BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kebutuhan akan dana bagi perusahaan dalam menjalankan kegiatan usahanya tidak diragukan lagi sebagai suatu kebutuhan yang amat esensial. Dana bagi sebuah
perusahaan dapat diperoleh dari berbagai sumber; dapat berupa modal equity atau utang loan. Dana yang berupa modal equity dapat diperoleh dari para pendirinya
berupa setoran modal pendiri dan dapat juga diperoleh dari para pemodal investor yang menyetorkan dana untuk modal perusahaan setelah perusahaan tersebut berdiri.
1
Memperoleh dana modal dapat dilakukan baik dengan cara menjual saham langsung kepada pemodal direct placement atau private placement. Penjualan
saham, tentu saja, hanya dapat dilakukan sepanjang perusahaan tersebut berbentuk perseroan terbatas P.T.. Apabila perusahaan tersebut tidak berbentuk perseroan
terbatas, misalnya firma atau persekutuan partnership, maka penyertaan modal oleh investor dilakukan dengan cara menjadi kongsi atau mitra usaha perusahaan itu.
2
Menurut Remy Sjahdeini, dana merupakan ‘darah’ bagi pelaku usaha dalam melakukan kegiatan usahanya. Ibarat manusia yang tidak mungkin hidup tanpa darah,
pelaku usaha juga akan ‘mati’ tanpa dana.
3
1
Fanny Kurniawan, SH, Penerapan Hak Jaminan Dalam Kepailitan, Analisa Yuridis Putusan No.10PAILIT2001PN.NIAGA JAK.PST Dalam Perkara Kepailitan Bank Shinta Indonesia Melawan
Harry Susanto , Yogyakarta, 2004, hal. ii
2
Ibid.
3
Sutan Remy Sjahdeini, “Hak Jaminan dan Kepailitan,” dalam Transaksi Berjamin Secured Transaction Hak Tanggungan dan Jaminan Fiducia dikumpulkan oleh Arie S.Hutagalung Jakarta UI
2006, hal. 641.
1
Universitas Sumatera Utara
Dana yang berupa utang loan dapat diperoleh perusahaan tersebut dari berbagai sumber seperti bank-bank, lembaga-lembaga pembiayaan, pasar uang
financial market yang memperjual-belikan surat-surat utang jangka pendek seperti commercial papers
, pasar modal capital market yang memperjual-belikan surat- surat utang jangka panjang obligasi atau bond, atau dari sumber-sumber
pembiayaan lainnya. Perbankan merupakan salah satu sumber dana diantaranya dalam bentuk
perkreditan bagi masyarakat perorangan atau badan usaha untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya atau untuk meningkatkan produksinya.
4
Lembaga perbankan sebagai salah satu lembaga keuangan mempunyai nilai strategis dalam kehidupan
perekonomian suatu negara. Lembaga tersebut dimaksudkan sebagai perantara pihak- pihak yang mempunyai kelebihan dana surplus of funds dengan pihak-pihak yang
kekurangan dan memerlukan dana lack of funds.
5
Mengingat pentingnya peranan kredit perbankan dalam mengendalikan moneter dan kegiatan perekonomian, maka berbagai kebijaksanaan telah ditetapkan
oleh Bank Indonesia untuk menciptakan suatu sistem perkreditan yang sehat. Kebijaksanaan tersebut antara lain meliputi kebijaksanaan mengenai tingkat bunga,
4
Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, CV.Alfabeta, Jakarta, 2003, hal. 1
5
Muhamad Djumhana., Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. ix
Universitas Sumatera Utara
sektor-sektor ekonomi yang perlu didorong untuk diberikan kredit dan kebijaksanaan yang lebih menekankan pada prinsip kehati-hatian.
6
Memperhatikan peranan lembaga perbankan yang demikian strategis dalam mencapai tujuan pembangunan nasional, maka terhadap lembaga perbankan perlu
senantiasa terdapat pembinaan dan pengawasan yang efektif agar mampu berfungsi secara efisien, sehat, wajar dan mampu menghadapi persaingan yang semakin bersifat
global, serta mampu melindungi secara baik dana yang dititipkan masyarakat kepadanya juga mampu menyalurkan dana masyarakat tersebut ke bidang-bidang
produktif bagi pencapaian sasaran pembangunan.
7
Salah satu penyebab dari kegagalan usaha bank antara lain adalah penyediaan dana yang tidak didukung oleh kemampuan bank mengelola konsentrasi penyediaan
dana secara efektif. Dalam rangka mengurangi potensi kegagalan usaha bank sebagai akibat dari konsentrasi penyediaan dana tersebut maka bank wajib menerapkan
prinsip kehati-hatian, antara lain dengan melakukan penyebaran dan diversifikasi portofolio penyediaan dana terutama melalui pembatasan penyediaan dana, baik
kepada pihak terkait maupun kepada pihak bukan terkait sebesar persentase tertentu dari modal bank atau yang dikenal dengan batas maksimum pemberian kredit
BMPK.
8
6
Butar-Butar, Harlen dan Aris Budi Setyawan, Analisis Perbandingan Tingkat Kolektibilitas Kredit Pada Bank Pembangunan Daerah Di Pulau Jawa Dan Luar Pulau Jawa Desember 2002
Sampai Dengan
Desember 2006,
http:haryramadhon.files.wordpress.com200805jurnal- kolektibilitas-kredit.doc, diakses pada tanggal 20 Agustus 2009.
7
Ibid
8
Penjelasan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor: 73PBI2005 Tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum.
Universitas Sumatera Utara
Dalam melakukan usahanya bank berasaskan demokrasi ekonomi dengan prinsip kehati-hatian. Sehubungan dengan pelaksanaan prinsip kehati-hatian, maka
dalam memberikan kredit bank tidak sembarangan. Ada kriteria-kriteria tertentu yang harus dipenuhi debitur. Kriteria-kriteria itu ada lima, yang disebut dengan lima
analisis kredit The Five C’s Of Credit Analysis. Kelima kriteria itu adalah sebagai berikut:
9
a. Watak character Watak debitur yang dinilai adalah kepribadian, moral dan kejujuran dalam
mengajukan permohonan kredit, karena debitur yang berwatak buruk tidak dapat dipercaya, padahal syarat pemberian kredit yang utama adalah kepercayaan.
b. Kemampuan capacity Kemampuan yang dinilai adalah kemampuan debitur dalam mengembalikan,
memimpin dan menguasai bidang usahanya serta kemampuannya melihat prospek masa depan sehingga usaha permohonan yang dibiayai dengan kredit itu berjalan baik
dan menguntungkan. c. Modal capital
Sebelum mengajukan permohonan kredit kepada bank, pemohon diwajibkan telah memiliki modal sendiri dan bukan bergantung sepenuhnya kepada kredit bank. Di
sini kredit dari bank hanya bersifat melengkapi dan bukan pokok. d. Kondisi ekonomi conditional of economic
9
Levy dalam Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991,hal. 56-59
Universitas Sumatera Utara
Kondisi ekonomi di sini adalah kondisi ekonomi pemohon untuk mengetahui apakah dengan kondisi ekonominya yang sekarang pemohon memiliki kesanggupan untuk
mengembalikan pinjamannya. e. Jaminan collateral
Jaminan disini berarti kekayaan yang dapat dikaitkan sebagai jaminan guna kepastian pelunasan dikemudian hari jika penerima kredit tidak melunasi hutangnya.
Hal ini sejalan dengan pasal 8 Undang-Undang Perbankan nomor 10 Tahun 1998 yang menegaskan bahwa
”Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas iktikad
dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.”
Dari pasal ini persyaratan adanya jaminan untuk memberikan kredit tidak menjadi keharusan. Bank hanya diminta untuk meyakini berdasarkan analisis yang
mendalam atas itikad baik debitur dan kemampuan dari debitur. Ukuran itikad baik sifatnya kualitatif tidak mudah untuk mengukurnya, sedangkan kemampuan dapat di
analisa dari pendapatan debitur dalam berusaha atau pendapatan dari pekerjaannya seorang pemohon kredit.
10
Mengingat bahwa agunan sebagai salah satu unsur pemberian kredit, maka apabila berdasarkan unsur-unsur lain telah dapat diperoleh keyakinan atas
10
Sutarno, Op. Cit, Hal. 141
Universitas Sumatera Utara
kemampuan Nasabah Debitur mengembalikan utangnya, agunan dapat hanya berupa barang, proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan.
11
Dari uraian tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa jaminan disini dapat berarti material maupun inmaterial. Apabila kita melihat ketentuan pasal 1131
KUHPerdata, undang-undang itu menentukan bahwa segala kebendaan si penghutang, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun
yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.
12
Dari pasal 1131 KUHPerdata dapat kita simpulkan bahwa hak-hak tagihan seorang kreditur dijamin dengan :
13
1 semua barang yang sudah ada, artinya yang sudah ada pada saat hutang dibuat;
2 semua barang yang akan ada; disini berarti barang-barang yang pada saat
pembuatan hutang belum menjadi kepunyaan debitur, tetapi kemudian menjadi miliiknya. Dengan perkataan lain hak kreditur meliputi barang-barang yang akan
menjadi milik debitur, asal kemudian benar-benar menjadi miliknya, 3
baik barang bergerak maupun tak bergerak. Hal ini menunjukan bahwa piutang kreditur menindih seluruh harta debitur
tanpa terkecuali. Maka Bank dalam memberikan kredit disamping jaminan kredit berupa keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad baik dan
11
Penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998
12
H. Budi Untung, Kredit Perbankan di Indonesia, Andi Yogyakarta,Yogyakarta, 2000, hal.55
13
J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan , Cetakan 4, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2002, hal.4-6
Universitas Sumatera Utara
kemampuan debitur, Bank perlu meminta agunanjaminan tambahan yaitu benda- benda bergerak atau benda tidak bergerak yang memiliki nilai dan dokumen yang
jelas dan jaminan inmateriil.
14
Mengenai pentingnya suatu jaminan oleh kreditur bank atas suatu pemberian kredit tidak lain adalah karena jaminan merupakan salah satu upaya untuk
mengantisipasi risiko yang mungkin timbul dalam tenggang waktu antara pelepasan dan pelunasan kredit.
15
Keberadaan jaminan kredit collateral merupakan persyaratan guna memperkecil risiko bank dalam meyalurkan kredit. Yang dimaksud dengan jaminan
kredit adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai mudah untuk diuangkan yang diikat dengan janji sebagai jaminan untuk pembayaran dari hutang debitur
berdasarkan perjanjian kredit yang dibuat kreditur dan debitur.
16
Pada prinsipnya suatu penyaluran kredit tidak selalu harus dengan jaminan kredit, sebab jenis usaha dan peluang bisnis yang dimiliki debitur pada dasarnya
sudah merupakan jaminan atas prospek usaha sendiri. Hanya saja, jika suatu kredit dilepas tanpa agunan maka kredit itu akan memiliki risiko yang sangat besar karena
jika investasi yang dibiayai mengalami kegagalan atau tidak sesuai dengan perhitungan semula. Jika hal ini terjadi maka bank akan dirugikan sebab dana yang
disalurkan berpeluang untuk tidak dapat dikembalikan. Jadi fungsi jaminan adalah memberikan hak kekuasaan kepada kreditur untuk mendapatkan pelunasan dari hasil
14
Sutarno, Op. Cit,hal 142
15
H.Budi Untung, Op.Cit, hal 57.
16
Sutarno, Op. Cit, hal 142
Universitas Sumatera Utara
penjualan barang-barang jaminan tersebut bila debitur tidak melunasi hutangnya pada waktu yang telah ditentukan.
Jaminan kredit dari seorang calon debitur haruslah :
17
a. Secured, artinya terhadap jaminan kredit tersebut dapat diadakan pengikatan
secara yuridis formal, sesuai dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku sehingga apabila dikemudian hari terjadi wanprestasi dari debitur maka
bank mempunyai alat bukti yang sempurna dan lengkap untuk menjalankan suatu tindakan hukum.
b. Marketable, artinya apabila jaminan tersebut harus atau perlu dieksekusi, maka
jaminan kredit tersebut dapat dengan mudah dijual atau diuangkan untuk melunasi hutang debitur.
Sedangkan menurut R. Soebekti, jaminan yang ideal baik tersebut terlihat dari :
18
a. Dapat secara mudah membantu perolehan kredit oleh pihak yang memerlukannya.
b. Tidak melemahkan potensi kekuatan si penerima kredit untuk melakukan
meneruskan usahanya. c.
Memberikan kepastian kepada kreditur dalam arti bahwa yaitu bila perlu mudah diuangkan untuk melunasi hutangnya si debitur.
Dengan demikian perlu dibuat suatu perjanjian pengikatan jaminan antara debitur dan kreditur. Mengenai bentuk pengikatan jaminan tersebut adalah tergantung
17
H.Budi Untung, Op. Cit, hal 58
18
R. Soebekti,Jaminan-jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Cetakan Ketiga,
Bandung :Alumni, 1986, hal.29
Universitas Sumatera Utara
dari jenis benda yang akan menjadi jaminan apakah benda bergerak atau benda tidak bergerak.
Sejalan dengan semakin pesatnya pertumbuhan pembangunan di kota-kota besar Indonesia dan semakin meningkatnya permintaan dana dari pelaku usaha
maupun masyarakat pada umumnya, adanya penetapan batas maksimum pemberian kredit BMPK menjadi semacam penghalang bagi para pelaku usaha untuk
memperoleh dana dalam jumlah yang sangat besar. Adapun salah satu usaha yang dapat ditempuh oleh bank dalam mengsiasati
peraturan tentang adanya penetapan BMPK tersebut adalah pembiayaan melalui kredit sindikasi.
Kredit sindikasi saat ini seringkali dilakukan oleh kalangan perbankan, baik itu diantara bank-bank swasta sendiri, atau di antara bank-bank pemerintah sendiri
maupun di antara bank pemerintah sendiri maupun diantara bank-bank asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia sendiri.
Bahkan jika mengamati perkembangan yang ada sekarang ini dalam berbagai aspek serta melihat proyeksi kebutuhan dunia usaha pada masa yang akan datang,
akan dapat diperkirakan bahwa bentuk kredit sindikasi akan semakin ramai.
19
Kredit sindikasi adalah suatu teknik bagi suatu teknik bagi suatu bank untuk dapat menyebarkan risiko dalam pemberian kredit. Karena itu biasanya tidak cocok
untuk kredit yang jumlahnya kecil, dimana bank tersebut dapat memenuhi sendiri
19
Herlina Suyati Bachtiar, Aspek Legal Kredit Sindikasi, PT. Raja Grafindo Persada, 2000, Hal. 6
Universitas Sumatera Utara
semua permintaan kredit tersebut.
20
Namun, ada keadaan-keadaan dimana suatu pinjaman mencapai jumlah sedemikian besarnya sehingga dirasakan terlalu besar bagi
bank tersebut untuk dapat memikulnya sendiri. Apabila bank tersebut merasa bahwa risikonya terlalu besar bagi bank tersebut bila seluruh permintaan debitur tertentu
dipikul sendiri, sekalipun mungkin dari segi ketentuan legal lending limit atau “batas maksimum pemberian kredit” BMPK dari bank tersebut belum terlampaui, maka
bank itu akan berusaha membentuk suatu sindikasi untuk dapat membiayai debiturnya itu. Dalam terminologi bank disebut bahwa bank itu telah melampaui
obligor limit- nya bagi debitur itu.
21
Dengan kata lain, mengapa suatu bank memilih untuk tidak memberikan sendiri jumlah kredit yang diminta oleh debitur tersebut sekalipun seandainya masih
dalam batas BMPKnya, ialah karena pertimbangan demi penyebaran risiko. Mungkin saja bahwa kredit dalam jumlah yang diminta oleh debitur tidak terlalu besar bagi
bank tersebut untuk dapat memikulnya sendiri, tetapi dirasakan oleh bank tersebut perlu untuk disindikasikan di antara dua atau lebih bank karena menurut
pertimbangan bank itu jumlah tersebut telah melampaui obligor limit dari debitur itu. Artinya, bank tersebut, menganggap pemberian kredit sebesar itu melampaui
kesediaannya untuk memikul resiko bagi debitur tersebut. Dimaksudkan dengan
20
Sutan Remy Sjahdeni, Kredit Sindikasi Proses, teknik pemberian, dan aspek hukumnya, PT. Kreatama, Cetakan Ke II, Jakarta, 2008,hal.27
21
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
obligor limit adalah batas kesediaan suatu bank untuk menanamkan resiko kredit
terhadap obligor debitur tertentu.
22
Pada dasarnya proses kredit sindikasi sama saja seperti proses kredit biasa yang dilakukan oleh bank-bank. Sebagaimana kita ketahui, dalam kredit bisa hanya
diberikan oleh satu bank, sedangkan dalam kredit sindikasi diberikan oleh lebih dari satu bank , disinilah letak perbedaan mendasar antara kredit sindikasi dengan kredit
biasa. Namun karena dalam kredit sindikasi melibatkan beberapa bank, tentulah dalam prosesnya ada beberapa langkah yang memerlukan perhatian khusus dalam
penandatanganannya, terutama hal-hal yang menyangkut hubungan dengan bank- bank calon peserta sindikasi. Hubungan antara bank yang satu dengan bank yang lain
dicapai titik temu yang memuaskan masing-masing bank dengan tidak menimbulkan ketidaknyamanan bagi bank-bank lainnya.
Kredit Sindikasi pada umumnya ditempuh apabila 1 satu bank tidak akan mampu memenuhi permintaan kredit dari debitur mengingat besarnya dana yang
diperlukan. Kredit sindikasi banyak ditempuh dalam pembangunan proyek-proyek besar, seperti pembangunan Hotel berbintang lima, pembangunan suatu mega
mallmega shopping centre, maupun dalam pembangunan jalan tol, dimana jaminan dari kredit sindikasi tersebut adalah proyek yang dibiayai dengan kredit sindikasi.
Namun demikian, tidak menutup kemungkinan debitur memberikan jaminan tambahan, misalnya berupa suatu corporate guarantee, danatau berupa obligasi
ataupun tanah yang akan dijaminkan dengan lembaga Hak Tanggungan.
22
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Dalam praktek Perbankan untuk lebih mengamankan dana yang disalurkan kreditor kepada debitor diperlukan tambahan pengamanan berupa jaminan khusus
yang banyak digunakan adalah jaminan kebendaan berupa tanah. Penggunaan tanah sebagai jaminan kredit, baik untuk kredit produktif maupun konsumtif, didasarkan
pada pertimbangan tanah paling aman dan mempunyai nilai ekonomis yang relatif tinggi.
23
Lembaga jaminan oleh lembaga perbankan dianggap paling efektif dan aman adalah tanah dengan jaminan Hak Tanggungan. Hal itu didasari adanya kemudahan
dalam mengidentifikasi objek Hak Tanggungan, jelas dan pasti eksekusinya, di samping itu hutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan harus dibayar terlebih
dahulu dari tagihan lainnya dengan uang hasil pelelangan tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan
24
, memang hal yang tidak dapat diabaikan dalam perjanjian kredit adalah perlindungan hukum bagi kreditor manakala debitor wanprestasi, apabila
kalau debitor sampai mengalami kemacetan dalam pembayarannya. Pemanfaatan lembaga eksekusi Hak Tanggungan dengan demikian merupakan cara percepatan
pelunasan piutang agar dana yang telah dikeluarkan itu dapat segera kembali kepada kreditorBank, dan dana tersebut dapat digunakan dalam perputaran roda
perekonomian. Debitur pada asasnya memerlukan modal untuk mengembangkan usahanya.
Kebutuhan akan modal usaha inilah akhirnya membuat debitur terjebak dalam
23
Herowati Poesoko, Parate Executie Objek Hak Tanggungan Inkonsistensi, Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran dalam UUHT, hal. 4.
24
Retnowulan Sutantio, Penelitian Tentang Perlindungan Hukum Eksekusi Jaminan Kredit, Badan Pembinaan Hukum Nasional-Departemen Kehakiman RI, Jakarta, 1999, hal. 8.
Universitas Sumatera Utara
kekuasaan kreditur, maka seyogyanya debitur harus dilindungi, antara lain kreditur tidak berwenang membuat suatu perjanjian bahwa apabila debitur wanprestasi, maka
secara otomatis kreditur dapat menguasai benda jaminan begitu saja, melainkan harus melalui lelang di muka umum, namun dilain pihak kreditur selaku pihak yang
meminjamkan uang juga perlu dilindungi, maka itu mutlak diperlukan solusi hukum bagi adanya lembaga jaminan agar memberikan kepastian bagi pengembalian
pinjaman tersebut. Keberadaan lembaga jaminan amat diperlukan karena dapat memberikan kepastian, dan perlindungan hukum bagi penyedia danakredit kreditor
dan penerima pinjaman atau debitor.
25
Solusi hukum yang dimaksudkan disini adalah prosedur mengenai pelaksanaan pemenuhan prestasi apabila debitor wanprestasi.
Dalam pemberian kredit sindikasi ini, apabila terjadi kredit bermasalah maka dalam penyelesaiannya memerlukan koordinasi dari berbagai pihak. Namun
penyelesaian secara koordinatif dalam pelaksanaannya tidaklah mudah dilakukan, karena tidak semua kreditur memiliki pemahaman yang sama, mengenai arti
pentingnya koordinasi dalam penyelesaian kredit bermasalah, terutama bagi kreditur besar. Seringkali terjadi bahwa sebagian anggota atau peserta sindikasi menginginkan
agar dilakukan restrukturisasi utang, namun sebagian anggota atau peserta yang lain menolak dilakukannya restrukturisasi itu dan menginginkan agar dilakukan eksekusi
terhadap aggunan kredit..
25
Sony Harsono, Sambutan Menteri AgrariaKepala BPN pada Seminar Hak Tanggungan atas Tanah dan Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah
, Fakultas Hukum UNPAD, Bandung, 1996, hal. 33.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut penulis tertarik untuk menelaah
lebih lanjut mengenai ”ANALISIS YURIDIS PERJANJIAN KREDIT SINDIKASI DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN” STUDI DI BANK
UOB INDONESIA. B. Permasalahan
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan tesis ini adalah :
1. Bagaimanakah proses pelaksanaan Perjanjian Kredit Sindikasi dan hubungan
hukum antara para pihak dalam kredit sindikasi ? 2.
Bagaimanakah pengikatan penjaminan dalam hal kredit sindikasi terutama yang dijamin dengan Hak Tanggungan Atas Tanah ?
3. Bagaimanakah pembagian hasil lelang Eksekusi Hak Tanggungan Atas Tanah
diantara para kreditur?
C. Tujuan Penelitian