BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Otonomi daerah di Indonesia lahir di tengah gejolak sosial yang sangat massif pada tahun 1999. Gejolak sosial tersebut didahului oleh krisis ekonomi yang
melanda Indonesia di sekitar tahun 1997. Runtuhnya pemerintahan orde baru pada tahun 1998, menimbulkan sejumlah permasalahan terkait dengan sistem
ketatanegaraan dan tuntutan daerah-daerah yang selama ini telah memberikan kontribusi yang besar dengan kekayaan alam yang dimilikinya. Eksploitasi kekayaan
alam di daerah tidak berbanding lurus dengan optimalisasi pelaksanaan pembangunan di daerah tersebut.
Sebagai respon dari krisis tersebut, pada reformasi dicanangkan suatu kebijakan restrukturisasi sistem pemerintahan, yaitu melaksanakan otonomi daerah
dan pengaturan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang
dilaksanakannya Otonomi Daerah di Indonesia diharapkan dapat menjadi solusi dari berbagai permasalahan. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pelaksanaan otonomi daerah juga ditandai dengan diberlakukannya UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Universitas Sumatera Utara
Daerah. Perimbangan keuangan tersebut tercermin dengan adanya dana perimbangan. Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari penerimaan
APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dengan adanya hak otonomi daerah yang disertai
perimbangan keuangan pusat-daerah, diharapkan tiap daerah mampu mengelola sumber daya yang dimilikinya untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan
masyarakatnya. Untuk mewujudkan otonomi daerah dan desentralisasi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab diperlukan manajemen keuangan daerah yang mampu
mengontrol kebijakan keuangan daerah secara ekonomis, efisien, efektif, transparan, dan akuntabel.
Pemberian otonomi daerah berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah, sehingga pemerintah daerah diberi kebebasan untu membuat rencana
keuangannya sendiri, menggali potensi yang dimiliki daerah, dan membuat kebijakan-kebijakan yang dapat menetukan kemajuan daerahnya. Potensi fiskal
pemerintah daerah yang satu dengan daerah yang lain sangat beragam, sehingga perbedaan ini menghasilkan tingkat perekonomian yang beragam juga. Pemberian
otonomi yang lebih besar akan memberikan dampak yang lebih besar bagi pertumbuhan ekonomi, hal ini mendorong pemerintah untuk mengalokasikan secara
efisien berbagai potensi lokal untuk kepentingan publik. Pertumbuhan ekonomi mendorong pemerintah daerah untuk melakukan pembangunan ekonomi dengan
mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan dengan
Universitas Sumatera Utara
masyarakat untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru yang akan mempengaruhi perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut Kuncoro , 2004.
Anggaran daerah dan pengelolaan keuangan daerah merupakan aspek penting dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi yang harus diatur
secara hati-hati, anggaran daerah digunakan pemerintah daerah sebagai pedoman operasional daerahnya. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah disebut Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah APBD, baik untuk propinsi maupun kabupaten dan kota Darwanto dan Yulia. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD
adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah di Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD.
Keberhasilan otonomi daerah dapat terlihat dari seberapa besar keberhasilan pemerintah dalam menyusun dan mengalokasikan sumber daya daerah dalam APBD.
Besar dan kecilnya dana yang tercantum dalam APBD akan mencerminkan peranan pemerintah dalam perekonomian dan pelayanan masyarakat suatu negara atau daerah
Halim, 2004. Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, daerah memiliki
kewenangan untuk menentukan alokasi sumber daya ke dalam belanja-belanja dengan menganut asas kepatutan, kebutuhan, dan kemampuan daerah. Pemerintah
daerah mengalokasikan dana dalam bentuk anggaran belanja modal dalam APBD untuk meningkatkan aset tetap seperti infrastruktur dan peralatan yang sangat penting
untuk meningkatkan produktivitas perekonomian karena semakin tinggi belanja
Universitas Sumatera Utara
modal semakin tinggi pula produktivitas perekonomian. Alokasi belanja modal ini juga didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk
kelancaran pelaksanaan tugas pemerintah maupun untuk fasilitas publik. Dengan adanya desentralisasi fiskal pemerintah daerah diberi kewenangan
untuk menggali potensi yang dimiliki sebagai sumber pendapatan daerah untuk membiayai pengeluaran daerah dalam rangka pelayanan publik. Berdasarkan
Undang-Undang No.32 Tahun 2004, salah satu sumber pendapatan daerah adalah Pendapatan Asli Daerah PAD yang terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi
daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah. Undang-Undang No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat Dengan Daerah mengamanatkan bahwa pemerintah daerah dapat meningkatkan pendapatan asli daerahnya sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku. Pada prinsipnya kebijakan desentralisasi
fiskal mengharapkan ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat berkurang, sehingga dapat dicapai
kemandirian daerah sebagaimana tercapainya tujuan otonomi itu sendiri. Pendapatan asli daerah dalam memenuhi alokasi dana untuk belanja daerah seharusnya menjadi
sumber dana utama untuk menjalankan pembangunan daerahnya, namun pada kenyataannya pemerintah daerah belum mampu mengoptimalkan potensi daerahnya
untuk menggali sumber pendapatan daerah. Pemerintah daerah masih bergantung terhadap bantuan pusat dalam menjalankan pemerintahan, ini berarti bahwa daerah
Universitas Sumatera Utara
otonom belum sepenuhnya berhasil menjalankan tugasnya sebagai daerah otonomi. Setiap daerah mempunyai kemampuan keuangan yang berbeda dalam
mendanai kegiatan-kegiatannya, hal ini menimbulkan ketimpangan fiskal antara satu daerah dengan daerah lainnya. Untuk mengatasi ketimpangan fiskal ini, dalam
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa untuk pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah, pemerintah pusat akan mentransfer Dana
Perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum DAU, Dana Alokasi Khusus DAK, dan bagian daerah dari Dana Bagi Hasil DBH yang terdiri dari pajak dan
sumber daya alam. DAU merupakan salah satu komponen dana terbesar yang diterima oleh
daerah. Dalam beberapa tahun berjalan, proporsi DAU terhadap penerimaan daerah masih yang tertinggi dibandingkan dengan penerimaan daerah yang lain termasuk
PAD Adi, 2006 : 4. Keadaan ini menunjukkan adanya ketergantungan fiskal yang cukup tinggi yaitu relatif rendahnya PAD dan dominannya transfer dari pusat.
Sehingga tujuan transfer dana dari pusat ke daerah adalah untuk mengatasi ketidakseimbangan struktur keuangan antar daerah Kuncoro, 2004 : 16.
Melihat fenomena yang terjadi, yaitu tidak seimbangnya struktur keuangan dan alokasi belanja modal yang belum sepenuhnya dapat terlaksana bagi
pertumbuhan kesejahteraan publik, karena pemerintah daerah lebih besar mengalokasikan sumber penerimaannya untuk membiayai belanja rutin yang relatif
bersifat konsumtif. Pengelolaan belanja daerah terutama belanja modal belum
Universitas Sumatera Utara
sepenuhnya berorientasi sektor publik, yang salah satunya disebabkan oleh pengelolaan belanja dan alokasi diarahkan untuk kepentingan golongan semata.
Keefer dan Khemani dalam Halim dan Abdullah, 2006 : 18 menyatakan bahwa adanya kepentingan poiltik dari lembaga legislatif yang terlibat dalam proses
penyusunan anggaran menyebabkan alokasi belanja modal terdistorsi dan sering tidak efektif dalam memecahkan masalah di masyarakat. Sedangkan menurut Pasal
66 UU No.33 Tahun 2004 menyatakan bahawa : “Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif,
transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan keadilan, kepatuhan, dan manfaat untuk masyarakat”. Undang-Undang tersebut mengisyaratkan kepada
pemerintah daerah untuk mengelola keuangan daerah terutama belanja modal secara efektif, efisien, dan ekonomis dengan tujuan akhir untuk meningkatkan pelayanan
masyarakat. Pernyataan ini sesuai dengan konsep multiterm expenditure framework MTEF yang disampaikan oleh Allen dan Tomnasi dalam Halim dan Abdullah,
2006 : 18 yang menyatakan bahwa kebijakan belanja modal harus memperhatikan kemanfaatan usefulness dan kemampuan keuangan pemerintah daerah budget
capability dalam pengelolaan asset tersebut dalam jangka panjang. Hal ini berarti bahwa dalam pengelolaan asset sangat terkait dengan belanja pemeliharaan maupun
sumber pendapatan. Berdasarkan uraian latar belakang diatas, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Dana Transfer Terhadap Belanja
Universitas Sumatera Utara
Modal pada KabupatenKota di Aceh, dalam skripsi yang berjudul: “Pengaruh Pendapatan Asli Daerah PAD Dan Dana Transfer Terhadap Belanja Modal
pada Kabupaten dan Kota Di Aceh ”.
Penelitian ini mengacu pada penelitian yang telah dilakukan oleh Gunawan Simanjuntak yaitu “ Pengaruh Transfer Pemerintah Pusat Terhadap Belanja Modal
Pemerintah KabupatenKota Di Sumatera Utara” dengan periode penelitian dari tahun 2005-2007 sedangkan peneliti sekarang meneliti “Pengaruh Pendapatan Asli
Daerah PAD Dan Dana Transfer Terhadap Belanja Modal pada Kabupaten dan Kota Di Aceh ” dengan menggunakan periode penelitian 2008-2010, dengan
menambahkan Pendapatan Asli Daerah PAD sebagai variabel independen dalam penelitian ini.
1.2 Rumusan Masalah