Perspektif Alumni Terhadap Metode Pembelajaran Tradisioanal di Pondok Pesantren Al-Qur'an Assanusiah

(1)

PERSPEKTIF ALUMNI TERHADAP METODE PEMBELAJARAN

TRADISIONAL DI PONDOK PESANTREN AL-

QUR’AN ASSANUSIAH

Studi kasus Pondok Pesantren Al-

Qur’an As

-Sanusiyah

( Pandeglang

Banten)

Di Susun Oleh : Salimah Firdaus 109011000007

Jurusan Pendidikan Agama Islam

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta

2014 M / 1433 H


(2)

(3)

(4)

(5)

i

ABSTRAK

Judul : Perspektif Alumni Terhadap Metode Pembelajaran Tradisional Di Pondok Pesantren Al-Qur’an Assanusiah

Penulis : Salimah Firdaus NIM : 109011000007

Pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan tertua yang melekat dalam perjalanan kehidupan Indonesia sejak ratusan tahun yang silam dan telah banyak memberikan kontribusi signifikan dalam pembangunan bangsa ini, karena itu tak heran bila pakar pendidikan Ki Hajar Dewantoro dan Dr. Soetomo pernah mencita-citakan model system pendidikan pesantren sebagai model pendidikan Nasional. Bagi mereka model pendidikan pesantren merupakan kreasi cerdas budaya Indonesia yang berkarakter dan patut untuk terus dipertahan kembangkan. Karena banyak hal yang belum tereksplorasi dari pendidikan pondok pesantren tradisonal dalam perspektif pendidikan Islam Indonesia, maka penelitian ini dilakukan.

Secara spesifik penelitian ini bertujuan mengetahui Pandangan Alumni terhadap metode pembelajaran tradisional di pondok pesantren Al-Qur’an Assanusiah. Metode penelitian ini menggunakan metodologi penulisan kualitatif yaitu metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif, berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang diamati metode deskriptif analisis.

Hasil penelitian ini menunjukkan (1) bahwa dalam perspektif Alumni terhadap metode pembelajaran tradisional, Menurut mereka metoe tradisional masih relefan dan tepat untuk digunakan di pondok pesantren Al-Qur’an Assanusiah, dengan berbagai modifikasi sesuai dengan perkembangan.


(6)

ii

KATA PENGANTAR





Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Kiranya tiada kata yang lebih pantas untuk diucapkan selain Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah, sebagai manifestasi rasa syukur kita keHadirat Illahi Rabbi yang telah menghadiahkan anugerah yang begitu mahal harganya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah bagi baginda Nabi Muhammad saw, orang yang begitu mencintai kita sehingga diakhir hayatnya yang beliau sebut dan kenang hanyalah kita umatnya.

Skripsi ini penulis susun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis sangat berterima kasih dan memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya atas bantuan, dorongan dan bimbingan dari beberapa pihak. Ucapan terima kasih dan penghargaan tersebut diajukan kepada:

1. Ibu Dra. Nurlena Rifa’i, Ph.D, MA Dekan FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Madjid Khon, M.Ag Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Semoga kebijakan yang dibuat selalu mengarah pada kontinuitas eksistensi mahasiswanya.

3. Ibu Marhamah Saleh, Lc. MA Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam Jakarta. Terima kasih atas waktu luang yang telah diberikan untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada kami selaku mahasiswa.

4. Ibu Dra. Hj. Ello Al-Bugis, M. Ag yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan yang tulus kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.


(7)

iii

5. Bapak dan Ibu Dosen Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmunya kepada penulis selama perkuliahan.

6. Pimpinan dan staf Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah yang telah memberikan pelayanan dan kesempatan yang seluas-luasnya kepada penulis untuk menelaah dan meminjam buku-buku yang diperlukan dalam rangka penyusunan skripsi ini.

7. Orang Tua penulis, Ayahanda Nur Soleh (Alm) dan Ibunda Hj.Syarifah tercinta yang dengan tulus ikhlas merawat dan mendidik penuh rasa kasih sayang, memberikan pengorbanan yang tidak terhitung nilainya dan senantiasa mendoakan penulis dalam menempuh perjalanan hidup ini.

8. Ahmad Suheli pelipur lara dikala suka dan cinta, yang selalu setia mendampingi perjuanganku sampai detik ini, yang tak pernah henti memberikan dorongan dan motivasi kepada penulis untuk cepat menyelesaikan skripsi ini, serta senantiasa memberikan pengajaran yang berharga dalam kehidupan ini, hadirmu menjadi lebih indah dan bermakna dalam kehidupanku.

9. Teman seperjuangan dalam menuntut ilmu Nuy, Putri, Wardah, Herni, Acha, Rahma, dan semua teman kelas PAI A angkatan 2009 dan FIQIH A yang sama-sama menempuh pendidikan program S1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Jakarta, 03 Juli 2014


(8)

iv

DAFTAR ISI

ABSTRAK...i

KATA PENGANTAR...ii

DAFTAR ISI...iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...1

B. Identifikasi Masalah...4

C. Pembatasan Masalah... 4

D. Perumusan Masalah ... 4

E. Tujuan Penelitian ... 4

F. Kegunaan Penelitian ... 5

BAB II KAJIAN TEORITIS A. Pesantren...6

1. Pengertian Pesantren...6

a. Sejarah Pesantren...7

b. Tujuan Pesantren...8

c. Kurikulum Pesantren ...10

d. Elemen-elemen Pesantren ...12

e. Bentuk-bentuk Pesantren ... 15

1) Salafiyah ...15

a) Pengertian tradisional...16

b) Pengertian pesantren tradisional...21

c) Karakteristik pesantren tradisional...21


(9)

v

2) Modern ...28

a) pengertian pesantren modern...28

b) karakteristik pesantren modern...28

c) metode pembelajaran modern...29

. B. Metode Pembelajaran ... 31

1. Pengertian Metode Pembelajaran ... 31

a. Pengertian Metode Menurut Para Ahli...33

b. Macam-Macam Metode...35

c. Metode pembelajaran pondok pesantren...39

C. Metode pembelajaran tradisional di pondok Pesantren Al-Qur’an Assanusiah .. 40

1. Metode Sorogan ... 40

2. Metode Bandongan...41

3. Metode Hafalan ...42

4. Metode Bahstsul Masail...42

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat Dan Waktu...45

B. Metode Penulisan ... 45

C. Fokus Penelitian ... 47

D. Teknik Pengumpulan ...47


(10)

vi

A. Gambaran Umum Pondok Pesantren Al-Qur’an Assanusiah ... ....49

1. Sejarah Singkat Berdirinya Pondok Pesantren Al-Qur’an Assanusiah...49

2. Tujuan berdiri Pondok Pesantren Al-Qur’an Assanusiah...50

3. Struktur Organisasi...53

4. Program kegiatan Pondok Pesantren Al-Qur’an Assanusiah...54

5. Kegiatan BelajarMengajar...56

B. Perspektif Alumni Terhadap Metode Tradisional Di Pondok Pesantren Al-Qur’an Assanusiah...56

1. Identitas Alumni...56

2. Pandangan alumni terhadap metode pembelajaran tradisional...60

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 65

B. Saran-saran ...66


(11)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perspektif menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah cara melukiskan benda pada permukaan yang mendatar sebagaimana yang terlihat oleh mata, pengertian perspektif juga bisa berarti sudut pandang atau pandangan seseorang yang terkait dengan suatu hal atau masalah tertentu.

Alumni menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah orang-orang yang telah mengikuti atau tamat dari suatu sekolah atau perguruan tinggi. Sedangkan alumnus menurut kamus yang sama mempunyai pengertian orang yang telah mengikuti atau tamat dari suatu sekolah atau perguruan tinggi.

Metodologi berarti ilmu tentang metode, sementara metode berarti cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. Dalam ilmu tentang mengajar, metodologi disebut didaktik yaitu ilmu yang membahas tentang kegiatan proses belajar mengajar yang menimbulkan proses belajar. Didaktik dibedakan menjadi dua, yaitu dikdaktik umum dan didaktik khusus. Didaktik umum membahas prinsip-prinsip


(12)

umum dalam mengajar dan belajar, sedangkan didaktik khusus yaitu membahas cara-cara guru menyajikan bahan pelajaran kepada pelajar.1

Pesantren merupakan salah satu jenis pendidikan Islam Indonesia yang bersifat tradisional untuk mendalami ilmu agama Islam dan mengamalkan sebagai pedoman hidup keseharian. Pesantren telah hidup sejak ratusan tahun yang lalu, serta telah menjangkau hampir seluruh lapisan masyarakat muslim. Pesantren telah diakui sebagai lembaga pendidikan yang telah ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Pada masa kolonialisme berlangsung, pesantren merupakan lembaga pendidikan agama yang sangat berjasa bagi masyarakat dalam mencerahkan dunia pendidikan.2

Namun, belakangan reputasi pesantren tampaknya dipertanyakan oleh sebagian masyarakat Muslim Indonesia. Mayoritas pesantren masa terkesan elitis, jauh dari realitas sosial. Problem sosialisasi dan aktualisasi ini ditambah lagi dengan problem keilmuan, yaitu terjadi kesenjangan, alienasi (keterasingan) dan differensiasi (pembedaan) antara keilmuan pesantren dengan dunia modern. Sehingga terkadang lulusan pesantren kalah bersaing atau tidak siap berkompetisi dengan lulusan umum dalam urusan profesionalisme di dunia kerja. Dunia pesantren dihadapkan kepada masalah-masalah globalisasi, yang dapat dipastikan menanggung beban tanggung jawab yang tidak ringan bagi pesantren.

Semakin disadari, tantangan dunia pesantren semakin besar dan berat.

Paradigma “mempertahankan warisan lama yang masih relevan dan mengambil

hal terbaru yang lebih baik” perlu direnungkan kembali. Pesantren harus mampu

mengungkap secara cerdas problem kekinian kita dengan pendekatan-pendekatan kontemporer. Disisi lain, modernitas, yang menurut beberapa kalangan harus segera dilakukan oleh kalangan pesantren, ternyata berisi paradigma dan pandangan dunia yang telah merubah cara pandang lama terhadap dunia itu sendiri dan manusia.

1Tim Dirjen Pembinaan PAI pada Sekolah Umum, Metodologi Pendidikan Agama Islam,

Jakarta : Depatemen Agama RI, 2001, hal. 19

2Mujamil Qamar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi,


(13)

Dalam konteks yang dilematis ini, pilihan terbaik bagi pesantren adalah mendialogkannya dengan paradigma dan pandangan dunia yang telah diwariskan oleh generasi pencerahan Islam. Maksudnya, insan pesantren perlu memosisikan

warisan masa lalu sebagai “teman dialog” bagi modernitas dengan segala produk

yang ditawarkannya. Mereka harus membaca khazanah lama dan baru dalam

frame yang terpisah. Masa lalu hadir atau dihadirkan dengan terang dan jujur, lalu

dihadapkan dengan kekinian. Boleh jadi masa lalu tersebut akan tampak “basi” dan tak lagi relevan, namun tak menutup kemungkinan masih ada potensi yang dapat dikembangkan untuk zaman sekarang.

Salah satu hal yang perlu dimodifikasi adalah sistem pendidikan pesantren. System pembelajaran tradisional, yaitu sorogan, bandongan, wetonan, hafalan

atau halaqah seharusnya mulai diseimbangkan dengan system pembelajaran

modern. Dalam aspek kurikulum juga seharusnya kalangan pesantren berani mengakomodasi dari kurikulum pemerintah.

Pondok pesantren Al-Qur’an Assanusiah terletak di Jl. Raya Serang Km. 2 Kadu Merak Pandeglang Banten. Pondok pesantren Al-Qur’an Assanusiah ini mengajarkan pendidikan pesantren secara tradisional.

Dari sinilah penulis melihat, ada suatu keistimewaan yang sampai saat ini di zaman yang serba canggih ini Metode Tradisional masih dibudayakan di Pondok Pesantren tersebut. Dengan alasan itu pun penulis tertarik sekali untuk mengadakan penelitian yang kemudian penulis jadikan bahan untuk pengajuan Skripsi dengan judul “PERSPEKTIF ALUMNI TERHADAP METODE PEMBELAJARAN TRADISIONAL DI PONDOK PESANTREN AL-QUR’AN ASSANUSIAH” : “Studi Kasus Pondok Pesantren Al-Qur’an


(14)

B. Identifikasi Masalah

Dari Latar Belakang Masalah tersebut penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut:

1. Profil alumni pondok pesantren Al-Qur’an Assanusiah

2. Pandangan alumni terhadap metode pembelajaran di pondok pesantren tradisional

3. Metode-metode tradisional

C. Pembatasan Masalah

Dari beberapa permasalahan yang telah diidentifikasi diatas, maka permasalahan dalam penelitian ini dibatasi pada:

1. Sasaran dalam penelitian ini adalah hanya dibatasi pada para alumninya saja

2. Pandangan para alumni terhadap metode pembelajaran tradisional di pondok pesantren Al-Qur’an Assanusiah

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : “Bagaimanakah pandangan para alumni terhadap metode pembelajaran tradisional di pondok pesantren

tersebut”?

E. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pandangan para alumni terhadap metode pembelajaran di pondok pesantren tradisional

2. Untuk mengetahui metode pembelajaran yang diajarkan di pondok pesantren tersebut


(15)

F. Kegunaan Penelitian

Selanjutnya dengan dicapainya tujuan tersebut diharapkan dari hasil penelitian ini dapat di peroleh kegunaanya antara lain:

1. Secara akademis, memberikan kontribusi bagi pengembangan penelitian melalui metode pembelajaran tradisional sebagai alat bantu utama pada Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Secara praktis, penellitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi para teoritis, praktis dan aktivis Pendidikan Islam pada umumnya termasuk juga para pengurus Pondok Pesantren Al-Qur’an Assanusiah yang menjadikan tempat tersebut sebagai wahana pendidikan tradisional


(16)

6 BAB II

KAJIAN TEORITIS A. Pesantren

1. Pengertian Pesantren

Pengertian pesantren berasal dari kata santri dgn awalan pe-dan akhiran an berarti tempat tinggal santri. Soegarda Poerbakawatja yg dikutip oleh Haidar Putra Daulay mengatakan pesantren berasal dari kata santri yaitu seseorang yg belajar agama Islam sehingga dgn demikian pesantren mempunyai arti tempat orang berkumpul untuk belajar agama Islam. Ada juga yg mengartikan pesantren adl suatu lembaga pendidikan Islam Indonesia yg bersifat

“tradisional” utk mendalami ilmu tentang agama Islam dan mengamalkan

sebagai pedoman hidup keseharian (2004: 26-27)

Dalam kamus besar bahas Indonesia pesantren diartikan sebagai asrama tempat santri atau tempat murid-murid belajar mengaji. Sedangkan secara istilah pesantren adl lembaga pendidikan Islam dimana para santri biasa tinggal di pondok (asrama) dgn materi pengajaran kitab klasik dan kitab-kitab umum bertujuan utk menguasai ilmu agama Islam secara detail serta mengamalkan sebagai pedoman hidup keseharian dgn menekankan penting moral dalam kehidupan bermasyarakat (Fenomena 2005: 72).


(17)

Maka dengan demikian sesuai dengan arus dinamika zaman definisi serta persepsi terhadap pesantren menjadi berubah pula. Kalau pada tahap awal pesantren diberi makna dan pengertian sebagai lembaga pendidikan tradisional tetapi saat sekarang pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional tak lagi selama benar.

a. Sejarah Pesantren

Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang tertua di Indonesia, walaupun tidak ada literatur yang secara pasti menulis tentang kapan munculnya pesantren pertama kali di Indonesia. Namun, paling tidak lembaga pendidikan yang disebut pesantren ini telah ada ketika pada masa Walisongo, yaitu sekitar abad ke VI-VII M.1

Sebagai institusi pendidikan Islam yang dinilai paling tua, pesantren memiliki akar transmisi sejarah yang jelas. Orang yang pertama kali mendirikannya dapat dilacak meskipun ada sedikit perbedaan pemahaman. Dikalangan para sejarah terdapat perselisihan pendapat dalam menyebutkan pendirian pesantren pertama kali. Sebagian mereka menyebutkan Syeikh Maulana Malik Ibrahim, yang dikenal dengan Syeikh Magribi, dari Gujarat, India, sebagaai pencipta pondok pesantren di Jawa.2

Dalam perspektif sejarah, lembaga pendidikan yang terutama berbasis di pedesaan ini telah mengalami perjalanan sejarah yang panjang, sejak sekitar abad ke-18. bahkan ada yang mengatakan sejak abad ke-13. Beberapa abad kemudian penyelenggaraan pendidikan ini semakin teratur dengan munculnya tempat-tempat pengajian. Bentuk ini kemudian berkembang dengan pendirian tempat-tempat menginap bagi para pelajar (santri), yang kemudian disebut pesantren. Pesantren pertama didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim. Meskipun bentuknya masih sangat sederhana, pada waktu itu pendidikan pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang terstruktur. Sehingga pendidikan ini dianggap sangat bergengsi. Di lembaga inilah kaum

1Sahal Mahfud, Nuansa Fiqih Sosial,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1994),h. 14

2Mujamil Qamar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi, (Jakarta: Erlangga 13740), h. 7


(18)

muslimin Indonesia mendalami doktrin dasar Islam, khususnya menyangkut praktek kehidupan keagamaan.3

b. Tujuan pesantren

Tujuan pendidikan pesantren merupakan bagian terpadu dari faktor-faktor pendidikan. Tujuan termasuk kunci keberhasilan pendidikan, di samping faktor-faktor yang lain terkait: pendidik, peserta didik, alat pendidikan, dan lingkungan pendidikan. Keberadaan empat faktor ini tidak ada artinya bila tidak diarahkan oleh suatu tujuan. Tak ayal lagi bahwa tujuan menempati posisi yang amat penting dalam proses pendidikan sehingga materi, metode, dan alat pengajaran selalu disesuaikan dengan tujuan. Tujuan yang tidak jelasakan menguburkan seluruh aspek tersebut.

Menurut Mastuhu, tujuan pendidikan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadisn muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau berkhidmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawulan atau abdi masyarakat tetapi Rasul yaitu menjadi pelayan masyarakat sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad (mengikuti sunnah Nabi), mampu berdiri sendiri,bebas, dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat ditengah-tengah masyarakat („Izz

al-Islam wa al-Muslimin) dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan

kepribadian manusia.4

3Abdullah Syukri Zarkasyi, Gontor dan pembaharuan Pendidikan Pesantren,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada) hal.55


(19)

Mafred Ziemek, memberikan rumusan tujuan pesantren adalah membentuk kepribadian, memantapkan akhlak, dan melengkapinya dengan pengetahuan.5 Sementara Zamakhsyari Dhofier mengemukakan tentang tujuan pesantren Tebuireng dalam 30 tahun pertama adalah untuk mendidik calon ulama. Sekarang diperluas untuk mendidik para santri agar kelak dapat

mengembangkan dirinya menjadi “ulama intelektual” dan “intelektual

ulama”.6

Menurut Mujamil Qomar tujuan umum pesantren adalah membina warga negara agarberkepribadian muslim sesuai dengan ajaran-ajaran agama Islam dan menanamkan rasa keagamaan tersebut pada semua segi kahidupannya serta menjadikan sebagai orang yang berguna bagi agama, masyarakat dan negara. Adapun tujuan khusus pesantren adalah sebagai berikut:

1) Mendidik siswa/siswi khusus pesantren adalah anggota masyarakat untuk menjadi seseorang muslim yang bertakwa kepada Allah Swt, berakhlak mulia, memiliki kecerdasan, keterampilan dan sehat lahir batin sebagai warga yang berpancasila.

2) Mendidik siswa/siswi untuk menjadikan manusia muslim selaku kader-kader ulama dan mubaligh yang berjiwa ikhlas,tabah, tangguh, wiraswasta dalam mengamalkan sejarah Islam secara utuh dan dinamis.

3) Mendidik siswa/siswi santri untuk memperoleh pribadi dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya dan bertanggung jawab kepada pembangunan bangsa dan negara. 4) Mendidik tenaga-tenaga penyuluh pembangunan mikro (keluarga

dan regional, pedesaan/masyarakat lingkungannya).

5 Mafred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, terjemahan Butche B. Soendjojo, (Jakarta: P3M, 1986), hal. 157.


(20)

5) Mendidik siswa/siswi agar menjadi tenaga-tenaga yang cakap dalam berbagai sekor pembangunan, khususnya pembangunan mental-spiritual.

6) Mendidik siswa/siswi untuk membantu meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat lingkungan dalam rangka usaha pembangunan masyarakat bangsa.7

Rumusan ini adalah yang paling rinci diantara rumusan yang pernah diungkapkan oleh beberapa para ahli, tetapi harapan untuk memberlakukan tujuan tersebut bagi seluruh pesantren rupanya kandas. Kiai-kiai pesantren tidak mentransfer rumusan tersebut secara tertulis sebagai tujuan baku bagi pesantrennya kendati orientasi pesantren tidak jauh berbeda dengan kehendak tersebut.

Dari beberapa tujuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa tujuan pesntren adalah membentuk kepribadian muslim yang menguasai ajaran-ajaran Islam dan mengamalkannya, sehingga bermanfaat bagi agama, masyarakat, dan negara.

c. Kurikulum Pesantren

Pada sebagian pesantren, terutama pada pesantren-pesantren pada masa sebelumnya perang, istilah kurikulum tidak dapat ditentukan. Walaupun materinya ada di dalam praktek pengajaran, bimbingan rihani, dan latihan kecakapan dalam kehidupan sehari-hari.8

Pembahasan kurikulum sebenarnya belum banyak dikenal pesantren, bahkan di Indonesia pembahasan kurikulum belum pernah populer pada saat proklamasi kemerdekaan apalagi sebelumnya. Berbeda dengan kurikulum istilah materi pelajaran justru lebih dikenal dan mudah

7Mujamil Qomar,Pesanten Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi(Jakarta: Erlangga) hal. 6-7


(21)

dipahami di kalangan pesantren. Namun untuk pemaparan berbagai kegiatan, baik yang berorientasi pada pengembangan intelektual, keterampilan, pengabdian secara umum kepribadian agaknya lebih tepat menggunkan istiah kurikulum.

Pemaknaan kurikulum sebagaimana yang telah disampaikan oleh Umar Hamalik adalah program pendidikan yang disediakan oleh lembaga pendidikan (sekolah) bagi siswa. Berdasarkan program pendidikan tersebut santriawan/santri melakukan sebagai kegiatan belajar, sehingga mendorong perkembangan dan pertumbuhannya sesuai dengan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.

Kurikulum pesantren dalam wacana selanjutnya mengacu kepada pengertian yang luas sehingga bisa meliputi kegiatan-kegiatan intra kurikuler maupun ekstra kurikuler dan bisa melibatkan aktifitas yang diperankan oleh santri maupun kiyai.

Apabila ditinjau dari mata pelajaran yang diberikan secara formal oleh kiyai, maka sebagaimana yang telah diuraikan bahwa pelajaran yang diberikan bisa dianggap sebagai kurikulum, yaitu berkisar pada ilmu pengetahuan, agama dan segala faktanya.

Yang terutama dipentingkan ialah pengetahuan yang berhubungan dengan bahasa Arab (ilmu Nahwu, Shorof dan ilmu Bahasa yang lainnya).

Dan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan syari’at. (ilmu Fiqih,

baik bagian ibadah maupun muamalahnya).ilmu-ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an dan tafsir-tafsirnya, hadis serta mustolah hadis, begitu juga mengenai ilmu kalam, tauhid dan sebagainya yang biasanya sudah masuk dalam pengajaran tingkat tinggi.9

Dari segi kurikulumnya, Arifin menggolongkan pesantren menjadi tiga kelompok yaitu pesantren modern, pesantren takhassus (ilmu alat, ilmu

fiqih/ushul fiqh, tafsir/hadits, tasawuf/thariqat dan qira’at al qur’an) dan

pesantren campuran.


(22)

Jenis pendiidkan pesantren bersifat non formal, hanya mempelajari agama, bersumber pada kitab-kitab klasik meliputi bidang-bidang studi tauhid, tafsir, hadits, fikih, usul fikih, tasawuf, bahasa arab, mantic, dan akhlak. Kurikulum dalam jenis pendidikan pesantren berdasarkan tingkat kemudahan dan kompleksitas ilmu atau masalah yang dibahas dalam kitab, jadi ada tingkat awal, tingkat menengah, dan tingkat lanjut, sedangkan jenis pendidikan madrasah dan sekolah umum bersifat formal dan kurikulumnya mengikuti ketentuan pemerintah.10

d. Elemen-elemen Pesantren 1. Kyai

Kyai adalah tokoh sentral dalam suatu pesantren, maju mundurnya pesantren ditentukan oleh wibawa dan kharisma sang kiai. Oleh karena itu tidak jarang terjadi, apabilasang kiai di suatu pesantren wafat maka pamor pesantren tersebut merosot karena kyai yang menggantikannya itu tidak setenar kyai yang telah wafat. Kyai dalam bahasa pesantren ini biasanya mengacu kepada gelar yang diberikan masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki pesantren dan mengajarkan kitab-kitab Islam klasik kepada santrinya.11

Sedangkan menurut Sulthon Masyhud bahwa kyai adalah pemimpin, pendiri sekaligus pemilik pesantren. Yang biasanya mengajarkan manuskrip-manuskrip keagamaan klasik berbahasa

Arab yang dikenal dengan istilah “Kitab Kuning” sementara para

santri mendengarkan sambil memberi catatan (ngesahi-Jawa) pada kitab yang sedang dibaca.12

10M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, (Jakarta: Bani Aksara, 1991), hal. 251-252.

11Haidar Putra Daulay, Historitas dan Eksistensi Pesantrn, Sekolah dan Madrasah

(Yogyakarta: PT. Tiara Wacana,2001) h. 14


(23)

2. Masjid

Masjid sebagai elemen pesantren yang kedua menurut Zamakhsyari Dhofier sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren dan merupakan manifestasi universalisme dasar sistem pendidikan Islam tradisional. Dalam perspektif sejarah Masjid bukanlah sarana kegiatan peribadatan berkala, melainkan lebih jauh dari itu yaitu masjid menjadi pusat bagi segenap aktifitas Nabi Muhammad dalam berinteraksi dengan umat.

Masjid menurut Nurkholis Madjid masjid dapat juga dikatakan sebagai pranata penting masyarakat Islam. Berawal dari masjid inilah banyak aktifitas yang dilakukan melalui sarana ibadah, sebagaimana terlihat dalam pertumbuhan dan perkembangan sebuah pesantren. Disinilah peran masjid sebagai pusat aktifitas kegiatan baik pendidikan, dakwah, ibadah, dan lain-lain. Disinilah letak manifestasi universalisme yang terdapat dalam sistem pendidikan Islam tradisional, dalam hal ini adalah pesantren. Hingga sekarang ini kyai sering mempergunakan masjid sebagai tempat membaca kitab-kitab klasik dengan metode wetonan dan sorogan.

. 3. Santri

Santri sebagai unsur pokok pesantren yang ketiga setelah kyai dan masjid. Tidak kalah pentingnya dari keempat unsur yang lain. Biasanya santri terdiri dari dua kelompok, yaitu santri mukim dan santri kalong.

Santri mukim ialah santri yang berasal dari daerah yang jauh dan meneteap dalam pondok pesantren. Kedua adalah santri kalong, santri kalong ialah santri-santri yang berasal dari daerah sekitar pesantren dan biasanya mereka tidak menetap dalam pesantren, mereka pulang kerumah masing-masing setiap selesai


(24)

mengikuti suatu pelajaran di pesantren. Pesantren yang masih tradisional biasanya lamanya santri bermukim tidak ditentukan oleh tahun atau kelas, tetapi dari ukuran kitab yang dibaca.

4. Pondok

Istilah pondok boleh jadi berasal dari bahasa arab yaitu

funduq, yang berarti hotel atau penginapan.13 Istilah pondok ini

juga diartikan sebagai asrama para santri, dengan demikian disebutkan didepan harus memiliki asrama, santri, masjid, kyai, ustadz dan santri.

Ada beberapa alasan pokok mengapa pondok atau asrama itu harus ada dalam suatu pesantren. Pertama, banyaknya santri-santri yang berdatangan dari daerah yang jauh untuk menuntut ilmu kepada seorang kyai yang telah termasyhur keahlian. Kedua, karena pesantren-pesantren tersebut terletak di desa, jadi tidak ada perumahan bagi santri yang berdatangan dari luar daerah. Ketiga, ada hubungan timbal balik atau saling berinteraksi antara kyai sebagai orang tuanya sendiri. Disinilah letak pembelajaran dan pembiasaan yang dialami santri untuk mencontoh pola tindakan kyai, karena mereka saling berinteraksi selama 24 jam penuh. Dan kyai bisa mengontrol dan mengetahui sejauh mana perkembangan santri yang ada di bawah bimbingannya. Di sini peran kyai menjadi bertambah berat karena kyai harus menjadi tauladan atau contoh bagi semua santri yang ada, baik dalam msalah-masalah ibadah maupun masalah-masalah sosial yang lain.14

13 Ahmad Warson Munawir, Kamus Arab-Indonesia,( Unit Pengadaan buku-buku ilmiahKeagamaan, Pondok Pesantren Al-Munawir q964),h. 1154

14Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren : Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, (Jakarta:LP3S) hal. 79-93


(25)

e. Bentuk-Bentu Pesantren 1. Salafiyah

Pesantren salafi, yaitu pesantren yang tetap mempertahankan pelajarannya dengan kitab-kitab klasik, dan tanpa diberikan pengetahuan umum. Model pengajarannya pun sebagaimana yang lazim diterapkan dalam pesantren salaf, yaitu sorogan dan weton. Weton adalah pengajian yang inisiatifnya berasaldari kyai sendiri, baik dalam menentukan tempat, waktu, maupun lebih-lebih kitabnya. Sedangkan sorogan adalah pengajian yang merupakan permintaan dari seseorang atau beberapa orang santri kepada kyainya untuk diajarkan kitab-kitab tertentu. Sedangkan istilah

salaf ini bagi kalangan pesantren mengacu kepada pengertian “pesantren tradisional” yang justru sarat dengan pandangan dunia dan praktek islam sebagai warisan sejarah, khususnya dalam bidang syari’ah dan tasawwuf.

Sejak tumbuhnya pesantren, pengajaran kitab-kitab klasik diberikan sebagai upaya untuk meneruskan tujuan utama pesantren yaitu mendidik calon-calon ulama yang setia terhadap faham Islam tradisional. Karena itu kitab-kitab Islam klasik merupakan bagian integral dari nilai dan faham pesantren yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Penyebutan

kitab-kitab Islam klasik di dunia pesantren lebih populer dengan sebutan “kitab-kitab kuning”, tetapi asal usul istilah ini belum diketahui secara pasti. Mungkin

penyebutan istilah tersebut guna membatasi dengan tahun karangan atau disebabkan warna kertas dari kitab tersebut berwarna kuning, tetapi argumentasi ini kurang tepat sebab pada saat ini kitab-kitab Islam klasik sudah banyak dicetak dengan kertas putih

Pengajaran kitab-kitab klasik oleh pengasuh pondok (Kyai) atau ustadz biasanya dengan menggunakan sistem sorogan, wetonan, dan

bandongan. Adapun kitab-kitab Islam klasik yang diajarkan di pesantren

menurut Zamakhsyari Dhofir dapat digolongkan ke dalam 8 kelompok, yaitu: (1) Nahwu (syntax) dan Sharaf (morfologi), (2) Fiqih (hukum), (3)


(26)

Ushul Fiqh (yurispundensi), (4) Hadits, (5) Tafsir, (6) Tauhid (theologi), (7) Tasawuf dan Etika, (8) Cabang-cabang lain seperti Tarikh (sejarah)

dan Balaghah”.

Kitab-kitab klasik adalah kepustakaan dan pegangan para Kyai di pesantren. Keberadaannya tidaklah dapat dipisahkan dengan Kyai di pesantren. Kitab-kitab Islam klasik merupakan modifikasi nilai-nilai ajaran Islam, sedangkan Kyai merupakan personifikasi dari nilai-nilai itu. Di sisi lain keharusan Kyai di samping tumbuh disebabkan kekuatan-kekuatan mistik yang juga karena kemampuannya menguasai kitab-kitab Islam klasik.

Sehubungan dengan hal ini, Moh. Hasyim Munif mengatakan

bahwa: “Ajaran-ajaran yang terkandung dalam kitab kuning tetap

merupakan pedoman hidup dan kehidupan yang sah dan relevan. Sah artinya ajaran itu diyakini bersumber pada kitab Allah Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah (Al-Hadits), dan relevan artinya ajaran-ajaran itu masih tetap cocok dan berguna kini atau nanti”.

Dengan demikian, pengajaran kitab-kitab Islam klasik merupakan hal utama di pesantren guna mencetak alumnus yang menguasai pengetahuan tentang Islam bahkan diharapkan diantaranya dapat menjadi Kyai.

a. Pengertian Tradisional

Istilah pengetahuan tradisional pertama kali diintrodusir di dalam instrumen hukum internasional. Istilah ini diberi pengertian ruang lingkup yang berbeda oleh masing-masing lembaga internasional tersebut mempunyai tujuan dan paradigma yang berbeda pula.15

15Daulay Zainul, pengetahuan Tradisional, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), cet 1, h. 17


(27)

Dalam sejarahnya pesantren Salaf (tradisional) merupakan cikal bakal lembaga pendidikan Islam di Indonesia dan merupakan sistem pendidikan yang khas Indonesia. Dalam tatanan sosial budayanya, lembaga pendidikan ini merupakan basis keilmuan dan cagar tradisi keagamaan masyarakat muslim Indonesia.

Secara etimologi kata “salaf” yang sering disinonimkan dengan istilah

“tradisional” berasal dari bahasa Arab as-salaf yanng berarti terdahulu, sehingga

as-salafas-shalihin artinya adalah para ulama terdahulu yang shaleh-shaleh.

Sedangkan menurut terminologi khazanah Islam, “salaf” berarti ulama yang hidup terdahulu generasi abad I-III H, yaitu para ulama generasi sahabat,

Tabi’in dan Tabi’ at-Tabi’n yang merupakan kkurun terbaik pasca Rasul SAW.

Menurut Abdurrahman Wahid, bahwa standar dalam kategorisasi salaf adalah

angkatan Tabi’in (sucessors).16

Oleh karena itu, istilah “tradisional” sebagai sebutan akomodasi tradisi

lokal pra–islam lebih cocok dialamatkan kepada muslim tradisionalis yang tinggal di daerah pedesaan.

Sedangkan istilah “tradisional” untuk pesantren lebih tepat jika untuk menyambut sebagai institusi agama yang masih melestarikan tradisi, khususnya warisan para ulama, baik ulama Nusantara maupun Timur Tengah. Dengan kata

lain, jika yang dimaksud istilah “ tradisional” ini adalah bentuk pelestarian tradisi

lokal pra-Islam, maka tidak sepenuhnya dapat diterima jika disinonimkan dengan

istilah “salafi” yang lebih menunjukkan kepada warna Timur Tengah-nya abad–

abad pertama dan pertengahan. Sehingga penyamaan term “salafi” oleh kalangan

pesantren sendiri.

Disamping itu, penyebutan istilah “tradisional” juga mengandung konotasi

yang negatif, yaitu dikotomi antara Islam modernis dan Islam tradisional atau dikotomi baru islam fundamentalis (modernis) dan Islam kultural (NU)yang

16Abdul Mughis, Kritik Nalar Fiqih, (Jakarta: PRENADA MEDIA GROUP, 2008), cet 1, h.1126


(28)

sepertinya mengandung unsur-unsur sentimen antar kelompok muslim, terutama kalau diingatkan polemik sengit antar kedua kubu pada tahun 1912-1926.17

b. Pengertian Pesantren Tradisional

Dalam pesantren tradisional, kitab Ta’lim al-Muta’alim adalah buku yang menjadi bacaan wajib. Kitab ini menjadi pegangan para santri hampir semua pesantren di Indonesia. Sebelum membaca kitab-kitab lain, para santri umumnya terlebih dahulu diharuskan membaca kitab ini. Sesuai dengan namanya, kitab ini memuat prinsip-prinsip pengajaran dalam Islam.18

Dari penjelasan di atas penulis penulis menambahkan pengertian pesantren tradisional menurut pendapat Zamakchsyari Dhofier, Nurcholis Madjid, dan Mastuhu berikut pendapatnya:

1). Menurut Zmachsyari Dhofier

Menurut Zamachsyari Dhofier, pesantren tradisional adalah lembaga pesantren yang mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan. Sedangkan sistem madrasah hanya untuk memudahkan sistem sorogan yang dipakai dalam lembaga-lembaga pengajian bentuk lama, tanpa mengenalkan pengajaran pengetahuan umum.

Khusus di dunia pendidikan Islam, mengingat sejarah perjalanan agama ini yang sudah cukup panjang, munculnya kesan dan fakta tradisionalitas di sana-sini tidaklah terhindarkan. Tradisi untuk tetap memakai kitab-kitab klasik berbahasa Arab sebagai bahan pokok yang diajarkan pada santri, kebiasaan untuk duduk bersila di lantai pada saat mengaji, juga peralatan serba sederhana sampai kini masih menjadi gambaran yang lumrah bagi sebagian lembaga pendidikan Islam, terutama pesantren.

17ibid, h. 130

18Abdullah Syukri, Gontor & pembaharuan pendidikan pesantren, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persad) h. 169


(29)

Pesantren tradisional adalah pesantren yang masih kuat memegang pola tradisional dari segi penyampaian dan pengajaran nilai–nilai islam. Ciri dari pesantren ini adalah : kitab–kitab yang dipelajari masih dengan cara atau sistem sorogan, bandongan maupun wetonan.

Cara-cara yang tersebut diatas adalah cara lama yang telah turun temurun dipraktekkan. Ilmu yang dipelajari di pesantren tradisional ini pada umumnya sama, demikian pula kitab–kitab yang dipakai. Hanya saja ada perbedaan pengajaran diantara pesantren–pesantren tersebut, yaitu terletak pada kadar ilmu yang dimiliki oleh kyai yang bersangkutan.

Ciri lain dari pesantren tradisional adalah : kemutlakan seseorang kyai sebagai pemegang kekuasaan penentu suatu keputusan, pesantren ini biasanya secara manajemen pun adalah manajemen keluarga.19

2). Nurcholis Madjid

Menurut Nurcholis Mdjid pesantren tradisional itu masih banyak sekali mengalami kelemahan maka Cak Nur mempunyai banyak sekali kritikan terhadap Pendidikan Islam Tradisional.

Salah satu untuk mewujudkan masyarakat madani ditentukan oleh sejauh mana kualitas peradaban masyarakat. Peradaban suatu bangsa akan tumbuh dan lahir dari sistem pendidikan yang digunakan oleh bangsa tersebut. Masyarakat yang berperadaban adalah masyarakat yang berpendidikan. Hal ini sesuai dengan konsep pendidikan yang dikemukakan oleh Muhammad Naquib Al-Attas. Menurutnya pendidikan islam itu lebih cepat diistilahkan dengan ta’dib (dibanding dengan istilah

tarbiyah, ta’lim dan lainnya), sebab dengan konsep “ta’dib” pendidikan

akan memberikan adab atau kebudayaan. Dengan istilah ini juga dimaksudkan pendidikan berlangsung dengan terfokus pada manusia sebagai objeknya guna pemenuhan potensi intelektual dan spiritual.


(30)

Lembaga pendidikan yang memainkan perananya di Indonesia, jika dilihat dari struktur internal pendidikan Islam serta praktek-praktek pendidikan yang dilaksanakan, ada empat kategori. Pertama, pendidikan pondok pesantren, yaitu pendidikan Islam yang diselenggarakan secara

tradisional, bertolak dari pengajaran Qur’an dan hadits dan merancang

segenap kegiatan pendidikannya untuk mengajarkan kepada para siswa Islam berbagai cara hidup atau way of life. Kedua, pendidikan madrasah, yakni pendidikan Islam yang diselenggarakan di lembaga-lembaga model Barat, yang mempergunakan metode pengajaran klasikal, dan berusaha menanamkan Islam sebagai landasan hidup ke dalam diri para siswa. Ketiga, pendidikan umum yang bernafaskan Islam, yaitu pendidikan Islam yang dilakukan melalui pengembangan suasana pendidikan yang menyelenggarakan program pendidikan yang bersifat umum. Keempat, pelajaran agama Islam yang diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan umum sebagai suatu mata pelajaran atau mata kmuliah saja.

Ditilik dari sejarah pendidikan Islam Indonesia, pesantren sebagai sistem pendidikan Islam tradisional telah memainkan peran cukup penting dalam membentuk kualitas sumber daya manusia. Tetapi, dalam pandangan Cak Nur lembaga pendidikan ini telah banyak memiliki isi kelemahan.20

3). Mastuhu

Menurut Mastuhu, adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya modal keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari. Pengertian tradisional di sini menunjuk bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan agama (Islam) telah hidup sejak 300 – 500 tahun lalu dan telah menjadi bagian yang mengakar dalam kehidupan sebagian besar umat Islam

20Nurcholis Madjid, Kritik Nurcholis Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional


(31)

Indonesia, dan telah mengalami perubahan dari masa ke masa. Tradisional bukan berarti tetap tanpa mengalami perubahan.21

Dari penjelasan diatas, penulis menyimpulkan pengertian pesantren tradisional adalah pesantren yang masih mempertahankan tradisi lama, dengan apa yang sudah diajarkan terdahulu atau turun temurun, dan masih mempertahankan nilai-nilai Islam. Salah satu cirinya adalah masih mengajarkan kitab-kitab klasik dengan cara mengajarkannya memakai metode sorogan, bandongan, dan wetonan.

c. Karakteristik Pesantren Tradisional (salafiah)

Dalam masyarakat muslim Indonesia, banyak ditemukan karakter-karakter yang ditemukan di masyarakat tradisional di daerah pedesaan yang secara formal dalam wadah Jamiyyah NU, dan secara kultural ditopang oleh transformasi nilai-nilai budaya dan agama dari pesantren salafi.

Dalam kenyataannya memang demikian bahwa mayoritas pesantren salafi dan kaum Nahdliyin sampai sekarang masih tampak warna karekter itu, yaitu berpegang teguh pada sistem nilai dan tradisi masa lalu, memelihara hubungan kekerabatan antarkeluarga pesantren, mengagungkan para leluhur (para wali kiai atau guru yang sudah meninggal), pola hidup yang sederhana , mandiri, dan selektif terhadap patronase dan infiltrasi budaya dari luar.


(32)

Adapun nilai-nilai kultural yang hidup di pesantren, secara umum adalah :

1) Adanya hubungan yang akrab antara kiai dan santri. 2) Tunduknya santri kepada kiai.

3) Pola hidup yang hemat dan sederhana 4) Semangat menolong diri sendiri (mandiri)

5) Memiliki jiwa tolong-menolong antar sesama dan suasana persaudaraan sangat mewarnai pergaulan santri.

6) Pendidikan disiplin sangat ditekankan. 7) Berani menderita untuk mencapai tujuan. 8) Kehidupan agama yang baik, dan

9) Metode pendidikan yang sangat khas, yaitu, dengan metode

sorogan dan bandongan.22

d. Metode Pembelajaran Tradisional

Metode pembelajaran tradisional adalah metode yang sangat sering sekali diterapkan oleh pesantren pada umumnya, khususnya pesantren salaf, kebanyakan pesantren-pesantren menerapkan metode pembelajaran di pondok pesantren menggunakan metode-metode pembelajaran tradisional, bahkan masih banyak pula pondok pesantren modern yang masih menerapkan metode pembelajaran tradisional di pondok pesantren tersebut, seperti pondok pesantren Gontor, meskipun Gontor sudah melakukan pembaharuan dalam pendidikan pesantrennya, pondok pesantren Gontor masih tetap menerapkan metode tradisional, contohnya dalam pembelajaran kitab-kitab Islam klasik dikarang para ulama terdahulu, termasuk pelajaran mengenai macam-macam ilmu pengetahuan AgamaIslam dan bahasa Arab.

22Abdul Mughis, Kritik Nalar Fikih Pesantren, ( Jakarta: PRENADA MEDIA GROUP, 2008), cet 1, h 137


(33)

Di kalangan pesantren kitab-kitab Islam klasik sering disebut kitab kuning oleh karena itu warna kertas kitab kebanyakan berwarna kuning. Metode yang digunakan dalam proses pembelajaran di pesantren sebenarnya banyak. Namun dalam penulisan skripsi ini penulis hanya akan memaparkan lima metode yang lebih populer saja yaitu:

1) Metode Bandongan

Metode Bandongan disebut juga dengan metode wetonan, ada juga yang menyebutnya pengajian sentral. Metode bandongan dilakukan oleh seorang kyai atau ustadz terhadap sekelompok peserta didik atau santri untuk mendengarkan dan menyimak apa yang dibicarakannya dari sebuat kitab. Selain pelaksanaan bandongan ini seorang kyai atau ustadz membaca, menerjemahkan, menerangkan dan sering sekali mengulas teks-teks kitab berbahasa arab tanpa harakat (gundul) sementara itu santri dengan menggunakan kitab yang sama masing-masing menggunakan pendhabitan harakat, pencatat simbol-simbol, kedudukan kata, arti-arti kata yang berada di bawah kata arab asli yang dimaksud.23

Metode wetonan atau disebut bandongan adalah metode yang paling utama dilingkungan pesantren. Zamakhsyari Dhofier menerangkan dengan cara guru membaca, menerjemahkan, menerangkan dan mengulas buku-buku Islam dalam bahasa Arab sedang sekelompok santri mendengarkannya. Mereka memperhatikan bukunya sendiri dan membuat catatan-catatan (baik arti maupun keterangan) tentang kata-kata atau buah pikiran yang sulit.24

23Qodri Azizy, Depag RI ,Pola Pembelajaran di Pesantren,(Jakarta: Dirjen Binbaga Islam,2003) hal 5

24 Mujamil Qomar,Pesantren Transformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi, (Jakarta: Erlangga 13740) hal 143


(34)

Penerapan metode tersebut mengakibatkan santri bersikap pasif.sebab kreatifitas dalam proses belajar-mengajar didominasi ustadz atau kiai, sementara santri hanya mendengarkan dan memperhatikan keterangannya. Dengan kata lain, santri tidak dilatih mengekspresikan daya kritisnya guna memcermati kebenaran suatu pendapat.

Wetonan dalam prakteknya selalu berorientasi pada pemompaan materi tanpa melalui kontrol tujuan yang tegas. Dalam metode ini, santri bebas mengikuti pelajaran karena tidak diabsen. Kiai sendiri mungkin tidak mengetahui santri-santri yang tidak mengikuti pelajaran terutama jika jumlahnya mereka puluhan atau bahkan ratusan orang. Ada peluang bagi santri untuk tidak mengikuti pelajaran. Sedangkan santri yang mengikuti pelajaran mealalui metode wetonan ini adalah mereka yang berada pada tingkatan menengah.

2) Metode Sorogan

Metode sorogan ini merupakan kegiatan pembelajaran bagi para santri yang lebih menitik beratkan pada pengembangan kemampuan perseorangan atau individu di bawah pemimpin seorang kyai atau ustadz. Metode ini juga disebut layanan individual. Proses pembelajaran dengan metode sorogan ini, yaitu para santri ditugaskan membaca kitab, atau Al-Qur’an sedangkan kyai atau ustadz yang sudah mumpuni menyimak sambil mengoreksi dan mengevaluasi bacaan seseorang santri.

Metode sorogan merupakan suatu metode yang ditempuh dengan cara guru menyampaikan pelajaran kepada santri secara individual, di pesantren sasaran metode ini adalah


(35)

kelompok santri tingkat rendah yaitu mereka yang baru menguasai pembacaan Al-Qur’an melalui sorogan, perkembangan intelektual para santri dapat ditangkap kiai secara utuh. Dia dapat memberikan bimbingan penuh kejiwaan sehingga dapat membeikan tekanan pengajaran kepada santri-santri tertentu atas dasar observasi langsung terhadap tingkat kemampuan dasar dan kapasitas mereka. Sebaliknya, penerapan metode sorogan menuntut kesabaran dan keuletan pengajar. Santri dituntut memiliki disiplin tinggi. Disamping itu aplikasi metode ini membutuhkan waktu yang lama, yang berarti pemborosan, kurang efektif dan efisien.

3) Metode Musyawarah atau Bahtsul Masail

Metode musyawarah atau dalam istilah lain Bahtsul

Masail merupakan metode yang mirip denganmetode diskusi

atau seminar. Metode ibni dilakukan dengan cara beberapa orang santri membentuk halaqah yang dipimpin langsung oleh kyai atau seorang santri senior (ustadz) untuk membahas suatu persoalan yang telah ditentukan sebelumnya. Dengan demikian metode ini lebih menitik beratkan suatu persoalan dengan argumen-argumen yang mengacu pada kitab-kitab tertentu.25

Metode musyawarah tersebut mulai menarik perhatian dan di praktekkan dalam wilayah yang lebih luas. Beberapa pesantren yang terpengaruh langsung oleh Gontor, mulai menerapkan percakapan bahasa Arab setiap hari yang di wajibkan oleh seluruh penghuni pesantren, untuk menunjang efektifitas dan efesiensi percakapan.

25Mujamil Qomar,Pesantren Transformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi, (Jakarta: Erlangga 13740) hal 144


(36)

Dalam kelas musyawarah, sistem pengajarannya sangat berbeda dari sistem sorogan dan bandongan, para santri harus mempelajari sendiri kitab-kitab yang ditunjukkan dan dirujuk. Kiyai memimpin kelas musyawarah seperti dalam suatu seminar dan lebih banyak dalam bentuk tanya-jawab, biasanya hampir seluruhnya diselenggarakan dalam bahasa Arab, dan merupakan latihan bagi para siswa untuk menguji keterampilannya dalam menyerap sumber-sumber argumentasi dalam kitab-kitab Islam klasik.

Seringkali, pimpinan pesantren beberapa hari sebelum kelas musyawarah dimulai menyiapkan bsejumlah pertanyaan bagi pesertakelompok musyawarah yang akan bersidang. Sebelum acara diskusi, peserta kelas musyawarah biasanya menyelenggarakan diskusi untuk menyampaikan kesimpulan masalah yang di siapkan oleh kiainya. Diskusi dalam kelas musyawarah bernuasa bebas. Mereka yang mengajukan pendapat diminta untuk menyebuutkan sumber berbagai dasar argumentasi.

Mereka yang dinilai oleh kiyai sudah cukup matang untuk menggali sumber-sumber referensi, memiliki keluasan bahan-bahan bacaan dan mampu menemukan atau menyelesaikan problem-problem menurut sistem jurisprudensi mazhab

Syafi’i diwajibkan menjadi pengajar kitab-kitab tingkat

tinggi.para kiai muda ini biasanya menulis komentar-komentar atau pendapat-pendapat dalam bahasa Arab. 26


(37)

4) Metode Pengajian Pasaran

Metode pengajian pasaran adalah kegiatan belajar para santri melalui pengkajian materi (kitab tertentu) pada seorang kyai atau ustadz yang dilakukan oleh sekelompok santri dalam kegiatan yang terus-menerus dalam waktu tertentu. Tapi pada umumnya pengajian ini dilakukan pada bulan Ramadhan. Metode ini mirip dengan metode

bandongan.

5) Metode Hafalan

Metode hafalan ialah kegiatan belajar santri dengan cara menghafal suatu teks tertentu di bawah bimbingan dan pengawasan seorang kyai atau ustadz. Para santri diberi tugas untuk menghafal bacaan dalam jangka waktu tertentu. Hafalan yang dimiliki santri ini kemudian dihafalkan di hadapan kyai atau ustadznya secara priodik atau insidental tergantung petunjuk kyai atau ustadz. Metode hafalan ini biasanya berkenaan dengan Al-Qur’an, nadham-nadham untuk disiplin ilmu nahwu, shorof, tajwid, maupun fiqih.27

Menurut penulis metode pembelajaran Tradisional sebagaimana yang sudah penulis paparkan yaitu metode Bandongan, metode Sorogan, metode Musyawarah atau Bahtsul Masail, metode pengajian pasaran, dan metode hafalan. Dari sekian banyaknya metode pembelajaran ini, yang sangat sering sekali diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar di pondok Pesantren Al-Qur’an Assanusiah yaitu metode Sorogan, Bandongan, dan hafalan.

27Qodri Azizy, Depag RI, Pola Pembelajaran di Pesantren, (Jakarta: Dirjen Binbaga Islam,2003), hal. 100


(38)

2. Pondok pesantren modern (khalaf)

a). Pengertian pondok pesantren modern

Seiring dinamika zaman, banyak pesantren yang sistem pendidikan asalnya salaf berubah total menjadi pesantren modern. Ciri khas pesantren modern adalah prioritas pendidikan pada sistem sekolah formal dan penekanan bahasa Arab modern (lebih spesifik pada speaking/muhawarah). Sistem pengajian kitab kuning, baik pengajian sorogan wetonan maupun madrasah diniyah, ditinggalkan sama sekali. Atau minimal kalau ada, tidak wajib diikuti. Walaupun demikian, secara kultural tetap mempertahankan ke-NU-annya seperti tahlilan, qunut, yasinan.

b). Karakteristik Pondok pesantren Modern

Pondok pesantren modern memiliki konotasi yang bermacam-macam. Tidak ada definisi dan kriteria pasti tentang ponpes seperti apa yang memenuhi atau patut disebut dengan pesantren 'modern'. Namun demikian, beberapa unsur yang menjadi ciri khas pondok pesantren modern adalah sebagai berikut: (1) Penekanan pada bahasa Arab

percakapan. (2) Memakai buku-buku literatur bahasa Arab kontemporer

(bukan klasik/kitab kuning). (3) Memiliki sekolah formal di bawah

kurikulum Diknas atau Kemenag.(4) Tidak lagi memakai sistem pengajian

tradisional seperti sorogan, wetonan, dan bandongan.

Kriteria-kriteria di atas belum tentu terpenuhi semua pada sebuah pesantren yang mengklaim modern. Pondok modern Gontor, inventor dari istilah pondok modern, umpamanya, yang ciri modern-nya terletak pada penggunaan bahasa Arab kontemporer (percakapan) secara aktif dan cara berpakaian yang meniru Barat. Tapi, tidak memiliki sekolah formal yang kurikulumnya diakui pemerintah.


(39)

c). Metode pembelajaran pesantren modern

Pada era 1970-an, pesantren mengalami perubahan yang sangat signifikan yang tampak dalam beberapa hal. Pertama, peningkatan secara kuantitas terhadap jumlah pesantren. Tercatat di Departemen Agama, bahwa pada tahun 1977, ada 4.195 pesantren dengan jumlah santri sebanyak 667.384 orang. Jumlah tersebut meningkat menjadi 5.661 pesantren dengan 938.397 orang santri pada tahun 1981. kemudian jumlah tersebut menjadi 15.900 pesantren dengan jumlah santri sebanyak 5,9 juta orang pada tahun 1985. Kedua, menyangkut penyelenggaraan pendidikan. Perkembangan bentuk-bentuk pendidikan di pesantren tersebut diklasifikasikan menjadi empat, yaitu: (1) Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal dengan menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan maupun yang juga memiliki sekolah umum. (2) Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan agama dalam bentuk Madrasah Diniyah. (3) Pesantren yang hanya sekedar manjadi tempat pengajian. (4) Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk Madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan umum meski tidak menerapkan kurikulum nasional.

Perkembangan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa beberapa pesantren ada yang tetap berjalan meneruskan segala tradisi yang diwarisinya secara turun temurun, tanpa ada perubahan dan improvisasi yang berarti, kecuali sekedar bertahan. Namun ada juga pesantren yang mencoba mencari jalan sendiri, dengan harapan mendapatkan hasil yang lebih baik dalam waktu singkat. Pesantren semacam ini adalah pesantren yang kurikulumnya berdasarkan pemikiran akan kebutuhan santri dan masyarakat sekitarnya.

Meskipun demikian, semua perubahan itu, sama sekali tidak mencabut pesantren dari akar kulturnya. Secara umum pesantren tetap memiliki fungsi-fungsi sebagai: (1) Lembaga pendidikan yang melakukan


(40)

transfer ilmu-ilmu pengetahuan agama (tafaqquh fi addin) dan nilai-nilai islam (Islamic values). (2) Lembaga keagamaan yang melakukan kontrol sosial (social control). (3) Lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa sosial (Social engineering). Perbedaan-perbedaan tipe pesantren di atas hanya berpengaruh pada bentuk aktualisasi peran-peran ini.

Modernisasi atau inovasi pendidikan pesantren dapat diartikan sebagai upaya untuk memecahkan masalah pendidikan pesantren. Atau dengan kata lain, inovasi pendidikan pesantren adalah suatu ide, barang, metode yang dirasakan atau diamati sebagai hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang , baik berupa hasil penemuan (invention) maupun

discovery, yang digunakan untuk mencapai tujuan atau memecahkan

masalah pendidikan pesantren.

Menurut Nur Cholis Madjid, yang paling penting untuk direvisi adalah kurikulum pesantren yang biasanya mengalami penyempitan orientasi kurikulum. Maksudnya, dalam pesantren terlihat materinya hanya khusus yang disajikan dalam bahasa Arab. Mata pelajarannya meliputi

fiqh, aqa’id, nahwu-sharf, dan lain-lain. Sedangkan tasawuf dan semangat

keagamaan yang merupakan inti dari kurikulum keagamaan cenderung terabaikan. Tasawuf hanya dipelajari sambil lalu saja, tidak secara sungguh-sungguh. Padahal justru inilah yang lebih berfungsi dalam masyarakat zaman modern. Disisi lain, pengetahuan umum nampaknya masih dilaksanakan secara setengah-setengah, sehingga kemampuan santri biasanya samgat terbatas dan kurang mendapat pengakuan dari masyarakat umum. Maka dari itu, Cak Nur menawarkan kurikulum Pesantren Modern Gontor sebagai model modernisasi pendidikan pesantren.28


(41)

B. Metode Pembelajaran

1. Pengertian Metode Pembelajaran

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, metodologi berarti ilmu tentang metode atau uraian tentang metode. Dan dalam bahasa Arab disebut minhaj,

wasilah, kaipiyah, dan thoriqoh, semuanya adalah sinonim, namun yang

paling populer digunakan dalam dunia pendidikan Islam adalah thoriqoh,

bentuk jama’ dari thuruq yang berarti jalan atau cara yang harus ditempuh.

Menurut M. Arifin, Metodologi berasal dari dua kata yaitu metode dan logi. Adapun metode berasal dari dua kata yaitu meta (melalui) dan hodos (jalan atau cara), dan logi yang berasal dari bahasa Greek (Yunani) yaitu logos (akal atau ilmu), maka metodologi adalah ilmu pengetahuan tentang jalan atau cara yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan. Dengan demikian, metodologi pendidikan adalah sesuatu ilmu pengetahuan tentang metode yang dipergunakan dalam pekerjaan mendidik.29 Hanya saja, Mahmud Yunus menambahkan baik dalam lingkungan perusahaan atau perniagaan, maupun dalam kupasan ilmu pengetahuan dan lainnya.30

Dalam bahasa Inggris, metode di sebut method dan way, keduanya diartikan cara. Sebenarnya yang lebih layak diterjemahkan cara adalah kata way itu, bukan kata method. Karena metode istilah yang digunakan untuk

mengungkapkan pengertian “cara yang paling tepat (efektif) dan cepat

(efisien)” dalam melakukan sesuatu.31 Maka metodologi dalam pengertian ini

adalah ilmu tetang metode yaitu ilmu yang mempelajari cara yang paling tepat (efektif) dan cepat (efisien) untuk mencapaian tujuan pembelajaran

29 M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam; Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, cet. ke empat, Jakarta, Bumi Aksara, 1996. Hal. 61.

30 Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta, Ciputat Press. 2000, Hal. 87

31Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Cet ke delapan, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2004, Hal. 9.


(42)

Pendidikan Agama Islam. Berdasarkan pengertian di tersebut, maka dijumpai dalam buku metodologi pengajaran lebih banyak membahas bermacam-macam metode, seperti metode ceramah, tanya jawab, diskusi, demontrasi dan lain-lain.

Pengertian yang lebih luas tentang metodologi adalah pendapat Hasan Langgulung, yang menyatakan bahwa metodologi pengajaran ialah ilmu yang mempelajari segala hal yang akan membawa proses pengajaran bisa lebih efektif. Dengan kata lain metodologi ini menjawab pertanyaan how, what, dan who yaitu pertanyaan bagaimana mempelajari sesuatu (metode)?, apa yang harus dipelajari (ilmu)?, serta siapa yang mempelajari (peserta didik) dan siapa yang mengajarkan (guru)?.32

Pendapat yang semakna dengan di atas dikemukakan oleh Omar Mohmmad Al-Toumy Al-Syaibany yang menyatakan bahwa :

“metode mengajar bermakna segala segi kegiatan yang terarah yang

dikerjakan oleh guru dalam rangka kemestian-kemestian mata pelajaran yang diajarkan, ciri-ciri perkembangan murid-muridnya, dan suasana alam sekitarnya dan tujuan menolong murid-muridnya untuk mencapai proses belajar yang diinginkan dan perubahan yang dikehendaki pada tingkah laku mereka. Selanjutnya menolong mereka memperoleh maklumat, pengetahuan, keterampilan, kebiasaan, sikap, minat dan nilai-nilai yang diinginkan”.33

32Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, edisi revisi, Jakarta, Al-Husna Zikra, 2000, Hal. 350

33Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, Alih bahasa Hasan Langgulung, cet. pertama. Jakarta, Bulan Bintang, 1979, Hal. 553.


(43)

Pendapat di atas diperkuat dengan fiman Allah dalam surah An-Nahl : 125, yang artinya sebagai berikut :





























































Artinya: Serulah (Manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan nasehat yang baik, serta berbantahlah mereka dengan cara yang baik (QS.An-Nahl : 125).

Dengan demikian, metodologi pembelajaran tidak hanya membahas metode semata, tapi kajiannya lebih luas yaitu mengaitkan cara mengunakan metode dengan bahan yang diajarkan, peserta didik dan guru bahkan lingkungan.

a. pengertian metode menurut para ahli

Adapun pengertian pembelajaran menurut beberapa ahli, sebagai berikut :

1). Pendapat Gagne, bahwa pembelajaran diartikan seperangkat acara pristiwa eksternal yang dirancang untuk mendukung terjadinya proses belajar yang bersifat internal.

2). J. Drost (1999), menyatakan bahwa pembelajaran merupakan usaha yang dilakukan untuk menjadikan orang lain belajar.


(44)

3). Mulkan (1993), memahami pembelajarann sebagai suatu aktifitas guna menciptakan kreativitas siswa.34

Pada Pasal 1 butir 20 UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional, yakni “Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar”.

Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa pembelajaran adalah serangkaian kegiatan atau situasi yang sengaja dirancang agar interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar dapat melakukan aktifitas belajar.

Dari beberapa pengertian tersebut, dapat dikemukankan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memahami metodologi pembelajaran, yaitu sebagai berikut : metodologi pembelajaran adalah sebuah ilmu dalam mengembangkan cara yang dilalui dalam proses pembelajaran yang berupa prinsip-prinsip umum dalam mengajar dan belajar (didaktik umum). Metodologi pembelajaran adalah sebuah ilmu yang membahas cara yang paling cepat (efektif) dan cepat (efisian) yang dapat digunakan guru dalam menyajikan materi dalam kegiatan proses pembelajaran dikelas (Didaktik khusus).

34Nazarudin Rahman, Manajemen Pembelajaran ; Implementasi Konsep, Karakteristik dan Metodologi Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum, Cet I, Yogyakarta, Pustaka Felicha, 2009, hal.163


(45)

b. Macam-Macam Metode

Metode menurut Djamaluddin dan Abdullah Aly berasal dari kata

meta berarti melalui, dan hodos jalan. Jadi metode adalah jalan yang harus

dilalui untuk mencapai suatu tujuan. Sedangkan menurut Depag RI dalam buku Metodologi Pendidikan Agama Islam (2001:19) Metode berarti cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. Menurut WJS. Poerwadarminta dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia, (1999:767) Metode adalah cara yang

telah teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai suatu maksud. Berdasarkan definisi di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa metode merupakan jalan atau cara yang ditempuh seseorang untuk mencapai tujuan yang diharapkan.

Adapun yang dimaksud pembelajaran Menurut Gagne, Briggs, dan wagner dalam Udin S. Winataputra (2008) dalah serangkaian kegiatan yang dirancang untuk memungkinkan terjadinya proses belajar pada siswa. Sedangkan menurut UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkingan belajar.

Jadi pembelajaran merupakan proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan. Jadi dapat dikatakan Teori belajar merupakan upaya untuk mendeskripsikan bagaimana manusia belajar, sehingga membantu kita semua memahami proses inhern yang kompleks dari belajar.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud metode pembelajaran adalah cara atau jalan yang ditempuh oleh guru untuk menyampaikan materi pembelajaran sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai.


(46)

Metode pembelajaran banyak macam-macam dan jenisnya, setiap jenis metode pembelajaran mempunyai kelemahan dan kelebihan masing-masing, tidak menggunakan satu macam metode saja, mengkombinasikan penggunaan beberapa metode yang sampai saat ini masih banyak digunakan dalam proses belajar mengajar. Menurut Nana Sudjana terdapat bermacam-macam metode dalam pembelajaran, yaitu Metode ceramah, Metode Tanya Jawab, Metode Diskusi, Metode Resitasi, Metode Kerja Kelompok, Metode Demonstrasi dan Eksperimen, Metode sosiodrama

(role-playing), Metode problem solving, Metode sistem regu (team

teaching), Metode latihan (drill), Metode karyawisata (Field-trip), Metode

survai masyarakat, dan Metode simulasi. Untuk lebih jelasnya, penulis uraikan sebagai berikut:

1). Metode ceramah adalah penuturan bahan pelajaran secara lisan. Metode ini tidak senantiasa jelek bila penggunaannya betul-betul disiapkan dengan baik, didukung dengan alat dan media, serta memperhatikan batas-batas kemungkinan penggunaannya. Metode ini seringkali digunakan guru dalam menyampaikan pelajaran apabila menghadapi sejumlah siswa yang cukup banyak, namun perlu diperhatikan juga bahwa metode ini akan berhasil baik apabila didukung oleh metode-metode yang lain, misalnya metode tanya jawab, latihan dan lain-lain. Guru harus benar-benar siap dalam hal ini, karena jika disampaikan hanya ceramah saja dari awal pelajaran sampai selesai, siswa akan bosan dan kurang berminat dalam mengikuti pelajaran, bahkan bisa-bisa siswa tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh gurunya.

2). Metode Tanya Jawab adalah metode mengajar yang memungkinkan

terjadinya komunikasi langsung yang bersifat ywo way traffic, sebab pada saat yang sama terjadi dialog antara guru dan siswa. Guru bertanya siswa menjawab atau siswa bertanya guru menjawab.


(47)

Dalam komunikasi ini terlihat adanya hubungan timbal balik secara langsung antara guru dengan siswa.

3). Metode Diskusi adalah tukar menukar informasi, pendapat dan unsur-unsur pengalaman secara teratur dengan maksud untuk mendapat pengertian yang sama, lebih jelas dan lebih teliti tentang sesuatu atau untuk mempersiapkan dan merampungkan keputusan bersama. Oleh karena itu diskusi bukanlah debat, karena debat adalah perang mulut orang beradu argumentasi, beradu paham dan kemampuan persuasi untuk memenangkan pahamnya sendiri. Dalam diskusi tiap orang diharapkan memberikan sumbangan sehingga seluruh kelompok kembali dengan paham yang dibina bersama. 4).Metode Resitasi, tugas tidak sama dengan pekerjaan rumah, tetapi

jauh lebih luas dari itu. Tugas dapat dilaksanakan di rumah, di perpustakaan, di sekolah atau di tempat lainnya. Tugas merangsang anak untuk aktif belajar baik secara individu maupun secara kelompok.

5).Metode kerja kelompok adalah siswa dalam satu kelas dipandang dalam satu kesatuan (kelompok) sendiri atau pun dibagi atas kelompok-kelompok kecil (sub-sub kelompok).

6). Metode demonstrasi dan eksperimen adalah metode mengajar yang

sangat efektif, sebab membantu para siswa untuk mencari jawaban dengan usaha sendiri berdasarkan fakta yang benar. Demonstrasi yang dimaksud ialah suatu metode mengajar yang memperlihatkan bagaimana proses terjadinya sesuatu.

7). Metode Sosiodrama (role-playing), sosiodrama pada dasarnya mendramatisasikan tingkah laku dan hubungannya dengan masalah sosial.

8). Metode problem solving, metode ini bukan sekedar metode mengajar tetapi juga merupakan satu metode berfikir, sebab dalam solving dapat menggunakan metode lainnya dimulai dari menarik data sampai menarik kesimpulan.


(48)

9). Metode sistem regu (team teaching), merupakan metode mengajar dua

orang guru atau lebih bekerjasama mengajar sebuah kelompok siswa, jadi kelas dihadapi beberapa guru. Sistem regu banyak macamnya, sebab untuk satu regu tidak senantiasa guru secara formal saja, tetapi dapat melibatkan orang-orang luar yang dianggap perlu sesuai dengan keahlian yang kita butuhkan.

10). Metode latihan (drill), metode latihan pada umumnya digunakan

untuk memperoleh suatu keterangan atau keterampilan dari apa yang telah dipelajari.

11).Metode karyawisata (Field-trip), karyawisata di sini berarti kunjungan di luar kelas. Jadi karyawisata di atas tidak mengambil tempat yang jauh dari sekolah dan tidak memerlukan waktu yang lama. Karyawisata dalam waktu yang lama dan tempat yang jauh disebut

study tour.

12). Metode survai masyarakat, pada dasarnya survai berarti cara

memperoleh informasi atau keterangan dari sejumlah unit tertentu dengan jalan observasi dan komunikasi langsung. Banyak sekali jenis survai ini, seperti social survai, comunity survai, school survai dan lain-lain. Masalah yang dipelajari dalam survai ialah masalah-masalah dalam kehidupan sosial. Untuk mempelajari masalah-masalah sosial atau masalah yang terjadi pada masyarakat dapat digunakan observasi dan wawancara.

13). Metode simulasi, simulasi berasal dari kata simulate yang artinya

pura-pura atau berbuat seolah-olah. Kata simulasition artinya tiruan atau perbuatan yang pura-pura. Dengan demikian, simulasi dalam metode mengajar dimaksud sebagai cara untuk menjelaskan sesuatu (bahan pelajaran) melalui proses tingkah laku imitasi atau bermain peran mengenai suatu tingkah laku yang dilakukan seolah-olah dalam keadaan yang sebenarnya. Penggunan simulasi sangat popular di kalangan masyarakat terutama saat orde baru yakni simulasi P4.


(49)

Contoh lain simulasi yang juga populer di masyarakat adalah peragaan pemilu yang dikenal dengan istilah santiaji. Gladiresik juga merupakan contoh simulasi, yakni memperagakan proses terjadinya suatu upacara tertentu sebagai latihan untuk upacara yang sebenarnya supaya tidak gagal pada waktunya nanti. 35

c. Metode pembelajaran di pondok pesantren

Menurut Dhofier,”pada masa lalu, pengajaran kitab-kitab Islam

klasik merupakan satu-satunya pengajaan formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren. Pada saat ini kebanyakan pesantren telah mengambil pengajaran pengetahuan umu sebagai suatu bagian yang juga penting dalam pendidikan pesantren, namun pengajaran kitab-kitab Islam klasik masih termasuk prioritas tinggi. Pada umumnya, pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang sedderhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab yang lebih mendalam. Dan tingkatan suatu pesantren bisa diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan.

Ada delapan macam bidang pengetahuan yang diajarkan dalamkitab-kitab Islam klasik, yaitu Nahwu dan Sharaf (Morfologi), Fiqih, Hadits, Tafsir, Tauhid, Tasawuf dan Akhlak, dan cabang-cabang lain seperti Tarikh dan Balaghoh. Semua jenis kitab ini dapat digolongkan ke dalam kelompok menurut tingkatan ajarannya, misal: tingkat dasar, menengah, dan lanjut. Kitab yang diajarkan di pesantren di Jawa pada umumnya sama.36

35Nana Sujana, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, 1989 hal.78 – 86


(50)

Metode pedidikan pada lembaga pendidikan pesantren (dalam pengajaran kitab kuning pada umumnya) menurut Mastuhu ada empat, yaitu: sorogan, bandongan, halaqah, dan hafalan. sedangkan Imran Arifin menyebutkan empat jenis metode pendidikan yaitu:

bandongan.sorogan,muhawarah, dan mudzakarah. Pendapat lainnya

disampaikan oleh Dhofier, yaitu bandongan,atau disebut juga wetonan

dan sorogan.37

C. Metode pembelajaran trdisional di pondok pesantren Al-Qur’an Assanusiah

Pada pembahasan sebelumya penulis sudah mengulas tentang metode pembelajaran tradisional, pada sub bab ini penulis akan mengulas tentang metode pembelajaran tradisional di pondok pesantren Al-Qur’an Assanusiah, berikut penjelasan lebih jelasnya:

Metode pembelajaran tradisional yang di ajarkan di pondok pesantren

Al-Qur’an Assanusiah hanya memakai empat metode saja, diantaranya

metode sorogan, bandongan, hafalan, dan musyawarah atau Bahtsul

Masail.

1. Metode Sorogan

Metode sorogan adalah bentuk pendidikan yang bersifat individual, dimana para santri satu persatu dengan mengharapkan kyai atau para pembantunya dengan membawa kitab tertentu.

Selanjutnya kyai atau para pembantunya membacakan kitab itu beberapa baris dengan makna (arti) yang lazim di pesantren (biasanya dalam bahasa Jawa). Setelah kyai atau para pembantunya selesai membaca kitab, santri mengulaginya, setelah itu dianggap cukup, maka santri yang lain maju secara bergiliran. Begitupun metode yang

37Abdul Syukri,Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada) hal. 72


(51)

diterapkan di pondok pesantren ini, biasanya hampir setiap hari dipergunakan, karena metode sorogan kyai bisa langsung mengetahui kesalahan-kesalahan atau kurang pasnya dalam pembacaan-pembacaan

Al-Qur’an baik dalam makhorijul hurufnya maupun penjelasan

-penjelasan tajwid.

Karena dalam metode sorogan ini biasanya selain berhadapan langsung dengan kyai metode ini melatih para santri sampai dimanakah kemampuan pemahaman penjelasan-penjelasan tajwid yang telah disampaikan oleh kyai ataupun pembantunya.

Kekurangan dan kelebihan metode sorogan, setiap metode pasti

mempunyai kekurangan dan kelebihan tersendiri, diantara metode

sorogan, kekurangannya, membutuhkan waktu lama untuk

mengajarkan para santri menggunakan metode ini, karena dari sekian banyaknya santri, harus mengaji secara bergantian dan harus mengantri panjang untuk mendapatkan giliran mengaji. Karena biasanya tiap satu ustadz hanya bisa mengajarkan dua santri saja, karena itu metode ini membutuhkan waktu yang lama. Selain itu dengan adanya metode sorogan kiai bisa menilai langsung kemampuan santrinya.

Kelebihan metode sorogan adalah: para santri bisa mengetahui

dimana saja letak-letak kesalahan, kekurangan yang dimiliki oleh individual tersebut, dan kyai bisa langsung membenarkan kesalahan yang terdapat pada bacaan tersebut.

2. Metode Bandongan

Metode bandongan biasa digunakan di pondok pesantren

Al-Qur’an Assanusiah, untuk penjelasan tajwid, Qiro’at dan kitab Fiqih.

Dengan metode bandongan kyai memberikan penjelasan yang lengkap beserta referensi-referensi yang kyai miliki.


(52)

Kekurangan metode bandongan adalah: kurang kondusif, karena kebanyakan pada penyampaian metode ini para santri banyak yang mengobrol dengan teman, banyak yang tidak mencatat penjelasan-penjelasan kyai, serta tidak dapat sistem evaluasi dan perjenjangan.

Kelebihan metode bandongan adalah: bisa mengetahui

penjelasan kyai lebih lengkap, menambah wawasan yang lebih luas.

3. Metode Hafalan

Kegiatan belajar santri kesehariannya adalah menghafal

Al-Qur’an, terutama Al-Qur’an Juz 30, biasanya para santri

diwajibkan untuk setoran hafalan dalam satu minggu itu dua sampai dengan tiga kali, karena umtuk pembiasaan para santri untuk mempergunakan waktu luangnya untuk menghafal. Terutama bagi santri yang tidak bersekolah, biasanya santri yang tidak sekolah mempergunakan waktu luang sebaik-baiknya untuk meghafal, guna memperbanyak hafalan dan untuk mencapai target yang telah ditentukan oleh pondok pesantren.

Kekurangan metode hafalan, banyak yang sering tidak setoran

hafalan dikarenakan belum hafal, banyaknya kendala-kendala untuk menghafal, terutama bagi santri yang sekolah, baik itu mempunyai tugas kelompok di sekolah maupun tugas individual.

Kelebihan metode hafalan, sangat penting sekali untuk

mengasah otak agar terbiasa menghafal pelajaran-pelajaran, dan membiasaan untuk fokus pada pelajaran, jika meningkat kepada pelajaran yang agak sulit sudah tidak asing lagi.


(53)

4. Metode Bahtsul Masail

Metode ini digunakan satu minggu sekali, biasanya metode bahtsul masail digunakan untuk menggali pendapat-pendapat para santri untuk bisa menyelesaikan suatu persoalan.

Kekuranga meyode bahtsul masail, harus memperkaya

referensi-referensi yang ada, harus lebih matang dalam penyampaian argumen-argumen yang tepat dan sesuai dengan kaidah yang ada.

Kelebihan memperkaya wawasan, dengan adanya bahtsul masail

santri bisa memahami cara penyelesaian persoalan yang baik dan betul seperti apa, mengetahui banyaknya pemahaman-pemahaman yang berbeda dan bagaimana cara menyiapi perbedaan tersebut.

Dari sekian banyaknya metode pembelajaran yang sudah penulis jelaskan di bab sebelumnya, metode pembelajaran yang di ajarkan di pondok pesantren Al-Qur’an Assanusiah hanya menggunakan empat metode saja, alasannya karena pondok pesantren Al-Qur’an Assanusiah belum memperbaharui metode pembelajaran yang biasa diajarkan kepada para santrinya, mereka masih memakai tradisi yang sudah lama diajarkan dan dipraktekkan oleh guru besar pimpinan pondok pesantren Al-Qur’an Assanusiah.

Karena itu pondok pesantren ini lebih mengedepankan metode sorogan, karena agar lebih mudah mengetahui potensi para santrinya. Selain itu juga karena dengan metode sorogan seorang Ustadz bisa mengetahui kekurangan dan kelebihan yang dimiliki oleh para santri.

Menurut penulis sebaiknya pondok pesantren Al-Qur’an Assanusiah memperbaharui metode pembelajaran yang sudah diajarkan, seperti memperbanyak lagi metode pembelajaran yang akan diajarkan kepada


(54)

seluruh santrinya, akan tetapi juga tidak menghilangkan tradisi yang sudah biasa mereka lakukan.

Karena untuk zaman yang sudah modern ini harus ada sedikit pembaharuan yang dilakukan oleh pondok pesantren Al-Qur’an Assanusiah, agar terciptanya suasana kegiatan belajar mengajar yang menyenangkan.

Hawatirnya dengan empat metode pembelajaran tradisional yang diajarkan di pondok pesantren tersebut membuat para santri merasa bosan dan kurangnya minat untuk mengkaji materi yang sudah diberikan oleh kiai.


(55)

45

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di pondok Pesantren Al-Qur’an Assanusiah terletak di Jl. Raya Serang Km. 2 Kadu Merak Pandeglang Banten. sejak tanggal 18 November 2013 sampai 18 Maret 2014.

B. Metode Penelitian

1. Pendekatan penelitian

Metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini bersifat analisis deskriptif, yaitu suatu metode penelitian melalui pendekatan kualitatif yang dihasilkan dari suatu data yang di kumpulkan melalui survei di lapangan. Data tersebut berupa data kata-kata, gambar dan dokumen.

Bogdan dan Taylor dalam buku “Metodologi Penulisan Kualitatif”

mengatakan yaitu “ Metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang


(56)

orang-orang dan prilaku yang diamati.1 Artinya dalam penelitian ini penulis berupaya menghimpun data mengenai perspektif alumni terhadap metode pembelajaran tradisional di pondok pesantren Al-Qur’an Assanusiah. Kemudian penulis mengolah dan menganalisa data secara deskriptif dengan menafsirkan secara kualitatif.

2. Sember Data

a. Sumber Data Primer

Dalam bukunya “Metodologi Penelitian” Sumadi Suryabrata mengatakan bahwa “ Data primer adalah data yang langsung dikumpulkan

oleh peneliti (atau petugas-petugasnya) dari sumber pertamanya.2

Sumber data yang penulis gunakan pada data premier . yang dihasilkan melalui observasi, dan wawancara dengan para alumni pondok pesantren

Al-Qur’an Assanusiah beserta beberapa ustadz yang mengajar.

b. Data sekunder

Menurut Sumardi Suryabrata: “Data Sekunder itu biasanya telah

tersusun dalam bentuk dokumen-dokumen”.3

Sumber data yang penulis gunakan pada data sekunder yang dihasilkan melalui dokumen, yaitu penulis mendapatkan data berupa foto-foto, pelajaran yang diterbitkan pondok pesantren dan proposal pengembangan pondok pesantren Al-Qur’an Assanusiah.

1lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung:PT Remaja Rosda Karya, 1999), Cet. Ke-10 h. 3

2Sumardi Suryabrata, Metodologi Penelitian,( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), Cet. Ke 13 hal. 84-85


(57)

C. Fokus Penelitian

Menurut Sugiono, “Batasan masalah dalam penelitian kualitatif disebut

fokus, yang berisi pokok masalah yang masih bersifat umum.4 Dengan melihat pendapat Sugiyono, maka penulis mencantumkan apa yang terdapat dalam batasan masalah menjadi fokus penelitian dalam penulisan ini. Adapun fokus penelitian tersebut adalah mengenai pandangan para alumni terhadap metode pembelajaran tradisional di pondok pesantren Al-Qur’an Assanusiah. Jadi dalam penelitian ini penulis bermaksud mencari data-data dan sumber-sumber yang membahas mengenai metode pembelajaran tradisional.

D. Teknik Pengumpulan Data

a. Observasi

Observasi atau pengamatan langsung yakni penulis mengadakan pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat secara sistematik gejala-gejala yang diselidiki.5

Observasi adalah untuk mengambil data tentang perspektif alumni terhadap metode pembelajaran tradisional di pondok pesantren

Al-Qur’an Assanusiah. pengambilan sampel ini dilakukan secara acak

(random sampling) karena terlalu banyaknya alumni pondok pesantren, dan tidak terjangkau oleh penulis maka penulis menggambil sebanyak 50 orang.

b. Wawancara

Wawancara ini digunakan untuk mengumpulkan data tentang pandangan alumni terhadap metode pembelajaran tradisional . Dalam penelitian ini digunakan alat pengumpulan data berupa pedoman wawancara, karena banyaknya alumni yang sudah tersebar di Nusantara, maka penulis melakukian wawancara dengan memperoleh informasi dan keterangan-keterangan dengan cara tanya jawab sambil

4Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kualitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: AlFabeta,2008) cet IV hal. 285-286.

5 Sutrisno Hadi, Metodologi Research II, (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM, 1984) hal. 141


(58)

tatap muka, via telpon, faceBook dan via email.Wawancara dilakukan secara langsung dengan para alumni pondok pesantren Al-Qur’an Assanusiah angkatan tahun 2002. Dan kemudian memperkaya data-data yang diperlukan penulis menggunakan data-data sekunder.

c. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan sumber non manusia,yang cukup bermanfaat sebab telah tersedia sehingga akan relative murah engeluaran biaya untuk memperolehnya.

E. Analisa data

Mengenai pembahasan dalam karya ilmiah ini, penulis menggunakan analisa deskriptif, artinya penjelasan atau gambaran yang diberikan hasil dari berbagai data dan informasi yang telah diperoleh, yang kemudian disajikan dalam bentuk tulisan yang disertai dengan analisa penulis.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)