Masa Kebangkitan Agama Buddha di Indonesia
24 Kelas X SMASMK
Pada masa itu, di Indonesia hanya dikenal adanya tiga agama, yaitu agama Kristen Protestan, Katolik, dan Islam, sedangkan agama Buddha tidak disebut-
sebut meskipun Candi Borobudur telah kembali ditemukan pada tahun 1814 oleh Sir homas Stamford Rales, Gubernur Jenderal Britania Raya di Jawa. Hal ini
adalah salah satu sikap Pemerintah Kolonial Belanda waktu itu. Dengan demikian, agama Buddha dianggap sudah sirna di bumi Indonesia, tetapi secara tersirat di
dalam sanubari bangsa Indonesia, agama Buddha masih tetap terasa antara ada dan tiada.
Pada zaman pemerintahan kolonial Belanda, didirikan Perhimpunan heosoi oleh orang-orang Belanda terpelajar. Tujuannya adalah untuk mempelajari inti
kebijaksanaan semua agama dan untuk menciptakan inti persaudaraan yang universal. heosoi juga mempelajari tentang kebijaksanaan dari agama Buddha.
Agama Buddha mulai dikenal, dipelajari, dan dihayati dari ceramah-ceramah dan meditasi di Jakarta, Bandung, Medan, Yogyakarta, Surabaya, dan sebagainya.
Pada zaman penjajahan Belanda, di Jakarta timbul pula usaha-usaha untuk melestarikan ajaran agama Buddha, Konghucu, dan Laotse yang kemudian
melahirkan organisasi Sam Kauw Hwee yang bertujuan untuk mempelajari ketiga ajaran tersebut. Dari sini pula kemudian lahir penganut agama Buddha yang
dalam zaman kemerdekaan bangkit dan berkembang. Pada tahun 1932, di Jakarta telah berdiri International Buddhist Mission
Bagian Jawa dan Yosias van Dienst menjabat sebagai Deputy Director General. Pada tahun 1934, telah diangkat A van Der Velde di Bogor dan J.W. de Wilt di
Jakarta masing-masing sebagai Asistan Direktur yang membantu Yosias van Dienst. Setahun sebelum berdirinya International Buddhist Mission Bagian Jawa,
tepatnya tahun 1931, di Jakarta terbit majalah Mustika Dharma yang dipimpin oleh Kwee Tek Hoay.
Tahukah Kamu?
Pada tahun 1926, zaman pemerintahan kolonial Belanda, Pek Kau Ing dan Ang Tuan Niu orang tua Pek Tiam Po, kakek dan nenek Pek Sing Tjong
yang merupakan pelopor pendiri PTITD dan Martrisia Komda Riau, buyut dari Mariya Pek A Na ketua PTITD dan Martrisia Komda Riau sekarang.
Beliau membawa Dewi Tao Tridharma Ratu Nawasura Sakti Kiu hian Hian De dari Cina ke Singapura pada tahun 1908, kemudian ke Provinsi
Riau pada tahun 1926.
25 Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti
Majalah Mustika Dharma memuat tentang pelajaran heosoi, yaitu ajaran yang mempelajari Islam, Kristen, ajaran Krisnamurti, Buddha, Konghucu, dan
Lautse. Majalah Mustika Dharma berjasa dalam menyebarluaskan kembali agama Buddha sehingga agama Buddha mulai dikenal, dimengerti, dihayati, dan
diamalkan dalam kehidupan. Atas prakarsa dari Kwee Tek Hoay, kemudian lahir organisasi Sam Kauw, organisasi yang mempelopori kebangkitan agama Buddha
di Indonesia di samping Perhimpunan heosoi Indonesia dan Pemuda heosoi Indonesia.
Pada tanggal 4 Maret 1934, Bhikkhu Narada menginjakkan kakinya di Pelabuhan Tanjung Priok, disambut oleh Yosias van Dienst dan Tjoa Hin Hoey
serta beberapa umat Buddha. Bhikkhu Narada adalah bhikkhu yang pertama datang dari luar negeri setelah berselang lima ratus tahun. Bhikkhu Narada hera
memberikan ceramah agama Buddha di Logi-logi heosoi dan di klenteng- klenteng di Bogor, Jakarta, Yogyakarta, Solo, dan Bandung.
Di Candi Borobudur pada tanggal 10 Maret 1934, Bhikkhu Narada hera turut hadir dalam upacara penanaman pohon Bodhi yang dicangkoknya dari pohon
Bodhi yang asli di Buddhagaya India tempat Buddha mencapai Penerangan Sempurna. Pada tahun 1980, pohon Bodhi di Candi Borobudur tersebut ditebang
karena akarnya merusak bangunan Candi Borobudur. Sebagai gantinya, Duta Besar Srilanka kemudian menyerahkan lagi cangkokan pohon Bodhi yang berasal
dari pohon Bodhi di Vihara Anurudapura, Srilanka. Pohon ini juga keturunan cangkokan dari pohon Bodhi asli yang dibawa ke Srilanka oleh Bhikkhu Mahinda
dari India.
Organisasi Buddhis lain pada zaman penjajahan yang berperan dalam kebangkitan agama Buddha di Indonesia adalah Java Buddhist Association.
Organisasi ini menerbitkan majalah Namo Buddhaya dalam bahasa Belanda, dan banyak menarik perhatian dan minat orang-orang Cina, yang pada waktu
itu telah banyak menganut agama lain, dan mengganti tradisi serta adat istiadat leluhurnya dengan kebiasaan Barat. Kemudian, pada tahun 1932, Kwee Tek Hoay
membantu Sam Kauw Hwe yang anggotanya terdiri atas penganut agama Buddha, Konghucu, dan Laotse. Sam Kaw Hwee menerbitkan majalah Sam Kauw Gwat Po
dalam bahasa Indonesia.