Peran Imigrasi Dalam Penanganan Pengungsi Warga Negara Asing Di Kota Medan

(1)

PERAN IMIGRASI DALAM PENANGANAN PENGUNGSI

WARGA NEGARA ASING DI KOTA MEDAN

T E S I S

Oleh

HERU HARTONO

NIM.087005049

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PERAN IMIGRASI DALAM PENANGANAN PENGUNGSI

WARGA NEGARA ASING DI KOTA MEDAN

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi

Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

HERU HARTONO

NIM.087005049

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : PERAN IMIGRASI DALAM PENANGANAN PENGUNGSI WARGA NEGARA ASING DI KOTA MEDAN

Nama Mahasiswa : Heru Hartono Nomor Pokok : 087005049 Program Studi : Ilmu Hukum

Mengetahui Komisi Pembimbing

(Prof.Muhammad Abduh, SH) K e t u a

(Prof.Dr.Bismar Nasution, SH,MH) (Prof.Dr. Sunarmi, SH, M.Hum)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Prof.Dr.Bismar Nasution, SH,MH) (Prof.Dr.Runtung, SH,M.Hum)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 30 Agustus 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Muhammad Abduh, SH

Anggota : 1. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH 2. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum 3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH 4. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS


(5)

PERNYATAAN

PERAN IMIGRASI DALAM PENANGANAN PENGUNGSI

WARGA NEGARA ASING DI KOTA MEDAN

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Agustus 2010 Penulis


(6)

ABSTRAK

Pengungsi adalah sekelompok manusia yang sangat rentan terhadap perlakuan yang tidak manusiawi baik di negara asalnya maupun di negara dimana mereka mengungsi. Masuknya para pengungsi ke wilayah Indonesia yang jumlahnya cenderung meningkat dapat menimbulkan gangguan kehidupan sosial, politik, keamanan dan ketertiban masyarakat. Apalagi jika keberadaan mereka disusupi oleh kegaitan teroris internasional, traffiking in person atau kegiatan kriminal lainnya. Pergerakan dan perpindahan manusia sebagai individu atau kelompok akan mempunyai dampak, baik yang bersifat positif maupun negatif pada individu atau kelompok penerima. Pengaruh sosial dan budaya terjadi karena adanya interaksi di antara mereka, baik di lingkungan pendatang maupun penerima. Untuk mencegah terjadinya hal-hal negatif tersebut, maka penanganan imigran ilegal harus dilakukan dengan baik dengan mengutamakan penanganan (maximum security) dan penegakan kedaulatan negara. Cara penanganan tersebut tentu berdasarkan aturan hukum baik nasional maupun internasional. Dalam persepsi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan yang berlaku setiap orang yang masuk Indonesia wajib memiliki surat perjalanan dan bila tidak memiliki surat perjalanan dianggap ilegal sehingga akan diperlakukan sebagai pendatang ilegal dan ditempatkan dalam karantina imigrasi atau imigrasi dapat menolak kedatangan orang asing tersebut, hal ini sesuai dengan Undang-Undang No.9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian. Rudenim adalah tempat penampungan sementara orang asing yang melanggar peraturan perundang-undangan yang dikenakan tindakan keimigrasian dan menunggu proses pemulangan ke negaranya. Masalah utama dalam penelitian ini adalah : Bagaimana penanganan pengungsi warga negara asing di Kota Medan, bagaimana peraturan hukum nasional yang digunakan dalam penanganan pengungsi warga negara asing di Indonesia dan bagaimana kendala yang dihadapi dalam penanganan pengungsi warga negara asing di Kota Medan.

Metode penelitian ini adalah merupakan penelitian hukum normatif (normatif

legal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis faktor hukum yang tertulis

serta mengkaji ulang konsep. Sumber data hukum yang digunakan berupa data hukum primer dan data hukum sekunder. Data hukum primer berupa Undang-Undang No.9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian dan peraturan-peraturan dalam bidang keimigrasian yang berkaitan dengan permasalahan.

Hasil kesimpulan ini menunjukkan bahwa penanganan dan perlindungan pengungsi di Indonesia dilaksanakan bekerjasama dengan Badan Internasional yang menangani masalah pengungsi yaitu UNHCR (United Nations Hight Commission on

Refugee) dan IOM (International Organization of Migration). Walaupun ruang

lingkupnya sederhana dan terbatas, namun upaya untuk memajukan hukum pengungsi di Indonesia sejak tahun 1981 lebih intensif. Kepedulian yang meningkat baik dari pihak pemerintah, anggota parlemen, akademis dan masyarakat umum bahwa persoalan pengungsi merupakan persoalan Hak Azasi Manusia dan persoalan hukum. Penanganan pengungsi yang masuk ke Indonesia selama ini ditangani oleh


(7)

pihak UNHCR (United Nations Hight Commission on Refugee). Hal ini dikarenakan Indonesia hingga saat ini belum meratifikasi konvensi mengenai status pengungsi Tahun 1951 dan protokol tahun 1967, sehingga pemerintah tidak memiliki kewenangan untuk menentukan apakah seseorang atau kelompok orang yang meminta status pengungsi diakui sebagai pengungsi. Kewenangan tersebut dilakukan oleh UNHCR (United Nations Hight Commission on Refugee) tanpa campur tangan pemerintah. Semua penampungan pengungsi yang ada di Indonesia dikelola oleh IOM yang bertugas melindungi hak-hak pengungsi dan menjamin kesejahteraan para pengungsi. Peraturan hukum yang digunakan untuk melindungi pengungsi di Indonesia antara lain Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia. Dalam penanganan pengungsi warga negara asing, ada beberapa kendala diantaranya belum adanya suatu lembaga pemerintah yang secara khusus menangani masalah pengungsi. Operasional penanganan dilakukan lebih banyak berdasar pada otoritas masing-masing lembaga dengan dukungan UNHCR dan IOM.


(8)

ABSTRACT

The refugees are a group of human being who is very vulverable to inhuman treatment both in their own country and the country where they fled. The coming of refugees to Indonesian territory whose numbers tend to increase may cause the interferences in social, politic, security and public order. Especially if their presence is infiltrated by international terrorism, activities, trafficking in person or other criminal activities. The movement and human displacement as an individual or a group will have import both positively and negatively to an individual or a group of recipients. Social and cultural influence is due to interaction between them, both in migration and receiving environment. To prevent these negative things, so the handling of illegal immigrant must be done well by giving priority to the handling (maximum security) and the enforcement of state sovereignty. The way of this handling is based on the rule of law both in national and international. In perception of Indonesia government regulation accordance with the applicable rules that every person who entered Indonesia must have the travel documents and if their do not have travel documents are considered illegal, so it will be treat as illegal migrants and be placed in quarantine of immigration or the immigration can reject the foreigners coming, this is accordance with legislation No.9, 1992 about Imigration. RUDENIM is the temporary shelter foreigners who violate the legislation who will be given the immigration acts and waiting for repatriation process to their country. The main problems in this research are : How to handle the foreign refugees in Medan ; how the rules of national law which is used in handling of foreign refugees in Indonesia ; and any constraints is faced in handling of foreign refugees in Medan.

This research method is a normative legal research that is a research which analyze the written legal factors and review the concept. The sources of legal data which are used are primary law data and secondary law data. Primary law data is legislation No.9, 1992 about Imigration and regulation in field of immigration which connect with the problems.

The result of this research show that the handling and the protection of refugees in Indonesia is done working together to international bodies which handle the refugees problems, that is UNHCR (United Nations Hight Commission on Refugee) and IOM (International Organization of Migration). Even though the scope is simple and limited but the efforts to improve refugee law in Indonesia since 1981 is more intensive. Increasing concern form both the government party, members of parliement, academic, and public society that refugee problems are human rights problems and law problems. The handling of refugees who come into indonesia has been handled by UNHCR party (United Nations Hight on Refugees). This is because of Indonesia so far has not ratified the convention on refugees status in 1951 and protocol in 1967, so that the government does not have authority to determine whether a person or a group of people who asked for the status refugees are


(9)

recognized as refugees. The authority was conducted by UNHCR (United Nations Hight on Refugees) without of gevenment interference. All of refugees camp in Indonesia are managed by IOM who is assigned to protect the rights of refugees and ensure the welfare of refugees. The regulation of laws which is used to protect the refugees in Indonesia are constitution of 1945 (UUD 1945) and the law number 39, 1999 about the human rights. In handling of foreign national refugees, there are some constraints, such as the absence of a government institution that specially deal with the refugees problem. The handling operations is carried out more on the basis of each institution authority with the support of UNHCR and IOM.


(10)

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan bimbinganNya sehingga Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.

Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi syarat untuk mencapai gelar Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Adapun judul tesis : “PERAN IMIGRASI DALAM PENANGANAN PENGUNGSI WARGA NEGARA ASING DI KOTA MEDAN”. Di dalam menyelesaikan tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan baik berupa pengajaran, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat para pembimbing : Prof.Muhammad Abduh, SH, sekaligus sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Prof.Dr.Bismar Nasution, SH,MH dan Prof.Dr.Sunarmi, SH,M.Hum, dimana di tengah-tengah kesibukannya masih tetap meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, petunjuk dan mendorong semangat penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis ini.

Perkenankanlah juga, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penyelesaikan studi ini, kepada :


(11)

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof.Dr.Syahril Pasaribu, DTH&H, MSc(CTM), Sp.A(K) diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan.

2. Dekan Fakultas Hukum Prof.Dr.Runtung, SH.M.Hum, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Prof.Dr.Suhaidi, SH,MH selaku Penguji I dan juga selaku Pembantu Dekan I. 4. Dr.Pandestaren, SH,MS, selaku Penguji II

5. Abdul Rahman, SH,MH selaku Kepala Kantor Imigrasi Polonia Kelas I Medan. 6. Agus Wahyudi, SH, selaku Kepala Rumah Detensi Kota Medan.

7. Staf-Staf IOM dan UNHCR

8. Kepada rekan-rekan di Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, beserta Staf Ilmu Hukum dan rekan-rekan kerja saya yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

9. Teristimewa dan terima kasih kepada orang tua tercinta, beserta istri tercinta S.Kurniawati, S.Pd dan anak-anakku tersayang Rizky Novian H, Verina Dewanti H dan Zaskia Noviandini, H yang senantiasa memberi semangat dan dorongan dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat memberi manfaat dan penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih terdapat banyak kekurangan baik dari segi penulisan maupun dalam menyampaikan isi dan pokok permasalahan masih


(12)

jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan penulisan tesis ini.

Medan, September 2010 Penulis

Heru Hartono


(13)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Heru Hartono

Tempat / Tanggal Lahir : Surabaya, 21 Juni 1968 Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Jabatan / Pekerjaan : Kasubsi Waskim Kantor Imigrasi Polonia Medan Alamat : Jl. STM Suka Pura Komplek Imigrsi No. 81 B Pendidikan : SD Negeri II Simo Mulyo Surabaya Tamat

Tahun 1981

SMP Taman Pelajar Surabaya Tamat Tahun 1984 SMA Sejahtera Surabaya Tamat Tahun 1987

Strata Satu (S1) Fakultas Hukum Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Tamat Tahun 1995

Strata Dua (S2) Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Medan Tamat Tahun 2010


(14)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... iii

KATA PENGANTAR ... v

RIWAYAT HIDUP ... viii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Keaslian Penelitian ... 9

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional ... 10

1. Kerangka Teori ... 10

2. Landasan Konsepsional ... 18

G. Metode Penelitian ... 19

BAB II PENANGANAN PENGUNGSI WARGA NEGARA ASING DI KOTA MEDAN ... 23

A. Sejarah Pengungsi Warga Negara Asing di Indonesia ... 23

1. Pengungsi di Pulau Galang ... 23

2. Peran Pemerintah Republik Indonesia dalam Penanganan Pengungsi Warga Negara Asing ... 26

B. Faktor Penyebab Pengungsi Warga Negara Asing ... 36

C. Pihak-pihak yang Terlibat dalam Penanganan Pengungsi WNA ... 37

D. Upaya yang Dilakukan oleh Imigrasi dalam Penanganan Pengungsi Warga Negara Asing di Kota Medan ... 55

BAB III PERATURAN HUKUM NASIONAL YANG DIGUNAKAN DALAM PENANGANAN PENGUNGSI WARGA NEGARA ASING DI INDONESIA ... 74

A. Aspek Hak Asasi Manusia dalam Pengungsian ... 74

B. Peraturan Hukum Nasional yang Digunakan dalam Penanganan Pengungsian Warga Negara Asing di Indonesia ... 81


(15)

BAB IV KENDALA YANG DIHADAPI DALAM PENANGANAN

PENGUNGSI WARGA NEGARA ASING DI MEDAN ... 85

A. Urgensi Ratifikasi Konvensi 1951 Tentang Status Pengungsi .. 85

B. Kendala yang Dihadapi dalam Penanganan Pengungsi Warga Negara Asing di Medan ... 91

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 95

A. Kesimpulan... 95

B. Saran ... 97


(16)

ABSTRAK

Pengungsi adalah sekelompok manusia yang sangat rentan terhadap perlakuan yang tidak manusiawi baik di negara asalnya maupun di negara dimana mereka mengungsi. Masuknya para pengungsi ke wilayah Indonesia yang jumlahnya cenderung meningkat dapat menimbulkan gangguan kehidupan sosial, politik, keamanan dan ketertiban masyarakat. Apalagi jika keberadaan mereka disusupi oleh kegaitan teroris internasional, traffiking in person atau kegiatan kriminal lainnya. Pergerakan dan perpindahan manusia sebagai individu atau kelompok akan mempunyai dampak, baik yang bersifat positif maupun negatif pada individu atau kelompok penerima. Pengaruh sosial dan budaya terjadi karena adanya interaksi di antara mereka, baik di lingkungan pendatang maupun penerima. Untuk mencegah terjadinya hal-hal negatif tersebut, maka penanganan imigran ilegal harus dilakukan dengan baik dengan mengutamakan penanganan (maximum security) dan penegakan kedaulatan negara. Cara penanganan tersebut tentu berdasarkan aturan hukum baik nasional maupun internasional. Dalam persepsi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan yang berlaku setiap orang yang masuk Indonesia wajib memiliki surat perjalanan dan bila tidak memiliki surat perjalanan dianggap ilegal sehingga akan diperlakukan sebagai pendatang ilegal dan ditempatkan dalam karantina imigrasi atau imigrasi dapat menolak kedatangan orang asing tersebut, hal ini sesuai dengan Undang-Undang No.9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian. Rudenim adalah tempat penampungan sementara orang asing yang melanggar peraturan perundang-undangan yang dikenakan tindakan keimigrasian dan menunggu proses pemulangan ke negaranya. Masalah utama dalam penelitian ini adalah : Bagaimana penanganan pengungsi warga negara asing di Kota Medan, bagaimana peraturan hukum nasional yang digunakan dalam penanganan pengungsi warga negara asing di Indonesia dan bagaimana kendala yang dihadapi dalam penanganan pengungsi warga negara asing di Kota Medan.

Metode penelitian ini adalah merupakan penelitian hukum normatif (normatif

legal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis faktor hukum yang tertulis

serta mengkaji ulang konsep. Sumber data hukum yang digunakan berupa data hukum primer dan data hukum sekunder. Data hukum primer berupa Undang-Undang No.9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian dan peraturan-peraturan dalam bidang keimigrasian yang berkaitan dengan permasalahan.

Hasil kesimpulan ini menunjukkan bahwa penanganan dan perlindungan pengungsi di Indonesia dilaksanakan bekerjasama dengan Badan Internasional yang menangani masalah pengungsi yaitu UNHCR (United Nations Hight Commission on

Refugee) dan IOM (International Organization of Migration). Walaupun ruang

lingkupnya sederhana dan terbatas, namun upaya untuk memajukan hukum pengungsi di Indonesia sejak tahun 1981 lebih intensif. Kepedulian yang meningkat baik dari pihak pemerintah, anggota parlemen, akademis dan masyarakat umum bahwa persoalan pengungsi merupakan persoalan Hak Azasi Manusia dan persoalan hukum. Penanganan pengungsi yang masuk ke Indonesia selama ini ditangani oleh


(17)

pihak UNHCR (United Nations Hight Commission on Refugee). Hal ini dikarenakan Indonesia hingga saat ini belum meratifikasi konvensi mengenai status pengungsi Tahun 1951 dan protokol tahun 1967, sehingga pemerintah tidak memiliki kewenangan untuk menentukan apakah seseorang atau kelompok orang yang meminta status pengungsi diakui sebagai pengungsi. Kewenangan tersebut dilakukan oleh UNHCR (United Nations Hight Commission on Refugee) tanpa campur tangan pemerintah. Semua penampungan pengungsi yang ada di Indonesia dikelola oleh IOM yang bertugas melindungi hak-hak pengungsi dan menjamin kesejahteraan para pengungsi. Peraturan hukum yang digunakan untuk melindungi pengungsi di Indonesia antara lain Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia. Dalam penanganan pengungsi warga negara asing, ada beberapa kendala diantaranya belum adanya suatu lembaga pemerintah yang secara khusus menangani masalah pengungsi. Operasional penanganan dilakukan lebih banyak berdasar pada otoritas masing-masing lembaga dengan dukungan UNHCR dan IOM.


(18)

ABSTRACT

The refugees are a group of human being who is very vulverable to inhuman treatment both in their own country and the country where they fled. The coming of refugees to Indonesian territory whose numbers tend to increase may cause the interferences in social, politic, security and public order. Especially if their presence is infiltrated by international terrorism, activities, trafficking in person or other criminal activities. The movement and human displacement as an individual or a group will have import both positively and negatively to an individual or a group of recipients. Social and cultural influence is due to interaction between them, both in migration and receiving environment. To prevent these negative things, so the handling of illegal immigrant must be done well by giving priority to the handling (maximum security) and the enforcement of state sovereignty. The way of this handling is based on the rule of law both in national and international. In perception of Indonesia government regulation accordance with the applicable rules that every person who entered Indonesia must have the travel documents and if their do not have travel documents are considered illegal, so it will be treat as illegal migrants and be placed in quarantine of immigration or the immigration can reject the foreigners coming, this is accordance with legislation No.9, 1992 about Imigration. RUDENIM is the temporary shelter foreigners who violate the legislation who will be given the immigration acts and waiting for repatriation process to their country. The main problems in this research are : How to handle the foreign refugees in Medan ; how the rules of national law which is used in handling of foreign refugees in Indonesia ; and any constraints is faced in handling of foreign refugees in Medan.

This research method is a normative legal research that is a research which analyze the written legal factors and review the concept. The sources of legal data which are used are primary law data and secondary law data. Primary law data is legislation No.9, 1992 about Imigration and regulation in field of immigration which connect with the problems.

The result of this research show that the handling and the protection of refugees in Indonesia is done working together to international bodies which handle the refugees problems, that is UNHCR (United Nations Hight Commission on Refugee) and IOM (International Organization of Migration). Even though the scope is simple and limited but the efforts to improve refugee law in Indonesia since 1981 is more intensive. Increasing concern form both the government party, members of parliement, academic, and public society that refugee problems are human rights problems and law problems. The handling of refugees who come into indonesia has been handled by UNHCR party (United Nations Hight on Refugees). This is because of Indonesia so far has not ratified the convention on refugees status in 1951 and protocol in 1967, so that the government does not have authority to determine whether a person or a group of people who asked for the status refugees are


(19)

recognized as refugees. The authority was conducted by UNHCR (United Nations Hight on Refugees) without of gevenment interference. All of refugees camp in Indonesia are managed by IOM who is assigned to protect the rights of refugees and ensure the welfare of refugees. The regulation of laws which is used to protect the refugees in Indonesia are constitution of 1945 (UUD 1945) and the law number 39, 1999 about the human rights. In handling of foreign national refugees, there are some constraints, such as the absence of a government institution that specially deal with the refugees problem. The handling operations is carried out more on the basis of each institution authority with the support of UNHCR and IOM.


(20)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masalah pengungsi sesungguhnya sudah timbul sejak umat manusia mengenal adanya konflik dan peperangan, karena umumnya yang menjadi pengungsi adalah korban dari aksi kekerasan atau mereka yang melarikan diri dari ganasnya perang yang terjadi di wilayahnya atau di negaranya.

Selama berabad-abad masalah pengungsi ini hanya menimbulkan keprihatinan dan belas kasihan tanpa adanya upaya untuk melindungi secara hukum baik status maupun hak-hak para pengungsi yang merupakan korban tindak kekerasan yang harus dilindungi hak-haknya sebagai manusia yang tertindas.

Sebagai salah satu anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia secara moral ikut bertanggung jawab untuk melaksanakan Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Azasi manusia (Universal Declaration of Human Rights).1 Hal tersebut sejalan dengan salah satu tujuan negara yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.2

Para pengungsi adalah orang-orang tidak dapat mencari penghidupan serta memperbaiki taraf kehidupan mereka tanpa adanya bantuan perlindungan dari negara dimana mereka berada. Kepergian mereka juga karena terpaksa, akibatnya mereka

1

Sri Badini Amidjoyo, Perlindungan Hukum Terhadap Pengungsi Berdasarkan Konvensi

Jenewa 1951, (Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi

Manusia, RI), hal.1. 2


(21)

tidak dapat mengurus dokumen-dokumen (surat-surat) perjalanan yang sangat dibutuhkan sewaktu mereka berjalan melintasi batas negara mereka untuk pergi mengungsi ke negara lain.3

Dalam kaitan dengan pengungsi terdapat dua jenis pengungsi yaitu :4

1. Pengungsi internal berdasarkan pada “Prinsip-Prinsip Panduan Bagi Pengungsi Internal” (Guilding Principles on Internal Displacement) ialah orang-orang atau kelompok orang yang telah dipaksa atau terpaksa melarikan diri atau meninggalkan rumah mereka atau tempat mereka dahulu biasa tinggal terutama sebagai akibat dari atau dalam rangka menghindari diri dari dampak-dampak konflik bersenjata, situasi-situasi rawan yang ditandai oleh maraknya tindak kekerasan secara umum, pelanggaran-pelanggaran hak-hak asasi manusia, bencana alam, atau bencana-bencana akibat ulah manusia dan yang tidak melintasi perbatasan negara yang diakui secara internasional.

2. Pengungsi lintas batas yang berdasarkan pada Konvensi 1951 : As a result of

events occuring before 1 January 1951 and owing to well founded fear of being ersecuted for reasons of race, religion, nationality, membership of a particular social group or political opinion, is out side the country of his nationality and is unable or, owing to such fear, is unwiling to avail himself of the protection of that coutnry, or who, not having a nationality and being outside the country of his former habitual residence as a result of such events, is unable or, owing to such fear, is unwiling to return to it.

3

Achmad Romsan, Pengantar Hukum Pengungsi Internasional : Hukum Internasional dan

Prinsip-prinsip Perlindungan Internasional, (Jakarta : UNHCR, 2003), hal.20.

4


(22)

“Perbedaan keduanya hanya terletak pada wilayah pengungsi, internal adalah pengungsi yang keluar dari wilayah tertentu dan menempati wilayah lain tetapi masih dalam satu daerah kekuasaan suatu negara, sedangkan pengungsi lintas batas merupakan pengungsi yang mengungsi ke negara lain”.

Pengertian pengungsi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia akar kata pengungsi adalah ‘ungsi’ dan kata kerjanya adalah ‘mengungsi’, yaitu pergi mengungsi (menyingkir) diri dari bahaya atau menyelamatkan diri (ke tempat yang memberikan rasa aman).5

Pengungsi adalah sekelompok manusia yang sangat rentan terhadap perlakuan yang tidak manusiawi baik di negara asalnya maupun di negara dimana mereka mengungsi. Mereka adalah orang-orang yang sangat miskin dan tidak memiliki dokumen perjalanan. Kepergian mereka ke tempat atau ke negara lain bukan atas keinginan diri pribadi tetapi karena terpaksa karena tidak adanya jaminan keselamatan dari negara domisili dan mereka tidak ingin mendapatkan jaminan itu, sehingga timbullah pelanggaran terhadap hak asasi pengungsi yang tidak dapat dihindari.

Masalah pengungsi merupakan masalah yang sangat serius yang dihadapi oleh masyarakat internasional yang penanggulangannya memerlukan kerjasama masyarakat internasional secara keseluruhan. Masuknya para pengungsi ke wilayah Indonesia yang jumlahnya cenderung meningkat dapat menimbulkan gangguan kehidupan sosial, politik, keamanan dan ketertiban masyarakat. Apalagi jika

5


(23)

keberadaan mereka disusupi oleh kegiatan terorisme internasional, traffiking in

person atau kegiatan kriminal lainnya.6

Pergerakan dan perpindahan manusia sebagai individu atau kelompok akan mempunyai dampak, baik yang bersifat positif maupun negatif pada individu atau kelompok penerima. Pengaruh sosial dan budaya terjadi karena adanya interaksi di antara mereka, baik di lingkungan pendatang maupun penerima.

Negara berkepentingan melalui fungsi keimigrasian untuk tetap menjaga kondisi sosial dan budaya yang ada di dalam masyarakat agar pengaruh dari luar tidak merusak struktur sosial budaya masyarakatnya. Fungsi keimigrasian melalui kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah harus mampu menyaring serta mengatur hak-hak yang tidak diinginkan. Untuk mencegah terjadinya hal-hal negatif tersebut, maka penanganan imigran ilegal harus dilakukan dengan baik dengan mengutamakan pengamanan (maximum security) dan penegakan kedaulatan negara. Cara penanganan tersebut tentu berdasarkan aturan hukum baik nasional maupun internasional.

Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia adalah leading sector dalam menangani kebijakan bagi orang asing yang menyatakan diri sebagai pencari suaka dan pengugnsi, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 27, Undang-Undang No.37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.7

6

http://bukan_imigrasi.blogspot.com/2001/04/diakses tgl 15 Juni 2010 7


(24)

Menurut Undang-Undang No.9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, Pasal 1 menyatakan :8 Keimigrasian adalah hal ikhwal lalu lintas yang masuk atau keluar wilayah Indonesia dan pengawasan orang asing di wilayah Republik Indonesia.

Dengan menggunakan pendekatan gramatikal (tata bahasa) dan pendekatan semantik (ilmu tentang arti kata) definisi keimigrasian dapat dijabarkan sebagai berikut :9

1. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata hal diartikan sebagai keadaan, peristiwa, kejadian (sesuatu yang terjadi). Kata ikhwal diartikan hal, perihal. Dengan demikian hal ikhwal diartikan berbagai keadaan, peristiwa kejadian. 2. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata lalu lintas diartikan sebagai

hubungan antara suatu tempat dan tempat lain, hilir mudik, bolak balik.

Dengan demikian, menurut Undang-Undang No.9 Tahun 1992 terdapat dua unsur pengaturan yang penting, yaitu :10

1. Pengaturan tentang berbagai hal mengenai lalu lintas orang keluar, masuk dan tinggal dari dan ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia.

2. Pengaturan tentang berbagai hal mengenai pengawasan orang asing di wilayah Republik Indonesia.

Pengaturan lalu lintas keluar masuk wilayah Indonesia. Berdasarkan hukum internasional, pengaturan hal ini merupakan hak dan wewenang suatu negara serta

8

Lihat, Pasal 1 Undang-Undang No.9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian 9

M.Imam Santoso, Perspektif Imigrasi Pembangunan Ekonomi dan Ketahanan Nasional, (Jakarta : Universitas Indonesia, 2004), hal.17.

10


(25)

merupakan salah satu perwujudan dan kedaulatan sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta Undang-Undang No.9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian.

Dalam persepsi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan yang berlaku, setiap orang yang masuk Indonesia wajib memiliki surat perjalanan dan bila tidak memiliki surat perjalanan dianggap ilegal sehingga akan diperlakukan sebagai pendatang ilegal dan ditempatkan dalam karantina imigrasi atau imigrasi dapat menolak kedatangan orang asing tersebut.11 Hal ini memang sesuai dengan UU No.9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian.

Menurut Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan HAM R.I No.M.05.IL.02.01 Tahun 2006, Rumah Detensi Imigrasi yang selanjutnya disingkat RUDENIM adalah tempat penampungan sementara orang asing yang melanggar peraturan perundang-undangan yang dikenakan tindakan keimigrasian dan menunggu proses pemulangan ke negaranya. Namun dengan adanya peran UNHCR di negara-negara yang bukan penandatanganan Konvensi 1951 dan Protokol 1967 berdasarkan Statuta UNHCR Tahun 1950 diperkuat dengan MoU antara Departemen Luar Negeri RI dengan UNHCR maka pemerintah Indonesia tidak memandang para pendatang dengan tujuan mengungsi (refugee) semata-mata dari sudut keimigrasian seperti yang ditentukan dalam UU Keimigrasian tersebut.

Dalam permasalahan pengungsian memang perlu dilakukan perlakuan khusus, sebab pengungsi atau mencari suaka tidak akan mungkin memiliki dokumen lengkap

11


(26)

perjalanan. Pengungsi dalam kriteria refugee meninggalkan negaranya dalam keadaan terpaksa sehingga wajar tidak memiliki dokumen perjalanan yang lengkap.

Dalam praktek yang terjadi di Indonesia, jika ditemukan para pendatang yang diperkirakan merupakan pengungsi maka imigrasi atau kepolisian akan menghubungi UNHCR untuk ditentukan statusnya apakah sesuai dengan kriteria refugee dan berikutnya ditangani oleh UNHCR atau jika tidak sesuai dengan kriteria refugee maka akan dipulangkan ke negara asal atau dimasukkan ke dalam karantina refugee.12

Direktorat Jenderal Imigrasi Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia selama lima bulan terakhir menangkap 1.031 imigran gelap asal Afghanistan. Mereka pada umumnya menjadikan Indonesia sebagai tempat transit mengingat banyak jalan tikus di wilayah perbatasan yang bisa dimanfaatkan. Jalan tikus itu tersebar hampir di seluruh Indonesia.

Imigran gelap yang mengaku sebagai pengungsi masuk ke Indonesia melalui jalan tikus sebagian besar transit di Malaysia yang masuk melalui wilayah barat, antara lain salah satunya melalui Medan (Sumatera Utara).13

Apabila imigran gelap yang mengaku sebagai pengungsi tertangkap oleh pihak imigrasi, maka pihak imigrasi melakukan koordinasi dengan IOM.

12

Ibid, hal.39. 13

Harian Kompas, 1.031 Imigran Gelap Masuk Lewat Jalan Tikus, Tanggal 13 Mei 2009, hal.23.


(27)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Bagaimana penanganan pengungsi warga negara asing di Kota Medan ?

2. Bagaimana peraturan hukum nasional yang digunakan dalam penanganan pengungsi warga negara asing di Indonesia ?

3. Bagaimana kendala yang dihadapi dalam penanganan pengungsi warga negara asing di Medan ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa tujuan dari penelitian ini, yaitu :

1. Untuk mengetahui penanganan pengungsi warga negara asing di Kota Medan. 2. Untuk mengetahui peraturan hukum nasional yang digunakan dalam penanganan

pengungsi warga negara asing di Indonesia .

3. Untuk mengetahui kendala yang dihadapi dalam penanganan pengungsi di Indonesia.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan praktis. Adapun kedua kegunaan tersebut adalah sebagai berikut :


(28)

1. Secara teoritis

Manfaat penelitian ini adalah sebagai bahan atau data informasi di bidang ilmu hukum bagi kalangan akademis untuk mengetahui penanganan pengungsi. Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat memberi masukan bagi pemerintah (instansi yang terkait) untuk mencari penanganan dalam memecahkan permasalahan yang berkaitan dengan penanganan pengungsi.

2. Secara praktis

Manfaat penelitian ini secara praktis sebagai bahan masukan bagi aparat yang terkait (Deplu, Dirjenim, Aparat penegak Hukum) dalam membuat kebijakan terhadap penanganan pengungsi.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi yang ada dan dari penelusuran yang dilakukan di kepustakaan Universitas Sumatera Utara, maka penelitian dengan judul “Penanganan Pengungsi Warga Negara Asing di Medan” belum pernah ada yang melakukan penelitian ini dan dapat dikatakan asli sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional dan obyektif serta terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah, sehingga penelitian ini dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah.


(29)

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Pengungsi merupakan persoalan klasik yang timbul dalam peradaban umat manusia sebagai akibat adanya rasa takut yang sangat mengancam keselamatan mereka. Ancaman itu dapat ditimbulkan oleh bencana alam atau karena bencana buatan manusia. Perpindahan penduduk dalam skala besar ini pada awalnya hanya merupakan persoalan domestik suatu negara, sehingga tidak banyak menarik perhatian suatu negara. Masalah pengungsi meluas menjadi persoalan negara-negara di kawasan tertentu saja dan terakhir dianggap merupakan masalah bersama umat manusia.

Istilah dan definisi pengungsi (refugee) pertamakali muncul pada waktu Perang Dunia Pertama, yang dianggap sebagai titik kulminasi dari proses pembangunan sebuah bangsa.14 Pada saat itu diperkirakan terdapat tidak kurang dari 1,5 juta pengungsi.15 Dari jumlah tersebut terdapat setengah juta pengungsi Armenia yang terlantar setelah terjadinya pembunuhan secara besar-besaran dan pemulangan mereka secara paksa di Turki. Orang-orang yang terlantar mencari tempat pengungsian ke negara-negara di kawasan Timur Tengah, Uni Soviet dan ke negara-negara Barat lainnya.

14

Peter J.Taylor, Political Geography World Economy, Nation State and Locality, Es Sex : Longman, ed. 1993. dalam Achmad Romsan, Pengantar Hukum Pengungsi Internasional : Hukum

Internasional dan Prinsip-prinsip Perlindungan Internasional, (Jakarta : UNHCR, 2003), hal.28.

15


(30)

Perang yang terjadi antara Yunani dan Turki juga memicu terjadinya pengungsian secara besar-besaran penduduk yang bermukim di wilayah kedua negara. Keadaan semakin tidak menentu setelah runtuhnya Tsar Russia, Imperium Otoman Turki, juga sewaktu terjadi perang antara Rusia dan Polandia yang dikenal dengan sebutan The Russo-Polish War.16

Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa hukum internasional adalah Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang iu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri. S.R Sianturi mengatakan bahwa hukum internasional adalah Hukum yang mengatur mengenai suatu sengketa bersenjata yang timbul antara dua atau lebih pihak-pihak yang bersengketa, walaupun keadaan sengketa tersebut tidak diakui oleh salah satu pihak.17

Para pengungsi adalah orang-orang yang sangat miskin dan tidak dapat mencari penghidupan serta memperbaiki taraf kehidupan mereka tanpa adanya bantuan perlindungan dari negara dimana mereka berada. Kepergian mereka juga karena terpaksa, akibatnya mereka tidak tidak mengurus dokumen-dokumen (surat-surat) perjalanan yang sangat dibutuhkan sewaktu mereka berjalan melintasi batas negara mereka untuk pergi mengungsi ke negara lain. Keadaan yang sangat sulit dan memprihatinkan ini yang mengilhami timbulnya definisi tentang pengungsi.18

16

Anomim, What is a Refugee, dalam Ibid. 17

www.elsam.or.id/di akses tanggal 15 Juli 2010 18

Daniele Joly, Haven or Hell : Asylum Policies and Refugee in Europe, London : Mac Millan Press, 1966, dalam Ibid.


(31)

Perang Dunia Pertama dan Perang Dunia Kedua merupakan contoh hasil dari sebuah peradaban umat manusia, yang telah menimbulkan kesengsaraan terhadap umat manusia, exodus besar-besaran penduduk yang melintasi wilayah suatu negara mengilhami betapa perlunya pengaturan secara internasional. Konvensi Tahun 1951 tentang Status Pengungsi dan Protokol tahun 1967 tentang Status Pengungsi merupakan salah satu bentuk kepedulian masyarakat internasional, terutama di Eropah pada waktu itu, terhadap penyelesaian masalah pengungsi.19

Berdasarkan Pasal 1 Konvensi 1951, maka pengungsi berlaku bagi setiap orang yang :20

a. Telah dianggap sebagai pengungsi menurut Perjanjian 12 Mei 1926 dan Perjanjian 30 Juni 1928, atau Konvensi 10 Februari 1938, Protokol 14 September 1939 atau Konstitusi Organisasi Pengungsi Internasional. b. Sebagai akibat peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum 1 Januari 1951

serta disebabkan rasa takut yang benar-benar berdasarkan akan persekusi karena alasan-alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau pendapat politik, berada di luar negara asal kewarganegaraannya dan tidak dapat atau disebabkan rasa takut yang dialami yang bersangkutan tidak mau memanfaatkan perlindungan negara tersebut atau mereka yang tidak berkewarganegaraan dan sebagai akibat

19

Ibid, hal.3 20

Hamid Sulaiman, Lembaga Suaka dalam Hukum Internasional, (Jakarta ; PT.Raja Grafindo Persada, 2002), hal.138, dalam Sri Badini, Op.Cit, hal.11.


(32)

dari peristiwa tersebut berada di luar negara bekas tempat tinggalnya, semula tidak dapat akan disebabkan rasa ketakutan, tidak bersedia kembali ke negara itu.

c. Dalam hal seseorang yang memiliki lebih dari satu kewarganegaraan, istilah negara kewaraganegaraannya akan berarti masing-masing negara, dimana dia menjadi warga negara, dan seseorang tidak akan dianggap tidak mendapatkan perlindungan negara kewarganegaraannya bila tanpa adanya alasan yang dapat diterima, didasarkan rasa takut yang benar-benar ia alami tidak memanfaatkan perlindungan salah satu dari negara dimana dia adalah warga negaranya.

Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 948, beberapa pasal yang berkaitan dengan pengungsi yaitu Pasal 9 yang mengatur tentang Hak seseorang untuk tidak mendapat perlakuan sewenang-wenang, diasingkan atau penahanan.21 Pasal 13 mengenai hak seseorang untuk mencari perlindugnan di negara lain,22 dan Pasal 14 ayat 1 mengatur tentang Hak Untuk Bepergian dan keluar masuk negaranya.23

Wilayah suatu negara adalah wilayah bagi tempat tinggal warga negaranya. Orang asing yang berada di suatu negara lain tidak berhak untuk tinggal, kecuali mendapat izin dari pemerintah negara tersebut. Keberadaan orang asing di suatu negara baru sah jika telah mendapat izin yang sah dari pemerintah negara tersebut.24

21

Lihat Pasal 9 DUHAM 1948 22

Lihat Pasal 13 DUHAM 1948 23

Lihat Pasal 14 DUHAM 1948 24


(33)

Keberadaan orang asing di suatu negara menjadi tanggung jawab dari negara dimana orang asing itu berada, sedang neraga dari orang asing tersebut juga mempunyai tanggung jawab melindungi warganya yang berada di negara lain. Negara dimana orang asing berada, selain mempunyai kewajiban untuk menjamin kepentingan dan keamanannya, juga wajib melakukan pengawasan terhadap orang asing yang berada di negaranya.25

Keberadaan orang asing di suatu negara dapat dilihat dari sah tidaknya izin tinggal yang dimiliki oleh orang asing tersebut selama yang bersangkutan berada di negara itu. Keberadaan orang asing di suatu negara lain dapat dibagi dalam 3 (tiga) golongan :26

a. Orang asing yang mempunyai izin tinggal yang sah dan masih berlaku. b. Orang asing yang memiliki izin tinggal yang sah tetapi sudah tidak berlak. c. Orang asing yang tidak memiliki izin tinggla yang sah.

Dalam rangka mewujudkan prinsip “selective policy’ diperlukan pengawasan terhadap orang asing. Pengawasan ini tidak hanya pada saat mereka masuk, tetapi selama mereka berada di wilayah Indonesia termasuk kegiatan-kegiatannya. Pengawasan keimigrasian mencakup penegakan hukum keimigrasian baik yang bersifat administratif maupun tindak pidana keimigrasian.27

25

Ibid, hal.104 26

Moh.Arif., Keimigrasian di Indonesia Suatu Pengantar, (Jakarta : Pusat Pendidikan dan Latihan Pegawai Departemen Kehakiman, 1997), hal.104.

27

Moh.Arif, Komentar Undang-Undang Keimigrasian beserta Peraturan Pemerintah, (Jakarta : Pusat Pendidikan dan Latihan Pegawai Departemen Kehakiman, 1997), hal.14.


(34)

Pengawasan adalah suatu proses kegiatan mengumpulkan data, menganalisa dan menentukan apakah sesuatu yang diawasi sesuai dengan standar yang telah ditentukan atau sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang berlaku.28

Pengawasan orang asing meliputi aspek yang menyangkut aspek keberadaannya dan aspek kegiatannya, yaitu suatu proses kegiatan di bidang keimigrasian yang mengumpulkan data dan informasi, menganalisa dan menentukan apakah keberadaan orang asing sejak masuknya di wilayah Indonesia dan kegiatannya selama berada di wilayah Indonesia tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku baginya.

Norma-norma yang diberlakukan bagi orang asing di Indonesia antara lain norma hukum yang berupa peraturan, yaitu perundang-undangan yang berlaku seperti menyangkut izin keberadaannya (izin keimigrasian), izin kegiatannya seperti yang menyangkut ketenaga kerjaan, mengikuti pendidikan, mengadakan penelitian dan sebagainya. Selain itu juga norma-norma yang menyangkut norma-norma agama dan sosial budaya dan lainnya.

Jika terjadi penyimpangan terhadap norma-norma tersebut, terhadap orang asing yang bersangkutan akan diambil tidakan sesuai dengan peraturan yang berlaku, baik yang berupa tindakan justisial ataupun keimigrasian.

28


(35)

Menurut Undang-Undang No.9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, pengawasan orang asing di Indonesia meliputi :29

a. Melakukan pengawasan terhadap orang asing yang masuk dan keluar, keberadaan serta kegiatannya di wilayah negara Republik Indonesia. b. Mengkoordinasikan pelaksana tugas badan atau instansi pemerintah yang

terkait dalam pengawasan orang asing adalah tanggung jawab negara untuk melindungi warga negaranya.

Apabila pemerintah tidak mau atau tidak mampu melindungi warga negaranya, individu-individu dapat mengalami pelanggaran serius atas hak-hak mereka sedemikian rupa sehingga individu-individu itu terpaksa meninggalkan rumah, rupa dan seringkali bahkan keluarga mereka, guna mencari keselamatan di negara lain.

Pengawasan terhadap masuk dan keluarnya orang ke dan dari wilayah Indonesia dilakukan oleh Pejabat Imigrasi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi. Jika pada pemeriksaan imigrasi terdapat penyimpangan atau pelanggaran yang dilakukan orang asing yang akan masuk ke wilayah Indonesia, Pejabat Imigrasi akan menolak memberikan izin masuk dan memerintahkan yang bersangkutan meninggalkan wilayah Indonesia melalui alat angkut yang membawanya dan kepada penanggung jawab alat angkut diperintahkan untuk membawa kembali orang asing tersebut ke negara asalnya atau ke tempat

29

Eugenia Liliawati, Muljono, Undang-Undang Keimigrasian Beserta Peraturan


(36)

pemberangkatan terakhir dengan alat angkutnya atau alat angkut lain atas jaminan penanggung jawab alat angkut yang membawanya ke wilayah Indonesia. Terhadap orang asing yang akan meninggalkan wilayah Indonesia, jika didapati adanya penyimpangan atas pelanggaran pada pemeriksaan imigrasi, maka keberangkatannya dapat dibatalkan dan akan diproses sesuai dengan pelanggaran yang dulakukannya dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.30

Pengawasan terhadap keberadaan orang asing menyangkut izin keberadaan atau izin tinggalnya di wilayah Indonesia yang diberikan oleh Pejabat Imigrasi, baik yang berupa izin yang diberikan oleh Pejabat Imigrasi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi atau di Kantor Imigrasi. Pengawasan ini merupakan pengawasan yang bersifat administrative dengan data yang lengkap yang berada di Imigrasi.

Pengawasan terhadap kegiatan orang asing akan menyangkut Badan atau Instansi terkait yang mempunyai tugas melakukan pengawasan orang asing seperti Departemen Tenaga Kerja, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan Badan atau Instansi lainnya yang dapat dilakukan melalui Tim Koordinasi Pengawasan Orang Asing.

30


(37)

2. Landasan Konsepsional

Konsepsional merupakan definisi dari operasional dari berbagai istilah yang dipergunakan dalam penelitian ini. Kerangka konsep adalah konstruksi secara internal pada pembaca yang mendapat stimulasi dan dorongan konseptual dari bacaan dan tinjauan kepustakaan. Kerangka konsepsional ini dibuat untuk menghindari pemahaman dan penafsiran yang keliru dan memberikan arahan dalam penelitian ini.

Pengungsi adalah orang yang berada di luar negara asalnya atau tempat tinggal aslinya, mempunyai dasar ketakutan yang sah akan diganggu keselamatannya sebagai akibat kesukuan, agama, kewarganegaraan, keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu atau pendapat politik yang dianutnya, serta tidak mampu atau tidak ingin memperoleh perlindungan bagi dirinya dari negara asal tersebut, ataupun kembali kesana, karena mengkhawatirkan keselamatan dirinya.31

Orang asing adalah orang yang dianggap asing dalam suatu lingkungan orang-orang yang sudah ada dan sudah saling mengenal.32

Orang asing dalam pengertian keimigrasian adalah orang yang bukan warga negara dari suatu negara dan berada di negara tersebut.33

31

UNHCR, Melindungi Pengungsi dan Peran UNHCR, (Jakarta : UNHCR, 2007-2008), hal.10.

32

Moh. Arif, Op.Cit, hal.35 33 Ibid.


(38)

Warga negara adalah penduduk sebuah negara atau bangsa berdasarkan keturunan, tempat kelahiran dan sebagainya yang mempunyai kewajiban dan hak penuh sebagai seorang warga negara dari negara itu.34

Keimigrasian adalah hal ikhwal lalu lintas orang yang masuk atau keluar wilayah negara Republik Indonesia dan pengawasan orang asing di wilayah negara Republik Indonesia.35

Keimigrasian di Indonesia menyangkut dua hal yaitu :36

b. Hal ikhwal masuk dan keluar wilayah negara Republik Indonesia dari orang-orang, baik warga negara Indonesia maupun orang asing.

c. Pengawasan orang asing di wilayah Indonesia terhadap dua hal yaitu : 1) Keberadaan orang asing di wilayah Indonesia

2) Kegiatan orang asing selama berada di wilayah Indonesia.

G. Metode Penelitian

Penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten.37 Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya.38 Suatu metode merupakan cara kerja atau tata kerja untuk dapat

34

www://kamus_besar_bahasa_Indonesia, org/diakes tanggal 15 Juni 2010 35

Moh.Arif, Loc.Cit, hal.16. 36

Ibid 37

Soerjono Soekamto, Pengnatar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia, 1984), hal.42

38


(39)

memahami obyek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan.39 Dengan demikian metode penelitian adalah upaya ilmiah untuk memahami dan memecahkan suatu masalah berdasarkan metode tertentu.

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan untuk menjawab permasalahan yang ada dalam tesis ini adalah metode pendekatan hukum normatif yang dilakukan dengan cara mempelajari buku-buku, bahan-bahan bacaan literatur peraturan perundang-undangan yang menunjang dan berhubungan sebagai penelaahan hukum terhadap kaidah yang dianggap sesuai dengan penelitian hukum tertulis. Penelitian hukum normatif dilakukan terhadap hal-hal yang bersifat teoritis asas-asas hukum, dasar hukum dan konsep-konsep hukum.

2. Sumber Data

Oleh karena penelitian ini menggunakan pendekatan hukum normatif, maka datanya diawali dengan data sekunder dengan menggunakan bahan hukum, antara lain :

A. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan yang mengikat, terdiri dari norma atau kaidah dasar yaitu Pembukaan Undang Dasar 1945, Undang-Undang No.9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Peraturan Perundang-undangan seperti Peraturan Pemerintah.

39

Soerjono Soekamto, Ringkasan Metodologi : Penelitian Hukum Empiris, (Jakarta : Indonesia Hilco, 1990), hal.106.


(40)

B. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang diperoleh dengan melakukan penelitian literatur, yaitu melakukan penelitian atas pendapat dan pemikiran para ahli hukum yang dituangkan dalam literatur hukum, karya tulis ilmiah bidang hukum serta bentuk-bentuk tulisan lainnya yang berkaitan dengan masalah yang sedang diteliti.

C. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum sekunder seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah.40

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan.

Studi kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur-literatur, tulisan pakar hukum, bahan kuliah yang berkaitan dengan penelitian ini.41

4. Alat Pengumpulan Data

A. Dilakukan melalui studi kepustakaan dengan cara membaca menelaah, mencatat dan mengutip buku-buku dan beberapa ketentuan-ketentuan serta literatur yang berhubungan dengan permasalahan yang akan diteliti.

40

Soerjono Soekamto dan Sri mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Rajawali Pres, 1990), hal.14-15.

41


(41)

B. Melakukan wawancara serta didukung dengan observasi dan pendapat dari Pejabat Rumah Detensi Imigrasi di kota Medan, staf UNHCR dan staf IOM di Medan.

5. Analisis Data

Data yang diperoleh lalu diolah kemudian dianalisis secara kualitatif yaitu dilakukan dengan menggambarkan data yang dihasilkan dalam bentuk uraian kalimat atau penjelasan. Dari analisis data tersebut dilanjutkan dengan menarik kesimpulan secara deduktif, yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan pada fakta-fakta yang bersifat umum. Kemudian selain menggambarkan dan mengungkapkan dasar hukumnya, juga dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang dimaksud.


(42)

BAB II

PENANGANAN PENGUNGSI WARGA NEGARA ASING

DI KOTA MEDAN

A. Sejarah Pengungsi Warga Negara Asing di Indonesia 1. Pengungsi di Pulau Galang

Indonesia secara geografis merupakan kawasan yang strategis bagi jalur lalu lintas pelayaran yang menghubungkan benua Asia, Australia ataupun Amerika yang juga menghubungkan dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Pasifik dan bukan merupakan tujuan utama para pengungsi dari benua Asia. Namun karena letak geografisnya, Indonesia menjadi kawasan persinggahan terutama para pengungsi yang berasal dari daratan Indo-Cina sebelum mereka meneruskan perjalanan ke negara-negara tujuan.

Arus pengungsi Vietnam dimulai sejak jatuhnya ibukota Saigon (Vietnam Selatan) ke tangan Vietnam Utara, pada tanggal 10 Mei 1975, yang setahun kemudian membentuk Republik Sosialis Vietnam (RSV) yang resmi berdiri sejak 2 Juli 1976. Pengungsi Vietnam ini meninggalkan negaranya karena mendapat perlakuan kasar serta intimidasi di negara asalnya. Pengungsi ini meninggalkan Vietnam dengan menggunakan perahu, sehingga mereka disebut manusia perahu.42

42

Sekarang ini baru diketahui tidak kurang satu juta orang Vietnam yang menemui ajal di laut. Jesse Raglmar-Subolmar.,November 30, 1998, dalam http:www…


(43)

Arus pengungsi Vietnam ini terjadi beberapa gelombang dan dalam perjalanannya banyak terdampar di beberapa negara seperti Thailand, Singapura, Malaysia, Philipina, Indonesia dan Hongkong. Diperkirakan melebihi 500.000 orang tersebar di beberapa negara ASEAN dan Hongkong.

Para pengungsi Vietnam ini ditempatkan di sebuah pulau bernama Pulau Galang, sebuah pulau kecil terletak di Kabupaten Kepulauan Riau. sebelah tenggara pulau Batam. Pulau ini memang telah diperuntukan oleh pemerintah Indonesia sejak tahun 1979 sebagai tempat penampungan pengungsi asal Indo-Cina.

Pada bulan Agustus 1979, penghuni pertama telah datang sebanyak 46 orang dan menempati pulau Galang. Kemudian sejalan dengan dibangunnya fasilitas tambahan seperti rumah ibadah, vihara, gereja katholik dan protestan pada bulan September 1979 telah berdiri 140 barak untuk menampung pengungsi Vietnam sejumlah 5.320 orang.

Pada akhir tahun 1979, sebagai penampungan dan tempat pemrosesan para manusia perahu, maka jumlah mereka yang pernah memanfaatkan dan tinggal di Pulau Galang mencapai lebih kurang 121.000 orang. Pada saat itu keseluruhan manusia perahu asal Vietnam tersebut adalah berstatus refugee dan merupakan titipan dari negara tetangga untuk diproses sebelum dikirim ke negara ketiga.

Untuk mengatasi persoalan manusia perahu di Pulau Galang, pemerintah telah melakukan beberapa kebijakan antara lain: Operasi


(44)

Kemanusiaan Galang 1996. Tujuan operasi ini adalah untuk mempercepat pengambalian manusia perahu dari Pulau Galang dan Tanjung Pinang ke Vietnam dan Kamboja. Dalam melaksanakan kegiatan ini pemerintah Indonesia bekerja sama dengan UNHCR.

Perkambangan berikutnya adalah kendala yang dihadapi oleh Pemerintah Indonesia dalam usaha untuk memulangkan kembali manusia perahu ke negara asal mereka. Ada kesan bahwa Negara asal mereka enggan untuk menerima kembali manusia perahu yang mungkin sudah terlanjur dicap sebagai penghianat misalnya mereka golongan keras militer dan polisi dan keterbatasan dana dari UNHCR untuk biaya pemulangan manusia perahu. Disamping masalah administrasi penyelesaiannya yang panjang dan rumit.

Sikap keras manusia perahu menolak untuk dipulangkan pada umumnya disebabkan karena antara lain bagi eks militer dan polisi takut ditangkap dan diperlakukan negatif di negara asal mereka. Ada juga diantara mereka yang khawatir terhadap masa depan mereka mengingat tidak ada lagi harta benda di kampung negara asal sehingga mereka ingin mencari penghidupan lebih baik di luar negeri, adanya isu kesediaan negara ketiga masih mau menampung mereka. Tidak kalah menarik adalah karena para pengungsi Vietnam ini telah terbiasa dan cukup lama (tujuh tahun) menikmati bantuan dari UNHCR dan ada kelompok pengungsi yang telah berhasil di negara ketiga.


(45)

2. Peran Pemerintah Republik Indonesia dalam Penanganan Pengungsi Warga Negara Asing

Permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia adalah sejauhmana keterkaitan Indonesia dalam memberikan bantuan berupa perlindungan, mengingat sampai dengan saat ini Indonesia tidak termasuk negara yang meratifikasi konvensi mengenai status pengungsi tahun 1951 dan protokol mengenai pengungsi tahun 1967. Dengan demikian pemerintah Republik Indonesia relatif tidak banyak terlibat dalam penanganan masalah pengungsi.

Konvensi 1951 tentang status pengungsi (The Convention on The

Status of Refugee) dan Protokol 1967 adalah kerangka hukum internasional

dan garis haluan guna melindungi kaum pengungsi yang proses pengembangannya dimulai pada awal abad ke-20 oleh Liga Bangsa-Bangsa (LBB), badan pendahulu berdirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Prosesi ini mencapai puncaknya pada tanggal 28 Juli 1951, ketika Konferensi Khusus PBB menyetujui disahkannya konvensi sehubungan status pengungsi. Konvensi itu menjabarkan siapa yang disebut pengungsi, jenis perlindungan hukum, bantuan dan hak sosial yang akan diperoleh pengungsi dari negara pihak, kewajiban-kewajiban pengungsi kepada negara penerima serta siapa orang yang tidak memenuhi syarat untuk memperoleh status pengungsi. Misalnya pelaku tindak pidana terhadap perdamaian, penjahat perang, tindak pidana terhadap kemanusiaan, tindak pidana non politis yang serius di luar negara pengungsian dan dinyatakan bersalah atas perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip PBB.


(46)

Pengungsi (refugee)43 adalah orang yang berada di luar negara asalnya atau tempat tinggal aslinya, mempunyai dasar ketakutan yang sah akan diganggu keselamatannya sebagai akibat kesukuan (ras), agama, kewarganegaraan, keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu atau pendapat politik yang dianutnya, serta tidak mampu atau tidak ingin memperoleh perlindungan bagi dirinya dari negara asal tersebut, ataupun kembali ke sana karena mengkhawatirkan keselamatan dirinya. Seseorang yang telah diakui statusnya sebagai pengungsi akan menerima hak-hak dan perlindungan atas hak-haknya itu serta kewajiban-kewajiban yang ditetapkan.

Konvensi 1951 menetapkan hak, kebebasan asasi, kewajiban dan perlindungan terhadap pengungsi dalam 3 (tiga) pasal prinsip utama suaka yang sangat erat kaitannya dengan aspek keimigrasian yaitu :44

Konvensi 1951 Pasal 31. Pengungsi yang berada secara tidak sah di negara pengungsi

a. Negara-negara pihak tidak akan mengenakan hukuman pada para pengungsi, karena masuk atau keberadaannya secara tidak sah, yang datang secara langsung dari wilayah dimana hidup atau kebebasannya terancam dalam arti Pasal 1, masuk ke atau berada di wilayah negara-negara pihak tanpa izin, asalkan mereka segera melaporkan diri kepada instansi-instansi setempat dan menunjukkan alasan yang layak atas masuk atau keberadaan mereka secara tidak sah itu.

43

Lihat Pasal 1 Konvensi 1951 tentang Refugee (Pengungsi) 44

Kantor Regional Komisariat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa Urusan Pengungsi,


(47)

b. Negara-negara pihak tidak akan mengenakan pembatasan-pembatasan terhadap perpindahan penduduk para pengungsi termasuk kecuali pembatasan-pembatasan yang perlu dan pembatasan-pembatasan demikian hanya akan diberlakukan sampai status mereka di negara itu disahkan atau mereka mendapat izin masuk ke negara lain.

Konvensi 1951 Pasal 32. Pengusiran

Negara-negara pihak tidak akan mengusir pengungsi yang berada secara tidak sah di wilayahnya kecuali karena alasan-alasan keamanan nasional atau ketertiban umum.

a. Pengusiran pengungsi demikian hanya akan dilakukan sebagai pelaksanaan suatu keputusan yang dicapai sesuai dengan proses hukum yang semestinya. Kecuali apabila alasan-alasan keamanan nasional yang bersifat memaksa mengharuskan lain, pengungsi itu akan diizinkan, menyampaikan bukti untuk membersihkan dirinya, serta untuk mengajukan banding.

b. Negara-negara pihak akan memberikan kepada pengungsi tersebut jangka waktu yang layak untuk mengupayakan diterima masuknya secara sah ke negara lain dalam jangka waktu yang diberikan itu. Negara-negara pihak mencadangkan haknya untuk menerapkan dalam jangka waktu tersebut tindakan-tindakan internal yang dianggapnya perlu.


(48)

Konvensi 1951 Pasal 33. Larangan pengusiran atau pengembalian (refoulement)

a. Tidak ada negara pihak yang akan mengusir atau mengembalikan (refouler) pengungsi dengan cara apapun ke perbatasan wilayah-wilayah dimana hidup atau kebebasannya akan terancam karena ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau politiknya. b. Namun, keuntungan ketentuan ini tidak boleh diklaim oleh pengungsi

dimana terdapat alasan-alasan yang layak untuk menganggapnya sebagai bahaya terhadap keamanan negara dimana ia berada atau karena telah dijatuhi hukuman oleh putusan yang bersifat final atas tindak pidana sangat berat, ia merupakan bahaya bagi masyarakat itu.

Prinsip perlindungan yang erat kaitannya dengan aspek keimigrasian, misalnya harus diizinkan masuk ke wilayah suatu negara, sekalipun tidak menggunakan dokumen resmi seperti paspor dan visa45 yang tidak dimungkinkan dalam keadaan biasa. Pengungsi juga menikmati kewajiban-kewajiban yang timbul sebagai konsekuensi keikutsertaan sebagai negara pihak. Secara rinci beberapa kewajiban negara pihak sebagai berikut :

a. Hak kebebasan beragama dan akses yang bebas ke pengadilan (Pasal 4 dan 16 ayat 1), klausula ini tidak dapat dijadikan subyek reservasi oleh negara pihak.

45

J.G.Starke, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesembilan, (Jakarta : Aksara Persada Indonesia, 1989), hal.349.


(49)

b. Hak untuk kebebasan bergerak termasuk hak untuk memilih tempat tinggal oleh pengungsi di dalam wilayah negara (Pasal 26).

c. Hak untuk mendapatkan bukti identitas (Pasal 27) dan mendapatkan dokumen perjalanan sekalipun bukan bukti kewarganegaraan (Pasal 28). Negara pihak dianjurkan memberikan dokumen perjalanan, agar pengungsi dapat melakukan perjalanan ke negara lain, untuk studi, mencari pekerjaan, medis atau untuk tujuan menetap (resttlement).

d. Hak-hak lain yang berdampak langsung pada kehidupan kaum pengungsi, seperti hak untuk mendapatkan pekerjaan (Pasal 17, 18 dan 19), hak perumahan (Pasal 21), akses untuk mendapatkan pendidikan formal (Pasal 22), bantuan pemerintah (Pasal 23) dan Peraturan Perburuhan serta Jaminan Sosial (Pasal 24).

e. Kemudahan memperoleh kewarganegaraan oleh pengungsi, baik melalui asimilasi atau pewarganegaraan, baik waktu maupun biaya (Pasal 34). f. Penyatuan keluarga yang terpisah satu sama lain harus difasilitasi dan

dibantu selain diadakan registrasi kelahiran, kematian dan perkawinan. g. Dalam kaitan dengan kewajiban negara pihak, asas timbal balik

(resiprocal) bagi para pengungsi tidak berlaku.

Undang-Undang Keimigrasian dan peraturan-peraturan pelaksanaannya menetapkan prosedur orang masuk dan keluar wilayah Indonesia, keberadaan orang asing secara sah, dan ketentuan-ketentuan baik pidana maupun tindakan administratif terhadap pelanggaran norma-norma


(50)

hukum itu. Orang-orang asing yang masuk atau berada secara tidak sah adalah melanggar hukum yang diancam dengan pidana dan atau denda yang cukup berat. Kebijakan keimigrasian saringan (selective policy) yang dianut saat ini bermakna bahwa hanya orang asing yang bermanfaat, mampu memberikan konstribusi untuk pengembangan ekonomi nasional, sosial, intelektual dan memberikan multi faset nilai tambah untuk Indonesia yang dapat diberikan izin masuk.

Dalam persepsi Peraturan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan yang berlaku, setiap orang yang masuk Indonesia wajib memiliki surat perjalanan dan bila tidak memiliki surat perjalanan dianggap ilegal, sehingga akan diperlakukan sebagai pendatang ilegal dan ditempatkan dalam karantina imigrasi atau imigrasi dapat menolak kedatangan orang asing tersebut. Hal tersebut memang sesuai dengan Undang-Undang No.9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian.

UU No.9 Tahun 1992 Pasal 3, setiap orang yang masuk atau keluar wilayah Indonesia wajib memiliki surat perjalanan.46 Dengan demikian setiap orang asing yang masuk ke Indonesia tanpa memenuhi persyaratan, akan dianggap sebagai orang asing yang memasuki wilayah Indonesia tidak sah yang merupakan subjek penolakan masuk (deny entry). Petugas imigrasi dapat mengeluarkan perintah deportasi (deportation order) kepada orang asing yang

46


(51)

tiba di Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI)47 dengan pesawat terbang atau kapal reguler. Alat angkut berkewajiban untuk membawa kembali setiap orang asing penumpang yang dibawanya dan ditolak masuk oe petugas imigrasi.48 Kemungkinan ini dapat terjadi terhadap pencari suaka dan pengungsi.

UU No.9 Tahun 1992 Pasal 8, pejabat imigrasi di tempat pemeriksaan imigrasi dapat menolak atau tidak memberi izin kepada orang asing untuk masuk ke wilayah Indonesia apabila orang asing tersebut :49

a. Tidak memiliki surat perjalanan yang sah

b. Tidak memiliki visa kecuali yang tidak diwajibkan memiliki visa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a.

c. Penderita gangguan jiwa atau penyakit menular yang membahayakan kesehatan umum.

d. Tidak memiliki izin masuk kembali atau tidak mempunyai izin untuk masuk ke negara lain.

e. Ternyata telah memberi keterangan yang tidak benar dalam memperoleh surat perjalanan dan/atau visa.

47

Lihat Pasal 1 angka 4 UU No.9 Tahun 1992, TPI adalah pelabuhan laut, bandar udara atau tempat-tempat lain yang ditetapkan oleh Menteri Kehakiman dan HAM sebagai tempat setiap orang dapat masuk atau keluar wilayah Indonesia.

48

Lihat Pasal 9 (e) UU No.9 Tahun 1992, tentang Keimigrasian. 49


(52)

Sejalan dengan perkembangan masuknya ide hak asasi manusia ke dalam perangkat hukum nasional sejak tahun 1998, khususnya sejak keluarnya Ketetapan MPR XVII/MPR/1998 yang berisi Piagam HAM, Amandemen UUD 1945 dan UUD No.39 Tahun 1999 tentang HAM, maka sejalan dengan penghormatan HAM terhadap pencari suaka dan pengungsi, Direktur Jenderal Imigrasi telah mengeluarkan surat edaran yang menyatakan bahwa :50

a. Pada prinsipnya petugas imigrasi wajib melakukan penolakan terhadap orang asing yang masuk ke Indonesia tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

b. Orang asing yang menyatakan keinginan untuk mencari suaka pada saat tiba di Indonesia agar tidak dikenakan tindakan keimigrasian berupa deportasi ke wilayah negara yang mengancam kehidupan dan kebebasannya.

c. Bila terdapat orang asing yang diyakini mempunyai indikasi sebagai pencari suaka atau pengungsi, petugas imigrasi agar menghubungi organisasi internasional yang menangani masalah pengungsi atau UNHCR untuk penentuan statusnya.

d. Jika Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) berada jauh dari kantor perwakilan UNHCR, sementara menunggu datangnya pejabat

50

Lihat Surat Edaran Direktur Jenderal Imigrasi No.F.IL.01.10-1297, tanggal 30 September 2002, perihal Penanganan Terhadap Orang Asing yang Menyatakan Diri sebagai Pencari Suaka atau Pengungsi


(53)

UNHCR agar melakukan koordinasi dengan penanggung jawab alat angkut.

e. Orang asing yang telah memperoleh Attestation Letter (perlindungan dari UNHCR sebagai pencari suaka atau pengungsi) agar izin tinggalnya tidak dipermasalahkan.

f. Orang asing yang telah memperoleh status pencari suaka atau pengungsi dari UNHCR yang melakukan pelanggaran hukum agar diselesaikan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia.

g. Sebagai langkah pengawasan agar Kadivim (Kepala Divisi imigrasi) melakukan pencatatan data kualitatif dan kuantitatif guna pengawasan terhadap keberadaan mereka serta melaporkannya secara berkala ke Dirjenim (Direktor Jenderal Imigrasi).

h. Hal yang berkaitan dengan tempat tinggal dan biaya hidup selama proses penelitian pihak kantor imigrasi atau selama orang asing tersebut berada di bawah perlindungan UNHCR tidak menjadi beban kantor imigrasi, Kanwil Dep.Kum dan HAM serta Dirjenim. Surat Edaran tersebut berusaha untuk memberikan sekedar pegangan bagi para pejabat imigrasi pemeriksa di TPI, untuk memberikan perlakuan khusus terhadap orang asing yang mengaku sebagai pencari suaka atau pengungsi, yaitu diberikan kesempatan untuk menghubungi protecting officer dari UNHCR pada saat itu juga untuk dilakukan penelitian awal. Orang asing


(54)

yang diindikasikan sebagai pencari suaka atau pengungsi akan ditangani langsung oleh UNHCR untuk penelitian lanjutan.

Seringkali mereka justru tidak datang melalui TPI atau sudah berada di wilayah Indonesia tanpa diketahui atau datang menggunakan sarana angkutan non reguler seperti kayu. Mereka ditemukan telah berada di suatu tempat, pantai atau pulau di wilayah Indonesia. Dalam kasus seperti ini, maka orang-orang asing yang mengaku sebagai pencari suaka atau pengungsi akan ditapung di gedung karantina imigrasi terdekat atau di tempat lain yang tersedia.

Pejabat imigrasi segera memberitahukan kepada International

Organisation for Migration (IOM) yang akan melakukan penampungan.

Selanjutnya IOM akan melakukan koordinasi dengan Protecting Officer dari UNHCR di Jakarta, yang berkewajiban untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Penanganan tersebut dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi organisasi internasional atas izin Pemerintah Indonesia.51

Selama dalam proses penentuan status pengungsi, seluruh biaya hidup dan akomodasi pencari suaka dan pengungsi tidak menjadi tanggung jawab aparatur keimigrasian, baik di daerah, wilayah maupun pusat, tapi beban UNHCR atau IOM.52

51

Lihat Coorporation Arrangement Between The Government of The Republic of Indonesia

an The International Organization for Migration, (Jakarta, 1999), sebagaimana dikutip Ajat Sudrajat

Havid, Op.Cit, hal.10. 52

Lihat Surat Edaran Dirjen Imigrasi, angka 8, Segala sesuatu yang berkaitan dengan tempat tinggal dan biaya selama dalam penelitian pihak Kantor Imigrasi, atau selama orang asing tersebut


(55)

B. Faktor Penyebab Pengungsi Warga Negara Asing

Arus pengungsian terus terjadi dari tahun ke tahun. Berikut ini akan dijelaskan faktor pendorong dan penarik warga negara asing mengungsi ke Indonesia.53

1. Faktor Pendorong WNA Mengungsi yaitu :

a. Konflik yang berkepanjangan di negara asal terkait dengan aspek politik, keamanan, sukuisme, dll.

b. Keadaan ekonomi dan kampung halaman yang buruk sebagai akibat dari konflik tersebut (keinginan untuk memperoleh kehidupan yg lebih baik).

c. Bujukan dari agen penyelundupan manusia. 2. Faktor Penarik WNA datang ke Indonesia yaitu :

a. Letak geografis Indonesia sangat strategis untuk melintas ke Australia (didukung dengan kelemahan bidang keamanan dan pengawasan perbatasan RI)

b. Tersebarnya info bahwa UNHCR di Indonesia melakukan RSD lebih cepat dari UNHCR di Malaysia (jumlah imigran ilegal berstatus pencari suaka & pengungsi maupun yg telah ditolak & belum terdaftar di Malaysia lebih dari 40 ribu orang, di Indonesia “hanya” ± 2 ribu orang).

berada di bawah perlindungan UNHCR, tidak menjadi beban/tanggungan Kantor Imigrasi atau Kantor Wilayah Departemen Keimigrasian dan HAM, atau Direktorat Jenderal Imigrasi.

53


(56)

c. Kultur Masyarakat Indonesia yang terkesan “dapat menerima” pendatang baru (mayoritas muslim).

C. Pihak-pihak yang Terlibat dalam Penanganan Pengungsi WNA

Berikut ini akan dijelaskan satu persatu pihak-pihak yang terlibat dalam penanganan pengungsian Warga Negara Asing di Indonesia yaitu :

1. Peran UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugee)

Penanganan pengungsi yang masuk ke Indonesia selama ini mengandalkan masalah penanganan pengungsi pada UNHCR.54 Hal ini disebabkan oleh karena Indonesia hingga saat ini belum meratifikasi konvensi mengenai status pengungsi tahun 1951 dan protokol tahun 1967, sehingga pemerintah sama sekali tidak memiliki kewenangan untuk menentukan apakah seseorang atau kelompok orang yang meminta status pengungsi, diakui sebagai pengungsi. Kewenangan tersebut dilakukan oleh UNHCR, tanpa campur tangan pemerintah.

Setiap pendatang yang masuk ke wilayah Indonesia, tentu akan terdeteksi oleh imigrasi. Maka secara umum mereka dikategorikan sebagai irregular

migrant, sampai dengan petugas imigrasi menemukan beberapa pendatang yang

mengaku sebagai refugee. Namun demikian, pemerintah melalui petugas imigrasi, tidak dapat menentukan status mereka sebagai refugee atau bukan. Karenanya

54

UNHCR adalah badan PBB untuk urusan pengungsi (nama lengkapnya adalah Kantor Komisariat Tinggi PBB Urusan Pengungsi)


(57)

mereka akan segera menghubungi UNHCR untuk dapat mewawancarai dan memeriksa latar belakang masuknya pengungsi tersebut ke wilayah Indonesia. Apabila ternyata orang tersebut memenuhi kategori sebagai pengungsi, maka kemudian UNHCR akan membantunya agar dapat diterima oleh negara ketiga. Selama menunggu kabar baik dari negara ketiga, setiap pengungsi memperoleh berbagai kebutuhan dasar dari UNHCR, termasuk tempat tinggal sementara.

Secara legal seolah-olah tidak ada kewajiban bagi Indonesia untuk memenuhi kebutuhan yang ada dalam Konvensi 1951 tentang Pengungsi. Tetapi pada bulan Desember tahun 1950 dengan sesuai resolusi statuta UNHCR 1950 telah diterima oleh Majelis PBB.55

Dalam resolusi tersebut terdapat suatu seruan agar semua negara anggota PBB memberikan kerjasamanya kepada UNHCR dalam pelaksanaan kedua mandatnya, yaitu memberikan perlindungan internasional kepada pengungsi dan mencari solusi permanen bagi masalah pengungsi.

Implementasi dari seruan ini adalah bila ada yang mengaku pengungsi atau pencari suaka masuk ke Indonesia, maka kita melaksanakan resolusi tersebut dengan kerjasama, yaitu dengan cara memberitahukannya kepada UNHCR, sehingga tidak dapat semata-mata dilihat dari sudut pandang keimigrasian. Resolusi yang telah berumur 54 tahun ini dalam prakteknya di lapangan dianut oleh berbagai bangsa. Resolusi ini sudah menjadi hukum kebiasaan internasional sehingga semua negara baik pihak maupun bukan pihak mematuhinya.56

55

Sri Badini Amidjojo,Op.Cit, hal. 40 56


(1)

Peraturan hukum yang digunakan untuk melindungi pengungsi di Indonesia antara lain Undang-Undang Dasar, Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

3. Kendala-kendala yang mempengaruhi efektivitas pendeportasian dalam penanganan pengungsi warga negara asing di Medan adalah :

a. Belum adanya aturan mengenai Deteni dengan kualifikasi pencari suaka atau pengungsi, karena begitu masuk ke dalam Rumah Detensi Imigrasi, mereka segera meminta perlindungan dari organisasi di bawah PBB yaitu UNHCR dengan alasan masalah politik di dalam negeri Deteni.

b. Belum adanya aturan yang mengatur bagaimana langkah Rudenim jika Deteni tanpa kewarganegaraan, karena salah satu unsur terpenting dalam pendeportasian adalah pembuktian kewarganegaraan Deteni.

c. Penolakan deportasi dengan alasan telah mempunyai keluarga di Indonesia, mempunyai bisnis dan lain-lain.

d. Biaya deportasi adalah hal yang penting di dalam usaha pendeportasian, dimana biaya untuk tiket, biaya pengurusan dokumen dan biaya pengawalan. e. Jangka waktu sangat penting mengingat bahwa Rumah Detensi Imigrasi

adalah tempat sementara menunggu proses deportasi berapa lama seorang Deteni dapat berada di Rumah Detensi Imigrasi.

f. Sumber daya manusia adalah salah satunya penguasaan bahasa asing, sehingga dalam negoisasi dengan Deteni atau perwakilan asing asal Deteni dapat berjalan lancar untuk mendapatkan biaya pendeportasian dengan cepat.


(2)

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat diberikan saran sebagai berikut:

1. Pengaturan pencari suaka dan pengungsi selayaknya ditempatkan dalam perundang-undangan keimigrasian, karena masalah pencari suaka dan pengungsi merupakan masalah (status keimigrasian) orang asing yang menyentuh aspek internasional.

2. Penanganan pencari suaka dan pengungsi melibatkan beberapa instansi terkait sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing. Oleh karena itu perlu dibentuk lembaga koordinasi yang keanggotaannya melibatkan beberapa instansi pemerintah seperti : Depdagri, Depsos, Deplu, Imigrasi, Polri dan sebagainya.

3. Meningkatkan kerjasama antar negara dalam penanganan pencari suaka dan pengungsi, terutama negara sumber, negara transit dan negara penerima atau negara tujuan pengungsi sangat diperlukan.

4. Meningkatkan kerjasama juga harus dilakukan dengan organisasi yang menangani kelompok orang-orang yang rentan terhadap pelanggaran HAM, seperti UNHCR, IOM maupun LSM.

5. Pengaturan pencari suaka dan pengungsi selayaknya dilakukan secara komprehensif dalam peraturan perundang-undangan keimigrasian. Pengaturan itu berupa prinsip kemanusiaan dalam penanganan pencari suaka dan pengungsi ke dalam hukum nasional, sehingga akan memudahkan pengendalian dan pengawasan orang asing.


(3)

6. Aparat pemerintah hendaknya memegang teguh amanat yang didasarkan kepada lembaga tinggi negara dan aparatur untuk menghormati, menegakkan, menyebarluaskan HAM, Presiden dan DPR untuk meratifikasi berbagai instrumen HAM sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 dan penghormatan, penegakan, penyebarluasan HAM melalui gerakan kemasyarakatan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Achmad Romsan, Pengantar Hukum Pengungsi Internasional : Hukum Internasional dan Prinsip-prinsip Perlindungan Internasional, Jakarta : UNHCR, 2003

Ajat Sudrajat Havid, Pengungsi Dalam Kerangka Kebijakan Keimigrasian Indonesia Kini Dan Yang Akan Datang, Di kutip Dalam Jurnal Hukum Internasional, Lembaga Pengkajian Internasional, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Vol.2, Jakarta: Universitas Indonesia, 2004

Direktorat Jenderal Imigrasi, Keimigrasian di Wilayah Perbatasan, Jakarta: Direktorat Lintas Batas dan Kerja Sama Luar Negeri, 2007

Enny Soeprapto, Beberapa Aspek Hukum Masalah Pengungsi, Jakarta: UNHCR, 1982

Eugenia Liliawati Muljono, Undang-undang Keimigrasian Besarta Peraturan Pelaksanaannya, Jakarta : Harvarindo, 1999

IOM, Pedoman Operasional Penanganan dan Pengurusan Para Imigran Liar di Indonesia, Bali: IOM, 2008

I. Wayan Parthiana, Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, Bandung: CV. Mandar Maju, 1999

H.A. Mansyhur Effendi, Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional dan Internasional, Malang: Ghalia Indonesia, 1993

Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayu Media Publishing, 2005

M. Imam Santoso, Perspektif Imigrasi Pembangunan Ekonomi dan Ketahanan Nasional, Jakarta : Universitas Indonesia, 2004

Moh. Arif, Komentar Undang-undang Keimigrasian Beserta Peraturan Pemerintah, Jakarta : Pusat Pendidikan dan Latihan Pegawai Departemen Kehakiman, 1997


(5)

_______, Keimigrasian di Indonesia Suatu Pengantar, Jakarta : Pusat Pendidikan dan Latihan Pegawai Departemen Kehakiman, 1997

Paparan Dirjen Imigrasi, Gugus TIM Kordinasi POA Khusus Penanganan Imigrasi Ilegal, Jakarta : 2009

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2005

Ridwan, Metode dan Teknik Menyusun Tesis, Bandung : Bina Cipta, 2004

Rumah Detensi Imigrasi Medan, Rudenim, Departemen Hukum dan HAM RI, Kantor Wilayah Sumatera Utara, Profil 2006

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : Rajawali, 1990

_______________, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Universitas Indonesia, 1984

_______________, Ringkasan Metodologi: Penelitian Hukum Empiris, Jakarta : Indonesia Hilco,1990

Sri Badini Amidjoyo, Perlindungan Hukum Terhadap Pengungsian Berdasarkan Konvensi Jenewa 1951, Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM, RI

UNHCR, Buku Petunjuk Perlindungan Pengungsi, Jakarta : UNHCR, 1989 _______, Melindungi Pengungsi dan Peran UNHCR, Jakarta, 2007-2008

_______, Pengenalan Tentang Perlindungan Internasional, Jakarta : Departemen Perlindungan Internasional UNHCR, 2005

B. Peraturan-Peraturan

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Undang-undang No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian


(6)

Undang-undang No. 39 Tahun 1992 tentang Hak Asasi Manusia Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Tahun 1948

C. Makalah, Jurnal, Internet

http://www.Balitbang.ham/go/id diakses tgl. 2 Juni

http://www.imigrasi.co.id/com/2010 diakses tgl. 4 Juni 2010 http://bukanimigrasi.blogspot.com/2001 diakses tgl. 15 Juni 2010 http://www.unhcr.org/ diakses tgl. 15 Juli 2010