Eskatologi dalam Filsafat Islam

dunia. Bentuk pemikiran-pemikiran eskatologi yang lebih tinggi adalah produk dari suatu pertumbuhan sosial yang kompleks dan pertumbuhan pengetahuan yang ditinggalkan dari ilmu pengetahuan alami. Oleh karena itu, perkembangan spekulasi eskatologi, biasanya mencerminkan pertumbuhan intelektual dan persepsi moral manusia, perluasan pengalaman sosial, dan pengetahuan alam yang berkembang. Bagaimanapun, bentuk akhir doktrin. Eskatologi akan sangat beragam, menurut karakteristik dari suatu lingkungan dan orang-orang yang tinggal didalamnya.

B. Eskatologi dalam Filsafat Islam

Hampir semua agama -termasuk Islam- mengajukan konsep tentang awal segala sesuatu; Tuhan, dunia, dan manusia. Demikian juga halnya dengan akhir segala sesuatu. Namun demikian seperti dijelaskan di atas, bahwa harus dibuat perbedaan yang jelas antara eskatologi individu dan eskatologi umum. Eskatologi individu berkaitan dengan akhir dari manusia secara pribadi, yakni akhir dari jiwa setelah kematian. Sedang eskatologi umum berkenaan dengan transformasi yang lebih umum atau akhir dunia ini. Eskatologi adalah faham yang bercorak kefilsafatan yang berusaha menjangkau kehidupan jangka panjang, dengan cara hidup meninggalkan kepentingan-kepentingan duniawi, dan menekan dorongan darah dan daging tubuhnya, dengan mengutamakan kehidupan akhirat, serta mengikuti secara total bimbingan spiritualitas. Dalam konsep filsafat Islam, eskatologi sesungguhnya menjadi upaya pemikiran transendental untuk menyingkap kehidupan sesudah mati. Persoalan eskatologi tidak hanya ‘meresahkan’ manusia zaman dahulu, tetapi manusia modern yang sangat mengagungkan akal pun kerap dibuat ‘resah’ untuk mengetahui, mencari dan menggapai kehidupan sesudah kematian, bahkan di dunia Barat yang sekuler. Namun demikian kemunculan eskatologi dalam filsafat Islam bukanlah suatu kelanjutan dari pemikiran eskatologi dari fase sebelumnya. Hal ini dikarenakan dalam al-Qur’an dan Hadits banyak sekali keterangan-keterangan yang berkaitan dengan permasalahan eskatologi, yang menjadi kelanjutan adalah metode pembahasannya. Dalam filsafat Islam, eskatologi tentang kehidupan sesudah mati menjadi salah satu wacana penting sebagai upaya penyingkapan refleksi metafisik atas dilema ketuhanan. 13 Dimensi eskatologis ini dilihat melalui pancaran nalar yang tetap melandaskan diri pada ajaran-ajaran al-Qur’an. Meski pun demikian, menurut Majid Fakhry “…tantangan yang dihadapi berkenaan dengan tafsir terhadap problema ini tidak kecil, terutama rata-rata datang dari kalangan ortodoksi dan lebih khusus lagi yang diwakili oleh al- Gazâlî. 14 Agama-agama wahyu telah mengembangkan suatu penyesuaian antara isi kitab suci dengan keinginan masyarakat di hampir semua kehidupan keagamaan. Hal ini nampak sekali terlihat dalam perkembangan eskatologi Islam, yakni selalu dalam proses 13 Musa Asy’arie, Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir, Yogyakarta : LESFI,2002, Cet.ke-3, h. 239 14 Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, New York : Columbia University,1970, h. 135 perkembangan dan penyesuaian. Dengan kata lain, dualisme radikal terhadap kitab suci dalam agama monoteistik jarang sekali terjadi dalam bentuknya yang murni. Hal tersebut biasanya menjadi semu karena proses interaksi dengan gagasan dan praktek yang popular. Dibandingkan dengan agama-agama monoteistik lainnya, Islam merupakan agama yang paling kaya dengan latar belakang dan paling luas dalam pergaulan kebudayaan. Gambaran umum mengenai eskatologi Islam adalah “…kenikmatan surga dan azab neraka. Surga dan neraka ini sering dinyatakan al-Qur’an sebagai imbalan dan hukuman secara global, termasuk keridhaan dan kemurkaan Allah” 15 Namun, ide pokok yang mendasari ajaran-ajaran al-Qur’an mengenai akhirat adalah gambaran tentang kiamat ketika setiap manusia akan memperoleh kesadaran unik yang tak pernah dialami sebelumnya dari perbuatan baik dan buruknya. Pada saat ini manusia dihadapkan kepada apa yang telah dilakukannya, kemudian ia akan menerima ganjaran karena perbuatannya. Lebih lanjut, Rahman menyebutkan bahwa pada umumnya manusia sangat tertarik pada kepentingan-kepentingan yang bersifat langsung pragmatis terutama kepentingan-kepentingan untuk dirinya sendiri yang dangkal dan bersifat materi, sehingga ia tidak menghiraukan akhir kehidupan ini. Akibatnya manusia sering sekali melanggar norma-norma dan hukum moral. Al-Qur’an memang sarat dengan nilai-nilai eskatologis. Kalau ditelusuri dengan cermat, maka “…sekitar sepertiga dari keseluruhan isi al-Qur’an memuat ajaran tentang eskatologi”. 16 Setiap pembicaraan tentang amal manusia senantiasa ditutup dengan balasannya di hari kiamat nanti. Perkataan surga dan neraka, pahala dan dosa, kesenangan dan siksaan selalu diulang- ulang di hampir semua surat. Hal ini menunjukan bahwa persoalan eskatologis dalam Islam merupakan hal yang sangat penting. Kehilangan inilai eskatologis tidak hanya dapat menjauhkan seseorang dari agama tetapi juga dapat menjerumuskannya kepada kekufuran dan kezaliman. Karena pentingnya persoalan eskatologi ini, al-Qur’an di banyak tempat menyebutkan pesan-pesan tentang akhir segala sesuatu. Surat-surat Makkiyah terutama Juz ‘Ammâ umumnya mengandung pesan-pesan ini. Hal ini dimaksudkan agar manusia sebelum mengamalkan ajaran agama, ia terlebih dahulu mempunyai motivasi untuk melakukannya karean setiap apa yang dilakukan itu akan diberikan balasan. Kemudian, keyakinan kepada hari akhir menjadi bagian yang paling esensial dalam beragama. Bahkan dalam al-Qur’an senantiasa digandengkan “beriman kepada Allah dan hari kiamat”. Penggandengan ini bukanlah suatu kebetulan, tetapi suatu ketetapan yang dirumuskan oleh Allah sendiri. Ini menunjukan betapa eratnya kaitan antara beriman kepada Allah dan meyakini dengan sesungguhnya hari akhir itu pasti terjadi. Dengan demikan manusia akan sangat hati-hati dalam melakukan sesuatu, karena apa yang dikerjakannya pasti Allah melihatnya dan dengan sendirinya ia menyadari bahwa kalau Allah sudah melihat, maka perbuatannya itu akan diberikan balasan. Balasan itu pun sangat tergantung pada kualitas amal, yang baik diberi pahala kesenagan surgawi. Sedang amal yang jelek akan diberi azab hukuman neraka. 15 Darwis Hude, et al., Cakrawala Ilmu dalam al-Qur’an, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2002, Cet. Ke-1, h. 162 10 Ibid. , h. 165 Yang menarik dari keterangan al-Qur’an tentang eskatologi menurut Amsal Bakhtiar adalah “…kerincian penjelasannya. Dibandingkan dengan persoalan ibadah individual seperti shalat dan zakat, keterangan tentang hari akhirat jauh lebih terperinci. 17 ” Hal ini mungkin karena pengetahuan manusia tentang alam metafisika sangat terbatas. Terlebih, ijtihad dalam lapangan ini membutuhkan keahlian khusus, dan kalu salah berijtihad akan berakibat fatal karena hal ini berkaitan dengan akidah. Kenyataan ini menggambarkan sekaligus mempertegas bahwa persoalan eskatologi adalah bagian yang rumit dan tidak terpisahkan dari Islam dan kehidupan manusia. Manusia pada dasarnya memiliki naluri takut mati karena telah mengetahui apa yang ada dan bagaimana setelah mati. Karena itu, agama menjelaskan persoalan yang sangat misterius ini, sehingga orang yang beragama menjadi lebih tenang dibandingkan dengan orang tidak beragama. Dalam eskatologi islam, permasalahan yang menjadi pembahasan para pemikir Islam sebenarnya tidak jauh berbeda dengan permasalahan yang pernah timbul pada pemikiran eskatologi sebelum Islam, terutama Yahudi dan Kristen. Ada pun permasalahan-permasalahan dalam eskatologi Islam antara lain : kematian, alam kubur, hari kiamat dan kebangkitan kembali, berkumpul di mahsyar, penghitungan dan pertimbangan amal, pembalasan dan hukuman. Berikut penulis akan menjelaskan beberapa hal tersebut secara singkat : 1. Kematian Realitas kematian adalah kepastian, yang tidak dapat ditolak, setiap orang pasti akan mengalami kematian, suka atau tidak suka, dan dalam konsep filsafat Islam kematian adalah awal kehidupan, kematian di dunia menjadi awal kehidupan di akhirat. 18 Akan tetapi, pengetahuan dan pengalaman tentang mati masih saja dipenuhi misteri. Ada dua konsep tentang kematian yang sangat berpengaruh terhadap pemikiran-pemikiran eskatologi, yaitu konsep pertama yang berpandangan bahwa kematian adalah “netral” neutral death yaitu tidak ada siksaan maupun kenikmatan setelah kematian, pandangan ini berkembang di Persia kuno. Sedangkan konsep kedua menyatakan bahwa kematian adalah bermoral moral death, yang akan dinilai menurut standar kriteria tertentu apakah mendapat siksa atau mendapat nikmat, pandangan ini muncul di Mesir dan kemudian berkembang di Yunani. 19 2. Alam Kubur 17 Amsal Bakhtiar, “Eskatologi dalam Perdebatan antara al-Gazali dan Ibn Rusyd” dalam Mimbar Agama dan Budaya , Jakarta, Vol. XVIII, No. 4, tahun 2001, h. 317 18 Musa Asy’arie,op.cit. , h. 243 19 Lihat Alan E. Bernstein, The Formation of Hell: Death and Retribution in The Anicient and Early Christian Worlds , Ithaca : Cornell Universty Press, 1993, h.3-4 Alam kubur bukanlah semata-mata kuburan tetapi alam yang dimasuki oleh setiap orang yang telah mengakhiri kehidupan di dunia. Jadi kuburan tidak berarti wujud lubang di dalam tanah, tetapi lebih dari itu kuburan adalah alam yang dimasuki oleh orang yang telah meninggal kapan saja dan dimana saja. Secara lebih spesifik alam kubur dinamakan juga alam barzakh. Barzakh artinya batasan yang mendindingi dunia dan akhirat. Orang yang telah mati berarti ia berada di ruang tunggu menuju akhirat. 3. Hari Kiamat dan Kebangkitan Dalam wacana keagamaan, hari kiamat adalah hari kebangkitan dari kehancuran, yaitu dibangkitkannya manusia setelah terjadinya kehancuran total. Setelah kehancuran total tersebut, akan ditegakkan suatu pengadilan yang dijamin oleh Tuhan, karenanya manusia dibangkitkan kembali untuk menghadapi pengadilan itu. 20 Disamping menggunakan istilah hari kiamat al-yawm al-âkhîr, Al-Qur’an juga menggunakan istilah-istilah atau nama- nama lain, yang masing- masing mengacu kepada peristiwa, keadaan atau situasi yang akan dialami oleh umat manusia dalam proses menuju kehidupan yang abadi. Nama-nama lain yang senada dengan hari kiamat adalah: a. As-Sâ’ah artinya waktu atau masa b. Al-Âkhirah artinya hari akhirat c. Al-Âzifah artinya peristiwa dahsyat d. At-Tâmmah artinya malapetaka hebat e. As-Sâkhah artinya tiupan sangkakala kedua f. Al-Gâsyiyah artinya kejadian yang menyelebungi g. Al-Wâqi’ah artinya peristiwa menggemparkan h. Yawm al-Fasl artinya hari keputusan i. Yawm at-Tanâd artinya hari panggil memanggil j. Yawm al-Hasrah artinya hari penyesalan k. Yawm al-Khurûj hari eksodus l. Yawm al-Khulûd artinya hari keabadian m. Yawm at-Tagâbun artinya hari ditampakan segala kesalahan n. Yawm al-Jam’i artinya hari berkumpul o. Yawm at-Talâq artinya hari pertemuan p. Yawm al-Fath artinya hari kemenangan q. Yawm ad-Dîn artinya hari agama r. Yawm al-Hisâb artinya hari perhitungan s. Yawm al-Ba’s artinya hari berbangkit t. Yawm al-Qiyâmah artinya hari kiamat. 21 Ada pun mengenai kebangkitan kembali, filsafat Islam menawarkan pendekatan nafs, untuk dapat memahaminya. Seperti yang dikenalkan Ibn Sînâ untuk membuktikan adanya nafs, yaitu dengan adanya alam mimpi atau pengandaian orang bisa terbang. Teori Ibn Sînâ ini bias dikembangkan lebih lanjut untuk memahami adanya kebangkitan kembali dengan melihat aspek 20 Seperti telah dijelaskan bahwa pengertian eskatologi mencakup dua makna yakni eskatologi individu dan eskatologi umum. Kematian merupakan salah satu contoh dari eskatologi individu sedang hari kiamat dan kebangkitan adalah bentuk dari eskatologi umum atau universal. 21 Darwis Hude, et al., op.cit., h.177 transendentalnya nafs. Transendensi nafs menjadikan kebangkitan itu pasti adanya dan dapat terjadi pada tahapan manusia sebagai nafs, karena nafs itu sendiri yang berbuat dan yang akan mempertanggung jawabkan amalnya di hadapan Tuhan. Kepastian adanya kebangkitan pada hakekatnya merupakan tuntutan hokum moral, untuk menuntaskan perbuatan jelek manusia yang tak terselesaikan dalam pengadilan di dunia, yang dalam banyak hal sering kali dimanipulasi, direkayasa dan tidak mencerminkan adanya keadilan yang benar-benar adil, sehingga adanya hari kebangkitan dan pengadilan Tuhan yang dijamin Tuhan sendiri akan keadilannya, pada hakekatnya merupakan rahmat dan anugrah Tuhan kepada manusia, terutama yang merasakan ketidakadilan dalam kehidupan di dunia. Dalam persoalan kebangkitan, menurut Ahmad Syams ad-Din, pandangan manusia terbagi menjadi lima kelompok yakni: 1. Sebagian kecil kaum teolog mengatakan bahwa kebangkitan hanya jasmani saja. 2. Sebagian besar kaum filosof ketuhanan mengatakan bahwa kebangkitan hanya jiwa saja. 3. Hampir semua kaum muslimin, termasuk al-Gazâlî mengatakan bahwa kebangkitan adalah jiwa dan jasad sekaligus. 4. Para filosof mengatakan bahwa tidak ada kebangkitan di akhirat baik jasmani mau pun jiwa. 5. Galenus berpendapat bahwa kita tidak bias menentukan mana yang benar dari pendapat di atas. Karenanya dia menganjurkan untuk bersikap pasif dan tidak membahas persoalan ini panjang lebar. 22 Eskatologi dalam filsafat Islam telah menjadi bahasan yang sangat menarik pada awal perkembangan keilmuan dalam dunia Islam. Namun demikian respons pemikir Islam modern terhadap masalah eskatologi Islam tidak begitu intens seperti halnya pendahulu mereka. Pemikir Islam modern tidak membahas permasalahan eskatologi karena menurut mereka hal tersebut terlalu sulit untuk dirasionalisasikan. 23 Sehingga pembahasan mereka tentang permasalahan eskatologi pada umumnya hanya merupakan pengembangan, penekanan dan pembaharuan terhadap pemikiran sebelumnya 22 Ahmad Syams ad-Din, al-Gazâlî: Hayâtuhu, Âsâruhu, Falsafatuhu, Beirut: Dâr al-Kutub al- ‘Ilmiyyah, 1990, h. 93 23 Mircae Eliade ed, “Eschatology: Islamic Eschatology”, The Encyclopedia of Religion New York : Macmillan Publishing Company, 1987, h. 155

BAB III ESKATOLOGI MENURUT AL-GAZÂLÎ DAN IBN RUSYD