ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI YANG DILAKUKAN WAKIL BUPATI MESUJI TERPILIH (Studi Kasus Nomor : 132/Pid.B/2011/PN.Mgl)

Helda Novriliana

ABSTRAK
ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU
TINDAK PIDANA KORUPSI YANG DILAKUKAN WAKIL BUPATI
MESUJI TERPILIH
(Studi Kasus Nomor : 132/Pid.B/2011/PN.Mgl)

Oleh
Helda Novriliana

Otonomi daerah membawa beberapa perubahan dalam hubungan antara eksekutif
dengan legislatif. Otonomi daerah ternyata banyak memunculkan dampak negatif,
salah satu yang menonjol adalah munculnya kejahatan institusional. Baik
eksekutif maupun legislatif sering kali membuat peraturan yang tidak sesuai
dengan logika kebijakan publik. Jika kejahatan institusional itu dipraktikan secara
kolektif antara eksekutif dan legislative. Legislatif yang mestinya mengawasi
kinerja eksekutif justru ikut dan melakukan tindak pidana korupsi secara bersamasama dengan cara yang “legal” karena dilegitimasi dengan keputusan. Korupsi
pada level pemerintahan daerah adalah dari sisi penerimaan, pemerasan, uang
suap, pemberian perlindungan, pencurian barang-barang publik untuk kepentingan
pribadi. Adapun permasalahan yang akan penulis angkat dalam skripsi ini yaitu

Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi
pengelolaan dana penyertaan modal BUMD yang dilakukan oleh Wakil Bupati
Mesuji Terpilih?. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim serta dasar
hukum hakim dalam menetapkan vonis 1 tahun penjara, denda Rp. 50.000.000
(lima puluh juta rupiah) subsider 1 bulan kurungan serta membayar uang pengganti
Rp. 396.000.000 (tiga ratus sembilan puluh enam ribu juta rupiah) subsider 1 tahun
kurungan pada Wakil Bupati Mesuji Terpilih?
Metode penelitian dilakukan melalui pendekatan yuridis normatif dan yuridis
empiris. Pengambilan sampel digunakan metode purposive sampling. Adapun
sumber data adalah data sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan dan
dokumentasi, serta data primer yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan
melalui metode wawancara terhadap seluruh responden, yaitu Hakim Pengadilan
Negeri Menggala, Jaksa Kejaksaan Negeri Menggala, Pengacara serta dosen
Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, 1). Pertanggungjawaban Pidana
terhadap pelaku tindak pidana korupsi penyertaan modal BUMD yang dilakukan
Wakil Bupati Mesuji Terpilih menetapkan bahwa pidana 1 tahun penjara dan

Helda Novriliana
pidana denda sebesar Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) subsider 1 bulan

kurungan serta membayar uang pengganti Rp. 396.000.000 (tiga ratus sembilan puluh
enam ribu juta rupiah) subsider 1 tahun kurungan. 2). Dasar Pertimbangan hakim
dalam. Penjatuhan hukuman yang ditetapka Majelis Hakim berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan yaitu berdasarkan pertimbangan yuridis,sosioligis,dan
filosofis serta menimbang berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan
yang menyangkut diri terdakwa selaku Anggota DPRD Kabupaten Tulang
Bawang periode 2004-2009 yang telah mengabdikan diri pada bangsa dan negara,
bahwa andai kata para terdakwa dimasukkan ke dalam penjara maka akan
memperburuk perilakunya di kemudian hari dan memperhatikan pula hukuman
yang akan dijatuhkan pada para terdakwa menurut pandangan Majelis Hakim
akan memberikan efek jera baginya.Dasar Hukum Hukum Hakim menetapkan
vonis 1 tahun penjara dan pidana denda sebesar Rp. 50.000.000 (lima puluh juta
rupiah) subsider 1 bulan kurungan serta membayar uang pengganti Rp.
396.000.000 (tiga ratus Sembilan puluh enam ribu juta rupiah ) perkara korupsi
penyertaan modal BUMD yang dilakukan oleh Wakil Bupati Mesuji yaitu pasal
11 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah
ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka penulis mencoba memberikan
suatu saran kepada Pihak Pengadilan khususnya Pengadilan Negeri Menggala

diharapkan menjatuhkan putusan terdakwa Korupsi dengan hukuman maksimal
sehingga dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku serta orang-orang yang akan
melakukan korupsi agar kemudian hari tidak lagi melakukan perbuatan pidana
khususnya tindak pidana korupsi. Aparat penegak Hukum terutama aparat
kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman hendaknya lebih meningkatkan kualitas dan
profesionalisme dalam menegakkan hukum, tidak tebang pilih dalam mengungkap
dan memproses tindak pidana korupsi.

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan
sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan, antara lain :
1. Pertanggungjawaban Pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi pelaku
tindak pidana korupsi pengelolaan dana penyertaan modal BUMD yang
dilakukan oleh Wakil Bupati Mesuji Terpilih Ismail Ishak, dikenakan sanksi
pidana kurungan, pidana denda serta membayar uang pengganti sesuai dengan
pasal 11 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagaimana
telah ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi meskipun terdakwa sudah lama
mengabdikan dirinya berkiprah di Lembaga Legislatif Kabupaten Tulang
Bawang, agar menimbulkan efek jera terhadap pejabat yang melakukan tindak
pidana korupsi. Perbuatan tersebut dapat dicela atau dipersalahkan serta
dipertanggunjawabkan

atas

tindak

pidana

yang

dilakukannya

(asas

culpabilitas atau kesalahan) sehingga ia dapat dipidana dan perbuatan tersebut
memenuhi unsur-unsur pidana, yaitu adanya kemampuan pada si pembuat.

2. Dasar Pertimbangan Hakim Serta Dasar Hukum Hakim menetapkan

vonis

1 tahun penjara dan pidana denda sebesar Rp. 50.000.000 (lima puluh juta
rupiah) subsider 1 bulan kurungan serta membayar uang pengganti Rp.
396.000.000 (tiga ratus Sembilan puluh enam ribu juta rupiah ) perkara

81
korupsi penyertaan modal BUMD yang dilakukan oleh Wakil Bupati Mesuji
yaitu Hakim dalam menjatuhkan putusannya berdasarkan pertimbangan
yuridis,filosofis,dan sosiologis.Dimana dalam mempertimbangan secara
yuridis merupakan pertimbangan unsure-unsur dari tindak pidana,apakah
tindak pidana yang dilakukan terdakwa telah sesuai dengan tindak pidana oleh
dakwaan jaksa.Selain itu hakim mmpertimbangkan segi sosiologis yang ada di
masyarakat. dimana unsur-unsur yang ada didalamnya telah terpenuhi namun
putusan hakim yang diterapkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Menggala
tidak sesuai serta tergolong sangat ringan sehingga tidak menimbulkan efek
jera kepada terdakwa.


Dasar hokum Hakim dalam menjatuhkan vonis tersebut mengacu pada pasal
11 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah
ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1)

B. Saran

Setelah melakukan pembahasan dan memperoleh kesimpulan dalam skripsi ini,
maka saran-saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut :
1. Pihak Pengadilan khususnya Pengadilan Negeri Menggala diharapkan
menjatuhkan putusan terdakwa Korupsi dengan hukuman maksimal sehingga
dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku serta orang-orang yang akan
melakukan korupsi agar kemudian hari tidak lagi melakukan perbuatan pidana
khususnya tindak pidana korupsi.

82
2. Aparat penegak Hukum terutama aparat kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman
hendaknya

lebih


meningkatkan

kualitas

dan

profesionalisme

dalam

menegakkan hukum, tidak tebang pilih dalam mengungkap dan memproses
tindak pidana korupsi.

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Otonomi daerah membawa beberapa perubahan dalam hubungan antara eksekutif
dengan legislatif. Eksekutif bersama dewan mempunyai otonomi penuh untuk
membuat kebijakan-kebijakan lokal dan anggota dewan memiliki otonomi penuh

dan mempunyai peluang besar dalam proses legislasi. Kewenangan dewan dalam
membuat kebijakan tidak terbatas hanya dalam memilih kepala daerah, tetapi juga
berwenang membuat undang-undang, pengawasan, investigasi dan bersama-sama
dengan eksekutif menyusun APBD yang sebelumnya tidak pernah dilakukan.
Implikasi lain dari otonomi daerah adalah pelimpahan dana ini dibarengi dengan
dilaksanakannya reformasi penganggaran dan reformasi sistem akutansi keuangan
daerah 1.
Otonomi daerah banyak memunculkan dampak negatif, salah satu yang menonjol
adalah munculnya kejahatan institusional. Baik eksekutif maupun legislatif sering
kali membuat peraturan yang tidak sesuai dengan logika kebijakan publik. Jika
kejahatan institusional itu dipraktikan secara kolektif antara eksekutif dan
legislatif. Legislatif yang mestinya mengawasi kinerja eksekutif justru ikut dan

1

Abdul Halim, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta : Salemba Empat, 2003), hlm. 61

2

melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dengan cara yang “legal”

karena dilegitimasi dengan keputusan 2.

Fenomena korupsi tersebut diatas pada dasarnya berakar pada bertahannya jenis
birokrasi patrimonial di negeri ini. Dalam birokrasi ini, dilakukannya korupsi oleh
para birokrat memang sulit dihindari. Sebab kendali politik terhadap kekuasaan
dan birokrasi memang sangat terbatas. Penyebab lainnya karena sangat kuatnya
pengaruh integralisme di dalam filsafat kenegaraan bangsa ini, sehingga
cenderung masih mentabukan sikap oposisi. Karakteristik negara kita yang
merupakan birokrasi patrimonial dan negara hegemonik tersebut menyebabkan
lemahnya fungsi pengawasan, sehingga merebaklah budaya korupsi.

Menurut Hary Susanto

3

korupsi pada level pemerintahan daerah adalah dari sisi

penerimaan, pemerasan, uang suap, pemberian perlindungan, pencurian barangbarang publik untuk kepentingan pribadi. Sementara Baswir menjelaskan ada 7
pola korupsi yang sering dilakukan oknum-oknum pelaku tindak korupsi baik dari
kalangan pemerintah. Ketujuh pola tersebut meliputi : pola konvensional, pola

upeti, pola komisi, pola menjegal order, pola perusahaan rekanan, pola kuitansi
fiktif dan pola penyalagunaan wewenang 4.
Fakta tumbuh suburnya praktik korupsi yang dilakukan pemerintah daerah dapat
juga dilihat berdasarkan laporan Dr. M. Umar Hasibuan (Staf Khusus Menteri
2

Khudori, Politik Anggaran Publik, Pikiran Rakyat, Rabu, 04 Februari 2004

3

Donny Ardyanto, Korupsi di sektor pelayanan Publik Mencuri Uang Rakyat : 16 kajian Korupsi
di Indonesia, Buku 2, Yayasan aksara dan Patnership for Good Governance Reform, (Jakarta,
2001), hlm. 34.
4

Baswir Revrisond, Ekonomi, Manusia dan Etika : Kumpulan Esai-Esai Terpilih, (Yogyakarta :
BPFE, 1993), hlm 23

3


Dalam Negeri) juga mengemukakan bahwa aktor utama terjadinya praktik korupsi
di daerah dilakukan oleh Walikota/Bupati. Sejak tahun 2004-2012 tercatat 16
Wali kota/Plt Wali kota menjadi tersangka, 1 Wali kota menjadi saksi, dan 8 wakil
Wali Kota terkait dengan dugaan kasus korupsi di masing-masing daerah
kekuasaannya. Pada kurun waktu tersebut 114 Bupati dan 59 wakil Bupati terlibat
dengan kasus korupsi. Keseluruhan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah yang
terlibat kasus korupsi dalam kurun waktu 2004-2012 tercatat 173 orang (Laporan
Indonesian Corruption Watch (ICW) Tahun 2012.

Kasus yang akan penulis teliti adalah kasus korupsi pengelolaan dana penyertaan
modal BUMD PT. Tulang Bawang Jaya yang melibatkan Wakil Bupati Mesuji
Terpilih, sebagai terdakwa kasus korupsi dana penyertaan modal BUMD PT. Tulang
Bawang Jaya. Ismail Iskak dalam kedudukannya sebagai Anggota DPRD Kabupaten
Tulang Bawang periode 2004-2009 telah menyalagunakan dana APBD Kabupaten
tahun anggran 2006 dalam penggunaan dana penyertaan modal BUMD PT. Tulang
Bawang Jaya yang mana karena perbuatannya tersebut mengakibatkan Negara
mengalami kerugian sebesar Rp. 1.405.000.000 (satu miliar empat ratus lima juta
rupiah).

Setelah melalui proses di Pengadilan Negeri Menggala, Hakim memberikan putusan
yang tertuang didalam putusan Nomor : 132/Pid.B/2011/PN.Mgl pada tanggal 8
November 2011 dengan menyatakan bahwa Ismail Ishak selaku Wakil Bupati Mesuji
Terpilih yang secara sah terbukti melakukan tindak pidana korupsi pengelolaan dana
penyertaan modal BUMD PT. Tulang Bawang Jaya. Majelis Hakim Menggala
menetapkan vonis 1 (satu) tahun penjara, denda sebesar Rp. 50.000.000 (lima puluh

4

juta rupiah) subsider 1 (satu) bulan kurungan serta membayar uang pengganti Rp.
396.000.000 (tiga ratus sembilan puluh enam juta rupiah) subsider 1 tahun kurungan.

Kondisi penjatuhan putusan pemberantasan korupsi sebagaimana diuraikan diatas
yang apabila diperbandingkan dengan nominal kerugian keuangan Negara yang
sangat besar, tentunya penjatuhan hukuman belum dapat dikatakan bermanfaat
secara maksimal. Kondisi tersebut tidak banyak didapat manfaatnya oleh Negara,
sebaliknya Negara akan tetap mengalami kesulitan dalam meningkatkan
pertumbuhan perekonomiannya, khususnya dalam tujuannya untuk menuju
masyarakat adil, makmur, sejahtera dan madani, maka dengan demikian upaya
pemeberantasan tindak pidana korupsi dapat dikatakan sangat jauh dari yang
diharapkan.

Tentunya keadaan sedemikian tidak boleh terlalu berlarut-larut dibiarkan
berlangsung bagi bangsa Indonesia, untuk itulah pengambilan kebijakan (stake
holder) yaitu pemerintahan (lembaga eksekutif) dan pembuat undang-undang
(lembaga legislatif), serta pelaksana undang-undang (lembaga yudikatif) harus
segera bertindak cepat dalam mengambil langkah berupa tindakan antisipatif,
dengan merakukan koreksi, inovasi terhadap ketentuan-ketentuan hukum tentang
tindak pidana korupsi . Pada intinya penulis membandingkan putusan hakim
apakah sudah sesuai dengan ketentuan dan aturan hukum yang berlaku.

Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas maka penulis berminat untuk
melakukan penelitian dan menyusunnya dalam sebuah skripsi yang berjudul
“Analisis Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana

5

Korupsi Yang Dilakukan Oleh Wakil Bupati Mesuji Terpilih (Studi Kasus
Nomor : 132/Pid.B/2011/PN.Mgl)”.

B.

Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan diatas, maka dirumuskan
permasalahan pokok yang akan dibahas yaitu :

a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana
korupsi pengelolaan dana penyertaan modal BUMD yang dilakukan oleh
Wakil Bupati Mesuji Terpilih?
b. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dan dasar hokum hakim
menetapkan vonis 1 tahun penjara, denda Rp. 50.000.000 (lima puluh juta
rupiah) subsider 1 bulan kurungan serta membayar uang pengganti Rp.
396.000.000 (tiga ratus sembilan puluh enam juta rupiah) subsider 1 tahun
kurungan pada Wakil Bupati Mesuji Terpilih?

2. Ruang Lingkup

Berkaitan dengan permasalahan tersebut diatas maka ruang lingkup penelitian ini
meliputi bidang hukum pidana khususnya mengenai pertanggungjawaban pidana
terhadap pelaku tindak pidana korupsi pengelolaan dana penyertaan modal
BUMD yang dilakukan oleh Wakil Bupati Mesuji Terpilih sesuai dengan putusan
Pengadilan Negeri Menggala (Studi Kasus Nomor : 132/Pid.B/2011.PN.Mgl).
Adapun ruang lingkup wilayah penelitian yaitu Pengadilan Negeri Menggala.

6

Dengan pertanggungjawaban pidana serta dalam lingkungan hokum di Pengadilan
Negeri Menggala.

C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian
Tujuan penulis melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana
korupsi pengelolaan dana penyertaan modal BUMD yang dilakukan oleh
Wakil Bupati Mesuji Terpilih.
b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim serta dasar hukum hakim
menetapkan vonis 1 tahun penjara, denda Rp. 50.000.000 (lima puluh juta
rupiah) subsider 1 bulan kurungan serta membayar uang pengganti Rp.
396.000.000 (tiga ratus sembilan puluh enam juta rupiah) subsider 1 tahun
kurungan pada Wakil Bupati Mesuji Terpilih.

2. Kegunaan Penelitian
a. Secara Teoritis
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur
dalam dunia kepustakaan tentang pemidanaan dan prosedur beracara
sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

7

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum acara pidana pada
umumnya dan tindak pidana khusus pada khususnya.
3. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap penelitian sejenis
untuk tahap berikutnya.
b. Secara Praktis
1. Untuk memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.
2. Dapat memberikan data atau informasi tentang pertanggungjawaban pidana
terhadap tindak pidana korupsi pengelolaan dana penyertaan modal BUMN
yang dilakukan oleh Wakil Bupati Mesuji Terpilih.
3. Hasil Penelitian ini dapat menjadikan referensi dalam penjatuhan sanksi
sesuai dengan aturannya dan demi tegaknya hukum Indonesia serta
memberantas tindak pidana korupsi di berbagai kalangan baik atas maupun
bawah.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoretis adalah susunan dari beberapa anggapan, pendapat, cara, aturan,
asas, keterangan sebagai satu kesatuan yang logis yang menjadi landasan, acuan,
dan pedoman untuk mencapai tujuan dalam penelitian ini 5.

5

Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung :Penerbit Citra Aditya Bakti,
2004), hlm 73

8

Kesengajaan merupakan salah satu unsur dari pertanggungjawaban pidana, dimana
dapat dilihat hubungan batin Pejabat Publik dengan perbuatannya. Pejabat Publik
dapat dicelakan atas perbuatannya apabila adanya kesengajaan dalam sikap batinnya
ketika melakukan perbuatan. Kesengajaan (opzet) juga biasa disebut sebagai unsur
subyektif, yang diartikan sebagai menghendaki dan mengetahui (willens en wetens).
Sehingga Pejabat Publik dianggap melakukan tindak pidana apabila dengan sengaja
menghendaki perbuatannya dan mengetahui atau menyadari tentang akibat dari
perbuatannya.

Untuk menjawab permasalahan dalam skripsi ini digunakan teori tentang
pertanggungjawaban pidana. Mengenai persoalan pertanggungjawaban pejabat
menurut Kranenburg dan Vegtig ada dua teori yang melandasinya yaitu:
a.

Teori fautes personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian
terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu
telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab ditujukan
pada manusia selaku pribadi.

b. Teori fautes de services, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap
pihak ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang bersangkutan.
Menurut teori ini tanggung jawab dibebankan kepada jabatan. Dalam
penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan pula apakah kesalahan
yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat atau kesalahan ringan, dimana
berat dan ringannya suatu kesalahan berimplikasi pada tanggung jawab yang
harus ditanggung 6.
6

HR. Ridwan, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2006), hlm.365.

9

Sedangkan Asas dalam pertanggungjawaban hukum pidana dapat digolongkan :
1. Asas yang dirumuskan di dalam KUHP atau perundang-undangan lainnya
a) Asas berlakunya undang-undang menurut tempat, mempunyai arti penting
bagi penentuan tentang sampai dimana berlakunya undang-undang hukum
pidana suatu negara apabila terjadi tindak pidana.
b) Asas berlakunya undang-undang hukum pidana menurut waktu, yang
menentukan saat kapan terjadinya tindak pidana.
c) Asas berlakunya hukum pidana menurut orang, sebagai pembuat atau
peserta, yang mempunyai arti penting untuk terjadinya tindak pidana dan
penuntutannya terhadap seseorang dalam suatu negara maupun yang
berada di luar wilayah suatu negara.
2. Asas yang tidak dirumuskan dan menjadi asas hukum pidana yang tidak
tertulis serta dianut dalam yurisprudensi.
Para ahli pada umumnya mengakui asas yang tidak tertulis dalam hukum
pidana yaitu asas kesalahan, sebab dipidananya seseorang tidaklah cukup
apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum
atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatannya memenuhi
rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, namun hal
tersebut belum memenuhi syarat penjatuhan pidana.
Perbuatan melawan hukum belumlah cukup untuk menjatuhkan hukuman,
disamping perbuatan melawan hukum harus ada seseorang pembuat (dader) yang

10

bertanggung jawab atas perbuatannya, pembuat haruslah terbukti bersalah (schute
hebben) terhadap tindak pidana yang dilakukan. Pertanggungjawaban pidana atau
kesalahan menurut hukum pidana (schuld in ruime zin) terdiri dari 3 (tiga) unsur:
a.

Toerekening strafbaarheid (dapat dipertanggungjawabkan) pembuat.
1) Suatu sikap psikis pembuat berhubungan dengan kelakuannya.
2) Kelakuan yang sengaja.

b.

Kelakuan dengan sikap kurang berhati-hati atau lalai (unsur kealpaan : culva,
schuld in enge zin).

c.

Tidak ada alasan-alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana
pembuat (unsur Toerekenbaar heid).

Pertanggungjawaban pidana adalah sesuatu perbuatan pidana yang harus
dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan. Tindak pidana adalaha
perbuatan yang dilakukan oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melarang
larangan tersebut 7.

Berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999
jo Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
dimaksud dengan tindak pidana korupsi berbunyi :
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara”.

7

Saleh Roeslan, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana , (Jakarta:Aksara Baru,
1983 ), hlm.

11

Perbuatan melawan hukum dalam tindak pidana korupsi juga mencakup perbuatan
melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materil, yakni meskipun
perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun
apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa
keadilan atau norma-norma kehidupan social dalam masyarakat, maka perbuatan
tersebut dapat dipidana.

Memahami suatu tindakan dikatakan telah merugikan keuangan Negara, maka
berikut ini akan dijelaskan penegertian kerugian Negara. Kerugian Negara yang
ditimbulkan dari akaibat perbuatan tindak pidana korupsi yang dimaksud adalah
adanya kerugian yang ditimbulkan pada keuangan Negara atau perekonomian
Negara. Berdasarkan Pasal 1 ayat 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara yang dimaksud dengan kerugian Negara atau
daerah adalah :
“ Kekurangan uang, surat berharga dan barang yang nyata dan pasti
jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun
lalai”.
Berdasarkan pengertian tersebut diatas, maka dapat dikemukakan unsur-unsur dari
kerugian Negara yaitu :

1. Kerugian negara merupakan berkurangnya keuangan negara berupa uang
berharga, barang milik negara dari jumlahnya dan/ atau nilai yang seharusnya.
2. kekurangan dalam keuangan negara tersebut harus nyata dan pasti jumlahnya
atau dengan perkataan lain kerugian tersebut benar-benar telah terjadi dengan
jumlah kerugian yang secara pasti dapat ditentukan besarnya, dengan

12

demikian kerugian negara tersebut hanya merupakan indikasi atau berupa
potensi terjadinya kerugian.
3. Kerugian tersebut akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun
lalai, unsur melawan hukum harus dapat dibuktikan secara cermat dan tepat.

Penjelasan umum atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dijelaskan mengenai keuangan negara
adalah Seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang
tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala
hak dan kewajiban yang timbul karena :
a.

Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat
lembaga negara baik di tingkat pusat maupun di daerah.

b.

Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan
Usaha Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum dan
perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang
menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara,
sedangkan yang dimaksud dengan perekonomian negara adalah kehidupan
perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas
kekeluargaan maupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada
kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan
memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh
kehidupan rakyat.

13

Perihal dasar Pertimbangan Hakim atau putusan pengadilan merupakan aspek
penting dan diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana, dengan demikian
dapat dikonsklusikan lebih jauh bahwasanya putusan hakim disatu pihak berguna
bagi terdakwa guna memproleh kepastian hukum tentang statusnya dan sekaligus
dapat mempersiapkan langkah berikutnya terhadap putusan tersebut dalam arti
dapat menerima putusan, melakukan upaya hukum verzet, banding, atau kasasi,
melakukan grasi, dan sebagainya. Sedangkan pihak lain, apabila ditelaah melalui
visi hakim yang mengadili perkara, putusan hakim adalah mahkota dan puncak
pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran hakiki, hak asasi manusia,
penguasaan hukum atau fakta secara mapan, mumpuni, dan faktual, serta
visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas dari hakim yang bersangkutan 8.

Pertimbangan-pertimbangan yuridis terhadap tindak pidana yang didakwakan
merupakan

konteks

penting

dalam

putusan

hakim.

Hakikatnya,

pada

pertimbangan yuridis merupakan pembuktian unsusr-unsur (bestenddelen) dari
suatu tindak pidana apakah perbuatan terdakwa tersebut telah memenuhi dan
sesuai dengan tindak pidana yang didakwakan oleh jaksa/ penuntut umum. Dapat
dikatakan lebih jauh bahwasanya dasar pertimbangan-pertimbangan yuridis ini
secara langsung akan berpengaruh besar terhadap amar/ diktum putusan hakim.
Sistem pembuktian dalam acara pidana dikenal dengan “sistem negatif” (negatife
wettelijk bewijsleer), dimana yang dicari oleh hakim adalah kebenaran yang
materiil, sedangkan dalam hukum acara perdata berlaku sistem pembuktian positif

8

Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, (Bandung : PT. Alumni, 2007), hlm 119

14

(positief wettelijk bewijsleer), dimana yang dicari oleh hakim adalah kebenaran
yang formal 9.
Adanya Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
tersebut menjamin kebebasan hakim dalam menjatuhkan putusan, dimana hakim
selain mempunyai kebebasan dalam menentukan jenis pidana (strafsoort), ukuran
pidana atau berat ringannya pidana (strafmaat) dan cara pelaksanaan pidana (straf
modus atau sraf modolitet), juga mempunyai kebebasan untuk menemukan
hukum ( rehtsvinding) terhadap peristiwa yang tidak diatur dalam undang-undang.
Atau dengan kata lain hakim tidak hanya menetapkan tentang hukumnya tetapi
hakim juga dapat menemukan hukum (rehtsvinding) dan akhirnya menerapkan
sebagai keputusannya 10.
Selain hal tersebut diatas, dalam menjatuhkan hukuman kepada terdakwa, hakim
pun mempertimbangkan segi sosiologis yaitu segi kemasyarakatan yang belum
diatur menurut hukum akan tetapi perlu dipertimbangkan secara kemasyarakatan
dan perikemanusian pertimabangan tersebut antara lain 11 :
1. Faktor yang memperberat penjatuhan sanksi pidana terhadap terdakwa diluar
KUHP :
a. Terdakwa berbelit-belit dalam menjalani proses persidangan.
b. Terdakwa tidak mengakui perbuatannya.

9

Fuadi Munir, Sejarah Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakri, 2009), hlm.
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana , (Bandung : PT. Alumni, 2005), hlm. 86
11
Bambang Waluyo, Sistem Pembuktian Dalam Peradilan Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika,
1996), hlm. 89
10

15

c. Terdakwa tidak menunjukan rasa hormat dan sopan dalam menjalani
proses persidangan.
d. Dalam kehidupan sehari-hari menunjukkan perilaku yang kurang baik.
e. Tidak menyesali perbuatannya.
f. Merugikan keuangan Negara yang seang krisis keuangan.
g. Menentang program kebijakan pemerintah.
h. Menimbulkan keadaan kacau dan resah pada masyarakat secara luas.
2. Faktor yang meringankan penjatuhan sanksi pidana terhadap terdakwa diluar
KUHP :
a. Terdakwa tidak berbelit-belit dalam menjalani proses persidangan.
b. mengakui perbuatan pidana yang telah dilakukan.
c. Sopan dan bekerja sama dalam mengikuti proses persidangan.memeliki
perilaku yang baik dalam keseharian.
d. Masih berusia relatif muda.
e. Mempunyai banyak tanggungan keluarga/sebagai tulang punggung
kehidupan keluarga.

2. Konseptual
Konsep ini akan dijelaskan tentang pengertian yang dijadikan konsep dalam
penelitian sehingga mempunyai batasan yang dijadikan konsep dalam penelitian
sehingga mempunyai batasan yang tepat dalam penafsiran beberapa istilah, hal ini
dimaksudkan untuk menghindari kesalahpahaman dalam melakukan penelitian
yang mendasar dari istilah-istilah yang digunakan dalam penulisan skripsi in,
yakni meliputi :

16

a.

Analisis adalah aktivitas yang memuat sejumlah kegiatan seperti mengurai,
membedakan, memilah sesuatu untuk digolongkan dan dikelompokkan
kembali menurut kriteria tertentu kemudian dicari kaitannya dan ditaksir
maknanya 12.

b. Pertanggungjawaban Pidana adalah pengancaman hukuman terhadap tindak
pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana dikenal
dengan Comminatoire Clausule, Strafbedreiging, dan Threat of Punishment13 .
c. Pelaku (pleger) adalah orang yang melakukan sendiri perbuatan yang
memenuhi rumusan delik 14.
d. Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum
larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi
barang siapa melarang larangan terebut 15.
e. Tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum

melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi dengan menyalagunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan
Negara atau perekonomian Negara (Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).

12
13

Gunawan Wiradi, Metodelogi Studi Agraria, (Bogor : Sajogyo Institute, 2009), hlm.

Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum (Edisi Lengkap), (Semarang : Pen. Aneka, 1977), hlm. 277
Pasal 55 KUHP
15
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta : Rineka Cipta, 1993), hlm. 04.
14

17

E . Sistematika Penulisan

Pembahasan ini, penulis membagi dalam lima bab dengan maksud agar
memiliki susunan yang sistematis sehingga dapat memudahkan untuk
mengetahui dan memahami hubungan antar bab yang satu dengan bab yang
lain sebagai satu rangkaian yang konsisten dan tidak dapat dilakukan secara
acak. Masing-masing akan digolongkan dalam sub bab. Adapun sistematika
tersebut adalah :
[[

I. PENDAHULUAN
Pada bab ini akan membahas tentang pendahuluan yang mendasar dan
pengantar awal dari penulisan tugas akhir ini. Oleh karena itu dalam bab
ini terdapat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan
kegunaan penelitian, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
II. TINJAUAN UMUM
Dalam bab ini kajian pustaka berkaitan dengan judul dan masalah yang
diteliti yang akan memberikan landasan atau kerangka teori serta diuraikan
mengenai kerangka pemikiran. Kajian pustaka ini terdiri dari Tinjauan
Umum tentang Korupsi, Tinjauan Umum tentang Putusan Hakim,
Tinjauan Umum tentang Pembuktian meurut Keyakinan Hakim dan Alat
Bukti. Selain itu untuk memudahkan pemahaman alur berpikir, maka di
dalam bab ini juga disertai dengan Kerangka Pemikiran.

III.METODE PENELITIAN

18

Merupakan bab yang menguraikan pendekatan masalah, sumber dan jenis
data, populasi dan sample penelitian, prosuder pengumpulan data dan
pngolahan data, serta analisis data tentang pertanggungjawaban pidana
terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan Wakil Bupati Mesuji
Terpilih.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini menguraikan hasil dari penelitian yang membahas tentang latar
belakang penerapan hukum mengenai putusan.
[

V. KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam bab ini diuraikan simpulan dari hasil pembahasan beserta saransaran mengenai permasalahan yang ada.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban atau yang di kenal dengan konsep “liability” dalam segi
falsafah

hukum

dikenalkan

oleh

seorang

filosof

besar

abad

ke

20.

Pertangungjawaban pidana diartikan Roscoe Pound adalah sebagai suatu
kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan di terima pelaku dari
seseorang yang telah di rugikan. Pertanggungjawaban yang dilakukan tersebut
tidak hanya menyangkut masalah hukum semata akan tetapi menyangkut pula
masalah nilai-nilai moral ataupun kesusilaan yang ada dalam suatu masyarakat.
Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing di sebut sebagai “toerekenbaarheid,” “criminal reponsibilty,” “criminal liability,” pertanggungjawaban
pidana disini di maksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersebut dapat di
pertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak terhadap tindakan yang di
lakukanya itu.
Dalam konsep KUHP tahun 2010-2012, pada Pasal 36 menyatakan bahwa :
“Pertanggungjawaban pidana adalah di teruskanya celaan yang objektif
ada pada tindak pidana berdasarkan hukum yang berlaku, secara obyektif
kepada pembuatyang memenuhi syarat-syarat undang-undang untuk dapat
dikenai pidana karena perbuatanya”.

20

Menurut Roeslan Saleh, dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk
pertanggungjawaban. Perbuatan pidana menurut Roeslan Saleh adalah orang yang
melakukan perbuatan pidana dan memang mempunyai kesalahan merupakan
dasar adanya pertanggungjawaban pidana. Asas yang tidak tertulis mengatakan,
“tidak di ada pidana jika tidak ada kesalahan,” merupakan dasar dari pada di
pidananya si pembuat.
Menurut Prodjohamidjojo mengatakan bahwa seseorang melakukan kesalahan,
jika pada waktu melakukan delict, dilihat dari segi masyarakat patut di cela

17

.

Dengan demikan, menurutnya seseorang mendapatkan pidana tergantung pada
dua hal, yaitu :
1. Harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau dengan kata lain,
harus ada unsur melawan hukum.jadi harus ada unsur Obejektif.
2. Terhadap pelakunya ada unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan atau
kealpaan, sehingga perbuatan yang melawan hukum tersebut dapat di
pertanggungjawabkan kepadanya.jadi ada unsur subjektif.
Hal kemampuan bertanggung jawab bila di lihat dari keadaan batin orang yang
melakukan perbuatan pidana merupakan masalah kemampuan bertanggungjawab
dan menjadi dasar yang penting untuk menentukan adanya kesalahan, yang mana
keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana haruslah sedemikian rupa
sehingga dapat dikatakan normal, sebab karena orang yang normal, sehat inilah

17

Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Kasus Korupsi,
(Bandung : Mandar Maju, 2009), hlm. 31

21

yang dapat mengatur tingkah lakunya sesuai dengan ukuran – ukuran yang di
anggap baik oleh masyarakat.
Kedua pendekatan ini berkembang sedemikian rupa bahkan di yakini mewakili
pandangan-pandangan yang ada seputar pidana dan pemidanaan. Dari sinilah
kemudian berbagai perbuatan pidana dapat di lihat sebagai perbuatan yang tidak
muncul begitu saja, melainkan adalah hasil dari refleksi dan kesadaran manusia.
Hanya saja perbuatan tersebut telah menimbulkan kegoncangan sosial di
masyarakat.
Hal kemampuan bertanggung jawab bila di lihat dari keadaan batin orang yang
melakukan perbuatan pidana merupakan masalah kemampuan bertanggungjawab
dan menjadi dasar yang penting untuk menentukan adanya kesalahan, yang mana
keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana haruslah sedemikian rupa
sehingga dapat dikatakan normal, sebab karena orang yang normal, sehat inilah
yang dapat mengatur tingkah lakunya sesuai dengan ukuran-ukuran yang di
anggap baik oleh masyarakat.
Sementara bagi orang yang jiwanya tidak sehat dan normal, maka ukuran-ukuran
tersebut

tidak

berlaku

baginya

tidak

ada

gunanya

untuk

di

adakan

pertanggungjawaban, sebagaimana di tegaskan dalam ketentuan Bab III Pasal 4
KUHP yang berbunyi sebagai berikut :
“(1) Barang siapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat di
pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau
karena sakit berubah akal tidak boleh di hukum, (2) Jika nyata perbuatan
itu tidak dapat di pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang
sempurna akalnya karena sakit berubah akal maka hakim boleh
memerintahkan menempatkan di di rumah sakit gila selama-lamanya satu
tahun untuk di periksa, (3) Yang di tentukanya dalam ayat di atas ini,

22

hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi dan pengadilan
negeri”.
Mengenai kemampuan bertanggung jawab sebenarnya tidak secara terperinci di
tegaskan oleh pasal 44 KUHP. Hanya di temukan beberapa pandangan para
sarjana, misalnya Van Hammel yang mengatakan, orang yang mampu
bertanggungjawab harus memenuhi setidaknya 3 (tiga) syarat, yaitu :
1. Dapat menginsafi (mengerti) makna perbuatannya dalam alam kejahatan.
2. Dapat menginsafi bahwa perbuatanya di pandang tidak patut dalam pergaulan
masyarakat.
3. Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya terhadap perbuatan tadi.
Sementara itu secara lebih tegas, Simons mengatakan bahwa mampu
bertanggungjawab adalah mampu menginsafi sifat melawan hukumnya perbuatan
dan sesuai dengan ke insafan itu menentukan kehendaknya. Adapun menurut
Sutrisna, untuk adanya kemampuan beranggungjawab maka harus ada dua unsur
yaitu :
1. kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan buruk,
yang sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum.
2. kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentang baik
dan buruknya perbuatan tadi 18.
Dengan kata lain kemampuan bertanggungjawab berkaitan dengan dua faktor
terpenting, yakni pertama faktor akal untuk membedakan antara perbuatan yang di
perbolehkan dan yang di larang atau melanggar hukum, dan kedua faktor perasaan
18

I Gusti Bagus, Sutrisna,Peranan Keterangan Ahli Dalam Perkara Pidana (Tinjauan Terhadap
Pasal 44 KUHP), (Jakarta : Ghalia Indonesi, 1987), hal. 83

23

atau kehendak yang menetukan kehendaknya dengan menyesuaikan tingkah
lakunya dengan penuh kesadaran.

B. Azas-azas Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban

pidana

adalah

kemampuan

seseorang

untuk

mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah dilakukannya yang bertentangan
dan melanggar hukum pidana sesuai dengan kemampuan dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pertanggungjawaban pidana harus didasari
oleh

azas-azas

pertanggungjawaban

pidana,

berikut

adalah

azas-azas

pertanggungjawaban pidana:
1. Culpability dan Absolute Liability
Suatu konsep terkait dengan konsep kewajiban hukum adalah
tanggungjawab

hukum

(liability).

Seseorang

dikatakan

secara

konsep
hukum

bertanggungjawab untuk suatu perbuatan tertentu adalah bahwa dia dapat
dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatan yang berlawanan. Normalnya,
dalam kasus sanksi dikenakan terhadap deliquent adalah karena perbuatannya
sendiri yang membuat orang tersebut harus bertanggungjawab. Dalam kasus ini
subyek responsibility dan subyek kewajiban hukum adalah sama. Menurut teori
tradisional, terdapat dua macam pertanggungjawaban yang dibedakan sebagai
berikut :
a. Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (based on fault)
Prinsip pemberian sanksi terhadap tindakan individu hanya karena akibat
perbuatan tersebut telah direncanakan dan dengan maksud yang salah

24

tidak sepenuhnya diterima dalam hukum modern. Individu secara hukum
bertanggungjawab tidak hanya jika secara obyektif harmful effect dilakukan
secara terlarang, tetapi juga jika akibat perbuatan tersebut telah dimaksudkan
walaupun tanpa niat yang salah, atau jika akibat tersebut terjadi tanpa adanya
maksud atau direncanakan oleh individu pelaku.
Suatu sikap mental delinquent tersebut, atau disebut mensrea, adalah suatu
elemen delik. Elemen ini disebut dengan terma kesalahan (fault) (dalam
arti lebih luas disebut dolus atau culpa). Ketika sanksi diberikan hanya
terhadap delik dengan kualifikasi psikologis inilah disebut dengan
pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (responsibility based on fault atau
culpability).
b. Pertanggungjawaban mutlak (absolut responsibility).
Hukum primitif melihat bahwa hubungan antara perbuatan dan efeknya tidak
memiliki kualifikasi psikologis. Apakah tindakan individu telah diantisipasi
atau dilakukan dengan maksud menimbulkan akibat atau tidak adalah tidak
relevan. Adalah cukup bahwa perbuatannya telah membawa efek yang
dinyatakan oleh legislator sebagai harmful, yang berarti menunjukkan
hubungan eksternal antara perbuatan dan efeknya. Tidak dibutuhkan adanya
sikap mental pelaku dan efek dari perbuatan tersebut. Pertanggungjawaban
semacam ini disebut dengan pertanggungjawaban absolut.
Teknik hukum terkini menghendaki suatu pembedaan antara kasus ketika tindakan
individu telah direncanakan dan dimaksudkan untuk efek tertentu dari perbuatan
tersebut dan kasus ketika tindakan seorang individu membawa akibat harmful
tanpa direncanakan atau dimaksudkan demikian oleh pelaku. Ide keadilan

25

individualis mensyaratkan bahwa suatu sanksi harus diberikan kepada tindakan
individu hanya jika harmful effect dari perbuatan tersebut telah direncanakan dan
dimaksudkan demikian oleh individu pelaku, dan maksud tersebut merupakan
perbuatan terlarang. Akibat yang oleh legislator dianggap sebagai harmful
mungkin secara sengaja dilakukan oleh individu tanpa maksud menyakiti
individu lain.
Hukum modern juga dikenal bentuk lain dari kesalahan yang dilakukan tanpa
maksud atau perencanaan, yaitu kealpaan (negligance). Kealpaan adalah suatu
delik omisi dan pertanggungjawaban terhadap kealpaan lebih merupakan
pertanggungjawaban absolut dari pada culpability.
2. Tanggungjawab Individual dan Kolektif
Pembedaan terminologis antara kewajiban hukum dan pertanggungjawaban
hukum diperlukan ketika sanksi tidak atau tidak hanya dikenakan terhadap
delinquent tetapi juga terhadap individu yang secara hukum terkait dengannya.
Hubungan tersebut ditentukan oleh aturan hukum. Pertanggungjawaban korporasi
terhadap suatu delik yang dilakukan oleh organnya dapat menjadi contoh. Suatu
sanksi dapat dikenakan terhadap individu yang tidak melakukan sendiri suatu
delik tetapi berposisi dalam suatu hubungan hukum tertentu dengan pelaku
delik. Dalam bahasa hukum, korporasi atau negara dipersonifikasikan, mereka
adalah juristic person sebagai lawan dari natural person.
Bilamana suatu sanksi dikenakan terhadap individu-individu yang memiliki
komunitas hukum yang sama dengan individu yang melakukan delik sebagai
organ komunitas tersebut, maka disebut sebagai pertanggungjawaban kolektif

26

yang merupakan elemen karakteristik hukum primitif. Pertanggungjawaban
individual terjadi pada saat sanksi dikenakan hanya pada deliquent. Baik
pertanggungjawaban individual maupun kolektif dapat diberlakukan dengan
mengingat fakta bahwa tidak ada individu dalam masyarakat yang sepenuhnya
independen. Bahkan dikatakan bahwa mempertentangkan antara individu dan
komunitas adalah dalil ideologis dari sistem liberal, yang harus ditempatkan sama
dengan dalil-dalil ideologi komunis.
Ketika sanksi tidak diterapkan kepada deliquent, tetapi kepada individu yang
memiliki hubungan hukum dengan deliquent, maka pertanggungjawaban individu
tersebut memiliki karakter pertanggungjawaban absolut. Pertanggungjawaban
kolektif selalu merupakan pertanggungjawaban absolut.
3. Kesalahan
Kesalahan dapat dilihat dari sikap batin pembuat terhadap perbuatan dan
akibatnya, dari adanya kesalahan dapat ditentukan adanya pertanggungjawaban.
Jan Remmelink mendefinisikan kesalahan sebagai pencelaan yang ditujukan oleh
masyarakat yang menerapkan standar etis yang berlaku pada waktu tertentu
terhadap manusia yang melakukan perilaku menyimpang yang sebenarnya dapat
dihindarinya, berperilaku bertentangan terhadap tuntutan masyarakat hukum
untuk tidak melanggar garis yang ditentukan dan menghindari perbuatan yang
dicela oleh umum, yang dipertegas oleh Jan Remmelink yakni berperilaku dengan
menghindari egoisme yang tidak dapat diterima oleh kehidupan dalam
masyarakat.

27

a. Kesalahan dalam Hukum Pidana
Kesalahan ini dapat dilihat dari dua sudut :
1) Menurut akibatnya ia ada hal yang dapat dicelakakan (verwijtbaarheid)
2) Menurut hakekatnya ia adalah hal dapat dihindarkannya (vermijdbaar-heid)
perbuatan yang melawan hukum
Kesalahan mengandung unsur pencelaan terhadap seseorang yang telah
melakukan tindak pidana. Jadi orang yang bersalah melakukan sesuatu perbuatan,
itu berarti bahwa perbuatan itu dapat dicelakan kepadanya, pencelaan disini
bukannya pencelaan berdasarkan kesusilaan, melainkan pencelaan berdasarkan
hukum yang berlaku. Bukan “ethische schuld”, melainkan “veranwoordelijkheid
rechtens,” seperti dikatakan oleh van Hamel.
Adanya kesalahan harus ada pencelaan ethis, betapapun kecilnya. Ini sejalan
dengan pendapat, bahwa “das recht ist das ethische minimum”. Setidak-tidaknya
pelaku dapat dicela karena tidak menghormati tata dalam masyarakat, yang terdiri
dari sesama hidupnya, dan yang memuat segala syarat untuk hidup bersama.

Menurut hukum pidana, kesalahan memiliki 3 pengertian yaitu :
1) Kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya, yang dapat disamakan dengan
pengertian “pertanggungjawaban dalam hukum pidana”, di dalamnya
terkandung makna dapat dicelanya (verwijtbaarheid) si pelaku atas
perbuatannya. Jadi apabila dikatakan, bahwa orang bersalah melakukan
sesuatu tindak pidana, maka itu berarti bahwa ia dapat dicela atas
perbuatannya.

28

2) Kesalahan dalam arti bentuk kesalahan (sculdvorm) yang berupa kesengajaan
(dolus, opzet, vorzatz atau intention) atau kealpaan (culpa, onachtzaamheid,
fahrlassigkeit atau negligence).
3) Kesalahan dalam arti sempit, ialah kealpaan (culpa) seperti yang disebutkan
di atas. Pemakaian istilah “kesalahan” dalam arti ini sebaiknya dihindarkan
dan digunakan saja istilah “kealpaan”.
b. Unsur-unsur dari kesalahan
Kesalahan dalam arti seluas-luasnya sangat berkaitan dengan pertanggungjawaban
pidana yaitu :
1) Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pelaku (schuldfahigkeit atau
zurechnungsfahigkeit), artinya keadaan jiwa sipelaku harus normal. Disini
dipersoalkan apakah orang tertentu menjadi “normadressat” yang mampu.
2) Hubungan batin antara sipelaku dengan perbuatannya, yang berupa
kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa), ini disebut bentuk-bentuk
kesalahan. Dalam hal ini dipersoalkan sikap batin seseorang pelaku terhadap
perbuatannya.
3) Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf
meskipun apa yang disebut dalam a dan b ada, ada kemungkinan bahwa ada
keadaan yang mempengaruhi si pelaku sehingga kesalahannya hapus,
misalnya dengan adanya kelampauan batas pembelaan terpaksa (overmacht ).

29

C. Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana
Tindak Pidana merupakan suatu perbuatan yang diancam hukuman sebagai
kejahatan atau pelanggaran, baik yang disebutkan dalam KUHP maupun peraturan
perundang-undangan lainnya. Abdoel Djamali mengatakan, Peristiwa Pidana atau
sering disebut Tindak Pidana (Delict) ialah suatu perbuatan atau rangkaian
perbuatan yang dapat dikenakan hukuman pidana. Suatu peristiwa hukum dapat
dinyatakan sebagai peristiwa pidana kalau memenuhi unsur-unsur pidananya

19

Unsur-unsur tindak pidana terdiri dari :
1. Objektif, yaitu suatu tindakan (perbuatan) yang bertentangan dengan hukum
dan mengindahkan akibat yang oleh hukum dilarang dengan ancaman hukum.
Yang dijadikan titik utama dari pengertian objektif disini adalah tindakannya.
2. Subjektif, yaitu perbuatan seseorang yang berakibat tidak dikehendaki oleh
undang-undang. Sifat unsur ini mengutamakan adanya pelaku (seseorang atau
beberapa orang).
Suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang harus memenuhi persyaratan
supaya dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana. Menurut Abdoel Djamali,
syarat- syarat yang harus dipenuhi ialah sebagai berikut :
1. Harus adanya suatu perbuatan.
2. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam ketentuan
hukum.
19

R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), hlm. 175.

30

a. Harus terbukti adanya kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan.
b. Harus berlawanan dengan hukum.
c. Harus tersedia ancaman hukumannya.

Hari Saherodji mengatakan, bahwa Tindak Pidana merupakan suatu kejahatan
yang dapat diartikan sebagai berikut :
1. Perbuatan anti sosial yang melanggar hukum atau undang-undang pada suatu
waktu tertentu.
2. Perbuatan yang dilakukan dengan sengaja.
3. Perbuatan mana diancam dengan hukuman/perbuatan anti sosial yang sengaja,
merugikan, serta mengganggu ketertiban umum, perbuatan mana dapat
dihukum oleh negara.
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana
a. Unsur Subjektif
1) Kesengajaan atau kelalaian.
2) Maksud dari suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53
Ayat (1) KUHP yang berbunyi :

“Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata
dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu,
bukan semata-mata disebabkan karena sendiri.
3) Berbagai maksud seperti yang terdapat dalam kejahatan pencurian, penipuan,
pemerasan, pemalsuan dan lain-lain.
4) Merencanakan terlebih dahulu, seperti yang terdapat dalam kejahatan menurut
Pasal 340 KUHP yang berbunyi:
“Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu
merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan

31

rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup
atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”.
5) Perasaan takut seperti yang terdapat dalam rumusan tindak pidana menurut
Pasal 308 KUHP yang berbunyi:
“Jika seorang ibu karena takut akan diketahui orang tentang
kelahiran anaknya, tidak lama sesudah melahirkan, menempatkan
anaknya untuk ditemukan atau meninggalkannya dengan maksud
untuk melepaskan diri daripadanya, maka maksimum pidana
tersebut dalam Pasal 305 dan 306 dikurangi separuh”.
b. Unsur Objektif
1) Sifat melawan hukum.
2) Kualitas dari pelaku, misalnya seorang pegawai negeri sipil melakukan
kejahatan yang diatur dalam Pasal 415 KUHP yang berbunyi:
“Seorang pejabat atau orang

Dokumen yang terkait

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Putusan Nomor: 31/Pid.B/TPK/2010/PN. JKT. PST.)

0 9 69

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG DILAKUKAN OLEH SATUAN POLISI PAMONG PRAJA BANDAR LAMPUNG (Studi Perkara Nomor 339/Pid.B/2010/PN.TK)

1 17 47

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TURUT SERTA TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DARI HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

4 57 63

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri No.06/PID.TPK/2011/PN.TK )

0 9 60

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI YANG DILAKUKAN WAKIL BUPATI MESUJI TERPILIH (Studi Kasus Nomor : 132/Pid.B/2011/PN.Mgl)

0 29 105

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (Studi Putusan Nomor: 791/Pid.A/2012/PN.TK)

2 26 62

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI TENDER PERBAIKAN JALAN (Studi Putusan Nomor : 07/PID.TPK/2011/PN.TK)

0 4 49

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI KEDELAI BERSUBSIDI (StudiPutusanPengadilanNegeriTanjungKarang No.26/Pid.TPK/2012/PN.TK)

0 6 56

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN (Studi Kasus Perkara Nomor 137/Pid.B/2014/PN.BU)

0 4 53

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA (Studi putusan PN Nomor 500/Pid.B/2016/Pn.Tjk)

0 0 15