ANALISIS RESOLUSI KONFLIK ANTAR UMAT BERAGAMA DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN BERBASIS MASYARAKAT.

(1)

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PENGESAHAN ii PERNYATAAN iii KATA PENGANTAR iv UCAPAN TERIMA KASIH vi ABSTRAK ix

ABSTRACT x

DAFTAR ISI xi DAFTAR TABEL xiv DAFTAR BAGAN xv

DAFTAR LAMPIRAN xvi

BAB I PENDAHULUAN ……… 1

A. Latar Belakang Penelitian ……… 1

B. Rumusan Masalah ……… 19

C. Definisi Operasional ……….. 20

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……… 21

E. Metode Penelitian ……… 22

F. Subjek dan Lokasi Penelitian ……… 23

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……….. 26

A. Konflik dan Konflik Antar Umat Beragama ……… 26

B. Konsep Resolusi Konflik dan Mediasi ……….. 45


(2)

E. Jaminan Konstitusional Kebebasan Beragama dan Kerukunan Antar Umat

Beragama Di Indonesia ……… 63

F. Penelitian Terdahulu ……….. 68

BAB III METODE PENELITIAN ………. 75

A. Pendekatan, Metode dan Teknik Pengumpulan Data ………….. 75

B. Sumber Data ……….………. 81

C. Instrumen dan Teknik Pengupulan Data………... 83

D. Subjek dan Lokasi Penelitian……….………..……… 85

E. Teknik Analisa Data………. 86

F. Uji Validitas Data Penelitian………. 89

G. Tahap-Tahap Penelitian………..…….. 92

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN………... 94

A. Deskrispi Lokasi dan Hasil Penelitian ………. 94

1. Deskripsi Peristiwa Konflik Yasmin………..……….94

2. Yasmin dan Konflik Pendirian Tempat Ibadah Di Indonesia … 109 3. Peristiwa Yasmin Dalam Konteks Sejarah dan Perubahan Sosial Bogor ……… 118

B. Pembahasan Hasil Penelitian ………. 136

1. Analisia Pandangan dan Peran Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Konflik Yasmin dan Resolusinya ……….. 136

2. Analisis Konflik Yasmin dan Pengembangan Resolusi Konflik Melalui Pendidikan Kewarganegaraan ……… 178


(3)

B. Rekomendasi ………. 181

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(4)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Penduduk Kota Bogor 2004-2008 ... 122 Tabel 4.2 Penduduk Kota Bogor Per Kecamatan Berbanding Luas Wilayah Tahun

2008 ... 122 Tabel 4.3 Penduduk Kota Bogor Manurut Agama yang Dianut 2003-2008 . 123 Tabel 4.4 Penduduk Kota Bogor Menurut Agama yang Dianut Per Kecamatan Tahun


(5)

(6)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian.

Indonesia sebagai sebuah bangsa yang plural dan multikultur merupakan suatu hal yang unik. Keberagaman yang dimiliki bangsa Indonesia merupakan unique experience dengan diwarnai berbagai macam persoalan konflik seperti sentiment identitas keagamaan sehingga meluruhkan k-Indonesiaan yang mengisyaratkan adanya toleransi dan penghormatan terhadap pluralisme. Meskipun keberagaman merupakan salah satu elemen utama dari pondasi bangsa Indonesia, namun cenderung mengarah terhadap ekslusivisme dalam beragama dimana telah terjadi dalam perkembangan bangsa Indonesia dari masa ke masa seperti kasus gereja Yasmin di Bogor. l tersebut sesuai dengan pendapat Rozi (2010: 89) bahwa konflik yang terjadi di Indonesia sebagai negara yang plural dari masa ke masa merupakan unix experience salah satunya karena sentimen agama sehingga melunturkan ke-Indonesiaan yang mengisyaratkan adanya toleransi dan penghormatan terhadap pluralisme.

Pancasila sebagai falsafah bangsa dan alat pemersatu bangsa Indonesia yang beragama tertuang pada sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” terkandung nilai-nilai ketuhanan salahsatunya Tuhan menciptakan perbedaan sehingga manusia wajib saling menghormati dan menghargai akan perbedaan dan pasal 29 (UUD 45) tidak hanya memastikan bahwa masyarakat Indonesia adalah religius, tetapi juga mengartikan bahwa setiap penduduk negeri ini mempunyai


(7)

kebebasan dalam memilih agama dan kepercayaan yang dianutnya. Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 yang menetapkan bahwa “negara didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan “negara menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memilih agamanya sendiri dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Mahfud ( 2009: 1) bahwa

tidak ada pakar, ahli atau pembicara dalam seminar-seminar yang tidak meyakini atau menolak bahwa UUD 1945 pada dasarnya telah mengakui dan memberikan jaminan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan karena secara eksplisit, soal kebebasan beragama telah jelas dan tidak perlu diperdebatkan lagi karena telah diamanatkan oleh UUD 1945 yaitu pasal 28E dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.

Pasal 28E dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 tegas menyatakan negara menjamin kebebasan beragama dan berkepercayaan. Bahkan, Pasal 28I UUD 1945 menegaskan kebebasan beragama tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Ketentuan-ketentuan ini menunjukkan konstitusi telah menjamin kebebasan beragama sebagai prinsip yang sah. Hal ini mengimplikasikan suatu afirmasi nyata bahwa negara dalam kondisi apa pun, tidak boleh mengurangi hak kebebasan beragama sebagai hak intrinsik setiap warga negara. Dari sudut ini, kebebasan beragama sudah absolutely clear.

Akan tetapi, kenyataan konflik antar kelompok warga negara, salah satunya adalah konflik antar umat beragama, selalu menghiasi perjalanan sejarah bangsa negeri ini Kasus pelanggaran prinsip kebebasan beragama terus bermunculan. Di tengah arus kencang demokratisasi, pemasungan kebebasan beragama justru makin marak. Aktualisasinya beragam, mulai dari ceramah atau tulisan bernada menghujat kelompok tertentu, penutupan rumah ibadah, aksi


(8)

bersenjata, penyerbuan massal, intimidasi fisik dan psikologis, serta pemaksaan mengikuti aliran agama utama hingga terbitnya fatwa-fatwa keagamaan yang justru dianggap intoleran. Konflik antar umat beragama di negeri ini telah terjadi sejak awal bangsa Indonesia terbentuk dan memproklamasikan kemerdekaannya. Sejumlah penelitian menyimpulkan bahwa pluralitas agama di Indonesia justru lebih memerlihatkan ketegangan dan konflik, baik antara umat berbeda agama, umat sesama penganut satu agama, antara agama resmi dan agama tidak resmi, maupun antara umat beragama dengan kekuatan-kekuatan di luar agama seperti kekuatan adat-istiadat, politik, dan ekonomi.

Munculnya gerakan separatis atas dasar sentiment keagamaan mulai muncul setelah proklamasi misalnya, pada tahun 1949 berdiri organisasi Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (selanjutnya disingkat: DI/TII) di bawah pimpinan Sekarmadji Maridjan (Kartosuwiryo) yang dilandasi semangat keagamaan di Aceh dan Jawa Barat hendak memperjuangkan berdirinya negara Islam yang menjalankan seluruh aspek ajaran dan hukum Islam merupakan contoh konflik agama di masa lalu, meskipun beberapa peneliti seperti Nazarudin (1990; 272-305), Abdul Rachman Patji dkk (2004:39-46) dan Aguswandi (2005:25-28) mengategori fenomena itu sebagai konflik politik daerah-pusat. Selain itu, menurut Rozi (2010: 90) kasus DI/TII karena perdebatan ideologi negara yaitu Islam dan kebangsaan sehingga memicu bangkitnya sebuah alternative kebangsaan yang tidak hanya dilandasi oleh semangat sepenanggungan sebagai bangsa terjajah, namun juga semangat persaudaraan dalam keagamaan. Menyusul kemudian gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan awal tahun 1960-an yang meskipun


(9)

berwajah politik tetapi tidak sedikit muslim tradisional terbunuh dan simbol-simbol keislaman setempat dibasmi oleh pasukan Kahar Muzakar, sang pemimpin gerakan tersebut. Konflik Islam-Kristen di Aceh dan Tanah Toraja Sulawesi Selatan tahun 1950-an; konflik Kaharingan dengan Islam Banjar di Kalimantan Selatan yang berujung pada tuntutan pendirian provinsi tersendiri (menjadi Kalimantan Tengah) di tahun 1952-1956; konflik dengan orang-orang Tionghoa di Jawa Barat tahun 1959-1960 dan konflik serupa yang berlanjut pengusiran terhadap minoritas etnik itu di Aceh pada tahun 1966 dan di Jawa Timur pada tahun 1967; dan ketegangan-ketegangan akhir 1960-an akibat reaksi kaum muslim terhadap peningkatan jumlah jemaah gereja di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sumatera Utara merupakan contoh konflik agama di masa lalu berikutnya. Beberapa sejarawan sepakat bahwa meskipun faktor ekonomi dan politik sangat terkait, namun konflik dan pengusiran Cina di tahun-tahun 1950-1960 an tersebut sangat dipengaruhi oleh keberatan-keberatan kaum muslim terhadap agama Tionghoa, Konghucu yang waktu belum termasuk agama yang diakui negara (agama ini memperoleh pengakuan resmi pada tahun 2000 atas prakarsa Presiden Abdurrahman Wahid). Konflik yang paling dramatis dan massif, walaupun lebih berwajah politik, adalah pembasmian para pengikut komunis 1965 yang dianggap anti-agama (atheis).

Di masa Orde Baru, konflik antar umat beragama, seperti kita saksikan bersama, memang relatif menurun frekuensinya dibanding masa-masa sebelum dan sesudahnya, karena setiap bentuk artikulasi gerak sosial dan kebudayaan yang dianggap menyimpang selalu dihadapi dengan represi militer. Kasus-kasus seperti


(10)

Tanjungpriuk dan Lampung di tahun 80-an, dan munculnya gerakan-gerakan Islam radikal yang waktu itu dikenal sebagai gerakan sempalan di beberapa kota besar (Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Yogyakarta) menunjukkan bahwa konflik di negeri ini tidak pernah reda dalam sistem politik dan di bawah kepemimpinan siapa pun. Pada tahun 1975, sejumlah kaum muslim di Jakarta dan Jawa Barat resah dan bereaksi keras akibat beredarnya pamphlet yang berisi nasihat “akan datang keberuntungan besar bagi pemeluk Kristen berkat keberhasilan sejumlah tokoh agama itu menduduki jabatan-jabatan politik penting.” Meski tidak melahirkan konflik fisik, keresahan dan reaksi tersebut jelas memerlihatkan betapa konflik berbasis agama muncul setiap saat bahkan ketika negara sangat represif dan otoriter. Selain itu, kasus DI/TII ketika persoalan nation building memberikan alternative untuk mewujudkan negara kebangsaan sehingga timbul penciptaan sebuah pemerintahaan dan perlawanan sejata karena perbedaan ideologi negara yang dipakai dimana DI/TII mengingikan negara Islam yaitu kebangsaan dalam beragama.

Di masa reformasi yang bergulir sejak Mei 1998, konflik antar umat beragama di Indonesia semakin menunjukkan intensitasnya. Kupang dan Soe (Nusa Tenggara Timur) membara saat umat Kristen Timor konflik keras dengan migran Buton-Bugis-Makassar yang Islam (1999), diiringi konflik yang sama di Ambon antara Kristen Ambon versus muslim Buton-Bugis-Makassar (1999). Tahun 2001 konflik keras di Poso, Sulawesi Tengah, sejumlah gereja dibakar oleh sejumlah kaum muslim di Situbondo dan Tasikmalaya (2003-2004), para penganut Ahmadiyah di kejar, disiksa, dikucilkan, dan tempat ibadahnya dibakar


(11)

di Lombok, Tasikmalaya, dan Bogor, dan Banten bahkan ajarannya ‘diharamkan’ oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Departemen Agama sebagai representasi negara (2005-2008).

Konflik Yasmin Bogor yang menjadi fokus penelitian ini, merupakan konflik antar umat berbeda agama karena inkonsistensi kebijakan pemerintah Bogor terhadap IMB gereja Yasmin. Sejak tahun 2006, sebagian kaum muslim Kota Bogor, Jawa Barat “bertengkar” dengan jemaat Gereja Kristen Indonesia (GKI) yang melibatkan kekuatan politik formal (pemerintah setempat). Konflik yang lebih dikenal sebagai konflik Yasmin ini, berupa penggagalan pembangunan tempat ibadah Gereja Kristen Indonesia (GKI) di Jalan KH. Abdullah bin Nuh, Kelurahan Curug Mekar, Bogor Barat, Kota Bogor oleh segolongan kaum muslim setempat. Pemerintah Kota Bogor sendiri dalam menyikapi persoalan itu tampak mempunyai sikap dan kebijakan yang berubah-ubah. Pada 13 Juli 2006, melalui suratnya bermonor: 645.8-372 Tahun 2006, ia menerbitkan Surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) gereja itu setelah memerhatikan surat-surat rekomendasi dari Dinas Lingkungan Hidup, Kantor Pertanahan setempat, Dinas Tata Kota, Dinas Bina Marga, Dinas Pertamanan Kota, dan Dinas Lalu-lintas dan Angkutan Jalan Kota. Tetapi, demonstrasi dan tekanan-tekanan politik kaum muslim setempat pada tahun 2008-2010 menyebabkan pemerintah Kota Bogor mencabut IMB tersebut, meski hal itu harus berlawanan dengan keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, dan Mahkamah Agung yang tetap mengesahkan IMB tersebut.


(12)

Konflik pun tidak mereda bahkan semakin memanas. Pihak GKI tetap menganggap mendirikan gereja di tempat itu sah dan mempunyai ketetapan hukum, dan pencabutan/pembatalan IMB oleh Wali Kota Bogor pada tahun 2008 menyalahi atau bertentangan dengan keputusan pengadilan dan Mahkamah Agung. Para jemaat GKI sejak 11 April 2010 hingga penelitian ini berlangsung terpaksa harus melakukan kebaktian di trotoar depan lokasi gereja karena tempat itu diblokade oleh aparat keamanan Kota Bogor. Bahkan mereka tetap berusaha mencari keadilan hukum hingga unjuk rasa di depan Istana Presiden yang didukung oleh beberapa organisasi massa dari Islam. Sementara kaum muslim setempat yang memeroleh dukungan dari pemerintah dan sejumlah ulama Bogor menganggap bahwa pencabutan IMB adalah kebijakan yang aspiratif dan benar, sehingga upaya pembangunan gereja GKI harus digagalkan.

Masyarakat Bogor, sebagaimana masyarakat Indonesia pada umumnya, adalah masyarakat majemuk, baik dari segi ekonomi, politik, kebudayaan (seni dan etnik), maupun dari segi agama, bahkan pluralitas agama sangat kompleks dalam arti tidak mudah menetapkan kategori tertentu terutama atas dasar kemurnian dan keaslian terhadap setiap kesatuan beragama di negeri ini. Hampir setiap usaha identifikasi dan kategorisasi terhadap Islam Indonesia selalu menemui kegagalan ketika ternyata Islam Indonesia tidak tunggal dan lebih menunjukkan variasi atau warna-warninya. Beatty (2001:2-3) mengakui “betapa sulitnya menemukan totalitas, ketunggalan, dan keaslian dalam kehidupan muslim…”. Yang ada adalah kelonggaran, diversitas, dan keberbagian yang berjalan secara dinamis. Islam, Protestan, Katholik, Hindu, Budha, dan Konghucu


(13)

merupakan agama resmi yang diakui negara. Akan tetapi tidak ada jaminan bahwa setiap agama resmi tersebut merupakan kesatuan tunggal (homogen), sebaliknya terdapat demikian banyak varian, aliran, madzhab, atau percabangan lain yang selalu menyertai perkembangannya.

Pengalaman Indonesia, konflik umat beragama lebih sering berawal dari posisi mayoritas. Kecenderungan kuat di banyak daerah untuk menegakkan syariat Islam melalui regulasi setempat (Peraturan Daerah/Perda), sebuah penanaman benih konflik karena menimbulkan kekecewaan warga non muslim di daerah bersangkutan, justru didasari oleh posisi dan keberadaaan mayoritas. Seperti munculnya sejumlah Perda syariat Islam di beberapa daerah seperti Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Sumatera Barat, Jawa Barat, dan Nusa Tenggara Barat selalu didasari oleh argumentasi suara mayoritas penduduk yang dengan demikian berarti regulasi tersebut tercipta melalui proses demokrasi (prosedural).

Para elite politik sejak masa Orde Baru hingga sekarang yang didukung oleh para tokoh agama sendiri dan kebanyakan akademisi percaya bahwa konflik-konflik agama tersebut lebih diakibatkan (faktor utama) oleh pemahaman dan penafsiran pemeluk agama itu sendiri yang ortodoks, radikal, eksklusif, dan tidak toleran. Oleh karena itu, wacana toleransi kehidupan beragama sejak tahun 70-an hingga sekarang sangat menonjol mewarnai diskusi-diskusi bahkan menjadi sesuatu ‘keharusan’ teologis dan politik dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan berbangsa di negeri ini. Mungkin terpengaruh oleh pandangan umum itu, Garang (1985:144) secara eksplisit mempertanyakan apakah sebenarnya agama


(14)

itu sebagai pemersatu atau pemecah belah? Sebuah pertanyaan yang sesungguhnya telah lama dikemukakan oleh Geertz (1983:479-484) saat ia melihat fenomena kehidupan kaum santri yang berhadapan dengan abangan dan priyayi di Mojokerto. Menyadari bahwa konflik antar umat beragama adalah persoalan serius, maka berbagai cara mengatasi (resolusi) nya terus-menerus dibangun baik oleh pemerintah maupun sejumlah pihak terutama pada tokoh agama dan pemerhati sosial politik dan kebudayaan.

Salah satu resolusi konflik melalui dialog antar umat beragama. Resolusi yang digagas dan diprakarsai oleh Mukti Ali ketika menjabat sebagai Menteri Agama tahun 1971 itu berupa forum percakapan (diskusi) bebas yang diikuti oleh sejumlah pemuka agama yang diakui (resmi) oleh negara (Islam, Katholik, Protentan, Hindu, dan Budha). Bahkan selaku Menteri Agama, Mukti Ali sejak saat itu memprogramkan dialog antar agama itu sebagai proyek resmi Departemen Agama yang bertajuk: Proyek Kerukunan Hidup Beragama. Alamsyah yang menggantikan Mukti Ali sebagai Menteri Agama pada tahun 1978 meningkatkan proyek itu menjadi Proyek Pembinaan Kerukunan Hidup Umat Beragama dengan tekanan pada musyawarah antar pemuka agama. Namun, penyelesaian konflik antar umat beragama dalam bentuk dialog kerukunan yang diprakarsai Departemen Agama mendapat kritik dari sejumlah kalangan agamawan sendiri dan sejumlah pemerhati persoalan sosial keagamaan karena tidak pernah ada evaluasi, dan tidak banyak membuahkan hasil serta proyek kerukunan di masa Orde Baru itu dituding pemuka Islam termasuk sejumlah kiai pesantren sebagai rekayasa pemerintah untuk secara umum menjinakkan kaum beragama (politisasi


(15)

agama) yang hanya demi kepentingan rezim yang berkuasa. Oleh karena itu, resoluis konflik dengan forum kerukunan antar umat beragama tidak mampu membendung kecenderungan konflik di kalangan umat beragama seperti implikasi di masa reformasi dimana konflik agama semakin menunjukkan intensitas dan perluasannya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Effendi bahwa dialog kerukunan ala pemerintah tersebut akan melahirkan teologi kerukunan dan akan menjamin kedamaian kehidupan beragama lebih permanen di negeri ini.

Pengidentifikasi sebab-sebab konflik agama yang memusat pada cara-cara beragama yang mengokohkan intoleransi perlu dilakukan karena bagaimana pun pemahaman dan penafsiran seseorang terhadap agamanya bukanlah sesuatu yang independen melainkan sangat terkait dengan banyak hal terutama yang bersifat struktural. Seorang pemeluk agama yang paling taat sekalipun adalah juga pelaku politik, ekonomi, dan kebudayaan, sehingga terlalu sulit memastikan apakah yang ia lakukan adalah benar-benar sikap atau tindakan murni agama; telah terjadi simbiosis antara berbagai faktor (agama, politik, ekonomi, dan kebudayaan) dalam menentukan tindakan sosial tersebut.

Beberapa hasil penelitian mengenai konflik agama baik di masa Orde Baru maupun di masa reformasi menunjukkan betapa penting peran pemerintah baik langsung maupun tidak langsung dalam hampir semua kasus konflik agama salama ini. Saidi dkk (2001; 1 - 20)yang secara khusus menyoroti kebijakan keagamaan Orde Baru melihat bahwa intervensi pemerintah yang berlebihan terhadap kehidupan keagamaan mengimplikasikan banyak hal, dua di antaranya adalah, pertama, kekecewaan, ketidakpuasan, dan kemarahan sebagian kaum


(16)

beragama yang dalam konteks Islam kemudian melahirkan gerakan-gerakan radikal-fundamental-ekstrim yang di masa Orde Baru ditunjukkan oleh kasus-kasus Tanjungpriuk, Lampung, dan sebangsanya. Kedua, ketidak-percayaan sebagian kaum muslim terhadap sistem kenegaraan yang dianggap tidak dapat memberikan kesejahteraan dan keadilan yang merata sehingga mendorong mereka untuk mengidealisasi (mengilusi) Islam sebagai sesuatu yang kaffah dan alternatif bagi penetaan kehidupan kenegaraan maupun kemasyarakatan di masa depan. Idealisasi Islam kaffah itu lalu menumbuhsuburkan puritanisasi dan ortodoksi yang bagi sebagaian kaum muslim lain cenderung berlebihan dan mengancam kehidupan plural dan multicultural. Beberapa penelitian menunjukkan kecenderungan semakin affirmatifnya masyarakat terhadap nilai-nilai keagamaan, dan bermuara pada munculnya gerakan deklarasi khilafah Islamiyah (Negara Islam) oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), FPI, dan Majlis Mujahidin Indonesia (MMI) di beberapa tempat akhir-akhir ini dan maraknya Perda syariat Islam di banyak daerah (seperti pemberlakuan syariat Islam di Aceh dan Sulawesi Selatan) di satu sisi dan meluasnya penggerebekan (sweeping) terhadap tempat-tempat yang dianggap maksiat termasuk penggerebekan terhadap pelaksanaan ritual-ritual tradisi, pembubaran sepihak terhadap Ahmadiyah dan aliran-aliran keagamaan yang dianggap sesat di sisi yang lain adalah contoh bagaimana Islamisasi politik tersebut hendak direalisasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa kehidupan keagamaan tidak hanya melingkupi wilayah cultural tetapi sudah ada dalam wilayah politik.


(17)

Memandang persoalan internal sebagai sumber konflik antar umat beragama memang mengabaikan banyak hal penting yang berpengaruh terhadap munculnya konflik-konflik itu. Menurut hasil penelitian Badan Litbang Departemen Agama berasumsi bahwa dari konflik-konflik antar umat beragama yang terjadi di Indonesia, hanya sekitar 20 % yang benar-benar dimotivasi dan didorong oleh kondisi internal beragama, selebihnya lebih disebabkan oleh faktor-faktor sosial politik, ekonomi, dan kebudayaan. Indonesianis seperti Esposito dan Woodward (Effendy, 2007: 47-50), menegaskan bahwa “konflik agama tidaklah murni persoalan agama (teologi) melainkan lebih merupakan persoalan ketidakadilan politik, ekonomi, dan kebudayaan”.

Asumsi itu paralel dengan pandangan umum bahwa sumber utama konflik-konflik horizontal dan vertikal seperti di Kalimantan, Maluku Utara, Papua, dan perkelahian antar kampung adalah persoalan struktural, persoalan kewarganegaraan. Budimansyah (2008:27) menegaskan “bahwa konflik-konflik yang terjadi di negeri ini baik agama maupun sosial pada dasarnya merupakan persoalan kewarganegaraan, persoalan kebijakan publik”. Seperti banyak ditulis orang, antara lain Kalidjernih (2007:1-7) menyatakan

bahwa Indonesia adalah satu negara yang memahami dan mempraktikkan kewarganegaraan sebagai relasi vertikal warga (citizen) dan negara (state) yang diserap dari pandangan Hobbesian yang kemudian membentuk negara integralistik yang lebih mirip dengan paham Jawa manunggaling kawula-gusti, dua konsep negara yang menekankan hubungan dekat antara ‘yang berdaulat’ (elit politik atau negara) dan warga pada umumnya (common people) dimana supremasi berada di tangan ‘yang berdaulat’. Kebijakan-kebijakan politik, ekonomi, dan kebudayaan yang memusat (sentralistik), pada masa Orde Baru merupakan rezim politik yang berhasil


(18)

gemilang menerjemahkan konsep Hobbesian dan integralistik dalam arti di atas, dan diasumsikan menyumbangkan andil sangat besar terhadap konflik-konflik vertikal maupun horizontal di masa sesudahnya hingga sekarang. Salah satu contoh adalah kecenderungannya yang berlebihan untuk menciptakan ketunggalan dan keseragaman di bawah ‘jargon’ kesatuan dan persatuan yang oleh banyak pihak dipandang justru menutup kemungkinan ekspresi keberagaman. Ika, yang menjadi tujuan utama pemerintah Orde Baru dan masih terkesan dipertahankan hingga sekarang, telah menutup berbagai kemungkinan artikulasi ke-bhinneka-an, sehingga banyak kelompok sosial dan entitas budaya yang terpasung dan tertutup akses ruang publiknya. Dalam sebuah artikel tentang nasionalisme dan etnisitas, Zainuri (2004:82-83) menyatakan bahwa “keterpecahan etnis di negeri ini terutama di masa Orde Baru antara lain karena pembangunan ekonomi yang lebih menekankan pertumbuhan, bukan pemerataan”.

Di luar faktor-faktor ketimpangan ekonomi, terdesaknya kebudayaan setempat, proses demokrasi yang tersendat, dan tiadanya kapastian hukum sering disebut berperan penting dalam melahirkan konflik-konflik horizontal di Sambas dan Sampit (dua kasus yang sering dikaitkan dengan etnis).Namun, negara dengan kebijakan relokasi, transmigrasi, pembukaan Hak Pengelolaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI), dan pertambangan sejak awal 70-an telah menyemai benih-benih konflik antara penduduk setempat dengan penduduk migran yang akan meletus menunggu waktu (proyek itu bagaikan menanam bom waktu). Menurut Marzali (2001:269-284) dan Piliang (2001:308-310), konflik di kedua daerah di Kalimantan itu memang berwajah etnis, tetapi mereka


(19)

berkayakinan bahwa ia tidak mungkin dilepaskan dari kebijakan negara yang berujung pada marjinalisasi warga setempat (Dayak dan Melayu) baik di bidang ekonomi, politik, maupun kebudayaan. Sejumlah peneliti tentang Dayak, seperti Maunati (2004), Riwut (2007), Widjono (1997), Djuweng (1996), Tsing (1996), dan King (1985) menegaskan bahwa dengan kebijakan-kebijakan semasa Orde Baru, orang Dayak bukan saja telah terampas sumber-sumber ekonomi dan basis ekologisnya, tetapi juga kehilangan agama dan kebudayaannya. Oleh sebab itu, seperti disimpulkan Marzali, konflik di Kalimantan merupakan akumulasi frustasi orang Dayak atas berbagai masalah yang selama ini menimpa mereka, sebuah kesimpulan yang tidak berbeda dengan apa yang dirumuskan Kommisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bahwa konflik Dayak-Madura adalah “akumulasi persoalan politik, ekonomi, dan kultural yang tidak ditangani secara adil selama ini” (Kompas, 7 Maret 2001).

Sebab-sebab utama konflik termasuk konflik agama sehingga menjadi persoalan politik kewarganegaraan, maka penyelesaian konfliknya bukan intervensi atau mediasi, melainkan dengan pendekatan regulasi dan institusionalisasi. Pendekatan intervensi dapat diwujudkan dalam tiga bentuk: pertama, operasi militer seperti yang dilakukan untuk mengatasi konflik-konflik Aceh (DOM), Papua dan Timor Timur, Nipah untuk menghadapi petani di Madura (1992), Kajang Sulawesi Selatan (2005), dan Pasuruan (2007); kedua, yang dilakukan dengan cara yang tidak represif-militeristik, yaitu: dengan menyebarkan dan mengembangkan pengetahuan kepada warga masyarakat terutama yang terlibat konflik (hegemoni); dan ketiga restrukturisasi birokrasi


(20)

dengan penempatan agent-agent elit penguasa negara di wilayah konflik. Selanjutnya, mediasi yang melibatkan pihak-pihak ketiga di luar yang berkonflik untuk melahirkan kesepakatan bersama, termasuk dalam kategori ini adalah dialog kerukunan yang diproyeksikan untuk mengatasi konflik-konflik agama, yang akhirnya hanyalah melahirkan penyelesaian semu.

Berbeda dengan intervensi dan mediasi, pendekatan regulasi dan institusionalisasi tidak terfokus pada konfliknya itu sendiri karena dalam pendekatan ini konflik sebagai bagian dari dinamika sosial mustahil (dan tidak perlu) dihilangkan, sebaliknya ia lebih melihat jangka panjang yakni terbentuknya tatanan masyarakat yang lebih adil dan demokratis, civil society. Dengan meregulasi dan menginstitusionalisasi, demikian Kriesberg (1982:7) menyatakan, konflik dapat dicegah untuk tidak melibatkan kekerasan, dan dalam praktiknya, ada konflik-konflik tertentu yang terregulasi dan terinstitusionalisasi seperti yang terjadi di dalam lembaga legislatif di negera-negara maju sehingga para partisipannya tidak lagi menganggap diri mereka berkonflik.

Mengikuti pandangan itu, Lan dkk (2005:10) dan Aguswandi (2005:41-48) memandang “perlunya elit politik di negeri ini memikirkan penyelesaian konflik dengan cara meregulasi dan menginstitusionalisasi konflik”. Dalam konteks ini mereka mendesak agar civil society (Lan) dan masyarakat madani (Aguswandi) segera diwujudkan, jika kita memang tetap menginginkan persoalan konflik yang melibatkan kekerasan dapat dicegah.

Penyelesaian konflik, memang tidak hanya persoalan tindakan praktis, tetapi juga pengetahuan teoritis terutama kaitannya dengan kewarganegaraan yang dinamis. Penyelesaian konflik tidak hanya berupa serangkaian aktivitas politik


(21)

melerai sebuah pertengkaran dan kekerasan sosial atau membuat kesepakatan-kesepakatan bersama di antara banyak pihak yang terkait terutama para pelaku konflik, tetapi juga pemikiran, perumusan, dan perubahan sistem politik untuk menciptakan keadilan, keseimbangan hubungan vertikal-horizontal, dan menegakkan kedaulatan bukan pada elit politik dan pemimpin negara melainkan pada rakyat kebanyakan. Oleh sebab itu, penyelesaian konflik bukan semata-mata tugas dan tanggung jawab para politisi, birokrat, dan aparat penegak hukum, melainkan tugas dan tanggungjawab bersama termasuk para akademisi, pendidik, dan warga masyarakat pada umumnya.

Regulasi dan institusionalisasi konflik atau terbangunnya civil society sebagai alternatif dari penyelesaian konflik seperti dimaksud di atas tidak hanya menyangkut soal regulasi yang disepakati bersama secara formal, tetapi juga terkait dengan kesadaran yang tertanam di dalam diri setiap warga masyarakat secara lebih luas. Sebuah kesadaran tentang perlunya menghargai perbedaan dan eksistensi orang lain atau dalam konsep kebudayaan disebut mengakui/menghormati “sang liyan” (the others) sebagai dasar terpenting dari sebuah kehidupan multikultural/multietnik dan multiagama yang rukun dan dinamis seperti yang diharapkan oleh konstitusi negara kita.

Dalam konteks sosialisasi dan internalisasi kesadaran hidup bermasyarakat dan berbangsa majemuk, peran pendidikan menjadi sangat penting salah satunya adalah PKn yang memuat materi tentang nilai toleransi dan kerukunan. Pendidikan Kewarganegaraan merupakan dasar penting bagi pembangunan karakter bangsa. Secara teoritik, PKn adalah media bagimana bentuk dan karakter


(22)

bangsa hendak diciptakan, dan melalui PKn-lah masa depan bangsa sesuai dengan cita-citanya dapat dijelang. Dalam konteks Indonesia yang majemuk, PKn bertujuan untuk membentuk masyarakat yang penuh kesadaran akan kemajemukannya yaitu dengan nilai toleransi dan kerukunan, istilah yang paling popular menyebut “masyarakat bhinneka tunggal ika”, bersatu dalam perbedaan atau keanekaragaman dalam kesatuan.

Pendidikan Kewarganegaraan adalah serangkaian aktivitas yang secara umum dapat didefinisikan sebagai upaya pembelajaran menyangkut hubungan negara (dan kenegaraan) dengan warganya yang biasanya dikaitkan dengan hak dan kewajiban masing-masing (negara dan warga negara). Pendidikan Kewarganegaraan, seperti sering dinyatakan para ahli, bertujuan membina peserta didik untuk menjadi seorang warga negara yang baik, warga negara yang mampu memahami dan melaksanakan dengan baik hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Seorang warga negara yang memiliki kepekaan dan tanggung jawab sosial dan mampu memecahkan problem-problem diri dan masyarakatnya sesuai dengan fungsi dan peranannya, mempunyai sikap disiplin pribadi, mampu berpikir kritis, kreatif, dan inovatif, mematuhi dan melaksanakan hukum dan perundang-undangan, serta mampu memelihara dan memanfaatkan lingkungannya secara bertanggung jawab. Oleh karena itu, PKn sebagai salah satu wahana dalam melindungi bangsa majemuk dari kemungkinan terjadinya perpecahan, konflik, penindasan, dan ketidak-adilan dengan penanaman nilai-nilai toleransi dan kerukunan.


(23)

Pendidikan Kewarganegaraan secara umum memusatkan perhatian pada pengkajian konsep dan proses demokrasi, hak asasi manusia, dan masyarakat madani (Tim ICCE, 2000:77) dapat dijadikan landasan bagi dikembangkannya model penyelesaian konflik umat beragama melalui Pendidikan Kewarganegaraan. Maftuh (2008:53) menjelaskan bahwa “salah satu tujuan penting pendidikan resolusi konflik adalah untuk mendidik dan melahirkan generasi yang mampu memahami konflik secara lebih baik, mampu mengendalikan emosi, dan mempunyai keterampilan memecahkan konflik”. Maftuh percaya bahwa pendidikan resolusi konflik adalah sejalan dengan apa yang telah digariskan UNESCO, tujuan pendidikan nasional, dan kebutuhan bangsa Indonesia yang majemuk dan mendambakan perdamaian. Bahkan, dalam konteks semakin menjamurnya konflik sekarang ini, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa pendidikan resolusi konflik adalah mutlak diperlukan. Maftuh memerlihatkan bahwa pendidikan resolusi konflik bukan saja pentingnya pendidikan konflik di pendidikan formal (sekolah) melainkan juga betapa pendidikan konflik itu justru memperluas dan memperkaya Pendidikan Kewarganegaraan yang masih perlu didinamisasi.

Pendidikan Kewarganegaraan berperan penting dalam membangun karakter bangsa yang penuh kesadaran “hidup majemuk”. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Budimansyah (2008:7) mengungkapkan “betapa pentingnya peran pendidikan yang diarahkan untuk mewujudkan kesadaran, toleransi, pemahaman, dan pengetahuan yang mempertimbangkan perbedaan kultural”. Budimansyah memang tidak hanya mengalamatkan pendidikan itu pada


(24)

pendidikan formal (sekolah) melainkan juga pada pendidikan pada umumnya, termasuk pendidikan non-formal di tengah-tengah kehidupan masyarakat seperti demokratisasi, penegakan hak-hak sipil dan politik, dan keadilan.

Berdasarkan latar belakang pemikiran diatas, penulis tertarik melakukan penelitian mengenai “Analisis Resolusi Konflik Antar Umat Beragama dalam Perspektif Pendidikan Kewarganegaraan Berbasis Masyarakat (Studi Konflik Antarumat Islam dengan Jamaat Yasmin di Kota Bogor Jawa Barat)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dirumuskan masalah pokok dalam penelitian ini, yaitu: “Bagaimanakah analisis penyelesaian resolusi konflik umat beragama melalui Pendidikan Kewarganegaraan berbasis masyarakat?”.

Kemudian, dari masalah pokok tersebut dirumuskan masalah khusus sebagai pertanyaan pokok dalam penelitian ini, sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pandangan dan sikap para informan terhadap konflik Yasmin di Bogor Jawa Barat yang mereka alami atau saksikan?

2. Bagaimanakah mereka memandang akar permasalahan atau faktor-faktor yang menyebabkan konflik Yasmin di Bogor Jawa Barat terjadi?

3. Bagaimanakah mereka memandang dan menyikapi resolusi konflik Yasmin di Bogor Jawa Barat yang dibangun oleh pemerintah, elite politik, dan pemimpin agama (Islam dan Kristen)?


(25)

4. Apakah jaminan konstitusional keberagamaan di Indonesia dan efektivitasnya mempunyai pengaruh terhadap upaya meresolusi konflik yang terjadi di Taman Yasmin Bogor Jawa Barat?

5. Bagaimanakah penyelesaian konflik Di Taman Yasmin berdasarkan perspektif PKn?

C. Definisi Operasional 1. Resolusi Konflik

Resolusi konflik (conflict resolution)adalah upaya untuk menyelesaikan, mencegah, atau mengatasi konflik. Dalam menggunakan konsep resolusi konflik, penelitian ini mengacu pada Fisher dan kawan-kawan (2000:7) yang menegaskan bahwa, jika manajemen konflik bertujuan untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku yang positif bagi pihak-pihak yang berkonflik, maka resolusi konflik lebih terarah untuk menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru antara kelompok-kelompok yang berkonflik dalam jangka panjang.

2. Antar Umat Beragama

Dalam konteks konflik, antar umat beragama selalu dirumuskan sebagai konflik antar pemeluk satu agama seperti NU-Muhammadiyah, Sunni-mu’tazilah, Protestan-Katolik, atau kasus Ahmadiyah; konflik antar umat berbeda agama seperti Islam-Kristen, Bhuda-Hindu; konflik antar pemeluk agama resmi dengan agama lokal seperti Islam-Aliran Kepercayaan, Kristen-Parmalim (agama Batak); serta konflik antar pemeluk satu agama dengan kekuatan politik tertentu seperti negera (misalnya, NII, DI/TII). Antar umat beragama yang dimaksudkan dalam


(26)

penelitian ini adalah konflik antar umat berbeda agama, yakni antara umat Islam dengan jemaat Gereja Kristen Indonesia.

3. Pendidikan Kewarganegaraan Berbasis Masyarakat

Yang dimaksud Pendidikan Kewarganegaraan berbasis masyarakat dalam penelitian atau disertasi ini adalah proses penyadaran atau sosialisasi kewarganegaraan Indonesia yang majemuk dari segi ekonomi, politik, dan kebudayaan termasuk etnis dan agama yang berlangsung di tengah-tengah kehidupan masyarakat (di luar sekolah).

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk merumuskan analisa resolusi konflik antar umat beragama dalam perspektif pendidikan kewarganegaraan berbasis masyarakat (studi konflik antar umat beragama dengan jamaah yasmin kota bogor jawa barat). Sedangkan secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk: a. Mengetahui pandangan dan sikap para informan tentang konflik antar umat

beragama di Taman Yasmin di Bogor Jawa Barat yang mereka alami atau saksikan

b. Mengetahui pandangan mereka mengenai faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konflik Yasmin di Bogor Jawa Barat.

c. Mengetahui pandangan dan sikap mereka terhadap resolusi konflik Yasmin di Bogor Jawa Barat oleh berbagai pihak (pemerintah, politisi, dan elite agama).


(27)

d. Mengetahui pengaruh jaminan konstitusional keberagamaan di Indonesia terhadap penyelesaian konflik yang terjadi di Taman Yasmin di Bogor Jawa Barat.

e. Mengetahui penyelesaian konflik di Yasmin melalui perspektif Pendidikan Kewarganegaraan.

2. Manfaat Penelitian

Hingga saat ini belum ditemukan penelitian-penelitian tentang konflik antar umat beragama dengan perspektif Pendidikan Kewarganegaraan. Penelitian mengenai konflik antar umat beragama hampir seluruhnya menggunakan pendekatan teologis, ekonomi, dan politik, sehingga pendekatan Pendidikan Kewarganegaraan nyaris tidak kelihatan.

Dalam konteks kegunaan, penelitian ini diharapkan memiliki manfaat baik secara teoretik maupun praktis. Secara teoretik, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan model pengembangan resolusi konflik umat beragama yang hingga saat ini masih mengalami jalan buntu, disamping dapat melengkapi arkeologi pengetahuan tentang konflik antar umat beragama dan resolusinya. Sedangkan secara praktis, dengan pemahaman tersebut diatas, akan dapat dibangun koreksi, kritik, dan pertimbangan-pertimbangan baru untuk mengembangkan model penyelesaian konflik antar umat beragama berbasis Pendidikan Kewarganegaraan. E. Metode Penelitian

Penelitian ini mengunakan pendekatan kualitatif didasarkan pada dua alasan. Pertama, permasalahan yang dikaji dalam penelitian tentang resolusi konflik antarumat beragama membutuhkan sejumlah data lapangan yang sifatnya


(28)

aktual dan kontekstual. Kedua, pemilihan pendekatan ini didasarkan pada keterkaitan masalah yang dikaji dengan sejumlah data primer dari subjek penelitian yang tidak dapat dipisahkan dari latar alamiahnya.

Dipilihnya metode studi kasus dalam penelitian ini adalah karena konflik antar umat beragama begitu sering terjadi dengan setting yang berbeda-beda. Konflik antar umat beragama di Indonesia merupakan fenomena yang partikular-karakteristik dan memerlukan penjelasan yang lebih mendalam dan spesifik. Meski peneliti kasus biasanya mencari sesuatu yang umum dan khusus dari sebuah kasus, namun hasil akhirnya hampir selalu menyajikan sesuatu yang unik dan spesifik (Stoufer dalam Stake, 2009: 302).

Instrumen utama dalam penelitian adalah penulis sendiri yang terjun langsung ke lapangan untuk mencari informasi melalui observasi dan wawancara.Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik observasi, wawancara, dokumentasi dan literatur (Lincoln dan Denzin, 2009:495). Sementara itu, proses analisis data yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah reduksi data, display data, verifikasi dan penarikan kesimpulan (Miles dan Huberman, 1992: 16-18).

F. Subjek dan Lokasi Penelitian

Penelitian yang dilakukan ini tergolong penelitian kualitatif, maka subjek penelitian merupakan pihak-pihak yang menjadi sasaran penelitian atau sumber yang dapat memberikan informasi yang dipilih secara purposif bertalian dengan tujuan tertentu.Jadi lebih tepat memilih informan yang benar-benar memiliki pengalaman dan dia mampu mengartikulasikan pengalaman dan pandangannya


(29)

tentang sesuatu yang dipertanyakan. Informan yang terpilih dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Para pelaku konflik, mereka yang menyaksikan peristiwa konflik, dan mereka yang terlibat dalam penyusunan resolusi konflik, baik yang bertempat tinggal di kelurahan Curug Mekar maupun di luarnya.

2. Sejumlah ulama, pendeta, pemimpin organisasi massa Islam (NU, Muhamadiyah, Persis dan PUI), pemimpin jemaat GKI Yasmin, dan sejumlah tokoh masyarakat baik muslim maupun kristen di Bogor Barat, terutama yang terlibat dalam penyusunan resolusi konflik.

3. Sejumlah pejabat birokrasi pada pemerintah Kota Bogor, Kantor Kementerian Agama Kota Bogor, Kecamatan Bogor Barat, Kelurahan Curug Mekar, dan para aparat pemerintahan di tingkat RT dan RW yang berdekatan dengan lokasi gereja GKI Yasmin dibangun.

Kedua, sumber bahan cetak (kepustakaan) sebagai sumber sekunder yang yang tidak diperoleh dari informan maupun dari luar informan. Data sekunder diperlukan untuk memperkuat, melengkapi, atau menguji kebenaran data yang diperoleh dari informan. Sumber bahan cetak ini meliputi transkripsi/catatan hasil wawancara mendalam dengan para informan; dokumen tertulis berupa dokumen resmi negara, berupa surat keputusan, laporan-laporan, notulen rapat, transkripsi workshop/seminar/symposium, buku, makalah, artikel, klipping tentang konflik, resolusi konflik, dan Pendidikan Kewarganegaraan yang diperoleh dari surat kabar, majalah, jurnal, situs internet, baik yang terkoleksi di berbagai


(30)

perpustakaan, terjual di toko-toko buku maupun tersimpan/terdokumentasikan di kantor-kantor terkait.

Sedangkan yang menjadi lokasi dalam penelitian ini yaitu tempat ibadah Gereja Kristen Indonesia (GKI) di Jalan KH. Abdullah bin Nuh, Kelurahan Curug Mekar, Bogor Barat, Kota Bogor Jawa Barat.


(31)

76 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan, Metode, dan Teknik Pengumpulan Data 1. Pendekatan dan Metode Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian tentang bagaimana bagaimanakah analisis penyelesaian resolusi konflik antarumat beragama dalam perspektif Pendidikan Kewarganegaraan berbasis masyarakat adalah pendekatan penelitian kualitatif sesuai dengan masalah yang diteliti yaitu suatu pendekatan yang tidak menggunakan upaya kuantifikasi atau perhitungan-perhitungan statistik, melainkan lebih menekankan kepada kajian interpretatif. Hal ini sesuai dengan pendapat Vernon van Dyke(1965: 114) pada prinsipnya adalah ukuran-ukuran untuk memilih masalah-masalah dan data-data yang bertalian satu sama lainnya. Pendekatan kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini berimplikasi pada penggunaan ukuran-ukuran kualitatif secara konsisten, artinya dalam pengolahan data, sejak mereduksi, menyajikan dan memverifikasi dan menyimpulkan data tidak menggunakan perhitungan-perhitungan secara matematis dan statistik, melainkan lebih menekankan pada kajian interpretatif. Creswell (1998:15) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai berikut:

“Qualitative research is an inquiry process of understanding based on distinct methodological traditions of inquiry that explore a social or human problem. The researcher builds a complex, holistic picture, analyzes words, reports detailed views of informants, and conducts the study in a natural setting”.


(32)

Kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah proses penelitian untuk memahami berdasarkan tradisi metodologi penelitian tertentu dengan cara menyelidiki masalah sosial atau manusia. Peneliti membuat gambaran kompleks bersifat holistik, menganalisis kata-kata, melaporkan pandangan-pandangan para informan secara rinci, dan melakukan penelitian dalam situasi alamiah. Karakteristik pokok yang menjadi perhatian dalam penelitian kualitatif adalah kepedulian terhadap ”makna”. Dalam hal ini penelitian naturalistik tidak peduli terhadap persamaan dari obyek penelitian melainkan sebaliknya mengungkap tentang pandangan tentang kehidupan dari orang yang berbeda-beda. Pemikiran ini didasari pula oleh kenyataan bahwa makna yang ada dalam setiap orang berbeda-beda. Oleh karena itu, tidak mungkin untuk mengungkap kenyataan yang ada dalam diri orang yang unik itu menggunakan alat lain kecuali manusia sebagai instrumen.

Pilihan kualitatif tersebut mendorong penelitian ini untuk menggunakan pendekatan fenomenologi yang sering dipublikasikan memiliki semboyan “kembali kepada hal-hal itu sendiri” (Zuruch zu den sachen zelbs). Paradigma yang dibangun oleh kaum fenomenologis sendiri bahwa teori yang dipakai untuk menyatakan secara definitif suatu objek haruslah menurut pelaku sosial sebagai suatu realitas.

Fenomenologi, seperti yang banyak dipakai dalam penelitian kehidupan beragama di Indonesia termasuk konflik antarumat beragama, tidak berpretensi untuk menjelaskan tentang agama sebagai persoalan teologis, melainkan melihat agama sebagai fakta religious yang historis, sosiologis, dan psikologis, dan fakta


(33)

religious itu subjektif berupa pandangan, pikiran, perasaan, ide, emosi, kehendak, dan atau pengalaman/tindakan. Hal itu sangat relevan (sesuai) dengan fokus penelitian ini yang berupa pemikiran, pandangan, pengetahuan, dan sikap para informan tentang konflik antarumat beragama dan rumusan penyelesaian konflik antarumat beragama yang dipakai sebagai dasar terpenting dalam menganalisis penyelesaian konflik antarumat beragama dalam perspektif Pendidikan Kewarganegaraan berbasis masyarakat.

Fakta sosial dan religious baik berupa tatanan, pengalaman, maupun gagasan-pandangan, dalam pengertian fenomenologi adalah realitas subyektif yang berpusat pada para pelaku dan warga masyarakat atau informan yang menjelaskan tentang suatu peristiwa dimana fakta sosial itu menampakkan diri. Alfred Schutz, tokoh terpenting pendekatan fenomenologi, dengan dipengaruhi filosofEdmund Husserl, menegaskan bahwa bagaimanapun ilmu pengetahuan haruslah selalu berpijak pada yang eksperiensial, sesuatu yang bersifat pengalaman. Husserl sendiri berpendapat bahwa hubungan antara persepsi dengan objek-objeknya tidaklah pasif, karena itu kesadaran manusia secara aktif mengandung objek-objek pengalaman.

Pendekatan kualitatif dipandang sesuai dengan masalah penelitian ini dengan beberapa alasan:

1. Peneliti mencoba mengungkap dokumen terkait resolusi konflik yang telah dilakukan pada konflik Yasmin. Beberapa alasan menggunakan dokumen tersebut sebagaimana dikemukakan Guba & Lincoln dalam A. Chaedar Alwasilah (2003:156):


(34)

a. Dokumen merupakan sumber informasi yang lestari.

b. Dokumen merupakan bukti yang dapat dijadikan dasar untuk mempertahankan diri terhadap tuduhan atau kekeliruan interfrestasi. c. Dokumen itu sumber data alami, bukan hanya muncul dari konteknya, tetapi

juga menjelaskan kontek itu sendiri. d. Dokumen itu relatif mudah dan murah. e. Dokumen itu sumber data yang non-reaktif.

f. Dokumen berperan sebagai sumber pelengkap dan memperkaya bagi informasi yang diperoleh melalui interview atau observasi.

2. Penelitian ini berfokus pada analisis penyelesaian resolusi konflik antarumat beragamadalamperspektif Pendidikan Kewarganegaraan berbasis masyarakat pada konflik Yasmin di Bogor Jawa Barat. Penekanan kualitatif pada proses secara khusus memberi keuntungan dalam penelitian hal ini dapat terlihat dari performan masyarakat ataupun pra informan yang dapat dilihat dalam aktivis keseharian.

3. Penelitian ini mencoba mengungkap bagaimana analisis penyelesaian resolusi konflik antarumat beragama pada konflik Yasmin di Bogor Jawa Barat dalam perspektifPendidikan Kewarganegaraan berbasis masyarakat. Metode lebih merupakan alat, bukan tujuan dalam suatu penelitian (Supriadi dalam Alwasilah, 2009: 16).Oleh sebab itu metodologi adalah proses, prinsip-prinsip dan prosedur yang kita gunakan untuk mendekati masalah dan mencari jawaban (Bogdan dan Taylor dalam Mulyana, 2002:145).Pengertian ini menegaskan bahwa metodologi adalah suatu pendekatan umum untuk mengkaji


(35)

masalah penelitian.Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode studi kasus yang dibatasi oleh tempat, waktu dan peristiwa tertentu. Hal ini sejalan dengan Creswell (1998: 61), bahwa “a case study is an exploration of bounded system or a case (or multiple case) over time through detailed, in-depth data collection involving multiple sources of information rich in context”, maksudnya bahwa metode kasus ini adalah suatu eksplorasi terhadap sistem yang dibatasi, atau sebuah kasus (beberapa kasus) yang terjadi dalam waktu yang lama melalui pengumpulan data secara mendalam dan terperinci, yang meliputi berbagai sumber informasi yang sangat berkaitan dengan konteksnya. Penelitian ini menggunakan metode studi kasus, yaitu uraian dan penjelasan komprehensif mengenai berbagai aspek seorang individu, suatu kelompok, suatu organisasi (komunitas), suatu program, atau suatu situasi sosial (Mulyana, 2002:195).

Sedangkan, menurut Licoln dan Guba (2002; 201) menyatakan bahwa metode studi kasus mempunyai keistimewaan-keistimewaan sebagai berikut:

a. Studi kasus merupakan sarana utama bagi penelitian emik, yakni menyajikan pandangan subyek yang diteliti.

b. Studi kasus menyajikan uraian menyeluruh yang mirip dengan apa yang dialami pembaca dalam kehidupan sehari-hari.

c. Studi kasus merupakan sarana efektif untuk menunjukkan hubungan antara peneliti dan responden.

d. Studi kasus memungkinkan pembaca untuk menemukan konsistensi internal yang tidak hanya merupakan konsistensi gaya dan konsistensi faktual tetapi juga kepercayaan (trustworthiness).

e. Studi kasus memberikan uraian tebal yang diperlukan bagi penilaian atas transferabilitas.

f. Studi kasus terbuka bagi penilaian atas konteks yang turut berperan bagi pemaknaan atas fenomena dalam konteks tersebut.

Sepakat dengan pernyataan Stake (2009: 299) bahwa studi kasus bukanlah pilihan metodologis melainkan lebih sebagai pilihan objek yang diteliti, maka


(36)

argumen terpenting dipilihnya studi kasus dalam penelitian ini adalah karena konflikantarumat beragama begitu sering terjadi dengan setting yang berbeda-beda. Konflik antarumat beragama di Indonesia merupakan fenomena yang partikular-karakteristik dan memerlukan penjelasan yang lebih mendalam dan spesifik. Meski peneliti kasus biasanya mencari sesuatu yang umum dan khusus dari sebuah kasus, namun hasil akhirnya hampir selalu menyajikan sesuatu yang unik dan spesifik (Stoufer dalam Stake, 2009: 302).

Mengikuti anjuran Stake (2009; 309), dalam pelaksanaan penelitian ini, peneliti telah menghabiskan waktu secukupnya di lapangan dan secara langsung terjun dan bersentuhan dengan berbagai aktivitas dan operasi kasus yang diteliti (kasus Yasmin), sambil mereflekasikan dan merevisi makna-makna yang bermunculan. Peneliti juga berusaha melacak apa saja karakter alami yang muncul dalam peristiwa, dalam latar lokasi, dan berbagai ungkapan nilai yang ada. Apa yang tidak dapat dijangkau oleh peneliti sendiri, dalam hal ini, dapat diperoleh dengan cara mewawancarai orang-orang yang memahaminya atau dengan mencari dokumen-dokumen yang mencatatnya.

B. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok. Pertama, sumber informan (human resources) sebagai sumber primer yang dipilih berdasarkan kedekatan dan pengetahuan informan dengan peristiwa konflik yang berlangusung dari berbagai kalangan. Untuk sebuah studi fenomenologi, kriteria informanyang baik adalah “all individuals studied represent people who have experienced the phenomenon” (Creswell, 1998:118).


(37)

Jadi lebih tepat memilih informan yang benar-benar memiliki pengalaman dan dia mampu mengartikulasikan pengalaman dan pandangannya tentang sesuatu yang dipertanyakan. Informan yang terpilih dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Para pelaku konflik, mereka yang menyaksikan peristiwa konflik, dan mereka

yang terlibat dalam penyusunan resolusi konflik, baik yang bertempat tinggal di kelurahan Curug Mekar maupun di luarnya.

2. Sejumlah ulama, pendeta,pemimpin organisasi massa Islam (NU, Muhamadiyah, Persis dan PUI), pemimpin jemaat GKI Yasmin, dan sejumlah tokoh masyarakat baik muslim maupun kristen di Bogor Barat, terutama yang terlibat dalam penyusunan resolusi konflik.

3. Sejumlah pejabat birokrasi pada pemerintah Kota Bogor, Kantor Kementerian Agama Kota Bogor, Kecamatan Bogor Barat, Kelurahan Curug Mekar, dan para aparat pemerintahan di tingkat RT dan RW yang berdekatan dengan lokasi gereja GKI Yasmin dibangun.

Kedua, sumber bahan cetak (kepustakaan) sebagai sumber sekunder yang yang tidak diperoleh dari informan maupun dari luar informan. Data sekunder diperlukan untuk memperkuat, melengkapi, atau menguji kebenaran data yang diperoleh dari informan. Sumber bahan cetak ini meliputi transkripsi/catatan hasil wawancara mendalam dengan para informan; dokumen tertulis berupa dokumen resmi negara, berupa surat keputusan, laporan-laporan, notulen rapat, transkripsi workshop/seminar/symposium, buku, makalah, artikel, klipping tentang konflik, resolusi konflik, dan Pendidikan Kewarganegaraanyang diperoleh dari surat kabar, majalah, jurnal, situs internet, baik yang terkoleksi di berbagai


(38)

perpustakaan, terjual di toko-toko buku maupun tersimpan/terdokumentasikan di kantor-kantor terkait.

C. Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data 1. Instrumen Penelitian

Instrumen utama dalam penelitian adalah penulis sendiri yang terjun langsung ke lapangan untuk mencari informasi melalui observasi dan wawancara. Di dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan antar manusia, artinya selama proses penelitian penulis akan lebih banyak mengadakan kontak dengan orang-orang yang berkonflik, tokoh agama, dan birokrat kota Bogor. Dengan demikian penulis lebih leluasa mencari informasi dan data yang terperinci tentang berbagai hal yang diperlukan untuk kepentingan penelitian. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Creswell (2010; 264) dan Bogdan dan Biklen (1982: 33-36) tentang ciri-ciri kualitatif khususnya dalam instrumen penelitian.

2. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dan informasi dalam penelitian ini dilakukan dengan berbagai cara dan teknik yang berasal dari berbagai sumber baik manusia maupun bukan manusia. Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data dan informasi yang digunakan adalah teknik pengumpulan data kualitatif, yang meliputi studi wawancara mendalam, studi dokumentasi, studi literatur dan observasi. Pengambilan data dilakukan dengan metode snowball sampling dengan proses jumlah kecil informan kemudian melibatkan pihak yang terkait dengan informan


(39)

awal untuk dijadikan informan dan seterusnya sehingga menjadi besar seperti bola salju (snowball).

Untuk menggali informasi dari sumber data yang dipilih digunakan sejumlah teknik pengumpulan data kualitatif, yaitu observasi, wawancara mendalam, dan studi dokumentasi.

a. Observasi atau pengamatan adalah kegiatan pengumpulan data dengan menyaksikan secara langsung realitas sosial, fakta sosial, atau peristiwa sosial yang menjadi objek penelitian. Pengamatan ini dilakukan pada lingkungan Kota Bogor dimana peristiwa konflik antara sekelompok kaum muslim dengan jemaat gereje GKI Taman Yasmin terjadi, yang diteliti secara non partisan, terutama untuk menyaksikan bagaimana para pelaku konflik bergerak dan berhubungan dengan pihak-pihak luar yang berkaitan dengan konflik itu untuk membangun resolusi konflik.

b. Wawancara mendalam (indepth inverview) dilakukan dengan para informan baik secara formal maupun informal, interaktif, dan melalui pertanyaan dan jawaban yang terbuka. Walaupun pada awalnya peneliti sudah mempersiapkan daftar pertanyaan, pada pelaksanaannya, tidak kaku mengikuti daftar pertanyaan yang telah dibuat. Wawancara mengalir sesuai dengan respon atau jawaban informan. Hal terpenting dari kegiatan wawancara adalah dapat menggali semua data yang dicari.Seperti pada tradisi fenomenologi sebagaimana dikemukakan Creswell (1998:122) “for a phenomenological study, the process of collecting information involves primarily in-depth interviewrs”, maka dalam penelitian ini wawancara mendalam merupakan


(40)

teknik pengumpulan data yang diutamakan. Hasil-hasil wawancara terdokumentasi dalam perekam audio (tape recorder) dan perekam gambar hidup (handycam) dan foto.

c. Studi Dokumentasidilakukan untuk mempelajari sumber-sumber tertulis baik berupa laporan penelitian, dokumen resmi negara, buku teks, surat edaran, pamplet, selebaran, artikel di media massa, dan catatan-catatan pribadi, makalah, dan artikel di jurnal, Studi dokumentasi ini dipilih atas dasar bahwa dalam sumber-sumber tertulis tersebut akan dapat diperoleh ungkapan pemikiran dan pernyataan sikap dari para pakar, birokrasi/politisi, para pelaku konflik, para pihak yang terlibat dalam membangun resolusi konflik, dan para pengamat dalam bidang yang menjadi pusat perhatian penelitian ini.

D. Subjek dan Lokasi Penelitian 1. Subjek Penelitian

Dalam penelitian ini, teknik penentuan subjek penelitian dimaksudkan agar peneliti dapat sebanyak mungkin memperoleh informasi dengan segala kompleksitas yang berkaitan dengan analisis resolusi konflik antarumat beragama melalui pendekatan kewarganegaraan.

Meskipun demikian, pemilihan subjek penelitian tidak dimaksudkan untuk mencari persamaan yang mengarah pada pengembangan generalisasi, melainkan untuk mencari informasi secara rinci yang sifatnya spesifik yang memberikan citra khas dan unik.

Kriteria pertama adalah latar, yang dimaksud adalah situasi dan tempat berlangsungnya proses pengumpulan data, yakni di dalam dan di luar sekolah,


(41)

wawancara di rumah, wawancara di kantor, wawancara formal dan informal, berkomunikasi resmi, dan berkomunikasi tidak resmi. Kriteria kedua, pelaku, yang dimaksud adalah orang terkait dengan konflik Yasmin. Kriteria ketiga adalah peristiwa, yang dimaksud adalah pandangan, pendapat dan penilaian tentang resolusi konflik antarumat beragama yang telah dilakukan di Yasmin. 2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah gereja Yasmin di kota Bogor Jawa Barat, hal ini berdasarkan pertimbangan, sebagai berikut:

Penelitian ini mengambil lokasi di Gereja Yasmin di Kota Bogor, peneliti mengambil lokasi tersebut karena pertimbangan:

1. Berdasarkan perspektif PKn kasus Yasmin memperlihatkan adanya tidak ada sinkronisasi antara kebijakan di pemerintahan daerah dan di kebijakan di pemerintah pusat /Mahkamah Agung sehingga terjadi ketidakpastian hukum.

2. Konflik Yasmin terjadi di tingkat negara antara wali kota dan Mahkamah Agung.

E. Teknik Analisa Data

Analisis data menurut Bogdan dan Biklen (1982:145) adalah proses pencarian dan penyusunan secara sistematis terhadap transkrip wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain yang terkumpul untuk meningkatkan pemahaman tentang data serta menyajikan apa yang telah ditemukan kepada orang lain. Dalam penelitian kualitatif-induktif,analisis data dilakukan dengan mencari korelasi antara satu fakta dengan yang lain untuk menemukan pengertian


(42)

dan makna yang lebih tepat karena pada dasarnya fakta-fakta itu cenderung berserak dan fragmentaris. Identifikasi bagian-bagian, memahami relasi antar bagian, memahami hubungan bagian dengan keseluruhan, dan mengungkapkannya merupakan kegiatan paling penting dalam analisis ini, termasuk di dalamnya melakukan interpretasi dan pemaknaan.

Secara umum, untuk analisis data penelitian ini, peneliti melakukan tiga alur kegiatan yang dapat dilakukan secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi. Reduksi data adalah suatu proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Data kualitatif disederhanakan dan ditransformasikan dengan aneka macam cara, antara lain seleksi yang ketat, ringkasan atau uraian singkat, penggolongan dalam suatu pola yang lebih luas (Miles & Huberman, 1992:16-19).

Penyajian data adalah susunan sekumpulan informasi yang memungkinkan penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Peneliti berupaya menggunakan cara yang menggunakan naratif teks, bagan, dan grafik teks. Analisis data kualitatif mulai dengan mencari arti benda-benda, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat, dan proposisi. Peneliti akan menarik kesimpulan-kesimpulan secara longgar, tetap terbuka dan skeptis namun kemudian meningkat menjadi lebih rinci dan mengakar dengan kokoh.

Kesimpulan tersebut diversifikasi selama proses penelitian. Verifikasi tersebut berupa tinjauan atau pemikiran kembali pada catatan lapangan, yang


(43)

mungkin berlangsung sekilas atau malah dilakukan secara seksama dan memakan waktu lama, serta bertukar pikiran para responden untuk mengembangkan intersubjektif. Makna-makna yang muncul dari data harus diuji kebenarannya, kekokohannya, dan kecocokannya, sehingga membentuk validitasnya (Miles & Huberman, 1992:19).

Proses analisis data sebagaimana terurai di atas, digambarkan dalam bagan berikut:

Bagan 3.1Komponen-komponen Analisis Data (Miles & Huberman, 1992:20)

Selanjutnya, karena penelitian ini merupakan penelitian fenomenologi, maka alur analisis data mengikuti apa yang disampaikan Creswell (1998:147-150) sebagai berikut:

1. Peneliti memulai dengan mendeskripsikan secara menyeluruh pengalamannya. 2. Peneliti kemudian menemukan pernyataan (dalam wawancara) tentang bagaimana orang-orang memahami topik, rinci pernyataan-pernyataan tersebut (horisonalisasi data) dan perlakuan setiap pernyataan memiliki nilai yang

Pengumpulan data

Reduksi data

Kesimpulan: Penarikan/verifikasi

Penyajian data


(44)

setara, serta kembangkan rincian tersebut dengan tidak melakukan pengulangan atau tumpang tindih.

3. Pernyataan-pernyataan tersebut kemudian dikelompokkan ke dalam unit-unit bermakna (meaning unit), peneliti merinci unit-unit tersebut dan menuliskan sebuah penjelasan teks (textual description) tentang pengalamannya, termasuk contoh-contohnya secara seksama.

4. Peneliti kemudian merefleksikan pemikirannya dan menggunakan variasi imajinatif (imaginative variation) atau deskripsi struktural (structural description), mencari keseluruhan makna yang memungkinkan dan melalui perspektif yang divergen (divergent perspectives), mempertimbangkan kerangka rujukan atas gejala (phenomenon), dan mengkonstruksi bagaimana gejala tersebut dialami.

5. Peneliti kemudian mengkonstruksikan seluruh penjelasannya tentang makna dan esensi (essence) pengalamannya.

6. Proses tersebut merupakan langkah awal peneliti mengungkapkan pengalamannya, dan kemudian diikuti pengalaman seluruh partisipan. Setelah semua itu dilakukan, kemudian tulislah deskripsi gabungannya (composite description).

F. Uji Validitas Data Penelitian

Secara umum, untuk memeriksa keabsahaan data dalam penelitian kualitatif (Lincoln & Guba, 1985:290), peneliti menggunakan kriteria truth value, applicability,consistency, dan netrality yang sering juga disebut dengan istilah-istilah credibility, transferability, dependability dan confirinbility.


(45)

Keempat kriteria ini merupakan atribut-atribut yang membedakan penelitian kualitatif berturut-turut dengan validitas internal, validitas eksternal, reliabilitas, dan objektivitas dalam tradisi atau paradigma penelitian positivistik.

Selain itu, peneliti juga melakukan triangulasi dengan melakukan

cross-check yang bertujuan untuk pemeriksaan keabsahaan data dalam

penelitian ini, yaitu membandingkan data yang terkumpul dengan cara memeriksa kesesuaian hasil analisis dengan kelengkapan data. Triangulasi merupakan pengecekan kebenaran data yang dikumpulkan dari suatu sumber berdasarkan kebenarannya dari sumber-sumber lain. Sesuai dengan konteks penelitian ini, suatu data atau informasi penelitian, dicek kebenarannya dari sumber-sumber lain yang juga terlibat dalam penelitian ini.Dalam uraian-uraian di bawah ini dijelaskan lebih jauh tentang pengujian keabsahan temuan penelitian.

1. Credibility (derajat kepercayaan–validitas internal)

Untuk meningkatkan derajat kepercayaan dalam penelitian ini dapat dicapai dengan cara-cara: (1) peneliti cukuplama di lapangan; (2) triangulasi, yaitu pemeriksaan keabsahaan data dengan cara mengecek atau membandingkan data melalui pemanfaatan sumber-sumber lain; (3) peer debriefing (pembicaraan dengan kolega, termasukpembicaraan dengan rekan-rekan kuliah yang tidak memiliki kepentingan langsung dengan penelitian yang dilakukan peneliti), dan (4) melakukan member-check.

2. Transferability (derajat keteralihan – validitas eksternal)


(46)

dalam kemampuan terapan adalah permasalahan bersama antara peneliti dengan pemakai. Dalam hal ini, tugas peneliti adalah mendeskripsikan setting penelitian secara utuh, menyeluruh, lengkap, mendalam dan rinci. Sedangkan tugas pemakai adalah menerapkannya jika terdapat kesamaan antara setting penelitian dengan setting penerapan.

Derajat keteralihan atau transferability ini identik dengan validitas eksternal dalam tradisi penelitian kuantitatif. Transferability yang tinggi dalam penelitian kualitatif dapat dicapai dengan menyajikan deskripsi yang relatif banyak, karena metode ini tidak dapat menetapkan validitas ekternal dalam arti yang tepat.

1. Dependability(derajat keterandalan)

Pengujian produk adalah pengujian data, temuan-temuan, interpretasi-interpretasi, rekomendasi-rekomendasi dan pembuktian kebenarannya bahwa hal itu didukung oleh data yang diperoleh langsung dari lapangan. Keterandalan dalam penelitian ini identik dengan validitas internal dalam tradisi penelitian kuantitatif. Dalam penelitian ini melakukan uji dependability dengan cara menggunakan catatan-catatan tentang seluruh proses dan hasil penelitian.

2. Confirmability(derajat penegasan-objektivitas)

Dengan audit trial, peneliti dapat mendeteksi catatan-catatan dilapangan sehingga dapat ditelusuri kembali, peneliti juga dapat melakukan triangulasi dengan dosen pembimbing agar diperoleh penafsiran yang akurat.


(47)

Pada hakekatnya, teknik utama untuk menentukan derajat penegasan atau confirmability (objektivitas) adalah dengan cara melakukan audit-trail, baik terhadap proses maupun mendeteksi catatan-catatan lapangan sehingga dapat ditelusuri kembali dengan mudah. Selain itu, peneliti juga melakukan triangulasi untuk memperoleh penafsiran yang akurat dan memperpanjang penelitian. Berdasarkan uraian diatas penulisan laporan penelitian memenuhi syarat ilmiah jika penelitiannya mempunyai kredibilitas yang tinggi dan hasilnya diterapkan oleh orang lain (aplikabilitasnya tinggi), serta mempunyai audibilitas dan confirmabilitas yang tinggi.

Karena dalam pelaksanaan penelitian kualitatif hal ini harus terpenuhi untuk membedakan secara tegas fakta atau opini, maka penelitian kualitatif dapat dikatakan mempunyai nilai ilmiah atau memenuhi syarat ilmiah

G. Tahap-Tahap Penelitian

Secara garis besar, terdapat lima tahap proses yang dilalui yaitu: Persiapan penelitian, pengumpulan data, pengolahan data dan analisis data, pemeriksaan keabsahan atau validasi penelitian serta pengambilan kesimpulan hasil penelitian.

Tahapan persiapan penelitian merupakan langkah awal dalam penelitian yang dilakukan dan dalam persiapan penelitian adalah studi pendahuluan. Studi pendahuluan dilakukan untuk mengetahui signifikansi penelitian, rumusan dan batasan penelitian, kerangka penelitian dan hal lain yang dilakukan dalam tahap awal penelitian seperti yang telah dibahas pada Bab I. selain itu, pada studi pendahuluan ini pula, dilakukan pemilihan metode penelitian yang cocok dengan


(48)

topik yang dipilih serta tujuan penelitian yaitu metode dan pendekatan penelitian kualitatif.

Pada tahap pengumpulan data, diawali dengan penentuan populasi dan sample penelitian yang relevan dengan karakteristik masalah yang diteliti. Selanjutnya dilakukan pengumpulan data dengan menggunakan teknik wawancara, observasi dan kajian dokumentasi.

Langkah ketiga adalah pengolahan dan analisis data. Dalam tahapan ini peneliti berupaya melakukannya sesegera mungkin setelah data terkumpul. Analisis dilakukan secara konsisten dan berulang dengan merujuk pada pertanyaan penelitian.


(49)

178

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Dalam bagian ini, dikemukakan kesimpulan dan rekomendasipenelitian yang dirumuskan dari deskripsi, temuan penelitian dan pembahasanhasil-hasil penelitian dalam Bab IV.

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dari bab I hingga bab IV, penulis hendak menyimpulkan beberapa hal penting sebagai berikut:

1. Peristiwa Yasmin sebagai konflik antar umat beragama, tidak hanya disebabkan oleh faktor situasi intern keberagamaan seperti pemahaman atau penafsiran yang eksklusif atau intoleran. Konflik tersebut,juga dilatar belakangi oleh berbagai faktor yang saling berkelindan dan tumpang-tindih. Konflik antar umat beragama seperti yang terlihat dalam kasus Yasmin juga dipengaruhi oleh banyak faktor di luar persoalan teologi dan ideologi keberagamaan seperti kondisi objektif dan perubahan kehidupan sosial ekonomi dan politik warga yang berkonflik sertamenguatnya kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik tertentu yang dikembangkan sejumlah elite agama, ekonomi, dan politik. Konflik juga lahir akibat dari kebijakan makro yang tidak didasarkan pada asas keadilan, kesejahteraan, dan supremasi hukum. Kenyatan tersebut memperkuat pandangan teoretik bahwa konflik antar umat beragama, seperti halnya konflik-konflik sosial lain, tidak bisa dilepaskan daristructural condusivenes.


(50)

2. Kehadiran berbagai faham, organisasi, dan gerakan Islam yang sering dikategori keras seperti HTI, FPI, MMI, dan Salafi merupakan kenyataan historis yang menambah pluralitas Islam dan kekayaan etnografis di Kota Bogor dengan seluruh konsekuensi perubahannya pada aspek-aspek lain seperti kebudayaan setempat. Akan tetapi, kecenderungan mereka untuk mendominasi kehidupan, atas nama apapun, telah menorehkan peran tersendiri dalam melahirkan dan memperuncing konflik Yasmin. Kecenderungan yang mendominasi tersebut, mereka wujudkan secara terus-terang dalam manufer politik, bahkan memainkan politik itu sendiri bersama elite politik dan birokrasi setempat.

3. Pendekatan terhadap konflik seperti Yasmin oleh para tokoh agama dan pejabat birokrasi masih terlihat sangat formal, melalui kelembagaan dalam bentuk dialog yang hanya dihadiri oleh sejumlah elite, tanpa melibatkan warga atau jemaat yang berkonflik. Resolusi dalam bentuk dialog dalam kasus Yasmin sepertinya hanya mengulang resolusi-resolusi yang pernah dipraktikkan dan dikembangkan oleh pemerintah pusat dan daerah selama ini yang telah dikritik karena selalu mengalami jalan buntu dan tidak melahirkan teologi kerukunan yang menjamin perdamaian permanen.

4. Kasus Yasmin yang dibawa dalam ranah hukum oleh pemerintah Kota Bogor, ternyata menyebabkan konflik semakin rumit. Pilihan untuk membela kaum muslim yang menolak pembangunan gereja dengan alasan menciptakan ketertiban dengan mencabut IMB yang ia keluarkan sebelumnya justru berlawanan dengan keputusan Pengadilan (PTUN sampai Mahkamah Agung)


(51)

yang secara tegas mengesahkan IMB bangunan gereja. Permasalahan punmengerucut pada kontradiksi hukum yang jauh lebih sulit untuk mengatasinya karena melibatkan persoalanlain di luar soal konflik itu sendiri. 5. Tidak adanya mediator dalam proses resolusi konflik Yasmin ini akan menjadi

batu sandungan dalam penyelesaiannya. Hal ini disebabkan teguhnya keinginan kedua belah pihak baik umat muslim maupun GKI dalam kepentingannya masing-masing. Keadaan ini semakin sulit dengan keluarnya kebijakan Walikota untuk mencabut IMB pembangunan gereja sehingga jalan untuk melakukan mediasi semakin sulit. Untuk itu diperlukan mediator yang mampu memediasi kedua belah pihak untuk tercapainya resolusi konflik yang win win solution. Dalam melakukan resolusi, mediator haruslah melewati empat tahap mediasi sebagai berikut. Pertama, tahap pendahuluan dengan menciptakan rasa aman bagi kedua belah pihak untuk mulai berbicara secara terbuka dalam tatap-muka. Kedua, pemaparan kisah, yakni memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk mengungkapkan aneka keprihatinan masing-masing, menjelaskan pertikaian itu dari sudut pandang masing-masing, dan mendengarkan pandangan pihak lain. Ketiga, pemecahan masalah, dengan membangun kesadaran bahwa pertikaian adalah masalah bersama dengan cara menolong kedua belah pihak mengindentifikasikan aneka persoalan yang memisahkan mereka serta merumuskan, mengevaluasi, dan menegosiasikan aneka opsi ke arah penyelesaian. Keempat, merumuskan aneka butir kesepakatan yang adil dan lestari, termasuk cara-cara menangani aneka masalah yang mungkin timbul di kemudian hari


(1)

Creswell, John W. (1994).Research Design: Qualitative and Quantitative Aproaches. London & New Delhi: Sage Publications.

Dahrendorf, Ralf. (1959).Class and Class Conflict in Industrial Society. California: Standford University Press.

Danasasmita, Saleh. (1983).Sejarah Bogor.Bogor: Guna Kawi Gapura Jagat. Delors, Jacques. (1996).Learning: the Treasure Within.Paris: UNESCO

Publishing.

Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln. (2009).Handbook of Qualitative Research.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Deutsch, Morton dan Peter T. Coleman (eds). (2000).The Handbook of Resolution, Theory and Practice. San Francisco: Jossey-Bass Inc.

Djuweng, Stepanus. (1996).Orang Dayak, Pembangunan dan Agama Resmi, dalamKisah dari Kampung Halaman. Yogyakarta: Interfidei.

Donald. (2005).Reading in Contemporary Sociological Theory from Modernity to Post-Modernity. New Jersey: Prentice Hall Englewood Cliffs.

Effendy, Bahtiar dan Sutrisno Hadi (eds). (2007).Agama dan Radikalisme di Indonesia.Jakarta: Nuqtoh.

Effendy, Bisri. (1999).Tak Membela Tuhan yang Membela Tuhan, kata pengantar buku Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, Yogyakarta: LkiS. Effendi, Djohan. (1985).Dialog Antar Agama: Bisakah Melahirkan Teologi

Kerukunan?, dalam Imam Ahmad (ed), Agama dan Tantangan Zaman, Jakarta: LP3ES.

Ekadjati, Edi S. (1984).Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya.Bandung: GiriMukti Pasaka.

Farida, Efa. (1998).Al Irsyad di Kota Madya Bogor, Telaah Tentang Pertumbuhan dan Perkembangannya Tahun 1928-1975.Skripsi pada Fakultas Adab IAIN Sunan Gunung Jati: tidak diterbitkan.

Fromm, Erich .(2000).Akar Kekerasan, Analisis Sosio-psikologis atas Watak Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Geertz, C. (1983).Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, Cetakan ke-2. Jakarta: Pustaka Jaya.


(2)

Incres, The Wahid Institute, TIFA. (2009). Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Situasi Keagamaan di Jawa Barat Tahun 2009. Jakarta: The Wahid InstituteIncres, TIFA.

Jarolimek, John and Walter C. Parker. (1993).Social Studies in Elementary Education.New York: Macmillan Publishing Company.

Johnson, Doyle P. (1986). Teori Sosiologi Klasik dan Modern, jilid 1 dan 2. Jakarta: Gramedia.

Kahn, Joel S. (1995).Culture, Multiculture, Postculture.London, Tousand Oaks, dan New Dehli: Sage Publications.

Kalidjernih, Freddy Kirana. (2007). Cakrawala Baru Kewarganegaraan. Bogor: CV Regina.

Kantor Kementerian Agama Kota Bogor. (2010).Profil Keagamaan Kristen Kota Bogor.Bogor.

King, Victor T. (1985).The Maloh of West Kalimantan: An Ethnographic Study of Social Inequality and Social Change among an Indonesia Borneo People. Dordrecht-Hollad/Cinnaminson USA: Foris Publications.

Kompas edisi 16 April 2001, 18 Maret 2005 dan 7 Maret 2001.

Kriesberg, Louis. (1982).Social Conflicts, edisi kedua. Englewood Cliffs, N.J: Prentice-Hall, Inc.

Lan, Thung Ju dkk. (2005).Penyelesaian Konflik Aceh: Aceh dalam Proses Rekonstruksi dan Rekonsiliasi. Jakarta: LIPI.

Leiter, K. (1980).A Primer on Ethnometodology.Oxford: Oxford University Press. Lubis, Nina Herlina. (2011).Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat,

Bandung: Masyarakat Sejarawan Cabang Bandung.

Maftuh, Bunyamin. (2005).Implementasi Model Pengajaran Resolusi Konflik Melalui Pendidikan Kewarganegaraan Sekolah Menengah Atas, Disertasi Doktor pada Universitas Pendidikan Indonesia: tidak diterbitkan.

________________. (2008).Pendidikan Resolusi Konflik: Membangun Generasi Muda yang Mampu Menyelesaikan Konflik secara Damai. Bandung: Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan Sekolah Pascasarjana UPI. Marzali, Amri. (2001).Kekerasan Sosial di Kalimantan: Sebuah Analisis


(3)

Mashad, Dhurorudin. (2001).Pemisahan Diri VS Otonomi: Mencari Akar Kemelut Irian Jaya, dalam Analisis CSIS, No. 3 Tahun XXX.

Maunaty, Yekti. (2004).Identitas Dayak, Komodifikasi dan Politik Kebudayaan. Yogyakarta: LkiS.

Miles, Matthew B., dan A. Michael Huberman. (1992).Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber tentang Metode-metode Baru.Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Momon. (2002).Aktivitas Jamaah Masjid Raya Bogor dan Perkembangan Sosial Keagamaan Masyarakatnya (1995-2000).Bandung: Fakultas Adab IAIN Sunan Gunung Jati.

Morgenthau, Hans J. (1968).Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace. New York: Alfred A Knopf.

Nasution, Adnan Buyung. (1995).Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, Studi Sosio-legal atas Konstituante 1956-1959. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.

Nazaruddin, Syamsuddin. (1999).Pemberontakan Kaum Republik Kasus Darul Islam Aceh. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.

Patji, Abdul Rachman dkk. (2004).Negara dan Masyarakat dalam Konflik Aceh. Jakarta: LIPI.

Patton, Michael Quinn. (1990).Qualitative Evaluation and Research Methods.London: Sage Publication Ltd.

Pikiran Rakyat Online, Rabu, 21-04-2010.

Piliang, Indra J. (2001). Nasionalisme Aceh dan Negara Federal: Mengapa Tidak?, dalam Analisis CSIS, No. 3 Tahun XXX.

Putra, Heddy Shri Ahimsa. (1985).Etnosains dan Etnimetodologi: Sebuah Perbandingan, dalam Masyarakat Indonesia, Tahun ke XII, No. 2, halaman 103-133.

Ritzer, George. (2000).Modern Sociological Theory. New York: The McGraw-Hill Companies.

Riwut, Tjilik. (2007).Kalimantan Membangun Alam dan Kebudayaan. Yogyakarta: NR Publishing.


(4)

Saidi, Anas dkk. (2001).Kebijakan Agama di Masa Orde Baru. Jakarta: PMB-LIPI.

Sandy, S.V. dan K.M. Cochran. (2000).The Development of Conflict Resolution skills in Children, Preschool to Adolenscence, dalam M. Deutsch dan P.T. Coleman (eds.), Handbook of Conflict Theory and Practice, Jossey-Bass Publishers.

Sapriya. (2007).Perspektif Pemikiran Pakar tentang Pendidikan Kewarganegaraan dalam Pembangunan Karakter Bangsa.Disertasi Doktor pada Universitas Pendidikan Indonesia: tidak diterbitkan.

Schurtz, Alfred. (1967).The Phenomenology of Social World.The Hugue: Martinus Nijhoff.

Sen, Amartya. (2006).Identity and Violence: The Illusion of Desnity. New York: Norton and Company Inc.

SETARA Institute. (2010). Tiga Tahun Laporan Kondisi Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia 2007-2009: Realitas Legal Diskriminatif dan Impunitas Praktik Persekusi Masyarakat atas Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan. Jakarta: SETARA Institute.

Sills,David L. (eds). ______. International Encyclopedia of the Social Sciences, New York: The Macmillan Company and The Free Press.

Simel, George. (1971).On individual and Social Form. Chicago: University of Chicago Press.

Smelser, Neil J. (1962).The Theory of Collective Behavior. New York: Free Press. Soemantri, Nu’man. (2001).Masalah Pendidikan IPS dalam Perspektif Global,

Makalah Seminar Nasional dan Kongres Forum Komunikasi X Pimpinan FPIPS/FIS/FKIP Universitas/IKIP se Indonesia serta Kongres HISPIPS, 22-24 Oktober.

Strauss, Anselm dan Juliet Corbin. (2003).Dasar-dasar Penelitian Kualitatif: Tatalangkah dan Teknik-teknik Teoritisi Data. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Suaedy, Ahmad. (2009).Perspektif Pesantren: Islam Indonesia, Gerakan Sosial Baru, Demokrasi.Jakarta: The Wahid Institute.

Susan, Novri. (2009).Pengantar Sosiologi konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer. Jakarta: Kencana.


(5)

The Wahid Institute. (2008). Laporan Tahunan The Wahid Institute: Menapaki Bangsa yang Kian Retak. Jakarta: The Wahid Institute.

Thompson, Nancy E. (1999).The Impact of Conflict Resolution Education on Participating Students and their Families: a Qualitative Case Study, Disertasi PhD pada Ohio State University: tidak diterbitkan.

Tsing, Anna Lewenhaupt. (1996).Di Bawah Bayang-bayang Ratu Intan, Proses Marjinalisasi pada Masyarakat Terasing. Jakarta: Yayasan Obor.

Turner, Bryan. (1999).Clasical Sociology. London: Sage Publication.

Wahab, A. Azis. (1996).Politik Pendidikan dan Pendidikan Politik: Model Pendidikan Kewarganegaraan Indonesia Menuju Warganegara Global, (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar). Bandung: IKIP Bandung.

Wahid, Abdurrahman dkk. (1999).Agama dan Kekerasan. Jakarta: Kerjasama PP-IPNU.

Wahid, Abdurrahman (ed.). (2009).Ilusi Negara Islam, Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia.Jakarta: the Wahid Institute, Gerakan Bhineka Tunggal Ika, dan Ma’arif.

Weinstein, G. dan M Fantini.(1970).Toward Humanistic Education, A Curriculum of Affect.New York: Praeger Publishers.

Widjono, Roedy Haryo AMZ. (1997).Masyarakat Dayak Menatap Masa Depan. Jakarta: Grasindo.

Winarno, F.G. (1983).Bogor Hari Esok Masa Lampau.Bogor: Binahati.

Woolover, R. K.P. Scott. (1988).Active Learning in Social Studies Promoting Cognitive and Social Growth.Glenview, Illiois Scott, Foresman and Company.

Zainuri, Achmad. (2004).Membendung Nasionalisme Etnisitas yang Berserak dalam Kordinat, Vol. V, No. 1.

______________. (2004).Menakar Eksistensi Negara Multietnik Modern, dalam Al Turas, Vol 10, No. 3


(6)

Achmad Zainuri lahir di Lampung, 21 Januari 1950 dari pasangan (alm) KH. Achmad Shobir dan (almh) Hj. Siti Soleha. Pendidikan

Kesarjanaannya diselesaikan di Fakultas Ushuludin IAIN Syarif

Hidayatullah Jakarta tahun 1972. Setelah itu, menyelesaikan kuliah di Skolah Tinggi Ilmu Administrasi Lembaga Administrasi Republik Indonesia (STIA-LAN RI) pada tahun 1986. Kemudian melanjutkan jenjang program Magister Konsentrasi Pengkajian Ketahanan Nasional Universitas Indonesia (UI) dan selesai tahuun 2000.

Selaian pendidikan formal yang ditekuni, suami dari Hj. Nasiyatun (58) juga pernah mengikuti serangkaian pendidikan non-formal/informal, seperti Diklatpim II, Peserta Pentaloka Manajemen Strategi Eselon II Departemen Agama, dan Pesrta Kursus Singkat Lemhanas (Lembaga Ketahanan Nasional) Angkatan XI tahun 2003.

Karir dimulai sebagai guru agama di sebuah Madrasah Aliyah. Kemudian hijrah ke Departemen Agama Republik Indonesia di Jakarta dan beberapa tahun menjabat sebagai Inspektur Pembantu Itjen Depag RI sebagai Auditor Ahli Madya. Setelah itu, menjabat sebagai Kepala Biro Administrasi Umum dan Kepegawaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2004-2006). Sekarang aktif sebagai Dosen Tetap pada Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, disamping mengajar di Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ) dan Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) sejak tahun 1995 sampai sekarang.

Tulisan yang pernah dibuat, dimuat diberbagai jurnal seperti Jurnal Mimbar Agama dan Budaya, Junral Al-Turats, Jurnal Refleksi dan Junral Kordinat. Selain itu, aktif mengikut berbagai seminar, sekaligus menjadi pembincara di berbagai kegiatan, seperti diskusi dan seminar yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi dan organisasi