BAB IV ANALISA PERBANDINGAN
A. Landasan Titik-Tolak Pemikiran al-Gazâlî dan Ibn Rusyd
Pada bab III sudah dibicarakan tentang perbedaan pendapat antara al-Gazâlî dan Ibn Rusyd ihwal kebangkitan kembali. Menurut al-Gazâlî kehidupan di surga dan
neraka yang bersifat ruhani-jasmani bukanlah sesuatu yang mustahil karena memang al-Qur’an dan Hadits Nabi menggambarkannya demikian. Infomasi al-Qur’an dan
Hadits tersebut harus dipahami apa adanya, yakni secara harfihakiki. Bagi al-Gazâlî tidak dibenarkan melakukan takwil terhadap informasi yang beritakan nash tersebut
dan memahaminya secara majazi atau metaforis. Menurut al-Gazâlî, pemahaman kehidupan di surga dan neraka secara ruhani
saja adalah pemahaman yang mengingkari adanya kebangkitan jasad di hari akhirat. Pemahaman yang demikian, menurutnya, adalah pemahaman yang bertentangan
dengan apa yang diajarkan oleh al-Qur’an dan Hadits Nabi, oleh karena itu al-Gazâlî mengkufurkan model berikir seperti ini, yakni pemikiran para filosof.
65
Namun para filosof, dalam hal ini kritikan yang disampaikan Ibn Rusyd, tidak merasa mudah
memahami secara harfi atau hakiki gambaran al-Qur’an dan Hadits Nabi tentang kehidupan di alam kubur atau akhirat itu. Pemahaman secara harfi atau hakiki, bagi
65
Dalam hal ini al-Gazâlî memandang filosof berpendapat bahwa kebangkitan di akhirat nanti adalah bersifat rohani. Yang akan menerima balasan baik atau buruk atas perbuatan manusia selama
di dunia adalah rohaninya, tidak jasmaninya. Lihat al-Gazâlî, Tahâfut al-Falâsifah , Sulayman Dunya ed. Mesir: Dâr al-Ma’ârif, t. t. , Cet. ke-8, h. 296
47
Ibn Rusyd adalah mustahil. Karenanya ayat dan hadits mengenai gambaran kehidupan di akhirat harus dipahami secara majazi atau metaforis.
Bagi Ibn Rusyd, ilustrasi Tuhan tentang alam kubur atau akhirat secara jasmani atau materi merupakan upaya materialisasi terhadap hal-hal yang bersifat
spiritual dan itu adalah upaya yang layak dan bijaksana untuk memberikan pengajaran secara umum kepada kaum awam. Maksud pengajaran umum itu memang
ditujukan untuk orang banyak, bukan untuk orang-orang tertentu seperti para filosof yang berpikiran tinggi, yang mampu mempelajari filsafat. Oleh karena itu, seorang
filosof harus memilih pendapat yang lebih utama jika semua pendapat itu benar. Ia harus berpendirian bahwa pendapat yang utama bisa dibatalkan oleh pendapat lain
yang lebih utama.
66
Sepanjang sejarah, berpikir filosofis merupakan sesuatu yang selalu terdapat pada ahli-ahli wahyu, yaitu nabi-nabi. Oleh karena itu, kata-kata yang paling tepat
adalah bahwa “setiap nabi adalah filosof, tetapi tidak setiap filosof adalah nabi.”
67
Dengan kata lain, pemikiran filosof adalah pemikiran yang diwarisi dari para nabi. Setiap nabi dipastikan berpikir secara filosofis dan kerap-kali mencari pendapat
yang utama. Maksudnya, bila ada orang yang menganggap kerancuan berpikir para filosof bukankah dengan begitu ia tengah mengatakan kerancuan berpikir para
nabi?
66
Lihat Ibn Rusyd, Tahâfut al-Tahâfut, Sulayman Dunya ed. Mesir: Dâr al-Ma’ârif, t.t., Cet. Ke-4, Jilid ke-2, h. 867
67
Ibid. , h. 868
Ada dua argumen yang dikemukakan oleh para filosof untuk memperkuat pendapat mereka bahwa kesenangan ruhani lebih tinggi dari kesenangan fisik, yaitu:
Pertama, keadaan malaikat lebih mulia dari binatang buas dan babi. Malaikat tidak
memiliki kesenangan jasmani, seperti hubungan seksual dan makan. Malaikat hanya mempunyai kesenangan yang bersifat ruhaniah. Dan dari segi tingkat wujud, malaikat
lebih dekat kepada Allah sebagai sumber emanasi. Dengan demikian jelas malaikat memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Jadi, seorang filosof adalah manusia yang
hidupnya lebih dekat dengan cara hidup para malaikat karena berpikir rasional dan mengharapkan kesenangan ruhaniah.
Kedua, Manusia kerap-kali mengutamakan kesenangan rasional di atas
kesenangan fisik. Misalnya, seseorang yang akan mengalahkan musuh, bersedia meninggalkan kemewahan rumah dan kelezatan makanan. Atau untuk suatu
popularitas, manusia mau mengorbankan jiwanya agar disebut sebagai seorang pahlawan. Dengan demikian, kecenderungan dasar manusia itu adalah kesenangan
pada sesuatu yang bersifat ruhaniah, dan karena itu manusia berusaha terus untuk mendekati Allah swt agar bisa menjadi manusia ruhaniah yang sempurna. Bahkan
balasan yang akan diterima oleh manusia pun nanti di akhirat bukan dalam bentuk materi. Dalam suatu Hadits Qudsi, Nabi SAW bersabda: Allah menyatakan kepada
Nabi. “Aku telah menyediakan untuk hamba-hamba-Ku yang shalih apa-apa yang tidak terlihat oleh mata, tidak terdengar oleh telinga, dan tidak terdetik dalam hati
manusia” HR. Bukhari dan Tirmidzi. Bahkan Allah mempertegas lagi dalam QS.
as-Sajdah32: 17: “Jiwa tidak mengetahui apa yang tersembunyi bagi mereka dari yang menyedapkan mata sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan”.
68
Sejatinya, al-Gazâlî dengan para filosof ihwal kesenangan rohani lebih tinggi dari kesenangan fisik. Begitu juga dengan imortalitas jiwa ketika berpisah dengan
tubuh. Al-Gazâlî tidak sepakat ketika para filosof menggunakan otoritas akal yang begitu kuat, sehingga akal saja yang dijadikan sumber pengetahuan tentang
akhirat. Mestinya, kata al-Gazâlî, syara’ harus dijadikan sumber pengetahuan tentang akhirat. Karena secara tegas, syara’ mengatakan bahwa ada kebangkitan
jasmani di akhirat, begitu juga ada rasa panas di neraka dan nikmat di surga. Al- Gazâlî mempertanyakan, apa yang membuat para filosof tidak mau mengakui
adanya kebangkitan jasmani dan rohani sekaligus, padahal semua itu tidak mustahil? Mengenai firman Allah: “Jiwa tidak mengetahui apa yang
disembunyikan bagi mereka”, menurut al-Gazâlî, maksudnya jiwa tidak mengetahui semua hal-hal itu. Begitu juga Hadits Qudsi: “Aku persiapkan bagi
hamba-hamba-Ku yang shalih apa-apa yang tidak terlihat oleh mata, tidak terdengar oleh telinga, dan tidak terdetik dalam hati manusia”.
69
Dari perbincangan di atas, sejatinya baik al-Gazâlî maupun Ibn Rusyd melandaskan titik-tolak pemikirannya terhadap dalil-dalil al-Qur’an dan Hadits
Nabi. Hanya saja, teks al-Qur’an tentang adanya kebangkitan jasmani dipahami apa adanya oleh al-Gazâlî tanpa berusaha untuk memaknainya secara lebih
68
Al-Gazâlî, Tahâfut al-Falâsifah, op. cit. , h. 283
69
Ibid, h. 287-289
rasional atau yang bisa diterima akal. Maksudnya al-Gazâlî tidak mau menggunakan takwil terhadap ayat-ayat tersebut. Model pemahaman ini akhirnya
membuat perbedaan antara pendapat al-Gazâlî dan Ibn Rusyd. Bagi Ibn Rusyd, ayat mengenai: “Jiwa tidak mengetahui apa yang tersembunyi bagi mereka dari
yang menyedapkan mata sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan” dianggap sebagai suatu premis yang menunjukkan bahwa kenikmatan yang
tertinggi ada pada jiwa, bukan pada mata. Sebaliknya al-Gazâlî memahami bahwa jiwa tidak mengetahui semua kenikmatan itu.
Al-Gazâlî juga membantah pendapat filosof yang mengatakan bahwa teks al- Qur’an merupakan rangkaian simbol-simbol, yang diungkapkan sesuai dengan
keterbatasan kemampuan manusia awam, seperti ayat-ayat tasybih yang digunakan untuk mendekatkan arti kepada mereka. Bagi al-Gazâlî, menyamakan antara
pernyataan kebangkitan jasmani dengan ayat-ayat tasybih lainnya adalah suatu kekacauan karena keduanya berbeda dalam dua hal. Pertama, ada sebagian kata-
kata yang terdapat dalam ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits yang mengandung tasybih, yang memungkinkan untuk ditakwil asal tidak melanggar gramatika
bahasa Arab. Tetapi, ungkapan surga dan neraka serta detil-detilnya menerangkan suatu batas yang tidak memungkinkan dilakukan takwil. Kedua, argumen-argumen
rasional telah membuktikan kemustahilan hal-hal, seperti ruang dan aktifitas fisik bagi Tuhan. Maka, dalam hal ini, kebutuhan pada takwil dengan argumen-
argumen rasional adalah wajib. Namun, hal-hal yang berkaitan dengan akhirat,
seperti yang dijanjikan Tuhan, tidak mustahil bagi-Nya dan bukan menjadi lapangan takwil.
70
Karena itu, dalam hal surga dan neraka, al-Gazâlî tidak mau melakukan takwil karena tidak memenuhi syarat-syarat untuk itu. Dalam penafsiran al-Qur’an,
takwil memang dibolehkan dengan syarat bahwa ayat-ayat secara zahir memberi kesan pertentangan dengan dengan kaidah pokok agama, bertentangan dengan
kaidah pokok bahasa Arab, dan bertentangan dengan akal sehat. Para filosof sendiri melihat bahwa kemungkinan adanya takwil dalam ayat surga dan neraka
hanya mengacu pada syarat yang ketiga, yakni yang berkaitan dengan akal sehat. Bagi filosof, alam akhirat adalah alam rohani, sehingga akal sehat akan
mengatakan bahwa kebangkitan juga merupakan kebangkitan rohani. Karena itu, surga dan neraka dapat ditakwilkan dalam bentuk yang lebih pas dengan prinsip
rasio. Menurut al-Gazâlî, pentakwilan seperti ini tidak dapat dilakukan karena tidak bertentangan dengan pokok kaidah.
Bagi Ibn Rusyd, takwil adalah makna yang dimunculkan dari pengertian suatu kata yang keluar dari konotasinya yang hakiki kepada konotasi metaforis, dilakukan
dengan suatu cara yang tidak melanggar tradisi bahasa Arab dalam membuat metafor. Misalnya, menyebutkan sesuatu dengan sebutan tertentu lainnya karena
adanya faktor kemiripan, atau menjadi sebab atau akibatnya, atau menjadi bandingannya, atau faktor-faktor lain yang diuraikan secara rinci dalam
70
Ibid. , h. 291-293
pembahasan berbagai ungkapan metaforik. Menurut Ibn Rusyd, bila ahli fikih saja banyak mempraktikkan cara-cara takwil dalam hukum-hukum syari’at, maka
sebenarnya jauh lebih patut bagi para filosof untuk melakukan takwil. Karena seorang ahli fikih hanyalah memiliki qiyâs zannî sifatnya hanya perkiraan,
sedangkan seorang filosof memiliki qiyâs yaqînî yang bersifat yakin dan pasti.
71
Secara lebih tegas Ibn Rusyd berargumen, filosof memastikan seyakin-yakinnya bahwa capaian apa pun yang dihasilkan oleh metode burhan demonstratif tapi
bertentangan dengan makna lahir teks syari’at, maka makna lahir teks tersebut menjadi terbuka untuk menerima pentakwilan, menurut aturan main pentakwilan
bahasa Arab yang ada. Tidak seseorang pun yang dapat meragukan atau mempertentangkan hal ini. Dan keyakinan akan kebenarannya kian bertambah
apabila seseorang menekuni dan menguji pernyataan ini, lalu menjadikannya sebagai sarana pencapaian untuk mengintegrasikan hal-hal yang rasional dan
wahyu.
72
Sejatinya, bukan hanya para filosof dan Ibn Rusyd yang sulit memahami kehidupan alam kubur atau akhirat secara rohani dan jasmani, melainkan juga bagi
mereka yang bukan filosof. Bagaimana bisa dipahami nikmat atau azab kubur secara rohani-jasmani bagi mereka yang mati dengan jasad habis dimakan oleh
binatang atau sudah menjadi abu karena terbakar atau dibakar? Bagaimana bisa
71
Ibn Rusyd, Fasl al-Maqâl fî mâ Bayn al-Hikmah wa al-Syarî’ah min al-Ittisâl, Kairo: Dâr al-Ma’ârif, t.t. h. 32
72
Ibid., h. 33
dipahami jasad yang diletakkan di liang lahat itu dapat merasakan nikmat atau azab, seperti azab malaikat berupa pukulan besi pada bagian kupingnya, atau
merasakan jepitan kalajengking atau gigitan ular besar yang datang pada jasad yang datang di lahat? Bagaimana bisa dipahami bahwa kuburan orang baik-baik
dilapangkan sampai tujuh puluh hasta dan dibentangkan hamparan sampai ke surga, atau kuburan orang jahat disempitkan sedemikian hebat sehingga remuk
tulang-tulang jasad yang berbaring di lahat itu? Bagaimana bisa dipahami bahwa semua manusia dibangkitkan di Alam Mahsyar
dengan badan telanjang? Bagaimana bisa dipahami bahwa mereka yang berada di surga itu bisa berdialog dengan mereka yang sedang tersiksa di neraka yang
menyala-nyala? Karena mudah dipahami secara rohani-jasmani, maka muncul pemahaman di kalangan sufi, bahwa alam kubur atau akhirat itu adalah alam
rohani semata. Jasad-jasad yang ada pada alam kubur atau akhirat itu juga bersifat rohani, bukan bersifat materi. Bahkan al-Gazâlî sendiri setelah menjadi sufi,
menegaskan dalam karya tulisnya Mukhtasar Ihyâ ‘Ulûm ad-Dîn, bahwa nikmat dan azab kubur itu bersifat rohani saja. Jadia sebenarnya takwil yang dilakukan
kalangan filosof Muslim dan sufi sehingga gambaran alam kubur atau akhirat yang bersifat jasmani dari al-Qur’an dan Hadits Nabi dipahami secara majazi saja,
yakni dipahami bersifat rohani saja, tidak boleh sama sekali dinilai sebagai sikap kufur kepada ajaran al-Qur’an dan Hadits Nabi, dan mereka tidak dapat dikafirkan.
Bagi Ibn Rusyd, seorang ulama yang melakukan kesalahan dalam permaslahan ini harus dimaafkan, sedangkan yang benar jelas patut disyukuri dan mendapat
pahala, selama I asendir mengakui adanya hari kebangkitan itu dan melakukan interpretasi hanya berkenaan dengan sifat hari kebangkitan itu dan tidak pada
eksistensi keberadaannya. Juga selama pentakwilan yang dilakukannya tidak membawanya kepada penafian kepada keberadaan hari kebangkitan itu sendiri.
Sikap mengingkari keberadaan hari kebangkitan adalah suatu kekafiran, karena masalah ini termasuk prinsip-prinsip syari’at, yang penerimaan kebenarannya
dapat dilakukan melalui metode pembuktian yang mampu dilakukan setiap orang, baik orang merah maupun orang hitam.
73
Orang yang bukan ahli ilmu harus memahaminya sesuai dengan makna lahiriahnya saja, dan untuk dirinya takwil adalah suatu kekafiran, karena bisa menjerumuskan.
Karena itu, bagi Ibn Rusyd, orang yang memang kapsitasnya mengimani makna- makna lahiriah, akan menemui kakafiran apabila melakukan pentakwilan, karena
pentakwilan ini akan menjerumuskannya ke dalam kekafiran yang sesungguhnya. Ahli takwil yang membeberkan takwilnya kepada orang lain yang bukan ahli
takwil, berarti telah mendorong kepada kekafiran, sedangkan seseorang yang mendorong kepada kekafiran itu sendiri berarti ia seorang kafir.
74
Karena itulah takwil-takwil harus diletakkan dalam kitab-kitab burhan saja, sebab dengan diletakkanya takwil-takwil itu dalam kitab-kitab burhan, hanya ahli
73
Ibn Rusyd, Ibid., h. 51
74
Ibid.
burhanlah yang mampu menjangkaunya. Tetapi bila takwil-takwil itu diletakkan tidak pada kitab-kitab burhan dan diuraikan dengan metode puitik, retorik,
dialektik, seperti yang dilakukan oleh al-Gazâlî, maka hal itujelaskan akan menimbulkan ancaman terhadap syari’at maupun filsafat, sekalipun ia semata-
mata bermaksud baik. Sebab sekalipun denganc ara seperti itu al-Gazâlî bertujuan memperbanyak jumlah ahli ilmu, maka yang terjadi justru bukan ahli ilmu yang
menjadi bertambah, melainkan orang-orang yang merusaklah yang kian banyak. Buktinya, kian banyak orang-orang yang mencela filsafat, mencela syari’at, namun
ada pulakelompok yang mencoba mensintesakan keduanya, yakni Al-Gazâlî. Al-Gazâlî, menurut Ibn Rusyd,
75
tidak pernah dalam kitabnya mengikat diri dengan suatu Mazhab tertentu. Ia akan menajdi pengikut Asy’ari bila berada dalam
Mazhab Asy’ari, menjadi sufi bila bersama kaum sufi, dan akan menjadi seorang filosof bila bersama dengan filosof. Ibn Rusyd menggambarkan sikap al-Gazâlî
ini seperti sebuah syair: Suatu hari aku menjadi orang Yaman
Apabila aku bertemu dengan orang Yaman Namun aku akan menjadi orang Adnan
Bila aku bertemu dengan orang Ma’addi.
75
Ibid, h. 52-53
B. Metodologi Berpikir al-Gazâlî dan Ibn Rusyd