Mantra Pintu Pada Masyarakat Melayu Batu Bara : Suatu Kajian Psikologi Sastra

(1)

MANTRA PINTU PADA MASYARAKAT MELAYU BATU BARA :

SUATU KAJIAN PSIKOLOGI SASTRA

SKRIPSI SARJANA DISUSUN

O L E H

IVY CHRISTANTO SILABAN NIM: 050702009

DEPARTEMEN SASTRA DAERAH

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN SASTRA DAERAH

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA MELAYU

MEDAN


(2)

MANTRA PINTU PADA MASYARAKAT MELAYU BATU BARA :

SUATU KAJIAN PSIKOLOGI SASTRA

SKRIPSI SARJANA DISUSUN

O L E H

IVY CHRISTANTO SILABAN NIM: 050702009

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Yos Rizal. MSP

Nip: 19660617 199203 1002 Nip: 19621122 198703 2001 Dra. Asriaty R. Purba, M.Hum

Skripsi ini dilanjutkan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya USU untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana dalam bidang ilmu Bahasa dan Sastra

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN SASTRA DAERAH


(3)

MEDAN 2011

DISETUJUI OLEH :

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

JURUSAN SASTRA DAERAH Ketua

NIP 19620716 198803 1002

Drs. Warisman Sinaga, M.Hum


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan hormat penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan penyertaan-Nya yang telah menganugerahkan setiap manusia akal dan pikiran untuk mempelajari berbagai ilmu yang telah diciptakan-Nya. Terkhusus atas kemurahan-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana.

Adapun judul skripsi ini adalah Mantra Pintu Pada Masyarakat Melayu Batu Bara : Suatu Kajian Psikologi Sastra.

Penulis membagi skripsi ini atas lima bab. Bab I merupakan pendahuluan, rumusan masalah, tujuan masalah, manfaat penelitian. Bab II kajian pustaka yang membicarakan kepustakaan yang relevan, teori yang digunakan teori struktural dan psikologi sastra.

Bab III merupakan metode penelitian yang meliputi, metode dasar, metode pengumpulan data, lokasi penelitian dan metode analisis data. Bab IV pembahasan yang meliputi struktur pembentukan pada Mantra Pintu, nilai-niai psikologi yang terkandung dalam Mantra Pintu, dan efek psikologi yang terkandung dalam Mantra Pintu. Bab V merupakan kesimpulan dan saran.

Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan baik segi kualitas maupun kuantitas. Hal ini karena keterbatasan yang dimiliki oleh penulis, seperti kata pepatah mengatakan”Tak Ada Gading Yang Tak Retak”. Maka saran-saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak khususnya dari pembaca dengan tangan terbuka penulis sangat mengharapkannya.


(5)

UCAPAN TERIMAKASIH

Segala puji dan hormat penulis hanturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-Nya yang telah memberikan kesehatan dan kekuatan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Dengan penyertaan-Nya selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara Medan, merupakan sinar terang yang tidak pernah habis-habisnya membesarkan hati penulis.

Dalam penulisan skripsi ini tidaklah terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak baik secara materil maupun secara immoral. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada :

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara .

2. Bapak Drs. Warisman Sinaga, M.Hum, selaku Ketua Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. Herlina Ginting, M.Hum selaku Sekretaris Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Sumatera Utara.

4. Bapak Drs. Yos Rizal, MSP, selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan kepada penulis selama mengerjakan skripsi ini.

5. Ibu Dra. Asriaty R. Purba, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II serta Dosen Wali yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis selama perkuliahan serta mengerjakan skripsi ini.


(6)

6. Bapak dan Ibu Dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara , yang telah membimbing penulis dalam perkuliahan di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan dan seluruh staf pegawai yang telah membantu penulis. 7. Bapak dan Ibu Guru dari TK hingga SMA yang telah mengajari penulis dari yang

tidak tahu menjadi tahu.

8. Kedua orangtua penulis, Ayahanda tercinta B.Silaban dan Ibunda tersayang L. Pangaribuan yang terus memberikan cinta kasih yang tiada henti dan setiap doa-doa bagi penulis. Saya akan selalu berusaha untuk membuat kalian bahagia. Dan kepada adik-adikku John Slow Silaban, SH, Elen White Silaban, Esther Silaban, Sunrise Silaban, Elizabeth Silaban, terimakasih buat kasih sayang yang selalu kalian berikan kepadaku, serta kepada keluarga besar penulis, Nantulang, Namboru, Inangtua, Bapauda/ Inanguda dan sepupuku, terimakasih buat setiap dukungan dan cinta kasih yang kalian berikan kepada saya yang tidak ternilai harganya.

9. Bapak Iklas beserta Keluarga, Atok Oka Botol, Bang Budiman, Terimakasih atas kebaikan dan kesudiannya sebagai narasumber.

10. Abang dan Kakak alumni yang telah membantu penulis selama masa perkuliahan, B’ Lizen( makasih ya bang), B’ Risdo, B’Armen, K’ Rosdinar, B’ Utan, dll.

11. Teman-teman stambuk 2005, Neneng, Ema, Laily, Hotma juita Naingolan, Fauzi, Sunarto, Lusi, Hariandi, Eva, Eka, Ellis, Friska, dll, yang telah membantu penulis selama masa perkuliahan. Terimakasih buat setiap waktu yang bisa kita lalui.

12. Sahabat yang sekaligus menjadi saudara penulis di FIB USU, Bob Hendro Sihombing, Irwan Sianturi, Liza, Mustafid, Fakri . Terimakasih untuk segala hal yang bisa kupelajari, dari kalian yang membuat saya semakin dewasa.


(7)

13. Adek-adek junior stambuk, 07, 08, 09, 010, 011, terimakasih ya dek dengan dukungannya.

14. Teman-teman Tim PI PERMATA GBKP Klasis Medan Deli Tua ( Nikolas, K’ Melva, K’ Ivo, Andre, Christin, Lia, Matius, dll), saya bersyukur boleh mengenal kalian dan terimakasih buat pembentukan jiwa bagiku melalui kalian, aku mengasihi kalian.

15. KPB, Tim ASIGANA, dan TAGANA ( Pdt.M.P. Barus, Pdt Simon Tarigan, B’ Robby, B’ Zoel, K’ Hana, Etis, Mora, Juri, Andi, Vera, dll), Makasi buat semuanya ya kawan-kawan, Selamat bertemu di tanggap bencana alam berikutnya.

16. Teman-teman alumni SMA Negeri 1 Balige yang selalu menjadi saudara penulis, Aprita, Juli, Daniel, Christin, Vensi, Naomi, Pandaraman, dan teman-teman yang lain yang lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu- persatu, terimakasih ya atas dukungannya buat saya.

17. Kakak, abang satu kost, yang senantiasa mendukung saya, dalam menyelesaikan skripsi ini.

Atas semua ini penulis tidak dapat membalas budi hanya dengan setulus hati penulis menyerahkan kepada Tuhan Maha Pengasih, semoga Tuhan memberikan balasan atas segala budi baik kalian.


(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

UCAPAN TERIMAKASIH...ii

DAFTAR ISI...V ABSTRAKSI...Viii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………...1

B . Rumusan Masalah….………...….3

C .Tujuan Penelitian…….………...4

D. Manfaat Penelitian...4

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kepustakaan Yang Relevan...6

B. Teori yang Digunakan...7

C. Teori Struktural...8


(9)

BAB III METODE PENELITIAN

A. Metode Dasar ...24

B. Metode Pengumpulan Data...24

C. Lokasi Penelitian dan Instrumen Penelitian...24

D. Metode Analisis Data...25

BAB IV PEMBAHASAN A. Struktur Pembentukan Pada Mantra Pintu 4.1. Analisis fisik...27

4.1.1. Diksi...27

4.1.2. Kata Konret...31

4.1.3. Majas (Gaya Bahasa)...32

4.1.4..Imajinasi...33

4.1.5. Rima...37

4.1.1.6 Ritma...38

4.1.2. Analisis Batin...39

4.1.2.1.Perasaan...39


(10)

4.1.2.3.Nada...44

4.1.24. Amat...45

B. Nilai-Nilai Psikologi Yang Terkandung Dalam Mantra Pintu...47

4.21. Pengamatan...50

4.2.2. Tanggapan...52

4.2.3. Ingatan...53

4.2.4. Fantasi...57

4.2.5. Pikiran...56

C. Efek fsikologi Yang Terkandung Dalam Mantra Pintu...59

4.3.1. Sugesti...59

4.3.2. Perintah...60

4.3.3. Indikai...60

4.3.4.Proyeksi...60


(11)

ABSTRAKSI

Mantra Pintu adalah hasil kesusastraan lama berupa puisi yang tidak tertentu jumlah barisnya. Mantra Pintu tidak boleh diucapkan oleh sembarang orang karena sifatnya sakral. Mantra dapat diartikan sebagai susunan kata yang berunsur puisi yang mengandung kekuatan gaib, yang biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang.

Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah, struktur pembentuk dari mantra pintu tersebut, nilai-nilai yang terkandung dalam mantra pintu dan efek psikologi yang terkandung dalam mantra pintu tersebut. Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode penelitian obsevasi dan metode wawancara dengan melakuakn penelitian di Kabupaten Batu Bara, Kecamatan Medang Deras, tepatnya di Desa Nenas Siam.


(12)

ABSTRAKSI

Mantra Pintu adalah hasil kesusastraan lama berupa puisi yang tidak tertentu jumlah barisnya. Mantra Pintu tidak boleh diucapkan oleh sembarang orang karena sifatnya sakral. Mantra dapat diartikan sebagai susunan kata yang berunsur puisi yang mengandung kekuatan gaib, yang biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang.

Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah, struktur pembentuk dari mantra pintu tersebut, nilai-nilai yang terkandung dalam mantra pintu dan efek psikologi yang terkandung dalam mantra pintu tersebut. Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode penelitian obsevasi dan metode wawancara dengan melakuakn penelitian di Kabupaten Batu Bara, Kecamatan Medang Deras, tepatnya di Desa Nenas Siam.


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Indonesia terdiri dari beranekaragam suku, yang memiliki nilai budaya tersendiri yang dapat membedakan suku yang satu dengan suku yang lainnya. Nilai budaya yang dimaksud adalah nilai budaya yang dipandang sebagai suatu pedoman hidup, yang dianut di tengah-tengah kelompok masyarakat tersebut. Menurut Koentjaraningrat (1981:53),” Unsur kebudayaan itu ada tujuh yaitu: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem teknologi, sistem mata pencarian, sistem religi, dan, sistem kesenian. Sastra memiliki nilai budaya yang tercermin dalam pemberian arti aspek pada berbagai jenis perilaku atau tindakan antar individu maupun golongan secara utuh.

Karya sastra bukan hanya mengungkapkan kenyataan saja melainkan juga nilai yang lebih tinggi dan lebih agung dari sekedar kenyataan-kenyataan hidup. Hanya saja, dengan seiringnya waktu karya-karya sastra banyak terlupakan dan akhirnya hilang. Salah satunya adalah mantra, hilangnya karya sastra tersebut dikarenakan masuknya modernisasi bagi masyarakat.

Begitu pula halnya dengan mantra pintu, merupakan suatu mantra yang patut dikaji, karena di dalam mantra tersebut banyak terkandung nilai-nilai psikologi dan ajaran hidup. Psikologi memasuki beberapa bidang sastra, seperti yang dikemukakan Harjana (1981:60),” yaitu: (1) pembahasan tentang proses penciptaan sastra, (2) pembahasan psikologi terhadap


(14)

pengarang, (3) pembahasan tentang ajaran dan kaidah psikologi yag dapat timpa dari karya sastra, (4) pengaruh karya sastra terhadap pembacanya.”

Mantra bisa diartikan sebagai susunan kata yang berunsur puisi (seperti rima dan irama) yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain (Kamus Besar Bahasa Indonesia:2001). Dalam Sastra Melayu lama, kata lain untuk mantra adalah jampi, serapah, tawar, sembur, cuca, puja, seru dan tangkal. Mantra termasuk gendre sastra lisan yang populer di masyarakat Melayu, sebagaimana pantun dan syair. Hanya saja, penggunaannya eksklusif, karena hanya dituturkan oleh orang tertentu saja, seperti pawang dan bomoh (dukun). Menurut lembaga orang Melayu di Malaysia, pembacaan mantra diyakini dapat menimbulkan kekuatan gaib untuk membantu meraih tujuan-tujuan tertentu. Secara umum, mantra dapat dibagi ke dalam empat jenis berdasarkan tujuan-tujuan pelafalannya, yaitu: (1), mantra untuk pengobatan; (2), mantra untuk pakaian atau pelindung diri; (3), mantra untuk pekerjaan; dan (4), mantra adat- istiadat (Majelis Peperiksaan Malaysia: 2005).

Berdasarkan segi bentuk, mantra sebenarnya lebih sesuai digolongkan ke dalam bentuk puisi bebas, yang tidak terlalu terikat pada aspek baris, irama dan jumlah kata dalam baris.dari segi bahasa, mantra biasanya menggunakan bahasa khusus yang sulit dipahami. Adakalanya, dukun atau pawang sendiri tidak memahami arti sebenarnya mantra yang ia baca; ia hanya memahami kapan mantra tersebut dibaca dan apa tujuannya. Berdasarkan segi penggunaan, mantra sangat eksklusif, tidak boleh dituturkan sembarangan, karena bacaannya dianggap keramat dan tabu. Mantra biasanya diciptakan oleh dukun atau pawang , kemudian diwariskan kepada keturunan, murid ataupun orang yang dianggap akan mengantikan fungsinya sebagai dukun. Kemunculan dan penggunaan mantra ini dalam masyarakat Melayu, berkaitan dengan pola hidup mereka yang sangat dekat dengan alam. Oleh sebab itu, semakin modern pola hidup


(15)

masyarakat Melayu dan semakin jauh mereka dari alam, maka mantra akan semakin tersisihkan dari kehidupan mereka.

Penulis memilih Mantra Pintu Pada Masyarakat Melayu Batu Bara sebagai bahan penelitian, karena sangat menarik untuk diteliti yaitu nilai-nilai psikologi.

B. Rumusan Masalah

Sesuai dengan judul penelitian ini, maka masalah yang akan dibahas adalah

1. Bagaimanakah struktur pembentuk mantra pintu ?.

2. Nilai-nilai psikologi apa yang terkandung dalam mantra pintu pada masyarakat Melayu Batu Bara?.

3. Bagaimana dampak psikologi yang terkandung dalam mantra pintu tersebut kepada masyarakat pemiliknya?.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah merupakan hal yang sangat penting dalam menyusun rencana penelitian. Dengan tujuan akan dapat tercapai sesuai dengan apa yang diinginkan penulis.

Sesuai dengan hal tersebut,tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui struktur pembentuk Mantra Pintu.

2. Untuk mengetahui Nilai-nilai psikologi yang terdapat dalam Mantra Pintu Pada Masyarakat Melayu Batu Bara.


(16)

3. Untuk mengetahui dampak psikologi yang terkandung dalam Mantra Pintu Pada Masyarakat Melayu Batu Bara.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan agar dapat menambah salah satu aspek kajian sastra. Hasil penelitian ini juga bisa dimamfaatkan oleh masyarakat khususnya masyarakat Melayu di daerah Asahan.

Berdasarkan latar belakang dan masalah yang dikemukakan di atas, maka manfaat penelitian ini adalah :

1. Untuk mendokumentasikan mantra tersebut agar terhindar dari kepunahan sehingga dapat diwariskan ke generasi penerus

2. Menambah wawasan tentang nilai-nilai psikologi yang terdapat dalam mantra pintu

3 Memberikan dorongan kepada para peneliti untuk memberikan perhatian dalam penelitian bidang budaya daerah Melayu khususnya budaya Melayu Sumatera Timur. 4 Menunjang program pemerintah dalam upaya dan mengembangkan budaya nasional


(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kepustakaan Yang Relevan

Koenjaraningrat ( 1987 : 3) mengatakan mantra adalah, doa yang merupakan rumus - rumus yang terdiri atas suatu rangkaian kata – kata gaib yang dianggap mengandung kekutan dan kesaktian untuk mencapai secara otomatis apa yang dikehendaki oleh manusia.

Zoetmulder ( dalam Soedjijono, 1987 :5) mengatakan mantra adalah, berupa rumus – rumus regious atau magis, pujian atau doa .Rumus –rumus itu itu mengandung suasana sakral dan mempunyai kesaktian karena isinya, sifat sakral atau kekuasaan magis dari orang yang memakainya dan karena yang dipakai sambil mengucapkannya.

Hooykaas ( 1987 : 7) mengatakan, mantra diucapkan oleh pawang digunakan saat panen, menangkap ikan, berburu mengumpulkan hasil hutan, dan juga digunkan untuk mengusir hantu jahat atau membujuk hantu - hantu yang baik.

Yunus (1981 : 7) mengatakan bahasa mantra bersifat esoterik, yang tidak mudah dipahami, bahkan tidak mempunyai arti, bahkan tidak punya arti nasional. Mantra pada dasarnya menghubungkan manusia dengan dunia yang penuh misteri, dengan cara mengucapkannya.

Waluyo, (1987 : 5) dalam mantra tercermin hakekat sesungguhnya dari puisi, yakni bahwa pengkonsentrasian kekuatan bahasa itu dimaksudkan oleh penciptaannya untuk menimbulkan daya magis atau kekuatan gaib.


(18)

Yunus (1983 : 134 ), menghubungkan semiotik dalam membedakan antara puisi dan mantra. Sebuah puisi adalah “ penunjukan referen dan signified dari kata- katanya yang sudah tentu dipengaruhi oleh proses sintagmais. Sebaliknya mantra adalah keseluruhan yang utuh, yang dirinya sendiri mempunyai signified. Lebih lanjut, Yunus mengungkapkan hakikat mantra, yaitu:

a) Ada bagian rayuan dan perintah

b) Mengunakan expression uni (kesatuan pengucapan).

c) Mementingkan keindahan bunyi atau permainan bunyi.

d) Merupakan suatu yang utuh, yang tidak dapat dipahami melalui pemahaman unsur-unsurnya.

e) Merupakan suatu yang tidak dapat dipahami manusia , karena kemisterisan

f) Ada kecendrungan esoteric dari kata-katanya atau ada hubungan esoteric.

g) Terasa permainan bunyi belaka.

B. Teori yang digunakan

Di dalam penelitian masalah sangat dibutuhkan suatu landasan teori,yaitu landasan yang berupa perenungan terdahulu yang berhubungan dengan masalah dalam penelitian dan bertujuan mencari jawaban secara ilmiah.Teori yang digunakan penulis sebagai acuan adalah teori struktural dan teori psikologi sastra.


(19)

Menurut Reeves (1987:22): ” Struktur fisik dan struktur batin puisi juga padat, keduanya keduanya bersenyawa secara padu bagaikan telur dalam adonan roti”.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam mengkaji sebuah puisi tidak akan lengkap bila hanya struktur fisiknya saja yang dikaji. Dalam pengkajian mantra pintu ini keduanya dilakukan yaitu stuktur fisik dan struktur batin.

I.A.Richars ( 1987:24) menyebutkan: “adanya hakekat puisi untuk mengganti bentuk batin atau bentuk isi puisi dan metode puisi untuk mengganti bentuk fisik puisi. Diperinci pula bentuk batin yang meliputi perasaan (feeling), tema, sensei, nada, (tone), dan amanat (intention).

Sedangkan bentuk fisik atau metode puisi terdiri atas diksi (diction)

Kata kongkret (to the concrete word), majas atau bahasa figurativ ( figurative language) dan bunyi yang menghasil rima, dan ritim (rhxme dan rhyim)”.

A. Diksi (pilihan kata).

Waluyo (1987:72), mengatakan diksi ialah pemilihan kata berdasarkan makna yang akan disampaikan dilatar belakangi oleh faktor sosial budaya penyair. Di mana penyair mengekspresikan karyanya dalam bentuk puisi, maka dia bebas dalam memilih kata-kata tanpa terdikotomi dan terjajah. Kebebasan ini penting demi menjaga keeksistensian penyair dalam menciptakan atau mewujudkan maupun menyampaikan pesan dari ide tersebut.

B.Imajinasi

Waluyo (1978:78), mengatakan pengimajinasian ialah kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan.

Imajinasi merupakan sebagai intuisi, angan, daya khayal yang sifatnya abstrak sehingga hanya dapat diketahui wujud kongkretnya oleh orang-orang yang memahaminya. Lebih lanjut Waluyo mengatakan bahwa ada delapan citraan yang terdapat dalam imajinasi, yaitu :


(20)

1.Imajinasi penglihatan (visual), yaitu pembaca seperti melihat sendiri apa yang dikemukakan atau apa yang diceritakan oleh si penyair.

2. Imajinasi pendengaran (auditori), yaitu sipembaca mendengar sendiri apa yang dikemukakan si penyair.

1. Imajinasi artikulatori, yaitu imajinasi yang menyebabkan pembaca mendengarkan bunyi-bunyi dengan artikulasi-artikulasi tertentu pada bagian mulut, sewaktu kita membaca sajak atau puisi, seakan-akan kita melihat gerakan-gerakan lembut mulut yang membunyikan sehingga bagian-bagian mulut kita dengan sendirinya mengikutinya.

2. Imajinasi penciuman (olfatory), yaitu pembaca atau pendengar ketika bersentuhan dengan sajak tersebut seperti mencium bau sesuatu.

3. Imajinasi pencicipan (gultory), yaitu dengan membaca atau mendengar kata-kata atau kalimat tertentu, kita seperti mencicipi sesuatu benda yang menimbulkan rasa.

4. Imajinasi rasa kulit (tachtual), yaitu yang menyebabkan kita seperti merasakan di bagian kulit kita.

5. Imajinasi gerakan tubuh (kinaestetik), yaitu dengan membaca atau mendengar kata-kata atau kalimat-kalimat dalam puisi melalui gerakan tubuh atau otot yang menyebabkan kita merasakan atau melihat gerakan badan atau otot itu.

6. Imajinasi organik, yaitu imajinasi badan yang menyebabkan kita dapat melihat atau merasakan badan yang lesu, lapar, lemas, dan sebagainya.

C. Kata-Kata Konkrit

Kata konkrit adalah kata-kata yang dilihat secara denotatif sama tapi secara konotatif tidak sama menurut situasi pemakaiannya. Dalam hal ini penyair memilih kata kata yang konkrit untuk melukiskan atau menyatakan sesuatu dengan setepat-tepatnya dengan secermat-cermatnya (Situmorang, 1987:22).


(21)

Kata konkrit ini sangat berkaitan dengan diksi dan imajinasi. Diksi yang tepat dapat menimbulkan imajinasi dalam diri pembaca, sedangkan untuk menimbulkan imajinasi yang bebar-benar jelas kepada pembaca diperlukan kata-kata yang konkrit. Selain itu, kata-kata konkrit ini berkaitan dengan kiasan dan perlambangan. Artinya, dengan menggunakan simbolik,dengan kiasan dapat pula digunakan sebagai sarana untuk mengkongkritkan hal-hal yang abstrak.

D. Gaya Bahasa

Setiap penyair selalu menggunakan gaya bahasa dalam menuangkan buah pikirannya. Selain sebagai media estetis, gaya bahasa juga dipergunakan penyair sebagai cirri khas yang merupakan gambaran dari kejiwaannya. Hal ini senada dengan pendapat (Keraf 1991:113), bahwa gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran secara khas yang memperhatikan jiwa sastra kepribadian penyair. Artinya , gaya bahasa yang digunakan oleh seorang penyair merupakan refleksi dari pikiran dan jiwanya dalam membuat sebuah karya sastra.

Sehubungan dengan hal di atas, gaya bahasa juga digunakan penyair untuk menyatakan sesuatu makna dengan cara yang tidak biasa atau bermakna kias, seperti yang dinyatakan (Waluyo 1987:57) bahwa,”…Gaya bahasa adalah yang digunakan untuk menyatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, secara tidak langsung mengungkapkan makna kata atau bahasanya bermakna kias atau lambang”.

Ada beberapa macam gaya bahasa atau majas, di antaranya adalah:

1. Metafora, yaitu, kiasan langsung di mana benda yang dikiaskan untuk tidak disebutkan.

2. Perbandingan, yaitu, kiasan tidak langsung disebut perbandingan atau simile, karena benda yang di kiaskan keduanya ada bersama pengiasannya dan digunakan kata-kata perbandingan yaitu membandingkan sesuatu benda dengan benda lain.


(22)

3. Personifikasi adalah keadaan atau peristiwa alam sering dikiaskan sebagai keadaan atau peristiwa yang dialami manusia. Dalam hal ini benda mati dianggap sebagai manusia atau persona atau di personifikasikan. Hal ini untuk memperjelas penggambaran peristiwa dan keadaan itu.

4. Hiperbola adalah kiasan yang berlebih-lebihan. Penyair merasa melebih-lebihkan hal yang dibandingkan itu agar mendapat perhatian yang lebih seksama dari pembaca.

5. Sinekdoce adalah menyebutkan sebagian untuk maksud keseluruhan atau menyebutkan keseluruhan untuk maksud sebagian.

6. Ironi adalah kata-kata yang bersifat berlawanan untuk memberikan sindiran. Ironi dapat berubah menjadi Sinisme dan Sarkasme yaitu penggunaan kata-kata yang keras dan kasar untuk menyindir dan mengkritik.

Struktur batin Puisi meliputi: A.Tema

Menurut Waluyo (1987:106) tema merupakan gagasan pokok atau subjek matter yang dikemukakan oleh penyair. Tema adalah ide dasar dari suatu puisi yang menjadi inti dari keseluruhan dalam suatu puisi (Aminuddin, 1987:151). Di dalam menulis puisi baik itu puisi percintaan, puisi agama, puisi rakyat, dan lain-lain, kita harus mempunyai landasan pokok atau landasan utama dalam membuat puisi. Karena, tanpa landasan yang kuat, sulit bagi seseorang untuk menulis puisi sesuai dengan apa yang diinginkannya. Dengan kata lain orang harus mempunyai tema dalam membuat puisi, karena tema merupakan gagasan pokok yang


(23)

dikemukakan penyair. Pokok pikiran itu begitu kuat mendesak dalam jiwa penyair, sehingga menjadi landasan utama pengucapannya.

B. Nada

Nada merupakan salah satu unsur pembangun puisi. Nada ini juga menempati unsur yang penting dalam penulisan sebuah puisi sebab nada menyangkut masalah sikap penyair kepada pembaca. Nada yang ditampilkan dalam puisi biasanya dapat kita tangkap secara tersirat. C. Amanat

Dalam puisi adalah gagasan yang mendasari lahirnya sebuah karya atau dapat juga berarti pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar. Setiap orang yang mengerjakan sesuatu selalu mempunyai tujuan, walaupun tujuan itu kadang tidak disadari, tetapi jelas bahwa tujuan itu tetap ada. Sadar atau tidak, pasti tujuan itu ada walaupun ruang lingkup lingkungannya kecil atau sebaliknya. Amanat ini juga selalu tergantung pada pandangan dan keyakinan yang dianut oleh penyair serta berupa falsafah hidup, ideologi, hakekat hidup, sikap, dan lain-lain dari seorang penyair.

2. Teori Psikologi Sastra

Kata Psikologi berasal dari bahasa Yunani yakni Psyche dan logos. Psyche artinya jiwa dan logos artinya ilmu pengetahuan. Menurut Kartono (1996 : 13) “Psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang tingkah laku dan kehidupan psikis/jiwa manusia”. Secara etimologi (menurut arti kata) psikologi artinya ilmu yang mempelajari tentang jiwa, baik mengenai macam-macam gejalanya, prosesnya, maupun latar belakangnya, dengan singkat disebut ilmu jiwa (Ahmadi,1998:1). Sedangkan menurut Gleitman (dalam Syah, 1995:8), “Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang berusaha


(24)

memahami perilaku manusia, alasan dan cara mereka melakukan sesuatu, dan juga memahami bagaimana mahluk tersebut berpikir dan berperasaan”.

Menurut Endraswara (2008:93), psikologi adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang objek studinya adalah manusia karena psyche atau psycho mengandung pengertian jiwa. Dengan demikian, psikologi mengandung makna “Ilmu pengetahuan tentang jiwa” (Walgito 1985:7). Dimensi jiwa hanya ada dalam diri manusia. Ini berarti bahwa segala aktivitas dalam diri manusia berpusat dari dimensi jiwa tersebut. Masalahnya adalah dimensi jiwa yang bagaimana dalam diri manusia tersebut? Apakah jiwa dalam konteks motif, inteligensi, perasaan, fantasia atau jiwa dalm konteks kekuatan atau energi yang terdapat dalam diri manusia sehingga manusia mempunyai kekuatan untuk mempertahankan hidup, berpikir, berperasaan, dan berkehendak.

Berdasarkan beberapa defenisi tentang psikologi maka dapat ditarik kesimpulan bahwa psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kejiwaan dan tingkah laku seseorang sehingga member pengaruh yang baik dan buruk terhadap lingkungan sekitarnya.

Dalam analisis psikologis terhadap mantra pintu penulis menggunakan teori psikoanalisis Freud yaitu membedakan psikologi manusia menjadi tiga macam yaitu : Id, Ego dan Super Ego. Ketiga ranah psikologi ini menjadi dasar pijakan penelitian psikologi sastra.

Teori Freud tidak terbatas untuk membahas asal-usul kreatif yang menunjukkan hubungan antara ilmu kedokteran dan sastra. Misalnya, dalam menghadapi seorang pasien untuk mengobati penyakitnya, seorang psikolog melakukan dengan cara berdialog sehingga terungkap depresi mentalnya, yaitu melalui pernyataan-pernyataan ketaksadaran bahasanya. Bahasa inilah dianalisis sehingga menghasilkan kesimpulan dalam pengobatannya, Hal yang sama juga dilakukan terhadap karya sastra.


(25)

Bahasa dalam sastra terdapat bingkisan makna psikis yang dalam. Maka, dalam memahami bahasa estetis menggunakan psikoanalisis. Teori Freud biasa dimanfaatkan untuk mengungkapkan kekhasan bahasa yang digunakan oleh pengarang. Pada kenyataannya yang sangat dominan untuk diteliti adalah mantra, tetapi perlu disadari bahwa keseluruhan unsur disajikan melalui bahasa. Bagaimana mantra, gaya bahasa , dan unsur-unsur lain yang muncul secara berulang-ulang, jelas menunjukkan ketak -sadaran bahasa dan memiliki arti secara khas. Pandangan Freud, asas psikologis adalah alam bawah sadar, yang disadari secara samar-samar oleh individu yang bersangkutan. Menurutnya, ketaksadaran justru merupakan bagian yang paling besar dan paling aktif dalam diri setiap orang.

Tujuan dari psikologi sastra adalah untuk memahami karya sastra yang memahami aspek-aspek kejiwaan di dalamnya. Pemahaman terhada karya sastra tidaklah secara langsung diberikan kepada pembaca tetapi melalui pemahaman terhadap mantra yang ada dalam suatu karya sastra, pembaca dapat memahami perubahan, kontradiksi, dan penyimpangan, penyimpangan lain yang terjadi dalam mantra tersebut, khususnya dalam kaitannya dengan masalah kejiwaan.

Menurut Ratna (2004:343), “ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk memahami hubungan antara psikologi dengan sastra, yaitu:

a). Memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis,

b). Memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional dalam karya sastra,

c). Memahami unsur -unsur kejiwaan pembaca.

Menurut Jung (Ratna, 2004: 347) dalam tesisnya berpendapat bahwa, manusia terdiri atas dua lapisan ketaksadaran, Yaitu ;


(26)

a. Ketaksadaran Personal dan,

b. Ketakasadaran Kolektif.

Isi ketaksadaran personal diterima melalui pengalaman kehidupan seseorang, sebagai material ontogenesis, sedangkan ketaksadaran kolektif diterima secara universal dan essential melalui species, sebagai pola-pola behavioral yang dikondisikan secara rasial sebagai materi filogenesis. Bentuk ketaksadaran kolektif juga disebut arketipe, yang pada umumnya disamakan dengan primordial.

Hal ini berbeda dengan klasifikasi penelitian psikosastra yang dikemukakan oleh Wellek dan Warren (Ratna, 2004, : 348), membedakannya menjadi :

a. Psikologi sastra melalui analisis dunia kepengarangan b. Psikologi sastra analisis tokoh-tokoh dan penokohan c. Psikologi sastra dalam kaitannya dengan citra arketipe.

Cara yang pertama disebut sebagai kritik ekspresif sebab melukiskan pengarang sebagai subjek individual. Cara yang kedua, disebut sebagai kritik objektif dengan memusatkan perhatian kepada mantra, sebagai perwujudan karakterologi dan karakterisasi. Cara yang ketiga, disebut sebagai kritik arketipe sebab analisis dipusatkan kepada eksistensi ketaksadaran kolektif.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya psikologi sastra memberi perhatian pada cara yang kedua yaitu pembicaraan dalam kaitannya dengan unsur-unsur kejiwaan mantra fiksional yang terkandung dalam karya sastra atau disebut juga sebagai kritik objektif. Sebagai dunia dalam kata karya sastra memasukkan berbagai aspek kehidupan ke dalamnya, khususnya manusia. Dalam hal ini Ratna (2004, : 343) berpendapat bahwa, “Pada umumnya aspek-aspek kemanusiaan inilah yang merupakan objek utama psikologi sastra karena dalam diri manusia, sebagai


(27)

pengarang, aspek kemanusiaan di cangkokkan dan diinvestasikan”. Dalam analis, pada umumnya yang menjadi tujuan adalah psikologi dari mantra, yang salah satunya adalah mantra pintu.

Secara defenitif psikologi sastra adalah studi mengenai karya sastra dengan relevansinya kejiwaan manusia. Dengan melihat kajian penelitiannya, psikologisastra dibagi menjadi tiga macam yaitu:

a. Psikologi Pengarang

b. Psikologi pembaca c. Psikologi penokohan.

Kualitas suatu karya sastra dapat dilihat dari pengarangnya, bagaimana kejiwaan pengarang tersebut ketika menciptakan mantra dalam karyanya sehingga mantra lebih menarik dan mudah dicermati pembaca. Menurut Wright (Endraswara, 2008 :141), “Yang perlu dikaji dalam kaitannya tentang pengarang adalah mencermati sastra sebagai analog fantasi percobaan simtom penulis tertentu dan selanjutnya dapat memahami seberapa jauh fantasi bergulir dalam sastra”.

Menurut Endraswara(2008 :145) ”Sastrawan dapat dibagi dalam dua tipe psikologis yaitu:

a. Sastrawan yang “Kesurupan”(possesed) yang penuh emosi,menulis dengan spontan dan yang meramal masa depan, dan

b. Sastrawan “Pengrajin” (maker), yang penuh ketrampilan, terlatih, dan bekerja dengan serius dan penuh tanggungjawab.

Biasanya sastrawan yang memiliki tipologi “kesurupan” membuat suatu karya sastra yang sangat menarik karena pengarangnya memprioritaskan kualitas daripada kuantitasnya. Misalnya, karya Habiburrahman dalam novelnya ayat-ayat cinta. Meski tergolong sebagai sastrawan baru dan karyanya hanya sekali-kali keluar tetapi penjualannya dikategorikan sebagai Best seller hingga ke manca negara.


(28)

Begitu pula sastrawan “pengrajin”, tampaknya sekedar mementingkan produktivitasnya, bukan kualitasnya. Misalnya, pengarang yang mengikuti arah pengrajin menurut Endraswara yaitu A.Y. Suharyono. Kira-kira pada tahun 2000-an, banyak bertaburan karyanya di media massa, seakan kualitas dinomor duakan.

Selain dalam konteks pembaca akan berpengaruh cepat dan lambat. Pengaruh cepat merupakan daya keras yang secara spontan sehingga pembaca berubah sikap dan wataknya. Mungkin pula pembaca akan meniru tiba-tiba pembaca secara drastis harus mengubah sikap dan wataknya hingga orang di sekitarnya terperajat. Penerimaan sastra oleh pembaca bisa berbeda-beda tafsirnya. Dalam sastra ada beberapa gejala psikologis yang bisa memunculkan persepsi lain. Perbedaan inilah yang menuntut kebebasan tafsir yang beragam dan akan memperkaya pesan. Pembaca memang bebas sebagai penafsir, namun menurut Iser (Endraswara, 2008 : 161), yang paling esensial adalah bukan hanya mampu meneliti teks sastra sebagai refleksi kesadaran saja, melainkan sampai ketaksadaran”. Dalam hal ini perbedaan persepsi terhadap wacana sastra justru akan memperkaya nilai sastra karena semakin menyebar nilai keragaman makna, sastra tersebut dipandang lebih bagus.

Mantra dalam suatu karya sastra adalah ungkapan yang dikenai dan sekaligus mengenai tindakan psikologis. Penelitian terhadap mantra merupakan bagian dari aspek intrinsik (struktur) sastra. Namun penelitian mantra yang bernuansa psikis akan berpijak pada psikologi sastra yang dipelajari dalam psikologi mantra adalah bagaimana kejiwaan yang ada dalam mantra sehingga terjadi suatu penyimpangan atau konflik antar masyarakatnya. Dalam analisis pada umumnya yang menjadi tujuan adalah pembuat mantra.

Hal ini seperti pernyataan Wright (Endraswara, 2008 : 184) bahwa, “Untuk mengungkap unsur-unsur psikologis dalam karya sastra, diperlukan bantuan teori-teori psikologi”. Untuk itu teori


(29)

psikoanalisis dianggap dapat disesuaikan dengan hal yang akan digali dari mantra pintu dominan biasanya yang menjadi tumpuan dalam mantra.

C. Hubungan Teori Freud (Id, Ego, Super Ego) Dengan Sastra.

Psikologi sastra yang digunakan dalam penelitian ini adalah psikologi yang difokuskan kepada mantra . Psikologi sastra mempelajari tentang aspek kejiwaan yang terkandung dalam mantra pintu. Melalui pendekatan objektif, penulis akan memakai teori psikoanalisis Freud. Dalam memahami teori psikoanalisis yang saling berhubungan dan menimbulkan ketegangan antara satu sama lain. Freud menciptakan tiga system konflik dasar tersebut yaitu: id, ego,dan Super ego. Id bekerja berdasarkan prinsip kesenangan, mencari pemuasan segera impuls biologis; ego mematuhi prinsip realita menunda pemuasan sampai bisa dicapai dengan cara yang bisa diterima masyarakat dan super ego (hati nurani, suara hati) memiliki standar moral pada individu (Sobur, 2003 : 305)

Id merupakan prinsip dasar pemikiran manusia ketika akan melakukan suatu kegiatan atau efektivitas. Di sini Id berperan degan menggunakan prinsip kesenangan tanpa memikirkan akibat yang terjadi jika melakukan perbuatan tersebut. Ego adalah sebagai penyeimbang antara Id dengan Super Ego. Menurut Fudyartanta (2005 : 84), ego diibaratkan sebagai bola sepak, yang disepak bolak-balik oleh pemainnya, baik teman maupun lawan. Demikian pula dengan ego diterpa oleh tuntutan-tuntutan luar dan masyarakat di suatu pihak dan pihak lain. Oleh tuntutan-tuntutan batin dari ketidaksadaran kolektif. Di sini ego bisa dikatakan sebagai penunda sebelum melakukan suatu aktivitas atau kegiatan sampai perbuatan itu bisa diterima oleh masyarakat. Sedangkan Super Ego merupakan kegiatan yang baik atau positf dan dapat diterima oleh masyarakat. Dalam analisis ini akan dilihat apakah kejiwaan yang terkandung dalam mantra pintu memiliki peran yang berkaitan id, ego, dan super ego.


(30)

Disadari atau tidak dunia penelitian psikologi sastra awal adalah teori Freud (Id,Ego, dan Super Ego). Tetapi dia tidak seharusnya dikatakan sebagai pencetus teori. Hal ini dibuktikan adanya teori lain dalam penelitian psikologi sastra. Misalnya, teori Getstalt dengan besastra model Trial and Error, teori Skinner dengan Psikologi behaviour teori Colridge dengan teori Psikologi Sastra dan Organisme.

Dalam teori Gestalt, ia mengembangkan ilusi dan peragaan untuk menunjukkan bahwa persepsi manusia bersifat subjektif dan cenderung holistik. Gestalt mencatat bahwa sinar-sinar berkekuatan tinggi kerangka, kontras, dan teknik ilustrasi lain, dapat digunakan untuk membuat rangsangan kejiwaannya. sedangkan dalam teori skinner mengemukakan dalam pendekatan Behavioural berpijak pada anggapan bahwa kepribadian manusia adalah hasil bentukan dari lingkungan tempat ia berada. Hal ini dikarenakan adanya Respond an stimulus. Dalam teori Coleridge dijelaskan bahwa jiwa manusia organism dan sastra, berhubungan sangat dekat. Ada hubungan Asosiatif yang memancarkan keindahan tertentu. Melalui asumsi bahwa sastra juga hidup seperti organisme, jiwa pun demikian. Jiwa dalam sastra tentu saja tak jauh berbeda dengan kehidupan organism, Secara natural, organism butuh hidup, butuh ruang, butuh iklim, butuh berkembang dan sastra pun begitu.

Dalam menggunakan teori Freud dalam konteks analisis sastra khususnya dalam mengkaji

mantra pintu pada masyarakat Melayu Batu Bara, penulis pertama sekali membaca dengan cermat teks mantra pintu dan kemudian melakukan penafsiran terhadap mantra yang mengenai aspek kejiwaan.

Analisis psikologis yang memiliki hubungan dengan ilmu lain sangat diperlukan pada saat tingkat peradaban mencapai kemajuan, yaitu ketika manusia kehilangan pengendalian psikologis. Sebagian dari kemajuan teknologi mengandung aspek-aspek negatif, hal ini dibuktikan dengan keseluruhan harapan ditumpukan kepada kecanggihan teknologi pada mesin dengan berbagai mekanismenya. Menurut Ratna (2004 : 342), di samping teknologi dengan berbagai akibat sampingannya, lingkungan


(31)

hidup merupakan salah satu sebab utama terjadinya gangguan psikologi. Oleh sebab itu, psikologi khususnya psikologi analisis, diharapkan mampu untuk menemukan aspek-aspek ketaksadaran yang diduga merupakan sumber-sumber penyimpangan psikologis dan mencari solusinya.

Menurut Siswantoro (Endraswara, 2008 : 180), “Secara kategori, sastra berbeda dengan psikologi sebab sebagaimana sudah kita pahami sastra berhubungan dengan dunia fiksi, drama, puisi, essay, yang diklasifikasikan ke dalam seni (art), sedangkan psikologi merajuk kepada studi ilmiah tentang perilaku manusia. Pemahaman ini memberikan pemahaman luas bahwa penelitian sastra membutuhkan cara pandang psikologi sastra.

Setiap manusia pada umumnya memiliki ketidakmampuan dalam menghadapi masalah. Sehingga permasalahan inilah yang menimbulkan perasaan ketakutan, histeris, traumatik. Manusia yang tidak dapat mendidik dirinya sendiri dalam menghadapi realitas, kesendirian, dan ketidakbedaanya akan menghadapi tekanan mental, stress, frustasi, takut, curiga, was-was dan sebagainya. Dengan kata lain, ,manusia yang terganggu fungsi kehidupannya sehari-hari karena mengalami penderitaan, seperti pikiran-pikiran obsesi, paranoid, histeria, kegilaan atau neurosis. Kondisi demikianlah yang kemudian melahirkan psikoanalisis.

Psikologi sebagai ilmu yang menerima atau mempelajari keadaan manusia, sudah barang tentu mempunyai hubungan dengan ilmu-ilmu lain yang sama-sama mempelajari tentang keadaan manusia, termasuk hubungannya dengan sastra. Hubungan antara psikologi dan sastra merupakan hubungan yang sangat erat sekali.

Hal ini dapat kita lihat dari pendapat para tokoh sastra maupun psikologi. Menurut Semi (1989 : 48), “Pemanfaatan teori ini dalam sastra dilakukan oleh kebanyakan pengarang, dengan mengambil pertimbangan dalam pengkajian sifat dan pribadi seseorang”. Sastra sebagai “Gejala kejiwaan”, di


(32)

dalamnya terkandung fenomena-fenomena kejiwaan yang dampak lewat prilaku (Endraswara, 2008 : 87).

Sedangkan Ratna (2004 : 7) mengatakan “Masalah yang perlu dipertimbangkan adalah adanya teori utama sebagai payung yang kemudian dibantu oleh teori-teori lain yang relevan. Lebih-lebih dalam penelitian multi disiplin, seperti sosiologi sastra, dan antropologi sastra, khususnya gabungan beberapa disiplin yang berbeda, menggunakan beberapa teori justru sangat diperlukan”.

Dari pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa hubungan sastra dengan psikologi sangatlah dekat, meskipun disiplin ilmunya berbeda tetapi saling mendukung dan saling melengkapi. Melalui imajinasi pengarangnya, karya sastra yang diciptakan dapat membangkitkan perasaan tertentu bagi pembacanya. Dengan adanya kaitan yang erat antara aspek psikologis dengan unsur mantra, maka karya sastra yang relevan untuk dianalisis secara psikologis adalah karya-karya yang memberikan intensitas pada aspek kejiwaan. Salah satu karya yang tepat untuk di analisis psikologinya adalah

mantra pintu pada masyarakat Melayu Batu Bara.

Jika dikaitkan dengan aspek analisis teks sastra, beberapa kategori yang dapat dipakai sebagai landasan pendekatan psikoanalisis sebagaimana dikemukakan Norman H. Holland (Fananie, 2001 : 181) adalah sebagai berikut :

a. Histeri, manic,dan schizophrenic

b. Freud dan pengikutnya menambah dengan tipe perilaku biram, seperti anal, phallic,oral,genital dan uretera.

c. Ego-psikologi. Yaitu cara-cara yang dipakai untuk memenuhi kebutuhan internal dan eksternal yang bisa sama dan juga berbeda untuk tiap-tiap individu.


(33)

Maksud dari kategori tersebut dalam konteks sastra adalah apakah karakter pelaku dan permasalahan-permasalahan yang mendasari mantra melibatkan unsur-unsur di atas. Darisinilah dapat diketahui fenomena apa yang melatarbelakangi munculnya faktor-faktor kejiwaan dalam diri manusia.

Aminuddin (Endraswara, 2008 : 17) menjelaskan bahwa, “Fenomenologi adalah pengertian dan penjelasan dari realitas harus dibuahkan dari gejala realitas itu sendiri”. Fenomena manusia dalam sastra pun demikian halnya. Manusia yang ada dalam kenyataan dan manusa imajinatif tetap memiliki kedudukan sama penting. Keduanya tergantung realitas yang membangun makna. Oleh karena itu jiwa manusiapun memiliki realitas tersendiri dalam sastra.

Banyak faktor yang menentukan proses berfikir dan sikap yang diambil seseorang dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Faktor inilah yang akan jadi penentu apakah manusia akan mengarungi hidupnya dengan mulus atau sebaliknya. Oleh karena itu, Erich From (Fananie, 2001 : 180) berpendapat bahwa “Psikoanalisis mengkaji apakah system berfikir bersifat ekspresif bagi perasaan yang ia tampilkan atau hanya merupakan sebuah rasionalisasi yang tersembunyi di balik sikap-sikapnya”.


(34)

BAB III

METODE PENELITIAN

Di dalam penelitian ini digunakan suatu metode yang bertujuan agar penelitian yang dilakukan tersusun secara sistematis. Metode adalah cara berpikir menurut aturan tertentu dan sistem tertentu ( Sudarto, 1966:41). Dalam metode ini digunakan metode deskriptif.

A. Metode Dasar

Metode dasar adalah metode yang digunakan dalam hal proses pengumpulan data, sampai tahap analisa dengan mengaflikasikan pada pokok permasalahan untuk mendapatkan sesuatu hasil yang baik, sesuai dengan apa yang diharapkan (Simanjuntak, 2007 : 10).

Metode dasar yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif adalah pemecahan masalah yang akan diteliti dengan menggambarkan atau menuliskan keadaan subjek atau dapat diartikan sebagai objek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya ( Nanawi, 1987:63).

Dalam metode deskriptif dilakukan pengamatan data pada waktu tertentu, selanjutnya memilih data yang akan diambil menjadi bahan dan menguraikan datanya, setelah itu menarik kesimpulan. Secara harfiah, penulisan deskripttif adalah penelitian yang dimaksud untuk membuat pengambaran (deskripsi) mengenai situasi atau kejadian yang ada. Pada penelitian ini, penulis mendeskripsikan nilai-nilai psikologi yang terkandung dalam mantra pintu pada masyarakat Melayu Batu Bara.


(35)

B. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut:

1. Metode Observasi

Metode observasi adalah suatu metode, di mana langsung ke lapangan melakukan pengamatan terhadap objek penelitian.

2. Metode Wawancara

Metode wawancara adalah suatu metode di mana penulis melakukan wawancara terhadap informan yang dianggap dapat memberikan informasi atau data-data tentang objek yang akan diteliti. Dan peneliti mengunakan dua macam teknik, yaitu:

a.Teknik rekam, yaitu merupakan suatu teknik merekam suatu data yang menggunakan alat tape rekorder dan media alat rekam lainnya.

b. Teknik catat, yaitu mencatat semua keterangan yang diperoleh dari informan.

C. Lokasi Penelitian Data dan Instumen Penelitian

Lokasi penelitian yang dijadikan daerah penelitian adalah, di Kabupaten Batu Bara, Kecamatan Medang Deras, tepatnya di Desa Nenas Siam. Di Kabupaten ini lah, penulis dapat memperoleh keterangan tentang Nilai-Nilai Psikologis Yang Terkandung dalam Mantra Pintu.


(36)

Bahkan sampai sekarang mantra tersebut, masih sering diperbincangkan masyarakat Melayu yang ada di kecamatan tersebut.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Angket yang berisi daftar pertanyaan

2. Alat perekam yang digunakan untuk mewawancarai informan ialah tape rekorder. 3. Alat tulis seperti kertas, pulpen.

D. Metode Analisa Data

Menganalisis data merupakan langkah yang sangat kritis dalam penelitian. Penganalisisan data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a)Mengumpulkan data yang telah diperoleh

b) Mengindentifikasikan data yang telah diperoleh dari lapangan

c) Mendeskripsikan unsur-unsur yang membangun dalam mantra pintu, yang terdiri dari unsur fisik yaitu, gaya bahasa, diksi, imajinasi, dan kata-kata kongkrit. Dan unsur batin yaitu: tema, rasa, dan amanat.


(37)

BAB IV

PEMBAHASAN

Sruktur fisik dan struktur batin puisi dalam mantra dianalisis dari unsur-unsurnya. Kedua unsur-unsurnya harus mempunyai kepaduan dalam mendukung isi mantra. Adanya jalinan antara struktur fisk dan struktur batin yang begitu kuat, menyebabkan perlunya pembaca memahami kedua strruktur ini secara bersama-sama.

4.1. Analisis fisik

Unsur-unsur bentuk atau struktur fisik mantra dapat diuraikan dalam metode puisi yakni unsur estetik yang membangun sruktur luar dari mantra. Unsur-unsur itu dapat dianalisis satu-persatu, tetapi unsur-unsur itu merupakan kesatuan yang utuh. Unsur-unsur itu ialah diksi, kata kongkret, majas atau gaya bahasa, imajinasi, rima dan ritma.

Perbedaan penyair, jaman, latar belakang social budaya, pendidikan, dan agama member warna terhadap perbedaan dalam pemilihan kata-kata. Para penyair memilih kata-kata dengan makna kias atau dengan makna lambing. Hal ini tidak dapat di jumpai dalam bahasa sehari-hari. Menafsirrkan mantra juga harus degan memahami konvensi mantra, yakni bahwa bahasanya bersifat konotatif. Dari latar baelakang bacaan dan pendidikan penyair yang berbada-beda juga dimungkinkan perbendaharaan kata yang berbeda pula.

4.1.1. Diksi (Pilihan Kata)

Diksi atau diction berarti pilihan kata. Apabila dilihat sepintas maka kata-kata yang dipergunakan dalam mantra umumnya sama saja dengan kata-kata yang dipergunakan dalam


(38)

kehidupan sehari-hari. Secara alamiah kata-kata yang dipergunaan dalam mantra dan kehidupan sehari-hari. Secara alamiahkata-kata yang dipergunakan dalam mantra dan kehidupan sehari-hari mewakili makna yang sama, bahkan bunyi ucapan pun tidak ada perbedaan. Walaupun demikian harus kita sadari bahwa penempatan serta penggunaan kata-kata dalam mantra dilakukan secara hati-hati dan teliti.

Penyair sangat cermat dalam memilih kata-kata sebab kata-kata yang ditulis harus dipertimbangkan maknanya,komposisi bunyi dalam rima dan ritma; kedudukan kata itu dalam konteks kata lainnya dan kedudukan kata dalam keseluruhan kata itu. Oleh sebab itu, di samping memilih kata yang tepat penyair juga mempertimbangkan urutan kata dan kekuatan atau gaya magis dari kata-kata tersebut. Kata-kata diberi makna baru dan yang tak bermakna diberi makna kehendak penyair.

Begitu pentingnya kata-kata dalam mantra maka bunyi kata dipertimbangkan secara cermat dalam pemilihannya. Pemilihan kata-kata mempertimbangkan berbagai aspek estetis, maka kata-kata yang sudah dipilih oleh penyair untuk mantranya bersifat absolut dan tidak bisa diganti dengan padan kata sekalipun makananya tidak berbeda. Bahkan sekalipun unsur bunyinya hampir mirip dan maknanya sama, kata yang sudah dipilih itu tidak dapat diganti. Jika kata itu diganti akan mengganggu komposisi dengan kata lain dalam konstruksi keseluruhan makna itu.

Sebagai salah satu contoh dalam baris “mantra pintu” berbunyi: jagoan nabi-nabi, enam puluh malaikat, seratus empat puluh dua ruh yang berhadap-hadapan tetepkan iman. Kata-kata tersebut tidak boleh dibolak-balik menjadi: nabi-nabi jagoan ,enam puluh malaikat seratus empat puluh dua ruh yang berhadap-hadapan tetapkan iman (Mantra pintu, Narasumber, Atok Botol.).


(39)

Penggantian urutan kata dan penggantian kata-kata merusak kontruksi mantra itu sehingga kehilangan daya gaib yang ada dalam mantra.

Hendaknya disadari bahwa kata-kata dalam mantra bersifat konotatif. Artinya memiliki kemungkinan makna yang lebih dari satu. Dengan pemilihan kata yang cermat orang akan langsung mengetahi bahwa yang dihadapi adalah mantra, setelah kata-kata yang dibaca itu tepat untuk mantra.

Pada diksi dalam puisi yang dibahas itu adalah perbendaharaan kata, ungkapan, urutan kata-kata dan daya sugesti dari kata-kata tersebut, waluyo(1987:73).

1. Perbendaharaan kata

Perbendaharaan penyair menunjukkan untuk kekuatan ekspresi juga menjadikan cirri khas penyair. Dalam memilih kata-kata penyair memilih berdasarkan makna yang akan disampaikan dan tingkat perasaan serta suasana batinnya dan juga latar belakangi oleh factor social budaya penyair. Oleh sebab itu penyair satu berbeda dalam memilih kata dari penyair lainnya. Dalam suasana perasaan marah yang meledak-ledak penyair akan memilih kata-kata yang mewakili kemarahannya itu tentu saja berbeda dengan kata-kata yang dipilihnya untuk mewakili perasaan cinta. Intensitas perasaan penyair, kadar emosi, cinta, benci, menentukan pilihan kata.

2. Urutan Kata

Dalam mantra, urutan kata sangatlah bersifat baku artinya urutan itu tidak dapat dipindah-pindahkan tempatnya meskipun maknanya tidak berubah oleh perpindahan tempat itu. Cara menyusun urutan kata-kata bersifat khas karena penyair yang satu berbeda caranya dari


(40)

penyair yang lain. Dapat pula dinyatakan bahwa ada perbedaan teknik menyusun urutan kata, baik urutan dalam tiap baris maupun dalam suatu bait mantra. Berikut ini dapat kita lihat dalam kutipan mantra dibawah ini:

Bismillah irohman irohim Jagoan nabi-nabi.... enam puluh malaikat

Seratus empat puluh dua ruh

yang berhadap-hadapan tetapkan iman Aku ondak minta damdam

Memagari nang kong ikat Datang dari segala arah Ingin aku kau lupa Apa yang kau lihat

Gar kau tak tau arah

(Mantra pintu, Narasumber: Atok Oka Botol)

Susunan kata di atas tidak dapat diubah walaupun perubahan itu tidak mengubah maknanya. Penyair telah memperhitungkan secara matang susunan kata-kata itu. Jika diubah urutannya maka daya magis kata-kata itu akan hilang. Keharmonisan antar bunyi yang terdapat di dalamnya juga akan terganggu karena susunan kata-kata tersebut menimbulkan dampak psikologis. Jika kalimat jagoan nabi-nabi enam puluh malaikat diganti dengan nabi-nabi jagoan enam puluh malaikat maka majas atau gaya bahasa yang ditimbulkan pada baris tersebut akan iman, jika diganti dengan tetapkan iman berhadap-hadapan.


(41)

Demikianlah urutan kata-kata dalam mantra yang disusun secara cermat oleh penyair. Jika urutannya di ubah maka akan terganggu keharmonisan komposisi kata itu. Disamping itu urutan kata-kata juga mendukung perasaan dan nada yang digunakan penyair.

3. Daya Sugesti kata-kata

Dalam memilih kata-kata penyair mempertimbangkan daya suges kata-kata itu. Sugesti itu timbulkan oleh makna yang dipandang sangat tepat mewakili perasaan penyair karena ketepatan pilihan dan penempatannya maka kata-kata itu seolah-olah memancarkan daya gaib yang mampu memberikan sugesti kepada pembacanya/ pendengar untuk ikut marah, takut, dan sebagainya.

Mengungkapkan perasaan takut maka penyair melukiskannya dengan begitu menyeramkan, seperti baris mantra berikut ini: berduka kau kepada Allah,bila hendak membinase rumahku.( mantra pintu, narasumber).

4.1.2. Kata Kongkret

Untuk membangkitkan imajinasi (daya bayang) pembaca/pendengar maka kata-kata harus diperkongkret. Maksudnya bahwa kata-kata itu dapat menyarankan kepada yang menyeluruh. Seperti halnya pengimajinasian kata yang di kongkret ini juga erat hubungannya dengan penggunaan kiasan dan lambing. Jika penyair mahir memperkongkret kata-kata itu maka pembaca seolah-olah melihat, mendengar, atau merasakan apa yang dilukiskan oleh penyair. Dengan demikian pembaca terlihat penuh secara batin ke dalam mantranya.


(42)

Jika imajinasi pembaca/pendengar merupakan akibat dari pengimajinasian yang diciptakan penyair maka kata kongkret ini merupakan syarat atau terjadinya pengimajinasian itu. Dengan kata yang dipeerkongret pembaca/pendengar dapat membayangkan secara jelas peristiwa atau keadaan yang di lukiskan oleh penyair. Untuk memperkongkret gambaran tentang mantra pintu menggunakan kaata: aku ondak memintak damdam memagari nang kong ikat (mantra pintu, narasumber).

Kebencian yang begitu begitu kuat dalam penyair dapat dihayati lebih hidup dengan pengkongretan kata ini: durhaka engkau lebih-lebih kepada Allah bila hendak membinasakan rumah ku (mantra pintu, narasuber Budiman).

Demikianlah maksud pengkongretan kata itu. Setiap penyair berusaha mengkongkretkan hal yang ingin dikemukakan agar pembaca/pendengar membayangkan dengan lebih hidup apa yang dimaksudnya. Cara yang digunakan penyair yang satu berbeda dari cara yang digunakan oleh penyair yang lainnya.

4.1.3. Majas (gaya Bahasa)

Penyair menggunakan bahasa yang bersusun atau berpigura sehingga disebut bahasa figuratif. Bahasa figuratif adalah gaya bahasa atau majas. Majas ialah bahasa yang digunakan penyair untuk mengungkapkan makna.

Sebahagian mantra pintu ini menggunakan majas personifikasi. Majas personifikasi yaitu keadaan atau peristiwa alam sering dikiaskan sebagai keadaan atau peristiwa yang dialami manusia. Dalam hal ini benda mati dianggap sebagai manusia atau persona atau di


(43)

“personafikasi”kan. Hal ini digunakan untuk memperjelas gambaran peristiwa dan keadaan itu. Majas personafikasi dapat kita lihat pada mantra pintu di bawah ini:

Imat-imat ketemu itu Mitu mileon kate Allah To badanda berkata-kata

Tak hendak kau datang dan memijak halaman rumah ku!.

(mantra pintu, narasumber: Budiman)

4.1.4. Imajinasi

Ada hubungan erat antara diksi, imajinasi dan kata kongret. Diksi yang dipilih harus menghasilkan pengimajinasian karena kata-kata itu menjadi lebih kongkret sebab dapat kita hayati melalui penglihatan, pendengaran, atau cita rasa. Imajinasi dapat dibatasi dengan pengertian : kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan sensoris seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Baris atau bait mantra itu mengandung gema suara (imaji auditif), benda yang tidak nampak (imaji visual) atau sesuatu yang dapat kita rasakan, raba atau sentuh (imaji taktil). Ungkapan perasaan penyair dijelma ke dalam gambaran kongkret mirip music atau gambaran cita rasa tertentu. Jika penyair menginginkan imaji pendengaran (auditif) maka pendengar menghayati mantra itu seolah-olah mendengarkan sesuatu. Jika penyair ingin ingin melukiskan imaji penglihatan (visual), maka mantra itu melukiskan sesuatu yang bergerak. Apabila imaji taktil yang ingin digambarkan maka pembaca/pendengar seolah-olah merasakan sentuhhan perasaan.


(44)

Pengimajinasiaan ditandai dengan penggunaan kata yang kongkret dan khas. Imaji yang ditimbulkan ada tiga macam yakni imaji visual, imaji auditif, dan imaji taktil (cita rasa). Ketiganya digambarkan atas bayangan kongret apa yang dapat kita hayati secara nyata.

Baris-baris mantra di bawah ini menunjukkan adannya pengimajinasian sehingga menimbulkan imajinasi visual:

Datanglah dari segala arah Ingin aku kau lupa

Dengan apa yang kau lihat Agar kau tak tau arah

(Mantra pintu , narasumber: Atok Oka Botol)

Nibung kering tulangku Berkat baginda Ali

Gentar bumi gentar langit

Tak ku hendaki kau memijak halaman rumahku (Mantra pintu, narasumber Atok Oka Botol)

Mantra penunduk (Atok Oke Botol yang ke 2) yang menimbulakan visual:

Bismillahirrahmanirahim Kata Allah aku nur

Kata Muhammad engkau syariat Sujudlah engkau seperti wau kepadaku Berkat la ilahaillallah


(45)

Bismillahirrahmanirahim

Allah humarahbana ma rahbana Ya kenabuldu ya kenastaid Ya fayum ya koyum

Ya azim ya rabball alamin

Imaji takil dapat kita hayati dalam mantra pintu (Narasumber Budiman):

Bismillahirrahmanirrahim Imat-imat ktemu itu Mitu melion kate Allah To badanda berkata-kata

Tak hendak kau datang dan memijak halaman rumah ku! Karena telah ade penjaga pintu

Berduhaka kau membisa rumahku Berkat kalimat laillahlah

Mantra pintu (narasumber Atok Oka Botol)

Bsmillahirrahmanirrahim Jagoan nabi-nabi

Empat puluh dua malaikat Seratus empat puluh dua ruh Yang berhadap-hadapan Tetapkan iman


(46)

Memagari nangkong ikat Datang dari segala arah Ingin aku kau lupa

Dengan apa yang kau lihat Agar kau tak tau arah

Imaji takil dan imaji visual:

Gempa ali gempa gemita Dang sari gajah berlenggang Sah aku anak harimau yang garang Batu congkol hhati ku

Nibung kering tulangku Berkat doa baginda ali Gentar bumi gentar langit

(Mantra pintu, narasumber: (Atok Oka Botol)

Mantra pintu (narasumber : Atok Oka Botol)

Bsmillahirrahmanirrahim Jagoan nabi-nabi

Empat puluh dua malaikat Seratus empat puluh dua ruh Yang berhadap-hadapan Tetapkan iman


(47)

Memagari nangkong ikat Datang dari segala arah Ingin aku kau lupa

Dengan apa yang kau lihat

Mantra pintu (narasumber : Budiman)

Bismillahirrahmanirrahim Imat-imat ktemu itu Mitu melion kate Allah To badanda berkata-kata

Tak hendak kau datang memijak halaman rumah ku Karena telah ade penjaga pintu

Berduhaka kau membisa rumahku Berkat kalimat laillahlah

Bayangan perasaan ngeri dan mencekam menghadapi musuh dapat lebih kuat kita rasakan melalui kata-kata dibawah ini :

Nibung kering tulangku Berkat baginda Ali

Gentar bumi gentar langit

Tak ku hendaki kau dan memijak halaman rumahku!!! (Mantra pintu, narasumber: (Atok Oka Botol)


(48)

Pengimajinasian disebut pula pencitraan, bahwa pengimajinasian dalam sajak dapat dijelaskan sebagai usaha penyair untuk menciptakan atau menggunggah timbulnya imajinasi dalam diri pembaca, sehingga pembaca tergugah untuk menggunakan mata hati tuk melihat benda-benda, warna, dengan telinga hati mendengar bunyi-bunyi, dan dengan perasaan hati kita meenyentuh kesejukan dan keindahan benda dan warna.

Bismillahirrahmanirrahim Imat-imat katemu itu Mitu melion kate Allah To badanda berkata-kata

Tak hendak kau datang dan memijak halaman rumah ku! Karena telah ade penjaga pintu

Berduka kau membinasa rumahku Berkat kalimat laillahlah

Mantra pintu (narasumber : Budiman)

Dari mantra di atas dapat kita merasakan suasana mencekam, seolah-olah kita merasakan diusir penjga pintu dan berduka jika memijak halaman rumah tersebut.

4.1.5. Rima

Rima adalah pengulangan bunyi dalam puisi. Dalam sebuah puisi dikenal beberapa jenis rima antara lain : menurut posisinya dan menurut susunannya. Begitu juga pada mantra rima itu dapat dijumpai beberapa jenis antra lain:


(49)

a. Rima Awal :

Bismillahirrahmanirrahim Imat-imat katemu itu Mitu melion kate Allah To badanda berkata-kata

Tak hendak kau datang dan memijak halaman rumah ku! Karena telah ade penjaga pintu

Berduka kau membinasa rumahku Berkat kalimat laillahlah

Mantra pintu (narasumber : Budiman)

b. Rima Tengah :

Mantra pintu (narasumber : Atok Oka Botol)

Bismillahirrahmanirrahim Imat-imat katemu itu Mitu melion kate Allah To badanda berkata-kata

Tak hendak kau datang dan memijak halaman rumah ku! Karena telah ade penjaga pintu

Berduka kau membinasa rumahku Berkat kalimat laillahlah

Mantra pintu (narasumber : Budiman)


(50)

Gempa ali gempa gemita Dang sari gajah berlenggang Sah aku anak harimau yang garang Batu congkol hati ku

Nibung kering tulangku Berkat doa baginda ali Gentar bumi gentar langit

(Mantra pintu, narasumber: (Atok Oka Botol)

Menurut susunannya dlam mantra ini mempunyai rima berselang dengan rumus : ab ab. Ini dapat dilihat pada mantra di bawah ini :

Yatim aku mati tasauf kata Allah (3x) Roh kalam kawah kali-kali

Aku buang darah gemuruh Aku naik darah berani

(Mantra penunduk, narasumber :Atok Oka Botol)

Mantra di atas menggunakan kata-kata atau bunyi-bunyi yang berulang-ulang untuk menciptakan daya magis. Mantra adalah susunan kata yang mempunyai rima dan ritma dengan pemilihan kata-kata yang bersifat sublin sehingga memilikikekuatan gaib. Kata-kata yang tidak umum atau jarang digunakan merupakan kata-kata yang mempunyai kemungkinan untuk kekuatan gaib. Kata-kata yang tidak bermana diberi makna melalui pengembalian bunyi atau suku kata pada setiap baris.


(51)

4.1.6. Ritma

Ritma berasal dari bahasa Yunani rheo yang berarti gerakan-gerakan air yang teratur, terus- menerus dan tidak putus- putus (megalir terus). Menurut Slamet muljana mengatakan bahwa : “ritma merupakan pertentangan bunyi : tinggi/rendah, panjang/pendek, kerasa/lemah, yang menglun dengan teratur dan berulang-ulang sehingga membentuk keindahan”.

Ritma sangat berhubungan dengan bunyi dan juga berhubungan degan pengulangan bunyi, kata, frsa dan kalimat. Ritma juga ada pada mantra. Dalam

Antra irama tersebut berupa pemotong baris-baris mantra secara berulang-ulang sehingga menimbulkan gelombang yang teratur.

Tiap penyair mempunyai perbedaan cara mengulang hal-hal yang di pandang membentuk ritma itu. Berkut ini contoh mantra:

Bismillahirrahmanirrahim Imat-imat katemu itu Mitu melion kate Allah To badanda berkata-kata

Tak hendak kau datang dan memijak halaman rumah ku! Karena telah ade penjaga pintu

Berduka kau membinasa rumahku Berkat kalimat laillahlah


(52)

Dalam mantra di atas kata-kata pengikat untuk ritmanya berupa kata penghubung, kata dan. Bunyi-bunyi di atas mengandung nilai magis sehingga jika kita membacanya dengan irama yang tepat kita akan merasakan kekuatan di luar kekuatan yang kita miliki.

4.1.1. Analisis Batin

Analisis batin ini meliputi perasaan, tema, nada dan amanat.

4.1.2.1. Perasaan

Dalam menciptakan mantra suasana perasaan penyair ikut diekspresikan dan harus dapat dihayati oleh pembaca. Untuk mengungkap mantra yang sama, penyair yang satu dengan perasaan yang berbeda dari penyair lainnya sehingga mantra yang diciptakan berbeda pula.

Perasaan penyair yang terdapat pada mantra pintu ialah perasaan benci dan perasaan sakit hati terhadap seseorang, yang datang ke dalam rumah atau pun sengaja hendak melakukan sesuatu yang tak disenangi penyair. Perasaan benci penyair dapat dilihat pada mantra pintu yang berbunyi :

Bismillahirrahmanirrahim Imat-imat katemu itu Mitu melion kate Allah To badanda berkata-kata

Tak hendak kau datang dan memijak halaman rumah ku! Karena telah ade penjaga pintu


(53)

Berduka kau membinasa rumahku Berkat kalimat laillahlah

Mantra pintu (narasumber : Budiman)

Bsmillahirrahmanirrahim Jagoan nabi-nabi

Empat puluh dua malaikat Seratus empat puluh dua ruh Yang berhadap-hadapan Tetapkan iman

Aku ondak mintak damdam Memagari nangkong ikat Datang dari segala arah Ingin aku kau lupa

Dengan apa yang kau lihat

Mantra pintu (narasumber : Budiman)

Gempa ali gempa gemita Dang sari gajah berlenggang Sah aku anak harimau yang garang Batu congkol hati ku


(54)

Nibung kering tulangku Berkat doa baginda ali Gentar bumi gentar langit

(Mantra pintu, narasumber: (Atok Oka Botol)

Nibung kering tulangku Berkat baginda Ali

Gentar bumi gentar langit

Tak ku hendaki kau memijak halaman rumahku! (Mantra pintu, narasumber: (Atok Oka Botol)

Batu congkol hati ku Nibung kering tulangku Berkat doa baginda ali Gentar bumi gentar langit

(Mantra pintu, narasumber: (Atok Oka Botol)

Yatim aku mati tasauf kata Allah (3x) Roh kalam kawah kali-kali

Aku buang darah gemuruh Aku naik darah berani


(55)

(Mantra Pelindung, narasumber Budiman)

Bismillahirramanirrahim Perabun pelias peliseh 3x

Sekalian jin dan syetan seteru lawanku Berkat lailaha illallah

(Mantra Disegani Orang, narasumber Budiman)

Bismillahirramanirrahim

Hai bosi bangunlah engkau si raja bosi Yang bernama si ganda bisa

Engkau duduk di kepala jantungku Bersandar di tiang arasy

Kuminta tinggalkan insanku

Berkat aku memakai wujud kodrat sayidina ali Bujur lalu melintang patah

Lalu juga hendak Allah 4.2.2.2. Tema

Tema meupakan gagasan pokok atau “subjek-matter” yang dikemukakan oleh penyair. Pokok pikiran atau pokok persoalan itu begitu kuat mendesak dalam jiwa penyair sehingga menjadi landasan utama pengucapannya. Jika desakan yang kuat itu berupa patah hati, maka temannya kedukaan hati, dan jika desakan yang kuat itu berupa perasaan sakit hati maka


(56)

bertemakan sakit hati atau kekecewaan, apabila desakan yang kuat itu berupa kecurigaan maka bertemakan kecurigaan.

Demikianlah setiap mantra mengandung suatu “subjet-matter” untuk dikemukakan atau ditonjolkan, dan hal ini tentu saja tergantung pada beberapa faktor antare lain : falsafah hidup, lingkungan, agama, pekerjaan, pendidikan sang penyair. Kiranya sangatlah sulit dimengerti bila ada sebuah mantra yang tanpa “subject-matter”. Hanya terkadang sang penyair sangat lihati menyelubung-lubunginya sehingga para pembaca/pendengar harus berusaha sekuat daya untuk mengungkapkannya. Di samping itu setiap mantra juga harus mengandung makna, sekalipun mungkin dalam beberapa mantra tersebut hampr sama-sama. Lagi pula sang penyair begitu manhir mempergunakan majas (gaya bahasa) dalam karyanya.

Berikut ini mantra pntu yang bertamakan kecurigaan :

Bsmillahirrahmanirrahim Jagoan nabi-nabi

Empat puluh dua malaikat Seratus empat puluh dua ruh Yang berhadap-hadapan

Tetapkan iman

Aku ondak mintak damdam Memagari nangkong ikat Datang dari segala arah Ingin aku kau lupa


(57)

Dengan apa yang kau lihat

(mantra pintu, narasumber Budiman)

Mantra pintu yang bertamakan kedudukan:

Yatim aku mati tasauf kata Allah (3x) Roh kalam kawah kali-kali

Aku buang darah gemuruh Aku naik darah berani

(Mantra penunduk, narasumber :Atok Oka Botol)

Bismillahirramanirrahim

Hai bosi bangunlah engkau si raja bosi Yang bernama si ganda bisa

Engkau duduk di kepala jantungku Bersandar di tiang arasy

Kuminta tinggalkan insanku

Berkat aku memakai wujud kodrat sayidina ali Bujur lalu melintang patah


(58)

Lalu juga hendak Allah

(Mantra Disegani Orang, narasumber Budiman)

Bismillahirrahmanirrahim Imat-imat katemu itu Mitu melion kate Allah To badanda berkata-kata

Tak hendak kau datang dan memijak halaman rumah ku! Karena telah ade penjaga pintu

Berduka kau membinasa rumahku Berkat kalimat laillahlah

(Mantra pintu, narasumber : Budiman)

4.1.2.3. Nada

Nada dalam dunia perpuisian adalah sikap peenyair terhadap pembacanya atau dengan perkataan lain ialah sikap sang penyair terhadap para penikmatnya. Nada yang dikemukakan oleh seorang penyair dalam sebuah mantra, aka nada sangkut pautnya atau hubungannya erat dengan “tema” dan “rasa”yang terkandung dalam mantra tersebut. Tentu sajalah sumbang bila pada suatu mantra yang bertamakan “kegagalan” terdapat rasa” keangkuhan”serta nada yang menggembirakan”, misalnya kalau memang ada paduan yang sedemikian rupa.

Pada saat-saat masyarakat atau pribadi sedang menderita tekanan, baik jasmaniah maupun rohaniah, maka sering muncul pembrontakan ataupun keluhan serta jeritan yang bernada sinis.


(59)

Jika nada merupakan sikap penyair terhadap pembaca/pendengar, maka suasana adalah kedaan jiwa pembaca/pendengar setelah membaca mantra itu atau akibat psikologis yang ditimbulkan mantra itu terhadap pembaca/pendengar. Jika kita bicara tentang sikap penyair, maka kita berbicara tentang nada; jika kita berbicara tentang suasana jiwa pembacca/pendengaryang timbul setelah membaca mantra saling berhubungan karena nada mantra menimbulkan suasana terhadap pembaca/pendengar.

Berikut ini dikutip dari mantra pintu dengan nada terluka terhadap yang terkena akan mantra tersebut :

Bismillahirrahmanirrahim Imat-imat katemu itu Mitu melion kate Allah To badanda berkata-kata

Tak hendak kau datang dan memijak halaman rumah ku Karena telah ade penjaga pintu

Berduka kau membinasa rumahku Berkat kalimat laillahlah

(Mantra pintu, narasumber : Budiman).

Bismillahirramanirrahim


(60)

Yang bernama si ganda bisa Engkau duduk di kepala jantungku Bersandar di tiang arasy

Kuminta tinggalkan insanku

Berkat aku memakai wujud kodrat sayidina ali Bujur lalu melintang patah

Lalu juga hendak Allah

(Mantra Disegani Orang, narasumber Budiman)

(Mantra pengasih, Atok Oka Botol)

Bismillahirrahmanirahim

Allah humarahbana ma rahbana Ya kenabuldu ya kenastaid Ya fayum ya koyu

4.1.2.4. Amanat

Amanat adalah maksud atau tujuan yang hendak disampaikan penyair. Amanat merupakan hal yang mendorong penyair untuk menciptakan mantranya. Amanat tersirat dibalik kata-kata yang disusun dan jika berada dibalik tema yang diungkapkan. Amanat yang hendak


(61)

disampaikan oleh penyair mungkin secara sadar tak sadar berada dalam pekiran penyair, namun lebih banyak penyair tidak sadar akan amanat yang diberikan.

Begitu juga pada mantra pintu ini mempunyai maksud dan tujuan yang disampaikan. Amanat yang ada tersirat dibalik kata-kata mantra. Misalnya :

Bismillahirrahmanirrahim Imat-imat katemu itu Mitu melion kate Allah To badanda berkata-kata

Tak hendak kau datang dan memijak halaman rumah ku! Karena telah ade penjaga pintu

Berduka kau membinasa rumahku Berkat kalimat laillahlah

(Mantra pintu, narasumber : Budiman).

Bsmillahirrahmanirrahim Jagoan nabi-nabi

Empat puluh dua malaikat Seratus empat puluh dua ruh Yang berhadap-hadapan Tetapkan iman

Aku ondak mintak damdam Memagari nangkong ikat


(62)

Datang dari segala arah Ingin aku kau lupa

Dengan apa yang kau lihat

(Mantra pintu, narasumber: (Atok Oka Botol)

Dari mantra diatas, amanat yang disampaikan penyair adalah bahwa jangan ada yang sengaja maupun tak sengaja untuk melakukan sesuatu yang tidak baik ataupun kejahatan.

Bismillahirramanirrahim

Hai bosi bangunlah engkau si raja bosi Yang bernama si ganda bisa

Engkau duduk di kepala jantungku Bersandar di tiang arasy

Kuminta tinggalkan insanku

Berkat aku memakai wujud kodrat sayidina ali Bujur lalu melintang patah

Lalu juga hendak Allah

(Mantra Disegani Orang, narasumber Budiman)

Yatim aku mati tasauf kata Allah (3x) Roh kalam kawah kali-kali


(63)

Aku buang darah gemuruh Aku naik darah berani

(Mantra penunduk, narasumber :Atok Oka Botol)

Dari mantra diatas, amanat yang disampaikan penyair adalah bahwa jangan ada orang yang anggap enteng atau tunduk kepada yang menggunakan mantra tersebut.

4.2. Nilai-Nilai Psikologi Yang Terkandung Dalam Mantra Pintu

Psikologi yang berusaha mempelajari jiwa manusia, ternyata banyak mendapatkan kesulitan karena objek penyelidikannya adalah abstrak. Tidak dapat diselidiki secara langsung tetapi diselidiki keaktifan-keaktifannya yang terlibat melalui menifestasi tingkah laku atau perbuatan. Misalnya : bila kita mempelajari tentang angin , objeknya sendiri secara lansung tidak dapat dilihat, namun dari keaktifan-keaktifannya. Bila ada daun yang bergerak atau debu

beterbangan maka akan jelas terlihat, seperti itu pulalah bila kita mempelajari jiwa.

Jiwa bersifat abstrak maka kita dapat mengetahui jiwa secara wajar, melainkan kita hanya dapat mengenal gejalanya saja. Jiwa adalah suatu yang tidak Nampak, tidak dapat dilihat oleh mata kita. Demikian juga hakikat jiwa, tidak seorangpun dapat mengetahuinya. Manusia dapat mengetahui jiwa seseorang melalui tingkah lakunya.

Psikologi mempelajari yang meliiput i kekuatan-kekuatannya, modusnya, fungsi-fungsinya serta aktivitas-aktivitasnya. Begitu juga dengan mantra yang mempunyai kekuatan pada bait mantranya maupun makna mantra tersebut serta penjiauan dari sipengguna


(64)

mantra.kekuatan jiwa manusia sama dengan mental.mental merupakan jiwa yang meliputi kekuatan, keinginan, kekuatan, kemauan dan kondisi.

Kekuatan keinginan adalah kekuatan untuk mewujudkan objek pada sasaran. Kemauan adalah kekuatan sadar dan hidup atau menciptakan suatau yang berdasarkan perasaan dan pikiran. Kondisi adalah kekuatan untuk menyadari sesuatu. Kondisi dan perasaan dan bekerja sama dalm diri manusia. Setiap orang dapat kekuatan jiwa dengan cara yang berbeda dan dengan pendapat yang berbeda pula. Kekutan jiwa meliputi :

1. kondisi raga yaitu: kondisi jasmaniah yang mencakup keadaan kesehatan dan pertumbuhan jasmaniah. Di dalam badan yang sehat terdapat jiwa yang sehat.

2. kondisi intelektual yaitu kondisi intelektual yang mencakup kekuatan akal, kemauan, dan emosi. Kondisi intelek yan lemah menyebabkan aktifitas jiwa pun menjadi lambat dan kurang produktif.

Bekerjanya jiwa untuk badan berupa penggunaan fungsi-fungsi kejiwaan yang bukan mental. Dengan demikian tubuh digerakkan oleh jiwa untuk kelangsungan fungsi jasmaniah dengan tidak melibatkan kondisi, kemauan atau pun keinginan adapun bekerjanya jiwa dalam sistem saraf dan pikiran berupa penyerahan kekuatan-kekuatan jiwa yang lebih banayk melibatkan gerakan moral.

Demikian antara jiwa dengan raga terdapat fungsi timbal balik, yang satu melestarikan yng lain karena dekat jaraknya dan hubungan antara jiawa dan raga sehingga menjelma dalam suatu kepribadian.dengan perkataan lain, pribadi di warnai oleh keduanya yakni jiwa dan tubuh. Oleh karena itu jiwa itu tidak mungkin diamati secara langsung dengan indra kita, maka kita cenderung menilai atau mengamati pribadi seseorang dengan apa yang terwujud dalam diri orang


(65)

itu melalui penampilan dan gerakan-gerakan badaniahnya. Itu tingkah laku yang menjadi objek pengamatan.

Jiwa bekerja dengn kekuatan tertentu yang dimilikinya.tanpa kekuatan-kekuatan itu jiwa akan tidak akan berfungsi sebagai mana mestinya. Soemanto, (1988;62) mengatakan ada tiga bagian jiwa manusia yang menjadi kekutan jiwa itu sendiri yakni:

1.Akal sebagai kekuatan yang terpenting dari jiwa manusia. Akal adalah bagian dari jiwa manusia yang merupakan kekuatan untuk menemukan kebenaran dan kesalahan. Dengan akal manusia dapat mengarahkan seluruh aktifitas jasmaniah dan kejiwaannya sehingga manusia mampu memperoleh kehidupan yang lebih sejahtera.

2.Spirit sebagai kekuatan penggerak kehidupan pribadi manusia. Spirit merupakan kekuatan untuk menjalankan gagasan-gagasan yang lebih disimpulkan atau diputuskan oleh akal melalui pemilihan berbagai alternatif gagasan.

3. Nafsu sebagai kekuatan yang menjadi stimulus gerakan fisik dan kejiwaan manusia. Nafsu itu terbentuk dari segenap kekuatan keinginan dan selera yang sangat erat hubungannya dengan fungsi-fungsi jasmaniah.

Ketiga kekuatan di atas bekerja saling menunjang bagi kelangsungan dan pertimbangan hidup manusia. Kehidupan individu yang seimbang terwujud apabila tiap-tiap kekuatan itu tidak saling mendominasi. Misalnya: nafsu mendominasi akal, maka keliruan dan kerugianlah yang dialami individu. Sebaliknya bila akal mendominasi nafsu dan spirit maka penyakit dan ketidakseimbangan psikis dan psikologi dialami oleh individu. Apabila tiga kekuatan jiwa manusia yaitu akal, spirit, dan nafsu berfungsi secara seimbang dan dinamis maka jiwa menjadi sehat dan kuat.


(66)

Aktivitas itu meliputi: pengamatan, tanggapan, ingatan, fantasi dan pikiran.

4.2.1. Pengamatan

Pengamatan di sini adalah pengamatan indera bukan pengamatan langsung tidak langsung.

Pengamatan merupakan fungsii sensoris yang memungkinkan seseorang menangkap stimuli dari dunia nyata sebagai bahan yang teramati. Pengamatan sebagai suatu aktivitas prima dan jiwa dan menjadi awal dari intelektual. Objek pengamatan memiliki sifat-sifat keinginan, kesendirian, loyalitas, dan bermaterai. Subjek dapat mengadakan orientasi terhadap suatu objek karena objek itu dapat ditanggap dengan tidak tergantung pada adanya saja, namun dapat dipelajari secara langsung. Untuk memungkinkan subjek mengadakan orientasi maka dapat menggambarkan dunia pengamatan menurut aspek pengaturan.

Pengamatan masing-masing individu bersifat khas dan unik, artinya setiap pengamatan bagi setiap orang meskipun perangsangnya sama,hasilnya serta kesan-kesan yang diterimanya tidak sama benar. Hal ini disebabkan karena bahan-bahan apersepsi dan proses-proses pengolahannya berbeda-beda pada setiap orang juga daya psikis yang lain (perasaan,perhatian,minat dan sebagainya) yang menyertai aktivitas pengamatan itu intensitasnya tidak sama.

Cara kerja dunia pengamatan berjumlah sama dengan jumlah alat indera. Setiap orang membedakan lima macam alat indera menurut lima macam modalited pengamatan yaitu penglihatan, pendengaran, pembauan dan pencecakan.


(67)

Mantra pintu ini cara kerja dunia pengamatan berdasarkan penglihatan. Penglihatan luar biasa yang bersifat halusinasi, misalnya :

Bismillahirrahmanirrahim Imat-imat katemu itu Mitu melion kate Allah To badanda berkata-kata

Tak hendak kau datang dan memijak halaman rumah ku! Karena telah ade penjaga pintu

Berduka kau membinasa rumahku Berkat kalimat laillahlah

(Mantra pintu, narasumber : Budiman).

Mantra di atas halunisasi terjadi pada penulis. Penulis melihat suatu objek pada hal objek itu tidak ada. Misalnya : Tak hendak kau datang memijak halaman rumah ku/ karena telah ade penjaga pintu/ berduka kau membinasa rumahku/ berkat kalimat laillahlah.

Kalimat di atas memperlihatkan bahwa ada kuasa yang menjaga halaman rumah beserta isinya berkat Allah. Halunisasi penulis melihat bahwa bahwa siapa pun dengan sengaja maupun tidak hendak masuk ke rumahnya akan durhaka.


(68)

4.2.2. Tanggapan

Tanggapan dapat diartikan sebagai gambaran, kesan, ide yang dihasilkan dari penggamatan. Tanggapan merupkan unsur dasar jiwa manusia. Tanggapan dianggap sebagai kekuatan psikologis yang dapat menolong atau menimbulkan keseimbangan. Tanggapan yang diperoleh dari pengindraan atau pengamatan ada yang masuk ke dalam kesadaran dan bertahan di dalamnya, namun kebanyakan berada di bawah sadar.

Tanggapan yang mengendap di bawah kesadaran dapat muncul kembali ke alam kesadaran. Tanggapan-tanggapan yang semula memang berada di ambang kesadaran selalu ada dan sering pula muncul secara mekanis ke alam kesadaran. Tanggapan-tanggapan yang lemah adalah statis/diam, sedangkan tanggapan-tanggapan yang kuat lebih besar u tuk kembali kea lam kedadaran. Munculnya tanggapan-tanggapan ke alam kesadaran menunggu adanya perangsang yang relevan atau dapat bersatu dengan tanggapan yang bersangkutan. Hal ini terjadi dengan menggunakan tanggapan ingatan ataupun antisipasi tanggapan yang akan datang, kecuali pada bayi yang tanggapan ingatan, dan fantasi yang belum berfungsi.

Tanggapan yang dapat penulis lihat pada mantra pintu (narasumber, Budiman) adalah jika seseorang ingin aman dari segala bentuk kejahatan dari rumahnya maka boleh memakai mantra ini. Seseorang harus mempunyai ingatan yang baik agar mantra tersebut akan berfungsi. Sebelum itu mantra tersebut harus dipakai agar aman (tidak mampan dari jenis kejahaan, misalnya : kemalingan, perampokan kedalam rumah dan lain-lain. Dengan mempergunakan mantra ini kita akan aman.

Bismillahirrahmanirrahim Imat-imat katemu itu


(69)

Mitu melion kate Allah To badanda berkata-kata

Tak hendak kau datang dan memijak halaman rumah ku! Karena telah ade penjaga pintu

Berduka kau membinasa rumahku Berkat kalimat laillahlah

4.2.3. Ingatan

Menggingat berarti menyerap atau melekatkan pengetahuan dengan jalan mencapkan secara aktif. Kesan-kesan yang tertingal dari pengamatan di dalam diri manusia yang berupa tanggapan-tanggapan maupun pengertian itu disimpan untuk sewaktu-waktu dikeluarkan lagi. Daya untuk menyimpan dan mengeluarkan kean-kesan itu disebut daya ingatan.

Sifat-sifat daripada yang baik adalah cepat, kuat, luas dan siap. Sifat cepatt berlaku untuk aktif mencamkan. Sifat setia, kuat, dan luas itu berlaku dalam hal menyimpan. Sifat berlaku dalam hal memproduksi kesan-kesan. Dengan demikian kita dapat menyebutkan adanya berbagai sikap ingat itu yang baik. Ingatan dikatakan cepat, bila dalam mencamkan kesan-kesan itu tidak mengalami kesulitan. Ingatan dikatakan setia apabila kesan yang telah dicamkan itu tersimpan dengan baik dan stabil. Ingatan dikatakan kuat apabila kesan-kesan yang tersimpan bertahan lama. Ingatan dikatakan luas apabila kesan-kesan yang tersimpan sangat bervariasi dan banyak jumlahnya. Ingatan dikatakan siap apabila kesan-kesan yang tersimpan sewaktu-waktu mudah diproduksikan ke alam kesadaran.

Sifat-sifat ingatan pada tiap-tiap orang berbeda-beda. Ada orang yang dapat menyimpan kesan-kesan dalam waktu yang lama, tidak lekas dilupakan dan ada yang sebaliknya. Ada yang


(1)

LAMPIRAN 1

1. Bismillahirrahmanirrahim Imat-imat katemu itu Mitu melion kate Allah To badanda berkata-kata

Tak hendak kau datang dan memijak halaman rumah ku Karena telah ade penjaga pintu

Berduka kau membinasa rumahku Berkat kalimat laillahlah.

2. Bismillahirrahmanirrahim Imat-imat katemu itu Mitu melion kate Allah To badanda berkata-kata

Tak hendak kau datang memijak halaman rumah ku Karena telah ade penjaga pintu

Berduka kau membinasa rumahku Berkat kalimat laillahlah.

3 Bsmillahirrahmanirrahim Jagoan nabi-nabi

Empat puluh dua malaikat Seratus empat puluh dua ruh


(2)

Aku ondak mintak damdam Memagari nangkong ikat Datang dari segala arah Ingin aku kau lupa

Dengan apa yang kau lihat.

4. Yatim aku mati tasauf kata Allah (3x) Roh kalam kawah kali-kali

Aku buang darah gemuruh Aku naik darah berani

(Mantra penunduk, narasumber :Atok Oka Botol)

5. Bismillahirramanirrahim

Hai bosi bangunlah engkau si raja bosi Yang bernama si ganda bisa

Engkau duduk di kepala jantungku Bersandar di tiang arasy

Kuminta tinggalkan insanku

Berkat aku memakai wujud kodrat sayidina ali Bujur lalu melintang patah

Lalu juga hendak Allah


(3)

6. Yatim aku mati tasauf kata Allah (3x) Roh kalam kawah kali-kali

Aku buang darah gemuruh Aku naik darah berani

(Mantra penunduk, narasumber :Atok Oka Botol)

7. Bismillahirrahmanirahim Allah humarahbana ma rahbana Ya kenabuldu ya kenastaid Ya fayum ya koyu

(Mantra pengasih, Atok Oka Botol)

8. Bismillahirramanirrahim Perabun pelias peliseh 3x

Sekalian jin dan syetan seteru lawanku Berkat lailaha illallah


(4)

Nibung kering tulangku Berkat doa baginda ali Gentar bumi gentar langit

(Mantra pintu, narasumber: (Atok Oka Botol)

10. Nibung kering tulangku Berkat baginda Ali Gentar bumi gentar langit

Tak ku hendaki kau memijak halaman rumahku (Mantra pintu, narasumber: (Atok Oka Botol)


(5)

LAMPIRAN II

1. Ramuan mantra ( narasumber Atok Oka Botol)

Buah kemiri, buah aren, sopang, jok ganti, arang, gharu, cendana, minyak London, taik besi, merica, benang tiga warna, jeruk purut, jeruk lelang, bunga tujuh rupa.

Semuanya dibungkus dalam kain warna kuning, dan di gantung di atap rumah.

Pantangan: jangan dilangkahi ataupun terpijak.

2. Ramuan mantra ( Narasumber Budiman)

Minyak lidah tranggiling, emas, perak, suasa, benang selo, benang sutra, mani gaja, lilin lebah.

Dibungkus dengan kain kuning dan ditanam di setiap sudut rumah.


(6)