3.4.1.1 Hak Milik
Hak kepemilikan lahan di lingkup wilayah penelitian terbagi menjadi Hak Milik, Hak Guna Bangunan, dan ilegal. Lahan dengan status Hak Milik telah diakui
sejak masa Pemerintah Kolonialis Belanda. Pada umumnya hak kepemilikan berupa Hak Milik ini untuk lahan yang terletak di sepanjang jalur Pantura, berjarak
antara 50 hingga 100 meter ke arah pantai. Khusus untuk Desa Pandean, pada tahun 2001 telah diadakan sertifi kasi masal, dimana dilakukan peningkatan status lahan
dari Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik. Kebijakan ini dilakukan dikarenakan adanya muatan politis dari kepala daerah untuk mendapatkan status Hak Milik untuk
bangunan rumah miliknya yang berada di tepi pantai Desa Pandean sebagai hasil reklamasi. Jumlah rumah dengan status Hak Milik di lingkup wilayah penelitian
adalah 2062 rumah.
3.4.1.2 Hak Guna Bangunan
Hak kepemilikan lahan dengan status lahan Hak Guna Bangunan diberikan oleh BPN kepada warga yang telah mendirikan rumah yang berlokasi 50 hingga 100
meter dari Jalur Pantai Utara hingga ke tepi pantai. Lahan tempat untuk mendirikan rumah untuk Desa Sukoharjo dan Kabongan Lor sebagian besar merupakan lahan
hasil dari reklamasi liar. Pemberian status lahan ini dilakukan oleh BPN kepada rumah yang tidak memiliki sertifi kat Hak Milik sebelum tahun 2007. Jumlah rumah
dengan status Hak Guna Bangunan di lingkup wilayah penelitian adalah 626 rumah.
3.4.1.3 Ilegal
Hak kepemilikan lahan yang tanpa status atau ilegal, adalah rumah yang didirikan di atas lahan hasil reklamasi setelah tahun 2007. Setelah tahun 2007,
dengan ditetapkannya Undang-undang Penataan Ruang, pihak BPN tidak bersedia mengeluarkan sertifi kat tanah untuk rumah yang berada di daerah sempadan pantai,
atau 100 meter dari tepi pantai. Sebagian lahan ilegal ini berada di tepi pantai di dekat rumah penduduk yang masih memiliki hubungan keluarga. Jumlah rumah
tanpa status di lingkup wilayah penelitian adalah 36 rumah. 70
70
Sumber: Hasil Analisis Data Primer, 2010
GAMBAR 3.3 PERSENTASE HAK KEPEMILIKAN LAHAN DI KAWASAN PESISIR
PERKOTAAN REMBANG 3.4.2 Lahan Permukiman Hasil Reklamasi Liar
Penduduk di sebagian kawasan pesisir Perkotaan Rembang telah melakukan reklamasi liar, dengan melakukan pengurugan pantai untuk dibangun rumah,
musholla, dan lain sebagainya. Reklamasi liar atau ‘ngebrug’ dilakukan oleh penduduk di Desa Pandean, Sukoharjo, dan Kabongan Lor. Pada mulanya reklamasi
dilakukan dengan penancapan tiang-tiang bambu membentuk persegi yang berguna mengurangi kuat arus yang menuju pantai dan sebagai pembatas lahan. Setelah
itu dimasukkan bebatuan, sampah, pasir, tanah, dan bongkaran bangunan ke dalam lahan persegi tersebut. Pondasi yang berfungsi sebagai tanggul dibangun di
tempat tiang-tiang bambu ditancapkan. Setelah urugan tanah dirasa padat, mulailah dibangun bangunan di atasnya, atau dijual.
Reklamasi liar ini telah dilakukan penduduk sejak dahulu hingga tahun 1990, setelah ditetapkannya SK Bupati Nomor 5903051990 tentang larangan
melakukan reklamasi pantai untuk permukiman. Namun setelah tahun 2001 sejak dibangunnya rumah pribadi Bupati Rembang menjabat, masyarakat di ketiga desa
tersebut memulai kembali reklamasi liar untuk lahan permukiman.
di Kawasan Pesisir Perkotaan Rembang
71
71
Sumber: Hasil Analisis Data Primer, 2010
GAMBAR 3.4 PERSENTASE HAK KEPEMILIKAN LAHAN HASIL REKLAMASI
Kegiatan reklamasi liar saat ini tidak lagi dapat dilakukan melebihi batas pembangunan yang telah ada, mengingat daerah pantai di Desa Sukoharjo dan
Kabongan Lor digunakan sebagai jangkar perahu nelayan. Arus balik gelombang laut yang mengenai pantai yang mengalami reklamasi akan menjadi lebih kuat
hingga dapat membalikkan perahu yang dijangkarkan. Jumlah rumah yang dibangun di atas lahan hasil reklamasi liar di lingkup wilayah penelitian adalah 125 rumah.
3.4.3 Lahan Permukiman Terkena Abrasi