BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Anak merupakan asset dan generasi penerus bagi keluarga, masyarakat maupun suatu bangsa. Keadaan kondisi anak pada saat ini sangat menentukan kondisi keluarga, masyarakat
dan bangsa di masa depan. Apabila anak hidup serba berkecukupan, baik secara fisik-organis maupun psikososialnya, maka sumber daya manusia di masa depan dapat dipastikan cukup
berkualitas. Manusia yang berkualitas dilihat dari kriteria kecerdasan, kreatif, mandiri, berakhlak mulia dan akan mampu bersaing dengan bangsa lain dalam era kehidupan global.
Anak akan tumbuh dan berkembang menjadi sumber daya manusia yang berkualitas, apabila berbagai kebutuhannya dapat dipenuhi dengan wajar, baik kebutuhan fisik, emosional
maupun sosial. Zaman pembangunan dan modernisasi saat ini, begitu banyak persaingan global
dalam setiap memenuhi kehidupan rumah tangga dan keluarga. Hal tersebut tidak jarang menimbulkan munculnya keluarga yang bermasalah yang menyebabkan makin banyaknya
anak yang kurang gizi, kurang perhatian, kurang pendidikan, kurang kasih sayang dan kehangatan jiwa serta kehilangan hak untuk bermain, bergembira, bermasyarakat dan hidup
merdeka. Pembangunan ekonomi membuat masalah lain di antaranya adalah anak jalanan, pekerja anak, eksploitasi seks anak sebagai pekerja seks anak, perdagangan anak, penculikan
anak, serta perlakuan kekerasan dan penyiksaan terhadap anak. Muhammad Joni dan Zulchaina dalam Sinaga, 2010 : 2
Universitas Sumatera Utara
Permasalahan yang berkaitan dengan anak, khususnya masalah pekerja anak dimana isu sentral mengenai pekerja anak adalah timbulnya konsekuensi negatif dari usia yang terlalu
dini untuk bekerja, yang hal ini jelas akan berpengaruh terhadap perkembangan anak. Untuk itu, yang paling penting adalah bagaimana menanggulangi masalah pekerja anak ini agar anak
tidak terjerumus ke jurang permasalahan yang lebih dalam dan lebih kompleks. Bagaimanapun pekerja anak harus diselamatkan segera dari bentuk-bentuk eksploitasi yang
merugikan mereka. Fenomena pekerja anak di Indonesia banyak berkaitan dengan tradisi atau budaya membantu orang tua, dengan anggapan bahwa memberi pekerjaan pada anak-anak
merupakan upaya untuk proses belajar menghargai kerja dan tanggung jawab. Berdasarkan penelitian ILO tahun 2005, terdapat 4,18 juta anak pada usia sekolah di Indonesia putus
sekolah dan menjadi pekerja anak. Survei yang dilakukan ILO mencakup 1.200 keluarga di lima provinsi, yaitu Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, dan
Sulawesi Selatan. Berdasarkan data dari Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial PMKS di Malang pada tahun 2001, diperkirakan terdapat 559 anak bekerja yang tersebar di berbagai
Kecamatan di Kota Malang, sedangkan berdasarkan hasil survey Bagian Sosial Kota Malang pada tahun 2004, di Kota Malang diperkirakan ada 785 anak jalanan yang tersebar di
beberapa lokasi. Huraerah, 2007 : 83 Masalah pekerja anak di Indonesia sesungguhnya telah ada jauh sebelum Indonesia
merdeka. Keadaan tersebut setidaknya ditunjukkan dengan diterbitkannya ordinasi pada tanggal 17 Desember 1925 yang melarang anak di bawah usia 12 tahun untuk bekerja. Setelah
Indonesia merdeka, batasan usia tersebut berubah menjadi 14 tahun untuk bekerja di malam hari. Indonesia tercatat merupakan salah satu Negara yang ikut meratifikasi Konvensi PBB
tentang Hak Anak, melalui Keputusan Presiden Keppres Nomor 36 tanggal 25 Agustus 1990 dan menunjuk Kantor Menteri Kesejahteraan Rakyat sebagai
focal point
implementasi konvensi di Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Tjandraningsih mengatakan mengapa anak-anak bekerja, ditinjau dari sisi penawaran dan permintaan dimana sisi penawaran mengatakan bahwa kemiskinan merupakan penyebab
utama mendorong anak untuk bekerja demi kelangsungan hidup diri dan keluarganya, sedangkan pada sisi permintaan mempekerjakan anak-anak dianggap sebagai pencari nafkah
kedua. Hasil laporan juga menunjukkan penurunan keterlibatan kaum muda dalam ketenagakerjaan tidak sejalan dengan kemajuan dalam upaya meningkatkan kehadiran siswa
di jenjang sekolah menengah. Pendidikan menjadi respon penting terhadap permasalahan pekerja anak di Indonesia. Laporan menunjukkan sebanyak 2,3 juta anak berusia -14 tahun
merupakan pekerja anak di bawah umur. Mereka tidak dapat menikmati hak-hak dasar atas pendidikan, keselamatan fisik, perlindungan, bermain, dan rekreasi. Kebanyakan anak-anak
yang bekerja masih sekolah, namun waktu yang dihabiskan di dalam kelas jauh lebih sedikit dibandingkan anak-anak yang tidak.
http:bisniskeuangan.kompas.comread20120620164314912.3.Juta.Anak.Menjadi.Pekerj a.di.Bawah.Umur
. Anak-anak yang bekerja mencari nafkah mempunyai kaitan erat dengan kaitan sosial
ekonomi keluarga atau masyarakat, pada umumnya Negara berkembang seperti Indonesia mempunyai kemampuan ekonomi terbatas dalam menghadapi masalah penduduknya, beban
ekonomi tidak hanya cukup dipikul oleh orang tua, dalam kasus demikian anak akan ikut bekerja untuk menunjang ekonomi keluarga, bahkan ada fenomena dimana anak melakukan
suatu pekerjaan
adalah wujud
partisipasinya terhadap
ekonomi keluarga.
www.depdiknas.com Menurut ILO IPEC 2002 : 4 jenis-jenis pekerjaan yang tidak seharusnya dikerjakan
oleh anak : 1.
Pekerjaan yang bertentangan dengan hak-hak dasar anak. Seperti pekerja anak yang menjadi jaminan utang anak-anak yang bekerja dibawah kondisi praktik kerja sejenis
Universitas Sumatera Utara
perbudakan, menyediakan atau memanfaatkan anak-anak untuk pelacuran, menjual atau menyebarkan narkotika dan obat-obatan terlarang, atau memproduksi serta
mengedarkan gambar porno. 2.
Pekerjaan berbahaya atau mengancam keselamatannya, menguras tenaga, merusak fisiknya dan memanfaatkan usia mereka yang muda. Misalnya, pekerjaan yang
menggunakan bahan-bahan kimia, alat-alat dan mesin yang berbahaya atau mengangkat beban yang berat dan melakukan tugas-tugas yang sulit.
3. Pekerjaan yang merusak tumbuh kembangnya atau merampas kehidupan masa kanak-
kanaknya. Seperti menempatkan anak-anak pada resiko tindakan kekerasan fisik, pelecehan seksual terisolasi atau bekerja dalam kondisi suhu yang di luar batas
normal. 4.
Pekerjaan yang menghalangi mereka untuk sekolah dan memperoleh pengetahuan dan keterampilan dasar untuk tumbuh kembangnya masa depan mereka.
Menurut ILO-IPEC 2002 : 19, dampak yang terjadi terhadap pekerja anak adalah perkembangan fisik, emosi dan sosial. Dampak tersebut mengakibatkan anak tidak mendapat
kesempatan untuk melakukan kegiatan penting yang merupakan bagian dari masa pertumbuhan, tidak memperoleh pendidikan dasar yang diperlukan untuk berinteraksi dengan
orang lain dan ikut berpartisipasi aktif di tengah masyarakat dan menikmati hidup secara wajar. Kegiatan tersebut terpaksa anak meninggalkan kewajibannya seperti belajar dan
bermain. Pekerja anak dan anak bekerja dilihat dari berbagai sisi memiliki kesamaan yaitu
sama-sama memiliki manfaat dalam rangka peningkatan ekonomi keluarga. Perbedaan mendasar antara anak bekerja dan pekerja anak hanyalah pada waktu yang digunakan untuk
bekerja dan hubungan kerja. Apabila anak bekerja di atas empat jam dan memiliki hubungan
Universitas Sumatera Utara
yang jelas antara pekerja dan pemilik usaha, maka tergolong ke dalam pekerja anak terlepas dari status mereka masih bersekolah ataupun tidak.
http:irwantimelati.blogspot.com201203perbedaan-pekerja-anak-dan-anak-yang.html Anak berusia 5-17 tahun yang bekerja sudah seharusnya mendapatkan pendidikan
sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang wajib belajar 9 tahun, bahwa pendidikan wajib untuk seluruh anak di Indonesia. Pendidikan memiliki
kaitan erat dengan status sosial dan stratifikasi sosial yang dimiliki keluarga maupun suatu masyarakat. Stratifikasi sosial atau tingkatan sosial yang terjadi pada masyarakat Indonesia
adalah stratifikasi sosial terbuka yang memungkinkan individu untuk naik ataupun turun misalnya dari strata sosial miskin menjadi kaya atau sebaliknya. Pada umumnya, yang
menentukan naik atau turunnya tingkat sosial masyarakat adalah pendidikan dan kekayaan. Anak yang bekerja dalam hal ini, merupakan upaya meningkatkan status sosial melalui
bekerja guna meningkatkan ekonomi keluarga sekaligus bersekolah dalam rangka mencapai prestasi tertentu juga untuk meningkatkan strata sosial. Sanderson, 261-264
Anak dikatakan telah mencapai prestasi tertentu dapat dilihat ketika anak berhasil mendapatkan nilai yang baik dalam bidang atau mata pelajaran tertentu, bahkan menjadi yang
terbaik di antara anak-anak lainnya. Selain itu, kehadiran, keikutsertaan dalam kegiatan ekstrakurikuler, keaktifan dalam kelas, kecerdasan dan frekuensi belajar juga merupakan hal-
hal yang menjadi ukuran bahwa anak dikatakan berprestasi. Banyak faktor yang menyebabkan prestasi belajar anak meningkat atau menurun. Prestasi belajar meningkat atau
menurun berkaitan dengan kondisi anak yang bekerja, waktu luang dan kelelahan merupakan faktor penyebabnya. Slameto : 2003
Universitas Sumatera Utara
Deli Serdang, khususnya SMP Jaya Krama di Desa Amal Bakti banyak anak-anak yang bersekolah sekaligus berprofesi sebagai pekerja di sektor batu bata. Keadaan ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor yang menyebabkan mereka bekerja seperti kemiskinan dan keingintahuan anak untuk bekerja yang akhirnya membawa mereka masuk dunia kerja
sepenuhnya. Hampir rata-rata anak di sana menjadi pekerja, khususnya pekerja batu bata karena daerah ini merupakan daerah penghasil batu bata.
Hal ini mungkin berdampak terhadap kesehatan anak, perkembangan fisik dan mental anak, mengganggu kehadiran anak mengikuti pelajaran di sekolah, mengganggu kemampuan
anak dalam menerima manfaat dari pelajaran di sekolah. Meskipun pada kenyataannya setiap orang tua ingin anaknya berprestasi di sekolah meskipun mereka bekerja. Ketika mereka
bekerja, segala sumber-sumber daya yang mereka miliki dikerahkan untuk menyelesaikan setiap tugasnya untuk mendapatkan uang. Upah yang diberikan kepada mereka sama seperti
yang diberikan kepada pekerja dewasa. Berdasarkan kunjungan peneliti sebelum melakukan penelitian, upah yang diterima diberikan berdasarkan sistem kerja, misalnya pekerja yang
bekerja dengan sistem borongan berdasarkan jumlah batu yang berhasil diperoleh adalah sebesar Rp. 70.000,- sedangkan sistem kerja harian dimana pekerja mendapatkan upah
sebesar Rp. 60.000,-. Anak-anak bekerja sehabis pulang sekolah setiap harinya, dengan waktu bekerja rata-
rata 5-6 jam perhari, tak jarang mereka lebih memilih bekerja dan bolos dari sekolah. Hal inilah yang menyebabkan anak kelelahan dan mungkin tidak fokus terhadap pelajaran
sehingga penyerapan terhadap pelajaran pun tidak maksimal akan berdampak negatif terhadap prestasi belajar anak.
Berdasarkan informasi dan peristiwa tersebut, maka peneliti tertarik untuk mengkaji lebih lanjut masalah tersebut dalam bentuk skripsi dengan judul
“Dampak Anak Bekerja
Universitas Sumatera Utara
terhadap Prestasi Belajar di SMP Jaya Krama Desa Amal Bakti Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang”.
1.2 Rumusan Masalah