Karakteristik Metode Pembelajaran Cerita dalam Al-Qur'an Surat Al-Qashash Ayat 76-81

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Syarat Mencapai

Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Oleh

Muhammad Idham Khalid

NIM 109011000163

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2014


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Judul : “Karakteristik Metode Pembelajaran Cerita dalam Al- Qur’an Surat Al-Qashash Ayat 76-81”

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji bagaimanakah karakteristik metode pembelajaran cerita dalam Al-Qur’an, khususnya surat Al-Qashash ayat 76-81. Berawal dari kekhawatiran penulis akan semakin minimnya anak-anak di sekolah yang mengetahui dan mendapatkan cerita-cerita yang baik dari guru-guru mereka di sekolah. Maksud cerita yang baik di sini ialah cerita-cerita yang bersumber dari Al-Qur’an. Al-Qur’an sudah mencontohkan bagaimana bercerita yang baik, yang dapat membawa pesan dan pelajaran di setiap ceritanya, tidak hanya sebagai hiburan semata.

Skripsi ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan menelusuri data-data kepustakaan (library research) dengan mengacu pada pendapat para ahli tafsir, ahli pendidikan dan ahli sastra yang tertuang dalam buku-buku, artikel, dan dokumen-dokumen lain yang terkait dengan penelitian ini. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif-analitis. Adapun metode penelitian yang digunakan ialah penafsiran ayat dengan menggunakan metode tafsir tahlili (analisis), yakni metode menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung dalam ayat-ayat yang ditafsirkan, dengan memperhatikan urutan ayat-ayat Al-Qur’an sebagaimana dalam mushaf, serta menerangkan makna-makna yang tercakup sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut.

Dari hasil penelitian yang dilakukan penulis dapat disimpulkan bahwa ciri khas Al-Qur’an dalam bercerita khususnya Surat Al-Qashash ayat 76-81 ialah tidak bertele-tele, singkat tetapi jelas dan mengena. Selalu mengandung hikmah dari setiap cerita yang diceritakan dan menekankan kepada kebenaran serta ada pesan yang disampaikan di tengah dan akhir cerita, sehingga cerita ini bukan hanya sekadar media hiburan seperti kebanyakan cerita sastra, melainkan sebagai metode pembelajaran yang efektif dalam menyampaikan pesan-pesan keagamaan.


(7)

dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beriring salam tak lupa kita curahkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

Skripsi berjudul “Karakeristik Metode Pembelajaran Cerita dalam Al-Qur’an Surat Al-Qashash Ayat 76-81” ini merupakan tugas akhir yang harus dipenuhi untuk mencapai gelar Sarjana Pendidikan Islam pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta.

Selesainya skripsi ini tidak terlepas dari sumbangsih berbagai pihak yang telah membantu dan memberi dukungan baik moril maupun materil. Untuk itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua penulis, Bapak M. Ma’ruf dan Ibu Himmatin yang telah membesarkan, merawat, mendidik, dan memberi dukungan kepada penulis. Serta adik-adik tercinta Muhammad Ainul Yaqin, Novia Nur Adilla, dan Muhammad Zakhrof Albi.

2. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ibu Dra. Nurlena Rifa’i, MA., Ph.D. beserta para pembantu dekan dan segenap jajarannya.

3. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam, Bapak Dr. Abdul Majid Khon, M.Ag. dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam, Ibu Marhamah Saleh, Lc., MA.

4. Dosen penasihat akademik penulis, Ibu Dra. Raudhah, M.Pd. atas bimbingan yang selama ini telah diberikan.

5. Dosen pembimbing skripsi penulis, Bapak M. Sholeh Hasan, Lc., MA. yang telah memberikan saran dan arahan dalam penulisan skripsi

6. Seluruh dosen dan staf jurusan PAI.

7. Teman-teman mahasiswa PAI, khususnya kelas D angkatan 2009 atas pengalaman dan pembelajaran berharga yang penulis dapatkan selama kuliah bersama.


(8)

9. Segenap petugas perpustakaan Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ) yang mana penulis banyak mengambil referensi dari sana.

10.Guru-guru di Madrasah Tsanawiyah Pembangunan UIN Jakarta yang terus mensupport penulis untuk menyelesaikan studinya sambil mengajar di Madrasah Tsanawiyah Pembangunan UIN Jakarta.

11.Teman-teman santri Ponpes Baitul Qurro’ tempat penulis tinggal dan belajar yang selalu mendoakan dan menyemangati.

12.Semua pihak yang telah memberikan bantuan, dorongan, dan informasi, yang bermanfaat untuk penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhirnya penulis berharap semoga amal baik dan partisipasi dari semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini mendapat balasan pahala dari Allah SWT.

Jakarta, 22 April 2014 Penulis,


(9)

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Identifikasi Masalah ... 7

C.Pembatasan Masalah ... 7

D.Perumusan Masalah ... 7

E.Tujuan Penelitian ... 8

F. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II KAJIAN TEORITIS

A.Metode Pembelajaran ... 9

B.Cerita ... 10

1. Pengertian Cerita ... 10

2. Macam-Macam Cerita ... 11

a. Dari Ciri-Cirinya ... 11

1. Cerita Lama ... 11

2. Cerita Baru ... 13

b. Dari Segi Volumenya ... 13

1. Cerita Pendek ... 13

2. Cerita yang Lebih Panjang ... 13

3. Cerita Panjang ... 13

3. Karakteristik Umum Cerita ... 14

Sembilan Ciri Umum Sastra ... 14

Unsur-Unsur yang Ada dalam Cerita ... 14

a. Peristiwa ... 15

b. Pelaku ... 15

c. Waktu dan Tempat ... 16

d. Gaya Bahasa dan Dialog ... 17


(10)

b. Ditinjau dari Segi Materi ... 19

2. Tujuan Cerita dalam Al-Qur’an ... 20

3. Karakteristik Metode Pembelajaran Cerita dalam Al-Qur’an ... 25

a. Gaya Penyampaiannya Berbeda dengan Cerita Sastra ... 26

b. Penyampaian Pesan dalam Cerita ... 27

c. Pengulangan Cerita ... 29

d. Episode Kemunculan Tokoh Utama ... 32

1. Dari Awal Kelahiran ... 32

2. Dari Masa Kanak-Kanak ... 32

3. Sudah Dewasa atau Masa Kenabian ... 33

e. Panjang Pendek Cerita ... 33

1. Cerita yang Disebutkan Panjang Lebar ... 33

2. Cerita yang Perinciannya Sedang ... 34

3. Cerita yang Disebutkan Singkat ... 35

4. Cerita yang Disebutkan Sangat Singkat ... 35

f. Bentuk Dialog dalam Bercerita ... 36

D.Hasil Penelitian yang Relevan ... 37

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A.Jenis dan Metode Penelitian ... 38

B.Sumber Data ... 38

C.Teknik Pengumpulan Data ... 39

D.Teknik Analisis Data ... 39


(11)

B.Berbeda dengan Cerita Sastra ... 45

1. Ada Niat dari Pengarangnya Untuk Menciptakan Karya Sastra ... 45

2. Hasil Proses Kreatif ... 46

3. Diciptakan Bukan Semata-Mata Untuk Tujuan Praktis dan Pragmatis .... 46

4. Bentuk dan Gaya yang Khas ... 47

5. Bahasa yang Digunakan Khas ... 47

6. Mempunyai Logika Tersendiri, Mencakup Isi dan Bentuk ... 48

7. Merupakaan Rekaan ... 49

8. Mempunyai Nilai Keindahan Tersendiri ... 50

9. Nama yang Diberikan Masyarakat Kepada Hasil Tertentu ... 52

C.Unsur-Unsur Cerita dalam Al-Qur’an ... 52

1. Pelaku ... 53

2. Peristiwa ... 54

3. Percakapan ... 57

D.Hilangnya Unsur Waktu dan Tempat dalam Cerita Qarun ... 58

E.Penyampaian Pesan dalam Cerita ... 60

F. Pengulangan Cerita ... 62

G.Episode Kemunculan Tokoh ... 64

H.Panjang Pendek Cerita ... 66

I. Gaya Bercerita yang Baik ... 67

BAB V PENUTUP

A.Kesimpulan ... 70

B.Saran ... 71


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah.

Dalam dunia pendidikan, di samping potensi subjek didik cukup baik, kondisi lingkungan belajar mengajar seyogyanya menunjang agar dapat menjamin keberhasilan proses belajar mengajar. Oleh karena itu guru harus kreatif mencari metode dan media yang sesuai dengan kondisi perkembangan belajar anak.1 Keberhasilan proses belajar mengajar kiranya akan sulit dicapai apabila guru hanya menjelaskan atau memberikan ceramah secara panjang lebar materi itu. Guru yang kreatif memiliki kemampuan menyampaikan ilmu pengetahuan kepada peserta didiknya secara kreatif, sehingga peserta didik menggemari ilmu pengetahuan yang diajarkan kepadanya dan membuat peserta didik dapat berfikir secara kreatif pula.2

Selanjutnya dalam keterkaitan dengan pendidikan pada umumnya atau pendidikan agama Islam, metode sangat penting. Metode berperan sebagai jalan untuk menanamkan pengetahuan agama pada diri seseorang, sehingga terlibat dalam pribadi objek sasaran, yaitu pribadi Islam. Selain itu metode dapat pula membawa arti sebagai cara untuk memahami, menggali dan mengembangkan ajaran Islam, sehingga terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.3

Cerita sebagai suatu metode pendidikan memang mempunyai daya tarik yang menyentuh perasaan. Bercerita atau mendongeng adalah aktivitas pendidikan yang dilakukan oleh siapa saja dan dari bangsa serta agama mana saja. Tidak ada yang tidak menggemari dongeng atau cerita. Kelompok yang paling suka tentu saja adalah anak-anak. Kita bisa menyaksikan sendiri bagaimana cerianya mereka ketika mendengarkan dongeng atau cerita dan mereka selalu mengharapkan ibu

1

Ari Wahyudi. Model Pembelajaran Berbasis Komik Untuk Mencapai Ranah Afektif Pada Pendidikan Kewarganegaraan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. (Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan), Vol. 16 Edisi Khusus I, Juni 2010. h. 43-44.

2

Herry Widyastono. Mengembangkan Kreativitas Peserta Didik Dalam Pembelajaran. (Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan), Vol. 15. November 2009. h. 1020.

3


(13)

bapaknya meluangkan waktu untuk menceritakan dongeng kepada mereka. Cerita atau dongeng adalah salah satu sarana untuk membangun karakter anak didik, karena bercerita mirip dengan memberikan contoh nyata dalam imajinasi anak. Efek dari cerita ini memang sangat hebat, karena sebetulnya melalui cerita mereka sedang dihujani nasihat demi nasihat, pesan demi pesan dan dorongan-dorongan motivasi.4

Dalam suatu penelitian, dilaporkan bahwa ada peningkatan perkembangan intelektual dan kematangan terhadap bayi pralahir akibat pengaruh pembacaan cerita. Seorang peneliti meminta muridnya yang sedang hamil untuk membacakan cerita anak berulang-ulang dengan suara keras selama kehamilannya. Ketika bayinya dilahirkan, bayi itu diuji apakah ia mengenali bunyi-bunyi cerita lain. Ternyata ia mengenali bunyi cerita yang telah dibacakan ibunya. Diyakini bahwa bercerita untuk bayi sebelum ia dilahirkan dapat berdampak baik bagi perkembangan otak bayi.5

Keunggulan cerita dapat melakukan dua tugas sekaligus dalam waktu bersamaan. Pertama, cerita sangat efektif dalam mengomunikasikan informasi dengan bentuk yang mudah diingat, dan kedua, cerita dapat mengarahkan perasaan pendengarnya tentang informasi yang dikomunikasikan.6 Bagi anak-anak, duduk manis menyimak penjelasan dan nasihat merupakan sesuatu yang tidak menyenangkan. Sebaliknya, duduk berlama-lama menyimak cerita atau kisah adalah aktivitas yang mengasyikkan. Oleh karenanya memberikan pelajaran dan nasihat melalui cerita adalah cara mendidik yang cerdas dan bijak.

Dr. Abdul Aziz Abdul Majid dalam bukunya ‘’Mendidik Dengan Cerita‘’ mengatakan: ’’sebagian dari cerita-cerita yang ada, mengandung beberapa unsur yang negatif. Hal ini dikarenakan pembawaan cerita tersebut tidak mengindahkan nilai estetika dan norma’’. Mungkin si anak melakukan hal-hal buruk karena ia selalu mendapatkan cerita-cerita yang negatif dan tidak mendidik. Hal ini dikarenakan semua informasi dan peristiwa yang tercakup dalam sebuah cerita

4

Ibrahim Amini, Agar Tak Salah Mendidik, (Jakarta: Penerbit Alhuda, 2006), h. 315.

5

F. Rene Van de Carr, dan Marc Lehrer, Cara Baru Mendidik Anak Sejak Dalam Kandungan. (Bandung: Penerbit Kaifa, 2000), h. 132.

6


(14)

akan berdampak sekali dalam pembentukan akal, dan norma seorang anak, baik dari segi budaya, imajinasi maupun bahasa kesehariannya. 7

Islam menyadari sifat alamiah manusia bahwa mereka menyukai cerita, dan menyadari pengaruhnya yang besar terhadap perasaan. Oleh karena itu Islam mengeksploitasi cerita tersebut untuk dijadikan salah satu metode pendidikan. Salah satu sumber cerita yang baik untuk mengajarkan pendidikan agama pada anak adalah Al-Qur’an. Al-Qur’an telah menunjukkan daya tarik yang luar biasa dalam segala seginya termasuk kisah-kisah yang ada di dalamnya. Kisah-kisah Al-Qur’an dikatakan menarik karena di dalamnya terdapat ayat-ayat mengenai kisah umat manusia, yang bukan hanya menarik bagi orang dewasa, melainkan juga bagi anak-anak. Di dalam Al-Qur’anul karim banyak sekali cerita-cerita tentang keadaan umat-umat masa silam, yang sengaja dikemukakan untuk memberikan pelajaran dan menampilkan peran pendidikan bagi pembacanya atau orang yang mendengarnya. Firman Allah SWT.

“Dan kisah rasul-rasul, Kami ceritakan kepadamu (Muhammad), agar dengan kisah itu Kami teguhkan hatimu; dan di dalamnya telah diberikan kepadamu (segala kebenaran), nasihat dan peringatan bagi orang yang beriman”

(QS. Hud: 120).

Allah telah memerintahkan kepada kita agar meneladani orang-orang shalih (shalihin) dan penganjur kebaikan (muslihin) dari orang-orang terdahulu, yang kisah-kisah mereka telah dipaparkan-Nya kepada kita serta telah diperlihatkan- Nya kepada kita metode mereka dalam dakwah, perbaikan (ishlah), perlawanan terhadap musuh-musuh Allah, perjuangan jihad, kesabaran dan keteguhan mereka.8 Karena dari kisah orang-orang dahulu terdapat hikmah dan pelajaran bagi orang-orang yang berakal yang mampu merenungi kisah-kisah itu, menemukan padanya hikmah dan nasihat, serta menggali dari kisah-kisah itu pelajaran dan petunjuk hidup.9

7

Abdul Aziz Abdul Majid, Mendidik dengan Cerita, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2002), h. 4.

8

Shalah Al-Khalidy, Kisah-Kisah Al qur’an Pelajaran dari Orang-orang Dahulu. (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 16.

9


(15)

Allah juga mensifati kisah-kisah ini sebagai kisah yang terbaik (ahsanul Qashash), sebagaimana Firman Allah dalam Surat Yusuf ayat 3:













































“Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al-Qur’an ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukannya) adalah orang-orang yang belum mengetahui” (Yusuf: 3)

Maksud ayat di atas ialah bahwa Allah akan menceritakan beberapa kisah yang benar, jelas, dan berdasarkan bukti yang kuat. Maka tinggalkanlah kisah-kisah yang diceritakan selain dari Al-Qur’an yang periwayatannya tidak terjamin, bercampur dengan kebohongan, serta berseberangan dengan kenyataan.10

Ciri khas cerita-cerita Al-Qur’an adalah ia selalu bersifat benar adanya, kejadian yang sesungguhnya, begitu pula isi yang terkandung di dalamnya serta pemusatan pada tujuan yang diinginkan dari cerita tersebut. Cerita-cerita Al-Qur’an mempunyai tujuan pendidikan, yaitu membentuk individu-individu atau masyarakat manusia dengan nilai keislaman. Ia mendidik manusia untuk semata-mata beriman kepada Allah SWT dan rela terhadap qadha dan qadar-Nya.

Syekh Muhammad Al-Ghazali, seorang ulama kenamaan Mesir dalam bukunya Kayfa Nata’amal Ma’ al-Qur’an mengungkapkan bahwa kisah-kisah dalam Al-Qur’an pada prinsipnya memuat asas-asas pendidikan, tidak hanya pendidikan psikologis, tetapi aspek rasio juga. Melalui kisahnya, Al-Qur’an bertujuan mendidik manusia sejak masa penciptaan, kelahiran, kanak-kanak, remaja, dewasa, dan tua hingga ajalnya, agar mereka senantiasa sadar akan jati dirinya.11

Selanjutnya beliau juga menuturkan dalam buku al-Mahawir al-Khamsah li al-Qur’an al-Karim, secara garis besar ada lima pokok isi kandungan Al-Qur’an.

10

Aidh bin Abdullah Al-Qarni, Al-Qur’an Menjadikan Hidup Lebih Berarti, (Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 2005), h. 21.

11

Syaikh Muhammad Al-Ghazali. Al-Qur’an Kitab Zaman Kita: Mengaplikasikan Pesan Kitab Suci Dalam Konteks Masa Kini, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2008), h. 89.


(16)

Tauhid kepada Allah, alam semesta bukti adanya Allah, kebangkitan dan pembalasan, hukum dan pendidikan, dan yang terakhir ialah qashash al-Qur’an

atau kisah-kisah Al-Qur’an. Kenapa kisah-kisah Al-Qur’an bisa menjadi isi pokok kandungan Al-Qur’an, bukankah ia hanya sekadar cerita masa lampau saja yang tidak berbeda dengan buku sejarah. Di dalam buku tersebut Syekh Muhammad Al-Ghazali menjelaskan bahwa cerita yang ada di dalam Al-Qur’an tidaklah hanya sekadar cerita yang sudah usang. Kisah dalam Al-Qur’an merupakan sarana pendidikan, nasihat dan petunjuk bagi manusia. Oleh setiap kisah umat-umat terdahulu terdapat ibrah yang bisa diambil pelajaran dan hikmahnya. Ibarat kaset, kisah tersebut mengingatkan bahwa yang terjadi pada saat ini merupakan pengulangan apa yang terjadi pada masa lalu, hanya pelaku, waktu dan tempat saja yang berbeda. Al-Qur’an mengingatkan bahwa jauh sebelum ini pun sudah ada peradaban-peradaban yang maju dengan ilmu pengetahuannya, tetapi karena tidak diiringi dengan kemajuan akhlak dan ibadahnya kepada Allah maka dalam sekejap peradaban tersebut hancur dan hilang. Bukankah itu sama dengan kondisi saat ini? Seseorang yang telah kehilangan ingatannya bisa disebut dengan orang gila. Ketidaksanggupan mengingat yang telah lalu akan membawa kepada ketidakmampuan menghadapi yang akan datang. Oleh karena itulah Syekh Muhammad Al-Ghazali memberi perhatian khusus pada kisah-kisah Al-Qur’an.12

Bagaimana pentingnya kisah dalam Al-Qur’an bisa dilihat dari segi volume, di mana kisah-kisah tersebut memiliki porsi yang tidak sedikit dari seluruh ayat-ayat Al-Qur’an. Bahkan ada surat-surat Al-Qur’an yang dikhususkan untuk kisah semata-mata, seperti surat Yusuf, Al-Anbiya’, Al-Qasas, dan Nuh. Dari keseluruhan surat Al-Qur’an, terdapat 35 surat yang memuat kisah, kebanyakan adalah surat-surat panjang.13 Cerita tentang para nabi mendapatkan porsi yang cukup besar dalam Al-Qur’an yaitu sekitar 1600 ayat dari jumlah keseluruhan ayat dalam Al-Qur’an yang terdiri dari 6236. Jumlah tersebut cukup besar jika dibandingkan dengan ayat-ayat tentang hukum yang hanya terdiri dari 330 ayat.

12

Syekh Muhammad Al-Ghazali, Induk Al-Qur’an, (Jakarta: CV. Cendekia Sentra Muslim, 2003), h. 111.

13

A. Hanafi, Segi-segi Kesusastraan Pada Kisah-Kisah Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1984), h. 22.


(17)

Selain cerita tentang para nabi dan rasul, Al-Qur’an juga menceritakan kisah tentang orang-orang selain nabi, baik orang mukmin maupun orang kafir, seperti kisah perjuangan para nabi dalam memberikan pencerahan spiritual kepada bangsa dan umatnya, usaha keras para nabi dalam membendung aktivitas kaum kafir.

Kemudian, gaya bercerita Al-Qur’an juga berbeda dengan gaya bercerita kisah yang lain pada umumnya. Kita akan menemukan bahwa tersebarnya kisah dalam ayat dan surat yang berbeda, tetap menunjukkan kesatuan hubungan. Adanya hubungan tersebut bukan saja ditandai oleh tematisnya, melainkan juga oleh keseluruhan gaya dan cara Al-Qur’an dalam berkisah. Dalam hal ini, kisah merupakan metode utama yang digunakan Al-Qur’an dalam menyampaikan pesan-pesannya.14

Sekarang, akibat terlalu seringnya tayangan-tayangan di televisi muncul, kini anak-anak tidak lagi mengetahui kisah para nabi, kisah Ashabul Kahfi, kisah tentang Khulafau Rasyidin. Juga tidak kenal dengan Lukmanul Hakim, Nabi Khidir, Siti Maryam, di mana kisah tentang mereka sangat baik untuk diketahui anak-anak. Karena kisah-kisah tersebut memiliki nilai-nilai pendidikan yang baik bagi anak.15

Pengamatan sementara peneliti mendapatkan bahwa masyarakat kita masih cenderung mengabaikan potensi cerita-cerita yang ada dalam Al-Qur’an sebagai metode pendidikan. Padahal dengan melihat fitrah kejiwaan manusia yang menyenangi cerita, sudah seharusnya cerita-cerita tersebut dimanfaatkan oleh para pendidik (guru, orang tua, dan lain-lain), sebagai metode pendidikan, khususnya pendidikan agama yang merupakan pondasi awal bagi anak. Untuk itulah maka penulis berusaha menjabarkan betapa pentingnya cerita-cerita dalam Al-Qur’an dan bagaimana langkah-langkah serta gaya Al-Qur’an dalam bercerita melalui

14

Nunu Achdiat, Seni Berkisah: Memandu Anak Memahami Al-Qur’an, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1998), h. 78.

15

Oos M. Anwas. Televisi Mendidik Karakter Bangsa: Harapan dan Tantangan. (Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan) Vol. 16 Edisi Khusus III, Oktober 2010. h. 259.


(18)

penulisan skripsi dengan judul: “KARAKTERISTIK16 METODE PEMBELAJARAN CERITA DALAM AL-QURAN SURAT AL-QASHASH AYAT 76-81”.

B.

Identifikasi

Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis kemukakan di atas, maka penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut :

1. Belum banyak pendidik yang menggunakan cerita sebagai metode pembelajarannya.

2. Banyaknya pendidik yang masih mengabaikan potensi cerita yang terdapat di dalam Al-Qur’an.

3. Masih banyak orang yang menganggap sama antara cerita-cerita Al-Qur’an dengan cerita-cerita sastra pada umumnya.

C.

Pembatasan

Masalah

Dari identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, maka penulis perlu untuk mengarahkan permasalahan yang akan diteliti dan akan dibatasi hanya pada:

1. Karakteristik metode pembelajaran cerita dalam Al-Qur’an. 2. Penafsiran surat al-Qashash ayat 76-81.

D.

Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, maka perumusan masalahnya ialah, bagaimanakah karakteristik metode pembelajaran cerita dalam Al-Qur’an surat al-Qashash ayat 76-81?

16

Dalam Buku Kamus Ilmiah Populer yang disusun oleh Pius Partanto dan M. Dahlan Barry kata “karakteristik” berarti ciri khas/bentuk-bentuk watak/karakter yang dimiliki oleh setiap individu; corak tingkah laku; tanda khusus. Kaitannya dengan judul skripsi ini, peneliti ingin mengkaji ciri khas apa saja yang membedakan antara cerita Al-Qur’an dengan cerita sastra pada umumnya.


(19)

E.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji bagaimanakah karakteristik metode pembelajaran cerita dalam Al-Qur’an surat al-Qashash ayat 76-81

F.

Manfaat Penelitian

1. Manfaat Umum

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang karakteristik metode pembelajaran cerita dalam Al-Qur’an.

2. Manfaat Khusus

a. Bagi mahasiswa Pendidikan Agama Islam mudah-mudahan bisa menjadi perbandingan dalam penulisan karya ilmiah.

b. Bagi guru maupun pendidik diharapkan menjadi bahan pertimbangan untuk memperhatikan potensi cerita-cerita yang terdapat dalam Al-Qur’an dan menjadikannya sebagai bagian dari metode pembelajaran.


(20)

BAB II

KAJIAN TEORITIS

A.

Metode Pembelajaran

Metode pembelajaran adalah sebuah konsep cara yang digunakan oleh guru untuk mengelola pembelajaran agar materi pembelajaran dapat tersampaikan dengan baik sesuai dengan tujuan yang dinginkan.

Untuk mencapai tujuan pendidikan, maka tidak lepas dari muatan materi pendidikan, guru dan metode. Penguasaan materi bagi guru merupakan hal yang sangat menentukan, khususnya dalam proses belajar mengajar yang melibatkan guru mata pelajaran, oleh karena itu diperlukan guru yang profesional yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melaksanakan tugas dan fungsinya dengan maksimal.1

Dalam keterkaitan dengan pendidikan Agama Islam, metode berperan sebagai jalan untuk menanamkan pengetahuan agama pada diri seseorang, sehingga terlibat dalam pribadi objek sasaran, yaitu pribadi Islam. Selain itu metode, dapat pula membawa arti sebagai cara untuk memahami, menggali dan mengembangkan ajaran Islam, sehingga terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.2

Tanpa metode, suatu materi pelajaran tidak akan dapat berproses secara efisien dan efektif dalam kegiatan belajar mengajar menuju tujuan pendidikan. Metode pendidikan yang tidak tepat guna akan menjadi penghalang kelancaran jalannya proses belajar mengajar, sehingga banyak tenaga dan waktu terbuang sia-sia. Oleh karena itu metode yang diterapkan

1

Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional. (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1995) h. 15.

2


(21)

seorang guru, baru berdaya guna dan berhasil jika mampu digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.3

B.

Cerita

1. Pengertian Cerita

Secara definisi bahasa, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), cerita ialah tuturan yang membentangkan bagaimana terjadinya suatu hal.4 Cerita memiliki arti yang sama dengan kisah, di mana kisah merupakan kata serapan yang berasal dari qishshah dalam bahasa Arab yang diambil dari kata dasar qa sha sha yang berarti kisah, cerita, berita atau keadaan.

Menurut Abdul Aziz Abdul Majid, cerita adalah salah satu bentuk sastra yang memiliki keindahan dan kenikmatan tersendiri serta merupakan sebuah bentuk sastra yang bisa dibaca atau hanya didengar oleh orang yang tidak bisa membaca.5

Sa’id Mursy menjelaskan bahwa cerita adalah pemaparan pengetahuan kepada anak kecil dengan gaya bahasa yang sederhana dan mudah dipahami.6 A. Hanafi mengutip pendapat Dr. Muhammad Khalafullah dalam bukunya Al-Fannu Al-Qassiyu fi Al-Qur’an Al-Karim yang mendefinisikan bahwa cerita ialah suatu karya kesusasteraan yang merupakan hasil khayal pembuat kisah terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi atas seorang pelaku yang sebenarnya tidak ada. Atau, dari seorang pelaku yang benar-benar ada, tetapi peristiwa-peristiwa yang berkisar pada dirinya dalam kisah itu tidak benar-benar terjadi. Ataupun, peristiwa itu terjadi dalam diri pelaku, tetapi dalam kisah itu disusun atas dasar seni yang indah, di mana sebagian peristiwa didahulukan dan sebagian lagi dikemudiankan, sebagiannya disebutkan dan sebagian lagi dibuang. Atau, terhadap peristiwa yang

3

M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Indisipliner. (Jakarta: Dunia Aksara, 1997) h. 197.

4

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 283.

5

Abdul Aziz Abdul Majid, Mendidik dengan Cerita, Terjemah Neneng Yanti dan Iip Dzulkifli Yahya, (Bandung: PT Remaja Rosda Kalya, 2001), h. 8.

6


(22)

benar terjadi itu ditambahkan peristiwa baru yang tidak terjadi atau dilebih-lebihkan penggambarannya, sehingga pelaku-pelaku sejarah keluar dari kebenaran yang biasa dan sudah menjadi para pelaku khayali.7

2. Macam-Macam Cerita

a. Berdasarkan ciri-cirinya, menurut Dr. Wahyudi Siswanto cerita dibagi menjadi 2, yaitu:

1. Cerita lama

Cerita lama ini sering berwujud cerita rakyat (folktale). Cerita ini bersifat anonim, tidak diketahui siapa yang mengarangnya dan beredar secara lisan di tengah-tengah masyarakat. Pada umumnya, cerita itu diperoleh pada waktu pelaksanaan perhelatan, percakapan sehari-hari, sedang bekerja atau dalam perjalanan, dan seseorang ingin mengetahui asal-usul sesuatu. Cerita rakyat, selain merupakan hiburan, juga merupakan sarana untuk mengetahui asal-usul nenek moyang, jasa atau keteladanan kehidupan para pendahulu, hubungan kekerabatan, asal mula tempat, adat-istiadat, dan sejarah benda pusaka. Yang termasuk cerita lama adalah fabel, dongeng, legenda, mitos, dan sage.8

a) Fabel

Adalah cerita tentang kehidupan binatang sebagai tokoh utamanya yang diceritakan seperti kehidupan manusia. Misalkan cerita kancil di Indonesia. Fabel kebanyakan mengandung nasihat atau pengajaran kepada anak-anak melalui kiasan yang terkandung di dalam cerita tersebut. Karena itu fabel mengandung unsur didaktif dan edukatif.

7

A. Hanafi, Segi-Segi Kesusastraan Pada Kisah-Kisah Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1984), Cet.1 h.15.

8


(23)

b) Dongeng

Dongeng adalah cerita rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi oleh yang mempunyai cerita dan tidak terikat oleh tempat dan waktu. Dalam KBBI, dongeng adalah cerita yang tidak benar-benar terjadi, terutama tentang kejadian zaman dulu yang aneh-aneh.

c) Mitos

Mitos adalah cerita rakyat yang benar-benar dianggap terjadi serta dianggap suci oleh yang mempunyai cerita. Mitos merupakan cerita yang pada awal terbentuknya bermula dari pikiran manusia yang tidak mau menerima begitu saja semua fenomena alam yang ditangkap dengan akal dan pancaindranya. Dalam usahanya, seseorang atau sekelompok masyarakat tertentu cenderung membayangkan sesuatu dengan dunia angannya sendiri.9 Contohnya ialah cerita tentang Dewi Sri dan Nyi Roro Kidul. d) Legenda

Legenda adalah cerita tentang asal mula (nama suatu tempat, asal-usul dunia tumbuhan, asal-asal-usul dunia binatang). Legenda hampir mirip dengan mitos, yaitu dianggap benar-benar terjadi, tetapi dianggap tidak suci. Tokoh dalam legenda adalah manusia walaupun adakalanya mempunyai sifat luar biasa karena bantuan makhluk gaib. Contoh Legenda ialah cerita tentang terjadinya Tangkuban Perahu, asal-usul Banyuwangi.

e) Sage

Adalah dongeng yang berisi kegagahberanian seorang pahlawan yang terdapat dalam sejarah, tetapi cerita bersifat khayal. Seperti cerita Ken Arok dan Ken Dedes, Tutur Tinular, serta Lutung Kasarung.

9

Dendy Sugono (ed), Buku Praktis Bahasa Indonesia Jilid 2, (Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2011), Cet.7 h.128.


(24)

2. Cerita baru

Cerita baru adalah bentuk karangan bebas yang tidak berkaitan dengan sistem sosial dan struktur kehidupan lama. Cerita baru dapat dikembangkan dengan menceritakan kehidupan saat ini dengan keanekaragaman bentuk dan jenisnya. Contoh dari cerita baru adalah roman, novel, cerita pendek, cerita bersambung dan sebagainya. Pembagian ini lebih dikarenakan perbedaan volume atau panjang pendeknya cerita, yang akan dibahas pada pembahasan setelah ini.10

b. Dari segi volume atau panjang pendeknya, cerita dapat dibagi menjadi: 1. Cerita pendek. Ialah cerita yang hanya terdiri dari beberapa halaman

saja. Lazimnya disebut dengan cerpen.

2. Cerita yang lebih panjang daripada cerita pertama. Cerita semacam ini disebut novelette dalam bahasa Perancis. Contohnya ialah novel. 3. Cerita panjang. Contohnya ialah roman. Roman adalah cerita yang

paling panjang dari segi volume. Corak ceritanya bersifat romantis; berkisar sekitar masalah percintaan, dan kadang-kadang jauh dari kenyataan. Pada roman yang penting ialah peristiwa-peristiwa, sehingga Saintsbury membedakan, bahwa roman adalah cerita peristiwa, sedangkan novel (cerita biasa) adalah cerita pelaku (pribadi) dan motif-motif. 11

Cerita pendek berbeda dengan cerita lainnya, karena ia memungkinkan penulisnya untuk mencurahkan seluruh perhatiannya pada satu peristiwa yang terpisah dari yang lainnya. sehingga penulis dapat menyampaikan pikiran kepada pembaca atau pendengarnya dalam bentuk yang lebih kuat daripada kalau pikiran itu merupakan bagian dari cerita (riwayat) yang banyak peristiwanya.

Oleh karena itu, dalam penulisan cerita pendek (cerpen), ada caranya sendiri, di mana perincian-perincian ditinggalkan, dan pelakunya harus

10

Siswanto, op. cit., h.140.

11


(25)

sedikit mungkin, dan tidak perlu diuraikan sifat-sifatnya secara terperinci. Begitu pula peristiwa-peristiwanya harus bisa ditangkap dengan mudah dari segi waktu dan tempat. Segala sesuatu yang mengganggu pembaca atau pendengar dari inti cerita haru ditinggalkan.

Dari segi pelaku, cerita pendek lebih mengutamakan pelaku agar jumlahnya sedikit mungkin, sedangkan novel atau roman banyak pelakunya. Selain karena sempitnya ruang, juga karena cerita pendek memang tidak dimaksudkan untuk menganalisa banyak pelaku.12

3. Karakteristik Umum Cerita

Cerita merupakan salah satu bagian dari sastra, di mana sastra memiliki sembilan ciri umum, yakni:13

a. Ada niat dari pengarangnya untuk menciptakan karya sastra. b. Hasil proses kreatif.

c. Diciptakan bukan semata-mata untuk tujuan praktis dan pragmatis. d. Bentuk dan gaya yang khas.

e. Bahasa yang digunakan khas.

f. Mempunyai logika tersendiri, mencakup isi dan bentuk. g. Merupakaan rekaan.

h. Mempunyai nilai keindahan tersendiri.

i. Nama yang diberikan masyarakat kepada hasil tertentu.

Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam cerita secara umum ialah adanya kejadian atau peristiwa tertentu sebagai unsur pertama. Selanjutnya ada pelaku sebagai unsur kedua. Peristiwa-peristiwa tersebut harus terjadi dalam tempat dan waktu tertentu, dan hal ini merupakan unsur ketiga. Kemudian ada gaya bahasa tertentu untuk menceritakan peristiwa-peristiwa tersebut, lengkap dengan dialog-dialog yang terjadi antara para pelaku. Unsur terakhir ialah gagasan pikiran (ide) atau segi pandangan atau tujuan.14

12

Ibid., h.16-17.

13

Siswanto, op. cit., h.72-81.

14


(26)

a. Peristiwa

Peristiwa dapat diartikan sebagai peralihan dari satu keadaan ke keadaan yang lain. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dibedakan kalimat-kalimat tertentu yang menampilkan peristiwa dengan yang tidak. Misalnya, antara kalimat-kalimat yang mendeskripsikan tindakan tokoh dengan yang mendeskripsikan ciri-ciri fisik tokoh.15

Dalam sebuah cerita, sebuah peristiwa erat kaitannya dengan konflik dan klimaks. Konflik merupakan kejadian yang tergolong penting. Kemampuan pengarang untuk memilih dan membangun konflik melalui berbagai peristiwa akan sangat menentukan kadar kemenarikan cerita yang dihasilkan. Peristiwa dan konflik biasanya berkaitan erat, dapat saling menyebabkan terjadinya satu dengan yang lain, bahkan konflik pun hakikatnya merupakan peristiwa. Konflik demi konflik yang disusul oleh peristiwa demi peristiwa akan menyebabkan konflik menjadi semakin meningkat. Konflik yang telah sedemikian meruncing, katakan sampai pada titik puncak, disebut klimaks.

Klimaks, menurut Santon, adalah saat konflik telah mencapai tingkat intensitas tertinggi, dan saat (hal) itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari terjadinya. Klimaks hanya dimungkinkan ada dan terjadi jika ada konflik. Namun, tidak semua konflik harus mencapai klimaks. Sebuah konflik akan menjadi klimaks atau tidak, dalam banyak hal akan dipengaruhi oleh sikap, kemauan, dan tujuan pengarang dalam membangun konflik sesuai dengan tuntutan cerita.16

b. Pelaku atau Tokoh

Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh disebut penokohan. Tokoh dalam cerita selalu

15

Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2005) h. 117.

16


(27)

mempunyai sifat, sikap, tingkah laku atau watak-watak tertentu. Pemberian watak pada tokoh disebut perwatakan.17

c. Waktu dan Tempat

Bersamaan dengan sosial, waktu dan tempat merupakan bagian dari unsur latar dalam sebuah cerita. Waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah.

Masalah waktu dalam karya naratif, kata Genette dapat bermakna ganda; di satu pihak menunjuk pada waktu penceritaan, waktu penulisan cerita, dan di pihak lain menunjuk pada waktu dan urutan waktu yang terjadi dan dikisahkan dalam cerita. Kejelasan waktu yang diceritakan amat penting dilihat dari segi waktu penceritaannya. Tanpa kejelasan (urutan) waktu yang diceritakan, orang hampir tak mungkin menulis cerita-khususnya untuk cerita yang ditulis dalam bahasa-bahasa yang mengenal tenses seperti bahasa Inggris.18

Masalah waktu dalam cerita juga sering dihubungkan dengan lamanya waktu yang dipergunakan dalam cerita. Ada yang membutuhkan waktu sangat panjang, katakanlah (hampir) sepanjang hayat tokoh, ada yang relatif agak panjang, membutuhkan waktu beberapa tahun, ada pula yang relatif pendek.

Latar waktu haruslah berkaitan dengan latar tempat, karena tempat inilah yang menunjukkan lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah cerita. Tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, atau mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Penyebutan tempat yang tidak ditunjukkan

17

Siswanto, op. cit., h. 143.

18


(28)

secara jelas namanya, mungkin disebabkan perannya dalam cerita tersebut kurang dominan.19

d. Gaya Bahasa dan Dialog

Gaya adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.20 Karena bahasa dalam seni sastra dapat disamakan dengan cat dalam seni lukis. Keduanya merupakan unsur bahan, alat, sarana, yang diolah untuk dijadikan sebuah karya yang mengandung “nilai lebih” daripada sekadar bahannya itu sendiri.

Sebuah cerita umumnya dikembangkan dalam dua bentuk penuturan; narasi dan dialog. Kedua bentuk tersebut hadir secara bergantian sehingga cerita yang ditampilkan menjadi variatif dan tidak terkesan monoton. Pengungkapan bahasa dengan gaya narasi sering dapat menyampaikan sesuatu secara lebih singkat dan langsung. Pengarang cenderung memilih peristiwa dan tindakan, konflik, atau hal-hal lain yang menarik dari perjalanan hidup tokoh untuk diceritakan. Adapun dalam pengungkapan bahasa bentuk percakapan, seolah-olah pengarang membiarkan pembaca untuk melihat dan mendengar sendiri kata-kata seorang tokoh, percakapan antartokoh, bagaimana wujud kata-katanya dan apa isi percakapannya. Dialog tidak mungkin hadir sendiri tanpa disertai (atau menyatu dengan) bentuk narasi.21

e. Gagasan Pikiran atau Tujuan

Sastrawan berkomunikasi dengan pembacanya dalam bentuk karya sastra yang dibuatnya. Gagasan pikiran yang ada di dalam cerita rekaan bisa dilihat dari diri sastrawan dan pembacanya. Dari sudut sastrawan, hal ini biasa disebut amanat. Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca

19

Ibid., h.232-233.

20

Siswanto, op. cit., h. 158.

21


(29)

atau pendengarnya. Di dalam karya sastra modern ini biasanya tersirat; di dalam karya sastra lama pada umumnya amanat tersurat.22

Tujuan bercerita ini erat kaitannya dengan manfaat dari cerita itu sendiri. Lilian Holewell dalam A Book for Children Literature mencatat sedikitnya ada enam manfaat cerita. Yaitu (1) mengembangkan daya imajinasi dan pengalaman emosional, (2) memuaskan kebutuhan ekspresi diri melalui proses identifikasi, (3) memberikan pendidikan moral tanpa menggurui si anak, (4) memperlebar cakrawala mental si anak dan memberikan kesempatan untuk meresapi keindahan, (5) menumbuhkan rasa humor dalam diri si anak, dan (6) memberikan persiapan apresiasi sastra dalam kehidupan si anak setelah dia dewasa.23

C.

Cerita dalam Al-Qur’an

Di dalam buku “Metode Dakwah” yang diterbitkan oleh Departemen Agama RI dijelaskan bahwa Al-Qur’an banyak memuat cerita-cerita sejarah umat terdahulu yang dapat dijadikan sebagai bahan yang dapat menjadikan perbandingan untuk menjalankan aktivitas dalam berdakwah dan mendidik.

1. Macam-Macam Cerita dalam Al-Qur’an

Cerita-cerita Al-Qur’an ada yang terkait dengan kehidupan para nabi, termasuk yang berkaitan dengan tokoh atau sesuatu yang berhubungan dengan nabi, seperti Iblis, Qabil-Habil, Khidir, Qarun, Firaun, dan lainnya. Ada pula yng tidak terkait dengan cerita para nabi, seperti penghuni gua (Ashabul Kahfi), Zulqarnain, Ashabul Ukhdud, dan lainnya. Sebagian cerita diceritakan berdasarkan pertanyaan para sahabat seperti Ashabul kahfi dan Zulqarnain (Al-Kahfi: 9-20, dan 83), tetapi sebagian besar difirmankan tanpa sebab atau permintaan. Secara keseluruhan tipe-tipe cerita Al-Qur’an

22

Siswanto, op. cit., h. 162.

23

Kumpulan Artikel KOMPAS. ‘Sekolah’ Alternatif untuk Anak, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2002), hal.4.


(30)

mengandung berbagai peringatan, contoh, tanda, dan pesan bagi umat manusia. Adapun pembagian cerita Al-Qur’an sebagai berikut:

a. Ditinjau dari segi waktu terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam Al-Qur’an, ada tiga macam:

1. Cerita hal-hal gaib pada masa lalu, yaitu cerita yang menceritakan kejadian-kejadian gaib yang sudah tidak bisa ditangkap panca indra. Seperti cerita-cerita Nabi.

2. Cerita hal-hal gaib pada masa kini, yaitu cerita yang menceritakan kejadian-kejadian gaib pada masa sekarang (meski sudah ada sejak dahulu dan akan tetap ada sampai pada masa yang akan datang), dan yang menyingkap rahasia orang-orang munafik.

3. Cerita hal-hal gaib pada masa yang akan datang yang belum pernah terjadi pada waktu turunnya Al-Qur’an, kemudian peristiwa itu benar-benar terjadi.

b. Ditinjau dari segi materi, juga ada tiga macam:

1. Cerita para Nabi menyangkut dakwah mereka dan tahapan-tahapan serta perkembangan, mu’jizat mereka, posisi para penentang, akibat orang-orang yang percaya dan yang mendustakan mereka dan lain-lain. Misalnya cerita Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, Isa, Muhammad, dan nabi serta rasul lainnya.

2. Cerita orang-orang yang belum tentu nabi dan kelompok-kelompok manusia tertentu seperti cerita Lukmanul Hakim, Ashabul Kahfi dan lain-lain. peristiwa-peristiwa masa lalu dan pribadi-pribadi yang tidak diketahui secara pasti apakah mereka nabi atau bukan, misalnya cerita Thalut dan Jalut, dua putra Adam, Zulqarnain, Qarun, Maryam, Ashabul Ukhdud, dan lain-lain.

3. Cerita mengenai kejadian-kejadian yang terjadi di masa Rasulullah SAW, seperti perang Badar dan Uhud dalam surah Ali Imran, perang


(31)

Hunain dan Tabuk dalam surah at-Taubah, perang Ahzab dalam surah al-Ahzab, peristiwa Hijrah, Isra’ Mi’raj dan lain-lain.24

2. Tujuan Cerita dalam Al-Qur’an

Orang-orang kafir menganggap bahwa cerita-cerita yang terkandung di dalam Al-Qur’an sebagai mitos dan legenda. Di dalam Al-Qur’an didapati banyak cerita nabi-nabi, rasul-rasul dan umat-umat terdahulu di mana maksud cerita-cerita itu ialah sebagai pelajaran-pelajaran dan petunjuk-petunjuk yang berguna bagi penyeru kebenaran dan yang diseru kepada kebenaran.25 Bagi orang yang sedang menyeru kepada kebenaran, jalan-jalan yang harus ditempuh dalam menghadapi kaum yang diseru oleh para penyeru kebenaran bisa dilihat dari surat-surat yang mengandung cerita perjuangan para nabi dan rasul dalam mendakwahkan tauhid kepada kaum-kaumnya. Umpamanya, Nuh memulai seruannya dengan mempertakutkan. Hud memulai seruannya dengan memberi kabar gembira. Sholeh memulai seruannya dengan memperingatkan umat-umatnya kepada nikmat-nikmat Allah. Adapun Syuaib dengan tandzir, tahsyir, dan tadzkir (mempertakutkan, memberi kabar gembira, mengingatkan nikmat itu).26

Syaikh Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya Kayfa Nata’amal Ma’ al-Qur’an mengkritik banyaknya orang yang menulis cerita-cerita Qurani terlalu menampilkan segi keindahan sastranya, ketimbang muatan ceritanya. Keindahan sastra seolah merupakan tujuan dalam penulisan mereka. Padahal sastra hanyalah alat bukan tujuan. Hal ini yang menyebabkan tujuan utama dari cerita-cerita Al-Qur’an sama sekali tidak mendapat perhatian karena alat atau sarana tadi beralih menjadi pokok tujuan.27

24

FKMT Penamas Departemen Agama Dki Jakarta dan Direktorat Pendidikan Agama Islam Pada Masyarakat dan Pemberdayaan Masjid Direktur Jenderal Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, Metode Dakwah, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2004) hlm 128.

25

Harun Yahya. Misinterpretasi Terhadap Al-Qur’an Mewaspadai Penyimpangan dalam Menafsirkan Al-Qur’an, (Jakarta: Robbani Press, 2001), h. 72.

26

Teungku M. Hasbi ash-Shiddieqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2009), h. 123.

27

Syaikh Muhammad Al-Ghazali. Al-Qur’an Kitab Zaman Kita: Mengaplikasikan Pesan Kitab Suci Dalam Konteks Masa Kini, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2008), h. 88.


(32)

Beberapa ahli memberikan pemaparan tersendiri tentang tujuan adanya cerita-cerita tersebut. Menurut Manna Khalil al-Qatthan tujuan cerita-cerita tersebut adalah:28

a. Menjelaskan prinsip dakwah agama Allah SWT dan keterangan pokok-pokok syariat yang dibawa oleh masing-masing Nabi dan Rasul. Contohnya dalam surat al-Anbiya: 25









“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku"

b. Memantapkan hati Rasulullah dan umatnya serta memperkuat keyakinan kaum muslimin.

c. Mengoreksi pendapat para ahli kitab yang suka menyembunyikan keterangan dan petunjuk kitab sucinya dan membantahnya dengan argumentasi-argumentasi yang terdapat pada kitab suci sebelum diubah mereka sendiri.

d. Lebih meresapkan dan memantapkan keyakinan dalam jiwa.

e. Untuk memperlihatkan kemukjizatan Al-Qur’an dan kebenaran Rasulullah di dalam dakwah dan pemberitaannya mengenai umat-umat yang terdahulu ataupun keterangan beliau yang lain, dalam surat al-Fath: 27 Allah Berfirman:





















28

Manna’ Khalil al-Qattan. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: PT Pustaka Litera AntarNusa, 2007), h. 437.


(33)

“Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya, tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa Sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil haram, insya Allah dalam Keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut”

f. Menanamkan pendidikan akhlakul karimah, karena dari keterangan cerita-cerita yang baik itu dapat meresap ke dalam hati nurani dengan mudah.

Adapun Shalah Khalidy berpendapat bahwa tujuan cerita-cerita Al-Qur’an ialah:

a. Agar mereka berpikir (la’allahum yatafakkarun). Al-Qur’an menginginkan kita untuk senantiasa berpikir dan mengambil pelajaran dari setiap kisah yang diceritakan.

b. Untuk meneguhan hati Rasulullah dan orang-orang mukmin agar konsisten dalam jalan kebenaran.

c. Pelajaran bagi orang-orang yang berakal.29

Sedangkan menurut Muhammad Said Mursy, penceritaan Alqur‘an dan para nabi bertujuan sebagai peringatan dan pelajaran bagi seluruh umat.30

Dari beberapa pendapat para pakar yang telah dikemukakan di atas, secara keseluruhan terdapat kesamaan pendapat antara yang satu dengan lainnya. Di antara maksud dan tujuan itu yakni:

Pertama, menegaskan bahwa Nabi Muhammad benar-benar seorang nabi utusan Allah dan bahwa Al-Qur’an yang disampaikannya memang benar-benar firman Allah yang diwahyukan kepadanya. Kalau bukan karena wahyu dari Allah bagaimana mungkin Nabi Muhammad bisa menyampaikan cerita-cerita di dalam Al-Qur’an dalam deskripsi yang sedemikian cermat dan narasi yang amat indah tanpa ada distorsi dan penyelewengan.31 Firman Allah SWT:

29 Shalah Al-Khalidy, Kisah-Kisah Al-Qur’an: Pelajaran dari Orang-Orang Dahulu,

(Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 28-31.

30

Mursy, op. cit., h.118.

31


(34)







































Dan tidaklah kamu (Muhammad) berada di sisi yang sebelah barat ketika Kami menyampaikan perintah kepada Musa, dan tiada pula kamu termasuk orang-orang yang menyaksikan. Tetapi Kami telah mengadakan beberapa generasi, dan berlalulah atas mereka masa yang panjang, dan tiadalah kamu tinggal bersama-sama penduduk Madyan dengan membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka, tetapi Kami telah mengutus rasul-rasul. Dan tiadalah kamu berada di dekat gunung Thur ketika Kami menyeru (Musa), tetapi (kami beritahukan itu kepadamu) sebagai rahmat dari Tuhanmu, supaya kamu memberi peringatan kepada kaum (Quraisy) yang sekali-kali belum datang kepada mereka pemberi peringatan sebelum kamu agar mereka ingat.

(QS Al-Qashash: 44-46)

Kedua, menegaskan kesatuan agama-agama samawi, yakni seluruh para nabi menyeru kepada akidah yang satu, yang berasal dari Allah. Tidak ada perbedaaan pun di antara para nabi dan rasul sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad. Kadang disebutkan sejumlah cerita para nabi dan rasul secara terhimpun dalam satu surah, dinarasikan dengan gaya yang sangat mengagumkan, untuk menegaskan kebenaran ini. Tengok misalnya surah al-Anbiya, di mana cerita-cerita Musa dan Harun, Ibrahim, Luth, Nuh, Dawud, Sulaiman, Ayyub, Ismail, Idris, dan Dzulkifli disebutkan secara berantai. Lalu masing-masing disertai dengan sebutan indah, dan diakhiri dengan,

Sesungguhnya umat kalian ini adalah umat yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka tunduk-sembahlah pada-Ku (QS Al-Anbiya: 48-92). Tujuan ini pada dasarnya hendak menjelaskan hubungan yang erat antara syariat


(35)

Islam dengan seluruh syariat Ilahiah yang diserukan oleh para rasul dan nabi keseluruhan, dan bahwa Islam sejatinya pelanjut syariat-syariat tersebut. Allah berfirman,

































“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad) melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku". (al-Anbiya: 25)

Ketiga, menegaskan kesatuan metode dan gaya dakwah para nabi. Al-Qur’an menegaskan betapa metode dan gaya dakwah para nabi itu satu, bahwa cara mereka dalam melawan dan menghadapi kaumnya itu serupa, dan bahwa faktor-faktor, sebab dan fenomena-fenomena yang dihadapi dakwah adalah satu.32

Keempat, mengabadikan ingatan mengenai peristiwa yang dialami oleh para nabi dan tokoh-tokoh lain di masa silam agar tetap menjadi pelajaran. Serta memberikan kabar gembira kepada para penyeru kebenaran tentang akhir yang indah yang menunggu mereka di dunia dan di akhirat serta memotifasi mereka agar bersabar dalam berdakwah. Cerita-cerita itu menjelaskan bahwa orang yang mengingkari kebenaran risalah para nabi akan bernasib sama seperti yang dialami kaum Nabi Nuh, kaum ‘Ad, kaum Samud, dan lainnya. Demikian juga para dai yang melanjutkan tugas nabi dan pengikutnya, diharapkan bersabar dan tidak bersedih hati mengalami penolakan dan perlawanan dari masyarakat karena Allah akan menolong para nabi-Nya di penghujung peristiwa dan mengalahkan kaum pendusta.

Kelima, cerita adalah sarana penting yang digunakan Al-Qur’an untuk membangkitkan motivasi belajar. Ia mempunyai pengaruh yang bersifat

32

Muhammad Hadi Ma’rifat. Kisah-Kisah Al-Qur’an: Antara Fakta dan Metafora, (Yogyakarta: Penerbit Citra, 2013), h. 47.


(36)

mendidik, karena sejak dulu para pendidik mempergunakannya sebagai sarana untuk mengajarkan akhlak baik, nilai agama, dan etika dengan cara yang ringan dan menyenangkan, sehingga akal dan jiwa bisa mendapatkan hikmah, nasihat, pelajaran, serta keteladanan.33

3. Karakteristik Metode Pembelajaran Cerita dalam Al-Qur’an

Sesungguhnya pada cerita-cerita mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (QS Yusuf: 111).

Dari ayat tersebut dapat dipahami betapa cerita-cerita yang ada dalam Al-Qur’an memiliki faktualitas, kebenaran, hikmah dan pendidikan nilai-nilai luhur.34 Keempat hal inilah yang membuat cerita-cerita yang ada dalam Al-Qur’an, berbeda dengan cerita pada umumnya.

Faktualitas, dalam arti bahwa Al-Qur’an menyampaikan peristiwa-peristiwa, persoalan dan bentuk-bentuk yang berkaitan dengan kehidupan manusia dan kebutuhan hidup mereka dalam bentangan sejarah kemanusiaan. Jadi, cerita dalam Al-Qur’an bukan sekedar cerita khayal yang ada di angan-angan. Penuturan cerita dan peristiwa-peristiwa di dalam Al-Qur’an bermaksud mengajak untuk “membaca ulang” sejarah kemanusiaan dan persoalan-persoalan rill yang telah dijalani umat manusia sebelumnya, yang dengan itu menjadi jelas hal-hal yang baik dari yang buruk, supaya itu semua dijadikan pelajaran bagi kehidupan yang sekarang dan yang akan datang. Sehingga umat dewasa ini tidak mengulang apa yang pernah dilakukan leluhur mereka yang berujung pada penyesalan. Dalam uraiannya, cerita Al-Qur’an juga memberikan penekanan lebih pada peristiwa, bukan tokoh.

Kebenaran, dalam arti memerhatikan sisi kebenaran dalam menuturkan peristiwa-peristiwa dan fakta historis yang dihadapi oleh para nabi dan umatnya dalam kehidupan. Ini berseberangan dengan dongeng-dongeng

33

Muhammad Utsman Najati. Psikologi Qurani: Dari Jiwa hingga Ilmu Laduni. (Bandung: Penerbit MARJA, 2010), h. 155.

34


(37)

bohong, mitos, serta penyimpangan dalam pemahaman yang menghiasi cerita-cerita para nabi terdahulu dalam kitab Perjanjian Lama dan Baru.35

Pendidikan nilai-nilai luhur, mungkin inilah salah satu fokus Al-Qur’an, karena Rasulullah pun diutus untuk meluruskan akhlak manusia. Dalam Al-Qur’an, cerita dituturkan dengan nuansa akhlak untuk beriman kepada Allah serta beramal saleh dan berperilaku baik dalam hidup,baik secara pribadi maupun sosial.

Hikmah, karena di antara tujuan diutusnya para utusan Allah ialah mengajarkan kitab dan hikmah, sehingga dari cerita-cerita Al-Qur’an orang dapat mengambil manfaat darinya dalam membuat hidupnya lebih bermakna. Boleh jadi karena alasan ini Al-Qur’an membatasi diri dalam mengetengahkan cerita dan peristiwa-peristiwa sejarah, sebatas dengan yang memiliki kaitan dengan arah dan orientasinya itu sendiri. Tentu ini berbeda dengan cerita yang disampaikan sebagai hiburan dan kodifikasi kejadian dan peristiwa-peristiwa bersejarah, sebagaimana ciri khas buku-buku sejarah.36

Itulah keunikan cerita Al-Qur’an yang membuatnya berbeda dengan cerita lainnya, bukan sekadar pemaparan cerita orang-orang yang telah mati tetapi tidak membawa makna yang berarti dan kebaikan di dalamnya. Atas dasar itu, Al-Qur’an disebut ahsan al-qashash, yakni “cerita terbaik” (QS Yusuf: 3).

a. Gaya Penyampaiannya Berbeda dengan Cerita Sastra.

Metode cerita dalam Al-Qur’an berbeda dengan metode cerita dalam tradisi literer-sastrawi dan humaniora pada umumnya. Gaya bahasa Al-Qur’an menganut stilistika khithabi (retorikal), bukan kitabi (tulisan atau buku). Sehingga Al-Qur’an tidak harus menjelaskan persoalan-persoalan secara teratur dan sistematis, tidak perlu menjelaskan detail-detail, sebagaimana menjadi sebuah keharusan dalam sebuah buku. Karena itu, dalam menarasikan cerita, Al-Qur’an tidak perlu terjebak pada kronologi

35

Ibid., h. 35

36


(38)

waktu dan kesinambungan peristiwa. Tetapi, Al-Qur’an bebas bergerak dan berpindah dari satu peristiwa ke peristiwa yang lain, kemudian kembali mengulang lagi (tijwal) jika memang diperlukan. Malah terkadang secara terputus-putus dan tidak ada kelanjutannya, karena yang penting telah menunjukkan inti yang menjadi signifikansi dari cerita tersebut (bayt al-qashid).

Hal ini dikarenakan posisi Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk. Karenanya, Al-Qur’an memanfaatkan cerita hanya untuk tujuan hidayah (petunjuk) tersebut. Karena itu pula, untuk sampai pada tujuan utamanya, Al-Qur’an membatasi diri pada pemaparan hal-hal yang perlu saja, tanpa tergoda dengan aspek lain yang tidak berhubungan secara langsung dengan tujuan asalnya.37

b. Penyampaian Pesan dalam Cerita

Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya bahwa penyampaian pesan-pesan agama melalui cerita mempunyai maksud dan tujuan tersendiri. Karena cerita di dalam Al-Qur’an merupakan suatu metode untuk mencapai tujuan yakni memberi pelajaran bagi manusia, maka agar tujuan tersebut berhasil dengan baik, biasanya Al-Qur’an lebih dahulu menyebutkan kandungan suatu cerita secara umum melalui beberapa kata secara singkat. Setelah itu barulah Al-Qur’an menguraikan secara luas.

Sementara itu jika Al-Qur’an hendak menyampaikan pesan-pesan penting yang terdapat di dalam suatu cerita, cara yang digunakan adalah mengemukakan pernyataan tegas secara berjenjang, baik berisi penolakan maupun pengukuhan isi cerita.

Metode penyampaian pesan melalui cerita dapat dilihat antara lain ketika Al-Qur’an menceritakan cerita Nabi Yusuf, Musa, Adam, dan Penghuni Gua (Ashabul Kahfi).38

37

Najati, Op. cit, h. 156.

38

Abd. Rahman Dahlan. Kaidah-Kaidah Penafsiran Al-Qur’an, (Bandung: Penerbit Mizan, 1997), h. 188.


(39)

Ketika bercerita tentang Nabi Yusuf AS., Al-Qur’an memulainya dengan ayat berbunyi:

Kami menceritakan kepadamu cerita yang paling baik, dengan mewahyukan Al-Qur’an ini kepadamu... (QS Yusuf: 3).

Setelah mengukuhkan kebaikan cerita yang hendak dikemukakan dan menceritakan secara singkat rangkuman cerita Nabi Yusuf, Al-Qur’an kemudian menegaskan:

Sesungguhnya terdapat beberapa tanda kekuasaan Allah pada Yusuf dan saudara-saudaranya, bagi orang-orang yang bertanya (QS Yusuf: 7).

Setelah itu barulah Al-Qur’an menguraikan cerita Nabi Yusuf secara deskriptif sampai selesai.

Adapun ketika Al-Qur’an hendak menyampaikan pesan penting di dalam suatu cerita, digunakannyalah bentuk pernyataan bersifat menegasikan atau mengukuhkan. Hal ini dapat dilihat antara lain ketika Al-Qur’an membantah dan membatalkan keyakinan orang-orang yang mempertuhankan berhala-berhala, di samping mengakui Allah sebagai Tuhan mereka.39 Al-Qur’an membantah keyakinan tersebut dengan menegaskan:

Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta. (QS Al-Kahfi: 5).

Demikian juga ketika ketika menegaskan kebenaran risalah Nabi Muhammad SAW; mula-mula Al-Qur’an membantah tuduhan kaum kafir Quraisy yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad sesat dan mengada-ada:

Demi bintang ketika terbenam. kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. (QS An-Najm: 1-3).

39


(40)

Setelah menegasikan semua tuduhan negatif terhadap diri sang Nabi, pada jenjang berikutnya barulah Al-Qur’an menyatakan secara terperinci kedudukan beliau sebagai pembawa wahyu Allah:

Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat. (QS An-Najm: 4-5).

Demikian beberapa contoh pola yang digunakan Al-Qur’an untuk menyampaikan pernyataan penting di dalam suatu cerita. Melalui pola-pola tersebut, para pembaca ataupun pendengar akan mendapatkan keterangan secara jelas tentang pesan yang disampaikan, sekaligus merasakan kesan yang mendalam tentang alur cerita dari cerita tersebut.40

c. Pengulangan Cerita

Cerita di dalam Al-Qur’an ada yang disampaikan secara tuntas di satu tempat dalam Surah Al-Qur’an, seperti cerita Zulqarnain dalam Surah Al-Kahfi, cerita tentara gajah dalam surat Al-Fiil dan cerita Nabi Yusuf dalam Surah Yusuf. Di sisi yang lain, sebagian besar cerita Al-Qur’an tidak disampaikan secara utuh sekaligus dalam satu tempat, tetapi hanya bagian tertentu yang sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan dan tersebar di beberapa surah.

Cerita Nabi Adam misalnya tersebar di beberapa surah, antara lain: al-Baqarah: 30-38, Ali Imran: 59, an-Nisa: 1, al-A’raf: 11-25, al-Hijr: 26-48, al-Isra: 61-65, al-Kahfi: 50, Taha: 115-123. Sad: 72-85, az-Zumar: 6 dan ar-Rahman: 14-15. Begitu juga dengan cerita Nabi Nuh, Nabi Hud, dan Nabi Ibrahim. Walaupun di dalam Al-Qur’an terdapat beberapa surah yang dinamakan Ibrahim (surah ke-14), Nuh (surah ke-71) dan Hud(surah ke-11), tetapi cerita-cerita mereka bertiga tersebar di banyak surah dalam Al-Qur’an.41

40

Ibid., h.190-191.

41

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Tafsir Ilmi Kisah Para Nabi Pra-Ibrahim Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2012) hlm 7.


(41)

Kajian para psikolog membuktikan bahwa pengulangan sangatlah penting dalam proses pembelajaran, karena ini akan membuat pendapat dan pemikiran yang ingin disampaikan menjadi lebih mudah untuk diingat.

Dalam Al-Qur’an didapatkan pengulangan ayat yang berhubungan dengan masalah akidah dan masalah gaib yang ingin ditanamkan pada pikiran manusia seperti keimanan kepada hari akhir. Dalam Al-Qur’an, cerita para nabi banyak diulang untuk mempertegas bahwa semua agama (tauhid) berasal dari Allah. Allahlah yang telah mengutus para nabi dan rasul dalam kurun waktu yang berbeda-beda untuk menyeru agar mengesakan Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain. Al-Qur’an menjelaskan kepada kaum kafir Quraisy tentang nasib umat-umat terdahulu yang mendustakan para nabi, untuk memberi peringatan bahwa mereka pun akan mengalami nasib yang sama jika mendustakan Nabi Muhammad SAW.

Dalam surat Al-Mursalat ada kalimat, “Kecelakaan besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan” sebanyak sepuluh kali. Surat ini mengingatkan terhadap nikmat dan azab Allah, agar mereka tidak terus menerus mendustakan dan berada dalam kekafiran. Karena cara yang demikian ialah hal biasa bagi bangsa Arab, baik dalam pidato maupun dalam pembacaan syair.

Pengulangan cerita bukanlah pengulangan secara utuh. Sebab, Al-Qur’an hanya menyebutkan peristiwa yang sesuai dengan konteks makna yang terdapat dalam surat. Jika Al-Qur’an mengulangi satu bagian dari cerita, maka biasanya pada bagian itu ditambahkan sesuatu yang baru yang sebelumnya tidak disebutkan. Dalam penggunaan kata terkadang juga mengalami perubahan, baik dalam susunan, mengedepankan atau mengakhirkan, sesuai dengan tuntutan pengajaran yang dimaksudkan cerita tersebut.

Mengenai pengulangan dalam cerita Al-Qur’an, Dr. Muhammad Mahmud Hijazi mengutip pernyataan Imam asy-Syathibi dalam


(42)

al-Muwaafaqaat, “Secara umum, pemaparan cerita para Nabi seperti Nuh, Hud, Shalih, Syu’aib, Musa, Harun, dan sebagainya adalah dalam rangka menghibur Nabi Muhammad SAW. dan mengokohkan hati beliau dalam menghadapi pembangkangan, pendustaan, maupun tindakan tidak terpuji dari orang-orang kafir. Hal inilah yang membuat cerita-cerita tersebut berisi hal-hal yang juga dihadapi oleh Rasulullah SAW. dalam perjalanan dakwahnya.

Dengan demikian, tidak mengherankan jika alur atau gaya pemaparan suatu kisah sering kali tidak sama. Hal ini disesuaikan dengan kondisi tertentu yang ketika itu dihadapi Rasulullah SAW. Walaupun begitu, seluruh kisah tetap merupakan suatu yang hak dan tidak ada keraguan terhadap keshahihannya. Lebih lanjut, siapa yang ingin mengkaji dan mendapatkan pemahaman yang baik tentang Al-Qur’an, maka tidak ada salahnya mengikuti metode atau model pemaparan beberapa contoh yang telah dikemukakan.”42

Diulang-ulangnya penyampaian satu cerita tertentu di berbagai tempat didasarkan pada beberapa sebab, di antaranya.

Sebab pertama, ada penambahan informasi baru yang tidak terdapat pada uraian sebelumnya.

Sebab kedua, agar cerita yang diceritakan Rasulullah SAW. bisa didengar oleh banyak orang. Karena tidak jarang ketika Rasulullah SAW. menyampaikan cerita, pendengarnya ialah orang yang kebetulan lewat dan kemudian pergi. Selanjutnya ketika turun wahyu yang lain, orang yang mendengarnya lain lagi.

Sebab ketiga, dalam rangka menghibur hati nabi Muhammad SAW. Sebab keempat, untuk menegaskan karakteristik cerita Al-Qur’an, di mana ada cerita yang dihimpun dalam satu surah saja, tetapi ada juga

42

Muhammad Mahmud Hijazi, Fenomena Keajaiban Al-Qur’an, Kesatuan Tema dalam Al-Qur’an Al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani, 2010), h. 74.


(43)

yang diulang-ulang di tempat lain. Karena kalau semua sama maka tidak ada bedanya Al-Qur’an dengan kitab-kitab suci sebelumnya.43

d. Episode Kemunculan Tokoh Utama 1. Dari Awal Kelahiran

Dalam bercerita adakalanya Al-Qur’an memunculkan tokoh utamanya dari episode pertama: episode kelahiran pemeran utamanya, karena dalam kelahirannya mengandung nasihat, seperti cerita Nabi Adam (sejak awal kejadiannya). Di dalam cerita itu ada fenomena kekuasaan Allah dan kesempurnaan ilmu-Nya serta nikmat-Nya kepada Nabi Adam dan anak-cucunya. Juga ada dialog iblis dengan Nabi Adam, yang semuanya mengandung pelajaran bagi umat manusia. Atau cerita kelahiran Nabi Isa yang dipaparkan dengan rinci dan sempurna. Sebab, kelahiran Nabi Isa merupakan salah satu mukjizat kenabiannya. Bahkan menjadi penyebab terjadinya pertentangan yang berkenaan dengan Almasih, baik sebelum maupun sesudah Islam datang.

Tidak ketinggalan cerita Nabi Ismail dan Nabi Ishaq. Sebab dalam kelahiran itu terdapat pelajaran. Nabi Ismail adalah karunia yang diberikan kepada Nabi Ibrahim, padahal dia sudah tua. Sedangkan Nabi Ishaq merupakan kabar gembira yang diberikan kepada istrinya, padahal dia sudah sangat tua. Begitu juga dengan kelahiran Yahya, di mana ayahnya Zakaria sudah rapuh dan rambutnya beruban.

2. Dari Masa Kanak-Kanak

Tokoh utama di dalam cerita Al-Qur’an adakalanya dipaparkan tidak dari awal kelahiran, tetapi setelahnya. Seperti cerita Ibrahim, ceritanya berawal dari sejak dia masih muda. Memandang langit dan melihat bintang, bulan, dan matahari dalam rangka pencarian kepada Tuhannya, yang pada akhirnya dia ber-tawajjuh (menghadapkan diri) kepada Allah yang tidak bisa dilihat dengan mata kepala. Lalu dia mengajak bapak dan

43


(44)

kaumnya untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa ini, namun semua menolak. Hingga akhirnya strategi yang dilakukan Ibrahim ialah menghancurkan semua berhala dan menyisakan satu berhala yang paling besar dengan meninggalkan kapak padanya.

Cerita Nabi Dawud juga dimulai ketika dia di ambang dewasa. Dimulai dengan dikalahkannya Jalut oleh Nabi Dawud berkat pertolongan Allah. Begitu juga dengan Nabi Sulaiman, yang ceritanya dimulai sejak dia seusia bapaknya, saat dia duduk sebagai hakim dalam permasalahan mengenai tanaman, “Karena tanaman ini dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu.” (al-Anbiyaa’: 78). Hukum yang adil dari seorang pemuda inilah yang menjadi tanda bahwa Allah kelak akan menjadikannya pemimpin kerajaan terbesar.

3. Sudah Dewasa atau Masa Kenabian

Kemudian juga terdapat beberapa cerita yang memunculkan tokohnya saat berada dalam usia dewasa, dalam artian saat menjadi nabi atau rasul. Seperti Nabi Nuh, Nabi Hud, Nabi Shaleh, Nabi Luth, Nabi Syua’ib, dan banyak lagi yang lainnya. Sebab, periode kenabian itulah yang terpenting dari kehidupan mereka dan di dalamnya tersirat i’tibar.44

e. Panjang Pendek Cerita

1. Cerita yang Disebutkan Panjang Lebar

Selain dari sisi awal cerita, Al-Qur’an juga memiliki gaya tersendiri dalam hal panjang atau pendeknya cerita. Ada beberapa cerita yang disebutkan secara panjang lebar, termasuk rincian peristiwanya seperti apa pun digambarkan. Seperti cerita Nabi Yusuf yang ceritanya sangat jelas dan rinci dijelaskan oleh Al-Qur’an dalam surah yang menggunakan namanya, Yusuf, untuk mempertegas hal ini. Mulai dari cerita dia dan

44


(1)

34

35

36

37

38 39

40

41

42 43

20

21

22

23

24 25

26

27

28 29

2

2

2

2

2 2

2

2

2 2

20

20

20

22

22 22

24

25

25 26

Al-Qur’an Mewaspadai Penyimpangan dalam Menafsirkan Al-Qur’an, (Jakarta: Robbani Press, 2001), h. 72.

Teungku M. Hasbi ash-Shiddieqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2009), h. 123.

Syaikh Muhammad Al-Ghazali. Al-Qur’an Kitab Zaman Kita: Mengaplikasikan Pesan Kitab Suci Dalam Konteks Masa Kini, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2008), h. 88. Manna’ Khalil al-Qattan. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: PT Pustaka Litera AntarNusa, 2007), h. 437.

Shalah Al Khalidy, Cerita-Cerita Al-Qur’an: Pelajaran dari Orang-Orang Terdahulu, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), h. 52.

Mursy, op. cit., h.118.

Sayyid Quthb, Indahnya Al-Qur’an Berkisah, (Jakarta: Gema Insani, 2004), h. 159.

Muhammad Hadi Ma’rifat. Cerita-Cerita Al-Qur’an: Antara Fakta dan Metafora, (Yogyakarta: Penerbit Citra, 2013), h. 47. Muhammad Utsman Najati. Psikologi Qurani: Dari Jiwa hingga Ilmu Laduni. (Bandung: Penerbit MARJA, 2010), h. 155.

Ma’rifat, Op. cit, h. 33. Ma’rifat, Op. cit, h. 33-38.


(2)

44 45

46 47

48

49 50

30 31

32 33

34

35 36

2 2

2 2

2

2 2

27 27

29 31

33

35 36

Najati, Op. cit, h. 156.

Abd. Rahman Dahlan. Kaidah-Kaidah Penafsiran Al-Qur’an, (Bandung: Penerbit Mizan, 1997), h. 188.

Dahlan, op. cit., h.191.

Muhammad Mahmud Hijazi, Fenomena Keajaiban Al-Qur’an, Kesatuan Tema dalam Al-Qur’an Al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani, 2010), h. 74.

Sayyid Quthb, Indahnya Al-Qur’an Berkisah, (Jakarta: Gema Insani, 2004), h.181-184.

Quthb, op. cit., h. 184-188.

Sulaiman ath-Tharawanah, Rahasia Pilihan Kata dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Qisthi Press, 2004), h. 217-219.

51

52

1

2

3

3

37

38

Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), Cet. 1, h. 31. Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam dengan Multidisipliner, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 368.

53

54

1

2

4

4

42

43

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 2007), Cet VIII, Vol. 10. h. 403.

M. Quraish Shihab, Al-Lubab Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah Al-Qur’an, (Tangerang: Penerbit Lentera


(3)

55

56 57

58

59 60

61 62

63

64 65

66

3

4 5

6

7 8

9 10

11

12 13

14

4

4 4

4

4 4

4 4

4

4 4

4

44

45 45

46

47 48

49 49

51

52 52

53

Hati, 2007), Cet I, h. 80.

Ahmad Mustafa Al-Maraghi , Tafsir Al-MAraghi, (Semarang: PT Karya Toha Putra, 1993), h. 174-175.

Shihab. Op. cit, h. 413-415.

Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), h.72. Muhammad Mahmud Hijazi, Fenomena Keajaiban Al-Qur’an, Kesatuan Tema dalam Al-Qur’an Al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani, 2010), h.343.

Siswanto, op. cit., h.75.

Muhammad Hadi Ma’rifat. Cerita-Cerita Al-Qur’an: Antara Fakta dan Metafora. (Yogyakarta: Penerbit Citra, 2013), h. 33. Ma’rifat, op. cit., h.36.

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Tafsir Ilmi Kisah Para Nabi Pra-Ibrahim Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2012) hlm 6.

Sulaiman ath-Tharawanah. Rahasia Pilihan Kata dalam Al-Qur’an. (Jakarta: Qisthi Press, 2004), h. 364.

Siswanto, op. cit., h.81.

D. Hidayat, Al-Balaghah lil-Jami’ wasy-Syawahid min Kalamil-Badi’ (Balaghah untuk Semua), (Tangerang Selatan: PT. Karya Toha Putra & Bina Masyarakat Qur’ani, 2002), h.71.


(4)

67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 53 54 55 57 57 58 58 58 58 59 60 60 61 62 63 63 65 66 68

Hanafi, op. cit., h.57.

Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2005), h.117.

Quthb, op. cit., h.206-211. Hanafi, op. cit., h.25-26. Hijazi, op. cit., h.117. Hanafi, op. cit., h.65. D. Hidayat, op. cit., h.66.

M. Quraish Shihab, dkk. Ensiklopedi Alquran Kajian Kosakata dan Tafsirnya, (Jakarta: Yayasan Bimantara, 2002), jilid I, hal.1-2.

Ma’rifat, op. cit., h.56. Hijazi, op. cit., h.371-372. Hijazi, op. cit., h.373. Dahlan, op. cit., h.187.

Sayyid Quthb, Indahnya Al-Qur’an Berkisah, (Jakarta: Gema Insani, 2004), h.189.

Quthb, op. cit., h.171. Ma’rifat, op. cit., h.54. Hijazi, op. cit., h.384. Quthb, op. cit., h.182.

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Kisah Para Nabi Pra Ibrahim dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2012), h. 8.

Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional. (Bandung: Remaja Rosda


(5)

86

87

88

34

35

36

4

4

4

68

69

69

Karya, 1995) h. 15.

Agus DS, Mendongeng Bareng Kak Agus DS, Yuk..., (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2012), h. 98.

Muhammad Nur Abdul Hafizh, Mendidik Anak Bersama Rasulullah, (Bandung: Penerbit Al-Bayan, 1997), h. 306.

Abdul Aziz Abdul Majid, Mendidik dengan Cerita, (Bandung: PT Remaja Rosda Kalya, 2001), h. 26.


(6)

RIWAYAT HIDUP

A. Identitas Diri

1. Nama lengkap : Muhammad Idham Kholid 2. Tempat, tanggal lahir : Bekasi, 2 Desember 1991

3. NIM : 109011000163

4. Alamat rumah : Kp. Buaran Ds. Lambangsari RT 04/02 Kec. Tambun Selatan Kab. Bekasi

5. HP : 08998481127

6. Email : idamcloud@gmail.com

B. Riwayat Pendidikan 1. Pendidikan Formal

a. TK Al-Ittihad Tambun Selatan Bekasi, lulus tahun 1997 b. SDIT An-Nadwah Tambun Selatan Bekasi, lulus tahun 2003 c. MTs Al-Masthuriyah Cisaat Sukabumi, 2003-2005

d. MTs Ar-Raudhah Tambun Selatan Bekasi, lulus tahun 2006

e. MA At-Taqwa Pusat Putra Ujung Harapan Bekasi, lulus tahun 2009

f. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, lulus tahun 2014

2. Pendidikan Non-Formal

a. Lembaga Tahfidz dan Ta’lim al-Qur’an (LTTQ) Masjid Fathullah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

b. Pondok Pesantren Baitul Qurro’ Perumahan Ciputat Baru Ciputat

Jakarta, 30 April 2014