Tinjauan tentang Perjanjian
g. Risiko dalam hukum Perjanjian
Pengertian Resiko dalam hukum perjanjian menurut Prof. Subekti ,S.H.,(1987:59) Resiko ialah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena suatu kejadian diluar kesalahan salah satu pihak. Pemahaman lebih lanjut mengenai Resiko dalam hukum perjanjian dapat ditemukan pada Bab
III KUHPer Pasal 1237, yang berbunyi : "Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan sesuatu barang tertentu, maka barang itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si berpiutang". Jenis-jenis risiko dapat digolongkan menjadi dua kategori, yakni risiko dalam perjanjian sepihak dan risiko dalam perjanjian timbal balik:
a) Risiko dalam perjanjian sepihak Risiko dalam perjanjian sepihak diatur dalam Pasal 1237 KUH Perdata, yakni risiko ditanggung oleh kreditur;
b) Risiko dalam perjanjian timbal balik Risiko dalam perjanjian timbal balik terbagi menjadi tiga kategori, yakni risiko dalam jual beli, risiko dalam tukar-menukar, dan risiko dalam sewa menyewa.
(1) Risiko dalam jual beli diatur dalam Pasal 1460-1462 KUH Perdata,
yakni risiko yang ditanggung oleh pembeli; (2) Risiko dalam tukar menukar diatur dalam Pasal 1545 KUH Perdata,
yakni risiko yang ditanggung oleh pemilik barang; (3) Risiko dalam sewa menyewa, diatur dalam Pasal 1553, yakni risiko
yang ditanggung oleh pemilik barang.
Pasal-pasal BW tersebut di atas sudah mengatur tentang risiko secara adil, kecuali Pasal 1460 BW yang berdasarkan isinya yaitu “jika kebendaan yang dijual itu berupa barang yang sudah ditentukan, maka barang ini sejak pembelian adalah atas tanggungan si pembeli, meskipun penyerahanya belum dilakukan dan si penjual berhak menuntut harganya”. Ketentuan Pasal tersebut tidak adil karena pembeli belumlah resmi sebagai pemilik dari barang tersebut akan tetapi ia sudah dibebankan untuk menanggung risiko terhadap barang tersebut. Pembeli dapat resmi sebagai pemilik apabila telah dilakukan penyerahan terhadap si pembeli dan menanggung risiko terhadap barang yang telah diserahkan kepadanya. Mahkamah Agung dengan Surat Edarannya No. 3 Tahun 1963 menyatakan Pasal 1460 tersebut tidak berlaku lagi (Riduan Syahrani, 2000: 253):.
h. Hapusnya Perikatan
Berdasarkan Pasal 1381 KUHper, Hal-hal yang mengakibatkan hapusnya perikatan antara lain (Riduan syahrani, 2000: 282) :
1) Pembayaran Pembayaran dalam hukum perikatan adalah setiap pemenuhan prestasi secara sukarela. Dengan dipenuhinya prestasi itu perikatan menjadi hapus. Pembayaran merupakan pelaksanaan perikatan dalam arti yang sebenarnya, dimana dengan dilakukannya pembayaran ini tercapailah tujuan perikatan/perjanjian yang diadakan.
2) Penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau
penititpan
Jika kreditur menolak pembayaran, maka debetur dapat melakukan penawaran pembayaran tunai atas apa yang harus dibayarnya, dan jika kreditur juga menolaknya,, maka debitur dapat menitipkan uang atau barangnya kepada Pengadilan. Penawaran demikian, yang diikuti Jika kreditur menolak pembayaran, maka debetur dapat melakukan penawaran pembayaran tunai atas apa yang harus dibayarnya, dan jika kreditur juga menolaknya,, maka debitur dapat menitipkan uang atau barangnya kepada Pengadilan. Penawaran demikian, yang diikuti
3) Pembaharuan hutang atau Novasi; Novasi adalah suatu proses pergantian kontrak lama oleh suatu kontrak baru, yang menyebabkan kontrak lama hapus sehingga yang berlaku selanjutnya adalah kontrak baru dengan perubahan terhadap syarat dan kondisinya, dan atau dengan perubahan terhadap para pihak dalam kontrak tersebut.
Dalam hukum dikenal beberapa model novasi, yaitu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1413 KUHPdt, yaitu :
a) Novasi Objektif, adalah pembaharuan hutang dengan mana debitur membuat suatu kontrak hutang yang baru untuk menggantikan hutangnya yang lama. Jadi dalam hal ini yang diganti dengan kontrak baru semata-mata adalah hutangnya dan tidak ada perubahan pihak debitur ataupun kreditur.
b) Novasi Subjektif Pasif, adalah adanya pergantian debitur lama dengan debitur baru, dan kreditur setuju bahwa debitur lama dibebaskan kewajibannya. akibatnya debitur lama dengan kreditur tidak lagi mempunyai kontrak utang piutang. Dalam hal ini dikatakan novasi subjektif karena yang berubah/berganti addalah subjeknya.
c) Novasi Subjektif Aktif, adalah adanya pergantian kreditur lama dengan kreditur baru. akibatnya antara debitur dengan kreditur lama tidak lagi mempunyai kontrak hutang piutang.
4) Perjumpaan utang atau kompensasi Perjumpaan utang atau kompensasi adalah salah satu cara hapusnya perikatan yang disebabkan oleh keadaan dimana dua orang saling mempunyai utang satu terhadap yang lain, dengan mana utang-utang 4) Perjumpaan utang atau kompensasi Perjumpaan utang atau kompensasi adalah salah satu cara hapusnya perikatan yang disebabkan oleh keadaan dimana dua orang saling mempunyai utang satu terhadap yang lain, dengan mana utang-utang
5) Percampuran utang Percampuran utang terjadi karena kedudukan kreditur dan debitur bersatu pada satu orang. Misalnya, kreditur meninggal dunia sedangkan debitur merupakan satu-satnya ahli waris. Atau debitur kawin dengan kreditur dalam persatuan harta perkawinan. Hapusnya perikatan karena percampuran utang ini adalah demi hukum artinya secara otomatis (Pasal 1436).
6) Pembebasan utang Pembebasan utang adalah perbuatan hukum dimana kreditur melepaskan haknya untuk menagih piutangnya kepada debitur. Pembebasan utang tidak boleh dipersangkakan tetapi harus dibuktikan (Pasal 1438).
7) Musnahnya barang yang terutang Jika barang tertentu yang menjadi obyek perjanjian musnah, tidak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, hingga samasekali tidak diketahui apakah barang itu masih ada, perikatan menjadi hapus asal saja musnahnya atau hilangnya barang itu bukan karena kesalahan debitur dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Bahkan, sekalipun debitur lalai menyerahkan barang itu, misalnya terlambat, perikatan juga hapus jika debitur dapat membuktikan bahwa musnahnya barang itu disebabkan oleh suatu kejadian yang merupakan keadaan memaksa dan barang tersebut akan mengalami nasib yang sama meskipun sudah berada di tangan kreditur (Pasal 1444).
8) Pembatalan Perjanjian Kalau suatu perjanjian batal demi hukum, tidak ada perikatan hukum yang lahir karenanya. Oleh karena itu, tidak ada perikatan hukum yang hapus. Perjanjian yang tidak memenuhi syarat subyektif yaitu tidak ada kesepakatan atau tidak ada kecakapan mereka yang membuatnya dapat dibatalkan (Pasal 1446 jo 1320).
Kreditur dapat menuntut pembatalan perjanjian bilamana debitur melakukan wanprestasi (Pasal 1266) sebagaimana telah diuraikan. Apabila suatu perjanjian dibatalkan, akibat-akibat yang timbul dari perjanjian itu dikembalikan kepada keadaan semula (Pasal 1451 dan 1452). Pihak yang menuntut pembatalan dapat pula menuntut ganti rugi.
9) Berlakunya suatu syarat batal Dalam uraian tentang perikatan bersyarat telah dijelaskan bahwa perikatan bersyarat adalah perikatan yang lahirnya maupun berakhirnya (batalnya) digantungkan pada suatu peristiwa yang belum dan tidak akan terjadi. Apabila suatu perikatan yang lahirnya digantungkan kepada terjadinya peristiwa itu dinamakan perikatan dengan syarat tangguh. Sedangkan apabila suatu perikatan yang sudah ada yang berakhirnya digantungkan kepada peristiwa itu, perikatan tersebut dinamakan perikatan dengan syarat batal.
10) Daluwarsa Lewat waktu (daluwarsa) menurut Pasal 1946 BW adalah suatu sarana untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syaratsyarat yang ditentukan oleh undang-undang. Dalam Pasal 1967 B W ditentukan bahwa segala tuntutan hukum baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat pereorangan, hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu 30 Tahun.