Seni dan Apresiasi pabudbp kurtilas x bukusiswa rev2017 terampilmatematika blogspot com

143 Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti Sumber :Mahathera Nyanasuryanadi, Gambar 6.4 Fungsi Seni Yogyakarta, 5 April 2011 Sumber :Mahathera Nyanasuryanadi, Gambar 6.5 Apresiasi Seni Yogyakarta, 5 April 2011 144 Kelas X SMASMK

C. Seni dan Budaya Buddhis

Nilai budaya mengonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat. Sebagai wujud ideal dari kebudayaan atau adat yang berfungsi mengatur perilaku, nilai budaya pada tingkatan adat bersifat abstrak dengan ruang lingkup luas. Tingkatan adat di bawahnya berturut-turut menjadi lebih konkret dari norma, hukum hingga aturan-aturan khusus. Semua nilai dan norma, sebagaimana pengetahuan dan kepercayaan, diekspresikan dalam bentuk simbol. Simbol-simbol memungkinkan kita menciptakan, mengkomunikasikan dan mengambil bagian serta mengalihkan komponen-komponen kebudayaan kepada generasi berikutnya. Simbol adalah sesuatu yang dapat memberikan makna. Ada beberapa wujud simbol, yakni berupa benda, kata-kata, dan tindakan. Gambar dan patung, dekorasi dan arsitektur vihara, pembacaan ayat-ayat kitab suci dan doa, gerakan menyembah dan meditasi, merupakan ungkapan keberagamaan yang memakai simbol-simbol. Nilai-nilai Buddhis yang berdasar pada berbagai kebudayaan dikenali dari hakikat dan arti simbol, tidak terbatas hanya pada wujud simbol itu sendiri. Selain itu, mengutip pendapat To hi Anh, jika sebuah kebudayaan lebih mengembangkan suatu nilai tertentu, bukan berarti bahwa nilai lain dimustahilkan. 1. Seni Sastra Keindahan merupakan pengalaman yang disadari, keindahan itu dapat diungkapkan baik melalui kata-kata maupun melalui media lain. Dalam menyampaikan ajaran-Nya Buddha juga berpuisi, namun tentu saja tidak bermaksud menjadi penyair. Apa yang disebut gatha adalah ajaran yang diucapkan dalam bentuk syair, dan geya adalah khotbah dengan gaya bahasa prosa yang diikuti sajak sebagai pengulangan dan ringkasan. Para pujangga menulis tentang materi yang diajarkan dan yang bersemangatkan ajaran Buddha dengan gayanya sendiri secara kreatif. Karya-karya sastra itu sering dipandang sebagai tafsir ajaran menurut latar belakang budaya penulisnya. Buddhacarita misalnya, adalah syair berupa epos yang ditulis oleh Asvaghosha mengenai riwayat hidup Buddha. Di Jawa tidak ditemukan peninggalan naskah yang menjadi bagian atau terjemahan dari Kitab Suci Tripitaka, tetapi terdapat sejumlah karya sastra dalam bahasa Kawi. Karya sastra itu antara lain Sanghyang Kamahayanikan, Sanghyang Kamahayanan Mantrayana, Kunjara Karnna dan Sutasoma. Ada yang berbentuk prosa, ada yang berbentuk puisi kakawin. Di Tiongkok dan Jepang tradisi Zen mengembangkan syair-syair yang menunjukkan sejauh mana pencerahan itu tercapai. Diterjemahkan oleh Baruna 145 Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti ATTHISENA - JATAKA “Atthisena, banyak pengemis...”, Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika tinggal di sebuah vihara bernama Aggalava dekat Alavi, berhubungan dengan peraturan-peraturan untuk bangunan dari biara. Hal tersebut dikatakan di dalam kelahiran Manikantha. Guru berkata kepada Brethren, “Brethren, pada mulanya [352] sebelum Buddha dilahirkan di dunia, pendeta-pendeta dari agama lain, walaupun ditawarkan pilihan mereka oleh raja-raja, tidak pernah menanyakan untuk sumbangan, memegang teguh bahwa meminta dari orang lain adalah tidak dapat disetujukan atau dibenarkan. Selanjutnya Beliau menceritakan sebuah cerita yang sudah tua. Pada suatu waktu ketika brahmadatta berkuasa di Benares, seorang Bodhisatta dilahirkan di sebuah rumah tangga brahmin di sebuah desa, dan mereka menamakannya Atthisena muda. Ketika beliau dewasa, beliau belajar semua seni Takkasila, dan setelah itu melihat kesedihan dari keinginan-keinginan beliau mengambil hidup beragama, dan mencari kepandaian dan penerangan yang lebih tinggi. Beliau tinggal lama di Himalaya, selanjutnya datang orang-orang untuk mengambil garam dan cuka, beliau sampai di Benares, dan sesudah tinggal di sebuah taman beliau datang memohon hari selanjutnya ke istana raja. Raja sangat bergembira dengan keberadaan dan tingkah lakunya, mengirim beliau, dan menempatkan beliau di sebuah tempat duduk di teras, memberikan beliau makanan yang lezat. Sebagai tanda terimakasih, raja sangat gembira, dan membuat janji akan membuat tempat tinggal Bodhisatta di taman kerajaan dan pergi untuk menemui beliau dua atau tiga kali sehari. Suatu hari, gembira dengan khotbahnya tentang peraturan, raja memberinya pilihan, mengatakan, “Katakan pada saya, apapun yang anda inginkan, mulai dari kerajaanku.” Bodhisatta tidak mengatakan, “Berikan saya ini dan itu,” Yang lain meminta apapun yang mereka inginkan, mengatakan , berikan saya ini, dan raja memberikannya, bila tidak berhubungan. Suatu hari raja berpikir.” para pengikut dan pengemis menanyakan saya untuk memberikan kepada mereka ini dan itu; tetapi Atthisena yang terhormat, sejak saya memberikan beliau pilihan tidak meminta apa-apa. Dia bijaksana dan pandai dalam segala hal, saya akan menanyakan beliau:” Maka suatu hari setelah makan pagi dia duduk di satu bagian, dan menanyakan beliau penyebab dari orang lain membuat permintan dan beliau tidak, dia berkata pada bait yang pertama: Atthisena, banyak pengemis, meskipun mereka sangat asing, Menekan saya dengan permintaan: Mengapa anda tidak ada permintaan kepada saya?