Problem Intern Masyarakat Jakarta

B. Problem Intern Masyarakat Jakarta

Suku Betawi sebagai penduduk asli Jakarta mulai tersingkirkan oleh penduduk pendatang. Mereka keluar dari Jakarta dan pindah ke wilayah-wilayah yang ada di provinsi Jawa Barat dan provinsi Banten. Seiring dengan perkembangan zaman, kebudayaan Betawi mulai tersingkirkan oleh budaya lain baik dari Indonesia maupun budaya barat.

Problem intern masyarakat Jakarta dapat diartikan masalah yang timbul dari dalam masyarakat Jakarta. Masyarakat Betawi adalah penduduk asli Jakarta dengan ciri utamanya mempergunakan bahasa Betawi, sebagai bahasa ibu. Mereka tinggal dan berkembang di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. Konflik yang terjadi dalam masyarakat yang terdapat dalam novel Kronik Betawi yaitu mulai tergusurnya masyarakat Betawi asli akibat adanya kemajuan zaman. Masyarakat Betawi adalah penduduk asli yang bermukim di daerah ibukota

commit to user

Negara Indonesia, yaitu Jakarta. Perkembangan jaman yang semakin maju membuat masyarakat Betawi asli perlahan-lahan mulai tergusur.

Problem intern masyarakat Jakarta yang sampai sekarang belum mendapat penanganan secara maksimal oleh pemerintaah adalah masalah banjir. Banjir merupakan masalah yang setiap tahun muncul dalam kehidupan masyarakat Jakarta. Hal ini disebabkan karena berkurangnya lahan yang digunakan untuk resapan air hujan dan sistem pembuangan air hujan yang tidak dikelola dengan baik. Masalah banjir juga muncul dalam novel Kronik Betawi. Hal ini sesuai dengan kutipan berikut.

“Banjir! Salomah..Noh..Enoh…banjir! Jan.., bangun! Banjir!” teriaknya tidak dengan suara panik membangunkan istri dan anaknya, Enoh dan Fauzan. Teriakan yang agak beda dari biasanya, yang selalu mebangunkan dengan mengingatkan agar salat subuh segera didirikan sebelum matahari muncul di Timur. Sudah terlalu sering banjir menyapa rumahnya, ia tak lagi kaget (Ratih Kumala, 2009:2).

Konflik juga terjadi saat tanah yang ditinggali penduduk asli Betawi didatangi para pemborong yang mengaku dari utusan Sultan Agung untuk menjual tanah mereka. Tanah yang mereka tempati akan dibangun perkantoran dan hotel. Haji Jaelani dan warga Betawi merasa tanah yang mereka tempati berpuluh-puluh tahun adalah warisan dari nenek moyangnya. Mereka tidak mau dengan seenaknya digusur meskipun dijanjikan akan diberi perumahan. Mereka berhasil mempertahankan tanah mereka dari pemborong tersebut.Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut.

“Dengan kemurahan hati para keturunan Sultan Agung, tanah yang sudah terlanjur Bapak tempati, yang merupakan milik Kerajaan Mataram,” di kalimat terakhir ia memberi tekanan pada nada suaranya, “akan kami beli kembali,” sambung perlente yang sejak tadi berkicau dengan penuh percaya diri, diikuti sunggingan seutas senyum ala penjilat.

commit to user

Saya benar-benar naik pitam mendengar itu. Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba tanah keluarga turun temurun dibilang bukan milik?! (Ratih Kumala, 2009:89-90).

Tidak berselang lama sejak kejadian datangnya pemborong yang akan membeli tanah yang ditempati waga Betawi. Petugas Badan Otorita yang ditugaskan pemerintah mendatangi warga Betawi untuk menertibkan kawasan Kuningan untuk dibangun kawasan diplomatik. Pada mulanya Haji Jaelani dan warga Betawi lainnya tidak mau menerima tawaran dari pemerintahan. Mereka masih tetap ingin mempertahankan tanah yang selama ini mereka tinggali. Haji Jaelani dan warga Betawi lainnya akhirnya bersedia menjual tanah mereka kepada seorang pengusaha yang membelinya dengan harga tinggi dan bersedia memberikan tempat yang baru untuk sapi perah mereka

Tiga bulan kemudian, saya bersama kawan-kawan menerima pembayaran seperti yang kami minta, setelah mengikuti „program par tisipasi‟. Dari uang itu, kami mulai pindahan. Sejak mendengar „program partisipasi‟ itu, Salempang sudah rajin mengajak saya untuk

melihat-lihat tanah kalau-kalau saya jadi digusur. Sebidang tanah yang saya taksir saya dapat di daerah Ciganjur, dengan sebuah bangunan yang didirikan tahun tujuhpuluhan awal di atasnya. Saya beruntung mendapat pekarangan luas. Sedang untuk lahan ternak, pengembang berbaik hati menyediakan lahan relokasi untuk peternakan sapi perah di daerah Pondok Rangon (Ratih Kumala, 2009:104-105).

Konflik yang terjadi dalam novel Kronik Betawi tidak hanya seperti yang diuraikan di atas. Seiring dengan kemajuan kota Jakarta, sedikit demi sedikit warga yang berasal dari luar daerah mulai mendatangi ibukota Jakarta untuk mencari rejeki. Warga pendatang berharap mendapatkan uang yang banyak dengan bekerja di ibukota. Namun kenyataan berkata lain, mereka justru harus merasakan kepahitan hidup di kota besar. Mereka yang tidak mamapu menyewa rumah justru mendirikan lapak-lapak di sepanjang rel, di bantaran sungai, bahkan di taman kota. Hal ini sesuai dengan kutipan berikut.

commit to user

Heran, orang-orang itu bela-belain datang jauh-jauh ke Jakarta Cuma buat hidup berhimpit-himpitan. Apa betul hijrah ke Jakarta itu sama dengan memperbaiki nasib? Apa tidak sama saja susahnya dengan tinggal di kampung asal atau malah lebih susah? Saya tidak mengerti (Ratih Kumala, 2009:77).

Hal ini membuat Haji Jaelani merasa gusar karena keindahan dan kebersihan kota Jakarta mulai dirusak oleh kaum pendatang. Haji Jaelani semakin heran dengan pemerintah yang bersikap tidak adil terhadap warga Betawi. Warga Betawi yang sudah menempati tanahnya berpuluh-puluh tahun pada akhirnya tergusur, sedangkan warga pendatang yang seenaknya mendirikan bangunan liar di daerah perkotaan justru didiamkan. Hal ini sesuai dengan kutipan berikut.

Saya merasa ada yang salah dengan kota ini. Orang-orang yang menggusur kami adalah warga pendatang. Kenapa kami sampai bisa dikalahkan oleh warga pendatang? Saya merenung-renung sambil memandang ke atas, ke julang gedung-gedung yang berdiri sombong. Generasi beton yang melantahkan pepohonan. Kota ini panggung, dan kami ada di atasnya. Kota-kota lain adalah penontonnya, dan kami tidak sadar bahwa kami sudah berada di panggung sejak awal. Sedang orang- orang berlomba-lomba untuk naik ke panggung, menyingkirkan kami (Ratih Kumala, 2009:228).