menggunakan terjemahan yang telah dilakuakn oelh penerjemah-penerjemah Yahudi seperti Hunain ibn Ishaq 809-873 M, Ishaq Ibn Hunain wafat 911 M dan Yahya ibn
‘Adi w. 974 M serta Abu Bisyr Matta w. 940 M. mereka menguasai bahasa Yunani dan melakukan terjemahan atas karya-karya filosof Yunani pada masa
Khalifah Bani Abbas, terutama masa al-Ma’mun Ibn Rusyd menyeleksi terjemahan- terjemahan mereka dan melakukan komentar terhadap karya-karya Aristoteles.
61
3. Eskatologi Menurut Ibn Rusyd
Dalam kitab Tahâfut al-Tahâfut , al-Gazâlî menolak pendapat para filosof yang mengatakan bahwa di akhirat nanti manusia akan dibangkitkan kembali dalam
wujud rohani, tidak dalam wujud jasmani. Atas dasar kepercayaan ini, al-Gazâlî mengkafirkan Ibn Sina karena menganut paham itu. Alasan al-Gazâlî, karena banyak
sekali ayat-ayat dalam al-Qur’an yang dengan jelas dan tegas menyatakan bahwa manusia akan mengalami berbagai kenikmatan jasmani nanti dalam surga, atau
kesengsaraan jasmani dalam neraka. Menurut al-Gazâlî, ayat-ayat mengenai hal ini tidak dapat ditakwilkan.
62
Menurut Ibn Rusyd sendiri, iman pada adanya kebangkitan akhirat adalah ajaran pokok agama. Karena itu, barang siapa yang mengingkari kebangkitan berarti
dia kafir. Prinsip ini sebenarnya tidak saja diajarkan dalam risalah Nabi Muhammad, tetapi juga pada nabi-nabi Bani Israil, seperti Nabi Musa dan Isa. Selain itu, para nabi
61
Muhammad Iqbal ibid.
62
Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1986, h. 181
tersebut malah mempercayai kebangkitan jasad di akhirat. Bagi Ibn Rusyd, mengimani hari akhirat sama seperti mengimani eksistensi Tuhan. Dengan beriman
kepada akhirat ini umat beragama semakin terdorong untuk berbuat baik dan terbaik. Singkat kata, kalau ada pendapat yang mengatakan bahwa filosof tidak meyakini
adalnyakebangkitan adalah pendapat yang keliru.
63
Berbeda dengan al-Gazâlî, Ibn Rusyd menyakini bahwa kebangkitan di akhirat nanti tidak bersifat jasadiyah, tetapi ruhaniah. Dengan kata lain, kebangkitan
itu tidak mengikutsertakan tubuh sebagaimana yang selama ini dipahami oleh al- Gazâlî dan sebagian besar kaum Muslim. Ibn Rusyd beralasan, kebangkitan ruhani
atau jiwa lebih sesuai dengan nalar-kritis dqan lebih dapat diterima oleh akal karena memang alam akhirat itu sendiri bersifat ghaib, bukan materi. Sedangkan keterangan-
keterangan di dalam ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Nabi yang memberikan gambaran tentang adanya kebangkitan tubuhjasmani bertujuan untuk memberikan pemahaman
kepada mereka yang awam. Misalnya ayat yang mengatakan, “Surga yang dijanjikan kepada orang-orang
yang bertakwa bagaikan sungai yangmengalir di bawahnya” QS. ar-Ra’d13: 35 dan Hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Tirmidzi, “Gambaran tentang surga bagaikan
sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, dan terlintas dalam pikiran manusia”. Bagi Ibn Rusyd ayat di atas menunjukkan wujud surga diuraikan
dengan cara perumpamaan atau simbol, yang menunjukkan pada kesenangan yang
63
Amsal Bakhtiar, “Eskatologi dalam Perdebatan antara al-Gazâlî dan Ibn Ruysd” dalam Mimbar Agama dan Budaya
, Jakarta, Vol. XVIII, No. 4, tahun 2001, h. 326-327
lebih tinggi daripada kesenangan yang tergambar dalam ayat tersebut. Tegasnya, ayat di atas sangat perlu untuk kalangan awam, tetapi bagi filosof perumpamaan itu
memiliki makna yang lebih tinggi dan hakiki. Menurut al-Gazâlî, gambaran al-Qur’an dan Hadits tentang kehidupan di
akhirat di atas, bukanlah mengacu kehidupan ruhani saja, tetapi bersifat jasmani- ruhani sekaligus. Jasad-jasad dibangkitkan dan disatukan dengan jiwa-jiwa yang
pernah hidup di dunia, untuk merasakan nikmat surgawi yang bersifat ruhani-jasmani dan merasakan azab neraka yang juga bersifat ruhani-jasmani. Bagi al-Gazâlî,
kehidupan di surga dan neraka yang bersifat ruhani-jasmani itu, dan ayat-ayat dan hadits tersebut harus dipahami secara harfiah dan tidak boleh ditakwilkan atau
dipahami secara majazi atau metaforis. Dari sini kita bisa memahamai bahwa kekhasan pemikiran Ibn Rusyd adalah
keyakinannya terhadap dasar-dasar kebenaran rasional, dan ajakan untuk menyesuaikannya dengan filsafat, serta mengartikulasikannya sebagai panduan untuk
berpikir. Ibn Rusyd dan juga para filosof mencari pengetahuan mengenai semua yang maujud dengan akal mereka, bukan bersandar pada perkataan orang yang mengajak
mengikuti mereka tanpa burhân pembuktian kebenaran, atau yang mungkin juga bertentangan dengan hal-hal yang empirik.
64
64
Kamil Muhammad Uwaidah. Ibn Rusyd: Filosof Muslim dari Andalusia, Kehidupan, Karya, dan Pemikirannya
, Jakarta: Riora Cipta, 2001, h. 58-59
BAB IV ANALISA PERBANDINGAN