1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian.
Indonesia sebagai sebuah bangsa yang plural dan multikultur merupakan suatu hal yang unik. Keberagaman yang dimiliki bangsa Indonesia merupakan
unique experience dengan diwarnai berbagai macam persoalan konflik seperti sentiment identitas keagamaan sehingga meluruhkan k-Indonesiaan yang
mengisyaratkan adanya toleransi dan penghormatan terhadap pluralisme. Meskipun keberagaman merupakan salah satu elemen utama dari pondasi bangsa
Indonesia, namun cenderung mengarah terhadap ekslusivisme dalam beragama dimana telah terjadi dalam perkembangan bangsa Indonesia dari masa ke masa
seperti kasus gereja Yasmin di Bogor. l tersebut sesuai dengan pendapat Rozi 2010: 89 bahwa konflik yang terjadi di Indonesia sebagai negara yang plural
dari masa ke masa merupakan unix experience salah satunya karena sentimen agama sehingga melunturkan ke-Indonesiaan yang mengisyaratkan adanya
toleransi dan penghormatan terhadap pluralisme. Pancasila sebagai falsafah bangsa dan alat pemersatu bangsa Indonesia
yang beragama tertuang pada sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” terkandung nilai-nilai ketuhanan salahsatunya Tuhan menciptakan perbedaan
sehingga manusia wajib saling menghormati dan menghargai akan perbedaan dan pasal 29 UUD 45 tidak hanya memastikan bahwa masyarakat Indonesia adalah
religius, tetapi juga mengartikan bahwa setiap penduduk negeri ini mempunyai
kebebasan dalam memilih agama dan kepercayaan yang dianutnya. Pasal 29 ayat 1 dan ayat 2 UUD 1945 yang menetapkan bahwa “negara didasarkan pada
Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan “negara menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memilih agamanya sendiri dan beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu”. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Mahfud 2009: 1 bahwa
tidak ada pakar, ahli atau pembicara dalam seminar-seminar yang tidak meyakini atau menolak bahwa UUD 1945 pada dasarnya telah
mengakui dan memberikan jaminan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan karena secara eksplisit, soal kebebasan beragama telah jelas
dan tidak perlu diperdebatkan lagi karena telah diamanatkan oleh UUD 1945 yaitu pasal 28E dan Pasal 29 ayat 2 UUD 1945.
Pasal 28E dan Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 tegas menyatakan negara menjamin kebebasan beragama dan berkepercayaan. Bahkan, Pasal 28I UUD
1945 menegaskan kebebasan beragama tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Ketentuan-ketentuan ini menunjukkan konstitusi telah menjamin
kebebasan beragama sebagai prinsip yang sah. Hal ini mengimplikasikan suatu afirmasi nyata bahwa negara dalam kondisi apa pun, tidak boleh mengurangi hak
kebebasan beragama sebagai hak intrinsik setiap warga negara. Dari sudut ini, kebebasan beragama sudah absolutely clear.
Akan tetapi, kenyataan konflik antar kelompok warga negara, salah satunya adalah konflik antar umat beragama, selalu menghiasi perjalanan sejarah
bangsa negeri ini Kasus pelanggaran prinsip kebebasan beragama terus
bermunculan. Di tengah arus kencang demokratisasi, pemasungan kebebasan beragama justru makin marak. Aktualisasinya beragam, mulai dari ceramah atau
tulisan bernada menghujat kelompok tertentu, penutupan rumah ibadah, aksi
bersenjata, penyerbuan massal, intimidasi fisik dan psikologis, serta pemaksaan mengikuti aliran agama utama hingga terbitnya fatwa-fatwa keagamaan yang
justru dianggap intoleran. Konflik antar umat beragama di negeri ini telah terjadi sejak awal bangsa Indonesia terbentuk dan memproklamasikan kemerdekaannya.
Sejumlah penelitian menyimpulkan bahwa pluralitas agama di Indonesia justru lebih memerlihatkan ketegangan dan konflik, baik antara umat berbeda agama,
umat sesama penganut satu agama, antara agama resmi dan agama tidak resmi, maupun antara umat beragama dengan kekuatan-kekuatan di luar agama seperti
kekuatan adat-istiadat, politik, dan ekonomi. Munculnya gerakan separatis atas dasar sentiment keagamaan mulai
muncul setelah proklamasi misalnya, pada tahun 1949 berdiri organisasi Darul IslamTentara Islam Indonesia selanjutnya disingkat: DITII di bawah pimpinan
Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo yang dilandasi semangat keagamaan di Aceh dan Jawa Barat hendak memperjuangkan berdirinya negara Islam yang
menjalankan seluruh aspek ajaran dan hukum Islam merupakan contoh konflik agama di masa lalu, meskipun beberapa peneliti seperti Nazarudin 1990; 272-
305, Abdul Rachman Patji dkk 2004:39-46 dan Aguswandi 2005:25-28 mengategori fenomena itu sebagai konflik politik daerah-pusat. Selain itu,
menurut Rozi 2010: 90 kasus DITII karena perdebatan ideologi negara yaitu Islam dan kebangsaan sehingga memicu bangkitnya sebuah alternative
kebangsaan yang tidak hanya dilandasi oleh semangat sepenanggungan sebagai bangsa terjajah, namun juga semangat persaudaraan dalam keagamaan. Menyusul
kemudian gerakan DITII di Sulawesi Selatan awal tahun 1960-an yang meskipun
berwajah politik tetapi tidak sedikit muslim tradisional terbunuh dan simbol- simbol keislaman setempat dibasmi oleh pasukan Kahar Muzakar, sang pemimpin
gerakan tersebut. Konflik Islam-Kristen di Aceh dan Tanah Toraja Sulawesi Selatan tahun 1950-an; konflik Kaharingan dengan Islam Banjar di Kalimantan
Selatan yang berujung pada tuntutan pendirian provinsi tersendiri menjadi Kalimantan Tengah di tahun 1952-1956; konflik dengan orang-orang Tionghoa
di Jawa Barat tahun 1959-1960 dan konflik serupa yang berlanjut pengusiran terhadap minoritas etnik itu di Aceh pada tahun 1966 dan di Jawa Timur pada
tahun 1967; dan ketegangan-ketegangan akhir 1960-an akibat reaksi kaum muslim terhadap peningkatan jumlah jemaah gereja di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan
Sumatera Utara merupakan contoh konflik agama di masa lalu berikutnya. Beberapa sejarawan sepakat bahwa meskipun faktor ekonomi dan politik sangat
terkait, namun konflik dan pengusiran Cina di tahun-tahun 1950-1960 an tersebut sangat dipengaruhi oleh keberatan-keberatan kaum muslim terhadap agama
Tionghoa, Konghucu yang waktu belum termasuk agama yang diakui negara agama ini memperoleh pengakuan resmi pada tahun 2000 atas prakarsa Presiden
Abdurrahman Wahid. Konflik yang paling dramatis dan massif, walaupun lebih berwajah politik, adalah pembasmian para pengikut komunis 1965 yang dianggap
anti-agama atheis. Di masa Orde Baru, konflik antar umat beragama, seperti kita saksikan
bersama, memang relatif menurun frekuensinya dibanding masa-masa sebelum dan sesudahnya, karena setiap bentuk artikulasi gerak sosial dan kebudayaan yang
dianggap menyimpang selalu dihadapi dengan represi militer. Kasus-kasus seperti
Tanjungpriuk dan Lampung di tahun 80-an, dan munculnya gerakan-gerakan Islam radikal yang waktu itu dikenal sebagai gerakan sempalan di beberapa kota
besar Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Yogyakarta menunjukkan bahwa konflik di negeri ini tidak pernah reda dalam sistem politik dan di bawah kepemimpinan
siapa pun. Pada tahun 1975, sejumlah kaum muslim di Jakarta dan Jawa Barat resah dan bereaksi keras akibat beredarnya pamphlet yang berisi nasihat “akan
datang keberuntungan besar bagi pemeluk Kristen berkat keberhasilan sejumlah tokoh agama itu menduduki jabatan-jabatan politik penting.” Meski tidak
melahirkan konflik fisik, keresahan dan reaksi tersebut jelas memerlihatkan betapa konflik berbasis agama muncul setiap saat bahkan ketika negara sangat
represif dan otoriter. Selain itu, kasus DITII ketika persoalan nation building memberikan alternative untuk mewujudkan negara kebangsaan sehingga timbul
penciptaan sebuah pemerintahaan dan perlawanan sejata karena perbedaan ideologi negara yang dipakai dimana DITII mengingikan negara Islam yaitu
kebangsaan dalam beragama. Di masa reformasi yang bergulir sejak Mei 1998, konflik antar umat
beragama di Indonesia semakin menunjukkan intensitasnya. Kupang dan Soe Nusa Tenggara Timur membara saat umat Kristen Timor konflik keras dengan
migran Buton-Bugis-Makassar yang Islam 1999, diiringi konflik yang sama di Ambon antara Kristen Ambon versus muslim Buton-Bugis-Makassar 1999.
Tahun 2001 konflik keras di Poso, Sulawesi Tengah, sejumlah gereja dibakar oleh sejumlah kaum muslim di Situbondo dan Tasikmalaya 2003-2004, para
penganut Ahmadiyah di kejar, disiksa, dikucilkan, dan tempat ibadahnya dibakar
di Lombok, Tasikmalaya, dan Bogor, dan Banten bahkan ajarannya ‘diharamkan’ oleh Majelis Ulama Indonesia MUI dan Departemen Agama sebagai
representasi negara 2005-2008. Konflik Yasmin Bogor yang menjadi fokus penelitian ini, merupakan
konflik antar umat berbeda agama karena inkonsistensi kebijakan pemerintah Bogor terhadap IMB gereja Yasmin. Sejak tahun 2006, sebagian kaum muslim
Kota Bogor, Jawa Barat “bertengkar” dengan jemaat Gereja Kristen Indonesia GKI yang melibatkan kekuatan politik formal pemerintah setempat. Konflik
yang lebih dikenal sebagai konflik Yasmin ini, berupa penggagalan pembangunan tempat ibadah Gereja Kristen Indonesia GKI di Jalan KH.
Abdullah bin Nuh, Kelurahan Curug Mekar, Bogor Barat, Kota Bogor oleh segolongan kaum muslim setempat. Pemerintah Kota Bogor sendiri dalam
menyikapi persoalan itu tampak mempunyai sikap dan kebijakan yang berubah- ubah. Pada 13 Juli 2006, melalui suratnya bermonor: 645.8-372 Tahun 2006, ia
menerbitkan Surat Izin Mendirikan Bangunan IMB gereja itu setelah memerhatikan surat-surat rekomendasi dari Dinas Lingkungan Hidup, Kantor
Pertanahan setempat, Dinas Tata Kota, Dinas Bina Marga, Dinas Pertamanan Kota, dan Dinas Lalu-lintas dan Angkutan Jalan Kota. Tetapi, demonstrasi dan
tekanan-tekanan politik kaum muslim setempat pada tahun 2008-2010 menyebabkan pemerintah Kota Bogor mencabut IMB tersebut, meski hal itu harus
berlawanan dengan keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, dan Mahkamah Agung yang tetap mengesahkan IMB
tersebut.
Konflik pun tidak mereda bahkan semakin memanas. Pihak GKI tetap menganggap mendirikan gereja di tempat itu sah dan mempunyai ketetapan
hukum, dan pencabutanpembatalan IMB oleh Wali Kota Bogor pada tahun 2008 menyalahi atau bertentangan dengan keputusan pengadilan dan Mahkamah
Agung. Para jemaat GKI sejak 11 April 2010 hingga penelitian ini berlangsung terpaksa harus melakukan kebaktian di trotoar depan lokasi gereja karena tempat
itu diblokade oleh aparat keamanan Kota Bogor. Bahkan mereka tetap berusaha mencari keadilan hukum hingga unjuk rasa di depan Istana Presiden yang
didukung oleh beberapa organisasi massa dari Islam. Sementara kaum muslim setempat yang memeroleh dukungan dari pemerintah dan sejumlah ulama Bogor
menganggap bahwa pencabutan IMB adalah kebijakan yang aspiratif dan benar, sehingga upaya pembangunan gereja GKI harus digagalkan.
Masyarakat Bogor, sebagaimana masyarakat Indonesia pada umumnya, adalah masyarakat majemuk, baik dari segi ekonomi, politik, kebudayaan seni
dan etnik, maupun dari segi agama, bahkan pluralitas agama sangat kompleks dalam arti tidak mudah menetapkan kategori tertentu terutama atas dasar
kemurnian dan keaslian terhadap setiap kesatuan beragama di negeri ini. Hampir setiap usaha identifikasi dan kategorisasi terhadap Islam Indonesia selalu
menemui kegagalan ketika ternyata Islam Indonesia tidak tunggal dan lebih menunjukkan variasi atau warna-warninya. Beatty 2001:2-3 mengakui “betapa
sulitnya menemukan totalitas, ketunggalan, dan keaslian dalam kehidupan muslim…”. Yang ada adalah kelonggaran, diversitas, dan keberbagian yang
berjalan secara dinamis. Islam, Protestan, Katholik, Hindu, Budha, dan Konghucu
merupakan agama resmi yang diakui negara. Akan tetapi tidak ada jaminan bahwa setiap agama resmi tersebut merupakan kesatuan tunggal homogen, sebaliknya
terdapat demikian banyak varian, aliran, madzhab, atau percabangan lain yang selalu menyertai perkembangannya.
Pengalaman Indonesia, konflik umat beragama lebih sering berawal dari posisi mayoritas. Kecenderungan kuat di banyak daerah untuk menegakkan
syariat Islam melalui regulasi setempat Peraturan DaerahPerda, sebuah penanaman benih konflik karena menimbulkan kekecewaan warga non muslim di
daerah bersangkutan, justru didasari oleh posisi dan keberadaaan mayoritas. Seperti munculnya sejumlah Perda syariat Islam di beberapa daerah seperti
Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Sumatera Barat, Jawa Barat, dan Nusa Tenggara Barat selalu didasari oleh argumentasi suara mayoritas penduduk yang
dengan demikian berarti regulasi tersebut tercipta melalui proses demokrasi prosedural.
Para elite politik sejak masa Orde Baru hingga sekarang yang didukung oleh para tokoh agama sendiri dan kebanyakan akademisi percaya bahwa konflik-
konflik agama tersebut lebih diakibatkan faktor utama oleh pemahaman dan penafsiran pemeluk agama itu sendiri yang ortodoks, radikal, eksklusif, dan tidak
toleran. Oleh karena itu, wacana toleransi kehidupan beragama sejak tahun 70-an hingga sekarang sangat menonjol mewarnai diskusi-diskusi bahkan menjadi
sesuatu ‘keharusan’ teologis dan politik dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan berbangsa di negeri ini. Mungkin terpengaruh oleh pandangan umum itu,
Garang 1985:144 secara eksplisit mempertanyakan apakah sebenarnya agama
itu sebagai pemersatu atau pemecah belah? Sebuah pertanyaan yang sesungguhnya telah lama dikemukakan oleh Geertz 1983:479-484 saat ia
melihat fenomena kehidupan kaum santri yang berhadapan dengan abangan dan priyayi di Mojokerto. Menyadari bahwa konflik antar umat beragama adalah
persoalan serius, maka berbagai cara mengatasi resolusi nya terus-menerus dibangun baik oleh pemerintah maupun sejumlah pihak terutama pada tokoh
agama dan pemerhati sosial politik dan kebudayaan. Salah satu resolusi konflik melalui dialog antar umat beragama. Resolusi
yang digagas dan diprakarsai oleh Mukti Ali ketika menjabat sebagai Menteri Agama tahun 1971 itu berupa forum percakapan diskusi bebas yang diikuti oleh
sejumlah pemuka agama yang diakui resmi oleh negara Islam, Katholik, Protentan, Hindu, dan Budha. Bahkan selaku Menteri Agama, Mukti Ali sejak
saat itu memprogramkan dialog antar agama itu sebagai proyek resmi Departemen Agama yang bertajuk: Proyek Kerukunan Hidup Beragama. Alamsyah yang
menggantikan Mukti Ali sebagai Menteri Agama pada tahun 1978 meningkatkan proyek itu menjadi Proyek Pembinaan Kerukunan Hidup Umat Beragama dengan
tekanan pada musyawarah antar pemuka agama. Namun, penyelesaian konflik antar umat beragama dalam bentuk dialog kerukunan yang diprakarsai
Departemen Agama mendapat kritik dari sejumlah kalangan agamawan sendiri dan sejumlah pemerhati persoalan sosial keagamaan karena tidak pernah ada
evaluasi, dan tidak banyak membuahkan hasil serta proyek kerukunan di masa Orde Baru itu dituding pemuka Islam termasuk sejumlah kiai pesantren sebagai
rekayasa pemerintah untuk secara umum menjinakkan kaum beragama politisasi
agama yang hanya demi kepentingan rezim yang berkuasa. Oleh karena itu, resoluis konflik dengan forum kerukunan antar umat beragama tidak mampu
membendung kecenderungan konflik di kalangan umat beragama seperti implikasi di masa reformasi dimana konflik agama semakin menunjukkan intensitas dan
perluasannya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Effendi bahwa dialog kerukunan ala pemerintah tersebut akan melahirkan teologi kerukunan dan akan
menjamin kedamaian kehidupan beragama lebih permanen di negeri ini. Pengidentifikasi sebab-sebab konflik agama yang memusat pada cara-cara
beragama yang mengokohkan intoleransi perlu dilakukan karena bagaimana pun pemahaman dan penafsiran seseorang terhadap agamanya bukanlah sesuatu yang
independen melainkan sangat terkait dengan banyak hal terutama yang bersifat struktural. Seorang pemeluk agama yang paling taat sekalipun adalah juga pelaku
politik, ekonomi, dan kebudayaan, sehingga terlalu sulit memastikan apakah yang ia lakukan adalah benar-benar sikap atau tindakan murni agama; telah terjadi
simbiosis antara berbagai faktor agama, politik, ekonomi, dan kebudayaan dalam menentukan tindakan sosial tersebut.
Beberapa hasil penelitian mengenai konflik agama baik di masa Orde Baru maupun di masa reformasi menunjukkan betapa penting peran pemerintah baik
langsung maupun tidak langsung dalam hampir semua kasus konflik agama salama ini. Saidi dkk 2001; 1 - 20yang secara khusus menyoroti kebijakan
keagamaan Orde Baru melihat bahwa intervensi pemerintah yang berlebihan terhadap kehidupan keagamaan mengimplikasikan banyak hal, dua di antaranya
adalah, pertama, kekecewaan, ketidakpuasan, dan kemarahan sebagian kaum
beragama yang dalam konteks Islam kemudian melahirkan gerakan-gerakan radikal-fundamental-ekstrim yang di masa Orde Baru ditunjukkan oleh kasus-
kasus Tanjungpriuk, Lampung, dan sebangsanya. Kedua, ketidak-percayaan sebagian kaum muslim terhadap sistem kenegaraan yang dianggap tidak dapat
memberikan kesejahteraan dan keadilan yang merata sehingga mendorong mereka untuk mengidealisasi mengilusi Islam sebagai sesuatu yang kaffah dan alternatif
bagi penetaan kehidupan kenegaraan maupun kemasyarakatan di masa depan. Idealisasi Islam kaffah itu lalu menumbuhsuburkan puritanisasi dan ortodoksi
yang bagi sebagaian kaum muslim lain cenderung berlebihan dan mengancam kehidupan plural dan multicultural. Beberapa penelitian menunjukkan
kecenderungan semakin affirmatifnya masyarakat terhadap nilai-nilai keagamaan, dan bermuara pada munculnya gerakan deklarasi khilafah Islamiyah Negara
Islam oleh Hizbut Tahrir Indonesia HTI, FPI, dan Majlis Mujahidin Indonesia MMI di beberapa tempat akhir-akhir ini dan maraknya Perda syariat Islam di
banyak daerah seperti pemberlakuan syariat Islam di Aceh dan Sulawesi Selatan di satu sisi dan meluasnya penggerebekan sweeping terhadap tempat-tempat
yang dianggap maksiat termasuk penggerebekan terhadap pelaksanaan ritual-ritual tradisi, pembubaran sepihak terhadap Ahmadiyah dan aliran-aliran keagamaan
yang dianggap sesat di sisi yang lain adalah contoh bagaimana Islamisasi politik tersebut hendak direalisasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa kehidupan
keagamaan tidak hanya melingkupi wilayah cultural tetapi sudah ada dalam wilayah politik.
Memandang persoalan internal sebagai sumber konflik antar umat beragama memang mengabaikan banyak hal penting yang berpengaruh terhadap
munculnya konflik-konflik itu. Menurut hasil penelitian Badan Litbang Departemen Agama berasumsi bahwa dari konflik-konflik antar umat beragama
yang terjadi di Indonesia, hanya sekitar 20 yang benar-benar dimotivasi dan didorong oleh kondisi internal beragama, selebihnya lebih disebabkan oleh faktor-
faktor sosial politik, ekonomi, dan kebudayaan. Indonesianis seperti Esposito dan Woodward Effendy, 2007: 47-50, menegaskan bahwa “konflik agama tidaklah
murni persoalan agama teologi melainkan lebih merupakan persoalan ketidakadilan politik, ekonomi, dan kebudayaan”.
Asumsi itu paralel dengan pandangan umum bahwa sumber utama konflik-konflik horizontal dan vertikal seperti di Kalimantan, Maluku Utara,
Papua, dan perkelahian antar kampung adalah persoalan struktural, persoalan kewarganegaraan. Budimansyah 2008:27 menegaskan “bahwa konflik-konflik
yang terjadi di negeri ini baik agama maupun sosial pada dasarnya merupakan persoalan kewarganegaraan, persoalan kebijakan publik”. Seperti banyak ditulis
orang, antara lain Kalidjernih 2007:1-7 menyatakan bahwa Indonesia adalah satu negara yang memahami dan mempraktikkan
kewarganegaraan sebagai relasi vertikal warga citizen dan negara state yang diserap dari pandangan Hobbesian yang kemudian membentuk
negara integralistik yang lebih mirip dengan paham Jawa manunggaling kawula-gusti, dua konsep negara yang menekankan hubungan dekat antara
‘yang berdaulat’ elit politik atau negara dan warga pada umumnya common people dimana supremasi berada di tangan ‘yang berdaulat’.
Kebijakan-kebijakan politik, ekonomi, dan kebudayaan yang memusat
sentralistik, pada masa Orde Baru merupakan rezim politik yang berhasil
gemilang menerjemahkan konsep Hobbesian dan integralistik dalam arti di atas, dan diasumsikan menyumbangkan andil sangat besar terhadap konflik-konflik
vertikal maupun horizontal di masa sesudahnya hingga sekarang. Salah satu contoh adalah kecenderungannya yang berlebihan untuk menciptakan ketunggalan
dan keseragaman di bawah ‘jargon’ kesatuan dan persatuan yang oleh banyak pihak dipandang justru menutup kemungkinan ekspresi keberagaman. Ika, yang
menjadi tujuan utama pemerintah Orde Baru dan masih terkesan dipertahankan hingga sekarang, telah menutup berbagai kemungkinan artikulasi ke-bhinneka-an,
sehingga banyak kelompok sosial dan entitas budaya yang terpasung dan tertutup akses ruang publiknya. Dalam sebuah artikel tentang nasionalisme dan etnisitas,
Zainuri 2004:82-83 menyatakan bahwa “keterpecahan etnis di negeri ini terutama di masa Orde Baru antara lain karena pembangunan ekonomi yang lebih
menekankan pertumbuhan, bukan pemerataan”. Di luar faktor-faktor ketimpangan ekonomi, terdesaknya kebudayaan
setempat, proses demokrasi yang tersendat, dan tiadanya kapastian hukum sering disebut berperan penting dalam melahirkan konflik-konflik horizontal di Sambas
dan Sampit dua kasus yang sering dikaitkan dengan etnis.Namun, negara dengan kebijakan relokasi, transmigrasi, pembukaan Hak Pengelolaan Hutan HPH,
Hutan Tanaman Industri HTI, dan pertambangan sejak awal 70-an telah menyemai benih-benih konflik antara penduduk setempat dengan penduduk
migran yang akan meletus menunggu waktu proyek itu bagaikan menanam bom waktu. Menurut Marzali 2001:269-284 dan Piliang 2001:308-310, konflik di
kedua daerah di Kalimantan itu memang berwajah etnis, tetapi mereka
berkayakinan bahwa ia tidak mungkin dilepaskan dari kebijakan negara yang berujung pada marjinalisasi warga setempat Dayak dan Melayu baik di bidang
ekonomi, politik, maupun kebudayaan. Sejumlah peneliti tentang Dayak, seperti Maunati 2004, Riwut 2007, Widjono 1997, Djuweng 1996, Tsing 1996,
dan King 1985 menegaskan bahwa dengan kebijakan-kebijakan semasa Orde Baru, orang Dayak bukan saja telah terampas sumber-sumber ekonomi dan basis
ekologisnya, tetapi juga kehilangan agama dan kebudayaannya. Oleh sebab itu, seperti disimpulkan Marzali, konflik di Kalimantan merupakan akumulasi frustasi
orang Dayak atas berbagai masalah yang selama ini menimpa mereka, sebuah kesimpulan yang tidak berbeda dengan apa yang dirumuskan Kommisi Nasional
Hak Asasi Manusia Komnas HAM bahwa konflik Dayak-Madura adalah “akumulasi persoalan politik, ekonomi, dan kultural yang tidak ditangani secara
adil selama ini” Kompas, 7 Maret 2001. Sebab-sebab utama konflik termasuk konflik agama sehingga menjadi
persoalan politik kewarganegaraan, maka penyelesaian konfliknya bukan intervensi atau mediasi, melainkan dengan pendekatan regulasi dan
institusionalisasi. Pendekatan intervensi dapat diwujudkan dalam tiga bentuk: pertama, operasi militer seperti yang dilakukan untuk mengatasi konflik-konflik
Aceh DOM, Papua dan Timor Timur, Nipah untuk menghadapi petani di Madura 1992, Kajang Sulawesi Selatan 2005, dan Pasuruan 2007; kedua,
yang dilakukan dengan cara yang tidak represif-militeristik, yaitu: dengan menyebarkan dan mengembangkan pengetahuan kepada warga masyarakat
terutama yang terlibat konflik hegemoni; dan ketiga restrukturisasi birokrasi
dengan penempatan agent-agent elit penguasa negara di wilayah konflik. Selanjutnya, mediasi yang melibatkan pihak-pihak ketiga di luar yang berkonflik
untuk melahirkan kesepakatan bersama, termasuk dalam kategori ini adalah dialog kerukunan yang diproyeksikan untuk mengatasi konflik-konflik agama, yang
akhirnya hanyalah melahirkan penyelesaian semu. Berbeda dengan intervensi dan mediasi, pendekatan regulasi dan
institusionalisasi tidak terfokus pada konfliknya itu sendiri karena dalam pendekatan ini konflik sebagai bagian dari dinamika sosial mustahil dan tidak
perlu dihilangkan, sebaliknya ia lebih melihat jangka panjang yakni terbentuknya tatanan masyarakat yang lebih adil dan demokratis, civil society. Dengan
meregulasi dan menginstitusionalisasi, demikian Kriesberg 1982:7 menyatakan, konflik dapat dicegah untuk tidak melibatkan kekerasan, dan dalam
praktiknya, ada
konflik-konflik tertentu
yang terregulasi
dan terinstitusionalisasi seperti yang terjadi di dalam lembaga legislatif di
negera-negara maju sehingga para partisipannya tidak lagi menganggap diri mereka berkonflik.
Mengikuti pandangan itu, Lan dkk 2005:10 dan Aguswandi 2005:41-
48 memandang “perlunya elit politik di negeri ini memikirkan penyelesaian konflik dengan cara meregulasi dan menginstitusionalisasi konflik”. Dalam
konteks ini mereka mendesak agar civil society Lan dan masyarakat madani Aguswandi segera diwujudkan, jika kita memang tetap menginginkan persoalan
konflik yang melibatkan kekerasan dapat dicegah. Penyelesaian konflik, memang tidak hanya persoalan tindakan praktis,
tetapi juga pengetahuan teoritis terutama kaitannya dengan kewarganegaraan yang dinamis. Penyelesaian konflik tidak hanya berupa serangkaian aktivitas politik
melerai sebuah pertengkaran dan kekerasan sosial atau membuat kesepakatan- kesepakatan bersama di antara banyak pihak yang terkait terutama para pelaku
konflik, tetapi juga pemikiran, perumusan, dan perubahan sistem politik untuk menciptakan keadilan, keseimbangan hubungan vertikal-horizontal, dan
menegakkan kedaulatan bukan pada elit politik dan pemimpin negara melainkan pada rakyat kebanyakan. Oleh sebab itu, penyelesaian konflik bukan semata-mata
tugas dan tanggung jawab para politisi, birokrat, dan aparat penegak hukum, melainkan tugas dan tanggungjawab bersama termasuk para akademisi, pendidik,
dan warga masyarakat pada umumnya. Regulasi dan institusionalisasi konflik atau terbangunnya civil society
sebagai alternatif dari penyelesaian konflik seperti dimaksud di atas tidak hanya menyangkut soal regulasi yang disepakati bersama secara formal, tetapi juga
terkait dengan kesadaran yang tertanam di dalam diri setiap warga masyarakat secara lebih luas. Sebuah kesadaran tentang perlunya menghargai perbedaan dan
eksistensi orang
lain atau
dalam konsep
kebudayaan disebut
mengakuimenghormati “sang liyan” the others sebagai dasar terpenting dari sebuah kehidupan multikulturalmultietnik dan multiagama yang rukun dan
dinamis seperti yang diharapkan oleh konstitusi negara kita. Dalam konteks sosialisasi dan internalisasi kesadaran hidup bermasyarakat
dan berbangsa majemuk, peran pendidikan menjadi sangat penting salah satunya adalah PKn yang memuat materi tentang nilai toleransi dan kerukunan.
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan dasar penting bagi pembangunan karakter bangsa. Secara teoritik, PKn adalah media bagimana bentuk dan karakter
bangsa hendak diciptakan, dan melalui PKn-lah masa depan bangsa sesuai dengan cita-citanya dapat dijelang. Dalam konteks Indonesia yang majemuk, PKn
bertujuan untuk membentuk masyarakat yang penuh kesadaran akan kemajemukannya yaitu dengan nilai toleransi dan kerukunan, istilah yang paling
popular menyebut “masyarakat bhinneka tunggal ika”, bersatu dalam perbedaan atau keanekaragaman dalam kesatuan.
Pendidikan Kewarganegaraan adalah serangkaian aktivitas yang secara umum dapat didefinisikan sebagai upaya pembelajaran menyangkut hubungan
negara dan kenegaraan dengan warganya yang biasanya dikaitkan dengan hak dan kewajiban masing-masing negara dan warga negara. Pendidikan
Kewarganegaraan, seperti sering dinyatakan para ahli, bertujuan membina peserta didik untuk menjadi seorang warga negara yang baik, warga negara yang mampu
memahami dan melaksanakan dengan baik hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Seorang warga negara yang memiliki kepekaan dan tanggung jawab sosial
dan mampu memecahkan problem-problem diri dan masyarakatnya sesuai dengan fungsi dan peranannya, mempunyai sikap disiplin pribadi, mampu berpikir kritis,
kreatif, dan inovatif, mematuhi dan melaksanakan hukum dan perundang- undangan, serta mampu memelihara dan memanfaatkan lingkungannya secara
bertanggung jawab. Oleh karena itu, PKn sebagai salah satu wahana dalam melindungi bangsa majemuk dari kemungkinan terjadinya perpecahan, konflik,
penindasan, dan ketidak-adilan dengan penanaman nilai-nilai toleransi dan kerukunan.
Pendidikan Kewarganegaraan secara umum memusatkan perhatian pada pengkajian konsep dan proses demokrasi, hak asasi manusia, dan masyarakat
madani Tim ICCE, 2000:77 dapat dijadikan landasan bagi dikembangkannya model
penyelesaian konflik
umat beragama
melalui Pendidikan
Kewarganegaraan. Maftuh 2008:53 menjelaskan bahwa “salah satu tujuan penting pendidikan resolusi konflik adalah untuk mendidik dan melahirkan
generasi yang mampu memahami konflik secara lebih baik, mampu mengendalikan emosi, dan mempunyai keterampilan memecahkan konflik”.
Maftuh percaya bahwa pendidikan resolusi konflik adalah sejalan dengan apa yang telah digariskan UNESCO, tujuan pendidikan nasional, dan kebutuhan
bangsa Indonesia yang majemuk dan mendambakan perdamaian. Bahkan, dalam konteks semakin menjamurnya konflik sekarang ini, tidaklah berlebihan jika
dikatakan bahwa pendidikan resolusi konflik adalah mutlak diperlukan. Maftuh memerlihatkan bahwa pendidikan resolusi konflik bukan saja pentingnya
pendidikan konflik di pendidikan formal sekolah melainkan juga betapa pendidikan konflik itu justru memperluas dan memperkaya Pendidikan
Kewarganegaraan yang masih perlu didinamisasi. Pendidikan Kewarganegaraan berperan penting dalam membangun
karakter bangsa yang penuh kesadaran “hidup majemuk”. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Budimansyah 2008:7 mengungkapkan “betapa pentingnya
peran pendidikan yang diarahkan untuk mewujudkan kesadaran, toleransi, pemahaman, dan pengetahuan yang mempertimbangkan perbedaan kultural”.
Budimansyah memang tidak hanya mengalamatkan pendidikan itu pada
pendidikan formal sekolah melainkan juga pada pendidikan pada umumnya, termasuk pendidikan non-formal di tengah-tengah kehidupan masyarakat seperti
demokratisasi, penegakan hak-hak sipil dan politik, dan keadilan. Berdasarkan latar belakang pemikiran diatas, penulis tertarik melakukan
penelitian mengenai “Analisis Resolusi Konflik Antar Umat Beragama dalam Perspektif Pendidikan Kewarganegaraan Berbasis Masyarakat Studi
Konflik Antarumat Islam dengan Jamaat Yasmin di Kota Bogor Jawa Barat
”. B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dirumuskan masalah pokok dalam penelitian ini, yaitu: “Bagaimanakah analisis penyelesaian resolusi konflik
umat beragama melalui Pendidikan Kewarganegaraan berbasis masyarakat?”. Kemudian, dari masalah pokok tersebut dirumuskan masalah khusus
sebagai pertanyaan pokok dalam penelitian ini, sebagai berikut: 1.
Bagaimanakah pandangan dan sikap para informan terhadap konflik Yasmin di Bogor Jawa Barat yang mereka alami atau saksikan?
2. Bagaimanakah mereka memandang akar permasalahan atau faktor-faktor yang
menyebabkan konflik Yasmin di Bogor Jawa Barat terjadi? 3.
Bagaimanakah mereka memandang dan menyikapi resolusi konflik Yasmin di Bogor Jawa Barat yang dibangun oleh pemerintah, elite politik, dan pemimpin
agama Islam dan Kristen?
4. Apakah jaminan konstitusional keberagamaan di Indonesia dan efektivitasnya
mempunyai pengaruh terhadap upaya meresolusi konflik yang terjadi di Taman Yasmin Bogor Jawa Barat?
5. Bagaimanakah penyelesaian konflik Di Taman Yasmin berdasarkan perspektif
PKn?
C. Definisi Operasional