PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI KEDELAI BERSUBSIDI (StudiPutusanPengadilanNegeriTanjungKarang No.26/Pid.TPK/2012/PN.TK)

(1)

ABSTRAK

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI KEDELAI BERSUBSIDI

(StudiPutusanPengadilanNegeriTanjungKarang No.26/Pid.TPK/2012/PN.TK)

Oleh

FARID ANFASA

Tindak pidana korupsi telah menjadi suatu kejahatan yang luar biasa (

extra-ordinary crime), upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa

tetapi dituntut dengan cara yang luar biasa yang dilakukan dengan cara-cara khusus, langkah-langkah yang tegas dan jelas dengan melibatkan semua potensi yang ada dalam masyarakat khususnya pemerintah dan aparat penegak hukum. Salah satu contoh yang terkait dengan korupsi adalah Program Penyaluran Subsidi harga kedelai yang disalurkan kepada pengrajin tahu/tempe. Permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi subsidi harga kedelai dan apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi tersebut.

Metode penelitian yang digunakan adalah normatif empiris yang menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari melalui studi lapangan dan data sekunder diperoleh dari studi pustaka. Sedangkan analisis data dilakukan dengan cara analisis kualitatif.

Berdasarkan hasil penelitian dan hasil pembahasan dapat diketahui bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa merupakan perbuatan yang dapat dipertanggungjawabkan karena perbuatan tersebut telah melawan hukum dan terdapat unsur-unsur tindak pidana yang telah terbukti dan dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, sesuai dalam teori pertanggungjawaban pidana terdakwa mampu bertanggungjawab atas perbuatan yang telah dilakukanya, perbuatan tersebut juga dilakukan dengan kesengajaan atau kealpaan sehingga perbuatan terdakwa tidak memiliki alasan pemaaf. Dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi yaitu dengan memperhatikan pada pertimbangan hakim yaitu kepastian hukum,


(2)

rasa keadilan dan kemanfaatan serta memperhatikan fakta-fakta yuridis yang terungkap didalam persidangan maupun diluar persidangan.

Berdasarkan kesimpulan diatas, maka penulis menyarankan agar pengawasan terhadap penyelenggaran kegiatan Subsidi Harga Kedelai kepada Usaha Mikro dan Kecil pengrajin tahun/tempe se-Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung lebih ditingkatkan lagi dengan adanya kerja sama yang baik antara pemerintah, masyarakat maupun para penegak hukum serta memberikan sanksi pidana yang berat bagi pelaku tindak pidana korupsi agar membuat jera setiap pelaku yang telah melakukan tindak pidana korupsi.

Kata Kunci : Pertanggungjawaban pidana, Pelaku Korupsi, Kedelai Bersubsidi


(3)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI KEDELAI BERSUBSIDI

(Studi Putusan No.26/Pid.TPK/2012/PN.TK)

Oleh FARID ANFASA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(4)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI KEDELAI BERSUBSIDI

(Studi Putusan No.26/Pid.TPK/2012/PN.TK) Skripsi

Oleh FARID ANFASA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(5)

(6)

(7)

DAFTAR ISI

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian 8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 9

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 10

E. Sistematika Penulisan 17

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Korupsi 20

B. Tinjaun Umum Tentang Kedelai Bersubsidi 23

C. Pertanggungjawaban Pidana 27

D. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Pidana 31

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah 37

B. Sumber dan Jenis Data 38

C. Penentuan Narasumber 40

D. Metode Pengumpulan data dan Pengolahan Data 40


(8)

B. Gambaran Umum Mengenai Kasus yang Dikaji 45 C. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Korupsi Kedelai

Bersubsidi (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No.

26/Pid.TPK/2012/PN.TK) 47

D. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Memberikan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Tersebut (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No.26/Pid.TPK/2012/PN.TK) 62

V. PENUTUP

A. Simpulan 73

B. Saran 75


(9)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tindak pidana korupsi di Indonesia hingga saat ini menjadi salah satu penyebab terpuruknya sistem perekonomian bangsa yang dibuktikan dengan semakin meluasnya tindak pidana korupsidalam masyarakat dengan melihat perkembangannya yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa sisi negatif, tidak hanya terhadap kehidupan perekonomian nasional denganmerugikan kondisi keuangan negara, namun juga melanggar hak-hak sosial dan ekonomipada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Hal ini disebabkan karena korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas dengan kurangnya pertanggungjawaban pidana yang seharusnya dilakukan oleh pelaku tindak pidana terkait.

Tindak pidana korupsi dalam jumlah besar berpotensi merugikan keuangan negara sehingga dapat mengganggu sumber daya pembangunan dan membahayakan stabilitas politik suatu negara. Korupsi juga dapat diindikasikan sebagai alasan timbulnya bahaya terhadap keamanan umat manusia, karena telah merambah ke dunia pendidikan, kesehatan, penyediaan sandang pangan rakyat, keagamaan, dan fungsi-fungsi pelayanan sosial lain. Dalam penyuapan di dunia perdagangan, baik


(10)

yang bersifat domestik maupun transnasional, korupsi jelas- jelas telah merusak mental pejabat.Demi mengejar kekayaan, para pejabat negara tidak takut melanggar hukum negara.Kasus-kasus tindak pidana korupsi sulit diungkap karena para pelakunya terkait dengan wewenang atau kekuasaannya yang dimiliki.

Tindak pidana korupsi tidak hanya dilakukan oleh Para Pejabat, Pegawai Negeri Sipil (PNS), orang-orang yang memiliki kewenanganan yang lebih serta peluang untuk melalukan tindak pidana korupsi.Akan tetapi, Wiraswasta pun dapat melakukan tindak pidana korupsi tersebut.Mereka melakukan baik sebagai yang memiliki kewenangan ataupun hanya sebagai penerima kewenangan untuk melakukan korupsi tersebut.

Tindak pidana korupsi telah menjadi suatu kejahatan yang luar biasa (

extra-ordinary crime). Begitu pula dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat

dilakukan secara biasa, tetapi dituntut dengan cara yang luar biasa yang dilakukan dengan cara-cara khusus, langkah-langkah yang tegas dan jelas dengan melibatkan semua potensi yang ada dalam masyarakat khususnya pemerintah dan aparat penegak hukum.Perbuatan korupsi satu negara dengan negara lain dari intensitas dan modus operandinya sangat bergantung pada kualitas masyarakat, adat-istiadat, dan sistem penegakan hukum suatu negara.1

Untuk menjamin penegakan hukum dapat dilaksanakan secara benar dan adil, tidak ada kesewenang-wenangan, tidak ada penyalahgunaan kekuasaan. Ada beberapa asas yang harus selalu tampil dalam setiap penegakan hukum, yaitu asas

1


(11)

tidak berpihak (impartiality), asas kejujuran dalam memeriksa dan memutus

(fairness), asas beracara benar (procedural due process), asas menerapkan hukum

secara benar yang menjamin dan melindungi hak-hak substantive pencari keadilan

(substantive due process), asas harmonisasi antara kepentingan pencari keadilan

dan kepentingan sosial (lingkungan); asas jaminan bebas dari segala tekanan dan kekerasan dalam proses peradilan.2

Berbicara mengenai perkembangan pemberantasan korupsi, saat ini hal itu semakin menunjukkan titik terang sebagai upaya pemerintah dalam menanggapi tindak pidana korupsi di Indonesia.Pemberantasan korupsi secara hukum adalah dengan mengandalkan diperlakukannya secara konsisten Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan berbagai ketentuan terkait yang bersifat represif.Undang-Undang yang dimaksud adalah Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.Bila kita cermati dari awal sampai akhir tujuan khusus yang hendak dicapai adalah bersifat umum, yaitu penegakan keadilan hukum secara tegas bagi siapa saja yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi.

Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, pelaku tindak pidana korupsi selain mendapatkan sanksi pemidanaan, juga harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi dapat disita oleh hakim sebagai aset pengembalian uang negara. Ketentuan ini diatur di dalam pasal 18 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 ayat (1)

2

H.A. Rasyid Noor, Korupsi dan Pemberantasannya di Indonesia, Majalah Varia Peradilan tahun XXIV,2009, hlm. 46.


(12)

huruf a diartikan “perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak

berwujud atau barang yang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut” dan ayat (2) diartikan “ jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang

untuk menutupi uang pengganti tersebut”.3

Banyak sekali kasus korupsi yang terjadi di negara kita ini.Namun pemerintah seakan kehilangan fungsinya untuk mengatasi para pelaku tindak pidana korupsi.Pemerintah tidak mampu mengatasi permasalahan yang terjadi.Hukum seakan lemah dalam menangani masalah ini padahal kita mengetahui bahwa korupsi sangat merugikan bangsa Indonesia.Korupsi dapat sangat menghambat kemajuan bangsa. Dampak paling besar dari korupsi adalah terhambatnya pembangunan secara umum, sektor-sektor pelayanan umum yang seharusnya dibangun untuk pelayanan terhadap masyarakat menjadi terhambat dan secara tidak langsung masyarakat luas akan merasakan dampaknya secara ekonomis, mungkin hal ini terkadang tidak disadari karena dampaknya tidak terjadi seketika. Banyak prasarana umum yang seharusnya dapat dinikmati masyarakat menjadi

3

Andi Hamzah, Korupsi Di Indonesia, Masalah dan Pemecahannya, Gramedia Pustaka, Jakarta, 199, hlm. 34.


(13)

terbengkalai karena dana yang ada dari pemerintah di rugikan oleh pelaku korupsi.4

Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 3, Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Dapat kita lihat unsur-unsur yang memenuhi Tindak Pidana Korupsi yang terdapat didalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 3 yaitu sebagai berikut:

a. Setiap orang;

b. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;

c. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana d. Yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan;

e. Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.

Ketentuan-ketentuan mengenai Pemidanaan Korupsi yang ada menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah menjadi Undang-Undang-Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah disesuaikan dengan Undang-Undang sebelumnya. Dalam Undang-Undang ini ditemukan adanya ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi dan ancaman pidana mati yang merupakan pemberatan pidana.Sanksi

4


(14)

minimum khusus ini agar pelaku tindak pidana korupsi tidak dapat lolos dari ancaman pidana yang menjeratnya.

Penegakan hukum pada dasarnya melibatkan seluruh warga negara Indonesia, dimana dalam pelaksanaannya dilakukan oleh penegak hukum.Penegakan hukum tersebut dilakukan oleh aparat yang berwenang.Aparat negara yang berwenang dalam pemeriksaan perkara pidana adalah aparat Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan.Polisi, Jaksa dan Hakim merupakan tiga unsur penegak hukum yang masing-masing mempunyai tugas, wewenang dan kewajiban yang sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.Kemudian pemerintah pusat membentuk suatu badan khusus untuk memberantaskorupsi, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).Hal tersebut merupakan salah satu wujud nyata pemerintah untuk memberantas korupsi.KPK dan pengadilan harus membuktikan kecurigaan mereka kepada seseorang tentang apakah dia melakukan korupsi atau tidak.Pengusutan ini sangat sulit dilakukan karena berkaitan dengan bidang tertentu diluar hukum, yaitu bidang ekonomi.

Aparat penegak hukum merupakan unsur dalam menjalankan tugasnya yang merupakan subsistem dari sistem peradilan pidana. Di dalam rangka penegakan hukum ini masing-masing sub sistem tersebut mempunyai peranan yang berbeda-beda sesuai dengan bidangnya serta sesuai dengan ketentuan Perundang-Undangan yang berlaku, akan tetapi secara bersama-sama mempunyai kesamaan dalam tujuan pokoknya yaitu pemasyarakatan kembali para narapidana.

Pemberantasan korupsi harus selalu dijadikan prioritas agenda pemerintahan untuk ditanggulangi secara serius dan mendesak serta sebagai bagian dari program


(15)

untuk memulihkan kepercayaan rakyat dan dunia internasional dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara yang bersangkutan, tidak terkecuali Indonesia.

Salah satu contoh yang terkait dengan korupsi adalah Program Penyaluran Subsidi harga kedelai. Program Penyaluran Subsidi harga kedelai merupakan program yang dikeluarkan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Lampung yang disalurkan kepada Usaha Kecil dan Mikro pengrajin tahu / tempe.

Bahwa Program Penyaluran Subsidi harga kedelai bertujuan untuk membantu para Usaha Mikro dan Kecil (UMK) Tempe / Tahu dalam memperoleh kedelai sebagai bahan baku dengan harga yang wajar agar memproduksi secara berkelanjutan. Dengan cara memberikan subside kedelai sebesar Rp. 1.000,- per kg dalam bentuk kupon.Adapun hal-hal yang membuat terpidana didakwa dalam kasus korupsi dikarenakan terpidana telah melakukan kecurangan dalam penyaluran kedelai bersubsidi tersebut dengan mengubah daftar nama-nama penerima kedelai tersebut, memalsukan tanda tangan penerima kedelai bersubsidi, mengurangi jumlah subsidi yang diberikan kepada para penerima kedelai bersubsidi.Sehingga, perbuatan yang dilakukan merugikan keuangan negara karena telah dengan sengaja mengambil yang bukan haknya.

Memperhatikan vonis hakim yang menyatakan bahwa terpidana Karmuji Bin Klumpuk bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi yang dijerat didalam Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dirubah dan ditambah dengan Undang – Undang No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 Ayat (1) ke- 1 KUHP.


(16)

Mempertanggungjawabkan perbuatannya Terdakwa divonis pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 8 (delapan) bulan serta denda sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana penjara selama 1 (satu) bulan, dengan perintah supaya terdakwa tetap ditahan, membayar uang pengganti sebesar Rp. 31.800.000,- (tiga puluh satu juta delapan ratus ribu rupiah), dan apabila terdakwa tidak membayar uang pengganti tersebut dalam waktu 1 (satu) bulan setelah putusan memperoleh kekuatan hukum yang tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut, apabila harta bendanya tidak mencukupi maka dijatuhi pidana penjara selama 3 (tiga) bulan.

Berdasarkan uraian pada latarbelakang diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul :Pertanggungjawaban PidanaPelaku Tindak Pidana Korupsi Kedelai Bersubsidi ( Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No.26/Pid.TPK/2012/PN.TK).

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah :

a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi kedelai bersubsidi, (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No. 26/Pid.TPK/2012/PN.TK)?


(17)

b. Bagaimanakah dasar pertimbangan hakim dalam memberikan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi tersebut, (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No. 26/Pid.TPK/2012/PN.TK)?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dalam permasalahan ini adalah ruang lingkup hukum pidana yang dititikberatkan kepada penelusuran pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi kedelai bersubsidi dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Kedelai Bersubsidi dengan lokasi penelitian di wilayah hukum Pengadilan Negeri Tanjung Karang.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini antara lain sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana korupsi kedelai bersubsidi berdasarkan Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No. 26/Pid.TPK/2012/PN.TK

b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam memberikan putusan terhadap pelaku tindak pidana korupsi tersebut berdasarkan Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No. 26/Pid.TPK/2012/PN.TK.


(18)

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penulisan skripsi ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, yaitu ialah sebagai berikut :

1. Kegunaan teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan pengetahuan dan memberikan sumbangan pemikiran terhadap perkembangan ilmu hukum pidana yang berhubungan dengan Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Kedelai Bersubsidi berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 2. Kegunaan Praktis

Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan dan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam hal proses penyelesaian perkara tindak pidana korupsi serta diharapkan dapat berguna untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Kedelai Bersubsidi.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teori adalah konsep abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.5

5


(19)

Kerangka teori merupakan susunan dari beberapa anggapan, pendapat, cara, aturan, asas, keterangan sebagai satu kesatuan yang logis untuk menjadi landasan, acuan, dan pedoman untuk mencapai tujuan dalam penelitian atau penulisan.6

Kata teoritis adalah bentuk adjective dari kata “teori”. Teori adalah anggapan yang teruji kebenarannya, atau pendapat/cara/aturan untuk melakukan sesuatu, atau asa/hukum umum yang menjadi dasar ilmu pengetahuan, atau keterangan mengenai suatu peristiwa/kejadian.

Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk:7

1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.

2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

Unsur – Unsur yang mengakibatkan dapat dipidananya seorang terdakwa adalah :8 a. Melakukan perbuatan pidana

b. Mampu bertanggungjawab

c. Dengan kesengajaan/kealpaan dan d. Tidak adanya alasan pemaaf

6

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya, Bandung,2004, hlm. 73. 7

Moeljatno, 1987, Kejahatan-Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum, PT. Bina Aksara, Bandung, 1987, hlm. 1.

8

Roeslan Saleh, 1982, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Angkasa, Jakarta, 1982, hlm. 84.


(20)

Orang yang melakukan Perbuatan Pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan. Seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan, dilihat dari segi masyarakat menunjukkan pandangan yang normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan oleh orang tersebut.

Pertanggungjawaban adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang telah dilakukan, yaitu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan itu dipertanggungjawabakan oleh si pembuatnya dengan kata lain kesadaran jiwa orang yang dapat menilai, menentukan kehendaknya, tentang perbuatan tindak pidana yang dilakukan berdasarkan putusan yang berkekuatan hukum tetap. Moeljatno menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana tidak cukup dengan dilakukan perbuatan pidana saja, akan tetapi disamping itu harus ada kesalahan atau sikap batin yang dapat dicela, dan mengacu pada hukum yang tidak tertulis yaitu tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (green straf zonder schuld, ohne

schuld keine strafe).9

Pertanggungjawaban pidana atas kesalahan dalam arti luas mempunyai 3 (tiga) bidang antara lain10 :

a. Kemampuan bertanggungjawab orang yang melakukan perbuatan

b. Hubungan batin (sikap psikis) orang yang melakukan perbuatan dengan perbuatannya :

1.Perbuatan yang ada kesengajaan atau

9

Pipin Syarifin, Hukum Pidana di Indonesia, Pustaka Setia, Bandung,2000, hlm. 73. 10

Soedarto, Hukum Pidana Jilid I,. Badan Penyediaan Bahan Kuliah Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang,1975, hlm. 91.


(21)

2.Perbuatan yang ada alpa, lalai, kurang hati-hati (culpa, schuld in engezin)

c. Tidak ada alasan menghapuskan pertanggungjawaban pidana bagi pembuat.

Mengenai subyek atau pelaku perbuatan pidana secara umum hukum hanya mengakui sebagai pelaku, sedangkan pertanggungjawaban pidana dianut asas kesalahan, yang berarti untuk dapat menjatuhkan pidana kepada pembuat delik disamping harus memenuhi unsur-unsur rumusan delik juga harus ada kesalahan dan kemampuan bertanggungjawab.11

Hakim dalam menjatuhkan putusan menggunakan teori pembuktian.Pembuktian mengenai ketentuan-ketentuan yang berisi pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan oleh undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan serta mengatur alat-alat bukti yang di benarkan dalam sidang pengadilan. Pembuktian adalah cara atau proses hukum yang dilakukan untuk mempertahankan dalil-dalil dengan alat bukti yang ada sesuai hukum acara yang berlaku. Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang di dakwakan, merupakan bagian yang terpenting acara pidana.12

Menurut Mackenzie, ada enam teori pendekatan yang dapat digunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu:13

11

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, PT. Bina Aksara, Bandung,2002, hlm. 85. 12

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta,2010, hlm. 94.

13


(22)

1. Teori Keseimbangan

Maksud dari keseimbangan dalam hal ini adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan kepentingan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan korban, atau kepentingan pihak penggugat dan pihak tergugat. 2. Teori Pendekatan Seni dan Intuisi

Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan kewenangan dari hakim dengan menyesuaikan pada keadaan dan hukuman yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, yaitu pihak terdakwa dan penuntut umum.Pendekatan seni digunakan oleh hakim dalam penjatuhan putusan yang lebih ditentukan oleh instink atau intuisi atau juga dapat dikatakan prediksi dari pengetahuan hakim.

3. Teori Pendekatan Keilmuan

Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutuskan suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi atau

instink semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga

wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskan.

4. Teori Pendekatan Pengalaman

Pengalaman seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, karena dari pengalaman yang dimilikinya seorang hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang berkaitan dengan pelaku dan juga masyarakat.


(23)

5. Teori Retio Decidendi

Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara dan kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan perkara sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan membersihkan keadilan bagi pihak yang berperkara.

6. Teori Kebijaksanaan

Landasan dari teori ini menekankan rasa cinta terhadap tanah air, nusa, dan bangsa Indonesia serta kekeluargaan harus dapat ditanam, dipupuk, dan dibina.Teori ini diperkenalkan berkenaan dengan putusan hakim dalam perkara di peradilan anak.

Hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek di dalamnya, mulai dari perlunya kehati-hatian, dihindari sekecil mungkin ketidakcermatan, baik yang bersifat formal maupun materiil sampai dengan adanya kecakapan teknik membuatnya.Oleh karena itu, hakim tidak berarti dapat berbuat sesuka hatinya, melainkan hakim juga harus mempertanggung jawabkan putusannya.14

2. Konseptual

Konseptual adalah susunan dari beberapa konsep sebagai satu kebulatan yang utuh, sehingga terbentuk suatu wawasan untuk dijadikan landasan, acuan, dan pedoman dalam penelitian atau penulisan.15

14

, Ibid, hlm. 94. 15

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,2004, hlm. 78.


(24)

Di dalam penulisan ini penulis akan menjelaskan pengertian-pengertian pokok yang akan digunakan dalam penulisan dan penelitian ini dengan tujuan untuk menghindari kesalahpahaman dalam penulisan ini, seperti dengan menggunakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penjelasan tersebut antara lain :

a. Pertanggungjawaban pidana adalah sesuatu yang dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang yang melakukan perbuatan pidana atau tindak pidana.16

b. Pelaku Tindak Pidana adalah orang yang melakukan suatu perbuatan yang memenuhi semua rumusan delik.17

c. Pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat tertentu.18

d. Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi (bersama-sama) yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.

e. Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau

16

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru, Jakarta,1999, hlm. 75.

17

Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung,2002, hlm. 32.

18

Soedarto, Hukum Pidana Jilid I,. Badan Penyediaan Bahan Kuliah Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1975, hlm. 7.


(25)

lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Sesuai dengan Pasal 1 Butir 11 KUHAP.

f. Kedelai adalah salah satu tanaman polong-polongan yang menjadi bahan dasar banyak makanan dari Asia Timur seperti kecap, tahu, dan tempe.19 g. Subsidi adalah anggaran yang diberikan kepada perusahaan/lembaga yang

memproduksi, menjual, mengekspor, atau mengimpor barang dan jasa, yang memenuhi hajat hidup orang banyak sedemikian rupa sehingga harga jualnya dapat dijangkau oleh masyarakat.20

E. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pemahaman terhadap tulisan ini secara keseluruhan dan mempermudah untuk memahaminya, maka penulis menyajikan sistematika penulisan sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Pada bab ini berisikan tentang latar belakang penulisan. Dari uraian latar belakang tersebut dapat ditarik suatu pokok permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan konseptual serta menguraikan tentang sistematika penulisan.

19

http: //id.m.wikipedia.org/wiki/kedelai diakses pada tanggal 25 September 2013 jam 19.00 WIB

20

Lihat Pasal 1 nomor 16 Undang-Undang Nomor 47 Tahun 2009 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2010.


(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini merupakan pengantar pemahaman terhadap dasar hukum, pengertian-pengertian umum mengenai tentang pokok bahasan. Dalam uraian bab ini lebih bersifat teoritis yang nantinya digunakan sebagai bahan studi. Kemudian berisi tinjauan pustaka dari berbagai konsep atau kajian yang berhubungan dengan penyusunan skripsi dari berbagai referensi atau bahan pustaka, meliputi pengertian Tindak Pidana Korupsi, pengertian pertanggungjawaban pidana, pengertian kedelai bersubsidi, dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhi hukuman berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

III. METODE PENELITIAN

Dalam pelaksanaan penelitian ini penulis menggunakan pendekatan normatif empiris berisikan tentang pendekatan masalah, sumber dan jenis data, metode pengumpulan dan pengolahan data, penelitian lapangan, serta tahap terakhir yaitu analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisikan tentang penyajian dan pembahasan data yang telah dihasilkan dari penelitian, terdiri dari deskripsi dan Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Korupsi Kedelai Bersubsidi dalam putusan N0.26./Pid.TPK/2012/PN.TK.


(27)

V. PENUTUP

Bab ini berisikan mengenai Simpulan dan Saran yang merupakan hasil akhir dari penelitian dan pembahasan yang berkaitan dengan permasalahan yang telah dibahas dalam penelitian skripsi ini.


(28)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tindak Pidana Korupsi

Dilihat dari segi peristilahan kata “korupsi” berasal dari bahasa latincorruption atau menurut Webster Student Dictionary adalah corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa pula corruptio itu berasal dari kata asal corrumpiere, suatu kata latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun kebanyak bahasa di Eropa seperti Inggris: corruption; corrupt, Perancis: corruption, dan Belanda: corruptie (korupsi). Dapat diduga istilah korupsi berasal dari bahasa belanda. Ini yang

kemudian diadopsi kedalam bahasa Indonesia “korupsi”.1

Arti harfiah dari kata itu ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan, dari kesucian kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.

Arti kata korupsi yang diterima dalam perbendaharaan kata Indonesia itu disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia untuk korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan, penerimaan uang sogok, dan sebagainya.

Di Malaysia terdapat juga peraturan antikorupsi, akan tetapi di Malaysia tidak

digunakan “korupsi” melainkan kata “antikerakusan” sering pula Malaysia

1

H.A. Rasyid Noor, Korupsi dan Pemberantasannya di Indonesia, Majalah Varia Peradilan tahun XXIV,2009, hlm. 46.


(29)

menggunakan istilah “resuah” yang berasal dari bahasa Arab “riswah”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia “riswah” artinya sama dengan korupsi. Dengan

demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa korupsi itu sebagai istilah sangat luas artinya.Korupsi itu adalah bermacam-macam ragam artinya bervariasi, menurut waktu, tempat dan bangsa.

Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat dan merusak. Jika membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan dalam kedinasan dibawah kekuasaan jabatannya.2

Secara sosiologis, korupsi merupakan suatu tindakan desosialisasi yaitu tindakan yang tidak memperdulikan hubungan-hubungan dalam sistem sosial.Mengabaikan kepedulian sosial merupakan salah satu ciri dari korupsi. Pelaku tidak peduli terhadap hak-hak orang lain, yang dipentingkan hanyalah hak individunya sendiri meskipun harus mengorbankan hak orang lain.

Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

a. Perbuatan melawan hukum.

b. Penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana. c. Memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan d. Merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.

2


(30)

Dalam kerangka perbuatan korupsi pidana, harus ada kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan terlebih dahulu, disamping unsur lain yaitu memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara/daerah atau merugikan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran masyarakat.3

Dalam hukum pidana, khususnya berdasarkan pandangan atau teori dualistic, dipisahkan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana.Teori ini berpangkal tolak pada pandangan bahwa unsur pembentuk tindak pidana hanyalah perbuatan.Pada dasarnya, tindak pidana merupakan perbuatan atau serangkaian perbuatan yang padanya dilekatkan sanksi pidana. Dengan demikian dilihat dari istilahnya, hanya sifat-sifat dari perbuatan apa saja yang meliputi suatu tindakan pidana.

Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan masalah ini yaitu Tindak Pidana Korupsi Kedelai Bersubsidi yang dilakukan oleh terdakwa Karmuji bin Klumpuk yang ketentuan pidananya diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan “ Setiap

orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara

atau perekonomian negara” Jo. Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan:

3

Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Sifat Melawan Hukum Tindak Pidana Korupsi. Asa Mandiri, Jakarta,2010, hlm. 13.


(31)

a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.

b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;

c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;

d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.

Serta Pasal 18 ayat (2) yang berbunyi “Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksadan dilelang untuk

menutupi uang pengganti tersebut”.

B. Tinjauan Umum Tentang Kedelai Bersubsidi

Kedelai atau kacang kedelai adalah salah satu tanaman polong-polongan yang menjadi bahan dasar banyak makanan dari Asia Timur seperti kecap, tahu, dan tempe.4Di Indonesia, kedelai menjadi sumber energi gizi protein nabati utama, meskipun Indonesia harus mengimpor sebagian besar kebutuhan kedelai. Ini terjadi karena kebutuhan Indonesia yang tinggi akan kedelai putih. Kedelai putih bukan asli tanaman tropis sehingga hasilnya selalu lebih rendah daripada di Jepang dan Cina.

Kedelai merupakan tumbuhan serbaguna. Karena akarnya memiliki bintil pengikat

nitrogen bebas, kedelai merupakan tanaman dengan kadar protein tinggi sehingga

tanamannya digunakan sebagai pupuk hijau dan pakan ternak. Pemanfaatan utama

4


(32)

kedelai adalah dari biji. Biji kedelai kaya protein dan lemak serta beberapa bahan gizi penting lain, misalnya vitamin (asam sitrat). Adapun olahan biji kedali dapat dibuat menjadi :5

a. Tahu

b. Bermacam-macam saus penyedap, seperti kecap. c. Tempe

d. Susu kedelai e. Tepung kedelai f. Makan ringan

Subsidi atau juga disebut subvensi adalah bentuk bantuan keuangan yang dibayarkan kepada suatu bisnis atau sektor ekonomi.6Sebagian subsidi diberikan oleh pemerintah kepada produsen atau distributor dalam suatu industri untuk mencegah kejatuhan industri tersebut atau peningkatan harga produknya atau hanya untuk mendorongnya mempekerjakan lebih banyak buruh.Contohnya adalah subsidi kedelai untuk mendorong perluasan produksi pertanian dan mencapai swasembada produksi pangan.

Subsidi dapat dianggap sebagai suatu bentuk proteksionisme atau penghalang perdagangan dengan memproduksi barang dan jasa domestik dan kompetitif terhadap barang dan jasa impor.Subsidi dapat menganggu pasar dan memakan biaya ekonomi yang besar.Bantuan keuangan dalam bentuk subsidi bisa datang dari suatu pemerintahan, namun istilah subsidi juga bisa mengarah pada bantuan yang diberikan oleh pihak lain, seperti perorangan atau lembaga non-pemerintah.

Pengertian subsidi berdasarkan Pasal 1 nomor 16 Undang-Undang Nomor 47 Tahun 2009 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran

5

Ibid. 6


(33)

2010, Subsidi adalah alokasi anggaran yang diberikan kepada perusahaan/lembaga yang memproduksi, menjual, mengekspor atau mengimpor barang dan jasa untuk memenuhi hajat hidup orang banyak sedemikian rupa sehingga harga jualnya dapat terjangkau oleh masyarakat.

Pengertian subsidi merupakan suatu pemberian uang dari pemerintah yang dimaksudkan untuk membantu dan mempergiat pekembangan usaha kelompok tani yang dianggap penting sekali bagi kepentingan umum dan yang tidak sanggup berjalan tanpa bantuan pemerintah. Subsidi dapat diartikan sebagai dana bantuan sosial yang merupakan transfer uang atau barang yang diberikan kepada masyarakat gunamenjaga ketahanan pangan.

Menurut Habib Nazir, subsidi adalah cadangan keuangan dan sumber-sumber daya lainnya untuk mendukung suatu kegiatan usaha atau kegiatan perorangan oleh pemerintah. Menurut Muhammad Hassanudin, Subsidi dapat mendorong peningkatan output produk-produk yang dibantu akan tetapi mengganggu proses alokasi sumber daya domestik secara umum dan memberi dampak yang merugikan terhadap perdagangan internasional.7Kebijakan pemberian subsidi biasanya dikaitkan kepada barang dan jasa yang memiliki positif eksternalitas dengan tujuan agar dapat menambah output lebih banyak sumber daya yang dialokasikan ke barang dan jasa tersebut, misalnya pendidikan dan teknologi tinggi.

Subsidi pengadaan kedelaisangat dibutuhkan pengusaha tahu sebagai upaya untuk menekan harga kedelai import yang melambung. Untuk menjamin kelangsungan

7

Habib NazirdanMuhammad Hassanuddin,Ensiklopedia Ekonomi dan Perbankan Syariah,Kaki Langit, Bandung,2004, hlm. 537


(34)

produksi tahu dan tempe, pemerintah perlu memberi berbagai insentif di sektor pertanian dan pemberian subsidi kepada para produsen.Kebijakan subsidi oleh pemerintah tersebut selalu menimbulkan selalu pro dan kontra, ada pihak yang menolak karena dinilaitidak sehat dan membebani anggaran pemerintah, sementara pihak lain menilai subsidi diperlukan untuk membantu rakyatmiskin dan untuk mengatasi masalah kegagalan pasar.

Secara umum efek negatif subsidi adalah:8

1. Subsidi menciptakan alokasi sumber daya yang tidak efisien. Karena konsumen membayar barang dan jasa pada harga yang lebih rendah dari pada harga pasar, maka ada kecenderungan konsumen tidak hemat dalam mengkonsumsi barang yang disubsidi. Karena harga yang disubsidi lebih rendah dari pada biaya kesempatan (opportunity cost) maka terjadi pemborosan dalam penggunaan sumber daya untuk memproduksi barang yang disubsidi.

2. Subsidi menyebabkan distorsi harga.

Menurut Basri, subsidi yang tidak transparan dan tidak well-targeted akan mengakibatkan:9

a. Subsidi besar yang digunakan untuk program yang sifatnya populis cenderung menciptakan distorsi baru dalam perkonomian

b. Subsidi menciptakan suatu inefisiensi; dan

8

M. Suparmoko, Keuangan Negara dalam Teori dan Praktek, Edisi 5. BPFE, Yogyakarta, 2003, hlm. 741

9

Basri F, Perekonomian Indonesia: Tantangan dan Harapan Bagi Kebangkitan Ekonomi Indonesia, Erlangga, Jakarta, 2002, hlm.249.


(35)

c. Subsidi tidak dinikmati oleh mereka yang berhak sehingga menyebabkan kerugian keuangan negara yang mengakibatkan terjadinya tindak pidana korupsi.

C. Pertanggungjawaban Pidana

Dipidananya seseorangtidak cukup jika seseorang telah memenuhi unsur tindak pidana saja.Meskipun telah melakukan perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana dan bersifat melawan hukum, serta tidak ada alasan pembenar, hal tersebut belum memenuhi syarat bahwa orang yang melakukan tindak pidana harus mempunyai kesalahan.10

Pertanggungjawaban adalah suatu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan itu dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya.Untuk adanya pertanggungjawaban pidana, harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan.Ini berarti harus dipastikan dahulu yang dinyatakan sebagai pembuat suatu tindak pidana.11

Pertanggungjawaban itu diminta atau tidak, adalah persoalan kedua, tergantung kebijakan pihak yang berkepentingan untuk memutuskan apakah dirasa perlu atau tidak untuk menuntut pertanggungjawaban tersebut.Masalah ini menyangkut subjek tindak pidana yang umumnya telah dirumuskan oleh pembuat undang-undang. Kenyataannya memastikan siapakah yang bersalah sesuai dengan proses peradilan.

10

Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan menuju kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan ; Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Pranada Media, Jakarta,2006, hlm. 74.

11

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru, Jakarta,1999, hlm. 80.


(36)

Pertanggungjawaban pidana adalah seseorang itu dapat dipidana atau tidaknya karena kemampuan dalam mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dalam bahasa asing dikenal dengan Toerekeningsvatbasrheid dan terdakwa akan dibebaskan dari tanggung jawab jika itu tidak melanggar hukum.12

Pertanggungjawaban pidana adalah kewajiban terhadap segala sesuatu fungsi menerima pembebanan sebagai akibat dari sikap tindak sendiri atau pihak lain. Van Hammel menyatakan pertanggungjawaban yaitu suatu keadaan normal dari kematangan psikis yang membawa 3 (tiga) macam kemampuan untuk:13

a. Memahami arti dan akibat perbuatannya sendiri.

b. Mamahami bahwa perbuatannya itu tidak dibenarkan atau dilarang oleh masyarakat.

c. Menetapkan kemampuan terhadap perbuatan-perbuatan itu sehingga dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban (teorekensvatbaarhee) mengandung pengertian kemampuan atau kecakapan.

Seseorang dikatakan secara hukum bertanggungjawab untuk suatu perbuatan tertentu adalah bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatan yang berlawanan.Normalnya, dalam kasus sanksi dikenakan terhadap delinquent adalah karena perbuatannya sendiri yang membuat orang tersebut harus bertanggungjawab.14

Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk :15

1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.

12

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Azas-azas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni AHM-PTHM, Jakarta,1999, hlm. 250.

13

P.A.F Lamintang,Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung,1987, hlm. 108.

14

Jimly Asshiddiqie, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, KonPress, Jakarta,2012, hlm. 56. 15


(37)

2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa saja kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

Didalam hal kemampuan bertanggungjawab bila dilihat dari keadaan batin orang yang melakukan perbuatan pidana merupakan masalah kemampuan bertanggungjawab dan menjadi dasar yang penting untuk menentukan adanya kesalahan, yang mana keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana haruslah sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan normal, sebab karena orang yang normal, sehat inilah yang dapat mengatur tingkah lakunya sesuai dengan ukuran-ukuran yang di anggap baik oleh masyarakat.16

Perbuatan melawan hukum belum cukup untuk menjatuhkan hukuman.Harus ada pembuat (dader) yang bertanggung jawab atas perbuatannya. Pembuat harus ada unsur kesalahan dan bersalah itu adalah pertanggungjawaban yang harus memenuhi unsur:

a. Perbuatan melawan hukum.

b. Pembuat atau pelaku dianggap mampu bertanggung jawab atas c. Perbuatannya (unsur kesalahan).

Asas legalitas dalam hukum pidana Indonesia menyatakan bahwa seseorang dapat dikatakan melakukan perbuatan pidana apabila perbuatannya telah sesuai dengan rumusan Undang-Undang Hukum Pidana.Meskipun orang tersebut belum tentu dapat dijatuhi pidana karena masih harus dibuktikan kesalahannya atau apakah dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya tersebut.Dengan demikian seseorang

16

Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Ghalia Indonesia , Jakarta, 1986, hlm. 78.


(38)

untuk dapat dijatuhi pidana harus memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana dan dipertanggungjawabkan pidana dalam hukum pidana.

Dengan adanya atau berlakunya asas kesalahan tersebut, tidak semua atau belum tentu semua pelaku tindak pidana dapat dipidana.Misalnya, orang gila telah melakukan tindak pidana pembunuhan terhadap seorang anak yang sedang bermain.Orang gila tersebut tidak dapat dipidana karena tidak dapat memiliki kemampuan bertanggung jawab sebagai unsur dari kesalahan. Hal tersebut diatur dalam pasal 44 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai berikut:

“Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat di

pertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam

tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana”.

Pertanggungjawaban pidana menurut hukum pidana adalah kemampuan bertanggungjawab seseorang terhadap kesalahan.Seseorang telah melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang dilarang undang-undang dan tidak dibenarkan oleh masyarakat atau tidak patut menurut pandangan masyarakat.Melawan hukum dan kesalahan adalah unsur-unsur peristiwa pidana dan perbuatan pidana (delik) yang mempunyai hubungan erat.

Tanggung jawab itu selalu ada, meskipun belum pasti dituntut oleh pihak yang berkepentingan.Jika pelaksanaan peranan yang telah berjalan itu ternyata tidak mencapai tujuan yang diinginkan.Demikian pula dengan masalah terjadinya perbuatan pidana dengan segala faktor-faktor yang menjadi pertimbangan melakukan pertanggungjawaban dalam hukum pidana.Atas faktor-faktor itulah


(39)

tanggung jawab dapat lahir dalam hukum pidana.Tanggung jawab pidana adalah akibat lebih lanjut yang harus diterima/dibayar/ditanggung oleh seseorang yang melakukan tindak pidana secara langsung atau tidak langsung.Untuk dapat dipidana, maka perbuatannya harus memenuhi unsur-unsur tindak pidana, maka kepada yang bersangkutan dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana secara yuridis.

D. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Pidana

Fungsi utama dari seorang hakim adalah memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan kepadanya, dimana dalam perkara pidana, hal itu tidak terlepas dari sistem pembuktian negatif, yang pada prinsipnya menentukan suatu hak atau peristiwa atau kesalahan dianggap telah terbukti, disamping adanya alat bukti menurut undang-undang juga ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi dengan integritas moral yang baik.

Hakim dalam menjatuhkan putusan cenderung lebih banyak menggunakan pertimbangan yang bersifat yuridis yaitu pertimbangan dengan memperhatikan fakta-fakta hukum yang terungkap baik dipersidangan maupun diluar persidangan. Dalam Undang-Undang nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dijelaskan tentang dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan dalam Pasal 8 ayat (2) :

“Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib


(40)

Kemudian dalam Pasal 53 ayat (2) menyatakan bahwa :

“Penetapan dan putusan sebagaimana dimaksud (dalam memeriksa dan

memutus perkara) harus memuat pertimbangan hakim yang didasarkan pada

alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar”.

Hakim dalam menjatuhkan putusan menggunakan teori pembuktian.Pembuktian ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan atau pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan oleh undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan, serta mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan dalam sidang pengadilan.

Hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara yang dihadapkan kepadanya, pertama-tama harus menggunakan hukum tertulis dahulu, yaitu peraturan perundang-undangan, tetapi kalau peraturan perundang-undangan tersebut ternyata tidak cukup atau tidak tepat dengan permasalahan dengan suatu perkara, maka barulah hakim akan mencari dan menemukan sendiri hukumnya dari sumber-sumber hukum yang lain seperti yurisprudensi, doktrin, traktat, kebiasaan atau hukum tidak tertulis.

Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menetukan bahwa :

“pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus

suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.


(41)

Menurut Mackenzie, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat digunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut :17

a. Teori Keseimbangan.

Yang dimaksud dengan keseimbangan disini ialah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan korban, atau kepentingan pihak penggugat dan pihak tergugat.

b. Teori Pendekatan Seni dan Intuisi.

Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan, hakim akan menyesuaikan dengan keadaan dan hukuman yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana atau dalam perkara perdata. Hakim akan melihat keadaan pihak yang berperkara, yaitu penggugat dan tergugat dalam perkara perdata, dan pihak terdakwa atau Penuntut Umum dalam perkara pidana. Penjatuhan putusan, hakim mempergunakan pendekatan seni, lebih ditentukan oleh instink atau intuisi daripada pengetahuan hakim.

c. Teori Pendekatan Keilmuan

Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa

17

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta,2010, hlm. 106.


(42)

dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi atau instink semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya.

Oleh karena itu, hakim dituntut untuk menguasai berbagai ilmu pengetahuan, baik itu ilmu pengetahuan hukum maupaun ilmu pengetahuan lain, sehingga putusan yang dijatuhkannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan dari segi-segi teori yang ada dalam ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan perkara yang diperiksa, diadili dan diputuskan oleh hakim.

d. Teori Pendekatan Pengalaman

Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, karena dengan pengalaman yang dimilikinya seorang hakim dapat mengetahui bagaimana dampak putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat, ataupun dampak yang ditimbulkan dalam putusan perkara perdata yang berkaitan pula dengan pihak-pihak yang berperkara dan juga masyarakat.

e. Teori Ratio Decidendi

Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar untuk mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas


(43)

untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.

Landasan filsafat merupakan bagian dari pertimbangan seorang hakim dalam menjatuhkan putusan, karena filsafat itu biasanya berkaitan dengan hati nurani dan rasa keadilan yang terdapat dalam diri hakim tersebut, agar putusannya itu dapat memberikan rasa keadilan yang bersifat formal (prosedural), tetapi juga keadilan yang bersifat substantif, dengan tetap mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan oleh para pihak, seperti aspek pendidikan (education), aspek kemanusiaan (humanity), ataupun aspek kemanfaatan, penegakan hukum (law enforcement), kepastian hukum, dan aspek hukum lainnya.

f. Teori Kebijaksanaan

Teori Kebijaksanaan ini diperkenalkan oleh Made Sadhi Astuti, dimana sebenarnya teori ini berkenaan dengan keputusan hakim dalam perkara di pengadilan.Keputusan hakim sebagai dasar hukum umum pelaksanaan eksekusi dapat dikategorikan sebagai dasar hukum kebijakan pidana.Untuk menelaah keputusan hakim, lebih banyak berpangkal pada nilai-nilai serta norma-norma hukum yang mendasari pendirian dan pengetahuan dalam menetapkan keputusannya.Keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan telah dilaksanakan, dijadikan sebagai dokumen yang dinamakan yurisprudensi.Dokumen ini banyak mengandung nilai-nilai hukum yang telah diperlukan dan nyata kebenarannya.Bahkan tidak sedikit yang berlandaskan pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan, agama, adat dan filsafat hukum.


(44)

Kebebasan hakim mutlak dibutuhkan terutama untuk menjamin keobjektifan hakim dalam mengambil keputusan. Hakim memberikan keputusan mengenai hal-hal sebagai berikut :

1. Keputusan mengenai peristiwanya, ialah apakah terdakwa melakukan perbuatan yang telah dituduhkan kepadanya, dan kemudian

2. Keputusan mengenai hukumannya, ialah apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan akhirnya,

3. Keputusan mengenai pidananya, apakah terdakwa memang dapat dipidana.

Diatas dapat kita ketahui bahwa segala keputusan pengadilan selain harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk menggali, kaedah hukum yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Putusan pengadilan merupakan tanggungjawab hakim dalam melaksanakan tugasnya, untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara yang diajukan kepadanya dimana pertanggungjawaban tersebut tidak hanya dijatuhkan kepada hukum, dirinya sendiri ataupun masyarakat luas, tetapi yang lebih penting lagi itu harus dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha esa.


(45)

III. METODE PENELITIAN

Penelitian adalah suatu metode ilmiah yang dilakukan melalui penyelidikan dengan seksama dan lengkap, terhadap semua bukti-bukti yang dapat diperoleh mengenai suatu permasalahan tertentu sehingga dapat diperoleh suatu pemecahan bagi permasalahan itu.Metode penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari suatu atau beberapa gejala hukum dengan jalan menganalisa.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian yang gunanya untuk memecahkan dan menganalisis guna memberi petunjuk pada permasalahan yang akan dibahas dengan menggunakan suatu sistem untuk mendapatkan data yang diperlukan untuk menjawab permasalahan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Adapun metode yang digunakan yaitu :

A. Pendekatan Masalah

Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif empiris.Penelitian hukum normatif adalah pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan hukum utama menelaah hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum, konsepsi hukum, pandangan dan doktrin-doktrin hukum, peraturan dan sistem hukum.1

1

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 134.


(46)

Dengan menggunakan data sekunder, diantaranya asas, kaidah, norma dan aturan hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan peraturan lainnya, dengan mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan dan dokumen lain yang berhubungan erat dengan penelitian.

Penelitian hukum empiris dilakukan dengan meneliti secara langsung ke lapangan untuk melihat secara langsung penerapan peraturan perundang-undangan atau antara hukum yang berkaitan dengan penegakan hukum, serta melakukan wawancara dengan beberapa responden yang dianggap dapat memberikan informasi mengenai pelaksanaan penegakan hukum tersebut.

Penelitian hukum normatif empiris adalah penelitian hukum mengenai pemberlakuan ketentuan hukum normatif (kodifikasi, undang-undang atau kontrak) secara in action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat.2

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber data adalah tempat darimana data tersebut diperoleh.Dalam penelitian ini, data yang diperoleh berdasarkan data lapangan dan data pustaka. Jenis data dalam penulisan ini menggunakan dua jenis data, yaitu :

1. Data Primer

Data Primer adalah data yang didapat secara langsung dari sumber pertama.3Data yang diperoleh secara langsung beruapa keterangan-keterangan dan pendapat dari responden dan kenyataan-kenyataan yang ada di lapangan melalui wawancara dan

2

Ibid, hal. 135. 3


(47)

observasi.Penelitian skripsi ini dilakukan di lingkungan Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Kejaksaan Tinggi Lampung dan Fakultas Hukum Universitas Lampung.Respondennya adalah Hakim, Jaksa, dan Dosen.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, yang terdiri dari bahan hukm primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

a. Bahan hukum primer, yaitu :

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Jo. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

5. Undang-Undang 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia b. Bahan hukum sekunder yaitu sebagai bahan yang erat hubungannya dalam

menjelaskan bahan hukum primer dan dapat membantu dalam menganalisa, terdiri dari buku-buku, karya tulis ilmiah, hasil-hasil penelitian, dan petunjuk teknis maupun pelaksanaan yang berkaitan dengan penelitian ini.

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan yang berguna untuk memberikan informasi, petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan


(48)

hukum sekunder seperti Kamus Hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia, literatur-literatur, media massa dan website.

C. Penentuan Narasumber

Narasumber adalah orang yang memberi atau mengetahui secara jelas untuk menjadi sumber informasi yang valid.Dalam penelitian skripsi ini yang dijadikan narasumber adalah pihak-pihak yang berkaitan dengan penjatuhan tindak pidana korupsi yaitu,Hakim Tipikorpada Pengadilan Negeri Tanjung Karangsebagai pembuat putusan dalam persidangan, Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila dan Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Lampung.

1. Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Lampung :1 (satu) orang 2. Hakim Tipikor Pengadilan Negeri Kelas 1A Tanjung Karang :2 (dua) orang 3. Dosen Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung :2(dua) orang

Jumlah :5 (lima) orang

D. Metode Pengumpulan Data dan Pengolahan Data

1. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data adalah teknik atau cara-cara yang dapat digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data.Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan dalam penulisan ini menggunakan prosedur studi kepustakaan dan wawancara.


(49)

a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan adalah pengumpulan data yang dilakukan terhadap data sekunder melalui serangkaian kegiatan dengan cara membaca, mencatat, mengutip buku-buku, menelaah peraturan perundang-undangan, dokumen dan informasi yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

b. Studi Lapangan

Studi lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer dengan menggunakan teknik wawancara langsung dengan responden yang telah direncanakan sebelumnya. Wawancara dilaksanakan secara langsung dan terbuka dengan mengadakan tanya jawab untuk mendapatkan keterangan atau jawaban atau yang bebas sehingga data yang diperoleh sesuai dengan yang diharapkan.

2. Metode Pengolahan Data

Data yang terkumpul melalui kegiatan pengumpula data, diproses melalui pengolahan data, menyajikan data dengan memeriksa dan meneliti kembali data yang diperoleh mengenai kelengkapan untuk selanjutnya dianalisis. Pengolahan data ini akan dilakukan dengan cara :

a. Editing, yaitu memeriksa data yang didapatkan untuk mengetahui apakah data yang didapat itu relevan dan sesuai dengan bahasan. Apabila terdapat data yang salah maka akan dilakukan perbaikan serta menambah data yang kurang dan melengkapi data yang kurang lengkap.

b. Klasifikasi data, yaitu pengolahan atau pengelompokkan data menurut pokok bahasan yang telah ditentukan. Klasifikasi data dilakukan agar


(50)

memudahkan dalam menganalisis data sesuai dengan jenisnya dan berhubungan dengan masalah penelitian.

c. Sistematisasi data, yaitu menyusun secara sistematis data sesuai dengan bidang telaah atau pokok bahasan dengan makna untuk memudahkan dalam menganalisis data.

E. Analisis Data

Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif, yaitu dengan mendeskripsikan serta menggambarkan data dan fakta yang dihasilkan dari suatu penelitian di lapangan dengan suatu interpretasi, evaluasi dan pengetahuan umum.Dari analisis data tersebut dilanjutkan dengan pengambilan kesimpulan secara induktif, yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan pada fakta-fakta yang bersifat umum kemudian dilanjutkan dengan pengambilan kesimpulan yang bersifat khusus, selanjutnya dengan beberapa kesimpulan tersebut dapat diajukan saran.


(51)

V. PENUTUP

A. SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi terbukti karena telah melakukan Perbuatan melawan hukum yang telah melanggar Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa merupakan perbuatan yang dapat dipertanggungjawabkan karena perbuatan tersebut telah melawan hukum dan terdapat unsur-unsur tindak pidana yang telah terbukti dan dapat dipertanggung jawabkan. Selain itu, sesuai dalam teori pertanggungjawaban pidana terdakwa mampu bertanggungjawab atas perbuatan yang telah dilakukanya, perbuatan tersebut juga dilakukan dengan kesengajaan atau kealpaan sehingga perbuatan terdakwa tidak memiliki alasan pemaaf. Serta berdasarkan fakta-fakta hukum yang telah terungkap di luar maupun di dalam persidangan bahwa Terdakwa Karmuji telah menguntungkan dirinya sendiri dengan menyalahgunakan kewenangan yang diberikan kepadanya sehingga membuat negara


(52)

mengalami kerugian, yang ia ketahui bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang melanggar hukum dan harus diminta pertanggungjawabannya.

2. Dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Subsidi Harga Kedelai dalam perkara nomor : 26/PID.TPK/2012/PN.TK, dengan memperhatikan pula pertimbangan yang bersifat yuridis, bukti-bukti serta keterangan saksi-saksi bahwa terdakwa Karmuji telah melanggar Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Bahwa, dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhi hukuman pemidanaan adalah dengan memperhatikan fakta-fakta yuridis, bukti-bukti yang ada serta keterangan saksi-saksi dan terdakwa. Hakim dalam menjatuhkan putusan selain memperhatikan dari kepastian hukum, juga memperhatikan rasa keadilan yang diberikan oleh hakim kepada terdakwa serta kemanfaatan hukuman yang diberikan oleh hakim bagi pelaku, korban maupun masyarakat agar pelaku merasa jera dan tidak akan mengulangi perbuatannya, serta masyarakat akan melihat bahwa tindak pidana korupsi ataupun tindak pidana lainnya akan menjerat kepada siapapun yang melakukan perbuatan tersebut. Hakim juga dalam mejatuhkan pidana berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya untuk dapat menentukan peraturan perundang-undangan yang dapat menjerat pelaku tindak pidana


(53)

sehingga hakim dapat memberikan hukuman yang sesuai kepada pelaku tersebut.

A. SARAN

Berdasarkan analisa dan kesimpulan atas permasalahn yang telah dibahas, maka saran penulis adalah :

1. Pengawasan terhadap penyelenggaran kegiatan Kedelai Bersubsidi kepada Usaha Mikro dan Kecil pengrajin tahun/tempe se-Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung lebih ditingkatkan lagi dengan adanya kerja sama yang baik antara pemerintah, masyarakat maupun para penegak hukum agar tidak terjadi kembali kasus tindak pidana korupsi.

2. Hakim dalam menjatuhi hukuman harus memberikan sanksi pidana yang berat bagi pelaku tindak pidana korupsi agar membuat jera setiap pelaku yang telah melakukan tindak pidana korupsi yang menyebabkannegara mengalami kerugian yang cukup banyak. Selain itu juga dapat menunjukkan kepada masyarakat bahwa hukum tidak lemah dan akan menghukum siapapun yang melakukan tindak pidana korupsi.


(54)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Arief, Barda Nawawi. 2002. Bunga Rampai Hukum Pidana. PT. Bina Aksara. Bandung.

Andrisman, Tri. 2007. Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana

Indonesia. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Asshiddiqie, Jimly. 2012. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. KonPress. Jakarta.

F, Basri. 2002. Perekonomian Indonesia :Tantangan dan Harapan Bagi

Kebangkitan Ekonomi Indonesia. Erlangga. Jakarta.

Hamzah, Andi. 1991. Korupsi Di Indonesia, Masalah dan Pemecahannya. Gramedia Pustaka. Jakarta.

---1986. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Hartanti, Evi. 2005. Tindak Pidana Korupsi edisi Kedua. Sinar Grafika. Semarang.

Huda, Chairul. 2006. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan menuju kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan ;Tinjauan

Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan

Pertanggungjawaban Pidana. Pranada Media. Jakarta.

Kanter, E.Y. dan Sianturi, S.R. 1999. Azas-azas Hukum Pidana di Indonesia

dan Penerapannya. Alumni AHM-PTHM. Jakarta.

Lamintang, P.A.F. 1987, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, hal. 108.

Moeljatno. 1993. Asas-Asas Hukum Pidana. RinekaCipta. Jakarta.

--- 1987. Kejahatan-Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum. PT. Bina Aksara. Bandung.


(55)

Noor, H.A. Rasyid. 2009. Korupsi dan Pemberantasannya di Indonesia. Majalah Varia Peradilan tahun XXIV. Jakarta.

Nazir, Habib dan Hassanudin, Muhammad.2004. Ensiklopedia Ekonomi dan

Perbankan Syariah. Kaki Langit. Bandung.

Pradjonggo, Tjandra Sridjaja. 2010. Sifat Melawan Hukum Tindak Pidana

Korupsi. Asa Mandiri. Jakarta.

Rifai, Ahmad. 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif

Hukum Progresif. SinarGrafika. Jakarta.

Rusli, Muhammad. 2007. Hukum Acara Pidana Kontemporer. PT Citra Aditya Bakti. Bandung.

Saleh, Roeslan. 1999. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Aksara Baru. Jakarta.

Soedarto.1997. Hukum Pidana. Yayasan Sudarto. Fakultas Undip, Semarang.

---. 1975. Hukum Pidana Jilid I. Badan Penyediaan Bahan Kuliah Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Semarang.

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia. Jakarta.

--- dan Madmuji, Sri. 1985. Penelitian Hukum Normatif

Suatu Tinjauan Singkat. Rajawali Press. Jakarta.

--- 1984. Penelitian Hukum Normatif. Rajawali Press. Jakarta.

---1984. Pengantar Penelitian Hukum. Rajawali Pers. Jakarta.

Sumaryanto, Djoko. 2009. Pembalikan Beban Pembuktian. Prestasi Pustaka. Jakarta.

Suparmoko, M. 2003. Keuangan Negara dalam Teori dan Praktek. BPFE.Yogyakarta.


(56)

Wiyono, R. 2009. Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi. Sinar Grafika. Jakarta.

Departemen Pendidikan Nasional. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.

B. Peraturan Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No. 26/Pid.TPK/2012/PN.TK

C. Internet


(1)

73

V. PENUTUP

A. SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi terbukti karena telah melakukan Perbuatan melawan hukum yang telah melanggar Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa merupakan perbuatan yang dapat dipertanggungjawabkan karena perbuatan tersebut telah melawan hukum dan terdapat unsur-unsur tindak pidana yang telah terbukti dan dapat dipertanggung jawabkan. Selain itu, sesuai dalam teori pertanggungjawaban pidana terdakwa mampu bertanggungjawab atas perbuatan yang telah dilakukanya, perbuatan tersebut juga dilakukan dengan kesengajaan atau kealpaan sehingga perbuatan terdakwa tidak memiliki alasan pemaaf. Serta berdasarkan fakta-fakta hukum yang telah terungkap di luar maupun di dalam persidangan bahwa Terdakwa Karmuji telah menguntungkan dirinya sendiri dengan menyalahgunakan kewenangan yang diberikan kepadanya sehingga membuat negara


(2)

74

mengalami kerugian, yang ia ketahui bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang melanggar hukum dan harus diminta pertanggungjawabannya.

2. Dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Subsidi Harga Kedelai dalam perkara nomor : 26/PID.TPK/2012/PN.TK, dengan memperhatikan pula pertimbangan yang bersifat yuridis, bukti-bukti serta keterangan saksi-saksi bahwa terdakwa Karmuji telah melanggar Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Bahwa, dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhi hukuman pemidanaan adalah dengan memperhatikan fakta-fakta yuridis, bukti-bukti yang ada serta keterangan saksi-saksi dan terdakwa. Hakim dalam menjatuhkan putusan selain memperhatikan dari kepastian hukum, juga memperhatikan rasa keadilan yang diberikan oleh hakim kepada terdakwa serta kemanfaatan hukuman yang diberikan oleh hakim bagi pelaku, korban maupun masyarakat agar pelaku merasa jera dan tidak akan mengulangi perbuatannya, serta masyarakat akan melihat bahwa tindak pidana korupsi ataupun tindak pidana lainnya akan menjerat kepada siapapun yang melakukan perbuatan tersebut. Hakim juga dalam mejatuhkan pidana berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya untuk dapat menentukan peraturan perundang-undangan yang dapat menjerat pelaku tindak pidana


(3)

75

sehingga hakim dapat memberikan hukuman yang sesuai kepada pelaku tersebut.

A. SARAN

Berdasarkan analisa dan kesimpulan atas permasalahn yang telah dibahas, maka saran penulis adalah :

1. Pengawasan terhadap penyelenggaran kegiatan Kedelai Bersubsidi kepada Usaha Mikro dan Kecil pengrajin tahun/tempe se-Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung lebih ditingkatkan lagi dengan adanya kerja sama yang baik antara pemerintah, masyarakat maupun para penegak hukum agar tidak terjadi kembali kasus tindak pidana korupsi.

2. Hakim dalam menjatuhi hukuman harus memberikan sanksi pidana yang berat bagi pelaku tindak pidana korupsi agar membuat jera setiap pelaku yang telah melakukan tindak pidana korupsi yang menyebabkannegara mengalami kerugian yang cukup banyak. Selain itu juga dapat menunjukkan kepada masyarakat bahwa hukum tidak lemah dan akan menghukum siapapun yang melakukan tindak pidana korupsi.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Arief, Barda Nawawi. 2002. Bunga Rampai Hukum Pidana. PT. Bina Aksara. Bandung.

Andrisman, Tri. 2007. Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Asshiddiqie, Jimly. 2012. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. KonPress. Jakarta.

F, Basri. 2002. Perekonomian Indonesia :Tantangan dan Harapan Bagi Kebangkitan Ekonomi Indonesia. Erlangga. Jakarta.

Hamzah, Andi. 1991. Korupsi Di Indonesia, Masalah dan Pemecahannya. Gramedia Pustaka. Jakarta.

---1986. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Hartanti, Evi. 2005. Tindak Pidana Korupsi edisi Kedua. Sinar Grafika. Semarang.

Huda, Chairul. 2006. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan menuju kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan ;Tinjauan

Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan

Pertanggungjawaban Pidana. Pranada Media. Jakarta.

Kanter, E.Y. dan Sianturi, S.R. 1999. Azas-azas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Alumni AHM-PTHM. Jakarta.

Lamintang, P.A.F. 1987, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, hal. 108.

Moeljatno. 1993. Asas-Asas Hukum Pidana. RinekaCipta. Jakarta.

--- 1987. Kejahatan-Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum. PT. Bina Aksara. Bandung.


(5)

Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung

Noor, H.A. Rasyid. 2009. Korupsi dan Pemberantasannya di Indonesia. Majalah Varia Peradilan tahun XXIV. Jakarta.

Nazir, Habib dan Hassanudin, Muhammad.2004. Ensiklopedia Ekonomi dan Perbankan Syariah. Kaki Langit. Bandung.

Pradjonggo, Tjandra Sridjaja. 2010. Sifat Melawan Hukum Tindak Pidana Korupsi. Asa Mandiri. Jakarta.

Rifai, Ahmad. 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif. SinarGrafika. Jakarta.

Rusli, Muhammad. 2007. Hukum Acara Pidana Kontemporer. PT Citra Aditya Bakti. Bandung.

Saleh, Roeslan. 1999. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Aksara Baru. Jakarta.

Soedarto.1997. Hukum Pidana. Yayasan Sudarto. Fakultas Undip, Semarang.

---. 1975. Hukum Pidana Jilid I. Badan Penyediaan Bahan Kuliah Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Semarang.

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia. Jakarta.

--- dan Madmuji, Sri. 1985. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Rajawali Press. Jakarta.

--- 1984. Penelitian Hukum Normatif. Rajawali Press. Jakarta.

---1984. Pengantar Penelitian Hukum. Rajawali Pers. Jakarta.

Sumaryanto, Djoko. 2009. Pembalikan Beban Pembuktian. Prestasi Pustaka. Jakarta.

Suparmoko, M. 2003. Keuangan Negara dalam Teori dan Praktek. BPFE.Yogyakarta.


(6)

Utrech, E dan Saleh Djindang, Moh. 1990. Pengantar Hukum Administrasi Negara. IchtiarBaru. Jakarta.

Wiyono, R. 2009. Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sinar Grafika. Jakarta.

Departemen Pendidikan Nasional. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.

B. Peraturan Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No. 26/Pid.TPK/2012/PN.TK

C. Internet