki lain. Waktu tunggu (iddah) bagi seorang janda yang apabila perkawinannya putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci atau sekurang-kurangnya 90 (Sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (Sembilan puluh hari).93

Dengan adanya pemalsuan identitas yang dilakukan oleh Termohon II maka perkawinan yang dilangsungkan tersebut tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan dimana Termohon II berstatus janda yang mana masa Iddah termohon II belum habis. Sehingga Termohon I dan Termohon II melanggar larangan perkawinan yang telah diatur di dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa bagi seorang yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. Jangka waktu tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Tahun 1975 Pasal 39. Di dalam Pasal 40 huruf a Kompilasi Hukum Islam juga mengatur larangan perkawinan bagi seorang wanita yang masih berada dalam masa Iddah, yang jangka waktu tunggunya di atur di dalam Pasal 153 Kompilasi Hukum Islam. Perkawinan tersebut dapat dibatalkan karena alasan pembatalan perkawinan terpenuhi yaitu pemalsuan identitas yang berupa pemalsuan status isteri yang mengaku perawan padahal isteri tersebut sudah janda, yang mana pemalsuan identitas ini melanggar syarat administratif. Permohonan pembatalan perkawinan Termohon I dan Termohon II diajukan setelah 5 bulan perkawinan mereka dilangsungkan, yang terhitung sejak tanggal 18 Juli 2013 mereka


(41)

melangsungkan perkawinan dan permohonan pembatalan diajukan pada tanggal 18 desember 2013, yang diajukan oleh Penghulu KUA Kecamatan Bestari (Said kamaluddin).94

Setelah pernikahan Termohon I dan Termohon II berlangsung mereka dikarunia anak yang beranama Olifia Salsabila, umur 3 bulan. Jika dihubungkan dengan anak yang dilahirkan dari keduanya, menurut Abdul Rahim anak tersebut berkedudukan sebagai anak tidak sah (anak luar perkawinan), karena anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah dan hasil perbuatan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam dan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.95

Menurut ilmu Fiqih status anak dapat dikatakan sebagai anak sah atau tidak sah jika dilihat dari segi usia kehamilan sampai melahirkan, apakah sudah mencapai 180 hari/6 bulan. Jika anak tersebut lahir atau tumbuh sepanjang perkawinan maka suami dari ibunya adalah bapaknya (anak tersebut adalah anak sah), dan apabila anak tersebut lahir sebelum waktu 180 hari/6 bulan setelah akad nikah atau melakukan hubungan senggama, maka anak tersebut tidak dapat di nasabkan kepada suami wanita tersebut jika wanita tersebut sudah menikah dengan laki-laki lain. Hal tersebut berarti dalam ilmu Fiqih diungkapkan bahwa apabila seorang anak tumbuh sepanjang perkawinan dan dilahirkan setelah melewati 180 hari/6 bulan, maka jelas anak tersebut disebut sebagai anak sah. Sedangkan bagi anak yang dilahirkan sebelum mencapai 180 hari/6 bulan maka

94

Wawancara dengan Abdul Rahim selaku Hakim Pengadilan Agama Medan Kelas I-A tanggal 20 Mei 2016, di Pengadilan Agama Medan Kelas I-A.


(42)

anak tersebut bukan merupakan anak sah atau suami dapat melakukan pengingkaran atas status anak tersebut.96

Menurut Abdul Rahim selaku Hakim Pengadilan Agama Medan Kelas 1-A jika dihubungkan dengan perkara Nomor Register:767/Pdt.G/2013/P1-A.TPI , maka kedudukan anak tersebut bukanlah anak sah (anak luar perkawinan), karena anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah, sedangkan perkawinan orang tuanya (Termohon I dan Termohon II) telah rusak dengan tidak terpenuhinya syarat-syarat melangsungkan perkawinan, yang mana telah melanggar larangan perkawinan dan terjadinya pemalsuan identitas, sehingga perkawinan Termohon I dan Termohon II dibatalkan. Anak tersebut juga dilahirkan sebelum mencapai 180 hari/6 bulan, sedangkan perkawinan Termohon I dan termohon II masih berlangsung selama 5 bulan. Dapat terjadi kemungkinan anak yang dilahirkan tersebut merupakan anak dari suami pertama Termohon I, karena saat Termohon I dan Termohon II melangsungkan perkawinan, Termohon I masih dalam masa Iddah yang belum habis.97

Kedudukan anak tentunya bersentuhan dengan hak-hak anak terhadap orang tuanya. Anak mempunyai hak yang bersifat asasi, sebagaimna yang dimiliki oleh orang dewasa, hak asasi manusia. Ikatan kekeluargaan dapat menimbulkan berbagai hubungan. Apabila perkawinan melahirkan seorang anak dengan orang tuanya menimbulkan persoalan sehingga dirasakan adanya aturan-aturan hukum yang mengatur tentang hubungan antara mereka. Aturan-aturan hukum antara

96

Wawancara dengan Abdul Rahim selaku Hakim Pengadilan Agama Medan Kelas I-A tanggal 20 Mei 2016, di Pengadilan Agama Medan Kelas I-A.


(43)

keduanya bersentuhan erat dengan konsep hak dan kewajiban antara orang tua kepada anaknya atau sebaliknya.

Sebagai generasi penerus bangsa dan penerus keturunan keluarga, hendaknya kelahiran seorang anak dihasilkan atas perkawinan yang sah. Perkawinan yang sah akan menghasilkan keturunan yang sah (anak sah), dan keturunan yang sah akan menghasilkan generasi yang baik. Anak sah yaitu seorang anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, secara langsung ia dinasabkan kepada bapaknya, ia pun kemudian mendapatkan semua hak dari bapaknya. Kelahiran anak merupakan peristiwa hukum. Dengan resminya seorang anak menjadi anggota keluarga melalui garis Nasab (keturunan), ia berhak mendapatkan berbagai macam hak dan mewarisi harta ayah dan ibunya.

Dengan demikian hubungan antara orang tua dengan anaknya tidak akan terputus sampai kapanpun, meskipun hubungan perkawinan kedua orang tuanya putus, tetap saja ayah ibunya berkewajiban memberikan kasih sayang kepadanya dan juga berkewajiban memberikan pemenuhan hidup anaknya sampai ia dewasa. Lain halnya jika status anak yang dilahirkan adalah anak luar perkawinan atau anak tidak sah, ia hanya mendapatkan pemenuhan hak dari pihak ibunya dan keluarga ibunya sebab hubungan nasabnya sudah terputus dan hanya dinasabkan kepada ibu dan keluarga ibu sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.


(44)

B. Kewajiban Orang Tua atas Pemeliharaan dan Pemberian Nafkah setelah terjadinya Pembatalan Perkawinan

Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan atau telah terjadi pelanggaran ketentuan baik rukun maupun syarat sah perkawinan. Anak dalam pemaknaan umum mendapatkan perhatian tidak saja dalam bidang ilmu pengetahuan akan tetapi ditelaah dalam disiplin ilmu yang lain yang memberikan pengertian anak secara luas, seperti dari sisi pandang agama, hukum, dan secara disiplin ilmu lainnya. Artinya yang dibatalkan itu adalah dimana sejak perkawinan tersebut dilangsungkan yaitu ketika terjadi akad nikahnya antara suami isteri yang perkawinannya dibatalkan tersebut sebelum adanya anak dan sesudah adanya anak dan ketika adanya keputusan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang terlahir di dalamnya.98

Kelahiran anak sebagai peristiwa hukum yang terjadi karena hubungan suami isteri membawa konsekuensi beberapa hak dan kewajiban secara timbal balik antara orang tua sebagai kewajiban, dan sebaliknya orang tua juga mempunyai hak yang harus dipenuhi oleh anak. Anak memperoleh hak untuk pemeliharaan dalam kehidupan yang layak, jaminan kesehatan, sandang pangan, papan, pendidikan yang memadai dari orang tua baik berlaku dalam masa perkawinan atau sesudah perkawinan itu terputus atau dibatalkan oleh hukum. Dalam hal ini dengan alasan apapun, anak tidak dapat dikesampingkan, sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 19 74 tentang Perkawinan pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) huruf a berbunyi :


(45)

1. Batalnya suatu perkawinan dimulai sejak keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.

2. Keputusan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.

Melalui wawancara yang dilakukan oleh penulis dengan Abdul Rahim selaku Hakim Pengadilan Agama Medan Kelas 1-A mengenai perkara Nomor Register : 767/Pdt.G/2013/PA.TPI, Pemeliharaan dan pemberian nafkah terhadap anak baik itu dalam masa perkawinan maupun setelah terjadi perpisahan (karena perceraian maupun pembatalan perkawinan), merupakan suatu kewajiban bagi orang tua terhadap anak. Sehubungan dengan kewajiban orang tua terhadap anaknya walaupun perkawinan antara orang tuanya telah putus tetapi kewajiban orang tua terhadap anaknya tetap harus dilaksanakan sampai anak-anak tersebut dewasa.99 Dalam perkara Nomor Register : 767/Pdt.G/2013/PA.TPI, kewajiban pemeliharaan dan pemberian nafkah terhadap anak tersebut adalah kewajiban ibunya dan keluarga ibunya, karena anak tersebut merupakan anak luar perkawinan, dimana anak tersebut hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya, meskipun perkawinan mereka sudah dibatalkan jika Termohon I mengetahui bahwa anak tersebut adalah anaknya, secara kasih sayang Termohon I juga dapat memberikan nafkah terhadap anak yang dilahirkan dalam perkawinan antara Termohon I dan Termohon II, walaupun Termohon I tidak memiliki hubungan nasab dengan anaknya, ia hanya sebagai ayah biologis dari anak tersebut.


(46)

Pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya serta kewajiban tersebut berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri dan kewajiban ini berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. Pemeliharaan anak juga di atur di dalam Pasal 106 Kompilasi Hukum Islam, orang tua wajib merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau di bawah pengampuan, dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan keselamatan anak itu menghendaki atau suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi serta orang tua bertanggaung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut.

C. Akibat Pembatalan Perkawinan bagi Suami Isteri karena Adanya Pemalsuan Identitas di Pengadilan Agama Medan Kelas 1-A

Sebuah perkawinan dapat timbul masalah yang tidak diinginkan yang berupa putusnya perkawinan yang bisa berupa kematian, perceraian dan putusan pengadilan. Putusnya perkawinan oleh putusan pengadilan berupa pembatalan perkawinan, apabila dalam sebuah perkawinan tersebut tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan, salah satu alasan perkawinan dibatalkan adalah ketika perkawinan berlangsung terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri atau terjadinya pemalsuan identitas.

Melalui wawancara yang dilakukan dengan Abdul Rahim selaku Hakim Pengadilan Agama Medan Kelas 1-A mengenai perkara Nomor Register : 767/Pdt.G/2013/PA.TPI, pembatalan perkawinan membawa akibat hukum terhadap suami isteri, anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, harta


(47)

bersama, dan pihak ketiga. Jika syarat-syarat dalam suatu perkawinan tidak terpenuhi, maka hal ini akan membawa akibat hukum terhadap status perkawinan yang menjadi tidak sah karena seorang istri tersebut melakukan pemalsuan identitas. Akibat pembatalan bagi suami isteri, status suami isteri tersebut menjadi kembali seperti sebelum adanya perkawinan. Status batalnya perkawinan akan berlaku setelah adanya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.

Berdasarkan pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan disebutkan bahwa putusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap:

1. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut

Batalnya suatu perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak dari perkawinan orang tuanya yang telah dibatalkan perkawinannya oleh putusan pengadilan.

2. Suami atau isteri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu.

Pembagian harta bersama untuk masing-masing pihak harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

3. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam uraian tersebut sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap. Jadi segala perbuatan perdata atau perikatan yang diperbuat suami isteri sebelum pembatalan perkawinan tetap berlaku, dan harus dilaksanakan oleh suami isteri tersebut, sehingga ketentuan ini bertujuan untuk melindungi pihak ketiga.

Akibat pembatalan perkawinan karena adanya pemalsuan identitas setelah adanya putusan pengadilan dan setelah buku nikah suami isteri ditarik kembali, maka sejak saat itu tidak ada lagi ikatan antara suami isteri, baik itu mengenai hak dan kewajibannya sebagai suami isteri. Menurut Abdul Rahim selaku Hakim Pengadilan Agama Medan Kelas 1-A mengenai harta bersama pada perkara Nomor Register : 767/Pdt.G/2013/PA.TPI, karena perkawinan yang harmonis


(48)

berlangsung 5 (lima) bulan jadi kemungkinan belum memperoleh harta bersama karena yang dinamakan harta bersama yaitu harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Walaupun demikian bila harta bersama itu telah ada, maka keputusan penyelesaian mengenai harta bersama diserahkan pada suami isteri untuk membagi secara adil sesuai ketentuan hukum masing-masing. Tetapi jarang sekali adanya harta bersama dalam pembatalan perkawinan karena permohonan pembatalan perkawinan yang diajukan masih dalam jangka waktu yang relatif sebentar atau baru melangsungkan perkawinan.100

Suatu pembatalan perkawinan akan berakibat putusnya hubungan suami isteri yang pernah menjalin ikatan perkawinan. Perkawinan yang dilaksanakan adalah tidak sah dan perkawinannya tersebut menjadi putus sehingga hubungan suami isteri di antara keduanya menjadi tidak sah dan haram untuk melakukan persetubuhan, bagi para pihak yang dibatalkan perkawinannya kembali ke status semula karena perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada.

Berdasarkan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan bahwa putusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap:

a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut

Batalnya perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak dari perkawinan orang tuanya yang dibatalkan. Berdasarkan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur mengenai kewajiban orang tua dengan anak dimana kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak mereka dengan sebaik-baiknya serta kewajiban tersebut berlaku sampai anak itu kawin


(49)

atau dapat berdiri sendiri dan kewajiban ini berlaku terus meskipun perkawinan kedua orang tuanya putus.

b. Suami atau isteri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadapa harta bersama bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu.

Berdasarkan Pasal 35 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan disebutkan bahwa harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama dan mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat betindak atas persetujuan kedua belah pihak. Terhadap ketentuan harta bersama ini berlaku ketentuan bahwa jika terjadi perceraian hidup maka masing-masing (duda dan janda) berhak mendapat sebagian atau separuh dari harta bersama mereka. Jadi putusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap suami atau isteri yang bertindak dengan itikad baik akan tetap memperoleh hak-haknya yang diperoleh dari perkawinan yang dibatalkan tersebut seperti haknya dalam suatu perkawinan yang sah.

c. Orang-orang pihak ketiga termasuk dalam uraian tersebut sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.

Menurut Abdul Rahim selaku Hakim Pengadilan Agama Medan Kelas 1-A jika dihubungkan dengan perkara Nomor Register : 767/Pdt.G/2013/P1-A.TPI, karena perkawinan yang harmonis dalam perkara tersebut berlangsung hanya 5 (lima) bulan kemudian dibatalkan, kemungkinan membuat perjanjian dengan pihak ketiga ada bila Termohon I dan Termohon II melakukan ikatan perjanjian dengan Pihak Ketiga. Untuk itu mereka harus tetap menyelesaikan kewajiban


(50)

mereka, walaupun perkawinan telah putus. 101 Sebab untuk pihak ketiga dalam hal ini tetap mendapatkan perlindungan hukum dengan segala perbuatan perdata dan perikatan yang dibuat bersama suami isteri tersebut sebelum terjadinya pembatalan perkawinan adalah tetap berlaku, sehingga ikatan-ikatan perjanjian yang sah tetap dapat dilaksanakan dan suami isteri tersebut harus tetap melaksanakan isi dari perikatan tersebut dengan pihak ketiga.

Sebagai contoh: A dan B adalah pasangan suami isteri membeli sebuah kendaraan kepada C ( Penjual) dengan harga Rp.24.000.000,- yang dibayar secara kredit kepada C, sedangkan perjanjian pembayarannya diangsur 12 (dua belas) kali dan dibayar perbulan, tetapi baru mendapat 5 (lima) kali angsuran sehingga masih kurang 7 (bulan), sedangkan pernikahan mereka sudah putus, walaupun begitu pembayaran harus tetap dilunasi karena itu merupakan hak bagi pihak ketiga.

Ketentuan ini bertujuan untuk melindungi hak-hak orang lain agar tidak dirugikan, sebab jika ketentuan pembatalan tersebut berlaku surut terhadap pihak ketiga maka perjanjian keperdataan misalnya perjanjian jual beli yang dibuat sebelum adanya pembatalan perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada dan hal ini yang mengakibatkan pihak ketiga mengalami kerugian.

101

Wawancara dengan Abdul Rahim selaku Hakim Pengadilan Agama Medan Kelas I-A tanggal 20 Mei 2016, di Pengadilan Agama Medan Kelas I-A.


(51)

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa kesimpulan yang bisa di kemukakan:

1. Kedudukan anak akibat batalnya perkawinan berdasarkan perkara Nomor Register : 767/Pdt.G/2013/PA.TPI, adalah bukan merupakan anak sah (anak luar perkawinan), anak yang sah adalah anak-anak yang dilahirkan sepanjang perkawinan, atau dengan kata lain dapat diartikan sebagai anak yang dilahirkan sebagai akibat perkawinan yang sah. sedangkan perkawinan orang tuanya (Termohon I dan Termohon II) telah rusak dengan tidak terpenuhinya syarat-syarat melangsungkan perkawinan, yang mana telah melanggar larangan perkawinan dan terjadinya pemalsuan identitas, sehingga perkawinan Termohon I dan Termohon II dibatalkan. Anak tersebut juga dilahirkan sebelum mencapai 180 hari/6 bulan, menurut ilmu fiqih anak dapat dikatakan sebagai anak yang sah jika dilahirkan setelah 180 hari/6 bulan, sedangkan perkawinan Termohon I dan termohon II masih berlangsung selama 5 bulan. Dapat terjadi kemungkinan anak yang dilahirkan tersebut merupakan anak dari suami pertama Termohon I, karena saat Termohon I dan Termohon II melangsungkan perkawinan, Termohon I masih dalam masa Iddah yang belum habis.


(1)

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, karena berkat Rahmat dan Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini dibuat untuk memenuhi syarat menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara. Adapun judul skripsi ini adalah : “Akibat Pembatalan Perkawinan Karena Adanya Pemalsuan Identitas Dan Kaitannya Dengan Kedudukan Anak Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Studi Pada Pengadilan Agama Medan Kelas-IA)”. Skripsi ini membahas tentang kedudukan anak akibat batalnya perkawinan karena adanya pemalsuan identitas, kewajiban orang tua atas pemeliharaan dan pemberian nafkah setelah terjadinya pembatalan perkawinan, dan akibat pembatalan perkawinan bagi suami isteri karena adanya pemalsuan identitas di Pengadilan Agama Medan Kelas I-A.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, dikarenakan berbagai keterbatasan penulis, baik pengetahuan pengalaman dalam menulis karya tulis ilmiah, maupun ketersediaan literatur. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca.

Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.


(2)

3. Bapak Dr. O.K. Saidin, S.H., M.H., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Prof. Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan.

7. Ibu Rabiatul Syahriah, S.H., M.Hum., sebagai Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan sekaligus merupakan Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu kepada penulis untuk membimbing, memberi nasehat dan motivasi kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

8. Bapak Syamsul Rizal, S.H., M.Hum., selaku Ketua Program Kekhususan Perdata BW.

9. Bapak Sunarto Ady Wibowo, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan waktu beliau kepada penulis untuk membimbing, memberi nasehat dan motivasi dalam proses penyelesaian skripsi ini.

10.Ibu Chairul Bariah, S.H., M.Hum., selaku Dosen Penasehat Akademik penulis.

11.Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara seluruhnya yang telah mendidik dan membimbing penulis selama tujuh


(3)

semester dalam menempuh perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

12.Teristimewa kepada keluarga tercinta, abang Syamsuddin, abang Indra Syahputra S.Pi, Safrida Andora, dan adik tercinta Muhammad Habibullah, serta sepupu Wahyuni Nasution, yang menjadi penyemangat penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

13.Kepada pihak Pengadilan Agama Medan Kelas 1-A yang telah memberikan kesempatan pada penulis dalam melaksanakan riset untuk menyelesaikan skripsi ini.

14.Kepada teman-teman tercinta yaitu Annisyah, Dita Lestari, Intan Andini Putri, Eka Rahayu, Putri Ramadhani, Rabi’ah Hafnizar, Ainul Mardiyah, Juli Agustina Simatupang. Teman-teman Fakultas Hukum Stambuk 2012. Teman-teman Grup D yang selalu kompak. Teman-teman Departemen Perdata Program Kekhususan Perdata BW. Teman-teman SNMPTN Jalur Undangan.

15.Kepada teman-teman Klinis Perdata (Arif, Dedek Madina, Herza Kumara, Rey, Eka Rahayu, Annisyah, Dita Lestari). Teman–teman Klinis Pidana (Fedrik, Mei, Tri Oktober, Pebrian, Dimas). Teman-teman Klinis TUN (Satria Perdana, Dwi Risky Syahpura, Pebriandi Lubis,

Intan Andini Putrid, Rabi’ah Hafnizar).

16.Kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis baik secara moril maupun materiil yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.


(4)

mendo’akan, menyayangi dan memberikan dukungan juga menyemangati agar

penulis dapat segera menyelesaikan skripsi ini. Dan kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan dan bantuan secara moriil maupun materiil dalam proses penyelesaian skripsi ini.

Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga kita semua selalu dalam lindungan Allah SWT.

Medan, Juni 2016 Penulis


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……… i

DAFTAR ISI ………...……… v

ABSTRAK ………..……… vii

BAB I : PENDAHULUAN …...………... 1

A. Latar Belakang ……….………... 1

B. Permasalahan ……….. 6

C. Tujuan Penulisan ... 7

D. Manfaat Penulisan ………... 7

E. Metode Penelitia ……… 8

F. Keaslian Penulisan ……….. 13

G. Sistematika Penelitian ... 15

BAB II : TINJAUAN UMUM HUKUM PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN ………. 18

A. Perkawinan ……….. 18

1. Pengertian Perkawinan ………... 18

2. Tujuan Perkawinan ……… 21

3. Asas-asas Perkawinan ……… 24

4. Syarat-syarat Sahnya Perkawinan ……….. 30

5. Larangan Perkawinan ……… 36

6. Akibat Hukum dari Perkawinan ……….……... 37

B. Pembatalan Perkawinan ……….. 46

1. Pengertian Pembatalan Perkawinan ……… 46

2. Alasan Pembatalan Perkawinan ……….. 48

3. Pihak-pihak yang dapat Mengajukan Pembatalan Perkawinan ……….. 49

4. Tata Cara Pembatalan Perkawinan ………. 52

5. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan ………. 55

C. Pemalsuan Identitas ……… 56

1. Pengertian Pemalsuan Identitas ……….. 56

2. Pemalsuan Identitas dalam Perkawinan ………. 58

3. Faktor-faktor Penyebab terjadinya pemalsuan identitas dalam perkawinan ……….. 61

BAB III : KEDUDUKAN ANAK DALAM PERKAWINAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 ……… 63 A. Pengertian Anak menurut Undang-Undang Perlindungan


(6)

C. Perlindungan terhadapa hak-hak anak ………. 70

BAB IV : AKIBAT PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA ADANYA PEMALSUAN IDENTITAS DAN KAITANNYA DENGAN KEDUDUKAN ANAK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (STUDI PADA PENGADILAN AGAMA MEDAN KELAS 1-A) ………...………….. 81

A. Kedudukan Anak Akibat Batalnya Perkawinan karena adanya Pemalsuan Identitas ……… 96

B. Kewajiban Orang Tua atas Pemeliharaan dan Pemberian Nafkah setelah terjadinya Pembatalan Perkawinan ………... 103

C. Akibat Pembatalan Perkawinan bagi Suami Istri karena adanya Pembatalan Perkawinan di Pengadilan Agama Medan Kelas 1-A ………. 105

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ………... 110

A. Kesimpulan ……… 110

B. Saran ………... 111 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN Surat Riset

Putusan Pengadilan Agama Tanjung Pinang Perkara Nomor : 676/Pdt.G/2013/PA.TPI


Dokumen yang terkait

Perkawinan Campuran Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Tentang Perkawinan

2 93 97

Pembatalan Perkawinan Menurut Undang-Undang NO. 1 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam (Studi Pada Pengadilan Agama Medan)

3 123 72

Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan Poligami Tanpa Izin Dan Kaitannya dengan Status Anak Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Studi di Pengadilan Agama Klas I-A Medan)

2 35 156

Anak luar nikah dalam undang-undang perkawinan No.1 Tahun 1974: analisis putusan MK tentang status anak luar nikah

0 3 86

Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya Menurut Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Studi Kasus Di Pengadilan Agama Semarang)

0 18 159

Perkawinan Dibawah Umur Menurut Undang Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan (studi di Pengadilan Agama Klaten)

0 9 183

PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA PEMALSUAN IDENTITAS (Studi Kasus Pengadilan Agama Surakarta) Pembatalan Perkawinan Karena Pemalsuan Identitas (Studi kasus di Pengadilan Agama Surakarta).

0 1 19

PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA PEMALSUAN IDENTITAS (Studi pada Pengadilan Agama Surakarta).

0 7 20

Akibat Hukum Adanya pembatalan perkawinan kedua yang perkawinannya tanpa izin istri pertama yang dilangsungkan menurut Hukum Agama berdasarkan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

1 1 1

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN A. Pengertian Pembatalan Perkawinan A.1. Pengertian Pembatalan Perkawinan menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 - Pembatalan Perkawinan Menurut Undang-Undang NO. 1 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Perkawina

0 0 19