PEMBAHASAN DAN ANALISA HASIL

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISA HASIL

4.1 Uraian Proses

4.1.1 Proses Start-up

Sebelum penelitian dimulai, dilakukan start-up alat dengan cara mengisi terlebih dahulu profil tank yang sudah berisi media bioball dengan air limbah yang akan diolah. Kemudian pada bak pengendap akhir juga diisi penuh dengan menggunakan air bersih. Selanjutnya jalankan pompa resirkulasi dengan debit ± 8 liter/jam, bersamaan dengan dijalankannya blower aerasi. Biarkan proses berlangsung secara batch selama 2 x 24 jam, hal ini dilakukan untuk mendapatkan proses pengendapan lumpur yang berjalan stabil di bak pengendap sebelum dimulainya proses seeding. Dalam proses start-up ini, tidak dilakukan penambahan lumpur secara khusus. Gambaran proses start-up seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4.1 di bawah ini.

Gambar 4.1 : Proses start-up alat penelitian sebelum proses seeding

4.1.2 Proses Seeding (Aklimatisasi)

Setelah proses start-up berjalan dengan baik selama 2 hari, dilakukan proses seeding (aklimatisasi). Langkah awal dalam proses ini adalah dengan cara mengalirkan air limbah ke dalam bak penampung. Kemudian pada bak penampung, air limbah dialirkan masuk kedalam moving bed biofilm reactor dengan bantuan pompa.

Pertumbuhan mikroorganisme dikondisikan dengan waktu tinggal hidrolis 12 jam pada laju alir 18 liter/jam dan rasio resirkulasi lumpur sebesar R = 0,5 Q, sehingga dengan waktu tinggal dan suplai oksigen yang cukup serta laju alir yang kecil dapat membantu pembentukan biofilm dan melekat dengan baik pada media biofilter. Air limpasan dari bak pengendap sebagai efluent di buang langsung ke saluran umum. Dengan berjalannya proses tersebut secara kontinu, maka proses seeding dimulai dan berlangsung selama 18 hari.

Saat proses seeding memasuki hari ke-7, terjadi kerusakan blower dan pompa resirkulasi yang menyebabkan menurun drastisnya efisiensi pengolahan. Kemudian dilakukan pergantian blower dan pompa resirkulasi di hari ke-8, sehingga proses seeding kembali dilanjutkan. Saat memasuki hari ke-12 proses seeding terjadi masalah pada bak pengendap akhir, yaitu timbulnya lumpur yang mengambang pada permukaan air limbah pada reaktor pengendap akhir, hal ini menyebabkan air hasil olahan membawa serta flok lumpur yang mengakibatkan efluent menjadi keruh. Peristiwa ini disebut dengan peristiwa “rising sludge”.

Rising sludge adalah proses naiknya lumpur yang berada di dasar bak pengendap ke permukaan. Ini disebabkan oleh proses resirkulasi lumpur yang terjadi tidak berjalan dengan efektif. Terjadi pengendapan yang terlalu cepat di bak pengendap, didukung pula oleh waktu tinggal lumpur yang lama menyebabkan lapisan lumpur yang terbentuk terlalu tinggi sehingga dalam suasana lumpur yang anaerobik terjadi reaksi denitrifikasi

dan menyebabkan flok lumpur ikut naik bersamaan dengan naiknya gas Nitrogen (N 2 ).

Selain itu, pompa yang digunakan untuk proses resirkulasi tidak mampu menyedot lumpur dengan baik pada laju alir yang kecil. Kendala lainnya adalah debit resirkulasi yang sering mengalami penurunan bahkan tidak mengalir karena terjadinya penyumbatan di dalam pipa. Untuk mengatasi hal tersebut dilakukan perubahan rasio resirkulasi lumpur menjadi R = 1.

Hal ini dilakukan untuk mempercepat penyedotan dan pengembalian lumpur ke dalam reaktor aerasi, disamping itu juga dapat meringankan kerja pompa resirkulasi agar tidak terjadi kerusakan kembali. Perlakuan ini terbukti cukup berhasil, karena tidak ditemukannya lagi lumpur yang mengambang pada reaktor pengendap untuk hari-hari selanjutnya.

Gambar 4.2 dibawah ini memperlihatkan lumpur yang mengambang pada reaktor pengendap akhir yang disebabkan oleh peristiwa rising sludge.

Gambar 4.2 : Peristiwa rising sludge yang terjadi pada reaktor pengendap akhir

Namun, dalam hari-hari berikutnya dapat terlihat pengolahan yang telah berlangsung stabil pada bak pengendap akhir, ini diindikasikan oleh tidak adanya lagi lumpur yang mengambang pada permukaan air dalam bak pengendap. Kemudian proses seeding dilanjutkan kembali hingga berakhir pada hari ke-18.

4.1.3 Proses Pengolahan dengan Variasi Waktu Tinggal

Setelah proses seeding berjalan selama 18 hari, maka pengoperasian dilanjutkan dengan mengubah waktu tinggal air limbah di dalam moving bed biofilm reactor secara bertahap menjadi 8 jam, 6 jam, dan 4 jam dengan rasio resirkulasi lumpur sebesar R = 1. Pengolahan berlangsung selama ± 7-10 hari untuk masing-masing waktu tinggal.

4.1.4 Monitoring dan Analisa

Monitoring dan analisa hasil penelitian dilakukan setiap hari secara berkelanjutan. Monitoring dilakukan 3 kali dalam sehari dan analisa sampel air limbah dilakukan setiap siang hari, terkecuali hari libur maupun hari-hari tertentu jika terjadi kendala yang menyebabkan berhentinya proses pengolahan.

4.2 Analisa Karakteristik Air Limbah Domestik

Dari hasil analisa karakteristik air limbah domestik yang akan diolah, yakni berdasarkan perhitungan rata-rata influen yang masuk ke dalam reaktor pengolahan, parameter

Amoniak (NH 3 ) dan COD melebihi baku mutu air limbah domestik menurut Peraturan Gubernur DKI Jakarta No.122 Tahun 2005. Sedangkan hanya parameter pH yang sudah memenuhi baku mutu air limbah domestik. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 : Karakteristik Rata-rata Air Limbah Domestik yang diteliti

Air Limbah

Parameter

Satuan

Baku Mutu (mg/l)

Domestik (mg/l)

10 COD

Amoniak (NH 3 )

*Data primer hasil penelitian

4.3 Analisa Hasil Seeding (Aklimatisasi)

Data primer hasil penelitian untuk parameter COD dan amoniak selama proses seeding dapat dilihat pada Tabel 4.2 dan Tabel 4.3 :

Tabel 4.2 : Data hasil seeding untuk parameter COD

% Efisiensi Operasi

Hari

COD (mg/l)

Tabel 4.3 : Data hasil seeding untuk parameter Amoniak

% Efisiensi Operasi

Hari

NH 3 (mg/l)

Sumber : Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil pengamatan hari pertama proses seeding, pengolahan belum berjalan dengan baik. Ini dibuktikan dengan effisiensi penyisihan COD yang kurang dari 50 % serta terjadinya kenaikan senyawa Amoniak. Hal ini disebabkan oleh mikroorganisme yang ada di dalam moving bed biofilm reactor belum tumbuh secara optimal serta kurangnya pasokan oksigen aerasi yang menyebabkan suasana didalam reaktor menjadi anaerobik, ditambah lagi oleh masuknya air limbah dengan beban amoniak yang memiliki fluktuasi yang sangat tinggi secara kontinu ke dalam reaktor sehingga menyebabkan terjadinya akumulasi beban amoniak semakin yang besar. Hal ini menyebabkan terjadinya kenaikan amoniak pada hari pertama operasi.

Setelah proses berjalan selama 5 hari, mikroorganisme mulai tumbuh dan berkembang biak di dalam reaktor, ini di buktikan dengan lapisan biofilm yang mulai tumbuh dan

Gambar 4.3 : Lapisan biofilm yang mulai terlihat pada bioball di hari ke-6 proses seeding

Atas dasar inilah, analisa amoniak kembali dilakukan pada hari ke-6 proses seeding, dan didapatkan efisiensi penyisihan amoniak sebesar 11 %. Namun hal tersebut belum sesuai dengan target yang diharapkan, ini disebabkan oleh kurangnya pasokan udara oleh blower aerasi yang terlihat menurun dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya. Dari pengamatan secara fisik, seperti pada Gambar 4.4, akibat dari kurangnya oksigen menyebabkan terjadinya suasana anoxic di dalam reaktor moving bed biofilm mengakibatkan lapisan biofilm pada bioball menjadi berwarna putih dan menghasilkan bau yang menyengat. Hal ini juga secara fisik terlihat dari hembusan blower aerasi yang semakin lama semakin berkurang. Mengatasi hal tersebut kemudian dilakukan penambahan debit blower aerasi.

Pada hari ke-7 proses seeding berlangsung terjadi kerusakan pada blower aerasi dan unit pompa resirkulasi, hal ini menyebabkan pengolahan di hari ke-8 berlangsung tanpa adanya blower dan resirkulasi, diasumsikan efisiensi pengolahan menurun drastis di hari

Gambar 4.4 : Lapisan biofilm pada bioball pada hari ke-8 proses seeding

Penyisihan amoniak mulai menunjukkan hasil yang bagus saat proses seeding memasuki hari ke-15, yaitu dengan effisiensi penyisihan mencapai 92 %. Hal ini terus berlanjut hingga memasuki hari terakhir proses seeding, dengan penyisihan amoniak mencapai 95 %. Penyisihan amoniak yang tinggi pada hari ke-18 menunjukkan bahwa proses seeding telah berjalan dengan baik dan sesuai dengan target yang diinginkan. Trend grafik penyisihan amoniak selama proses seeding dapat dilihat pada Grafik 4.1.

Jika dilihat dari trend Grafik 4.1, penyisihan amoniak sudah mencapai kestabilan saat memasuki hari ke-15 sampai hari ke-18. Hal ini mengindikasikan bahwa reaksi nitrifikasi untuk penyisihan amoniak yang terjadi didalam lapisan biofilm mulai mengalami kestabilan, itu artinya bakteri pendegradasi amoniak sudah tumbuh dengan optimal. Atas dasar inilah pengoperasian alat dilanjutkan dengan mengubah debit sesuai

Waktu Tinggal 12 Jam, Volume Media Bioball 20 %

enyi n

sentrasi 10 n

10 Ko 0 0

Hari Operasi

Grafik 4.1 : Grafik penyisihan Amoniak selama proses seeding

4.4 Analisa Penyisihan Amoniak dalam Variasi Waktu Tinggal

4.4.1 Penyisihan Amoniak Pada Waktu Tinggal 12 Jam

Data hasil penelitian penyisihan senyawa amoniak pada waktu tinggal 12 jam dapat dilihat pada Tabel 4.4 di bawah ini :

Tabel 4.4 : Data Penyisihan Senyawa Amoniak pada Waktu Tinggal 12 Jam

Hari Operasi

Waktu Tinggal

Sumber : Hasil Penelitian

Analisa penyisihan amoniak untuk operasi waktu tinggal 12 jam dimulai saat data memasuki hari ke 12, ini dikarenakan bahwa saat memasuki hari ke 12 dan 13 telah

Kemudian setelah mencapai kondisi stabil maka dapat disimpulkan mikroorganisme pengurai telah tumbuh dan bekerja dengan baik, yakni dimulai pada hari ke 15-18 dalam efisiensi penyisihan amoniak rata-rata mencapai 94,05 %, dengan konsentrasi amoniak efluen rata-rata sebesar 2,5 mg/l, jauh dibawah standar baku mutu yang ditetapkan oleh Peraturan Gubernur DKI Jakarta dan Peraturan Daerah Kalimantan Timur yaitu sebesar

10 mg/l.

Dari analisis data primer pada pengolahan dengan waktu tinggal 12 jam, dimulai pada hari ke 12 sampai hari ke 18, konsentrasi rata-rata amoniak influen sebesar 43,81 mg/l, konsentrasi rata-rata amoniak efluen 8,01 mg/l, dengan demikian efisiensi penyisihan amoniak rata-rata mencapai 81,4 %. Melihat hasil tersebut, operasi pengolahan di lanjutkan dengan mengubah waktu tinggal menjadi 8 jam dan dimulai pada hari ke-19.

4.4.2 Penyisihan Amoniak Pada Waktu Tinggal 8 Jam

Data hasil penelitian penyisihan senyawa amoniak pada waktu tinggal 8 jam dapat dilihat pada Tabel 4.5 di bawah ini :

Tabel 4.5 : Data Penyisihan Senyawa Amoniak pada Waktu Tinggal 8 Jam

Hari Operasi

Waktu Tinggal

Sumber : Hasil Penelitian

Operasi pengolahan dengan waktu tinggal 8 jam, yakni dengan debit alir air limbah sebesar 27 liter/jam dimulai pada hari ke-19. Dalam operasi pengolahan ini, konsentrasi rata-rata amoniak influen sebesar 102,72 mg/l, konsentrasi rata-rata amoniak efluen sebesar 16,62 mg/l, dengan efisiensi penyisihan rata-rata mencapai 84,16 %. Konsentrasi efluen amoniak pada 2 hari terakhir dalam operasi waktu tinggal 8 jam ini

Oleh karena proses pengolahan dengan waktu tinggal 8 jam di hari ke-10 sudah mencapai kestabilan, selanjutnya waktu tinggal diturunkan menjadi 6 jam.

4.4.3 Penyisihan Amoniak Pada Waktu Tinggal 6 Jam

Data hasil penelitian penyisihan senyawa amoniak pada waktu tinggal 6 jam dapat dilihat pada Tabel 4.6 di bawah ini :

Tabel 4.6 : Data Penyisihan Senyawa Amoniak pada Waktu Tinggal 6 Jam

Hari Operasi

Waktu Tinggal

Sumber : Hasil Penelitian

Operasi pengolahan dengan waktu tinggal 6 jam, yakni dengan debit alir air limbah sebesar 36 liter/jam dimulai pada hari ke-29. Pada kondisi operasi dengan waktu tinggal

6 jam ini, konsentrasi rata-rata amoniak influen sebesar 94,55 mg/l, sementara itu konsentrasi rata-rata amoniak efluen sebesar 16,97 mg/l dengan efisiensi rata-rata penyisihan amoniak sebesar 82,7 %.

Pengolahan dalam operasi waktu tinggal 6 jam ini berlangsung cukup stabil dan tanpa ada kendala yang berarti. Efluen amoniak telah memenuhi standar baku mutu saat memasuki hari ke-6 dalam operasi waktu tinggal 6 jam ini, yakni dengan efluen rata- rata sebesar 8,3 mg/l dan effisiensi mencapai 89.38 %. Selanjutnya operasi pengolahan dilanjutkan dengan waktu tinggal 4 jam.

4.4.4 Penyisihan Amoniak Pada Waktu Tinggal 4 Jam

Data hasil penelitian penyisihan senyawa amoniak pada waktu tinggal 4 jam dapat dilihat pada Tabel 4.7 di bawah ini :

Tabel 4.7 : Data Penyisihan Senyawa Amoniak pada Waktu Tinggal 4 Jam

Hari Operasi

Waktu Tinggal

Sumber : Hasil Penelitian

Operasi pengolahan dengan waktu tinggal 4 jam, yakni dengan debit alir air limbah sebesar 54 liter/jam dimulai pada hari ke-37. Dalam kondisi operasi dengan waktu tinggal 4 jam ini, konsentrasi rata-rata amoniak influen sebesar 64,43 mg/l, sedangkan konsentrasi rata-rata amoniak efluen sebesar 12,4 mg/l dengan efisiensi penyisihan rata- rata mencapai 81,3 %.

Peningkatan debit air limbah yang dilakukan dalam kondsi (WTH 4 Jam) mengakibatkan kenaikan beban hidrolis dan kontak antara senyawa polutan limbah dengan lapisan biofilm semakin singkat, sehingga menyebabkan efisiensi pengolahan menurun. Hal ini terlihat saat kondisi stabil (steady state) dalam operasi ini yang hanya menghasilkan efisiensi rata-rata sebesar 79,6 %, dengan konsentrasi amoniak efluen rata-rata 13,96 mg/l, yang mana belum memenuhi standar baku mutu yang ditetapkan.

4.5 Analisa Penyisihan Amoniak Selama Pengolahan (WTH 4-12 Jam)

Secara keseluruhan, setiap perubahan waktu tinggal yang diturunkan mengakibatkan laju alir (debit) meningkat pula. Peningkatan laju alir air (debit) mengakibatkan waktu kontak air limbah dengan lapisan biofilm menurun dan diikuti dengan kenaikan laju pembebanan senyawa polutan, sehingga mengakibatkan efisiensi menurun. Fase ini disebut dengan fase adaptasi. Namun setelah pengolahan berjalan 3-4 hari, efisiensi

GRAFIK PENYISIHAN AMONIAK (WTH 4-12 Jam, Volume Media Bioball 20 %, R = 1)

enyi o 100 m 80

Hari Operasi

Grafik 4.2 : Grafik penyisihan amoniak dalam variasi waktu tinggal

Melihat trend grafik diatas, terlihat bahwa pengolahan dengan operasi waktu tinggal 4 jam terbilang lebih stabil dibandingkan dengan pengolahan sebelumnya, yakni pada waktu tinggal 12 jam, 8 jam dan 6 jam. Namun jika melihat efisiensi dan hasil air olahan, dalam kondisi pengolahan ini terjadi penurunan efisiensi dari hari ke harinya, dan juga hasil air olahan yang masih belum memenuhi standar baku mutu yang ditetapkan.

Hal ini disebabkan oleh beban hidrolik loading yang tinggi dan tidak didukung dengan waktu kontak bakteri terhadap air limbah yang cukup, sehingga kemampuan bakteri dalam mendegradasi senyawa amoniak menjadi kurang maksimal, yang berakibat pada penurunan efisiensi pengolahan dan kualitas air hasil olahan.

Mengacu pada penelitian terdahulu yang pernah dilakukan oleh Nusa Idaman dan Kristianti Utomo, 2007, bahwa semakin pendek waktu tinggal air limbah di dalam reaktor pengolahan, semakin rendah pula efisiensi pengolahan dalam menurunkan kadar

Hal tersebut terbukti dalam penelitian ini, karena melihat hasil rata-rata penyisihan amoniak dalam kondisi stabil, selalu terjadi penurunan efisiensi saat perubahan waktu tinggal yang lebih singkat. Rata-rata efisiensi penyisihan senyawa amoniak dalam penelitian ini terhitung setelah kondisi proses pengolahan telah mencapai kondisi yang stabil, yakni pada 2 hari terakhir pengolahan dalam masing-masing operasi waktu tinggal, hal ini dikarenakan pada hari-hari tersebut bakteri nitrifikasi telah dinyatakan stabil dan telah melewati fase adaptasi dalam menyisihkan senyawa amoniak dalam air limbah.

Data rata-rata penyisihan senyawa amoniak dalam kondisi optimum dapat dilihat pada Tabel 4.8 di bawah ini.

Tabel 4.8 : Perbandingan Rata-Rata Penyisihan Amoniak Optimum pada masing- masing Variasi Waktu Tinggal

Variasi Waktu Tinggal

Efisiensi Penyisihan (WTH)

Konsentrasi Rata-Rata Amoniak (mg/l)

68.47 13.96 79.6 Sumber : Hasil Penelitian

Selain itu jika dilihat dari Tabel 4.8 tentang konsentrasi efluen amoniak dalam masing- masing waktu tinggal, hasil ini menggambarkan bahwa semakin pendek waktu tinggal menyebabkan semakin sulitnya pengolahan mencapai hasil yang memenuhi standar baku mutu air limbah. Hal ini memberikan kesamaan persepsi jika dibandingkan dengan penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh Kristianti Utomo, 2007.

4.6 Analisa Senyawa Nitrit dan Nitrat terhadap Penyisihan Amoniak

Dalam penelitian ini telah dilakukan juga analisa terhadap parameter-parameter yang mendukung teori penelitian. Parameter itu diantaranya adalah senyawa nitrit (NO 2 - ) dan nitrat (NO 3 - ). Berdasarkan hasil analisa senyawa nitrit dan nitrat yang dilakukan dalam penelitian ini, selama proses berlangsung terjadi kenaikan nitrit dan nitrat. Data kenaikan nitrat dan nitrit dapat dilihat pada Tabel 4.9.

Tabel 4.9 : Data hasil penelitian untuk kenaikan nitrit dan nitrat air limbah

Efisiensi Hari

Konsentrasi (mg/l)

Penyisihan Influen

Nitrit (NO 2 )

Nitrat (NO 3 )

8.89 0.3 29.2 79.77 Sumber : Hasil Penelitian

Seperti yang terlihat pada Tabel 4.9 diatas, terjadi kenaikan senyawa nitrit dan nitrat yang sangat signifikan, dimulai pada hari ke-12, bersamaan dengan efisiensi penyisihan amoniak yang mulai meningkat drastis.

Pada prinsipnya, jika berada dalam kondisi yang kaya akan oksigen seperti yang terjadi pada reaktor aerasi dalam penelitian ini, serta ditandai dengan pertumbuhan Bakteri Nitrosomonas dan Nitrobacter, komponen nitrogen dalam air limbah berupa amoniak

(NH 4 + ) akan mengalami oksidasi menjadi nitrit dan nitrat. Akibatnya, kadar amoniak berkurang sedangkan kadar nitrit dan nitrat akan meningkat. Proses ini disebut dengan proses nitrifikasi.

Proses nitrifikasi didefinisikan sebagai konversi nitrogen ammonium (NH 4 -N) menjadi nitrit (NO 2 -N) yang kemudian menjadi nitrat (NO 3 -N) yang dilakukan oleh bakteri autotropik dan heterotropik. Proses nitrifikasi ini dapat dilihat dalam dua tahap yaitu :

Tahap nitritasi, merupakan tahap oksidasi ion ammonium (NH + 4 ) menjadi ion nitrit (NO - 2 ) yang dilaksanakan oleh bakteri nitrosomonas. Reaksi ini dapat dilihat pada Reaksi di bawah ini :

2 + H NO + + 2H 2 + 12 O + 59,4 Kcal

NH + 4 ⁄O 2 + OH -

Nitrosomonas

Kemudian tahap nitratasi, merupakan tahap oksidasi ion nitrit menjadi ion nitrat (NO - 3 ) yang dilaksanakan oleh bakteri nitrobacter menurut reaksi yang sesuai dengan Reaksi berikut :

NO -

2 ⁄O 2 3 + 18 Kcal + 12 NO Nitrobacter

Kedua reaksi diatas merupakan reaksi eksotermik (reaksi yang mengahasilkan energi). Jika kedua jenis bakteri tersebut tidak ada, maka konsentrasi nitrit akan menjadi berkurang karena nitrit dibentuk oleh bakteri nitrosomonas yang akan dioksidasi oleh bakteri nitrobacter menjadi nitrat. Kedua bakteri ini dikenal sebagai bakteri autotropik yaitu bakteri yang dapat mensuplai karbon dan nitrogen dari bahan-bahan anorganik dengan sendirinya. Bakteri ini menggunakan energi dari proses nitrifikasi untuk membentuk sel sintesa yang baru.

Jika dilihat dalam Tabel 4.9, tepatnya pada hari ke-12 sampai dengan hari ke-21, peningkatan senyawa nitrit akibat dari oksidasi senyawa amoniak berada pada kisaran >20 mg/l dengan pembentukan senyawa nitrat yang tergolong sangat tinggi, yakni mencapai 93,4 mg/l pada hari ke-21. Kemudian terlihat juga konsentrasi senyawa nitrat selama pengolahan selalu lebih tinggi dibandingkan dengan senyawa nitrit, ini dikarenakan senyawa nitrit merupakan produk akhir dari proses nitrifikasi. Hal ini mengindikasikan bahwa lapisan biofilm yang menempel pada permukaan media bioball berada pada kondisi aerob dimana proses nitrifikasi yang terjadi tergolong baik.

Jika dilihat secara fisik, akan terlihat lapisan bioball dengan ketebalan ≤ 20 μm (Kofi Aseidu, 2001). Namun, pada kondisi ini diperkirakan belum tercipta fase anaerobik dalam lapisan biofilm, sehingga baik senyawa nitrit maupun nitrat masih berada pada konsentrasi yang sangat tinggi.

Sementara itu pada hari ke-27 hingga hari terakhir (hari ke-43), peningkatan senyawa nitrit berada pada kisaran <20 mg/l dengan pembentukan senyawa nitrat yang masih terbilang cukup tinggi, hal ini mengindikasikan bahwa lapisan biofilm masih berada pada kondisi nitrifikasi yang baik, dengan sedikit fase anaerobik yang terjadi didalamnya. Ini terlihat dari konsentrasi senyawa nitrit dan nitrat yang tidak lebih tinggi jika dibandingkan dengan konsentrasi seperti pada hari ke 12-21. Diindikasikan pula bahwa pada hari ke 27-43 ini pertumbuhan bakteri nitrobacter terjadi cukup tinggi di dalam lapisan biofilm.

Menurut (Rudi, 2008), konsentrasi amoniak yang tinggi dapat menghambat pertumbuhan Bakteri Nitrobacter, sehingga proses nitrifikasi seringkali terjadi hanya

sampai pada reaksi orde pertama (NH 4  NO 2 ). Namun pada kondisi pH dan suhu yang optimal, yakni pada pH ± 8,5 dan suhu 30 o C (U.S. EPA, 1975), bakteri Nitrobacter tetap mampu tumbuh dan mendegradasi senyawa nitrit menjadi nitrat.

Kenaikan senyawa nitrit dan nitrat yang tinggi, tentunya akan menjadi permasalahan baru di lingkungan, mengingat kontaminasi senyawa nitrit yang tinggi pada manusia dapat menyebabkan menurunnya kapasitas darah, dan kelebihan senyawa nitrat diatas

50 mg/l akan menyebabkan terjadinya kelebihan nutrient nitrogen pada tanaman air (alga/ganggang), akibatnya terjadi ledakan pertumbuhan tanaman alga/ganggang di badan air yang dapat menutupi seluruh permukaan badan air sehingga menghalangi proses difusi sinar matahari ataupun oksigen dalam perairan, peristiwa ini disebut dengan eutrofikasi. Meskipun masalah ini tidak sebesar pencemaran amoniak yang bersifat toksik di perairan, yang mana senyawa nitrat tidak bersifat toksik terhadap organisme aquatik, namun tetap saja perlu dilakukan pencegahan dan pengolahan.

Salah satu cara mengatasi hal ini ialah dengan menambahkan pengolahan pada kondisi anaerobik (tanpa O 2 dengan pengadukan) atau anoxic (tanpa O 2 tanpa pengadukan), sehingga baik senyawa nitrit maupun nitrat akan dipecah menjadi nitrogen dan oksigen oleh bakteri heterotrof dalam kondisi yang tanpa oksigen, melalui suatu proses yang

disebut denitrifikasi dan menghasilkan gas nitrogen (N 2 ). Reaksi dalam proses denitrifikasi dapat dilihat pada Reaksi dibawah ini :

NO 3 - + organik

2 → sel + NO - + CO 2 +H 2 O

NO 2 - + organik → sel + N 2 + CO 2 +H 2 O

Denitrifikasi merupakan langkah kedua dalam penyisihan nitrogen setelah proses nitrifikasi. Reaksi denitrifikasi akan terjadi bila konsentrasi oksigen terlarutnya adalah nol (DO = 0). Artinya, dibutuhkan pengolahan dalam kondisi anaerob/anoxic untuk

mengubah senyawa nitrit maupun nitrat menjadi gas nitrogen (N 2 ).

4.7 Analisa Media Bioball Selama Pengolahan Moving Bed Biofilm Reactor

Bioball digunakan dalam pengolahan moving bed biofilm reactor pada penelitian ini adalah sebagai media tempat tumbuh dan berkembangnya mikroorganisme

pendegradasi senyawa amoniak (NH 3 ). Hal ini terlihat secara fisik dari terbentuknya lapisan biofilm mikrobiologis yang menempel pada permukaan media bioball.

Lapisan mikrobiologis yang terbentuk pada permukaan media bioball terdiri dari 3 zona utama, yakni zona aerobik, fakultatif anaerobik dan zona anaerobik. Lapisan terluar adalah zona anerobik dimana terjadi reaksi oksidasi heterotropik terhadap senyawa nitrogen (reaksi nitrifikasi), dibawah lapisan aerobik terdapat lapisan atau zona fakultatif yakni zona yang membatasi zona aerob dan anaerob. Kemudian lapisan terdalam pada biofilm disebut dengan zona anaerobik, dimana terjadi reaksi denitrifikasi

yakni perubahan senyawa nitrit dan nitrat menjadi gas nitrogen (N 2 ).

Gambaran ilustrasi zona yang terbentuk pada lapisan biofilm yang menempel pada permukaan media bioball dapat dilihat pada Gambar 4.5 di bawah ini.

Gambar 4.5 : Lapisan mikrobiologis pada media bioball

Semakin lama hari operasi pengolahan berlangsung, lapisan biofilm yang tumbuh pada media bioball tersebut semakin tebal sehingga menyebabkan oksigen tidak dapat masuk ke dalam lapisan biofilm yang mengakibatkan terbentuknya zona anaerobik. Pada zona anaerobik ini, senyawa nitrat yang terbentuk diubah ke dalam bentuk nitrit yang

kemudian dilepaskan menjadi gas nitrogen (N 2 ). Proses demikian tersebut dinamakan proses denitrifikasi.

Namun, jika melihat data hasil penelitian tentang hubungan penyisihan amoniak terhadap pembentukan/penyisihan senyawa nitrit dan nitrat, mengindikasikan bahwa lapisan biofilm yang terbentuk pada media bioball belum maksimal pada zona anaerobik, ini terlihat dari kadar nitrit dan nitrat yang masih sangat tinggi pada efluen air limbah. Sedangkan lapisan biofilm yang menempel pada bioball lebih didominasi

Gambar 4.6 di bawah ini menunjukkan kondisi media bioball saat sebelum dan setelah pengolahan selama 43 hari. Terlihat lapisan biofilm yang cukup tebal menyelimuti permukaan media bioball.

Gambar 4.6 : Media bioball yang masih baru (sebelum pengolahan) dan media bioball setelah digunakan dalam pengolahan (selama 43 hari)

4.8 Analisa Perhitungan Total Inorganik Nitrogen (TIN)

Kenaikan senyawa nitrit dan nitrat yang terjadi selama proses penelitian berlangsung, bersamaan dengan peningkatan efisiensi penyisihan senyawa amoniak, menunjukkan terjadinya perubahan struktur kandungan nitrogen di dalam air limbah selama proses pengolahan berlangsung. Penyisihan total inorganik nitrogen ini menunjukkan berlangsungnya reaksi nitrifikasi maupun denitrifikasi. Dengan semakin tingginya oksidasi amoniak yang menghasilkan nitrit dan nitrat, didukung pula oleh proses

denitrifikasi yang mengubah senyawa nitrit menjadi N 2 mengindikasikan penyisihan total nitrogen semakin tinggi, begitu juga sebaliknya.

Untuk mengetahui perubahan tersebut, dilakukan analisa perhitungan total inorganik nitrogen (TIN) dalam air limbah sebelum dan sesudah diolah. Analisa total inorganik nitrogen dihitung dengan menggunakan Persamaan 4.1. (Said, 2013)

TIN = ( 0,82 x [NH 3 ] ) + ( 0,30 x [NO 2 ] ) + ( 0,23 x [NO 3 ]) ………………….. (4.1)

Keterangan : [NH

3 ] = Konsentrasi amoniak (mg/l) [NO 2 ] = Konsentrasi nitrit (mg/l)

[NO 3 ] = Konsentrasi nitrat (mg/l) 0,82 = Faktor perbandingan berat massa atom N dalam senyawa ammonium 0,30 = Faktor perbandingan berat massa atom N dalam senyawa nitrit 0,23 = Faktor perbandingan berat massa atom N dalam senyawa nitrat

Dengan menggunakan persamaan diatas, didapatkan perbandingan total inorganik nitrogen di dalam air limbah sebelum dan sesudah memasuki pengolahan. Seperti yang terlihat dalam Tabel 4.10, terjadi penyisihan total inorganik nitrogen selama proses penelitian berlangsung, juga terlihat dalam grafik 4.3.

Tabel 4.10 : Data hasil perhitungan total inorganik nitrogen

Waktu Tinggal

Konsentrasi (mg/l)

Hari Operasi Efisiensi (%)

(HRT)

Influen

Efluen

12 Jam

21 8 Jam

6 Jam

Lanjutan Tabel 4.10

Waktu Tinggal

Konsentrasi (mg/l)

Hari Operasi Efisiensi (%)

Sumber : Hasil Perhitungan Data Primer

Berdasarkan data tabel diatas dapat terlihat bahwa dalam pengolahan dengan waktu tinggal 12 jam, penyisihan nitrogen belum mencapai target yang diharapkan, yakni masih dibawah 50 %. Hal ini mengingat dalam waktu tersebut masih berada dalam proses seeding bakteri, sehingga proses nitrifikasi masih belum sempurna dan hanya

berada pada reaksi orde pertama (NH 4  NO2).

Grafik Penyisihan Total Inorganik Nitrogen (WTH 4-12 Jam, Volume Media 20 %, R = 1)

enyi T

si trasi

Hari Operasi

Grafik 4.3 : Grafik Penyisihan Total Inorganik Nitrogen dalam Variasi Waktu Tinggal

Dalam pengolahan dengan waktu tinggal 8 jam, penyisihan nitrogen sudah mulai terlihat bagus, yakni pada hari ke-19 mencapai 70 %, kemudian kembali terjadi penurunan yang drastis sampai hari ke-25 yang disebabkan oleh masalah pada diffuser aerasi, namun kembali meningkat sampai pada hari ke-28, dan penyisihan nitrogen

pengolahan dengan waktu tinggal 4 jam, terjadi kenaikan hanya dalam tempo 4 hari pengolahan, selanjutnya efisiensi selalu menurun dari hari ke hari.

Penyisihan Total Inorganik Nitrogen (TIN) ini menggambarkan bahwa telah terjadi proses fiksasi nitrogen (pembentukan senyawa kompleks nitrogen) dari reaksi nitrifikasi amoniak yang menghasilkan senyawa nitrit dan nitrat. Penyisihan total inorganik

nitrogen (NH 3 , NO 2 , dan NO 3 ) yang tinggi mengindikasikan telah terjadi pula reaksi denitrifikasi. Ini dikarenakan ketiga senyawa tersebut mengalami reduksi dalam lapisan

biofilm menghasilkan senyawa N 2.

4.9 Hubungan Antara Beban Volumetrik Amoniak (NH 3 -Volumetric Loading) terhadap Efisiensi Penyisihan Amoniak

Dari hasil penelitian dapat dibuat hubungan antara besarnya beban amoniak (NH 3 - Loading) terhadap efisiensi penyisihan senyawa amoniak (NH 3 ) . Beban amoniak dihitung berdasarkan jumlah senyawa yang masuk ke dalam reaktor MBBR per satuan volume reaktor per satuan waktu yang dinyatakan sebagai berat kg amoniak per satuan volume per hari. Data yang disajikan di bawah ini diambil berdasarkan hasil pengukuran hari sebelum dan sesudah pada setiap pergantian WTH. Hubungan antara

beban amoniak dengan efisiensi penyisihan amoniak dapat dilihat pada Tabel 4.11.

Tabel 4.11 : Hubungan Beban Volumetrik Amoniak dan Efisiensi Penyisihan Amoniak

Beban Volumetrik Amoniak Efisiensi Penyisihan Amoniak

(Kg/m 3 .hari)

83.01 Sumber : Hasil Penelitian

Hubungan Beban Amoniak Volumetrik dengan Efisiensi Penyisihan Amoniak

80 y = -70.32x + 106.4

R² = 0.404

enyi P si 40

Beban Volumetrik NH 3 (kg/m 3 .hari)

Beban Amoniak Volumetrik Linear (Beban Amoniak Volumetrik)

Grafik 4.4 : Grafik Hubungan Beban Volumetrik Amoniak dan Efisiensi Penyisihan Amoniak

Dari hasil perhitungan Tabel 4.11, dapat diplotkan dalam bentuk grafik hubungan antara Beban Volumetrik Amoniak terhadap efisiensi penyisihan amoniak. Seperti yang dapat dilihat dalam Grafik 4.4 yang menunjukkan hubungan linier antara laju pembebanan volumetrik dengan efisiensi penyisihan amoniak, dengan persamaan sebagai sebagai berikut :

y a = -70,32(x a ) + 106,4 ………………………………………………………… (4.2)

Keterangan :

y a = Efisiensi Penyisihan Amoniak, NH 3 (%)

x a = Laju Pembebanan Volumetrik Amoniak, NH 3 (Kg/m 3 .hari)

Persamaan tersebut menunjukkan, bahwa pengoperasian reaktor Moving Bed Biofilm bermedia plastik bioball tipe golf yang memiliki luas permukaan spesifik sebesar ± 210

m 2 /m 3 dengan laju pembebanan volumetrik amoniak sebesar 0,11 – 0.45 kg/m 3 .hari dalam kondisi yang optimal dapat menghasilkan efisiensi penyisihan senyawa amoniak

mencapai 74-98%.

Nilai (-) pada absis dalam persamaan linier diatas menunjukkan adanya perbandingan terbalik antara beban volume amoniak dengan efisiensi penyisihan amoniak, semakin besar beban volume amoniak semakin kecil pula efisiensi penyisihan amoniak yang

dihasilkan, begitu pula sebaliknya. Sementara itu nilai R 2 menunjukkan faktor determinasi, yakni apabila semakin R mendekati nilai 1, maka persamaan tersebut semakin dianggap benar jika digunakan sebagai acuan.

Melihat hasil diatas, nilai R 2 hanya sebesar 0,404. Ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah fluktuasi beban hidrolik yang tinggi, data pengolahan saat stabil yang sangat sedikit, dan faktor lain seperti kurang maksimalnya operasional alat, sehingga hasil yang didapatkan kurang maksimal. Namun jika dilihat dari trend grafik linier, dapat dipastikan bahwa, penyisihan semakin menurun saat beban hidrolik bertambah.

Grafik ini dapat digunakan dalam perancangan pengolahan yang sesuai dengan penelitian ini, yaitu sistem lumpur aktif yang diiisi media bioball sebanyak 20 % dari volume reaktor (Moving Bed Biofilm Reactor).

4.10 Hubungan Antara Beban Permukaan Amoniak (NH 3 -Surface Loading) terhadap Efisiensi Penyisihan Amoniak

Berdasarkan luas permukaan spesifik media bioball juga dapat dibuat hubungan antara besarnya beban permukaan amoniak (NH 3 -Loading) terhadap efisiensi penyisihan senyawa amoniak (NH 3 ) . Beban permukaan amoniak dihitung berdasarkan jumlah senyawa yang masuk ke dalam reaktor MBBR per satuan luas permukaan media bioball di dalam reaktor per satuan waktu yang dinyatakan sebagai berat kg amoniak per satuan luas permukaan media per hari. Berdasarkan volume media bioball di dalam reaktor yang terukur sebesar 20 % dari total volume reaktor, dengan luas permukaan spesifik ±

210 m 2 /m 3 , maka dapat dihitung luas permukaan media di dalam reaktor dengan menggunakan perhitungan sebagai berikut :

% Volume media bioball di dalam reaktor : 20 %

Volume reaktor

: 0,218 m 3

Volume media bioball di dalam reaktor

: 0,218 m 3 x

= 0,044 m 3

100 Luas permukaan spesifik media bioball golf : 210 m 2 /m 3

Luas permukaan media di dalam reaktor : 210 m 2 /m 3 x 0,044 = 9,11 m 2

Dari perhitungan diatas, didapatkan laju pembebanan permukaan amoniak per satuan luas media di dalam reaktor. Hubungan antara beban permukaan amoniak dengan

efisiensi penyisihan amoniak dapat dilihat pada Tabel 4.12.

Tabel 4.12 : Hubungan Beban Permukaan Amoniak dan Efisiensi Penyisihan Amoniak

Beban Permukaan Amoniak Efisiensi Penyisihan Amoniak

(Kg/m 2 .hari)

83.01 Sumber : Hasil Penelitian

Hubungan Beban Amoniak Permukaan dengan Efisiensi Penyisihan Amoniak

an 100 h si

80 y = -2943.x + 106.3

enyi P

Beban Permukaan NH 3 (Kg/m 2 .hari)

Beban Permukaan Amoniak Linear (Beban Permukaan Amoniak)

Grafik 4.5 : Grafik Hubungan Beban Permukaan Amoniak dan Efisiensi Penyisihan Amoniak

Dari hasil perhitungan Tabel 4.12 diatas, dapat diplotkan dalam bentuk grafik hubungan antara beban permukaan ammonium terhadap efisiensi penyisihan ammonium. Seperti yang dapat dilihat dalam Grafik 4.5. Grafik ini menunjukkan hubungan antara laju pembebanan permukaan terhadap efisiensi penyisihan senyawa amoniak, dengan persamaan linier sebagai sebagai berikut :

y a = -2943(x a ) + 106 ,3 ………………………………………………………… (4.3)

Keterangan :

y a = Efisiensi Penyisihan Amoniak, NH 3 (%)

x a = Laju Pembebanan Permukaan Amoniak, NH 3 (Kg/m 2 media.hari)

Sama halnya dengan beban volume amoniak, persamaan diatas juga menunjukkan bahwa pengoperasian reaktor Moving Bed Biofilm bermedia plastik bioball tipe golf dengan persentase volume sebesar 20 % total volume reaktor, dengan laju pembebanan permukaan amoniak sebesar 0,0025

– 0.01 kg/m 2 media.hari dalam kondisi yang optimal dapat menghasilkan efisiensi penyisihan amoniak mencapai 74-98 % pula.

Nilai (-) pada absis dalam persamaan linier diatas menunjukkan adanya perbandingan terbalik antara beban volume amoniak dengan efisiensi penyisihan amoniak, semakin besar beban volume amoniak semakin kecil pula efisiensi penyisihan amoniak yang

dihasilkan, begitu pula sebaliknya. Sementara itu nilai R 2 menunjukkan faktor determinasi, yakni apabila semakin R mendekati nilai 1, maka persamaan tersebut semakin dianggap benar jika digunakan sebagai acuan.

Melihat hasil diatas, nilai R 2 hanya sebesar 0,404. Ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah fluktuasi beban hidrolik yang tinggi, data pengolahan saat stabil yang sangat sedikit, dan faktor lain seperti kurang maksimalnya operasional alat, sehingga hasil yang didapatkan kurang maksimal. Namun jika dilihat dari trend grafik linier, dapat dipastikan bahwa, penyisihan semakin menurun saat beban hidrolik bertambah.

4.11 Kondisi dan Pengaruh Kebutuhan Udara Aerasi Selama Pengolahan

Kandungan oksigen sangat mempengaruhi proses yang terjadi di dalam reaktor pengolahan moving bed biofilm reactor dalam penelitian ini, terutama pada reaktor aerasi. Keberadaan oksigen yang cukup akan sangat membantu dalam proses nitrifikasi,

yakni proses oksidasi senyawa amoniak (NH 3 ) menjadi senyawa nitrit (NO 2 ) dan nitrat (NO 3 ) oleh bantuan bakteri nitrosomonas dan bakteri nitrobacter.

Kandungan oksigen yang ada dalam reaktor dapat digambarkan berdasarkan debit udara yang berasal dari blower aerasi selama pengolahan. Salah satu kelemahan dalam penelitian ini adalah selama pengolahan berlangsung tidak dilakukan pengukuran secara spesifik tentang kadar oksigen terlarut (DO) yang ada di dalam reaktor.

Namun, secara teknis pelaksanaan di lapangan, debit blower aerasi yang diatur menggunakan valve dengan bukaan setengah hingga penuh (1/2 Q max s/d Q max), ini artinya debit udara aerasi maksimal selama pengolahan adalah sebesar 35-70 liter/menit sesuai spesifikasi dari blower tersebut. Adapun jika dilihat berdasarkan penurunan efisiensi pengolahan, dapat dipastikan selama terjadinya penurunan kinerja blower (debit aerasi), maka akan menimbulkan suasana anaerobik (kekurangan oksigen) didalam air limbah, sehingga menurunkan efisiensi pengolahan, terutama dalam proses penyisihan senyawa amoniak (nitrifikasi).

Jika dilihat berdasarkan data hasil penyisihan COD pada hari ke-6, terjadi penurunan efisiensi sebesar 5 % dari hari sebelumnya, hal ini dikarenakan pada hari tersebut debit blower aerasi diasumsikan sebesar ± 35 liter/menit (bukaan valve ½), melihat hal tersebut maka dilakukan perbesaran debit blower menjadi 70 liter/menit (bukaan valve penuh). Atas perlakuan ini maka pada hari ke-7 terjadi kenaikan efisiensi pengolahan. Hal ini mengindikasikan pengaruh udara aerasi yang cukup besar terhadap efisiensi pengolahan, yang mana juga hal tersebut menggambarkan pentingnya keberadaan oksigen terlarut di dalam air limbah.

4.12 Pengukuran Mixed Liquor Suspended Solids (MLSS)

Pengukuran konsentrasi mixed liquor suspended solids (MLSS) dilakukan dalam penelitian ini sebanyak 3 kali, yakni pada saat berakhirnya proses seeding dengan operasi waktu tinggal 12 jam (WTH terpanjang), kemudian juga saat berakhirnya proses pengolahan dengan waktu tinggal 8 jam dan 6 jam. Data pengukuran MLSS dapat dilihat dalam Tabel 4.13 dibawah ini :

Tabel 4.13 : Konsentrasi MLSS saat penelitian

WTH

Hari Operasi

MLSS (mg/l)

12 Jam 18 80 8 Jam

28 108 6 Jam

36 118 Sumber : Hasil Penelitian

Melihat tabel diatas, konsentrasi MLSS menunjukkan peningkatan selama pengolahan berlangsung. Hal ini mengindikasikan kuantitas lumpur maupun biofilm semakin besar dan menumpuk dari hari ke hari.

Dikarenakan dalam penelitian ini tidak dilakukan pengukuran MLVSS, maka tidak bisa dipastikan berapa konsentrasi mikroorganisme yang hidup di dalam jumlah lumpur

yang terbentuk. Namun dilihat dari efisiensi pengolahan yang cukup tinggi, menunjukkan bahwa ada peran mikroorganisme baik yang tersuspensi maupun melekat di biofilm.

4.13 Kondisi pH dan Suhu Selama Penelitian

Selama penelitian dilakukan juga pengamatan terhadap kondisi pH yang dapat mempengaruhi proses penguraian zat pencemar pada reaktor. Data yang tersaji pada Tabel 4.14 dibawah ini meliputi pH air limbah yang masuk ke dalam pengolahan, pH air limbah selama proses berlangsung di dalam reaktor aerasi, dan pH air hasil olahan.

Tabel 4.14 : Pengukuran pH dan suhu selama proses pengolahan

Suhu ( o C) Hari Operasi

Derajat Keasaman (pH)

Influen Efluen

Reaktor

influen

Efluen Reaktor

Sumber : Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil pengukuran pH yang dilakukan diatas, pH air limbah yang masuk ke dalam reaktor pengolahan selalu berada pada kondisi basa (pH>7). Nilai pH influen akan mempengaruhi jenis mikroorganisme yang hidup di dalam reaktor. Mikroorganisme-mikroorganisme tersebut akan melekat pada permukaan media dan juga tersuspensi di air limbah dan selanjutnya akan mengurai polutan pencemar. Selain

itu, terdapatnya senyawa amoniak (NH 3 ) dalam kondisi pH dan temperatur yang memadai, serta aerasi yang cukup baik akan sangat memungkinkan terjadinya proses nitrifikasi yang optimal.

Menurut Bitton, 1994, kecepatan pertumbuhan bakteri nitrifikasi berada pada kisaran pH 7,5-8,5, yakni optimum pada pH 8,5 dan kisaran suhu 8-30 o

C yang optimum pada suhu 30 o

C. Berdasarkan kondisi pH yang terukur di dalam reaktor aerasi sesuai yang tertera pada Tabel 4.13 diatas, range pH yang terjadi selama pengolahan dari hari ke 1-

25 berlangsung stabil antara pH 8,0 - 8,2.

Namun, memasuki hari ke-27 terjadi sedikit peningkatan pH air limbah dalam reaktor, yakni sampai pada hari ke-39 kisaran pH stabil pada 8,4-8,5. Ini mengindikasikan bahwa selama pengolahan dari hari ke 27-39 ini terjadi reaksi nitrifikasi yang cukup baik karena berada pada kondisi pH yang optimal, hal ini dapat terlihat dari konsentrasi amoniak yang mengalami penurunan dengan efisiensi yang stabil. Kemudian memasuki hari ke 40-43, pH air limbah di dalam reaktor aerasi mengalami peningkatan yakni pH>8,5 dimana kondisi pH telah melebihi kondisi yang optimum, ini dapat terlihat dari efisiensi penyisihan amoniak yang terus menurun setiap harinya. Hal ini dianggap bahwa, bakteri kurang mampu beradaptasi diatas pH optimum (pH>8,5).

Sama seperti pH, kondisi suhu berpengaruh terhadap jenis mikroorganisme yang hidup dalam reaktor. Suhu memegang peranan penting dalam bagi keberlangsungan proses pengolahan secara biologis di dalam reaktor. Dari hasil pengukuran suhu selama pengolahan berlangsung fluktuatif, baik pada influen, efluen maupun pada reaktor aerasi, suhu berada pada range 27-30 o

C. dan dapat dikatakan selalu dalam kondisi yang stabil pada suhu yang optimal yakni 30 o C.

4.14 Penentuan Waktu Tinggal (WTH) Tepilih

Waktu tinggal (WTH) terpilih ditentukan melalui seleksi nilai efisiensi penyisihan senyawa polutan amoniak dengan mempertimbangkan teknis perencanaan dan kelayakan aplikasi teknologi Moving Bed Biofilm Reactor. Waktu tinggal (WTH) yang dipilih adalah yang paling singkat namun masih dalam efisiensi penyisihan yang tinggi. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan waktu tinggal operasi terpilih dalam moving bed biofilm reactor yang dilakukan pada penelitian ini, antara lain:

1. Waktu tinggal hidrolis dalam reaktor singkat

2. Efisiensi penyisihan polutan tinggi

3. Air hasil olahan memenuhi kriteria baku mutu

Selain itu, dalam aplikasi nyata di lapangan, perlu pula dipertimbangkan factor lain seperti ukuran atau dimensi reaktor, bobot reaktor, efisiensi penyisihan dan kebutuhan energi. Faktor ini penting dalam perencanaan pembangunan instalasi pengolahan air limbah. Ukuran reaktor menjadi acuan dalam penyediaan lahan sedangkan bobot reaktor menjadi pertimbangan konstruksi, dimana semakin kecil waktu tinggal hidrolis ukuran reaktor semakin hemat dalam penggunaan lahan dan dengan bobot reaktor yang lebih kecil memerlukan konstruksi yang lebih ringan. Sedangkan kebutuhan media yang sesuai dengan target pengolahan juga dipertimbangkan, yakni dengan jumlah volume media yang sedikit dengan specific surface area (SSA) yang besar.

Reaktor dengan efisiensi tinggi pada laju alir (debit) yang sama mempunyai kemampuan yang lebih besar dalam mengolah air sehingga lebih efisien dalam pemakaian energi untuk peralatan pendukung seperti pompa dan blower. Kualitas air hasil pengolahan juga merupakan faktor yang penting di dalam penentuan pemilihan waktu tinggal hidrolis. Kualitas air baku dan hasil pengolahan serta efisiensi penyisihan senyawa amoniak pada sistem moving bed biofilm reactor dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.15 di bawah ini :

Tabel 4.15 : Data kualitas air hasil olahan dan efisiensi penelitian moving bed biofilm reactor

WTH

Penyisihan Polutan

Efisiensi Penyisihan

Polutan Amoniak (Jam)

Amoniak (mg/l)

Keterangan : ** = Tidak memenuhi standar baku mutu PerGub DKI dan PerDa Kaltim * = Memenuhi standar baku mutu PerGub DKI dan PerDa Kaltim

Melihat hasil analisis diatas, waktu tinggal (WTH) 6 jam diambil sebagai waktu tinggal (WTH) terpilih, dimana pada waktu tinggal ini merupakan waktu tinggal (WTH) terpendek dengan efisiensi penyisihan yang tergolong cukup tinggi untuk mereduksi senyawa amoniak yaitu 89 %. Pertimbangan lain adalah air hasil pengolahan dengan WTH 6 jam telah memenuhi kriteria baku mutu sesuai dengan Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 122 Tahun 2005 dan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 2 Tahun 2011 jika diterapkan di kawasan wilayah Kalimantan Timur.